Chapter 2 — Senang bertemu denganmu, Mea-san.
Pada hari itu, Aku meninggalkan
rumah bersama ayahku.
“Apa yang terjadi, Yah?”
“Kamu harus menunggu sampai
kita sampai di sana! Ha ha.”
Ia tertawa terbahak-bahak
seperti biasa, lalu menatapku dan menyeringai.
“Begitu ya…”
Seperti biasa, aku memperbaiki
poniku dan bersiap-siap.
Dalam situasi seperti ini,
seorang cowok sejati seharusnya tidak peduli dengan detail sepele.
Aku tidak punya pilihan selain
bersikap tenang, meski aku merasa gugup mengenai ke mana kita akan pergi.
Aku tidak pernah tahu apa yang
ada di pikirannya.
Karena…
“Ini adalah 'tugas' pertamamu untuk sekian lamanya.”
“Jadi tempat tujuan kita adalah
tugas pertamaku?.”
“… Yah, sesuatu seperti itu.”
Aku akan melakukan yang
terbaik.
Sejujurnya, keluargaku sedikit
berbeda dari keluarga pada umumnya.
Sejak aku masih kecil, ayahku
sudah memberiku berbagai “tugas” dari
waktu ke waktu.
Apa maksudnya dengan itu? aku akan
membahas hal itu lain kali.
Setiap kali aku diberi salah
satu tugas ini, aku selalu merasa gembira.
Aku merasa ingin menjadi
seperti ayahku, meskipun cuma sedikit.
Betul sekali. Ia adalah panutanku.
Aku selalu ingin menjadi seperti dirinya (kecuali
kepribadiannya).
Jadi, sejak aku masih kecil, aku
berusaha menjadi seorang pria… Dengan kata lain, aku mencoba menjadi lebih
tinggi…
Jika ayahku memberiku tugas, tak
peduli betapa sulitnya itu, aku akan berusaha menyelesaikannya.
(Apalagi,
lusa nanti, akhirnya aku akan menjadi siswa SMP.)
Siswa SMP sudah termasuk
dewasa. Setidaknya, satu tingkat lebih tinggi ketimbang anak SD.
Jadi, wajar saja, tugas dari
ayahku harus berada pada level yang berbeda dari sebelumnya.
Itu sebabnya aku menerima
tugasnya.
(Tidak
peduli apa tantangannya, aku akan mengatasinya dan menunjukkan kepadanya kalau
aku lebih baik dari sebelumnya…)
Aku berjalan sekitar 15 menit
sembari memikirkan hal itu.
“Baiklah, kita sudah sampai.
Sekarang ayo menuju ke kamar 201!”
Kami tiba di sebuah apartemen
baru.
Ia berjalan dengan ringan
melalui pintu masuk dan menaiki tangga.
Aku memeriksa area sekeliling
hanya untuk memastikan.
Tampaknya apartemen ini adalah
apartemen sederhana di daerah perumahan.
Tapi kamu tidak pernah tahu apa
yang ada di baliknya… Ayahku mungkin akan menanyakannya nanti. Yang terbaik
adalah memeriksa terlebih dahulu.
(Apakah
ada cukup ruang di dalam? Ada cukup banyak ruang dari bangunan di sekitarnya.)
Pasokan gas sudah terinstal.
Jaringan internet juga sudah terpasang (tertulis di papan nama penyewa). Hmm…
Begitu…
“Hei ~! Kuya, apa yang kamu
lakukan? Ayo cepat.”
“Ah maaf.”
Ayah memanggilku saat Ia
menuruni tangga, dan aku bergegas untuk menyusulnya.
“Maaf, aku tadi memeriksa
keadaan sekitar untuk memastikan.”
“Baiklah. Jadi, bagaimana
menurutmu? ”
“Kupikir Ayah ingin aku bertemu
seseorang yang tinggal di sini…?”
“Fu fu fu.”
Ia menyeringai. Kurasa dugaanku benar.
Bangunannya sendiri terlihat
biasa-biasa saja, jadi aku pikir mungkin akan seperti itu…
“Tidak, maksudku, apa kamu
menyukainya?”
“Eh?”
Apa yang Ia maksud dengan, “Apa kamu menyukainya…?”
“Yah, terserah. Mereka sudah
ada di sini, jadi ikutlah denganku.”
“Uh, ya.”
Di sini? Mereka sudah ada di
sini? Apa ini berarti operasi gabungan?
Aku penasaran, tapi Ayahku
tidak mengungkapkan lebih dari yang seharusnya.
Tanpa penjelasan lebih lanjut, aku
tidak punya pilihan selain mengikutinya.
Begitulah caraku sampai di
pintu kamar 201. Ayahku langsung memencet interkom.
“Iya…”
Suara yang menjawab terdengar
seperti suara pria paruh baya.
“Ah, Yoshitsugu? Ini aku.”
“Tunggu sebentar.”
Pintu kamar segera terbuka.
Ada seorang pria yang seumuran
dengan ayahku, pria kurus dengan alis keriput dan ekspresi menakutkan di
wajahnya.
Aku didorong maju oleh ayahku.
“Oh, jadi kamu yang namanya
Kuya-kun, ya. Masuklah.”
“Y-ya, permisi…”
Ia adalah pria yang menakutkan,
tidak hanya dari segi wajahnya tetapi juga dari segi auranya. Aku sedikit
cemas.
Tapi begitu aku melihat bagian
dalam ruangan, aku terpesona.
Tepatnya, kamar itu masih baru
dan berperabotan lengkap, seperti kamar hotel bintang lima.
“Ah… halo.”
Segera setelah aku masuk,
seorang gadis menyambutku.
Dia sangat cantik dan tampaknya
sedikit lebih tua dariku.
Mau tak mau aku jadi terpesona
karena kecantikannya. Sejujurnya, dia secantik selebriti atau idol yang ada di
TV.
Begitu tatapan mata kami
bertemu, aku hanya mengangguk sedikit.
Gerakannya yang elegan membuatnya seolah-olah
itu adalah tarian tradisional. Aku sempat mengira kalau dia adalah seorang
Ojou-sama dari keluarga ningrat.
Aku buru-buru membuang muka.
Atau lebih tepatnya, aku merasa malu jadi aku memalingkan mukaku.
Andai saja aku bisa sedikit —
lebih tinggi!
Karena dia tingginya hampir
sama denganku, atau sedikit lebih pendek.
Tapi seorang cowok harusnya
tidak boleh berkecil hati mengenai ini. Aku mengumpulkan semua keberanianku,
memasang ekspresi tenang, dan memperbaiki poniku sambil mengangkatnya.
“Halo, aku Nonomiya Kuya.”
Aku mengambil inisiatif dan
memperkenalkan diri.
Dan kemudian dia juga
membungkuk dan menjawab,
“Senang bertemu denganmu,
namaku Chitose Mea.”
Dia memiliki suara yang lembut,
layaknya suara lonceng angin yang berdering di musim panas.
(...
Dia benar-benar mirip Ojou-sama asli!)
Itulah perkenalan diri kami
yang singkat.
“Dan aku adalah Chitose
Yoshitsugu, ayah Mea dan teman lama ayahmu.”
“Ah, Senang bertemu dengan anda.”
Mana mungkin Ia bisa menjadi
ayah dari gadis secantik itu, karena wajahnya saja terlihat yang menakutkan.
Semakin aku memikirkannya…
semakin banyak pertanyaan yang muncul.
Apa yang sebenarnya terjadi
disini? Apa ayahku ingin aku bertemu orang-orang ini? Apa gunanya membiarkanku
menemui mereka? Dan apa-apaan dengan kamar apartemen ini?
Aku menoleh ke arah Ayahku dan
melihatnya mengangguk dengan senyum lebar sambil menyilangkan tangannya.
Dan ayah si gadis mengangguk
setuju.
Kemudian—
“Jadi, mulai hari ini, Kuya dan
Mea-chan adalah pengantin baru! Kalian berdua harus tinggal bersama di sini
mulai sekarang! ”
“……………………………Haa?”
Tidak, semua pertanyaanku tadi
memang sudah terjawab. Tapi sekarang aku punya pertanyaan paling besar! - Apa yang sedang terjadi…?
Sementara aku masih kebingungan
dengan situasi ini, Ayahku dengan suasana hati yang sangat baik berkata, “Aku
selalu mengatakan kalau kita harus menikahi kalian berdua di masa depan ~
Yoshitsugu!”
Sedangkan di sisi lain, ayah si
gadis memasang ekspresi getir.
“Aku yakin kamu pernah
mendengar tentang apa yang disebut calon mempelai wanita…”
Seorang pengantin wanita?
Seperti tunangan?
Apa hal semacam itu mungkin
masih berlaku di jaman sekarang? Apalgi pasanganku adalah gadis muda yang manis
dan menggemaskan.
“Tapi tetap saja, bukannya ini
terlalu cepat, Touya?”
Wajah ayah si gadis menjadi
semakin pahit.
Rupanya, Ia tidak senang dengan
perkembangan ini.
“Tidak ... tidak, ayah.”
Tapi putrinya… Gadis yang akan
menjadi istriku membantah perkataannya.
Dia menata rambut panjangnya
yang indah dan berkata,
“Kita akan masuk SMP lusa nanti.
Itu artinya kami sudah cukup dewasa.”
Dia terlihat dewasa, tapi… dia
seumuran denganku. Dan dia tampaknya agak antusias dengan perkembangan ini.
“Meski kamu bilang begitu, Mea…”
“Kamu benar Mea-chan. Kamu
sudah SMP! ”
Ayahnya tampak semakin getir saat
mendengar kata-kata putrinya, tetapi ayahku menepisnya dengan nada riang.
“Siswa SMP biasanya sudah
berusia tiga belas tahun. Jadi, wajar saja bagimu untuk melakukan ini!”
“Ya, benar, paman, tidak,
maksudku ayah mertua.”
Kami akan memasuki SMP lusa
nanti. Itu artinya kita sudah cukup dewasa.
“Yeesh ~, itu benar. Ayah
mertua, aku suka panggilan itu! Aku sudah lama menantikan hari ini!”
“…”
Di sisi lain, ayah si gadis
mengangkat alis dan terdiam.
“… Kuya-kun.”
Beliau menatapku seolah-olah
aku adalah harapan terakhirnya.
“Kamu… Apa itu tidak masalah
bagimu? Bukannya ini terlalu dini… ”
Memang, perkembangan ini
terlalu mendadak dan sangat tidak terduga.
Aku yakin ayahnya ingin aku
menolak lamaran ini sehingga Ia bisa mengakhiri masalah ini.
Tapi aku…
Pertama-tama, aku menoleh ke
arah ayahku.
Ia menyeringai dan mengangguk
sebagai balasannya.
Itu adalah isyarat yang
mengatakan, "Kamu akan menerimanya,
kan?”
Ayahku sudah memberiku “tugas”
seperti ini berkali-kali sebelumnya.
Dan aku tidak pernah menolak
satu pun tantangan tersebut.
Aku kemudian menoleh ke gadis
yang akan menjadi tunanganku.
“…”
Pipinya memerah dan dia
menunduk ke bawah.
Melihat reaksinya yang imut,
aku jadi ikut merasa malu jadi aku membuang muka.
Jantungku berdegup kencang. Perasaan
yang mirip dengan menggelitik tapi tak bisa dilukiskan dengan kata-kata.
(Astaga,
istriku. Mulai hari ini, kita akan hidup sebagai pasangan ...)
Ini adalah… hal yang sangat
dewasa untuk dilakukan.
Dan dia benar-benar… Gadis
paling imut yang pernah aku lihat.
“… Kuya-kun?”
“Ak-Aku juga tidak keberatan.”
Aku mendapati diriku mengangguk
seolah-olah untuk menunjukkan bahwa aku bisa melakukannya.
Aku tidak tahu bagaimana hasil
dari keputusan ini. Bahkan bagaimana jadinya "kehidupan pengantin
baru" yang akan aku jalani nanti.
Bagaimana jika aku tidak
mengangguk? Aku memikirkan tentang kemungkinan itu.
Tapi, seperti yang gadis itu
katakan. Kami akan masuk sekolah SMP, jadi kami sudah dewasa sekarang.
“…………..”
Ayah si gadis terdiam setelah
mendengar jawabanku.
Sedangkan ayahku, wajahnya
memiliki senyum yang lebar.
“Bagus sekali! Kalau begitu,
semuanya sudah beres. Kamu memiliki furnitur dan uang untuk saat ini, jadi kalian
berdua bisa mulai hidup bersama! Ini akan menjadi awal yang baru untuk kalian
berdua!”
Ayahku menyatakan begitu dan
menepuk bahu kami.
Setelah itu, ayah kami pergi
dan kami berdua ditinggalkan sendirian.
Saat sinar matahari sore merangsek
masuk melalui jendela, kami berdua duduk di atas bantal di ruang tamu.
“Um… Mea-san, apa ini tidak
apa-apa?”
Aku menggaruk dahiku sambil
menunggu jawabannya.
Aku tidak yakin apakah aku
harus memanggil dengan namanya atau dengan tambahan “-chan”.
“Y-ya… Kuya-san.”
Dalam suasana seperti ini, dia
duduk tegak, terlihat seperti makhluk yang sempurna.
“~~~~~~~~~~”
“Apa yang terjadi…?”
Wajahnya tampak tersipu.
“Um… Aku hanya ingin tahu… kata
yang tepat untuk memanggilmu.”
“Apa maksudmu?”
“Aku tidak tahu bagaimana harus
memanggilmu. Karena kita seumuran, tapi aku akan menjadi istrimu, jadi… ”
“………”
Ketika dia mengatakan ini, aku
merasa sangat senang!
Maksudku, itu sangat berbahaya
bagi hatiku untuk melihat wajahnya yang begitu cantik bertingkah seperti ini.
“Pa-Panggil aku sesukamu. Aku
ingin kita sejajar.”
Jadi… aku tidak bisa menahan
diri untuk membalasnya sambir berusaha bersikap setenang mungkin.
Kemudian Mea semakin
menunjukkan rasa malu saat dia semakin menyusut.
“Um… Ak-Aku mengerti.”
Dia mengangguk, tapi kemudian
pipinya memerah karena malu dan tatapannya mengembara dari satu tempat ke
tempat lain.
“Ak-Aku minta maaf. Aku tidak
terbiasa dengan hal semacam ini.”
“Apa? Maksudmu apa?”
“Aku tidak biasa berbicara
dengan lawan jenis seperti ini.”
“Oh begitu.”
Mengapa setiap kali aku
mendengar suaranya, hatiku jadi ikut berdebar-debar?
(Jadi,
dia belum pernah berbicara dengan laki-laki sebelumnya? Aku yang pertama!)
Tapi aku merasa sedikit lebih
unggul.
(...
Namun dia menerima cerita konyol seperti itu.)
“Um, tapi, Kuya-san…”
“Ap-Apa?”
Sambil merasa malu dia meremas
tangan aku dan mengangkatnya.
“Aku akan melakukan yang
terbaik sebagai istrimu.”
Aku memutar mataku dan
berpikir,
(…
Apa kita akan melakukannya?)
Tapi kalau dipikir-pikir lagi,
gadis ini sudah sangat mendukung sejak awal. Dia memberi tahu ayahnya bahwa
kami berdua sudah cukup dewasa.
“… Mea-san, apa kamu tahu
tentang hal ini?”
“Ti-Tidak, aku dibawa ke sini
oleh ayahku. Ia mengatakan kepadaku kalau calon suami aku akan berada di sini
sebentar lagi.”
“Aku juga. Aku tidak tahu kenapa
aku menanyakan ini, tapi mengapa kamu mau menerima ini, Mea-san? Mengapa kamu
sangat ngotot?”
Saat aku mengatakan ini, dia
membuang muka.
“Itu…… rahasia.”
Dia berbisik.
(…
Rahasia?)
Jika dia bilang begitu, aku
tidak bisa bertanya. Atau lebih tepatnya, jika dia bertanya kepada aku, aku
akan mengatakan hal yang sama.
“Pokoknya. Jika itu masalahnya,
mulai sekarang aku akan dalam perawatanmu. Ayo lakukan yang terbaik bersama-sama.”
“Iya.”
Dia tersenyum, menghela napas
lega.
Sungguh senyuman yang polos nan
lugu.
Jadi, aku membuang muka lagi,
tidak tahu harus berbuat apa.
Mulai sekarang, kita akan tinggal
di sini sebagai “pasangan”. Tapi, bagaimana caraku memperlakukannya?
Dia bilang kalau dia akan melakukan
yang terbaik sebagai istriku, tapi…
Aku cuma baru bertemu dengannya
beberapa waktu lalu; Aku pikir akan terlalu berlebihan untuk melakukan sesuatu
seperti pasangan sungguhan.
“Baiklah, mari kita periksa
kamar dan uang yang ditinggalkan ayah kita. Itu akan menentukan cara kita
hidup.”
Dan aku mengubah topik sehingga
aku bisa melarikan diri. Tentu saja, dengan nada setenang mungkin.
Aku tidak ingin dia
menganggapku sebagai anak kecil .
Jadi, aku memperbaiki poniku
dan mengambil buku rekeningku, yang sepertinya ada uang di dalamnya. Kebetulan,
aku juga punya kartu kredit, ID Pribadi, dan catatan dengan nomor PIN.
“A… Apaa?”
Aku meninggikan suaraku dengan
cara yang aneh.
“Apa yang terjadi Kuya-san?”
“Ah, yah, masalahnya …”
Aku punya sekitar… satu juta yen
di rekeningku!
Apa ini tunjanganku? Tapi
jumlahnya banyak sekali.
Jika aku punya uang sebanyak
ini, aku bisa melakukan apa saja… Apa kamu yakin ingin aku memiliki ini, Yah?
Aku kesal dan bersemangat pada
saat yang sama, tetapi aku tidak bisa menunjukkan perasaanku.
“Ada banyak uang di sana ... aku
tidak tahu harus dihabiskan untuk apa.”
“Boleh aku melihatnya?”
“Ya, tentu.”
Berhati-hati agar tanganku
tidak gemetar, aku menyerahkan Passbook kepada Mea.
Dia melihat jumlahnya dan
berkata,
“... Sewa bulanan, makanan, dan
kebutuhan lain semuanya sudah tercakup dari ini, ‘kan?”
“Hmm? Oh! Jadi begitulah cara
kerjanya… ”
Begitu rupanya. Karena aku
selama ini tinggal di rumah, jadi aku tidak perlu khawatir tentang masalah itu…
Tidak seperti aku, Mea
tampaknya mempunyai pemahaman ekonomi yang kokoh. Aku terus menatapnya, yang
sedang menghitung dengan jarinya, Satu-Dua-Tiga,
“… Kupikir kita bisa bertahan
selama setengah tahun atau lebih, kalau menggunakannya dengan efisien.”
“Benar sekali!”
Meski jumlahnya lebih dari satu
juta, tapi itu cuma untuk setengah tahun…!
Aku pikir dengan uang sebanyak
itu aku dapat dengan mudah hidup dari itu selama satu tahun atau lebih.
Saat aku mengerang tidak
percaya, Mea menutup buku rekening itu dan berkata, “Sepertinya kita harus
menggunakan sebagian dari uang ini untuk membeli seragam.”
“O-Oh… itu akan terjadi?”
“Aku yakin kita akan
mendapatkan lebih banyak jika saldo yang kita punya menipis, tapi sekarang kita
memiliki semuanya di satu tempat, aku pikir kita harus mencoba menabung
sebagian sehingga kita bisa bertahan selama mungkin.”
“Menabung… Ya, aku setuju
denganmu.”
Aku tidak yakin apa aku bisa
mengikutinya, tapi mau tidak mau aku setuju dengannya sambil menggaruk-garuk
kepalaku.
Dia lebih tangguh dari
penampilannya. Jika aku tidak melakukan sesuatu, aku akan dipaksa untuk
bergantung padanya… Itu bakalan gawat…!
Dia tidak hanya cantik, tapi
juga sangat pintar.
(Bukannya
ini yang disebut sebagai "istri ideal"?)
Tidaklah mengherankan jika aku
terus memikirkannya.
Dan ketika aku memikirkannya, aku
menjadi semakin sadar akan dia.
“Oh… Aku juga harus memeriksa
kulkasnya!”
Demi menghilangkan rasa maluku,
aku berdiri dan berjalan ke tempat kulkas.
Untungnya, kamar ini dilengkapi
dengan semua peralatan dan furnitur. Sepertinya kita tidak akan kesulitan untuk
tinggal di sini. Rupanya, ayahku menyiapkannya untuk kami sebelumnya, serta
kamar, tetapi ... karena Ia sudah repot-repot menyiapkan semua ini, aku yakin
mereka ingin ini bertahan lama.
(Lama…
seberapa jauh, tentu saja, sampai kita menikah…?)
Aku menjadi lebih menyadarinya.
Aku membuka kulkas dengan keras
sambil mencoba menutupi rasa maluku.
Di dalam kulkas, aku menemukan
daging, telur, sayuran, dan banyak lagi.
Ayah kami telah mempersiapkan
banyak hal dari kami.
“Kurasa aku tidak harus pergi
berbelanja hari ini.”
Tanpa kusadari, Mea sudah berada
di belakangku.
“Kamu benar.”
Saat kami berdiri berdampingan,
tingginya hampir sama denganku. Dia hanya sedikit lebih pendek dariku.
Ini berarti dia tingginya
sekitar 156 sentimeter ... Aku hanya 158 sentimeter (Ini membuatku frustrasi).
Aku cemburu kalau gadis
memiliki pertumbuhan dini.
(Mea
... apa kamu baik-baik saja dengan bocah seperti aku menjadi suamimu?)
Semakin aku memikirkannya lagi,
semakin aku meratapi ketidakberdayaanku, (Tidak, aku bukan anak kecil!)
“Kalau begitu, aku akan membuat
makan malam sekarang.”
Aku mencoba mengatakannya
dengan sikap tenang.
Aku tahu aku sudah sering
mengatakan ini, tapi mau bagaimana lagi. Aku tidak ingin membuat kekacauan di
hari pertama. Dan aku tidak ingin mengecewakan Mea.
Jadi, aku akan memasak. Sebelumnya
aku belum pernah memasak, tapi aku yakin aku bisa mengatasinya. Yang harus aku
lakukan adalah memotong bahan-bahannya, memasaknya, dan membumbui mereka.
“Jadi, Mea, aku akan urus
masak—”
Tapi dia menghentikanku. Aku
lalu menggaruk rambutku karena kebingungan dengan sikapnya,
“Bi-Biar aku yang membuatnya!”
Suara antusiasnya hampir
membuatku kewalahan.
“Eh? Apa… kamu yakin? ”
“Ka-Karena itu sudah menjadi
tugasku.”
Dia bersikeras, pipinya memerah
dan tangannya menggenggam erat bagian dadanya.
“A… Aku adalah istrimu, dan…
i-itu sudah menjadi tugasku memasak untuk… suamiku.”
“…”
'Aku
adalah istrimu ... istrimu ... istrimu.'
Ucapannya tersebut masih
terngiang-ngiang di benakku.
"Baiklah. Baiklah. Kamu
bisa melakukannya.”
Aku harus menganggukkan kepala
dengan santai, meskipun aku benar-benar kesal.
Sudah menjadi tugas seorang
suami untuk mendukung istrinya.
“Terima kasih, Kuya-san…,
bisakah kamu menunggu? Sementara itu, kamu bisa menonton TV di ruang tamu? ”
“Oke… Terima kasih juga.”
“Kuya-san, kamu adalah suamiku
dan aku adalah istrimu. Jadi, kamu tidak perlu berterima kasih padaku. ”
Ahh… begitukah cara kerjanya…?
Tapi aku tidak dapat membantah
permintaanya, jadi aku kembali ke ruang tamu dan duduk di atas bantal, dan
menyalakan TV untuk sementara waktu.
“Biar kulihat, kita punya…
babi, bawang, dan jamur…”
Aku terus melihat punggungnya
saat dia mencari bahan baru.
(Itu
adalah dapur terbuka, jadi aku masih bisa melihatnya.)
Setidaknya aku dikenali olehnya
sebagai “Suami”.
Dalam hal ini, aku harus
menunggunya dengan sabar, meskipun aku merasa gugup.
Maksudku…
“… Sayuran tumis.”
Dia mengepalkan tangannya
dengan penuh tekad.
******
Dan beberapa menit kemudian.
“…”
Kami berada di meja makan,
duduk berhadapan satu sama lain dalam diam.
Itu karena… hasil masakan
Mea-san yang tidak terduga.
“Ini bukan… bisa dimakan, lho.”
Tumis sayuran yang dibuatnya
hangus dan tampak seperti arang.
Nasi yang dimasaknya juga
terasa lengket dan tampak seperti bubur.
Sejujurnya… itu mengerikan.
“Maafkan aku, Kuya-san!”
Aku bingung harus bereaksi
seperti apa, tapi Mea membungkuk dengan ekspresi berkaca-kaca.
“A-Aku belum pernah benar-benar
memasak sebelumnya…”
“O-Oh!”
“… Iya.”
Dia merosotkan bahunya dan
mengangguk.
Namun, dia sangat antusias
tentang itu sehingga terlihat seolah-olah dia tahu segalanya.
Apa boleh buat; Aku harus
memakannya tidak peduli bagaimana hasilnya.
"TIDAK MASALAH! Karena
kamu sudah memasaknya! Itadakimasu! ”
Aku berkata sekeras yang aku
bisa, menangkupkan tangan, dan mulai menyantapnya.
Rasanya… Ah… bagian yang gosong
agak keras… dan pahit… Dan sebagian lagi asam…!
Tapi cuma saja! Jangan pikirkan
tentang itu, kunyah dan telan saja.
“Kuya-san, tolong jangan
memaksakan dirimu…”
“Umm~ ini lezat sekali! Sudah
lama sekali aku bisa merasakan masakan rumahan begini, jadi aku sangat senang!
”
Aku menanggapi dengan suara
riang seolah-olah untuk menghibur Mea, yang sepertinya sedang berjuang.
Tapi tampaknya hal tersebut berefek
sebaliknya.
“Maafkan aku… karena telah
membuatmu merasa sangat tidak nyaman…”
Saat dia melihat bahwa aku
memaksakan diri untuk makan, Mea menurunkan bahunya dan menunduk.
“Tidak perlu meminta maaf
segala. Ini hanya permulaan, aku akan membantumu mulai sekarang!”
“Ini sudah menjadi tugasku… aku
tidak ingin merepotkanmu, Kuya-san.”
Aku telah mencoba untuk menindaklanjuti,
tetapi dia membuatku merasa lebih buruk!
Apa yang harus kulakukan?
Sepertinya aku harus makan semua yang ada di depanku…
Mea masih terlihat depresi,
sementara aku menggerakkan sumpitku mati-matian.
Setelah selesai makan…
“Air mandimu sudah siap.”
Rupanya, dia telah berubah
pikiran dan memutuskan untuk menebusnya dengan tugas lain.
“Silakan Kuya-san!”
Sama Seperti sebelumnya, dia
sangat antusias. Dia menekankan tangannya ke depan dadanya dan memohon.
“Terima kasih… kalau begitu aku
pergi mandi dulu.”
kUpikir tidak akan ada yang
salah. Karena itu cuma menyiapkan air mandi, tidak akan seburuk memasak.
Untungnya, di laci ada beberapa
pasang handuk dan pakaian dalam, bersama dengan handuk. Perhatian ayah terhadap
detail kecil memang tidak tertandingi.
Jadi, aku meraih handuk dan
menuju kamar mandi.
Aku memeriksa sebelumnya… Ya,
Ini air panas.
Jadi, aku melepas pakaianku
tanpa ada rasa khawatir dan mencuci rambutku terlebih dahulu.
Itu sudah menjadi kebiasaanku untuk
membasuh tubuhku terlebih dahulu sebelum memasuki bak mandi.
Setelah selesai membilas
rambutku, aku pergi ke… untuk mencuci tubuh aku.
“U-um… Kuya-san…?”
“!?”
Saat aku mendengar ketukan di
pintu kamar mandi dan mendengar suaranya, aku terkejut.
“A-Ada apa, Mea-san?”
Aku bertanya sambil menutupi
selangkanganku.
Sepertinya dia merencanakan
sesuatu (lagi).
“Bo-Boleh aku masuk?”
“Apa?”
Apa yang baru saja dia katakan?
“Tu-Tunggu… Ja-Jangan, kamu
t-tidak boleh masuk.”
“Ja-Jangan khawatir, ada handuk
mandi yang melilit badanku…!”
*Gedebuk*
Sebelum aku bisa menanggapinya,
pintu kamar mandi sudah dibuka.
Dan di sanalah dia, seperti
yang dia katakan, dia telanjang dengan handuk mandi melilit tubuhnya.
“U-um, aku akan mencuci
punggungmu.”
“Ah, tidak, itu…”
“Kupikir ini sudah menjadi
tugasku sebagai istrimu!”
Dia tampak putus asa saat
melangkah maju.
Melihat sosoknya, aku jadi memperhatikan
betapa bagus perkembangan tubuhnya!
Meski terlilit handuk mandi,
payudaranya terlihat sangat lembut dan montok, dan bentuk pinggangnya yang
ramping dan… kaki telanjangnya terlalu beracun untuk mata.
Tapi jika… dia ingin membasuh
punggungku…
“Kurasa tidak masalah. Silakan
saja.”
Aku memunggungi dia dan duduk
di kursi mandi, sambil menutupi selangkanganku.
Jika peran istri untuk mencuci
punggung, maka dalam arti tertentu adalah kewajiban suami untuk membiarkan dia
melakukannya.
Apa gunanya aku menjadi sedikit
malu?
Mea-san pasti lebih gugup
ketimbang diriku, jadi aku harus bersabar di sini!
“Baiklah, aku akan mulai.”
Dia mengambil handuk nilon yang
disediakan di kamar mandi, mengoleskannya (aku tidak tahu karena dia
membelakangiku, tapi mungkin), dan mulai menggosok punggungku.
Aku merasakan sensasi unik. Ada
sensasi geli, berbeda dengan membasuh diriku sendiri, tapi tidak cukup
merangsang.
“Apa ini… sudah cukup, …?”
“K-kamu… bisa melakukannya sedikit
lebih keras.”
“Lebih keras… Um… mm… mmm…”
Mungkin karena memberikan lebih
banyak tekanan, suara kecilnya keceplosan seirama saat dia membasuh punggungku.
Saat dia tepat di belakangku,
ugh… rasanya terlalu geli dan memalukan.
Aku yakin dia juga merasakan
hal yang sama.
“Hmm ~~~~ hm ~~~”
Kadang-kadang dia berhenti dan
mengerang, seolah-olah dia berusaha menahan sesuatu. Rasanya seperti dia lelah.
… Apa dia terlalu berlebihan
melakukannya?
Ya, aku belum pernah bertemu
dengan seorang gadis yang datang Cuma mengenakan handuk mandi dan mencuci
punggungku…
“M-Mea, lakukan dengan santai
saja, oke?”
Mau tak mau aku berbalik dan
berkata begitu,
Tapi itu bukanlah ide yang
bagus.
“!?”
Begitu mata kami bertemu,
wajahnya memerah seperti tomat.
Aku yakin dia takkan menyangka
kalau aku akan berbalik. Dia menyusut seolah-olah berusaha menyembunyikan
tubuhnya.
“~~~”
“A A! Maafkan aku.”
Aku segera berbalik cepat-cepat.
*
Woosh *
“… Eh?”
Entah apa yang terjadi secara
tiba-tiba, tapi Mea menghilang dan handuk mandinya jatuh di tempat. Seolah-olah
dia tidak ada di sini sejak awal.
“Ah… eh… Ap-Apa yang terjadi?”
Aku berdiri dengan panik dan
lupa menutupi selangkanganku.
“Mea…”
Aku melihat-lihat untuk mencari
sosoknya,
“A A…”
“Oh…”
Tatapan mata kami saling bertemu.
Kami berdua sama-sama telanjang, dan kami berdua saling memandang satu sama
lain.
Oppai! Puting!Pink…!
Jika itu adalah situasi normal,
aku pasti akan merasa teransang, tetapi sayangnya, saat ini aku lebih terkejut
dari itu!
“Tung— Mea-san, bagaimana kamu
bisa berada di belakangku dalam sekejap?”
“Ra-Rahasia… itu rahasia.
Tolong ja-jangan lihat aku.”
“Ma-Maaf! Ah! Jangan lihat aku
juga. "
“Eh… kyaaaa… gajah-san !?” (TN : LOL gajah :v)
“Ja-Jangan lihat aku.”
“Maafkan aku, maafkan aku, maafkan
aku.”
******
Kemudian…
““……………….””
Kami duduk berhadapan di ruang
tamu.
Tentu saja, aku tidak bisa
melanjutkan mandi, jadi aku segera melompat keluar dari kamar mandi, menyeka
tubuhku, mengenakan pakaian aku, dan kembali ke kamar.
Setelah beberapa saat, Mea juga
keluar dengan pakaiannya.
Tapi, untuk sedikitnya, itu…
canggung. Suasananya terlalu canggung…!
Namun, bahkan jika kita tetap
diam satu sama lain maka tidak ada akhirnya ...
“Mea, itu──”
Saat aku memberanikan diri
untuk memulai percakapan,
“Ah ~~~~”
Mea menjerit dan membuang muka.
Seolah-olah dia terlalu malu
untuk menatapku.
“Ti-Tidak perlu merasa malu
segala. Kamu hanya melihatku telanjang.”
Meskipun dia cemberut, dia
mengatakan hal seperti itu.
Melihat ekspresinya yang
seperti itu, aku merasakan perasaan kesemutan yang aneh di hatiku.
Aku ingin melihat lebih banyak ekspresi
Mea-san yang imut ini.
“Tapi… Yah, ini adalah hari
pertamamu sebagai seorang istri, jadi kamu hanya memikirkan apa yang harus kamu
lakukan.”
Tapi, Mea bergumam dengan suara
kecil seperti nyamuk.
“Tapi aku terlalu berlebihan…
sekarang ketika aku memikirkannya… kalau membasuh punggungmu… adalah…”
Dia tiba-tiba menutupi wajahnya
dengan tangannya dan mulai menggeliat dengan wajah memerah.
“…”
Aku merasakan sensasi yang
sangat kesemutan ketika melihatnya seperti itu.
Aku ingin melepaskan tangannya
dan melihat wajahnya yang memerah dan malu-malu, meskipun itu hanya untuk
beberapa detik.
Aku memikirkannya… tapi aku
tidak mampu mendorongnya lebih jauh.
–Ini juga hari pertamaku, aku
harus melakukan apa yang seharusnya.
“… Mea-san.”
Aku berbicara dengan semua
ketulusanku yang bisa aku kerahkan.
“Kamu bisa melakukannya dengan
tempomu sendiri. Kamu tidak perlu memaksakan diri.”
Aku berbicara dengan suara
rendah tetapi memasang ekspresi tegas.
“Kuya-san…”
Wajahnya menjadi lebih merah
saat rona wajahnya semakin memerah, tetapi dia melemaskan bahunya.
Kemudian, dia menatapku dengan
mata basah.
“Terima kasih…”
“A-A…….”
Perkataan dan ekspresi wajahnya
mulai membuatku merasa panas.
Dia kemudian menyeka butrian matanya
dan melihat ke arah lain lagi.
Aku juga membuang muka. Apa
yang dapat aku lakukan… Apa aku juga terlalu malu?
(Untung
saja Mea-san sudah lega sekarang ... Seperti yang sudah kuduga, itu adalah
pilihan yang tepat untuk mengatakannya)
-Aku juga tahu sendiri, bahwa
aku belum pernah melakukan hal seperti ini, jadi aku harus lebih dewasa.
Memaksakan diri kita sendiri
seperti ini bukanlah ide yang bagus… Jadi aku memberitahunya kalau dia tidak
boleh berlebihan, melakukannya dengan santai saja dan lakukan dengan
kecepatannya sendiri.
Aku seharusnya melakukannya
juga ...
Jika kamu terus bertingkah
seperti orang lain, mencoba tampil menarik, kamu akan berakhir dengan hal-hal
klise.
Tidak, aku hanya mengatakan apa
yang aku lakukan. Aku juga tidak perlu memaksakan diri.
Saat aku melamuni hal itu,
“… Kuya-san adalah orang
seperti itu…”
Mea bergumam sambil berbicara
pada dirinya sendiri.
Seolah merenungkannya, dia
terlihat sangat terharu.
“….…”
Nah, jika itu yang kamu
pikirkan ...
AKU HARUS TETAP MELANJUTKAN
AKTINGKU!
"Umm ... aku akan mandi.”
Mea menyeka rambutnya dan pergi
ke ruang ganti.
Setelah itu, kami mandi
bergantian. Kami kembali ke ruang tamu setelah kami selesai mandi.
Aku sedang bersantai
mendinginkan diri di ruang tamu.
“Ahhh…”
Suaraku keceplosan tanpa sadar.
Mea tampak sangat memikat
dengan rambutnya yang basah dan tidak hanya itu, tapi dia juga mengenakan
piyama yang lucu
“Ahh… itu… Aku membawa koper
paling sedikit yang aku bisa bawa dari rumah…”
Dia tersipu dan memalingkan
wajahnya ketika menyadari tatapanku sambil memeluk erat tubuhnya.
Sekarang dia mengungkitnya, aku
hanya melihat satu tas jinjing di sudut ruangan. Dia berkata, “Aku cuma disuruh
datang ke sini dan mempersiapkan masa depanku.”
Jika ayahku mengurus ... Tidak,
Ia tidak memberitahu apa pun padaku, itu berarti Ia ingin aku melakukan
segalanya tanpa bergantung padanya. Bagaimanapun, ayahku sendiri yang memberiku
tugas.
Saat sedang memikirkan itu,
Mea-san tampak merasa bersalah.
“Maaf… cuma aku yang membawa
baju ganti dari rumah…”
Mea semakin menyusut dan
menurunkan bulu matanya.
“Ah… tidak, tidak, jangan
khawatirkan itu.”
Aku melambaikan tanganku dengan
tergesa-gesa.
Aku benar-benar tidak
keberatan. Jika boleh jujur, aku benar-benar berterima kasih! Aku kira ungkapan
"Bisa melihat seorang gadis sebaya yang baru selesai mandi merupakan
sebuah berkah" bisa digunakan.
(Gadis terlihat sangat tidak
berdaya ketika mereka baru selesai mandi)
Tapi tentu saja, aku tidak bisa
menunjukkan hal itu di wajahku.
“… Jadi, apa kamu selalu tidur
dengan pakaian yang lucu?”
Aku tidak punya pilihan selain
mengatakan sesuatu yang sangat memalukan dengan berpose santai.
Mea, tolong tersipu juga! Maka aku
tidak akan menjadi satu-satunya yang malu.
Aku sedang memikirkan tentang
itu,
“Umm… ini rahasia.”
Mea menjawab sambil memalingkan
wajahnya.
Aku merasa seolah-olah lelucon
yang aku coba tiba-tiba gagal. Tetapi jika aku tetap diam setelah ini, aku
hanya akan merasa malu.
“…Hah?”
“… Eh?”
Dari sudut mataku, aku melihat
sesuatu yang hitam melintas di mataku.
Makhluk… yang seharusnya tidak
berada di sini, di apartemen baru.
"Hah? Kecoak?!"
Aku terkejut. Sejujurnya, aku
tidak pandaii menangani serangga. Aku hampir melompat kembali secara refleks
tetapi bisa bertahan entah bagaimana.
Itu karena aku tepat di depan
istriku. Aku bersikap seolah-olah aku sangat keren dan jika aku takut pada kecoa,
semuanya akan berakhir!
“… KYAAAAAAAAAAAAAAAAA !?”
“Hah…?”
Dan aku tidak hanya
mengeluarkan suara bodoh secara tidak sengaja karena dia berteriak seperti
sedang merobek sutra.
Pada saat yang sama dia
berteriak, dia mengeluarkan sesuatu yang berkilau dari piyamanya. Dan…
PLAAKKK!
Dan kecoak itu terbang ke
dinding.
PLAAKKK!
“…”
“Aku mohon! Cepat bersihkan!”
“Uhh… aku… Y-ya”
Aku sangat tercengang dengan
apa yang baru saja terjadi sehingga aku bahkan tidak punya waktu untuk
mengatakan bahwa aku tidak pandai menangani serangga.
Aku mengambil beberapa kertas
toilet dari kamar kecil dengan tergesa-gesa dan pergi menuju ke kecoa yang aa di
dinding… dan melihat sepotong logam datar. Aku mengambil logam datar yang
berbentuk runcing, seperti salib. Ya, ini shuriken, dan aku menaruhnya di
kertas sambil berbelok.
Aku kemudian melempar kecoa itu
ke toilet dan mendengar suara gemericik.
Sementara aku melakukan semua
ini, Mea tetap menutup matanya sambil sedikit gemetaran.
“Apa itu hilang? Itu sudah
hilang, ‘kan?”
“Ya, aku cukup yakin sekarang ada
di bawah saluran pembuangan.”
“Haaa… bagus…”
Ternyata, dia malah tidak pandai
dengan serangga juga. Tapi, dia bahkan lebih buruk ketimbang diriku.
“… Ummm, Mea-san”
“Ap-Apa?”
“Apa kamu, seperti… tidak, apa
kamu… kebetulan…”
Aku tidak bisa menahan diri
untuk bertanya saat aku menunjukkan shuriken.
“Aku tidak percaya kamu membawa
sesuatu seperti ini dan melemparkannya begitu cepat ... Mea-san, apa kamu
seorang ninja?”
“Hehhhhhhh… !?”
Wack! Mea menegang punggungnya
saat dia melompat.
…beberapa menit kemudian.
“”… ””
Aku tidak tahu berapa kali kami
harus duduk di lantai dan saling berhadapan seperti ini hari ini…
Tapi memang harus seperti ini.
Terlalu banyak kejadian yang terjadi hari ini.
““…..””
Mengenai pertanyaanku
sebelumnya, dia tetap diam.
Aku rasa sulit untuk
menjawabnya.
Jika itu masalahnya, aku merasa
tidak enak memaksanya, tapi tetap saja…
Aku berbalik menuju shuriken di
atas meja (yang, ngomong-ngomong, telah kuseka dengan hati-hati dengan tisu
basah).
Aku tidak bisa begitu saja
membuangnya ke saluran pembuangan seperti yang aku lakukan dengan kecoak dan
berpura-pura tidak melihatnya.
Jadi…
“Umm… itu…”
Perlahan, Mea membuka mulutnya
untuk berbicara.
Wajahnya berpaling dariku, tapi
matanya terus menatap wajahku.
Dia menyadari kalau aku sedang
melihat shuriken. Aku tidak bisa kepikiran kalau itu panah dan perisai.
“…Iya?”
“Umm… aku… aku menariknya
keluar?”
Aku cuma bisa memasang ekspresi
aneh.
(Itulah
yang ingin aku tanyakan)
"Aku tidak peduli betapa
takutnya kamu, tapi kamu tidak bisa begitu saja menggunakan ...”
“Ti-Tidak… bukan itu…”
Aku tidak punya pilihan selain
mengembalikannya padanya.
Akhirnya, Mea sekarang siap
untuk berbicara. Aku tidak ingin mendorongnya lebih jauh dan menghentikannya
berbicara.
“Aku takkan menyitanya… tapi aku
masih penasaran. Jelas tidak normal bagi seorang gadis tiba-tiba mengeluarkan
shuriken dan melemparkannya dengan sangat tepat. "
“Uhh… ya, aku tahu…”
Mea mengerang dan tubuhnya
semakin menyusut.
Aku pikir aku memilih kata-kata
yang salah!
“Bukan, yang ingin aku katakan
adalah itu…”
“Iya…”
Oh tidak ... kita kembali
menggunakan bahasa formal
Aku harus melakukan sesuatu,
entah bagaimana…
Sepertinya aku tidak punya
pilihan selain—
“Kita sebenarnya mirip!”
“…Hah?”
“Sebenarnya, aku juga tidak
normal… Aku sebenarnya adalah putra dari… agen rahasia.”
“……”
Dengan ekspresi yang berbeda
dari sebelumnya, Mea-san hanya terdiam tak bisa berkata apa-apa.