Chapter 3 — 24 Agustus (Senin)
Ketika
aku bangun pagi-pagi, di ruang tamu tidak ada siapa-siapa. Aku tahu kalau Ayahku
dan Akiko-san takkan ada di sana. Ayahku pergi bekerja, dan Akiko-san belum
pulang dari tempat kerjanya. Dia menghubungi kami mengatakan bahwa dia akan
pulang terlambat (atau pagi-pagi sekali
dalam kasus ini?).
Namun,
bahkan Ayase-san, yang biasanya sudah bangun di jam segini, tidak ada di ruang
tamu. Mungkin dia ada di kamarnya? Sepertinya tidak ada alasan untuk melakukan
begitu, karena ruang tamu mempunyai suhu yang sangat nyaman... Tunggu, suhu
yang nyaman? Aku kemudian baru menyadari kalau AC di ruang tamu mengeluarkan
udara sejuk. Sudah diperbaiki, ya? Karena aku pulang larut malam, dan mendekam
di kamarku tanpa makan malam, aku bahkan tidak menyadarinya. Kurasa Ayahku
menghubungi seseorang yang bisa memperbaikinya. Mungkin Ia memprioritaskan itu
daripada acara belanja mereka.
Karena
sudah diperbaiki, Ayahku mungkin tahu kalau akan bangun tidak lama setelah Ia
pergi. Aku melihat ke meja makan dan melihat sarapan yang sudah disiapkan
untukku. Tiba-tiba aku mendapat firasat dan memeriksa pesanku, dan aku
menemukan pesan LINE dari Ayase-san.
'Aku sudah menyiapkan sarapan, jadi kamu bisa
memakannya kapan saja. Aku sudah menyelesaikan sarapanku.
Kurasa
Ayase-san sudah bangun. Mungkin dia sedang duduk di kamarnya, belajar atau
bersih-bersih atau semacamnya. Aku mengiriminya ucapan terima kasih melalui
LINE dan duduk di meja makan.
“Hari
ini menu bergaya Jepang, ya?”
Di
atas piring biru pucat ada salmon panggang, bersama dengan lobak yang dipotong
menjadi gunung kecil di pinggirnya, dan plum Jepang kecil. Di piring sebelahnya
ada sejumput rumput laut yang dibumbui, dan salad di piring besar lainnya. Menu
ini mirip seperti sarapan yang biasa kamu lihat di penginapan. Sepertinya ada
banyak upaya yang dilakukan untuk ini.
Setelah
mengkonfirmasi makanan yang aku hadapi, aku mengambil mangkuk nasi dan mangkuk
sup misku yang kosong dan berdiri. Sambil memanaskan sup miso, aku memasukkan
nasi ke dalam mangkuk, dan setelah mengisinya dengan sup miso, aku kembali ke
tempat dudukku.
“Ittadakimasu.”
Setelah menyatukan kedua tanganku untuk berterima kasih atas makanannya, aku
mulai memakan sarapan berharga yang disiapkan Ayase-san untukku.
Aku
menuangkan kecap ke lobak untuk membiarkannya meresap dan meletakkannya di atas
salmon, dan memakan potongan salmon bersama dengan lobak. Manisnya ikan dan pahitnya
lobak bercampur di dalam mulutku. Ikannya juga terasa enak, rasa yang berbeda
dari daging. Berkat lobak, sisa rasanya tidak ada, dan aku mendapati diriku bisa
makan beberapa suap nasi.
Sambil
mengagumi fakta bahwa sarapan sederhana ini masih bisa begitu lezat, aku mulai
mencicipi sup miso. Bahan dasar sup miso pagi ini adalah jamur nameko. Kaldu
supnya mudah diminum, dan langsung turun ke tenggorokan. Seperti biasa, sup
miso buatan Ayase-san selalu terasa lezat. Aku benar-benar ingin mengiriminya
pesan LINE lagi dan menyampaikan pujianku, tapi aku tidak ingin mengganggunya.
Jadi aku hanya mengiriminya pesan imajiner terima kasih sebagai gantinya. Terima kasih untuk sup miso yang terasa lezat
seperti biasa, Ayase-san.
Setelah
menghabiskan sarapanku, aku mencuci piring dan membersihkan semuanya sedikit
lebih santai, karena aku punya banyak waktu luang sampai jadawal pekerjaanku
dimulai. Sambil memikirkan apa yang harus dilakukan sampai saat itu, aku
memutuskan untuk membersihkan ruang tamu sedikit. Meja makan memiliki taplak
meja tipis di atasnya sehingga tidak akan berdebu. Kupikir mungkin aku harus
membersihkan kulkas, dan karena Akiko-san akan segera pulang, kupikir dia
mungkin lebih suka jika ikan bakarnya tidak terlalu dingin. Jika dia tidak
ingin memakannya, aku selalu bisa memasukkannya ke dalam kulkas nanti.
Aku
membersihkan dari atas ke bawah, karena debunya akan jatuh ke lapisan paling
bawah. Aku menyeka semua yang aku bisa, dan setelah menyapu lantai, aku juga
mengepelnya. Setiap kali aku melakukan sesuatu yang biasa aku lakukan, itu benar-benar
memberiku waktu untuk memikirkan hal lain di saat yang sama. Misalnya, tentang
bagaimana Ayase-san bertingkah aneh belakangan ini. Kupikir semua itu dimulai
dua hari yang lalu.
“Jika kamu penasaran tentang Maaya, maka
tidak usah mengkhawatirkan masalah itu. Kami tidak mempunyai hubungan di mana kami akan pergi keluar
bersama selama liburan musim panas. Cuma sekadar memberitahumu saja.”
Tidak
peduli seberapa banyak aku memikirkannya, aku gagal melihat alasan dibalik
mengapa dia datang ke kamarku hanya untuk mengatakan itu. Terlebih lagi jika
itu dari Ayase-san, mengingat bagaimana ini sangat berbeda dari tingkah laku
dia yang biasanya.
“Hmmm…”
Tanganku
berhenti membersihkan, dan aku menghela nafas saat meletakkan daguku di
pegangan kayu pel. Oh ya, aku jadi teringat sesuatu yang lain. Menurut Maru,
seluruh rencana kolam yang disusun Narasaka-san seharusnya menyertakanku juga.
Tapi aku belum mendengar apa-apa mengenai rencana itu. Tentu saja, itu sangat masuk
akal, karena Narasaka-san tidak tahu kontak LINE-ku atau cara lain untuk
menghubungiku.
Jika
memang begitu, apa yang akan Narasaka-san lakukan? Dia kemungkinan besar akan
meminta Ayase-san untuk menyampaikan ajakannya kepadaku. Tentu saja, jika Ayase-san
sendiri tidak ingin pergi, maka itu adalah keputusannya sendiri. Akan tetapi,
rasanya masih tidak wajar dan sulit dijelaskan mengapa dia tetap diam dan tidak
memberitahu mengenai ajakan yang ditujukkan padaku.
Apa
yang akan aku lakukan jika berada di posisi Ayase-san? Misalnya, bagaimana jika
Maru membuat rencana kolam serupa, dan menyuruhku mengajak Ayase-san? Yah, aku
mungkin akan memberitahu Ayase-san, bahkan jika aku tidak berencana untuk pergi.
Sesuatu seperti 'Maru menyuruhku untuk
mengajakmu'. Jika tidak, pada dasarnya aku akan mencuri kesempatan baginya
untuk menikmati dirinya sendiri. Karena kami sangat jelas tentang bersikap adil
dalam hubungan kami, dan itu akan melanggar aturan.
Jadi
kenapa Ayase-san tetap merahasiakan itu? Ada sesuatu yang tidak beres. Tapi,
saat proses pemikiranku mencapai titik itu, aku menyadari kalau tanganku
berhenti melakukan bersih-bersih.
“Tidak
bagus, tidak bagus.”
Aku
meningkatkan upaya bersih-bersihku di ruang tamu, tapi perilaku aneh Ayase-san masih
membekas di dalam pikiranku. Aku selesai mengepel lantai ketika pintu depan
terbuka dan Akiko-san datang terhuyung-huyung ke arahku dengan cara yang goyah
dan wajah mengantuk.
“Ahhh…
Yuuta-kun… pagi…”
“Selamat
datang kembali, dan selamat pagi. Apa kamu ingin sesuatu untuk dimakan,
Akiko-san?”
“Ya…
aku mau makan es krim lalu tidur.” Dia berbicara dengan mata setengah tertutup.
Aku
membuka pintu kulkas dan mengeluarkan es krim (yang merupakan favorit
Akiko-san, jadi Ayahku selalu menyetok persediaan). Es krim yang dimintanya
adalah stik es krim rasa strawberry.
“Oh
iya, A/C-nya baru diperbaiki kemarin, ‘kan?”
“Mmm…
Ahh, benar. Taichi-san memanggil teknisi…” Dia pasti sangat mengantuk. Cara
bicaranya terdengar pelan dan patah-patah.
Dari
apa yang aku pahami setelah Akiko-san duduk di kursi dan mulai menjilati es
krimnya, alasan A/C kami tidak berfungsi karena ada kotoran di filter, dan
Ayahku yang mencoba memperbaiki sendiri tampaknya cuma memperburuk kerusakan.
Tapi sekali lagi, aku bisa membayangkan kalau Ia benar-benar cuma ingin pamer
ke Akiko-san.
“Padahal
semuanya berjalan baik-baik saja dengan lancar sampai kemarin, dan kemudian
tiba-tiba rusak. Mesin benar-benar aneh, ya. ” kata Akiko-san.
Usai
mendengar perkataan ini, jantungku berdetak kencang karena terkejut. Berjalan
baik-baik saja dengan lancar ... dan kemudian tiba-tiba rusak. Perkataan
tersebut mengingatkanku pada sesuatu yang Yomiuri-senpai katakan kepadaku
mengenai orang rajin yang tiba-tiba rusak karena stres dan tekanan. Mungkin
manusia cukup mirip dengan mesin dalam hal itu.
—Terlalu rajin membuat mereka tidak bisa
berhenti.
Suatu
saat nanti, hati mereka mungkin bisa hancur. Jika aku melihat seseorang perlu
berhenti, aku harus memaksa mereka dengan memberitahu mereka ... Akan tetapi, apa
dia sanggup menerima ini?
“Anu,
apa Ayase-san membenci orang yang memaksa orang lain untuk jujur dengan
keinginan mereka sendiri?”
Sebagai
permulaan, aku perlu memahami kepribadian Ayase-san lebih jauh. Dengan
pemikiran ini, aku memutuskan untuk bertanya kepada Akiko-san, selaku ibu
Ayase-san, tentang hal itu. Setelah mendengar pertanyaanku, Akiko-san berhenti
menjilati es krimnya dan menatap langit-langit.
“Hmmm?
Apa kamu ingin menanyakan apa dia membenci orang yang memaksakan sesuatu pada
dirinya?
“Me-Memaksa
...”
Yah,
kurasa mirip sesuatu seperti itu. Namun, entah kenapa aku merasa kalau nuansa
yang keluar dari perkataan Akiko-san sedikit berbeda dari apa yang aku
bicarakan pada awalnya.
“Aku
sedang berpikir untuk membuat rencana dan membuatnya ikut.”
“Jadi,
kamu ingin bertanya apa dia akan membenci seseorang yang terlalu memaksa saat
berkencan? Biar kupikir dulu... Dilihat dari kepribadiannya, dia mungkin tidak
akan menyukainya. Tapi segalanya akan berbeda jika kamu benar-benar membuat
rencana tersebut bersama dengannya. ”
“Jadi
dia takkan menyukainya …… yah, sudah ketebak, sih.”
Bahkan
sejauh yang aku tahu, kepribadian Ayase-san cukup mendekati penjelasan
Akiko-san. Jika memang begitu, tindakan apa yang bisa dilakukan untuk
menghentikannya…?
“Hm,
apa kamu ingin mengajaknya kencan? Yuuta-kun… Jangan bilang kalau kamu jatuh
cinta padanya?”
Komentar
mendadak Akiko-san benar-benar mengganggu proses berpikirku. Apa? Um, apa yang
barusan dia katakan? Aku dengan panik mencoba mengingat percakapan yang mengarah
ke titik ini. Apa Akiko-san sebenarnya memikirkan kesalahpahaman yang
mengerikan?
“T-Tidak,
tentu saja tidak! Aku bukan membicarakannya dengan cara seperti itu. Aku hanya
merasa kalau Ayase-san yang memiliki kepribadian ini terkadang bertindak
terlalu jauh.”
Aku
perlu menjelaskan situasinya dengan benar, jadi aku memberi tahu Akiko-san tentang
percakapanku dengan Yomiuri-senpai kemarin. Alhasil, Akiko-san tersenyum seolah-olah
dia akhirnya mengerti apa yang aku bicarakan, dan membuatku bisa menghela nafas
lega.
“Jadi
itu yang kamu maksud. Aku benar-benar mengira kamu menyukai Saki sebagai
seorang gadis.”
“Itu
sama sekali tak—”
—kan
pernah terjadi. Bagaimanapun juga, Ayase-san adalah adik perempuanku. Itu
mustahil. Perasaan semacam itu tidak diperbolehkan terjadi.
“Kamu
benar, Saki benar-benar bisa seperti itu.” Ketika Akiko-san mengatakan begitu,
aku merasa lebih tegang. “Kira-kira sekitaran dia baru masuk sekolah SMP, dan aku
akhirnya menjadi sibuk dengan pekerjaanku, Saki mulai tumbuh sangat cepat, dan
dia mencoba yang terbaik untuk mempertimbangkanku dan tidak menambah beban
kerjaku. Dia jauh lebih dewasa daripada teman-temannya.”
“Itu…
aku bisa membayangkannya.”
“Memang.
Dan itu mungkin tampak seperti hal yang baik, tapi mengingat semua itu terjadi
karena aku tidak ada untuknya.... Aku jadi merenungkannya, dan mengingat bahwa aku
tidak bisa memanjakannya sepantas yang dia dapatkan. Aku ingin dia bisa tetap
sedikit lebih egois, dan membiarkan dia menjadi anak kecil sedikit lebih lama
lagi.” Perkataan Akiko-san sangat tepat menusuk hatiku.
Aku
jadi ingat foto Ayase-san kecil yang ditunjukkan padaku. Ayase-san yang akan
meminta es krim atau memohon untuk pergi ke kolam renang yang pernah Akiko-san
ceritakan padaku. Namun, Ayase-san memaksa dirinya untuk berhenti bertingkah
seperti anak kecil dan memutuskan untuk hidup mandiri. Pada awalnya, dia
mungkin ingin mencoba meringankan sebagian beban dari pundak ibunya, tapi sekarang
itu mungkin bukan satu-satunya alasan lagi.
“Yuuta-kun.”
Akiko-san memanggilku. Aku mengangkat kepalaku dan mendapati dia menatapku
dengan serius. “Aku tahu ini bukan sesuatu yang harus aku minta kepada putra
tiriku, tapi aku ingin kamu membantunya dan memastikan kalau dia tidak terlalu
memaksakan diri. Jika dia mengatakan bahwa dia tidak mau, maka aku pikir kamu
harus lebih memaksa tentang hal itu, sama seperti yang kamu tanyakan kepadaku
tadi.”
Sejenak,
aku merasa ragu, tapi akhirnya tetap mengangguk menuruti permintaan Akiko-san.
Sejauh ini, aku menjalani hidup tanpa mencoba melangkahi batasan orang lain. Aku tidak bertanggung jawab atas
bagaimana orang lain menjalani hidup mereka, aku pun tak mau. Lagi pula, aku sendiri
tidak suka saat ada orang lain yang memasuki wilayah privasiku. Mencoba memikul
beban satu sama lain kedengarannya sangat merepotkan sampai-sampai aku tidak
mau diganggu. Aku ingat apa yang Ayase-san katakan padaku saat pertama kali
kita bertemu...
“Aku tidak terlalu banyak berharap padamu,
jadi aku ingin kamu melakukan hal yang sama untukku.”
Ucapannya
tersebut memberiku rasa lega dan kepastian. Hubungan ini jelas merupakan cara
terbaik untuk melakukan berbagai hal untuk membentuk hubungan yang tidak
terlalu mengganggu. Namun, aku juga tidak bisa mengabaikan Ayase-san yang mungkin
akan hancur dalam waktu dekat... Bahkan jika dia membenciku karenanya.
“Tidak
apa-apa. Bahkan jika dia mulai tidak menyukaimu karena itu, aku akan
memberitahumu sesuatu yang sangat dia sukai.”
“Sesuatu
yang dia suka, ya? Maksudmu sesuatu yang akan menghiburnya?”
“Tentu
saja!” Akiko-san menatapku dengan senyum cerah.
Aku
sedikit ragu kalau sesuatu segampang seperti itu bakalan ada, tapi aku masih
meminta Akiko-san untuk membantu aku jika membutuhkannya. Aku benar-benar tidak
ingin Ayase-san membenciku. Bagaimanapun juga, kami tinggal bersama, dan dia
adalah adik perempuanku.
Suara
dengung samar-samar dari AC memenuhi ruang tamu.
“Terima
kasih untuk itu.” ujar Akiko-san, melemparkan tongkat es loli ke sudut segitiga
wastafel.
Dia
pasti sangat kelelahan, karena dia berjalan terhuyung-huyung kembali ke
kamarnya. Aku hanya berharap dia tidak jatuh. Kerja bagus hari ini, dan selamat malam, Akiko-san. Sekarang, untuk
giliranku… Aku memasukkan ikan bakar kembali ke dalam kulkas dan berjalan ke
kamar Ayase-san, lalu mengetuk pintunya.
“Apa?”
Pintu
terbuka sedikit, dan aku bisa melihat meja belajar Ayase-san. Di atasnya
terdapat buku pelajaran dan catatan, dan dia sedang memegang headphone-nya yang biasa. Kali ini, dia
memakai headphone ketimbang earphone. Mungkin dia sedang belajar
sambil mendengarkan musik lofi. A/C dikamarnya menyala, dan menciptakan suasana
yang lebih sejuk di dalam ruangan. Aku pikir Akiko-san menyebutkan bahwa
Ayase-san lemah terhadap panas.
“Aku
ingin menanyakan tentang masalah ajakan kolam renang dari Narasaka-san.”
“Aku
tidak pergi.”
Aku
tidak diberi waktu untuk menyelesaikan kalimatku. Ayase-san pasti melihatku bingung,
karena dia langsung cepat-cepat membuat alasan.
“Lagipula,
aku tidak punya waktu untuk membuang-buang waktu di kolam renang.”
Itulah
yang aku cemaskan. Bukannya Ayase-san mencoba membuatku marah atau semacamnya.
Dia masih memiliki pola pikir bahwa setiap waktu yang dihabiskan untuk bermain
atau bersenang-senang harus dihindari seperti penyakit. Dia tidak berpikir kalau
dia perlu waktu untuk bersantai dan fokus pada hal lain. Hatinya seperti bambu
hijau, tumbuh tanpa henti teapi hanya tegak lurus ke atas. Ada pepatah jadul
yang samar-samar aku ingat mengatakan sesuatu seperti itu. Jadi aku mulai
memikirkan seseuatu. Bila aku mencoba mengikuti kemauannya, dia akan semakin
keras kepala.
“Baiklah,
itu tidak masalah. Aku cuma berpikir kalau aku mungkin ingin pergi. Jadi bisa
tidak kamu memberitahuku informasi kontak Narasaka-san? ”
Untuk
saat ini, aku mulai bertindak seakan-akan tertarik pada ajakan Narasaka-san,
jadi aku memberi Ayase-san kesempatan untuk menurunkan kewaspadaannya dan
mungkin memikirkan kembali pilihannya. Ayase-san akhirnya menatap mataku.
“Gak
mau.”
“Eh?
… Um, apa?” Aku terkejut saat mendengar penolakannya.
Lagi
pula, aku tidak menyangka akan mendapat penolakan secara langsung dan
blak-blakan begitu. Ayase-san tidak suka bertindak berdasarkan emosi tanpa didasari
logika. Aku tidak pernah menyangka bahwa Ayase-san membalas dengan nada yang
begitu marah hanya karena aku meminta informasi kontak Narasaka-san. Belum lagi
Narasaka-san mungkin berencana menghubungiku sejak awal. Apalagi, meski dia
sendiri yang mengatakannya, Ayase-san tampak terkejut dengan balasan yang
keluar dari mulutnya.
“Eh,
tunggu, bukan begitu maksudku. Memberikan informasi kontak seseorang kepada
orang lain tanpa izin…merupakan perilaku tidak sopan.”
“Ahhh…”
Memang
masuk akal. Alasan itu akan menjelaskan reaksinya tadi. Bagaimanapun juga, kamu
harus melindungi info privasi orang lain. Tindakan tersebut sangat mirip dengan
sikap Ayase-san. Yup, aku mempercayai alasan tersebut.
“Biar
aku tanyakan dulu ke Maaya. Aku nanti akan memberitahumu jika sudah mendapat
tanggapan darinya.”
“Oke.”
Dia
pasti menggunakan media LINE atau email. Jika memang begitu, kupikir hal itu
takkan membutuhkan waktu lama. Dan karena dia bilang masih ingin belajar lagi,
aku segera meninggalkan kamarnya. Karena kita akan bertemu nanti untuk shift
kerja sambilan kita, aku bisa menunggu. Aku menutup pintu dan kembali ke
kamarku sendiri. Masalah saat ini ialah aku tak bisa memikirkan sesuatu yang
dapat membuat Ayase-san menerima ajakan ke kolam. Saat ini, Ayase-san seperti
gunung yang tak tergoyahkan yang hanya fokus pada belajar dan pekerjaan
sambilannya. Dilihat dari keadaannya, dia pasti berada di bawah banyak tekanan
mental.
Bukan
masalah untuk membuatnya pergi ke kolam renang. Aku hanya ingin dia
beristirahat sejenak dari rutinitasnya sebelum dia benar-benar hancur. Hanya
itu yang kupikirkan, dan kuharapkan. Jadi aku memutuskan untuk menanyakannya
nanti selama jadwal kerja sambilan kami.
Aku
meninggalkan apartemen saat menjelang siang. Setelah mengayuh sepeda menerobos suhu
panas mengepul yang naik dari beton yang mendidih, Aku sempat beristirahat
beberapa kali di jalan turunan bukit, dan sudah menyiapkan beberapa botol air ke
dalam tas di keranjang sepedaku supaya terlindungi dari kemungkinan sengatan
panas. Aku bisa merasakan kalau butiran keringat mulai menumpuk di tubuhku,
tapi menekan keinginanku untuk berhenti dan menyekanya. Bukannya aku membenci berkeringat
begini, sih.
Di tengah Omotesando di mana kamu bisa melihat mahasiswa yang sibuk, aku menemukan satu bangunan formal yang sepertinya tidak cocok untuk lokasi tersebut. Bangunan tersebut merupakan tempat les terkenal yang ditargetkan untuk orang-orang yang mencoba lulus ujian masuk Todai.[1] Setiap kali aku menghentikan sepedaku dan memasuki gedung ini, aku merasa lega. Daripada semua tempat yang penuh dengan para riajuu di Shibuya, tempat yang dipenuhi siswa rajin ini membuatku merasa jauh lebih damai. Di dekat tempat les ini juga terdapat butik populer dan toko kue panekuk yang populer di media Insta, yang menarik banyak mahasiswi.
Aku
memasuki ruang kelas dan duduk di pojok ruangan. Berbeda seperti di sekolah,
kursi duduk di tempat les tidak ditetapkan atau sejenisnya, tapi kurasa itu
sudah menjadi sifatku untuk mencari tempat terbuka. Omong-omong, aku bukan
murid dari tempat les ini, aku di sini cuma untuk menghadiri kursus khusus
musim panas. Ada banyak pelajar di sekitarku yang sama dalam hal itu. Mereka bahkan
tidak banyak berbicara satu sama lain, dan hanya fokus pada buku pelajaran
mereka saat menjawab soal-soal yang ada.
Meski
SMA Suisei dikenal sebagai sekolah elit, bukan berarti semua murid di dalamnya
adalah siswa yang rajin, jadi perbedaan suasana antara kaku dan santai tidak
datang dari nilai atau kepribadian, melainkan hanya hubungan manusia yang
terjadi di dalam kelas. Ngomong-ngomong tentang masalah murid, pelajar yang
mengikuti les ini umumnya memiliki rambut hitam, tidak memakai aksesoris atau
riasan mencolok, dan tidak berusaha menonjol dengan cara yang aneh. Di sini,
semua orang yang akan dianggap rajin dari sudut pandang umum. Mereka berbeda
dari siswa di sekolah, terutama dalam cara mereka terus-menerus melihat buku
pelajaran mereka.
Mereka
lebih mirip seperti Ayase-san, setidaknya menurut pendapat pribadiku. Baik mode,
warna rambut, dan penampilan luarnya benar-benar bertentangan dengan ini, tapi
sifat rajin dan keseriusan niatnya sangat mirip. Dia menjalani hidup dengan
kekuatan penuh, yang seakan-akan tidak punya waktu untuk bersantai. Dia berbeda
dari orang sepertiku yang hanya berusaha mendapatkan nilai yang lumayan untuk
masuk ke universitas yang menurutku lumayan. Pandangan matanya mirip seperti
seseorang yang sedang bertarung.
Namun,
cara Ayase-san memaksakan dirinya sendiri sangat berbeda ketimbang orang-orang
di sini. Lagi pula, dia menginginkan kesuksesan finansial dan berdiri di atas
kakinya sendiri, itulah sebabnya dia bahkan tidak berpartisipasi dalam kursus
musim panas ini, karena dia ingin membayarnya sendiri. Jika rata-rata peserta
ujian mencoba untuk puas dengan belajar mandiri, mereka hanya akan diejek dan
terlihat sombong serta dianggap sebagai seseorang yang mencoba melawan tren,
tetapi saat kamu melihat Ayase-san mendapatkan nilai tinggi di hampir semua
mata pelajaran dan menghafal semua yang berkaitan dengan pelajaran tersebut,
mau tak mau kamu cuma akan dibuat tersenyum masam.
Bahkan
kelemahannya dalam Bahasa Jepang Modern entah bagaimana telah berkurang sejak
bulan lalu, dan dia perlahan berubah menjadi murid yang sempurna… Yah, untuk
seseorang sepertiku yang bukan orang gila yang berkembang dengan usaha,
perlahan tapi pasti meningkatkan pengetahuanku merupakan satu-satunya hal yang
bisa aku harapkan. Lagipula, penting untuk mengetahui sampai sebatas mana
keterampilanmu sendiri.
“Um…”
“Eh?
Ah iya?”
Ada
suara samar yang tiba-tiba memanggilku, dan aku memberikan respon yang
terlambat. Karena ini adalah pertama kalinya ada murid lain yang mencoba
berbicara denganku selama kursus musim panas ini, aku perlu beberapa detik
untuk menyadarinya. Suara tersebut berasal dari seorang gadis yang duduk di
sebelahku. Tidak setiap saat, tapi aku merasa seperti pernah melihatnya duduk
di sebelahku beberapa kali sebelumnya. Penampilan dan fashionnya tidak terlalu
membuatnya menonjol, dan bahkan mungkin bisa dibilang polos, tapi ada satu
bagian yang benar-benar membuatnya menonjol—tinggi badannya.
Aku
berasumsi kalau tingginya sekitar 180cm. Seorang gadis yang lebih tinggi dariku
sedang berbicara kepada aku, dan entah kenapa aku merasakan tekanan aneh untuk
beberapa alasan. Namun suaranya tidak memiliki kepercayaan diri.
“Kamu
menjatuhkan sesuatu.”
“A-Ah,
terima kasih banyak.” Aku pasti menjatuhkan
bookmark-ku saat membuka buku
pelajaran tadi.
Aku
berterima kasih kepada gadis itu dan mengambilnya, lalu pandanganku bertemu
dengan tatapannya lagi.
“Itu
bookmark dari pameran musim panas, ‘kan? Yang bisa kamu dapatkan dari toko buku
dekat stasiun kereta.”
“Y-Ya,
itu benar.”
Aku
tidak bisa memberitahunya kalau aku bekerja sambilan di sana. Sesuatu di dalam
diriku mencegahku untuk memberi tahu orang asing mengenai informasi pribadiku.
“Aku
cukup sering mampir ke sana. Sungguh kebetulan sekali.”
“Lagipula,
Cuma itu satu-satunya tempat dimana kamu bisa membeli buku.”
“Kamu
benar, hahaha.” Gadis jangkung membalas seraya tertawa ringan.
Di
situlah percakapan kami berakhir. Bukannya dia ingin berbicara denganku atau
semacamnya, tetapi dia berbicara kepadaku karena bookmark, dan menemukan topik percakapan yang umum untuk sesaat.
Jenis percakapan biasa tanpa makna khusus di baliknya. Aku melirik gadis itu,
yang sudah berbalik ke mejanya sendiri, tapi kemudian merasa ada yang tidak
beres.
...Apa
dia pernah datang ke toko buku? Karena kami berdua sama-sama pelajar SMA,
kehidupan sehari-hari kami saat ini seharusnya hampir sama, tapi aku belum
pernah melihat wajahnya saat aku bekerja sambilan. Aku tidak berpikir kalau aku
akan melupakan seseorang yang memiliki perawakan model seperti dirinya. Yah,
aku juga tidak bekerja di sana 24/7, dan dia mungkin bukan pelanggan tetap.
Kita mungkin tidak pernah saling berpapasan. Dengan pemikiran seperti itu, aku
berbalik ke arah mejaku sendiri.
Hanya
itu satu-satunya peristiwa penting dibandingkan dengan keseharian kursus musim
panasku yang biasa. Aku juga tidak mengobrol lagi dengan gadis itu. Aku hanya
menghabiskan waktuku sama seperti sebelumnya.
Dari
siang sampai sore, aku fokus pada materi belajarku. Setelah blok waktu terakhir
berakhir dan aku memeriksa waktu, aku masih punya waktu sekitar 40 menit sampai
jadwal kerjaku dimulai. Toko buku berjarak sekitar sepuluh menit dari sini
dengan sepeda aku. Tentu, itu adalah sesuatu yang aku ingat saat memilih tempat
les ini.
Aku
memasukkan buku pelajaranku ke dalam tas dan dengan cepat melangkah keluar dari
gedung tempat les. Aku meraih sepedaku dan hendak pergi. Karena alur tindakan
ini telah berulang selama liburan musim panas, dan menjadi sesuatu yang seperti
rutinitas, otakku menjalankan tindakan ini secara otomatis. Namun, ada sesuatu
yang berbeda terjadi hari ini.
“Hah?”
Aku
tanpa sadar berkedip terkejut. Saat aku sedang asyik dengan sepedaku, aku
melihat seseorang duduk di kursi dekat jendela toko panekuk tepat di depan
tempat les. Rambut hitam panjangnya tetap rapi dengan ikat kepala katyusha, dan
dia mengenakan model rok yang tampak seperti rok flare yang bergaya. Tentu
saja, orang yang memberikan kesan seorang Ojou-sama ini tidak lain adalah
seniorku di tempat kerja, Yomiuri-senpai.
Orang-orang
yang sedang bersamanya pasti teman dari kampusnya. Mereka duduk di kursi untuk
empat orang di dalam toko, dan berdiskusi serius sambil memakan kue panekuk
mereka. Karena jarakku cukup dekat, dan mereka berbicara dengan suara yang
cukup keras, aku dapat menangkap potongan percakapan mereka. Dua dari mereka
tampaknya seummuran dengan Yomiuri-senpai, dan mungkin mahasiswa, tapi wanita
ketiga memiliki aura yang jauh berbeda tentang dirinya.
Lagi pula,
dibandingkan dengan gadis-gadis lain yang mengenakan pakaian yang sesuai dengan
cuaca musim panas, dia mengenakan kardigan lengan panjang, dan mengamati wajah
Yomiuri-senpai serta dua wanita lainnya.
“Sekarang, siapa lagi yang tidak setuju? Penelitian humaniora[2] kita sedang dibandingkan dengan bidang keilmuan lainnya dan disebut soft science karena tidak dapat memberikan berkontribusi pada masyarakat. Kita bahkan mempertanyakan keberadaan kita sendiri. Jika terus begini, semua penelitian kalian dan validitasnya akan dibatalkan. ”
Para
mahasiswa tersebut tampaknya tidak dapat mengatakan apa-apa dalam menghadapi pernyataan
keras ini. Mereka hanya menyusut di tempat sambil bertukar tatapan tak berdaya.
Pada saat yang sama, wanita berpengetahuan itu tersenyum tanpa peduli,
mengambil sepotong pancake lagi dan memasukkan ke mulutnya. Tidak peduli
bagaimana kamu melihatnya, diskusi semacam itu bukanlah diskusi yang
sepantasnya dilakukan di toko panekuk populer, tapi pelanggan lain di sekitar
mereka tidak tahu apa yang mereka bicarakan dan tidak mau campur tangan, atau
hanya mengabaikannya dan menganggap sebagai obrolan pelanggan lain. Di tengah
suasana yang berat ini, satu orang akhirnya membuka mulut. Orang tersebut
adalah Yomiuri-senpai.
“Jika kita mendefinisikan hard sains[3] dengan tindakan membuktikan reproduktifitas hukum melalui eksperimen, sejauh penemuan yang diperoleh dari hard sains berjalan, mereka jelas memiliki kontribusi yang lebih tinggi terhadap masyarakat. Selama ini fakta yang diterima secara umum, tidak ada ruang bagi kita untuk menyangkal ilmu-ilmu sains dari sudut pandang kita.”
“Cerdik.
Sepertinya kamu sudah menerima kenyataan bahwa memutarbalikkan kebenaran untuk
tidak setuju dengan sebuah pernyataan hanyalah permainan kotor. ”
“Ya,
dan Saya ingin mengatakan bahwa ada makna di balik penelitian humaniora.”
“Contohnya?
Meneliti literasi atau fakta sejarah hanyalah tugas sederhana. Aku tidak setuju
dengan gagasan keluarga kerajaan yang menawarkan sumber daya untuk penelitian
yang tidak memberi kita manfaat apapun.”
“Menemukan
kebenaran di balik sejarah yang dialami nenek moyang kita adalah pertanyaan
primitif dan esensial tentang bagaimana manusia harus berperilaku.”
“Apa
benar begitu? Sastra dan sejarah tidak lebih dari kenangan yang diwariskan
hingga sekarang dari orang-orang di masa lalu. Meski kamu memahami konsep ini,
tak bisa dipungkiri bila kamu tak mampu memahami kecenderungan manusia modern
dan rata-rata.”
“‘Pelajarilah masa lalu, maka kamu akan
mengetahui masa depan.’ Bukankah seharusnya kita mencari masa lalu untuk
menemukan petunjuk bagaimana memecahkan masalah modern?”
“Maksudmu
sejarah akan terulang kembali?”
“Ya.
Kita dapat melihat bahwa ada penyebab konflik sosial yang berulang di masa
lalu. Jadi, bukannya adil untuk mengatakan bahwa belajar dari masa lalu akan
membuka jalan untuk menemukan jawaban yang memadai di masa sekarang?”
“Ahh,
kalau itu sangat tidak logis, Yomiuri-kun.”
“Hah?”
“Pepatah
yang mengatakan kalau sejarah akan terulang kembali tidak lain hanyalah kesan
dari seseorang di masa lalu. Tanpa data substansial yang konkrit dari masa
lalu, mana mungkin bisa membuktikan reproduktifitas apa pun tidak peduli
seberapa banyak kamu menelitinya. ”
“Urhk…”
Yomiuri-senpai
tak bisa berkutik, dan kehilangan kemampuannya untuk membuat bantahan. Sedangkan
wanita berpengetahuan itu, mulai memegang sepotong kue panekuk di garpunya dan
memutar-mutarnya.
“Zaman
sekarang telah memungkinkan untuk mengamati data dari peristiwa apa pun yang
dapat kamu bayangkan. Penghimpunan dan pengumpulan data sekarang cukup mudah
didapatkan, dan hal ini membawa kebenaran dari orang-orang yang dianggap tidak
dapat dibuktikan ke depan. Apa orang-orang di masa depan dapat belajar banyak
dari masa lalu atau tidak, bagi kita inilah masa sekarang. Jika seseorang ingin
mendapatkan petunjuk dari masa lalu untuk memecahkan masalah, itulah yang harus
menjadi prioritas pertamamu untuk melakukannya dengan bantuan ilmu alam, benar?
Apa ada yang keberatan?” Wanita itu menyentakkan dagunya saat menanyakan ini,
dan Yomiuri-senpai segera menjawab.
“Ya.
Nilai-nilai manusia di zaman kita saat ini tetap tidak terputus dan ada di atas
budaya kita. Dengan belajar tentang sastra, kita bisa mempelajari masa lalu,
belajar tentang agama mereka, belajar tentang sopan santun mereka, yang kemudian
memungkinkanmu untuk mendapatkan pengamatan yang dapat disesuaikan dan akurat
tentang bagaimana kita berakhir seperti sekarang ini. Misalnya, seorang artis di
suatu negara membuat video musik yang merendahkan agama negara lain, yang
kemudian menimbulkan kemarahan warga negara tersebut. Apa ada cara ilmiah untuk
membuktikan alasan kemarahan ini? Bisakah kita memberikan perkiraan atau
rencana untuk meredakan kemarahan mereka? Seorang peneliti humaniora pasti akan
memunculkan beberapa teori tentatif yang berbeda.”
“Hmm,
argumen yang cukup agresif, tapi alasanmu tidak salah.”
Faktanya,
tindakan Shiori-senpai menunjukkan bahwa itu pasti argumen yang cukup kuat.
Untuk pertama kalinya, wanita itu berhenti memainkan garpunya dan mulai
memikirkan apa yang Yomiuri-senpai katakan. Namun, dia cuma butuh beberapa
detik untuk mulai berbicara lagi.
“Bagaimana
kamu bisa membuktikan kausalitas bahwa kemarahan tersebut terkait dan berasal
dari sejarah dan agama negara itu?”
“Eh?”
“Apa
kemarahan ini muncul semata-mata karena budaya mereka dipandang rendah? Mungkin
musiknya membuat para penduduk tidak nyaman, dan format videonya membantu
memperkuat kemarahan ini?”
“Keterkaitan
itu dapat terungkap dengan penyelidikan menyeluruh dan eksperimen sosial dengan
orang-orang yang terlibat.”
“Skakmat.”
“Eh?
…Ah.”
Yomiuri-senpai
terdiam, dan wanita itu mencuri sepotong kue panekuk sambil tersenyum. Tidak
sesuai dengan usianya yang dewasa dan berpengetahuan, wanita itu mulai
mengunyah irisan yang dia curi seperti anak kecil yang tidak bersalah.
“Kamu
tidak bisa membantah itu. Pada dasarnya, kamu baru saja mengakui kalau membaca
literatur masa lalu sama sekali tidak ada artinya, dan bahwa kita harus fokus
pada penelitian tentang apa yang terjadi di masa sekarang. Sayang sekali, lain
kali tolong siapkan logika yang lebih baik, Yomiuri-kun.”
“Urk…”
Yomiuri-senpai memegangi kepalanya dengan frustasi dan menerima kekalahan.
Setelah
itu, dia menusukkan garpunya ke kue panekuk dan memasukkannya ke dalam mulutnya.
Melihatnya mengunyahnya dengan agresif sambil masih cemberut membuatnya tampak
jauh lebih kekanak-kanakan, yang sejujurnya mengejutkanku. Seluruh diskusi
pertanyaan dan jawaban, dan bahkan tingkah lakunya sekarang, benar-benar
berbeda dari bagaimana aku mengenalnya di tempat kerja. Karena dia selalu
menunjukkan apa-apa selain muka santai dan superioritas terhadapku. Melihatnya
kehilangan kata-kata dan merasa terpojok anehnya terasa menyegarkan di mataku.
“Kudou-sensei,
kenapa Anda terus-terusan membuat bantahan? Anda juga bagian dari fakultas
humaniora.” Tanya Yomiuri-senpai.
Sepertinya
wanita berpengetahuan ini bernama Kudou. Bila dilihat dari cara Yomiuri-senpai
memanggilnya 'Sensei', dia pasti seorang profesor, atau lebih tepatnya lektor. Aku
pernah membaca di sebuah buku bahwa seseorang tidak bisa menjadi profesor tanpa
mencapai usia tertentu, dan wanita ini tidak terlihat setua itu.
“Sebenarnya
ini sederhana. Aku mengerti bahwa perasaan yang sebenarnya dan ucapan manis di
bibir adalah dua hal yang berbeda.”
“Begitu…
Lantas, argumen apa yang akan kamu buat, Sensei?”
“Aku
akan mulai dengan bertanya 'Apa yang
salah dengan menjadi soft sains'?.”
“…Eh?”
“Memang
benar bahwa humaniora dikategorikan sebagai soft
sains, tapi kamu masih bisa membantah premis bahwa humaniora tidak
memberikan kontribusi apa pun kepada masyarakat. Memang benar bahwa penelitian
dan kemajuan ilmu pengetahuan alam akan secara langsung berdampak dan
mempengaruhi kesejahteraan umat manusia secara keseluruhan, tetapi sayangnya
kebahagiaan umat manusia bukanlah sesuatu yang memiliki nilai langsung yang
terkait dengannya. Kebenaran dan kebahagiaan sayangnya tidak memiliki
kecenderungan yang sama di seluruh umat manusia. Misalnya saja, secara pribadi
aku merasa kalau makan panekuk manis dan lezat ini sebagai kebahagiaan
terbesar, tapi berapa persentase orang di dunia ini yang akan setuju dengan pendapatku?”
“Bukankah
mempunyai anak di dunia ini umumnya dilihat sebagai kebahagiaan bersama di
antara manusia?”
“Jadi
maksudmu mereka yang tidak ingin punya anak takkan pernah bisa benar-benar
bahagia?”
“…
Poin yang valid. Ada lebih banyak orang di zaman sekarang yang tidak
menginginkan anak.”
“Tepat
sekali. Seperti yang terjadi, tesis kebahagiaan umat manusia—atau bagaimana
umat manusia harus terus ada—masih samar-samar. Bahkan hasil dan penemuan sains
hanya dapat mencapai hal-hal yang bersifat dangkal. Justru karena kita adalah
bagian dari soft sains, dan ilmu praktis, kamu harus menerima penelitian kami
jika kamu tidak ingin masyarakat dan dunia ini runtuh. Itulah mungkin jawaban yang
akan kuberikan.”
“Ahh,
saat Anda mengatakannya dengan cara begitu …”
“Membawa
perhatian pada komunikasi dengan negara lain bukanlah upaya yang buruk. Jika kamu
sudah menerima kenyataan kalau kita merupakan soft sains, dan kemudian
menunjukkan nilai yang kita tawarkan, hal itu mungkin bisa menjadi upaya yang
lebih baik. ”
“Sangat
menarik… Terima kasih banyak, Kudou-sensei.” Yomiuri-senpai menundukkan kepalanya
ke arah wanita itu dan menghela nafas. “Ya ampun, aku benar-benar tidak bisa
mengalahkan anda, Sensei.”
“Tidak.
Kamu masih luar biasa, Yomiuri-san, aku tidak bisa mengikuti sama sekali sejak
awal.”
“Benar,
benar ~”
“Hei,
kalian berdua. Jangan bertingkah seolah-olah tidak ada kaitannya dengan kalian.
Aku mentraktirmu panekuk mahal, jadi kamu harus menghiburku. Sekarang, untuk
topik debat kita selanjutnya…”
“Ehh,
mana mungkin kita bisa menang melawan Yomiuri-san!”
Mahasiswi
tersebut menyuarakan keengganan mereka. Adapun Yomiuri-senpai, tepat ketika
topik pembicaraan baru muncul, dia mengalihkan pandangannya dari
teman-temannya, mungkin untuk menyembunyikan rasa frustrasinya. Saat
memalingkan tatapannya, dia secara kebetulan melihat ke arahku... atau mungkin
tidak secara kebetulan, dilihat dari situasinya. Tatatapannya kemudian
berpapasan dengan mataku ketika aku berdiri di samping jalan. Gawat, pikirku.
Aku
mungkin secara tak sengaja mendengar sebagian dari percakapan mereka, tetapi
jika dilihat secara objektif, aku taka da bedanya dengan menguping. Aku tak
bisa benar-benar mengatakan aku melakukan sesuatu yang terpuji . Namun,
Yomiuri-senpai segera berpaling dariku dan melirik jam tangannya.
“Maaf,
Kudou-sensei, sudah waktunya saya harus pergi untuk pekerjaan sambilan saya.”
“Ya,
silahkan saja. Jangan khawatir tentang pembayarannya.”
“Terima
kasih banyak telah mentraktir saya.” Yomiuri-senpai membungkuk sopan,
meletakkan tas di atas bahunya, dan meninggalkan toko.
Saat
melewatiku, dia melirik sekilas ke arahku yang seolah-olah ingin menyampaikan
pesan, jadi aku mengikutinya. Beberapa menit kemudian, ketika toko panekuk
tidak terlihat lagi, aku berbicara dengan Yomiuri-senpai.
“Aku
minta maaf tentang apa yang terjadi tadi.”
“Karena
kamu sudah meminta maaf, itu berarti kamu mengakui kesalahanmu, ‘kan?”
“Oke,
tunggu sebentar. Itu salah paham. Aku tidak melakukannya dengan sengaja.”
“Jadi
kamu ini penjahat yang tidak tahu kapan harus menyerah, huh…Yah, kurasa kamu
tidak menguntitku atau semacamnya.”
“Aku
sangat berterima kasih atas pengertian dan itikad baikmu.”
“Karena
kamu cukup pintar, kamu mungkin akan menggunakan metode yang lebih gila jika
kamu ingin menguntit seseorang.”
“Aku
benar-benar tidak membutuhkan pengertian semacam itu, oke?” Demi menghadapi
kritik keras seperti itu, aku membuka tasku dan menunjukkan buku pelajaranku. “Aku
baru saja dari kursus musim panasku. Aku membawanya ke tempat les di dekat toko
panekuk tadi.”
“Ahh.
Begitu rupanya, sohib.”
“Waah,
sangat percaya dan yakin dengan pilihan kata-katamu yang aneh.”
“Pada
dasarnya, kamu tidak hanya menungguku, tapi juga mendengarkan percakapan kita?”
“Itu…”
Dia
menjebakku. Aku meloncat ke lubang jebakan yang sudah disiapkannya melalui
pertanyaan yang dipandu, yang mana membuatku tidak bisa mengatakan apa-apa.
Melihatku tak bisa membalasnya, Yomiuri-senpai tertawa terbahak-bahak.
“Aku
cuma bercanda doang, kok. Cuma ingin membalasmu sedikit karena kamu sudah
melihatku dalam situasi yang memalukan. Ayo pergi.”
“Ah
iya.”
Aku
buru-buru turun dari sepedaku dan mulai berjalan di sebelah Yomiuri-senpai,
sembari menuntun sepedaku. Aku melirik sekilas ke arahnya. Rambut hitamnya yang
indah, cara berpakaian yang sopan dan pantas, dia memancarkan aura seorang
wanita bangsawan saat berada di bawah pancaran sinar matahari putih. Walaupun
hari sudah menjelang malam, namun sinar matahari masih tampak cerah dan terang
seperti siang hari. Waktunya sudah malam hari saat kami pergi menonton bioskop
bulan lalu, tapi pakaian ini membuatnya tampak lebih rapi dan berkilau dari
biasanya.
“Aku
tidak menyangka kamu akan berada di sana untuk melihat logikaku dihancurkan
berkeping-keping dan frustrasi seperti itu. Kebanggaanku sebagai Senpai sangat
terluka. ”
“Tidak
juga,…”
Karena sejak awal aku tidak pernah
menghormatimu —aku memaksa
diriku untuk berhenti sebelum mengucapkan kalimat ini. Namun, nuansa dalam apa
yang hendak aku katakan tadi sepertinya telah tersampaikan, saat Yomiuri-senpai
menatap tajam ke arahku. Karena merasa seperti ditusuk oleh jutaan jarum, aku
segera mengganti topik pembicaraan.
“Ngomong-ngomong,
siapa orang itu barusan?”
“Apa
kamu bertanya tentang Kudou-sensei?”
“Ya,
beliau.”
“Kouhai-kun
memang beda. Padahal ada tiga mahasiswi muda dan cantik, tapi kamu malah
melihat wanita yang matang itu. ”
“Bukannya
omongan Senpai sedikit kasar karena berbicara tentang usianya?”
“Hal-hal
semacam itu diperbolehkan jika sesama wanita, Kouhai-kun.”
Aku
ingin tahu apa dia belajar tentang itu dari Kudou-sensei juga. Tentu saja, aku
bahkan tidak berani bertanya. Aku tidak ingin menambah masalah yang sudah
kualami hari ini.
“Kudou-sensei
adalah seorang lektor di universitasku. Kurasa kamu pasti sudah bisa menebak
sebanyak itu dari usianya, ‘kan? ”
“Ya,
samar-samar. Tapi bukannya kamu sedang liburan musim panas? Memangnya Senpai
biasanya makan panekuk bersama lektormu seperti itu?”
“Beliau
kadang-kadang mengundang kita keluar seperti itu. Yah, meski tidak banyak orang
yang benar-benar bergabung dengannya.”
“Jadi
Senpai berbeda dengan yang lain. Apa itu yang ingin kamu katakan, Tuan Sadar
diri?”
“50
poin untuk komentar itu.”
“Apa
kamu tidak senang sekarang? Biasanya kamu selalu menggodaku seperti itu.”
“Setidaknya
panggil aku Nyonya Sadar diri. Lagipula aku ini perempuan. ”
“Itulah
yang membuatmu tidak senang?”
Rupanya,
dia tidak memiliki keluhan tentang disebut sadar diri.
“Di
kampus, aku sebenarnya termasuk dalam kelompok orang yang rajin. Aku ragu kamu
bahkan dapat membayangkan bagaimana perilakuku di kampus karena aku bertingkah
sangat berbeda di sekitarmu. ”
“Aku
tahu kalau Senpai orang yang pintar, jadi itu tidak terlalu merusak citra… Aku
cuma terkesan bahwa di atas langit masih ada langit lain, ya.”
“Yeah,
Kudou-sensei sepertinya dia hidup di dunia yang berbeda.”
“Aku
tidak terlalu bisa memahami hanya dengan satu adegan yang aku lihat.”
“Dia
selalu seperti itu. Rasanya seperti tak punya batas, dan seringkali sulit untuk
mengetahui apa yang dia pikirkan~”
“Yah,
kamu juga seperti itu, Yomiuri-senpai.”
Dia
merupakan gadis lebih tua dariku yang sepertinya selalu memiliki semacam trik
di tangannya, dan tidak mengizinkanku untuk memahami apa pun tentangnya. Dengan
pengetahuan yang luas dan kepala yang cerdas, rasanya dia selalu membuatku
menari di atas telapak tangannya. Mungkin perbedaan usia di antara kami adalah
sesuatu yang secara tidak sadar aku sadari, yang kemudian menyebabkanku
bereaksi seperti itu. Mungkin ini adalah sesuatu yang sangat umum. Jika aku
berdiri di panggung yang sama dengan Yomiuri-senpai, apa aku bisa memahaminya
sepenuhnya? Selagi aku memikirkan itu, Yomiuri-senpai membuat ekspresi
blak-blakan.
“Eh,
aku tidak mau.”
“Tidak
mau apa?”
“Kamu
berpikir tentang bagaimana kamu akan mengalahkanku suatu hari nanti, kan?”
“Hah?”
Karena
tidak dapat melanjutkan apa yang baru saja diberitahukan, aku mengeluarkan
suara tercengang.
“Ini
membuat frustrasi jika kamu kurang pengetahuan dan kecerdasan, oke? Suatu hari
aku akan memberitahumu.”
“Memangnya
edukasi selalu menjadi pertempuran seperti ini?”
“Begitulah
caraku menikmatinya. Apa kamu tidak menduganya?”
“Tidak,
itu sangat masuk akal.”
Jika
dilihat dari penampilan luarnya saja, dia tampak seperti pembaca buku yang
sopan dan rapi, seorang gadis sastra yang mencoba untuk mendapatkan pengetahuan
melalui membaca buku. Namun, dia juga memiliki hati pemberontak layaknya
seorang gadis remaja. Begitulah sosok dari Yomiuri Shiori.
“Tapi
mengadakan debat yang panjang dan serius seperti itu pasti melelahkan, iya, ‘kan?”
“Tentu
saja. Kamu harus selalu waspada supaya logikamu tidak kontradiksi, dan kamu
juga tidak bisa santai. Belum lagi Kudou-sensei adalah tipe orang yang segera
membongkar segala celah atau kontradiksi dengan logikamu. Debat semacam itu
sangat menegangkan dan melelahkan sehingga aku benar-benar tidak ingin melalui
hal semacam itu sebelum jam kerja sambilanku.”
“Meski
begitu, Senpai terlihat cukup proaktif.”
“Jika
aku melakukan sesuatu, aku akan melakukannya dengan sekuat tenaga. Meskipun itu
menjengkelkan. Yah, jika aku lelah, aku bisa mengisi ulang energiku dengan cara
yang berbeda. ”
“Dengan
cara apa?”
“Dengan
menggodamu. Aku mendapatkan banyak energi dan HP kembali. Ahh, berbicara
denganmu bisa membuatku rileks, Kouhai-kun.”
“Bukannya
kamu cuma memangsa kepolosan orang lain?"
“Terima
kasih telah menjadi sandaran kursiku, Nak~” Dia terdengar seperti nenek-nenek, sambil
meletakkan satu tangan di keranjang sepedaku dan berpura-pura terhuyung.
“Um.”
Aku hendak memintanya untuk berhenti menggunakanku seperti tongkat berjalan,
tapi aku menghentikan diriku sendiri.
Jadi
begitu rupanya. Inilah perbedaan terbesar antara Ayase-san dan Yomiuri-senpai.
Setelah kami melewati gang kecil dan mencapai jalan utama, toko buku berada
tepat di depan kami, dengan kami berdua berjalan bersebelahan bersama-sama.
Yomiuri-senpai tidak dapat menolak undangan Kudou-sensei untuk makan di luar
tidak peduli seberapa menyusahkannya itu, dan dia masih berpartisipasi dalam
diskusi. Tentu saja, dia mungkin menyadari manfaat bila melakukan semua kegiatan diskusi, tetapi
biasanya kamu ingin menghindari kelelahan fisik dan mental sebisa mungkin.
Meski begitu, dia berhasil menjaga keseimbangan kedua sisi, yang mana hal itu
sangat menakjubkan.
Sedangkan
aku, hal itu membuatku ingin memaafkannya atas papaun yang dia lakukan demi
kepuasannya sendiri Bahkan jika dia kadang-kadang muncul dengan logika yang tidak
masuk akal, percakapannya sendiri cukup menyenangkan bagi u untuk
mengabaikannya. Saat kamu mempunyai seseorang yang membuatmu bersikap santai
dan nyaman, kamu dapat menyeimbangkan sisi rajinmu dengan sisi yang tidak
terlalu rajin. Mungkin semuanya akan terselesaikan jika Ayase-san memiliki
seseorang seperti itu?
“Ah…”
Tepat
saat aku memikirkan hal itu, Yomiuri-senpai dan aku yang sedang berjalan ke
toko buku, bertemu dengan Ayase-san yang sepertinya baru saja tiba. Rasanya
seperti kebetulan lain yang terjadi hari ini, tapi sekali lagi, kami berada di
jadwal kerja yang sama jadi tidak terlalu aneh bila berpapasan satu sama lain.
“Yaho,
Saki-chan!”
“Mm.
Ah, ya, halo. Kalian berdua datang bersama?”
Tampaknya
perjumpaan ini cukup tak terduga untuk Ayase-san, dan dia menunjukkan reaksi
dingin yang mirip dengan bagaimana dia akan bertindak di rumah, tapi dia dengan
cepat menunjukkan senyum ramah. Satu-satunya orang yang tidak menyadari ada
yang salah hanya Yomiuri-senpai.
“Kami
kebetulan bertemu di dekat tempat les yang Ia ikuti, iya ‘kan~ Kouhai-kun?”
“Um
... ya, itu benar.” Balasanku agak sedikit telat.
Entah
kebetulan atau tidak, aku mulai merasa canggung di depan Ayase-san. Mungkin
karena aku terus memikirkannya. Aku merasa menyedihkan, meski aku tidak
melakukan kesalahan apa-apa.
“Kebetulan?
Begitu ya.” Ayase-san perlahan mengulangi apa yang Yomiuri-senpai katakan
seperti sedang mengunyah kata-kata, lalu dia tersenyum lagi. “Yah, bahkan jika
kalian berdua cukup dekat untuk bertemu di luar jam kerja, aku, sebagai
keluarganya, merasa lega bahwa Asamura-kun bersama seseorang yang sehebat
Yomiuri-san.”
“Ehh?
Kamu penggoda yang bagus, Saki-chan.”
“Aku
cuma diberkati karena mendapat bimbingan yang baik darimu Senpai, fufu.” Bahu
Ayase-san dengan lembut bergerak ke atas dan ke bawah saat tertawa terkikik.
Kurasa
itulah yang diharapkan dari kemampuan beradaptasinya yang tinggi. Dia sepertinya
sudah menguasai kemampuan untuk berkomunikasi dengan Yomiuri-senpai. Namun, ada
sesuatu yang terasa janggal di hatiku. Apa Ayase-san pernah melakukan sesuatu
seperti ini? Maksudku, bercanda tentang hubungan orang asing yang tidak terlalu
dekat dengannya?
Dengan
pemikiran itu yang terus menggangguku, serta masalah ajakan ke kolam renang,
aku mempunyai segudang pertanyaan yang ingin kubicarakan dengan Ayase-san, jadi
aku memutuskan untuk membicarakannya selama bekerja. Namun, sama seperti
sebelumnya, pengunjung hari ini luar biasa ramai.
Saat
aku mempunyai sedikit waktu luang, Ayase-san justru sedang sibuk di kasir, dan
ketika aku melipat beberapa sampul buku untuk nanti, Ayase-san malah pergi
untuk memeriksa kondisi rak buku. Bahkan saat jam istirahat tiba dan aku
bertanya 'Apa kamu mendapat tanggapan
dari Narasaka-san?' Ayase-san cuma menggelengkan kepalanya dan meninggalkan
ruangan untuk membeli minuman di luar. Entah kenapa rasanya dia sedang
menghindariku.
Waktu
pun terus berlalu sampai sudah cukup larut bagi kami untuk pergi. Aku menyelesaikan
persiapanku untuk pulang dan menunggu Ayase-san seperti biasanya. Namun, orang
yang keluar dari ruang ganti justru Yomiuri-senpai.
“Ah,
Kouhai-kun. Saki-chan memintaku untuk memberitahumu sesuatu. Rupanya, dia ingin
mampir ke suatu tempat, jadi kamu bisa pulang duluan tanpa dia.”
“Eh?”
Aku mengerjap dengan kebingungan.
Tapi
aku tidak mendengar kabar tentang itu, kok? Aku sedikit panik dan memeriksa
ponselku, tetapi aku belum menerima pesan atau email apa pun dari Ayase-san.
Tepat ketika aku dalam keadaan linglung, ponselku bergetar. Aku panik dan
melihat ke bawah ke layar, dan melihat satu baris kalimat di sana.
"Aku mau berbelanja sesuatu, jadi kamu
bisa pulang duluan."
Itulah
satu-satunya kalimat yang aku terima melalui LINE. 'Baiklah', jawabku. Bukannya tidak ada toko yang buka setelah jam
10 malam. Mungkin dia membeli sesuatu yang terlalu canggung untuk dibeli
bersamaku? Meski begitu, semua ini terlalu mendadak sehingga mau tidak mau aku
jadi penasaran. Dan sekali lagi, rasanya dia sedang berusaha menghindariku.
Tidak, tidak, tidak. Mana mungkin begitu, iya ‘kan?
Sambil
memikirkan semua ini, aku mengayuh sepedaku dan dengan cepat mencapai apartemen.
Aku sekali lagi diingatkan seberapa cepat aku bisa pulang ke rumah jika mengendarai
sepedaku secara normal. Akan tetapi, saat aku bertanya pada diriku sendiri
apakah aku sangat ingin pulang ke rumah, jawabannya jelas tidak. Sepertinya aku
sudah terbiasa pulang bersama Ayase-san selama beberapa minggu terakhir.
Aku
memarkir sepedaku di tempat biasa dan berjalan memasuki apartemen. Karena
sekarang hari Senin, Ayahku sudah ada di rumah, dan mungkin tengah tertidur
pulas karena Ia harus bangun pagi-pagi besok. Sedangkan Akiko-san, dia pasti
sedang bekerja sekarang. Aku diam-diam menggumamkan salam 'Aku pulang' supaya tidak membangunkan Ayahku dan menuju ke ruang
tamu. Biasanya, sekarang sudah waktunya Ayase-san akan mulai membuatkan makan
malam untuk kita, tapi... Aku tidak bisa selalu mengandalkannya, ya?
Aku
membuka kulkas dan melihat beberapa salad. Selain itu, aku juga melihat panci
kecil yang ditutup dengan bungkus plastik.
“Sup
miso, ya?”
Mumpung
Ayase-san sebentar lagi juga pulang, aku menyiapkan dua mangkuk untuk sup miso
dan dua lagi untuk nasi, yang masing-masing untuk kami berdua. Aku mengeluarkan
salad, dan berpikir mengenai apa yang harus aku buat untuk hidangan utama.
Ketika aku memeriksa isi freezer dan kulkas lagi, aku menemukan beberapa
bungkus plastik kecil di dalam freezer.
“Apa
ini?”
Ketika
aku mengeluarkannya, ternyata nasi yang dimasak dengan bahan tambahan, tetapi
dibekukan. Ada nasi berwarna coklat dari kaldu sup, serta irisan jamur
shiitake, wortel, dan bahan lainnya yang tercampur di sana.
“Aku
pulang.”
Aku
berbalik dan melihat Ayase-san memasuki pintu depan.
“Apa?
Ah, makan malam… Maaf, aku akan segera membuatnya.” Ujarnya.
“Ah,
jangan khawatir tentang itu. Aku berpikir kalau aku mungkin ingin melakukannya
sendiri hari ini. Omong-omong, apa yang harus kulakukan dengan ini?” Aku
menunjukkan wadah plastik dengan nasi yang dimasak.
Karena
aku sudah menjalani sebagian besar hidupku tanpa konsep memasak nasi, aku tidak
pernah tahu untuk apa memasukkan nasi ke dalam freezer.
“Ah,
Yah. Aku membuatnya terlebih dahulu, jadi kamu hanya perlu menghangatkannya di
microwave. ”
“…Berapa
menit aku perlu menghangatkannya?”
“Itu
sudah tertulis di microwave.”
Saat
Ayase-san mengatakan itu, aku sebenarnya tidak tahu apa yang dia maksud, jadi aku
memeriksa microwave. Di atasnya, ada waktu yang direkomendasikan berbeda untuk
memasak berbagai jenis makanan yang kamu inginkan.
“Ah,
yang ini?”
Di
sana terdapat gambar ilustrasi dengan nasi di dalam mangkuk yang di atasnya
bertuliskan 'Hangatkan'. Kami telah
menggunakan microwave ini selama lima tahun, dan aku tidak pernah melihat
gambar tersebut. Aku lalu memasukkan wadah beku ke dalam microwave dan menekan
tombol mulai.
“Ah,
tunggu. Buka dulu tutupnya.”
“Kenapa?”
jawabku dengan nada kebingungan.
“Jika
kamu tidak membuka penutupnya, es di dalamnya akan mencair, dan nasinya akan
lengket semua. Aku tidak suka nasi yang seperti itu.”
“Begitu
…..ya?”
Aku
sebenarnya tidak tahu apa yang dia bicarakan, tetapi jika itu akan membuat nasinya
lebih baik, aku memutuskan untuk menurutinya. Saat aku sedang memanaskan nasi,
Ayase-san menyiapkan sup miso yang dia ambil dari dalam kulkas. Selain nasi
spesial, kami juga mempunyai sup miso tahu dan salad. Ayase-san juga mengeluarkan
beberapa tomat dari kulkas, memotongnya menjadi potongan-potongan kecil, dan
meletakkannya di atas salad. Kelihatannya cukup mewah rasanya saat melihat
warna hijau selada, kol, dan lobak potong serta warna putih salad yang
bercampur dengan warna merah tomat.
“Kelihatannya
sangat sedap dipandang.”
“Saat
memasak makanan bertema Jepang, hasilnya selalu terlihat agak kecoklatan, jadi
jika kamu menambahkan tomat atau paprika, warnanya akan sedikit lebih
bervariasi.”
Paprika pada dasarnya ialah buah yang berasa manis dan sedikit pedas dari suku terong-terongan yang mempunyai warna merah, oranye, dan bahkan kuning atau hijau. Aku pernah mencari-cari infonya di internet. Apalagi mereka tidak pahit seperti terong, jadi dengan dicuci sedikit, kamu bahkan bisa memakannya mentah. Sejak Ayase-san bertanggung jawab untuk bagian memasak di keluarga kami, semakin banyak hidangan aneh dan ide untuk memasak mulai bermunculan. Atau mungkin pengetahuan memasakku dan Ayahku sangat ketinggalan zaman. Tapi, mengesampingkan brokoli atau kembang kol, aku rasa kalian biasanya takkan menemukan sayur-mayur seperti romanesko[4] atau sayuran eksotis lainnya.
“Ada
banyak penemuan yang terjadi, ya?” Aku mulai merasa menyesal karena selalu
memakan semuanya dan tidak pernah memikirkannya.
“Itu
tidak seberapa jika kamu bertanya padaku.”
“Tidak,
tidak, aku selalu bersyukur. Sungguh. Aku sudah menyerah untuk mencari
pekerjaan sambilan bergaji tinggi itu, jadi aku merasa bersalah karena selalu
berada di pihak penerima.”
“Aku
sudah bersyukur karena kamu mencari beberapa BGM yang bisa meningkatkan
efisiensi belajar. Jadi kita berdua impas.” Ayase-san tersenyum tenang saat
mengucapkan itu.
Cuma
di waktu seperti ini rasanya semua suasana canggung dari beberapa hari terakhir
telah hilang. Setelah itu, Ayase-san memasukkan beberapa daun teh ke dalam teko
kecil. Aku melihatnya melakukan ini dan mengeluarkan dua cangkir teh dari rak
peralatan makan, lalu meletakkannya di depan Ayase-san. Setelah selesai menyeduh
teh, dia menuangkannya ke dalam dua cangkir sehingga kami memiliki sesuatu
untuk diminum dengan makan malam kami.
Nasi
hangatnya sangat berpadu dengan kaldu sup, dan rasanya enak. Belum lagi,
seperti yang Ayase-san katakan, nasinya tidak terlalu lengket, yang membuatnya
lebih enak.
“Jika
masih kurang, kamu bisa menghangatkan satu bungkus lagi dari freezer.”
“Tidak,
ini sudah cukup larut. Jadi segini saja sudah cukup.”
Saat
melirik jam dinding, aku melihat bahwa sekarang sudah hampir jam 11 malam.
Sesudah makan, aku harus mandi dan kemudian pergi tidur. Belum lagi Ayase-san
akan selalu mandi setelah giliranku, jadi semakin lama aku mandi, semakin lama
dia harus tetap terjaga. Namun, kali ini memang makan malam yang nyaman. Aku
merasa ragu sekarang. Rasanya hampir ingin mengakhiri hari tanpa menuntaskan
semua yang telah kita lalui sore ini. Sambil menghela nafas, aku memaksakan
diri untuk berbicara lagi.
“Jadi…
tentang masalah kolam renang dengan Narasaka-san.”
“Kita
masih membicarakan itu?”
“Maksudku,
aku masih belum mendapatkan informasi kontaknya. Jika dia menunggu jawabanku,
jadi kupikir tidak enakan rasanya membuatnya menunggu. ”
“…Baiklah,
aku akan memberitahumu.” Ayase-san terdengar agak kesal. Dia mengambil
smartphone-nya dari atas meja makan dan mulai mencari alamat kontak
Narasaka-san.
“Tunggu.”
Aku mengangkat telapak tanganku, memberi isyarat padanya untuk berhenti.
Ayase-san
memasang ekspresi yang agak bingung saat melihatku menyelanya.
“Aku
sebenarnya tidak peduli dengan alamat kontak Narasaka-san.”
“…Apa?”
“Atau
lebih tepatnya, aku tidak begitu tertarik pergi ke kolam renang bersama
Narasaka-san.”
Ekspresi
curiga Ayase-san sekarang berubah menjadi kebingungan. Pada dasarnya wajahnya
seakan menyiratkan 'Apa yang dia
bicarakan?' Atau mungkin aku hanya mengatakan sesuatu yang tidak dia duga.
Dan dia tidak salah, karena aku akan mengatakan sesuatu yang bertentangan
dengan apapun yang dia harapkan untuk kukatakan.
Aku
tidak keberatan mengenai Ayase-san tidak ingin pergi ke kolam renang. Dan jika aku
ingin menghormati kebebasan memilihnya, aku harus menunggunya berubah pikiran.
Orang yang dengan sengaja mengabaikan pendapat orang lain hanyalah orang egois
yang diperdaya oleh cerita mereka sendiri. Realitas bukanlah semacam cerita,
itulah sebabnya tindakan semacam ini merupakan sesuatu yang beracun, sesuatu
yang hanya bisa menyakiti orang lain. Aku tahu itu, tapi bukan berarti aku tidak
boleh mengkhawatirkannya.
“Aku
ingin pergi ke kolam bersamamu, Ayase-san.”
“Aku
tidak paham.” Muka Ayase-san terlihat seperti seolah-olah sedang melihat alien—atau lebih tepatnya, aku belum pernah
bertemu alien, jadi aku tidak tahu seperti apa mereka—tapi dia menatapku dengan
pandangan seperti itu.
Tapi
aku mengabaikan hal tersebut dan terus melanjutkan.
“Alasanku
mengatakan aku ingin pergi ialah karena kupikir kamu sendiri mungkin merasa
tertarik untuk pergi. Alasanku meminta info kontak Narasaka-san karena aku
berharap kalau kamu akan merasa iri karena cuma aku satu-satunya orang yang
bersenang-senang.”
“Aku?”
“Iya,
kamu.”
“Kenapa
juga aku merasa iri?” Ayase-san sepertinya tak bisa mengikuti konteks
pembicaraan ini.
Kalau
saja ini tumpang tindih dengan perasaan yang belum dia sadari, aku mungkin bisa
sedikit lebih lega.
“Kamu
ingin pergi ke kolam, kan?”
Mulut
Ayase-san tertutup, dan sepertinya dia sengaja merapatkan bibirnya supaya tidak
ada kata yang bisa keluar.
“Aku
mendengarnya dari Akiko-san. kamu benci dengan panas, jadi kamu selalu meminta
es krim, atau memohon padanya untuk mengunjungi kolam renang bersamanya ketika kamu
masih kecil, bukan? Dan bahkan sekarang, kamu tidak bisa menangani panas dengan
baik, ‘kan?”
“Itu…”
“Itu
benar, kan? Maksudku, ketika AC ruang tamu rusak, kamu langsung berdiam diri di
kamarmu. Mengetahui bahwa kamu seperti itu, kamu setidaknya akan sedikit
tertarik untuk mengunjungi kolam renang bersama teman-temanmu, bukan? ”
“Kenapa
kamu begitu mati-matian membuatku pergi ke kolam renang?"
“Ingat
apa yang dikatakan Ayahku? Setelah kita menjadi anak kelas 3, kita harus fokus
pada ujian masuk universitas, jadi kita perlu bersenang-senang sekarang selagi
bisa.”
“Ya,
Ia memang bilang begitu ...”
“Aku
paham kalau kamu ingin menjadi mandiri secepat mungkin. Tetapi jika kamu terus menekan
dan memaksakan diri seperti ini setiap hari, kamu akan pingsan bahkan sebelum
mencapai tujuanmu. Aku khawatir tentang itu, oke?”
“Kamu
khawatir…?”
“Benar.
Aku ingin kamu berhenti sejenak, Ayase-san. Aku pikir akan lebih baik bila kamu
beristirahat sebentar. ”
Aku
telah mengatakan semua yang aku ingin kukatakan, jadi yang bisa aku lakukan
hanyalah menunggu tanggapan Ayase-san.
“Kamu
tidak bisa ... mengatakan itu dengan pasti.” Tatapan Ayase-san mengarah ke atas
meja, alisnya menyempit ke bawah. “Aku tidak punya waktu untuk pergi ke kolam
renang. Seriusan tidak bisa.”
“Ayase-san…”
Dengan
bibir yang terkatup rapat, dia meraih catatan tempel di atas meja, lalu menuliskan
sesuatu yang dia baca dari teleponnya, dan meletakkannya di depanku dengan
kekuatan sedemikian rupa seolah-olah membantingnya di atas meja.
“Aku
mau belajar sekarang.” ujarnya. Dia meletakkan piringnya di wastafel dan pergi
ke kamarnya sendiri.
“Gagal,
ya…?” Aku menghela nafas dan menjatuhkan pandanganku ke catatan yang tergeletak
di atas meja.
Di
sana tertulis rangkaian nomer yang ditulis tangan, meskipun tidak terlalu rapi,
dengan nama 'Maaya' di bawahnya, jadi
ini pasti nomor telepon Narasaka-san.
“Buat
apa aku pergi ke sana sendirian…?” Aku menjatuhkan bahuku dengan lemas dan
kembali ke kamarku setelah selesai mencuci piring.
<<=Sebelumnya |
Daftar isi | Selanjutnya=>>
[2] Menurut KBBI, humaniora memiliki dua definisi: 1. ilmu pengetahuan yang meliputi filsafat, hukum, sejarah, bahasa, sastra, seni, dan sebagainya; 2. Makna intrinsik nilai-nilai humanisme
[3] Tadinya mau diterjemahkan ke ilmu sains terapan dan ilmu sains sosial, tapi kayaknya kurang tepat buat menerjamahkan Hard Sains dan Soft sains, Kalau kalian ingin tau perbedaannya, bisa cek sendiri di google
[4] Gambaran sayuran romanesko