Gimai Seikatsu Vol.2 Chapter 01 Bahasa Indonesia

Chapter 1 — 16 Juli (Kamis)

 

Di pagi musim panas ini, tubuhku yang masih terlelap terasa seperti tengah diselimuti selaput tipis yang transparan. Kelima indraku terasa tumpul karena kelembapan dan panas yang menyengat. Menyerah pada kelembaman yang disebabkan oleh AC yang baru saja aku nyalakan, aku bergerak layaknya robot tanpa emosi, mengelap meja makan berulang-ulang.

Seperti yang sering terjadi, orang tuaku tidak ada di rumah pagi ini. Ayase-san keluar dari dapur dengan dua piring di tangan dan meletakkannya di atas meja yang baru saja aku bersihkan. Ketimbang nasi putih yang biasa, roti panggang yang baru matang tergeletak di atas piring-piring ini.

“… Roti dengan sayuran rebus?”

French toast”. Ayase-san menyebut nama asli hidangan itu dengan nada acuh tak acuh.

Masih bingung dengan apa artinya itu, aku hanya menggumamkan 'Ohh' sebagai jawaban. Tentu saja, aku tahu apa itu French toast. Aku belum pernah memakannya sebelumnya, tapi aku tahu keberadaannya berkat fakta kalau makanan itu muncul di beberapa buku yang pernah aku baca. Bisa dikatakan, tragedi dari situasi ini ialah meski aku tahu namanya, tapi aku belum pernah melihat rupa fisik yang sebenarnya terhadap keberadaannya di dunia nyata, karena aku belum pernah melihat bagaimana makanannya.

“Dilihat dari namanya, apa itu masakan Prancis?”

“Bukan,masakan ini berasal dari Amerika.”

“Kamu pasti tahu banyak ya, Ayase-san.”

“Setidaknya itulah yang tertulis di menu di restoran keluarga yang pernah aku kunjungi.”

Mungkin berasal dari salah satu menu musiman yang menggambarkan setiap hidangan secara luas. Tapi asal muasal hidangan tersebut tidak terlalu penting sekarang.

“Bagaimana caramu memakan ini?”

“Aku menaruhnya di sana untukmu. Apa kamu tidak melihatnya?”

“Makannya pakai pisau dan garpu?”

“Ya. Tapi yah, kamu bisa memakannya dengan jari atau sumpit. Lagian tidak ada yang melihat; kita ‘kan di rumah.” Ayase-san berbicara dengan nada acuh, tapi aku belum bisa melihatnya sepenuhnya sebagai anggota keluargaku. Aku mungkin akan mempermalukan diri sendiri jika membuat kekacauan saat makan.

Dia seperti orang asing bagiku, terlebih lagi gadis yang sebaya denganku. Apalagi, dia punya wajah yang sangat cantik, jadi aku tidak bisa benar-benar menunjukkan sisi buruk diriku.

“Memotong roti seperti steak memang terasa aneh, ‘kan?”

“Benarkah? Tidak seburuk jika kamu mengatakan pada diri sendiri bahwa itu mirip kayak kue, menurutku.”

“Benar juga sih ya…”

Mampu melihat berbagai hal dari setiap sudut seperti itu pasti merupakan prestasi mental yang mengesankan. Dengan argumen filosofis ini, kami berdua fokus menyantap sarapan kami. Aku merasakan telur dan garam, yang berpadu menciptakan sensasi manis di lidah u. Aku sedang berpikir tentang bagaimana menyampaikan kesanku tentang makanan saat Ayase-san melirikku.

Oh ?, pikirku dalam hati.

Saat aku melihat ke arah Ayase-san, yang duduk tepat di seberang meja dariku, wajahnya masih tanpa ekspresi seperti biasanya. Namun, gerakannya saat memegang pisau dan garpu kurang memiliki keterampilan dan kehalusan yang biasa, yang membuatku berpikir bahwa mungkin dia khawatir tentang sesuatu yang mengalihkan perhatiannya dari makanan.

“Apa ada yang salah?”

“Eh?”

“Kelihatannya kamu sedang memikirkan sesuatu. ”

“… Peka sekali.” Ayase-san tersenyum kecut saat melihat kalender yang tergantung di dinding.

Itu adalah kalender yang Akiko-san bawa saat mereka pindahan. Kalender dengan gambar kucing yang berguling-guling, mungkin dimaksudkan untuk memberi efek menenangkan bagi orang yang melihatnya. Aku pikir dia mendapatkannya dari bar tempat dia bekerja. Karena aku dan ayahku pada dasarnya hidup dari kalender yang ada di smartphone, kami tidak pernah memajangnya, tapi dia meletakkan kalender yang ini bulan lalu di sebelah meja makan dengan alasan 'Dinding ini terlihat polos'. Ayase-san melihat sekilas pada bukti wanita yang tinggal di rumah kami ini dan membuka mulutnya.

“Aku pikir hari ini, ‘kan?”

“Apanya?”

“Hari pengumuman hasil ujian akhir semester. Kurasa kelasku diumumkan hari ini.”

“Ahh, benar juga, pihak sekolah masih belum selesai mengumumkannya.”

“Ya. Padahal cuma satu pelajaran lagi.”

Tentu saja, fakta bahwa kami berdua memiliki keluarga baru dan perubahan gaya hidup tidak cukup untuk membebaskan kami dari kehidupan pelajar di SMA Suisei. Kami masih harus fokus pada ujian UAS yang berlangsung di awal Juli seperti setiap tahun. Biasanya, Ayase-san dan aku tidak terlalu memperhatikan cara belajar satu sama lain; kami hanya berfokus pada diri kami sendiri. Kami sudah saling janji untuk tidak terlalu mencampuri urusan pribadi, maupun bersikap terlalu jauh, jadi tentu saja kami tidak tahu apa-apa tentang hasil ujian satu sama lain, dan kami juga tidak mencoba mencari tahu — Sampai hari ini.

“Nee, Asamura-kun, boleh aku mengajukan pertanyaan yang sedikit kasar?”

“Silakan saja. Asalkan bukan pertanyaan yang sampai membuatku perlu menutup telinga atau membuatku merasa tidak nyaman, aku rasa kamu bahkan tidak akan menanyakannya sejak awal.”

Dilihat dari dia perlu meminta izin dulu untuk mengajukan pertanyaan membuatku dapat mengatakan bahwa itu bukanlah sesuatu yang tidak masuk akal. Itulah kesimpulan yang bisa aku capai berkat meluangkan waktu bersamanya hingga saat ini.

“Bagaimana hasil ujianmu?”

Pertanyaan yang dia ajukan ternyata lebih normal dari yang aku duga. Tapi mungkin, ini bisa menjadi topik sensitif bagi orang lain di luar sana, yang sekali lagi membuatku menyadari betapa perhatiannya Ayase-san.

“Um… aku dapat nilai 81 dalam Sejarah Jepang, 92 dalam Matematika I, 88 di Matematika II, 70 dalam Fisika, 85 dalam Kimia, 90 dalam Bahasa Inggris, 79 dalam Komunikasi Bahasa Inggris, 96 dalam Bahasa Jepang Modern, dan 77 dalam Bahasa Jepang Klasik… Jadi kurasa total nilainya 758.”

“Itu luar biasa, Asamura-kun. Nilamu sangat bagus. ”

“Terima kasih. Aku senang mendengarnya. Tapi, secara pribadi, ada beberapa mata pelajaran yang perlu aku tangani, seperti Fisika dan Kimia.”

“Aku pikir bisa mendapatkan nilai 96 dalam bahasa Jepang Modern itu sendiri sudah cukup menakjubkan.”

“Bagaimana denganmu, Ayase-san?”

“Aku dapat nilai 100 dalam pelajaran Sejarah Jepang, 80 dalam Matematika I, 86 dalam Matematika II, 89 dalam Fisika, 81 dalam Kimia, 84 dalam Bahasa Inggris, 80 dalam Komunikasi Bahasa Inggris, dan 90 dalam Bahasa Jepang Klasik.”

“Jadi, semua nilaimu di atas 80! Kamu mendapat nilai yang jauh lebih baik ketimbang aku. ”

“Sejauh ini sih, memang ya.”

“Kamu tinggal menunggu nilai satu pelajaran lagi, ‘kan? Meski nilai Bahasa Jepang Modernmu sedikit lebih rendah dari yang lain, tapi jumlah totalmu pasti lebih tinggi dariku. ”

“Entahlah. Aku tidak terlalu yakin dengan nilai bahasa Jepang Modernku.” Dibandingkan dengan nadanya yang kering dan acuh, aku bisa merasakan sedikit kecemasan dalam suaranya, dan Ayase-san menghela nafas lagi. “Jika bisa, aku ingin mulai bekerja sambilan pada liburan musim panas ini, tapi bergantung pada nilaiku dalam Bahasa Jepang Modern, aku mungkin harus meluangkan lebih banyak waktu untuk belajar.”

“Maaf. Itu semua karena aku masih belum menemukan pekerjaan sambilan yang bergaji tinggi untukmu.”

“Kamu tidak perlu meminta maaf untuk itu, Asamura-kun.”

“Tidak, padahal itu sudah menjadi kesepakatan kita.”

Pada hari orang tua kami bekerja, Ayase-san dan aku akan mengurus sarapan dan makan malam sendiri. Jika punya waktu, ibu tiriku, Akiko-san membuatkan makanan untuk kami, tapi biasanya kami sendiri yang mengurus makanan kami. Ayase-san berusaha untuk hidup mandiri supaya tidak dipandang rendah hanya karena dia seorang wanita, dan berusaha untuk mencapainya dengan kuliah di perguruan tinggi ternama.

Pada saat yang sama, karena dia tidak ingin menjadi beban dalam urusan keuangan keluarga kami, dia menginginkan pekerjaan sambilan dengan gaji tinggi yang tidak menyita terlalu banyak waktu belajarnya, jadi dia memintaku untuk membantunya mengumpulkan informasi dan menawarkan untuk memasak sarapan dan makan malam untukku sebagai timbal baliknya. Namun, meski menyakitkan untuk diakui, aku gagal mendapatkan hasil yang berharga dalam upaya pencarian itu selama sebulan terakhir. Aku yakin kalau ini bentuk perhatian Ayase-san dan tidak ingin membuatku merasa bersalah tentang hal itu, tapi dia belum mengutarakan keluhan sedikitpun mengenai hal itu. Satu-satunya hal yang dia lakukan hanyalah membuat senyum getir yang samar.

“Aku tahu kalau apa yang kuminta hanyalah permintaan egois, dan aku sedang merenungkannya. Untuk saat ini, aku akan mencari pekerjaan sambilan yang normal.”

“Kalau begitu aku akan mengurus makananku sendiri juga.”

“Hah? Kamu tidak perlu melakukan itu segala.”

Ini adalah syarat dari kesepakatan kami, jadi wajar-wajar saja kalau aku mengatakan itu, tapi anehnya Ayase-san tampak terlihat cemas.

“Aku bisa terus melakukannya, kok.”

“Tapi…”

“Memasak sangat menyenangkan, dan bisa membantuku rileks. Sekali-kali tidak buruk juga untuk merubah suasana.”

Ada reaksi psikologis yang disebut 'Norma timbal balik'. Jika seseorang menerima sesuatu, mereka merasakan hasrat untuk mengembalikannya atau sesuatu yang lain yang nilainya setara atau lebih besar. Jika kamu menerima sesuatu, kamu memberikannya kembali kepada orang yang kamu terima, dan jika kamu menerima sesuatu kembali, kamu mengembalikannya lagi. Dengan mengulanginya berulang kali, hubungan antarmanusia secara bertahap akan membentuk lingkaran.

Aku sadar diri kalau aku bukanlah manusia yang menarik dan cukup menawan untuk dihujani cinta yang tak terbatas dan bebas, dan jika seseorang terlalu ramah denganku tanpa ada manfaatnya bagi mereka, aku langsung meragukan niat mereka. Dan bahkan jika tidak ada motif tersembunyi di balik kasih sayang ini, aku masih merasa tidak nyaman karena cuma sebagai pihak penerima.

Karena Ayase-san adalah tipe orang yang mirip denganku, dia harusnya menyadari apa yang kurasakan  dan bagaimana aku merenungkan tentang bagaimana membuat ini menjadi timbal balik.

“Kalau begitu, aku punya ide.” Dia mengangkat tangannya, layaknya mengajukan pertanyaan di kelas.

“Setelah kita mencari-cari selama sebulan penuh, kesempatan kita untuk menemukan sesuatu kemungkinan besar tidak ada. Kita berdua bisa setuju mengenai hal itu, ‘kan?”

“Ya. Aku tidak ingin mengakuinya, tapi selama kita tidak mengandalkan metode yang tidak bermoral dan ilegal, aku pikir memang tidak ada harapan.”

“Demi bisa masuk ke universitas yang aku inginkan, aku perlu menghemat uang, jadi pekerjaan sambilan selama liburan musim panas diperlukan, tidak peduli berapa banyak waktu yang aku butuhkan. Aku mungkin akan terpaksa mengorbankan waktu tidurku supaya punya banyak waktu untuk belajar.”

“Bukannya kurang tidur akan menurunkan efisiensi belajarmu?”

“Betul sekali. Itu sebabnya aku punya usulan. Kamu dapat membantuku mencari ide yang dapat meningkatkan efisiensi belajarku. ”

“Meningkatkan efisiensi belajarmu, ya? Jadi seperti mencari buku referensi yang bagus, atau menyiapkan lingkungan yang memungkinkan belajar dengan nyaman?”

“Aku akan menyerahkan metodenya padamu. Boleh aku meminta bantuanmu untuk itu? ”

Aku tidak pernah menyangka akan mengalami permintaan egois seperti itu dari seorang adik perempuan dalam hidupku. Meski ini berbeda dari stereotip di mana seorang kakak laki-laki dipaksa menerima permintaan dari adik perempuan yang egois, aku masih merasakan tugas aneh untuk menyetujuinya.

“Oke. Aku belum tahu apa aku bisa menemukan sesuatu yang bisa menjadi barteran yang bagus untuk sarapan French toast ini, tapi aku akan mencoba yang terbaik.”

“Terima kasih. Aku akan menantikan hasilnya.”

Dia berbicara dengan nada kering serta ekspresi dingin seperti biasa. Namun sekali lagi, dia memberikan kesan bahwa apapun hasilnya, dia tak akan mengeluh atau menyalahkanku. Saat aku melihatnya memasang ekspresi seperti itu, hal itu membuatku ingin mengubah ekspresi itu dengan cara yang baik. Aku perlu menemukan ide untuk meningkatkan efisiensi belajarnya. Sambil memikirkan hal ini, aku menikmati rasa manis dari French toast, saat aku memakannya.

Setelah menghabiskan pagi yang menyenangkan, kami berdua pergi ke sekolah bersama, sebagai saudara yang ramah dan damai kami — Tentu saja, peristiwa seperti yang ada di LN atau manga tidak pernah terjadi. Sebaliknya, aku berangkat ke sekolah sendirian. Tapi aku tidak merasa ragu maupun sedih dari kenyataan itu, jadi aku pasti sudah terbiasa dengan hubungan ini dengan saudari tiriku.

Baik aku maupun Ayase-san masih belum mengungkapkan kepada siapa pun di sekolah bahwa kami adalah saudara tiri, dan bertindak seperti tidak kenal di sekolah. Satu-satunya pengecualian untuk masalah ini adalah Narasaka Maaya, teman baik Ayase-san. Aku bahkan masih merahasiakannya dari Maru Tomokazu, salah satu dari sedikit temanku. Bukannya aku tidak mempercayainya, tapi ada rumor aneh yang beredar di klub bisbol tempat Ia ikuti, jadi aku tidak ingin membuatnya mengkhawatirkanku jika hubunganku dengan Ayase-san tak sengaja bocor.

“Yo, Asamura. Lagi lihat-lihat situs bokep, ya? ”

Maru Tomokazu memanggilku dengan seringai menggoda terpampang di wajahnya. Aku duduk di dalam kelas yang tenang tepat sebelum jam wali kelas dimulai. Karena aku sudah selesai mempersiapkan buku pelajaranku, jadi aku hanya duduk sambil memainkan smartphone-ku, mencari-cari banyak hal.

“Maru, tahu tidak kalau penghinaan yang kamu buat terhadap orang lain sebenarnya adalah cerminan dari rasa kegelisahanmu sendiri?”

“Apa maksudnya itu?”

“Maksudnya, saat kamu menuduh orang lain melakukan sesuatu, itu berarti kamu juga pernah melakukan hal yang sama.”

“Itu kesimpulan yang menarik.”

“Pada dasarnya, kamu sendiri yang mengakui kalau kamu mengunjungi situs bokep, Maru.”

“Waduh, itu sih fitnah yang cukup kejam, bro.”

“Jadi, kamu tidak pernah melakukannya?”

“…Aku kadang-kadang melakukannya.”

Yang mulia Majelis Hakim, aku menuntut bahwa terdakwa Maru bersalah. Tapi yah, aku harus memberinya pujian karena dengan jujur ​​mengakuinya tanpa perlu melakukannya. Sifatnyayang begini menunjukkan kalau Ia benar-benar pria yang hebat.

“Aku tidak akan berani melihat hal semacam itu di sekolah. Aku hanya mencari beberapa hal. ”

“Oh, memeriksa ulasan anime? Tayangan kemarin memang sangat bagus. Episode 'Project DJ Mic' tadi malam sangat menyenangkan. "

“Oh ya. Kamu kepincut anime itu, ya? ”

“Mereka memiliki selera yang luar biasa dalam hal lagu tema dan OST. Menempatkan musik BGM dari pertandingan tahun 90-an. Hal itu membuatnya terasa sangat nostalgia.”

“Tahun 90-an, ya? Itu sudah lawas sekali.”

“Memang, tapi seperti yang banyak orang bilang: Jangan meremehkan yang lawas-lawas. Mereka menggunakan lagu yang dibuat dengan teknik dan desain suara yang populer pada masa itu. Pada saat yang sama, mereka lebih fokus pada nuansa game-esque pada musiknya ketimbang gaya pribadi artisnya, yang mana hal itu sendiri cukup revolusioner.”

Aku tahu kalau  Maru perlahan-lahan semakin tertarik. Aku menatap temanku yang otaku ini dengan hangat dan menanggapinya sehingga Ia tak akan mengeluh tentang kurangnya minatku.

“Begitu ya, jadi hati otakumu tergelitik karena musik yang bagus, ya?”

“Tepat sekali. Mereka tidak sepenuhnya merusak FM synths. Justru sebaliknya, mereka mengaturnya menjadi gaya yang lebih modern. Belum lagi game BGM tidak menggunakan lirik bahasa Jepang, jadi kamu tidak akan mengalami kendala bahasa apa pun. Musik yang melintasi lautan, lalu menyebar ke penjuru dunia. Aku cukup yakin kalau para staff di balik 'D Mic' adalah orang-orang jenius.”

“Rasanya tumben sekali.”

“Apanya?”

“Melihatmu jadi bersemangat tentang musik. Aku tahu kalau kamu tahu banyak mengenai genre yang berbeda, tapi bukannya selera mu terlalu beragam? ”

“Kamu hanya merasa begitu karena kita membicarakan hal-hal yang sangat aku ketahui.”

“Ah, benar juga sih…”

“Aku hanya mengambil kendali dalam percakapan. Tentu saja aku adalah dewa yang maha tahu dalam hal percakapan yang aku buat.”

“Apa ini semacam trik untuk melakukan penipuan?”

“Intinya sih hampir sama. Kejahatan yang kamu lakukan hanya bergantung dari trik apa yang digunakan.”

“Dan bagaimana kamu menggunakannya?”

“Untuk membuat percakapan semenyenangkan mungkin.”

“Sangat damai.” Aku memberi tanggapan sarakasti pada Maru saat Ia secara terbuka mengoceh tentang sampah dengan senyum puas di wajahnya, seolah-olah Ia adalah penguasa planet ini.

Aku mempertimbangkan untuk mengejar proses berpikirnya itu dan terus terang mengatakan kepadanya bahwa logikanya benar-benar tidak masuk akal, tapi itu akan menjadi bantahan yang payah, jadi aku memutuskan untuk tidak melakukannya.

“Meski aku tidak bisa menyebutmu mahakuasa, kamu cukup pintar, Maru. Nilaimu untuk ujian akhir semester pasti sangat spektakuler. ”

“Jadi kamu sudah mengetahuinya? Soalnya, selama ini aku merahasiakannya, tapi sebenarnya aku ini jenius.”

“Aku tahu itu.”

Karena Maru bertindak terlalu percaya diri untuk kebaikannya sendiri, aku memutuskan untuk menanyakan hasilnya, tetapi nilai yang aku dengar sama tidak masuk akal seperti yang aku harapkan. Nilai 90 dalam Bahasa Jepang Modern, 92 dalam Bahasa Jepang Klasik, 96 dalam Matematika I, 92 dalam Matematika II, 90 dalam Fisika, 82 dalam Kimia, 90 dalam Bahasa Inggris, dan 94 dalam Komunikasi Bahasa Inggris — semua total nilainya 820. Setelah mendengar semuanya, aku hanya bisa mengucapkan kata 'Ohh'  di hadapan orang cerdas tingkat jenius ini.

“Bukannya itu luar biasa? Kamu mendapatkan nilai 90 di hampir semua mata pelajaran. ”

“Aku hanya tahu bagaimana pendapat kebanyakan orang.”

“Aku tidak berpikir hanya itu saja. Sekolah kita saja sudah termasuk sekolah yang cukup bergengsi, sekolah yang khusus mempersiapkan para muridnya untuk masuk universitas, yang mana membuat ujian di sekolah kita jauh lebih sulit ketimbang sekolah lainnya di sekitaran sini. Kamu bahkan aktif di klub bisbol, dan hobimu adalah menonton anime. Jenis cheat macam apa yang kamu gunakan untuk memberimu waktu untuk belajar dan mendapatkan nilai setinggi itu? ”

“Aku tidak menggunakan apa-apa, kok.”

Tentu saja, aku tahu kalau Ia tidak  menggunakan cheat atau semacamnya, tapi aku ingin tahu apa Ia punya semacam teknik rahasia yang dapat aku gunakan. Jika Maru mengetahui beberapa metode yang mudah untuk meningkatkan efisiensi belajar seseorang, dan jika Ia dapat memberitahuku tentang hal itu, aku dapat membantu Ayase-san… Namun, mana mungkin dunia ini bakal semudah itu.

Adapun Maru, Ia sepertinya sudah menebak apa yang sedang kupikirkan. Ia menatapku dengan tatapan tajam melalui lensa kacamatanya. Ia kemudian menghela nafas, seperti orang bijak yang dengan acuh tak acuh menjawab pertanyaan orang yang penasaran.

“Tapi ada satu faktor utama untuk kesuksesanku.”

“Apa itu?”

“Premis utamanya adalah aku tidur sebentar.”

“Tubuhmu memungkinkanmu untuk merasa sehat dan terjaga meski kamu hanya bisa tidur sebentar, ‘kan? Aku ingat kamu pernah memberitahuku tentang itu.”

“Kurang lebih begitu. Tapi aku sudah seperti ini sejak aku bisa mengingatnya. Karena hal itu cukup banyak ditentukan oleh genku, aku tidak dapat merekomendasikannya kepada orang lain.”

“Jangan berpikir ada yang bisa menyalinnya, ya… Tunggu, kamu memberikan rekomendasi?”

“Kamu ingin tahu tentang trik belajarku, ‘kan?”

“Tingkat kepekaanmu terlalu menakutkan.”

“Haha, itu sudah jelas.” Atau begitulah kata cenayang pembaca pikiran dengan senyum damai.

Inilah sebabnya mengapa catcher dari klub bisbol semuanya aneh… Yang merupakan prasangka yang sangat buruk, aku tahu itu.

“Yah, sepertinya percuma juga menyembunyikan sesuatu darimu, jadi aku akan jujur. Aku sebenarnya sedang mencari cara untuk meningkatkan efisiensi belajarku. Tapi metode yang hanya berhasil untuk orang jenius tak akan banyak membantuku.”

“Jangan langsung mengambil kesimpulan seperti itu, Nak Asamura. Di sinilah hal yang sebenarnya dimulai.” Kata Maru dengan arogan. Ia mengeluarkan smartphone-nya, menjalankan aplikasi musik.

“Musik?”

“Yup. Ini adalah teknik rahasiaku untuk bisa fokus. Salah satu tindakan super-mudah yang sangat kamu inginkan.”

“Kedengarannya seperti peregangan.”

“Ini sangat membantu, tahu? Manusia bertindak sesuai dengan kebiasaannya. Ketika aku mendengarkan musik ini, sel-sel otakku menyuruhku untuk belajar, dan jika aku memegang pena, tanganku tak mau berhenti sampai aku merasa puas atau lelah. Melewatkan belajar membuatku merasa gelisah. ”

“Begitu rupanya ... jadi ini mirip seperti menyugesti diri sendiri, semacam life hack begitu. Aku rasa musik santai dan situasi lingkungan benar-benar memiliki efek yang menguntungkan.”

“Tergantung orangnya juga. Secara pribadi, aku paling fokus saat mendengarkan musik klub atau heavy metal. ”

“Aku rasa itu tidak akan berhasil untuk kebanyakan orang ...”

“Setiap orang punya tipe BGM mereka sendiri yang mereka gunakan saat mencoba untuk fokus. Kamu tinggal mencari apa yang paling cocok untukmu, Asamura. ”

“Apa? … Ah, ya. Aku akan mencari apa yang cocok untukku.” Aku terkejut sesaat, tetapi aku masih bisa memberikan respon yang normal.

Aku rasa bahkan penangkap yang tajam dan tanggap dari klub bisbol tidak akan mengira bahwa aku sebenarnya menanyakan ini demi Ayase-san, dan bukan demi aku sendiri. Namun, menggunakan semacam BGM saat belajar kemungkinan besar sudah dipikirkan sendiri oleh Ayase-san, jadi aku ragu memberitahunya tentang hal itu akan ada gunanya baginya. Ini, pada akhirnya, hanyalah titik awal.

Demi Ayase-san, aku perlu mengumpulkan lebih banyak informasi. Sambil menguatkan tekad mentalku untuk melakukannya, aku memberikan jawaban yang ambigu kepada teman baikku yang terus bercerita tentang betapa hebatnya 'Project DJ Mic'.

Aku baru ingat, kira-kira berapa nilai pasti yang Ayase-san dapat di pelajaran bahasa Jepang Modern? Begitu aku sampai di pintu depan apartemenku dan tanganku sudah meraih kenop pintu, pertanyaan tersebut muncul di benakku. Namun, aku segera membuang jauh-jauh pemikiran itu. Bukannya aku tidak penasaran dengan hasilnya, tapi memaksakan rasa ingin tahuku padanya merupakan tindakan yang kurang sopan. Begitu Ayase-san memutuskan untuk memberitahuku, terlebih lagi ingin memberitahuku, itulah saatnya aku mendengarkan.

“Aku pulang.” Usai membuka pintu dan melihat sepasang sepatu di pintu masuk, yang menunjukkan kalau ada seseorang di rumah sebelum aku, aku mulai meninggikan suaraku.

Karena aku sedang tida ada shift kerja hari ini, dan juga tidak mengambil jalan memutar dalam perjalanan pulang, kupikir aku sudah pulang dengan cukup cepat, tapi ternyata  Ayase-san jauh lebih cepat dariku. Aku ingin tahu apa jam pelajaran wali kelasnya berakhir lebih cepat dariku atau dia bergegas pulang. Mau tak mau aku tersenyum sendiri saat membayangkan Ayase-san setengah berlari dalam perjalanan pulang.

Karena aku tidak perlu khawatir mengenai pekerjaan sambilanku, aku segera menuju ke kamarku sendiri dan berniat mulai mencari musik BGM bagus ketika pintu di lorong yang baru saja aku lewati beberapa detik yang lalu terbuka. Ketika aku berbalik, aku melihat saudari tiriku buru-buru bergegas ke arahku.

“Asamura-kun.”

“Uh, aku pulang? Ayase-san, apa ada yang salah? ” Aku dibuat gelagapan saat Ayase-san berjalan ke arahku begitu dekat sampai-sampai wajah kami hanya berjarak sejengkal tangan.

Matanya yang indah tepat berada di hadapanku. Wajahnya, yang begitu mempesona hingga terlihat seperti buatan tangan pemahat profesional, membuatku langsung tegang.

“Tolong ajari aku Bahasa Jepang Modern.”

“Yang benar saja.” Ucapku . Dia berbicara dengan ekspresi tenangnya yang biasa, tapi ada rasa keraguan dalam suaranya. Aku mendapati diriku melontarkan respons itu secara refleks.

Bukannya aku meragukan keseriusannya. Justru  sebaliknya, aku butuh waktu sedetik untuk mencari tahu makna di balik apa yang dia katakan, dan kenyataan apa yang tidak terduga dan kemustahilan yang ada di balik kebenaran ini. Akibatnya, reaksi yang sangat tercengang keluar dari mulutku. Dugaanku melebih dari harapanku, jadi aku bertanya kepadanya tentang hal itu. Aku menilai kalau terlalu berbelit-belit sangatlah tidak sopan, jadi aku bertanya langsung padanya.

“Berapa nilai yang kamu dapatkan?”

“38.”

“Itu sih… nilai yang cukup parah.”

“Aku merasa kalau akan begini jadinya. Aku tidak pernah pandai dalam bahasa Jepang Modern, jadi aku menyadari kalau nilaiku bakal jelek begini.”

“Padahal ‘kan kamu punya nilai yang bagus di semua mata pelajaran lainnya? Tapi memang sih, tidak ada orang yang pandai dalam segala hal.”

“Aku bahkan tidak dapat memahami bagaimana perasaan karakter yang muncul dalam cerita.” Tuturnya sembari mengalihkan pandangannya.

Mau tak mau aku berkedip kebingungan ketika dia mengatakan ini.

“Karena bahasa Jepang Modern memintamu untuk menentukan arti kalimat dan menjawab pertanyaan tentangnya, kurasa kamu tidak perlu memahami perasaan karakter segala?”

“Untuk novel, makna dari kalimat pada dasarnya sama dengan perasaan para karakter yang muncul di dalamnya, ‘kan? … Yah, aku sadar bahwa aku terpaku pada bagian yang bahkan tidak relevan. ”

“Meski begitu, aku tidak dapat memahami bagaimana kamu bisa mengalami kesulitan seperti itu. Kamu selalu perhatian kepada orang lain.”

“Memangnya aku terlihat seperti itu?”

“Ya, setidaknya itulah menurut pandanganku. Kamu memahami pendirianku, pendapatku, dan mencoba menyesuaikan diri. ”

“Justru kebalikannya, Asamura-kun.”

“Kebalikannya?”

“Aku tidak mengerti perasaan orang lain, jadi aku perlu menyesuaikan diri dengan mereka.”

“… Kurasa itu masuk akal.”

Seperti yang pernah aku ungkit sebelumnya, aku merasa itu merepotkan dan sangat sulit untuk berurusan dengan orang yang tiba-tiba berubah mood dan memintaku untuk peka bagaimana perasaan mereka. Semua kesimpulan itu berkat menyaksikan Ayahku yang dipermainkan berkali-kali. Aku mendapati diriku selalu menebak niat orang lain. Mengikuti jenis komunikasi yang tidak pasti ini mirip seperti lemparan dadu dengan 10% kemungkinan bahwa kamu benar-benar merusak hubunganmu. Itu hanya permainan yang mutlak berdasarkan pada keberuntungan.

Itulah kenapa aku merasa sangat lega ketika Ayase-san mengusulkan kalau kita  'jangan berharap satu sama lain, hanya tinggal bersama sambil menyesuaikan satu sama lain'. Kami berdua akan segera mengungkapkan perasaan jujur ​​kami, seperti bermain permainan kartu dengan kedua tangan terlihat. Dengan memainkan setiap kartu secara bergantian, kita dapat melanjutkan permainan kartu ini selamanya tanpa pernah menyakiti satu sama lain.

Meski ini jelas merupakan bentuk pertimbangan bagi orang lain, jika kamu melihat keadaan dari sisi lain, tindakan itu hanyalah strategi yang kaku dan menuntut untuk mencoba menggunakan kata-kata yang rapuh untuk memuaskan mereka.

“Sejujurnya, ini mungkin sangat buruk. Aku tahu itu akan sulit, tapi itu jauh lebih buruk dari yang aku duga.”

“Nilai 38, ya…? Bukannya nilai KKM Bahasa Jepang Modern adalah 40 atau lebih rendah?”

“Benar. Ada ujian susulan di tanggal 21, tepat sebelum liburan musim panas. Jika aku tidak bisa lulus dengan nilai lebih dari 80, aku harus mengikuti jam pelajaran tambahan selama liburan musim panas.”

“Pelajaran tambahan yang tidak relevan untuk ujian masuk universitas ... Itu sih sesuatu yang ingin aku hindari.”

“Memang. Itulah sebabnya aku ingin lulus ujian susulan apapun yang terjadi. Asamura-kun, kamu pandai dalam pelajaran Bahasa Jepang Modern, ‘kan? ”

“Berkat hobiku yang membaca buku, ya… Jadi itu sebabnya kamu ingin aku mengajarimu?”

“Apa itu terlalu banyak menuntut?”

“Tentu saja tidak. Aku masih berhutang budi untuk semua yang sudah kamu lakukan, jadi aku ingin membalas budi.”

“Syukurlah.” Ayase-san mulai tersenyum lega.

Aku bisa melihat ketegangan menghilang dari bahunya, dan hanya mengucapkan kalimat singkat, “Kalau begitu, aku akan menunggu di ruang tamu,” dan melangkah keluar dari kamarku. Mau tak mau aku berpikir Ya,memang beginilah dirinya. Ketimbang kehilangan ketenangannya dan merajuk di tempat tidur tanpa memberi tahu siapa-siapa, dia secara aktif mencoba memperbaiki situasi, dan bertindak sesuai situasi tersebut.

… Tapi itulah sebebnya aku diganggu oleh perasaan tidak nyaman. Kenapa dia mengabaikan masalah ini sampai sekarang, padahal itu pasti akan menimbulkan masalah baginya, meski dia biasanya berada di garis depan bila berkaitan dengan mencoba memperbaiki dirinya sendiri sebelumnya. Keraguan ini tetap melekat di benakku, tetapi aku segera menyadari kalau aku sedang membuang-buang waktu. Jadi aku segera meninggalkan barang-barang sekolah di meja belajarku, dan hanya membawa alat tulis serta smartphone-ku, kemudian melangkah keluar dari kamarku.

Saat memasuki ruang tamu, aku langsung melihat Ayase-san duduk di kursi meja makan yang dikelilingi buku pelajaran dan catatan. Bahkan ada lembar jawaban yang nyaris tidak terbuka di depannya. Dia memegang pena di tangan kirinya, menatap benda-benda di depannya. Sebagai info tambahan, dan aku mendengar ini dari orangnya sendiri, tapi Ayase-san sebenarnya orang kidal. Sebagai hasil dari didikan orang tuanya, dia akhirnya memegang sumpit dengan tangan kanannya, tapi karena dia sudah terbiasa menulis dengan tangan kirinya, jadi dia lebih sering menggunakan tangan kirinya ketimbang yang kanan.

Jika ini sejenis manga, dia akan mengundangku ke kamar tidurnya, dan semacam perkembangan yang erotis akan terjadi, tapi sayangnya ini adalah kenyataan. Itu adalah situasi yang sangat normal, dan Ayase-san hanya fokus pada masalah di depannya, yang memberitahuku bahwa bahkan memikirkan sesuatu yang lebih dari itu terjadi sama saja konyol. Setelah memikirkannya sejenak, aku akhirnya duduk di seberang meja, menghadap Ayase-san.

“Kamu tidak duduk di sampingku?” Ucapnya.

“Kupikir akan sedikit aneh jika aku melakukan itu.”

“Saat Ibu dan Ayahmu ada di rumah, kita selalu duduk bersebelahan, ‘kan?”

“Aku merasa situasi yang itu benar-benar berbeda jika kamu membandingkannya dengan yang satu ini.”

“Benarkah?”

“Benar,” jawabku tanpa ragu dan sebenarnya cukup yakin akan hal itu. Tetapi ketika aku melihat ekspresinya yang kosong dan datar, aku mulai ragu.

Aku mencoba untuk menjadi perhatian, menunjukkan kepadanya bahwa aku tak akan menggunakan kesempatan ini untuk membayangkan ide atau fantasi yang tidak senonoh, tapi mungkin aku hanya bersikap tidak pengertian dalam prosesnya. Aku pikir kalau tidak menunjukkan kesadaran atau kepekaan bahwa dia anggota lawan jenis merupakan pilihan yang terbaik, tapi orangnya sendiri  terlalu menarik bila menurut pendapatku.

Tentu saja, aku tidak hanya mengoceh tentang ketertarikan pribadi, melainkan  sebuah kenyataan berdasarkan diskusi yang obyektif. Terlepas dari semua gosip jelek yang beredar di sekitar sekolah, nyatanya masih banyak anak cowok yang menembaknya tanpa kenal rasa takut. Dari fakta ini saja sudah menjadi bukti yang cukup untuk membenarkan kesimpulanku.

Kenangan pada bulan lalu masih segar di benakku. Dia sampai pada kesimpulan yang agak aneh sambil mempertimbangkan secara rasional cara untuk mendapatkan uang dengan cepat dan mudah. Penampilannya yang mendekatiku sambil tidak mengenakan sehelai kain selain pakaian dalamnya kadang-kadang masih terbayang di kepalaku.

Secara alami, selama kehidupan sehari-hariku, terutama jika ada dia, aku tidak terlalu menyadarinya (karena jika aku terus memikirkannya 24/7, aku tidak jauh berbeda dengan dari seekor kera yang didorong oleh nafsu duniawi), tapi ketika itu hanya kami berdua di saat-saat seperti ini, dan jarak kami menyusut melampaui ambang tertentu, kenangan di malam itu masih datang begitu saja. Aku tidak bisa menahannya.

“Hei, meski sudah berjanji untuk melupakannya, kenapa masih memikirkannya?”

“Hah, benarkah?” Sepertinya pikiranku sedang dibaca oleh Ayase-san, dan aku membalasnya dengan sedikit terkejut.

Aku tidak ingat pernah menjanjikan apa pun. Aku hanya bersumpah pada diriku sendiri bahwa aku akan berusaha sebaik mungkin untuk melupakannya, tapi Ayase-san seharusnya tidak tahu apa-apa mengenai itu. Merasa ada yang tidak beres, aku melirik Ayase-san yang menatapku dengan tatapan bingung.

“Tentu saja. Lagipula, secara keseluruhan itu cukup pendek dan mendadak, jadi mungkin agak sulit untuk diingat.”

“Maaf, Ayase-san. Aku tidak tahu apa yang sedang kamu bicarakan.”

“Kuatkan dirimu. Kamu pandai pelajaran bahasa Jepang Modern. Benar ‘kan, Asamura-sensei? ”

Saat dia bilang begitu, aku menyadari kalau dia sedang menunjuk pada bagian tertentu dari lembar pertanyaan di depannya, yang membuatku mengerti apa yang sedang terjadi.

“…Begitu ya. Topiknya sudah berubah tanpa aku sadari.”

“Tidak juga, kok? Aku sudah mencoba menjawab pertanyaan ini sepanjang waktu.”

“Maaf, aku melamun terus tadi. Baiklah, bagaimana kalau kita mulai sekarang?”

Sepertinya dia sudah mulai belajar. Dia tidak mencemoohku karena mengingat kenangan tidak senonoh yang memenuhi kepalaku, tapi malah bertanya mengenai sebagian dari pertanyaan yang tidak dia pahami.

“Terima kasih. Lalu, untuk pertanyaan ini… ”

“Ah, tunggu sebentar. Aku ingin memulainya dengan mengusulkan cara lain untuk belajar. Boleh aku melakukan itu? ” tanyaku.

“Tentu saja. Apapun yang akan membantu meningkatkan nilaiku akan sangat disambut.”

“Baiklah, aku ingin memeriksa bagian mana dari Bahasa Jepang Modern yang membuatmu kesulitan. Boleh aku melihat pertanyaan dan lembar jawabanmu? ”

“Ya. Ini silahkan saja.” Ayase-san menyodorkan lembaran kertas itu tanpa ragu-ragu.

Dibandingkan dengan penampilan luarnya yang terlihat seperti anak nakal karena berambut pirang dan tindik telinga, dia sebenarnya adalah murid yang jujur ​​dan sopan. Melihat kertas dengan angka '38' besar di atasnya benar-benar pemandangan yang luar biasa. Aku tidak boleh berprasangka buruk karena kurangnya pemahaman, kurangnya kemampuan, atau kurangnya usaha. Aku percaya bahwa pasti ada penjelasan yang jauh lebih mendalam tentang mengapa dia tidak bisa mendapatkan poin yang biasanya dia dapatkan, itulah sebabnya aku mencari-cari setiap rincian jawabannya untuk menemukan alasan ini. Dan kemudian aku menemukannya.

“Kamu tidak ada masalah dalam hal pemahaman bacaan dan kanji yang digunakan dalam makalah dan artikel. Kamu kehilangan poin terbanyak dalam hal pemahaman bacaan di novel.”

“… Ya, itulah yang membuatku kesulitan.”

“Ini mungkin pertama kalinya kamu benar-benar mendapat nilai kecil seperti ini, ‘kan? Karena pembagian nilainya lebih ditekankan pada pemahaman bacaan novel.”

“Benar. Tapi, aku sudah mengetahui hal itu.” Tuturnya sambil mengangkat bahu. “Aku tidak bisa menemukan cara untuk menjawabnya.”

“Akurasimu dalam hal jawaban yang benar lebih tinggi di awal saat mengerjakan makalah dan artikel, tapi ada dua pertanyaan terkait novel di akhir, ketika ada pertanyaan makalah lain, kamu membiarkannya kosong. Apa itu karena kamu menghabiskan seluruh waktumu untuk pertanyaan-pertanyaan yang berkaitan dengan novel? ”

“Cara berbicaramu mengatakan seolah-olah kamu ada di sana ketika itu terjadi.”

“Jadi, apa yang aku katakan salah?”

“Justru tepat sasaran. Rasanya seperti kamu menebar garam di tempat yang terluka, dan membuatku sedikit gelisah.”

Aku bisa melihat sedikit dari itu meski ekspresinya masih datar.

“Maaf, kurasa cara bicaraku tidak sensitif.”

“Kamu dimaafkan. Namun, aku sendiri yang memintamu untuk mengajariku, dan kamu serius tentang hal itu, jadi aku tidak boleh merajuk seperti itu. Aku minta maaf.”

“Semuanya baik-baik saja, sekarang kita impas.”

Kami berdua masih menepati janji yang kami sepakati saat baru saja menjadi sebuah keluarga. Jangan mengabaikan apapun, jangan bertele-tele, cukup menyesuaikan untuk segera memperbaiki kesalahan. Itulah hubungan yang selama ini kami bangun. Kami tidak menunjukkan perubahan emosi kami hanya dengan ekspresi wajah saja, kami langsung menjelaskan emosi atau situasi yang tidak menyenangkan, yang mana membuatnya sangat mudah untuk kami berdua.

“Dan masalah terbesar ialah novel 'Sanshiro' karya Natsume Sōseki. Kamu tidak bisa menjawab satu pertanyaan pun yang terkait dengan novel itu, dan bahkan membiarkan banyak jawaban kosong setelahnya.”

“Kamu benar…”

“Kamu tidak menyadarinya?”

“Aku terlalu sibuk untuk mencoba menjawab pertanyaan itu. Aku ingat kalau pertanyaan seperti itu jauh lebih sulit dan lebih sulit dijawab ketimbang pertanyaan lainnya.”

“Jadi, kamu tidak menyadari kalau yang ini bagian kritisnya, ya.”

Yang namanya ujian tidak jauh berbeda dengan membangun ritme saat memecahkan masalah. Selama kamu adalah manusia yang bekerja dengan tangan, kondisi mentalmu dapat memengaruhi hasilmu secara drastis. Jika kamu mampu memecahkan masalah, otak mu dalam keadaan gembira, tanganmu mulai bergerak lebih cepat, dan tentu saja, pulpenmu berjalan leluasa di atas kertas.

Di sisi lain, jika kamu terhenti di satu bagian, tanganmu juga ikutan berhenti, begitu pula otak dan proses berpikirmu, yang kemudian menyebabkan serbuan stres, dan stres ini menyebabkan jatuhnya kemampuanmu untuk berpikir rasional. Dengan kata lain, demi mencapai hasil terbaik dalam ujian dan tes, kamu harus menstabilkan kondisi mentalmu sendiri dan menyelesaikan pertanyaan dan masalah tanpa keluar dari ritmemu.

—Setidaknya itulah yang pernah aku baca di buku. Karena aku begitu mudah terpengaruh, aku selalu mengerjakan ujian persis seperti yang dikatakan buku itu kepadaku. Aku mengkategorikan masalah yang bisa aku selesaikan segera, masalah yang akan memakan sedikit waktu berpikir, dan masalah yang harus banyak aku pikirkan, lalu aku menciptakan ritme yang nyaman saat mengerjakan lembar pertanyaan.

“Karena Ayase-san orang yang berpikiran logis dan punya otak encer, kupikir kecuali kamu tidak sepenuhnya memahami pertanyaan atau masalah, kamu mungkin akan merasa tidak nyaman. Kamu mampu mengatasi pertanyaan yang dapat kamu jawab dengan mudah, tapi kamu juga terpaku pada pertanyaan lain selamanya. ”

Jika asumsi ini benar, maka itu bisa menjelaskan mengapa dia seburuk ini dalam pelajaran bahasa Jepang Modern tanpa harus memperbaiki atau mengoreksi apa pun. Isi kepalanya menilai kalau dia mencoba menyelesaikan masalah dengan cara yang benar, dan proses berpikir itu merupakan kesalahan fatal.

“Begitu rupanya.” Ayase-san mengangguk. “Ketika berbicara tentang mata pelajaran lain, aku merasa seperti tanpa sadar bisa memecahkan pertanyaan secara instan.”

“Pada dasarnya, ketika berbicara tentang bahasa Jepang Modern, dan khususnya menganalisis novel, ada alasan mengapa kamu tidak dapat menghadapinya.”

“Alasan,…”

“Jika kita bisa menemukan alasan itu, kita dapat memikirkan cara untuk menghadapinya. Pertama, mari kita lihat 'Sanshirō' dan coba cari tahu apa masalahnya.”

Aku memeriksa bagian yang mereka gunakan dalam ujian. Karena membuat keseluruhan buku menjadi pertanyaan akan terlalu banyak menuntut kepada siswa, pihak sekolah hanya menanyakan pertanyaan tentang kutipan tertentu dari 'Sanshirō'. Dalam semua karya penulis terkenal Era Meiji, Natsume Sōseki,  punya sentuhan yang sangat kuat dari novel romantis, yang membuatnya terkenal sebagai salah satu novel yang lebih mudah dibaca oleh murid SMA jaman sekarang.

Bahkan bagi orang-orang yang tidak terlalu tertarik dengan sastra, karena sastra berurusan dengan masalah yang ada di masyarakat dan kenyataan sebagai panggungnya, simpati adalah yang membuatnya menonjol. Kamu bisa menyebutnya sebagai drama trendi pada saat ditulis. Pada intinya, ini tidak jauh berbeda dari novel romansa modern.

Jika ingin tahu apa yang membedakannya, maka itu terletak pada penerimaan dan ketulusan terhadap waktu penulisannya, yang membuatnya bahkan diterima sebagai bahan yang digunakan untuk studi sejarah, ke tingkat di mana bahkan masalah yang terkait dengannya telah diimplementasikan ke buku paket pelajaran, dan itu digunakan sebagai novel pendidikan. Tentu saja, contohnya bukan cuma itu saja, tapi menjadi novel pendidikan merupakan prestasi besar dalam dunia sastra. Sejujurnya, patut dihormati.

“Sejujurnya, itu cukup sulit. Meski semua orang lain dari kelasku tidak mengalami masalah dalam menjawabnya dari apa yang bisa aku lihat. ”

“Isi novel 'Sanshirō' cukup maju, dan inilah yang membedakan kebebasan seseorang dalam cinta dengan norma cinta pada saat itu yang lebih condong ke pernikahan politik. Pada saat novel itu ditulis, pandangan tersebut masih merupakan pandangan baru tentang cinta, tapi orang-orang di jaman sekarang menemukan banyak aspek di dalamnya yang mudah dipahami. ”

“Benarkah? … Aku ingin tahu apanya yang begitu mudah dimengerti.” Itu pasti gerakan yang tanpa disadari, saat Ayase-san dengan lembut menggigit jarinya.

“Menurutku akan lebih cepat jika kamu mencoba menjelaskan dengan kata-kata apa yang sebenarnya tidak kamu mengerti, Ayase-san. Bagian mana yang menurutmu susah?”

“Apa yang dipikirkan oleh protagonis Sanshirō, dan apa yang dipikirkan oleh karakter wanita utama, Mineko. Jangankan pikiran mereka, aku tidak dapat memahami mengapa mereka bertindak seperti itu.”

“Sebagai permulaan, kamu tahu kalau Sanshiro menyukai Mineko, ‘kan?”

“Benarkah?” Ayase-san berkedip padaku dengan bingung.

Dia sepertinya benar-benar tidak menduga hal itu, tapi seharusnya akulah yang membuat ekspresi itu sekarang. Aku cukup yakin kalau bahkan tanpa banyak pengalaman membaca seperti aku, orang normal pun bisa mengetahuinya dengan membaca santai. Terutama seorang gadis seperti dia yang nilainya bahkan melebihiku dalam semua mata pelajaran lain kecuali Jepang Modern. Ini terlalu tidak wajar.

“Jika kamu kesulitan di sana, hal itu membuat segalanya menjadi lebih rumit. Hmm… Bagaimana aku harus menjelaskannya? ”

“Perasaan ... Pada dasarnya, dia menyukainya dalam artian romantis, ‘kan?”

“Benar. Meski tulisannya sedikit metafora dan di luar penggambaran, pementasannya lebih besar dari yang sebenarnya. Lihat saja saat pria lain mendekati tokoh utama wanita. Kamu dapat menyimpulkan kalau si protagonis cemburu, ‘kan?”

“Cemburu ... Jadi Ia benci melihat Mineko berbicara dengan pria lain?”

“Setidaknya begitulah menurutku.”

“Tapi si protagonis tidak menyuruhnya berhenti, ‘kan? Ia bisa saja memberitahu kalau Ia tidak suka melihatnya berbicara dengan pria lain.”

“Yah, dia punya kepribadian minder dan canggung yang tidak memungkinkan dia melakukan itu. Selain itu, saat kamu berbicara dengan orang yang kamu sukai, menurutku rintangan psikologis dan kelelahannya jauh lebih besar. ”

“Menyembunyikan perasaan jujurmu tanpa pernah mengatakannya… Aku tidak begitu mengerti. Mungkin karena aku tidak pernah mengalaminya sama sekali.”

“Bayangkan situasi di mana kamu tidak bisa mengungkapkan perasaan jujurmu secara terbuka. Seperti perasaanmu untuk cinta pertamamu. Apa kamu pernah mengalami saat hatimu berdetak tidak karuan karena perasaan romantis sehingga kamu tidak dapat menemukan kata yang tepat untuk diucapkan?”

“Tidak. Aku bahkan tidak punya pengalaman merasakan cinta.”

“Begitu ya…”

“Bagaimana denganmu, Asamura-kun?”

“... Sekarang setelah kamu mengungkitnya, kupikir aku juga sama.”

Lebih tepatnya, sebelum aku bisa memahami dengan benar mengenai cinta, aku mendengar kalau aku pernah melamar guru TK-ku. Namun, itulah yang dikatakan Ayahku, jadi entah itu beneran terjadi atau tidak, masih diperdebatkan. Jadi, aku tidak akan menghitungnya. Setelah masuk SD, di mana aku masih memiliki beberapa hal yang dapat aku ingat, satu-satunya hal yang aku ingat hanyalah melihat kedua orang tuaku sering bertengkar, yang mana membuatku tidak pernah benar-benar bermimpi memiliki hubungan romantis dengan seorang gadis yang bisa mengarah pada jenjang pernikahan dan membangun keluarga.

“Hmm, jadi tidak pernah, ya.”

“…Apa itu buruk?”

“Tidak juga. Aku hanya berpikir, jika kamu tidak punya pengalaman dalam cinta seperti aku, itu mungkin menjelaskan bahwa ini sama sekali tidak ada hubungannya dengan nilaiku dalam bahasa Jepang Modern. ”

“Ya, sangat aneh memikirkan di mana ada perbedaan di antara kita.”

Mungkin itu hanya kecenderunganku dalam otaku? Aku tidak pernah ingat membayangkan pacaran dengan seorang gadis di dunia nyata, tapi berpikir kalau heroine dari manga atau novel yang aku baca, bahkan anime yang aku tonton, cukup imut dan menawan adalah sesuatu yang wajar bagiku. Sepertinya aku mengimbangi kurangnya pengalaman realistisku dengan pengalaman fiksi.

Oleh karena itu, aku merasa kalau itu akan menjadi hipotesis yang beralasan untuk berasumsi bahwa pengetahuan yang terkumpul ini mengarah pada kemampuanku yang lebih besar untuk memahami penggambaran perasaan romantis di media tertentu. Meski begitu, kesimpulan ini tidak akan membantuku dalam meningkatkan kemampuan belajar Ayase-san ke tingkat yang memungkinkan ujian tambahan. Sebaliknya, jika aku mengatakan ini padanya, itu akan membuatku gagal menjadi guru privatnya. Satu-satunya pilihan yang bisa kulakukan hanyalah menemukan metode konstruktif supaya da membuat kemajuan.

“Kalau begitu, mending menyerah untuk memahami emosi mereka. Jika kamu tidak bisa mengetahui emosi mereka, maka tidak ada gunanya membuang-buang waktu.”

“Jadi apa, kita akan mulai menebak-nebak secara acak?”

“Tidak juga. Konfirmasikan isi dari apa yang tertulis di kertas sebagai aliran informasi tunggal, dan jawab secara terstruktur. Pada dasarnya, kamu harus mengubah persepsimu mengenai hal itu.”

“Mengubah persepsiku? Kenapa?”

“Karena jika kamu memaksakan diri saat dihadapkan pada pertanyaan yang mengharuskanmu membaca dan memahami hati manusia, kamu akan berakhir dalam masalah. Bandingkan dengan matematika, di mana kamu bisa menerapkan rumus matematika untuk menyelesaikan soal, mengerjakannya seperti teka-teki. Ayase-san, kamu mendapatkan nilai yang cukup bagus di pelajaran Sejarah, ‘kan? Jadi, kamu pasti sedikit mengetahui tentang itu?”

“Yah, kurang lebih sih. Kamu hanya perlu mempelajari semuanya dengan hati. Ada juga beberapa bagian yang sangat menarik.”

“Masalahnya, jika kamu menarik benang kontekstual pada latar belakang sejarah yang tertulis dalam karya-karya Jepang Modern, dan mengaitkan keduanya, maka mungkin lebih mudah untuk memahami apa sebenarnya yang tertulis di dalamnya. Bila kamu pandai dalam sejarah, dan menciptakan hubungan logis di antara keduanya, kamu menanamkan dalam dirimu cara berpikir yang menguntungkan proses ini, dan mungkin saja dapat memahami apa yang ditanyakan di lembar soal itu.”

Tentu saja, itu jauh lebih mudah diucapkan daripada dilakukan. Namun, mengingat statistik dan spesifikasi dasarnya, kemungkinan ini patut dipertimbangkan.

“Ya, metode itu mungkin lebih cocok untukku.”

“Untuk saat ini, ayo berlatih dengan novel Sanshiro. Aku tidak tahu apakah soalnya akan menggunakan Sanshiro lagi untuk ujian susulan, tetapi pertanyaan dan jumlah keseluruhannya pasti mengikuti pola yang sama, jadi jika kamu memiliki cara sendiri untuk mengatasi masalah ini, kamu pasti bisa mengerjakannya dengan lancar.”

“… Apa aku beneran bisa melakukannya?” Dia berbicara dengan nada acuh tak acuh, tapi aku bisa merasakan keraguan dalam suaranya.

Aku seharusnya bisa mengatakan ini karena aku sudah lebih baik dalam memahami dirinya, jadi begitu dia mengatakan itu, dia jelas menunjukkan kecemasan. Tentu saja, itu masuk akal, karena dia selalu sadar bahwa ini adalah salah satu mata pelajarannya yang paling tidak bisa dia tangani. Tapi pada saat yang sama, reaksi ini hanya menegaskan bahwa semuanya akan berhasil pada akhirnya.

Ayase-san tidak terlalu naif untuk berasumsi bahwa semuanya akan menguntungkannya hanya karena dia menemukan trik untuk mengatasi masalahnya. Sebaliknya, dia adalah tipe orang yang mengambil jalan memutar demi mencapai tujuan akhirnya.

“Kamu pasti bisa melakukannya, Ayase-san.”

“Ya. Aku akan percaya padamu, Asamura-kun, dan berusaha yang terbaik. ”

Tentu saja, tidak ada dasar maupun bukti apapun di sini. Namun, tidak ada keraguan atau komentar pedas sama sekali untuk dilihat dari reaksi Ayase-san. Sebaliknya, dia mengatakannya dengan bersungguh-sungguh, dan melanjutkan belajarnya untuk mencari latar belakang sejarah dan komentar tentang Sanshiro. Sekarang setelah rencana itu dijalankan, yang tersisa hanyalah mendorongnya.

Setelah itu, kekuatan konsentrasinya hampir membuatku tercengang. Dia tidak berkedip sekali pun, dia hanya melihat apapun yang berhubungan dengan Sanshirō seperti mesin yang mencari di internet. Yah, itu akan sedikit berlebihan, tapi dedikasinya membuatku membayangkan sesuatu seperti itu.

Saat dia sedang belajar, aku bangun dari kursi untuk menyiapkan minuman atau mencari sesuatu yang lain di smartphone-ku, namun dia tidak pernah melirikku sedikit pun. Dia hanya fokus pada tugas yang ada. Jika kamu berpikir tentang kejadian klise yang terjadi dalam fiksi, dimana ada seorang adik perempuan yang belum memahami dasar-dasarnya, dan selalu membuatmu kerepotan. Atau misalnya ada adik perempuan yang akan mulai memberimu sedikit layanan karena tidak bisa duduk diam untuk waktu yang lama. Tapi saudari tiri sejati di depanku saat ini dengan penuh semangat fokus pada belajarnya.

Meski begitu, walau tanpa perkembangan erotis seperti itu, aku cukup menikmati suasana tenang yang melayang di antara kami, karena aku hanya mendengarkan suara penanya menggaruk kertas.

Dan kesimpulannya — Metode belajar ini membuahkan hasil yang luar biasa. Setelah dia selesai meneliti semua informasi tentang Sanshirō yang bisa dia temukan, aku menanyakan pertanyaan yang sama dari ujian, dengan lembar soal di tangan, dan Ayase-san berhasil memberi aku jawaban setiap saat, semuanya benar. Dia memang gadis pintar. Begitu dia tahu bagaimana memecahkan masalah, dia segera melangkah maju dan melampauinya.

“Selamat. Jika kamu menggunakan metode yang sama pada semua novel yang menjadi bagian dari subjek, kamu tidak perlu takut sama sekali.”

“Terima kasih. Pengajaranmu sangat membantu.”

“…! Ah, yah, itu bukan masalah besar.”

Untuk sesaat, kepalaku menjadi kosong dan aku kembali menggunakan bahasa formal. Sudut mulutnya naik sedikit saat berterima kasih padaku, yang mana hal itu membuatku sedikit terkejut.

“Apa kamu baru saja tersenyum?”

“Entah. Aku sendiri tidak terlalu yakin.” Ayase-san mengangkat bahu, tampak sedikit bingung.

Ironisnya, gerakan misterius yang tidak dapat aku pahami asal mulanya sangat mirip dengan yang dilakukan oleh karakter wanita dalam novel Sanshirō. Sanshirō yang sama yang sudah membuat Ayase-san kesulitan sebelumnya.

 

 

<<=Sebelumnya  |  Daftar isi  |  Selanjutnya=>>

close

1 Komentar

Budayakan berkomentar supaya yang ngerjain project-nya tambah semangat

Lebih baru Lebih lama