Roshi-dere Vol.2 Chapter 05 Bahasa Indonesia

Chapter 5 — Yang Besar-Besar Memang Mantap

 

“Cihuuyyy~ Akhirnya istirahat juga~. Masachika, Hikaru, kalian berdua gimana? Hari ini sih aku sudah beli makananku sendiri.” (Takeshi)

“Hee, tumben sekali.” (Hikaru)

“Lama-lama jenuh juga kalau makan di kantin melulu” (Takeshi)

“Kalau aku sih bawa bento hari ini.” (Masachika)

“Oh, begitu ya? Kalau begitu aku mau ke toko dan beli sesuatu lah.” (Hikaru)

“Ah~ kalau begitu aku juga mau membeli minuman.” (Masachika)

Setelah meninggalkan ruang kelas, Masachika berpisah dengan Hikaru dan mulai berjalan menuju mesin penjual minuman otomatis yang ada di lantai pertama gedung sekolah.

Tapi saat Ia hendak mencapai tangga, ada seseorang yang tiba-tiba memanggil namanya dari belakang.

“Masachika-sama”

Suara yang terdengar dari belakang itu sedikit mengejutkannya, tapi Masachika segera mengenali pemilik suara itu dan berbalik sembari berpura-pura tenang.

“Ayano... apa ada perlu sesuatu?”

Orang yang memanggilnya ternyata Kimishima Ayano, gadis yang baru saja bergabung dengan OSIS kemarin. Dia adalah pelayan pribadi Yuki, dalam artian lain, dia juga bisa dibilang sebagai teman masa kecilnya Masachika.

“Saya minta maaf bila ini terlalu mendadak. Tapi, apakah Anda bersedia untuk meluangkan waktu berharga Anda sebentar?”

Ayano membungkuk dengan sopan dan meminta maaf atas ketidaksopanannya, dia lalu menatap Masachika melalui poni panjangnya dengan ekspresi yang sulit terbaca.

“... Baiklah. Bagaimana kalau kita berbicara di tempat yang sepi?”

“Terima kasih banyak. Silahkan lewat sini”

Sepertinya dia sudah punya ide ke mana harus pergi, jadi Ayano dengan cepat melangkah di depan Masachika dan mulai memandunya.

(Seperti biasa, dia mirip seperti ninja saja)

Masachika bergumam dalam hati sambil menatap tajam punggung Ayano. Itu karena ... Meski dari sudut pandang umum Ayano mempunyai wajah yang cantik, tapi anehnya, dia tidak punya hawa kehadiran. Kamu takkan menyadari dia mendekatimu sampai pada jarak dimana kamu baru bisa mendengar suaranya yang tidak terlalu keras itu.

...... Tidak, mari hentikan penggunaan konsep samar-samar yang mengatakan kalau dia tidak punya hawa kehadiran. Tapi, karena setiap gerak-geriknya dilakukan tanpa menimbulkan suara, dan pada saat kamu memalingkan pandanganmu, kamu takkan bisa melihat gerakan itu kecuali kamu melihatnya dengan teliti. Tanpa disadari, dia akan tiba-tiba menghilang, dan disaat kamu baru menyadarinya lagi, dia sudah berada di dekatmu.

(Yah, Aku tak bisa berkomentar apa-apa karena dia sendiri tidak punya niatan buruk ...)

Selain itu, Ayano bertingkah seperti itu bukan bermaksud untuk mengejutkan orang lain. Dalam keadaan siaganya, dia tak berbicara, diam tanpa suara, dan tak berekspresi. Lagipula, Ayano jarang berbicara dengan siapa pun, jadi tidak ada yang terkejut dengannya. Bagi Masachika, yang mana adalah teman lamanya, ini merupakan kejadian langka Ayano sampai mengajaknya berbicara duluan .

“Silahkan masuk”

Ketika dia berhenti di depan ruang kelas yang kosong, Ayano membuka pintu tanpa mengeluarkan suara (Entah bagaimana dia bisa melakukan itu dengan pintu geser) dan mempersilahkan Masachika masuk.

Saat Masachika sudah memasuki kelas, Ayano menutup pintu tanpa suara dan menyalakan lampu. Saat dia berada di hadapan Masachika, dia membungkuk sekali lagi.

“Dalam kesempatan kali ini, saya ucapkan terima kasih banyak kepada Masachika-sama karena sudah bersedia meluangkan waktu— ”

“Ah, jangan terlalu bertele-tele. Langsung saja ke topik utamanya”

“Saya sungguh minta maaf. Kalau begitu…”

Ayano mendongak dan menatap lurus ke arah Masachika. Meski wajahnya masih tanpa ekspresi seperti biasa, tapi tatapan matanya sedikit muram.

“Saya sudah mendengar perihal ini dari Yuki-sama. Masachika-sama berniat mengikuti pemilihan Ketua OSIS bersama Kujou-sama. Apa semua itu benar?”

“……Iya, itu benar.”

Saat Masachika mengangguk, Ayano menunduk ke bawah sejenak ...... dan ketika dia mengangkat kepalanya lagi, tatapan matanya berubah menjadi dingin.

“Mengenai masalah ini, Tuan merasa tidak senang dengan tindakan Masachika-sama.”

“!!!”

Masachika tersentak usai mendengar informasi yang diberikan Ayano. “Tuan” yang dimaksud Ayano adalah kepala keluarga Suou saat ini, dengan kata lain, kakek dari pihak ibu Masachika dan Yuki.

“Apa untungnya bagi Masachika-sama, yang sudah meninggalkan keluarga Suou, sampai menghalangi Yuki-sama segala? Beliau sangat marah dengan masalah ini.”

“…...”

Masachika sendiri tidak terlalu kaget mengenai hal itu. Tidak mengherankan jika kakeknya, yang sangat menghargai martabat keluarga Suou lebih dari apapun, tidak senang dengan keputusan Masachika.

Kakeknya takkan pernah memaafkan Masachika, yang telah meninggalkan keluarga Suou, menghalangi karir elit Yuki sebagai pewaris sah keluarga Suou.

Ini merupakan hal yang sangat jelas. Aku seharusnya bisa menduga kalau inilah yang akan terjadi....... Kenapa aku tidak berpikir sampai sejauh itu?

(Dasar kakek tua bangka ...)

Masachika melontarkan umpatan dalam hati pada kakek yang ada di dalam ingatannya.

Pertama-tama, alasan mengapa Masachika dan Yuki harus berpura-pura menjadi teman masa kecil ialah karena hal tersebut merupakan keinginan dari kakek mereka. Dari sudut pandang Masachika, hal tersebut merupakan sandiwara yang sangat bodoh sekali, tapi menurut kakeknya, Masachika yang harusnya menjadi penerus sah malah meninggalkan keluarga besar merupakan aib bagi keluarga Suou. Oleh karena itu, sebagai syarat kepergiannya, Masachika dibuat berjanji untuk tidak memberitahu siapa-siapa kalau dirinya terkait dengan keluarga Suou.

Masachika tidak mempunyai kewajiban untuk menepati janji tersebut. Tapi jika Ia menyinggung kakeknya, adik perempuannya yang masih berada di keluarga Suou akan menjadi pelampiasan kemarahan kakeknya.

Karena memahami konsekuensi tersebut, Masachika terus menepati janji itu demi adik kesayangannya. Ia dengan patuh menuruti keinginan Kakeknya.

“Terus? Apa kamu disuruh kakek  untuk menanyakan niatku yang sebenarnya?”

“... Tidak, ini merupakan keinginan saya sendiri.”

“Hee?”

Masachika yang mengira kalau itu adalah perintah kakeknya, mengangkat alisnya setelah mendengar perkataan Ayano. Ketika Masachika menatapnya dengan ekspresi terkejut, Ayano terus melanjutkan dengan tatapan mata yang dingin dan wajah serius.

“Sudah menjadi kewajiban seorang pelayan untuk menghilangkan kecemasan tuannya. Sebagai pelayan pribadi Yuki-sama, saya harus mengukur niat sebenarnya dari siapapun yang menentang dirinya.”

“Loyalitas banget. Memangnya kamu ini samurai?”

Meskipun Masachika mengejek Ayano, tapi tidak ada tanda-tanda cemoohan atau ejekan dalam suaranya. Meski kata-katanya terlalu berlebihan, Masachika juga menegakkan punggungnya karena Ia tahu tidak ada kepalsuan dalam maksud yang terkandung di dalam perkataan Ayano.

(Kenapa, ya……)

Masachika kemudian merenungi kembali tindakannya sendiri. Bersama Alisa, Ia mencalonkan diri sebagai calon kandidat ketua OSIS melawan Yuki. Jika dipikir-pikir secara rasional, keputusannya sungguh tidak masuk akal. Apa yang sedang Ia raih dengan menyinggung kakeknya dan memusuhi adik tersayangnya?

Kehormatan menjadi wakil ketua OSIS? Ia tidak tertarik dengan hal semacam itu. Masachika cuma ... tidak bisa meninggalkan Alisa sendirian. Pada akhirnya, hanya itu saja alasan yang bisa Ia pikirkan.

“Saya …… percaya ...”

Ayano menatapnya dengan pandangan menyalahkan ke arah Masachika yang merenung.

“Kalau Masachika-sama takkan pernah melakukan apapun yang akan membuat ...... Yuki-sama merasa sedih. Apa itu ...... salah?”

“...”

Suara Ayano yang penuh kegetiran membuat Masachika merasa sedih. Ia merasa sedih melihat gadis di depannya mau melakukan peran seperti musuh demi tuannya.

Masachika tahu betul kalau gadis yang tampaknya tanpa emosi ini sebenarnya mempunyai sifat penyayang dan baik hati seperti Yuki. Kenyataannya, dia bukanlah tipe orang yang bisa menyalahkan atau menuduh siapapun. Semakin sering kamu menuduh seseorang, semakin banyak juga kamu menyakiti dirimu sendiri. Dia adalah gadis yang berhati lembut.

Gadis yang seperti itu menanggung rasa sakit dan menunjukkan permusuhannya. Fakta tersebut membuat Masachika merasa sedih. Dan Ia merasa tidak berdaya karena dirinya lah yang menjadi penyebab Ayano sampai berbuat begitu.

(Kenapa aku tidak…….menanggapinya lebih cepat ...)

Sambil menyesalinya, Masachika mengubah ekspresinya dan menghadapi Ayano dengan sekuat tenaga. Ia menatap lurus ke matanya dan menyampaikan keinginannya dengan hati yang tulus.

“Aku memutuskan untuk ikut mencalonkan diri bukan karena ingin melawan Yuki. Aku hanya memutuskan untuk mencalonkan diri bersama Alya, cuma itu saja. ...... Akibatnya, mau tak mau aku jadi melawan Yuki.”

“Itu……”

Tatapan Ayano goyah setelah mendengar perkataan tulus Masachika. Akan tetapi, dia dengan cepat menajamkan tatapannya lagi dan melanjutkan pertanyaannya.

“Tidak peduli apa urutannya, fakta bahwa Masachika-sama memusuhi Yuki-sama masih tetap tidak berubah. Bagi Masachika-sama, apa hal itu sebegitu pentingnya mencalonkan diri bersama Kujou-sama? Sampai membuat Anda harus mengkhianati Yuki-sama dan bahkan menyakitinya?”

“……Iya”

Masachika mengangguk tanpa ragu membalas pertanyaan itu  ... dan kali ini Ayano dibuat gentar. Masachika terus berbicara dengan tulus kepada Ayano yang raut mukanya terlihat sedih sekaligus bingung.

“Untuk alasannya... aku sendiri masih tidak tahu. Tapi aku akan tetap melakukannya. Aku akan melakukan yang terbaik untuk menjadikan Alya sebagai ketua OSIS. Benar, aku sudah berjanji padanya.”

“Apa itu karena... Anda memendam perasaan khusus padanya? Apa Masachika-sama menyu—”

“Bukan”

Masachika langsung membantah asumsi Ayano. Ia membantu Alisa bukan karena ada perasaan romantis padanya. Lalu, jika ditanya apa alasannya... Masachika sendiri tidak begitu paham. Tanpa mengetahui motifnya, Ia cuma bertekad melakukan itu.

“Aku memutuskannya atas keinginanku sendiri. Ini juga tidak ada hubungannya dengan Yuki. Aku bahkan tidak sempat memikirkan apa yang akan keluarga Suou lakukan.”

“…..”

“Oleh karena itu…... tolong beritahu ini kepada kakek. Jangan salahkan Yuki mengenai masalah ini. Jika Ia punya keluhan, silahkan datang langsung kepadaku.”

“.... Saya, paham.”

Ayano melebarkan matanya sedikit usai mendengar kata-kata Masachika, dia mengguncang dirinya sendiri, dan membungkuk dalam-dalam. Dia pun bertanya sembari masih menundukkan kepalanya.

“Saya masih mempunyai pertanyaan terakhir untuk Anda. Apakah perasaan Masachika-sama terhadap Yuki-sama....... masih sama seperti dulu? Apa yang Masachika-sama pikirkan tentang Yuki-sama?”

“Bagiku, Yuki adalah orang yang sangat penting di dunia ini. Dan perasaan itu tidak pernah berubah.”

Masachika mengatakannya tanpa ragu seraya menurunkan alisnya dan meminta bantuan Ayano.

“Oleh karena itu, kumohon.  Aku tahu kalau aku tidak berhak mengatakan ini sekarang, tapi ... tolong dukung dan bantu dia.”

“...Saya mengerti. Saya senang bisa mendengar pendapat anda, Masachika-sama.”

Ayano mengatakan itu melalui poni panjang yang menyembunyikan ekspresinya, dan dia berbalik menuju pintu yang ada di belakangnya.

“Terima kasih banyak atas kesediaan anda mau meluangkan waktu anda yang berharga. Kalau begitu, saya permisi undur diri dulu.”

Dia lalu membungkuk di depan pintu dan meninggalkan ruang kelas. ...... Kalau biasanya, dia akan menunggu Masachika keluar dulu sebelum dirinya.

“Apa aku sudah membuatnya kecewa ...”

Masachika merasa kalau pintu yang dibiarkan terbuka menggambarkan perasaan Ayano, dan dengan ekspresi getir, Ia bergumam pada dirinya sendiri.

(Yah, kalau dilihat dari situasinya saja sih. Ini mirip seperti cowok brengsek yang beralasan Dia enggak bisa berbuat apa-apa kalau enggak ada aku. Kalau kamu ‘kan enggak ada aku juga pasti baik-baik saja ….. Padahal bagian brengseknya ada benarnya juga sih)

Masachika menggaruk poninya seraya mencela dirinya sendiri di dalam hati.

“Meski aku sudah memahaminya ... tapi rasanya masih tetap sakit”

Permusuhan yang diarahkan padanya dari gadis yang Ia kenal sejak kecil sangat menghantam hati Masachika lebih dari yang Ia duga.

Kenyataan bahwa perbuatannya menyakiti dua gadis yang paling dekat dengannya membuat hati Masachika tersiksa.

Namun anehnya, Ia tidak merasa menyesal. Tidak ada satupun  secuil keraguan dalam niatnya untuk berjalan bersama Arisa. Meski tidak ada, tapi ...... hatinya masih merasa tertekan.

“Haaa...”

Sembari menghela nafas lemas, Masachika berjalan dengan susah payah kembali ke ruang kelas, dan melupakan tujuannya untuk membeli minuman.

“Ah, akhirnya balik juga. Lah... mana minumannya?”

“Eh? Ah...”

Takeshi bertanya padanya dan akhirnya Ia baru mengingat tujuannya meninggalkan kelas, tapi Masachika tidak bisa memakasan dirinya membeli minuman lagi. Atau lebih tepatnya, nafsu makannya sendiri justru benar-benar hilang.

“Yah, enggak apa-apa lah, lagian masih ada air botol.”

“ …? Benarkah?”

Ketika Masachika mengguncang botol air yang Ia bawa dari rumah, Takeshi sepertinya merasakan sesuatu dan tidak bertanya lebih jauh. Tak berselang lama, Hikaru kembali sembari membawa roti yang dibeli dari toko dan membalik mejanya untuk menempelkannya ke meja Masachika.

“….Mumpung orangnya enggak ada, jadi kenapa kamu enggak pakai kursi Alya saja seperti biasa?”

Saat Masachika mengucapkan hal itu pada Takeshi yang sampai repot-repot membawa kursinya sendiri dari jauh, Takeshi membalas tersenyum pada kursi kosong yang ada di barisan terakhir dekat jendela.

“Sejujurnya, aku memang sedikit tergoda untuk duduk di kursi Putri Alya, tapi aku segera menghilangkan pemikiran itu karena merasa bakalan dibunuh.”

“Ah, kamu ini terlalu berlebihan”

“Tidak, bukan sama Putri Alya... melainkan sama teman-teman sekelas?”

“......Begitu rupanya?”

Meski tidak bakalan dibunuh, tapi kamu mungkin akan menderita jadi sasak tinju oleh gerombolan murid-murid cowok. Apalagi di sekolah ini, setiap meja mempunyai tanda nama di sudut kanannya, jadi kamu bisa langsung mengetahui siapa pemilik dari meja itu.

Dengan menggunakan meja yang sama sepanjang tahun, para siswa secara alami akan merawat peralatan sekolah dengan baik ... atau itulah tujuannya, tapi hal ini  juga membuat para siswa merasa segan menggunakan meja siswa lain secara santai.

(Yah, aku maklumi kalau kita memang tidak bisa tenang jika ada nama gadis yang selalu tertangkap oleh perhatian kita.)

Masachika membuka kotak bentou-nya seusai memahami maksud Takeshi.

“... Apa-apaan itu?”

The ☆  Sisaan dari kemarin  ”

“Dari kelihatannya saja aku udah tau”

Kotak makan siang dua tingkat Masachika mempunyai lauk steak hamburger di bagian atas dan nasi putih yang dikemas rapi di bagian bawah. Bagian atas berwarna coklat dan bagian bawah berwarna putih. Brokoli yang disajikan bersamaan dengan steak hamburger setidaknya bisa memberi sedikit warna. Meski....... warnanya sudah layu.

“Yah, yang penting rasanya enak, iya ‘kan?”

“Tapi itu benar-benar menggambarkan makanan khas cowok”

“Tidak, ini memang makanan cowok, kok.”

Masachika mengangkat bahunya kepada kedua sahabatnya yang tertawa. Mereka berdua tahu kalau Masachika berasal dari keluarga single-parent, jadi mereka menepukkan kedua tangan tanpa mempermasalahkannya.

“Itadakimasu.”

“Itadakimasu.”

“Itadakima~su.”

Mereka bertiga mulai menyantap makanan mereka masing-masing, tapi ...... Masachika yang masih kepikiran dengan kejadian tadi, sedang dalam suasana hati yang kurang baik. Ia membawa sumpit berisi makanan ke arah mulutnya dengan lesu.

Mungkin Ia merasakan sesuatu saat melihat kondisi Masachika yang muram, Takeshi tiba-tiba mengeluarkan majalah dari kantong plastik yang berisi bento minimarket.

“Oi, oi, lihat nih. Majalah gravure edisi minggu ini, setiap anggota “Bloo-ming” berkumpul semua, tau.”

Takeshi dengan bersemangat menunjukkan foto grup idol berisi dua belas anggota yang akhir-akhir ini sedang naik daun. Hikaru yang biasanya tidak tertarik dengan topik semacam ini, tumben-tumbennya meladeni percakapan Takeshi karena Ia juga merasakan ada sesuatu yang aneh pada sikap Masachika.

“Belakangan ini aku sering melihatnya muncul di TV. Kupikir mereka tipe idol yang cuma memakai baju imut dan manis, tapi aku baru tahu kalau mereka melakukan gravure baju renang juga.”

“Sepertinya, ini pertama kalinya semua anggota mereka berkumpul. Wow, seriusan. Bukannya gadis ini punya badan yang langsing ...”

Takeshi terlihat cengengesan saat melihat foto gadis-gadis yang memakai bikini.

“Naa, kalau Masachika suka idol yang mana?”

“Yah, sejujurnya, aku tidak tahu apa-apa tentang idol. Meski aku tahu nama grupnya, tapi aku tidak tahu nama anggotanya sama sekali.”

“Kamu kedengaran kayak om-om tau... Kalau begitu, siapa artis favoritmu? Tidak masalah entah itu aktris atau idol.”

“Yah...... Aku bukan penggemar selebriti atau semacamnya, tau. Tapi kalau pelawak favorit sih punya.”

“Eh~?... Lalu, bagaimana dengan seiyuu? Apa tidak ada seiyuu wanita yang kamu sukai?”

“Aku tidak begitu tertarik dengan seiyuu ...”

“Apa-apaan itu, kalau Hikaru bagaimana?”

“Memangnya kamu pikir, aku menyukai gadis glamor macam seorang selebriti?”

Hikaru membalas dengan senyum muram pada pertanyaan Takeshi.

Fakta bahwa Hikaru menggambarkan mereka sebagai “glamor” ketimbang “berkilauan” sudah tersampaikan dengan jelas mengenai kesannya tentang selebriti. Takeshi menggerutu tidak puas dengan reaksi kedua temannya.

“Kalian berdua ini gimana, sih! Kalau kalian cowok pasti punyalah! Satu atau dua selebriti favorit!” (Takeshi)

“Bukannya gimana-gimana, cuma karena kamu menyukai seseorang bukan berarti kamu bisa berpacaran dengannya... ” (Masachika)

“Jika kamu bilang begitu, berarti karakter dari 2D juga enggak ada bedanya” (Takeshi)

“Benar sekali, tapi kamu bisa merasakan pengalaman romansa semu dengan karakter 2D melalui karakter utama.” (Masachika)

“Bagaimana dengan heroine sampingan yang tidak bisa berpacaran dengan karakter utama?” (Takeshi)

“Takeshi... di dunia ini, ada buku tipis yang memenuhi hasrat para cowok ...” (Masachika)

“Oi, kamu masih 16 tahun” (Takeshi)

“Enggak ada yang bilang kalau itu larangan 18+, kok?” (Masachika)

Masachika membalas tsukkomi Takeshi dengan wajah acuh tak acuh. Dan di sana, Hikaru pun menyetujui dengan senyum gelap menghiasi wajahnya.

“Benar juga ... Jika itu karakter 2D, dia takkan berkhianat, ‘kan ...?” (Hikaru)

“Oi Hikaru, apa yang terjadi? Apa jangan-jangan Yamiru-san? Apa Yamiru-san muncul lagi?” (Takeshi)

“Hikaru ... Sayangnya, belakangan ini juga karakter 2D banyak yang kena netorare, tau?” (Masachika)

“Hentikaaaannnn!” (Takeshi)

“Sudah kuduga... gadis-gadis memang jahat...!” (Hikaru)

“Omonganmu sudah kayak karakter pembalas dendam saja.” (Masachika)

“Memangnya salah siapa coba, hayo salah siapa?” (Takeshi)

Saat Takeshi menatapnya, Masachika merenungkan kalau ucapannya terlalu sembrono, dan secara sengaka meningkatkan nada suaranya.

“Tapi yah, tak bisa dipungkiri kalau itu memang impian semua cowok, iya ‘kan. Diam-diam berpacaran dengan idol populer.”

“O-ohh, benar sekali!”

“Dia adalah idol semua orang, tapi sebenarnya dia adalah pacarku. Semua cowok pasti pernah bermimpi hal seperti itu.”

“Paham banget! Rasa superioritas memang tak ada tandingannya.”

Mereka berdua menjadi bersemangat oleh fantasi yang mustahil terjadi. Mungkin merasa senang dengan antusiasme Masachika, Takeshi mulai membuka kembali majalah dan menunjukannnya kepada Masachika.

“Jadi, siapa yang kamu suka? Dari penampilannya saja enggak masalah.”

“Hmmm~.”

Saat membolak-balik halaman, entah itu karena instingnya sebagai cowok atau nalurinya sebagai penyukai oppai, melihat idol gravure memakai bikini membuat pandangan Masachika selalu tertuju ke bagian tertentu dari gadis-gadis. Takeshi juga ikutan tersenyum, mungkin karena Ia juga menyadarinya.

“Apa kamu lebih suka tipe Onee-san yang punya dada boing-boing? Kalau aku sih kelompok yang dari usia sebaya juga lumayan mantap, apalagi karena mereka memakai baju renang.”

“Pastinya lah. Memangnya ada cowok yang bisa menolak pesona ini?”

“Setuju banget. Lagipula, dada gadis merupakan tempat yang penuh dengan impian dan romansa cowok!”

“Bukannya itu cuma tumpukan lemak?”

“Yamiru-san, tolong tutup mulutmu sebentar~.”

Sembari tersenyum pahit melihat percakapan mereka, Masachika lalu mengarahkan majalah ke arah Takeshi.

“Yah, jika dibilang siapa yang kusuka di antara mereka, mungkin gadis ini—”

Masachika mendongak sambil menunjuk seorang gadis yang ada di foto ... lalu Ia menyadari kalau Takeshi dan Hikaru sedang melihat ke belakangnya dengan ekspresi ““Ahh””. Segera setelah itu, hawa sedingin es berhembus dari arah belakangnya.

Masachika yang langsung menyadari situasinya … langsung mengeluarkan jurus silat lidanya sambil menghadap ke depan.

“... Tapi, tetap saja iya ‘kan~! Rasanya sedikit samar karena biasanya ada gadis super cantik yang duduk di sebelahku!”

“Disita”

“Kenapa!?”

Masachika berteriak saat sebuah tangan terulur dari belakangnya dan mengambil majalah itu. Saat Ia mengikuti ke mana majalah itu di ambil, Masachika melihat Alisa tengah memandang rendah dirinya dengan tatapan jijik. Pandangannya lalu beralih ke majalah yang ada di tangannya, dan gumaman penuh hinaan terdengar dari mulutnya.

Cabul

“O, Oh ... meski aku tidak mengerti bahasa Rusia, tapi entah kenapa, aku tahu kalau aku sedang dihina.”

“Kebetulan banget, Takeshi. Aku juga merasakan hal yang sama.”

“Hahaha ...”

Takeshi dan Masachika tersenyum kaku, dan Hikaru juga ikut tersenyum seolah-olah dirinya tidak ikut terlibat.

Namun, saat Alisa memelototi mereka, Takeshi dan Hikaru langsung buru-buru memalingkan muka dan menundukkan kepala mereka.

“Kuze-kun... Apa menurutmu, seseorang yang sudah menjadi anggota OSIS, bisa membawa sesuatu seperti ini ke sekolah?”

“Tidak, itu sih... Sebenarnya, Takeshi yang membawanya ke sekolah ...”

“Kalau begitu, harap berhati-hati”

“Siap”

Masachika pun ikut menundukkan kepalanya seperti Takeshi dan Hikaru usai mendengar suara dingin Alisa.

Seelah memandang jijik pada trio idiot yang meringkuk dengan menyedihkan, Alisa meletakkan majalah di atas meja seraya menghela nafas.

“Um... kalau boleh, apa kamu bersedia mengembalikannya?”

“Jangan salah paham. Aku cuma tidak ingin menyentuh benda ini.”

“Tidak, memang benar kalau ada sampul dan halaman gravure yang sedikit merangnsang, tapi bagian lain dari majalah ini sangat sehat, tau?”

“Lalu mulut siapa yang kegirangan dengan bagian yang tidak sehat?”

“Hmmm ... benar juga, maaf”

Masachika diyakinkan oleh jawaban yang sangat masuk akal seolah-olah Ia menelan ludahnya sendiri. Alisa yang duduk di kursinya sendiri mengatakan “Ba~ka” kepada Masachika yang mengerang karena tak bisa membantah ucapan Alisa.

“(Ayo cepat lakukan sesuatu, sebelum Alya mengubah pikirannya)”

“(Lah...sejak kapan kamu menjadi anggota OSIS?)”

“(Ah...baru kemarin)”

“(Kok aku baru dengar? Apa yang terjadi?)”

“(Yah, ada banyak hal yang terjadi ...)”

Trio idiot itu entah bagaimana mulai bergerak dan berbisik-bisik. Setelah melirik ke arah mereka, Alisa memangku pipinya dengan jengkel dan memalingkan wajahnya ke arah jendela.

Dia kemudian mengingat kembali teriakan Masachika tadi. Meskipun Alisa tahu kalau Masachika menyanjungnya demi menutupi kalau dirinya membawa majalah, dia merasa kalau punggungnya semakin panas.

Sungguh bodoh

Seolah-olah ingin menyamarkan panasnya, Alisa bergumam begitu pada dirinya sendiri. Terlepas dari kata-katanya, Masachika merasa kalau suasana hati Alisa telah membaik, dan Ia mengelus dadanya dengan lega. Akan tetapi…

“Hmm? Ada apa, Hikaru?”

Masachika menoleh setelah mendengar suara Takeshi, Ia kemudian melihat Hikaru menatap tajam ke sampul majalah yang akan disimpan Takeshi.

Masachika dan Takeshi memiringkan kepala mereka saat melihat tatapan tak biasa dari Hikaru yang misogini[1]. Kemudian Hikaru menunjuk ke salah satu gadis yang ada di sampul itu dan berkata.

“Bukan apa-apa ... hanya saja, gadis yang Masachika pilih tadi. Siapa namanya? Yah itu tidak penting, tapi jika dilihat-lihat lagi, bukannya dia terlihat mirip seperti Kujou-senpai?”

Pada saat itu, Masachika langsung merasakan tatapan tajam dari sebelah kirinya. Ia bisa merasakan suasana hati Alisa yang tadinya sudah membaik, sekarang langsung berubah menjadi sedingin es.

(Ooooooooiiiii!! Kamu ini ngomong apaan, Hikaruuu!!)

Saat Ia mencoba melirik ke tetangga sebelah, Masachika melihat bahwa Alisa sudah membuang muka dan memelototinya melalui jendela. Masachika berteriak dalam hati sambil berkeringat dingin.

Sambil tersenyum kaku, Ia mencoba membantahnya, “Ti-Tidak juga kok, palingan itu cuma perasaanmu saja?”, Tapi Takeshi yang melihat-lihat sampul itu lagi setelah Hikaru menunjuknya, ikut mengangguk setuju dan menimpali.

“Benar juga, setelah kamu bilang begitu, dia memang kelihatan mirip.”

(Ooooiiii !! Peka sedikit, Takeshi !!)

Masachika berteriak dalam hati, tapi badai salju tidak bertiup kencang seperti sebelumnya, dan kedua temannya mulai bersemangat tanpa menunjukkan tanda-tanda menyadari situasi, mungkin karena badai salju yang bertiup itu cuma tertuju pada Masachika.

“Kamu setuju, iya ‘kan? Gaya rambut dan atmosfirnya... Rambut cokelat dan mata cokelatnya juga sangat mirip.”

“Terlebih lagi dia gadis tipe Onee-san. Hee~ Masachika, apa gadis yang seperti Kujou-senpai adalah tipemu?”

Semakin mereka berdua bersemangat, semakin menyakitkan pula badai es yang melanda Masachika. Tentu saja, itu cuma imajinasinya saja.

(Ga-Gawat ... Kalau aku menjawab salah di sini, entah kenapa aku merasa bakalan terlibat dalam masalah yang rumit)

Saat insting bertahan hidupnya sebagai makhluk hidup berdering keras, Masachika membalas dengan lamban.

“Tidak, bukannya dia itu tipeku atau semacamnya ... Lagipula, Masha-san sudah punya pacar.”

“Dengan kata lain, jika dia tidak punya pacar, kamu akan mengincarnya?”

“Hah, Masha-san? Sejak kapan kalian berdua begitu dekat sampai kamu boleh memanggilnya dengan nama panggilan segala?”

(Mengapa kalian berdua cuma kompak pada saat-saat seperti ini, dasar kamprettt !!)

Jika ditanya kenapa, itu karena Masachika biasanya tidak menunjukkan ketertarikan pada gadis asli.

Masachika yang sebenarnya cuma berteman dengan Alisa dan Yuki, yang dikenal sebagai gadis tercantik di sekolah, diam-diam dicemaskan oleh teman-temannya, “Nih anak, Ia serius cuma tertarik dengan 2D doang?”

Mereka berdua merasa lega sekaligus sedikit bersemangat dengan topik gadis 3D, …. Apalagi mengenai kisah cinta Masachika.

Bagi Masachika sendiri, itu adalah cerita yang menjengkelkan dan tidak diperlukan.

“Tidak, tidak, seriusan ini cuma kebetulan doang. Aku tidak pernah memandang Masha-san dengan tatapan semacam itu ...”

Masachika mengatakan itu dengan spontan, tapi sayangnya ada terlalu banyak hal yang terlintas di pikirannya hingga merasa ragu untuk mengatakan “Tidak”.

Sampai-sampai bagian ​​diri Masachika yang punya sifat jujur ingin menyela dan berkata, “Tidak, tidak, jangan bohong.”

“... Itu sih, yah, ya. Aku tidak pernah sekalipun berpikir ingin berpacaran dengannya.”

Takeshi dan Hikaru menatap lembut Masachika yang jelas-jelas sekali menghindari pertanyaan.

Di tambah lagi, tatapan jijik Alisa yang diarahkan kepadanya. Yah, siapapun akan melakukan hal yang sama jika ada seorang cowok yang menatap cabul kakak perempuanmu.

Dasar binatang buas

Umpatan dalam bahasa Rusia menusuk hati Masachika. Selain tidak bisa bereaksi, Ia pun tak bisa membalas, jadi posisinya benar-benar sangat sulit.

“Kalau dia gimana? Apa kamu tak pernah kepikiran ingin berpacaran dengan Suou-san? Meski banyak yang bilang kalau hubungan teman masa kecil mustahil bisa berubah menjadi hubungan romantis, tapi menurutmu sendiri gimana?”

Begitu Takeshi menyebut nama Yuki, Masachika langsung menyadari kalau suasana hati Alisa langsung berubah dengan jelas.

Sambil merasakan tatapan menyengat dalam arti yang berbeda dari sebelumnya, Masachika menjawab sambil mengingat Ayano ketimbang Yuki.

“Itu takkan mungkin terjadi... Atau lebih tepatnya, aku tidak pernah memandangnya sebagai lawan jenis. Ah, asal kalian tahu, mana mungkin aku dan Yuki bisa berpacaran, oke?”

“Aku memang pernah mendengar hal yang sama, tapi kenapa?”

Karena kami berdua kakak dan adik. Karena kami mempunyai orang tua yang sama dan tak bisa dipungkiri kalau kami adalah saudara kandung.

Cuma itu saja alasannya, tapi Masachika tidak bisa mengatakannya karena  keadaan di baliknya. Saat Masachika cuma membalas dengan senyum samar-samar, Takeshi menggelengkan kepalanya seolah-olah Ia tidak memahami jalan pikir Masachika.

“Aku sama sekali enggak paham ... padahal dia itu gadis yang sangat cantik. Apalagi dia punya kepribadian yang baik dan sopan, bisa dibilang kalau dia itu tipe Ojou-sama yang sudah sangat langka di jaman sekarang.”

“Ah, ya ...”

Masachika hampir ingin mengatakan, “Memangnya itu siapa?”, tapi berhasil menelan kembali kata-katanya.

Nyatanya, jika kamu cuma melihat Yuki dalam mode Ojou-sama di sekolah tanpa mengetahui sifat asli Yuki yang isi kepalanya penuh dengan hal otaku, mungkin banyak orang memikirkan hal yang sama seperti Takeshi.

...... Dari sudut pandang Masachika yang mengetahui sifat asli Yuki, ini adalah evaluasi yang harus ditanggapi dengan wajah tegas.

Namun, meski Takeshi adalah temannya, Ia tidak bisa begitu saja mengungkapkan sifat asli Yuki, jadi Ia perlu mengelabuinya.

“Mengenai Ojou-sama itu ... sebagai rakyat jelata, aku menghargainya.”

“Ah... yah begitulah...”

“Tapi jika kamu mengatakannya seperti itu, bukannya gadis-gadis di sekolah ini cukup elit? Bukan hal yang aneh saat mengetahui kalau gadis yang kamu ajak bicara sebenarnya putri dari CEO perusahaan.”

“Yah, itu benar... Pokoknya, jika aku ingin berpacaran dengan seseorang, aku akan memilih seseorang yang derajatnya setara denganku. Itupun kalau aku pacaran, ya.”

“Bukannya ini cuma hubungan cinta antar pelajar? Memangnya kamu perlu berpikir sampai sejauh itu?”

“Yang setara denganmu ... apa itu berarti keluarga kelas menengah?”

“Yah, benar juga... Maksudku, keluarga kelas menengah, gampang akrab, ‘kan? Rasanya seperti kamu bisa berteman dengan mereka ...”

Masachika menjawab tanpa terlalu memikirkannya dalam-dalam sambil mengingat “Gadis itu” di kepalanya.

Artinya, se-seseorang seperti aku?

(Bukan, kok?)

Masachika menanggapi dalam hatinya seperti Yamiru terhadap bahasa Rusia yang tiba-tiba mengganggu adegan kenangannya.

Saat Ia melirik ke sampingnya, Masachika bisa melihat sosok Alisa yang sedang memangku pipinya, dalam suasana hati yang aneh.

Kalau diperhatikan baik-baik, Masachika bisa melihat bahwa badan Alisa sedikit gemetar, dan jika didengar dengan seksama, Ia bisa mendengar kalau Alisa menyenandungkan sebuah lagu dan masih mengatakan sesuatu dalam bahasa Rusia. Begitu mendengarnya ... tatapan Masachika langsung berubah.

( Jangan pasang ekspresiAku mengatakannya, aku mengatakannya! Kyaaaaaa——  !.  Aku bisa melihat wajahmu yang menyeringai melalui jendela, tau? Bukannya kamu sedikit eksibisionis? Apa ini tentang itu? Aku pernah mendengar kalau orang Rusia mengatakan apa yang mereka pikirkan lebih jelas ketimbang orang Jepang. Apa kamu akan mengatakan apapun yang terlintas di pikiranmu dalam bahasa Rusia?....dasar aho)

Sudut mulut Alisa berkedut saat dia memangku pipinya dengan tangan kanan. Entah karena dia tidak menyadari tatapan Masachika, atau dia menyadarinya tapi tidak bisa menoleh ke belakang karena belum bisa mengembalikan ekspresinya kembali normal. ...... bagaimanapun juga, rasanya entah kenapa sedikit mengecawakan.

“Masachika? Ada apa?”

“Oh bukan apa-apa... terus ...”

Ketika Masachika melanjutkan kenangannya saat mendengar suara Takeshi, hal yang terlintas di benaknya ialah senyum gadis itu. Sementara detail wajahnya masih kabur,  tapi gadis itu mempunyai senyum manis yang mana membuat orang yang melihatnya ikut tersenyum, dan Masachika tersenyum kecil saat mengingat senyuman itu.

“Memang, aku lebih menyukai gadis yang mempunyai senyum manis.”

Setelah mengatakan itu, senyum gadis yang ada di dalam kepala Masachika digantikan oleh senyum Alisa yang Ia lihat tempo hari..

(Tidak, tidak, kenapa aku malah mengingat dia)

Ia buru-buru menghapus kenangan itu dan melihat ke samping pada orang yang dimaksud ...

“ ... ”

Dan melihat punggung Alisa yang menengang spektakuler. Punggungnya menegang sedemikian rupa sampai-sampai Ia hampir bisa mendengar suara gemetarnya. Ditambah lagi dengan ekspresinya yang terpantul di jendela.

“Hee~ gadis yang punya senyum manis, ya~”

“Yah, memang benar senyum itu penting. Terlepas dari jenis kelaminnya. Orang yang tidak tersenyum atau yang cuma tersenyum tipis, entah kenapa terlihat judes dan sulit didekati.”

“Em... yeah”

Masachika juga memahami pendapat Hikaru, tapi... saat Ia melihat punggung Alisa meringkuk usai mendengar perkataan Hikaru, rasanya sulit sekali untuk setuju dengannya.

(Hikaru, hentikannn !! Alya-san terkena peluru nyasar dari omonganmu)

Meski Hikaru tidak berniat menyinggung, tapi... jika dilihat secara obyektif, “orang yang tidak tersenyum” dan “orang yang cuma tertawa kecil”, sangat menggambarkan sikap Alisa yang biasa.

Tidak, dari sudut pandang Masachika, Alisa tertawa cukup normal, dan meskipun matanya tidak terlihat ramah, tapi dari lubuk terdalam matanya dia pun bisa tersenyum ... meski, Alisa sendiri sepertinya tidak menyadari hal itu.

“Ta-Tapi, yah, saat seseorang yang biasanya tidak tersenyum, lalu menunjukkan senyumnya pada kita, mereka justru terlihat sangat menarik. Rasanya seperti ‘gap moe’ gitu.”

Masachika yang menimpali perkataan Hikaru membuat kedua temannya menganggukkan kepala mereka seraya berkata, “Aaah, memang bener sih”. Punggung Alisa yang tadinya meringkuk karena berkecil hati, mulai sedikit meregang.

“Tapi keramahan itu cuma berlangsung sesaat dan kemudian sulit untuk mendekatinya lagi.”

“Benar, tuh. Bagaimanapun juga, sikap yang normal itu penting.”

Namun, balasan dari Takeshi dan Hikaru segera membuatnya panik lagi.

(Kampreeetttttt! Jangan sia-siakan upayaku! Omongan kalian itu bekerja ampuh pada Alya dan menyakitinya!)

Karena kesabarannya sudah habis, Masachika mendekatkan wajahnya ke mereka dan berbisik-bisik sambil melirik ke arah Alisa.

“(Oi kalian berdua, jaga sedikit omongan kalian, Alya bakalan merasa tersakiti, tau)”

“(Eh? Kujou-san?)”

“(Tidak... Putri Alya mana mungkin memedulikan tentang itu, kan?)”

Dia memedulikannya. Dia sangat memedulikannya. Mukanya meringis sampai-sampai terlihat ingin menangis. Karena wajah yang terpantul di jendela terlihat meringis. Jelas-jelas itu bukan senyuman, itu adalah ekspresi seakan-akan menahan sesuatu yang lain.

Enggak masalah ….. lagian aku punya teman, jadi enggak masalah sama sekali, kok

Terlebih lagi, dia mulai mengatakan sesuatu yang menyedihkan.

Sejujurnya, Masachika juga tersentuh oleh situasi ini, dan sempat berpikir “Oh, jadi ini yang namanya gap moe,”  tapi lebih dari itu, hatinya terasa sakit karena rasa kasihan dan permintaan maaf.

“(Pokoknya, kalian tinggal ikuti aku saja. Apa kalian mau, jam pelajaran siang nanti bakal dipenuhi suasana sedingin es?)”

“(Uh, itu sih enggak mau...)”

“(Se-Setuju ...)”

Setelah mereka setuju, Masachika duduk di kursinya dan hendak membuka mulutnya, tapi Takeshi menghentikannya dengan memberi kode melalui tatapan matanya.

Masachika, serahkan ini saja padaku

Takeshi ... apa kamu bisa melakukannya?

Iya, serahkan saja padaku

……Baiklah

Mereka berkomunikasi melalui kontak mata dan bertukar anggukan kecil sebagai tanda persetujuan. Kemudian, Takeshi tersenyum percaya diri dan berkata dengan suara lantang.

“Tapi yah, jika gadis yang dimaksud secantik Putri Alya, kita takkan terlalu memedulikan tentang itu, ‘kan!!”

““Dasar payahhhhh !! ””

Masachika dan Hikaru secara bersamaan membalas spontan ucapan Takeshi dengan blak-blakan. Akan tetapi, Takeshi cuma mengedipkan matanya kebingungan dengan ekspresi “Eh? Sebelah mananya yang payah?”.

Masachika mencoba mengeluh pada ekspresi menjengkelkannya itu ... tapi sebelum bisa melakukan itu, suara yang sedingin kutub utara terdengar dari sampingnya.

“Hmm, begitu rupanya ... jadi begitu pandanganmu terhadapku, ya.”

“A, Alya...”

Masachika menoleh ke sumber suara tersebut dengan gerakan yang mirip seperti orang yang kegigilan, Ia penasaran kemana perginya wajah orang yang hampir menangis tadi.

Sembari memasang ekspresi yang menyeramkan di wajahnya, Alisa menatap mereka bertiga dengan tatapan dingin. Sorot matanya membuat Takeshi menegang, seolah-olah Ia baru menyadari apa yang sudah Ia lakukan.

“Maaf banget ya? Aku memang gadis yang tidak ramah dan tidak menarik selain wajah doang”

“Ah tidak, aku tidak bilang sampai segitunya ...”

“Kurasa aku akan menyita majalah yang tadi.”

“Eh!? Jangan, itu sih...”

“Cepat keluarkan”

“……baik ”

Takeshi yang tidak kuat dengan tekanan Alisa, dengan enggan menyerahkan majalah itu. Setelah merebut paksa, Alisa kemudian duduk dengan kasar di kursinya. Saat suasana di kelas tiba-tiba berubah membeku, Masachika dan Hikaru menatap tajam Takeshi.

“Dasar kampret”

“Itu sebabnya Takeshi tidak pernah punya pacar.”

“Kalian jahat!”

Jeritan menyedihkan dari cowok yang pantas mendapatkan ganjarannya bergema di ruang kelas yang dipenuhi suasana dingin.

 

◇◇◇◇

 

Waktunya dimundurkan sedikit ... Setelah menyelesaikan urusannya dengan Masachika, Ayano berjalan menyusuri koridor menuju ruang kelas kosong di lantai atas.

Dia berjalan melewati koridor di antara para siswa sambil berusaha untuk menjaga langkahnya tetap sunyi dan sebisa mungkin tidak terlihat oleh orang lain.

Gerak-geriknya mirip seperti dedaunan yang menghindari bebatuan di aliran sungai. Ketika dia mencapai tujuannya tanpa ada yang menyadari keberadaannya, dia mulai mengetuk pintu kelas sebanyak tiga kali.

“Masuklah”

“Permisi”

Ketika Ayano membuka pintu, Yuki sudah menunggunya di ruang kelas yang remang-remang tanpa ada penerangan.

“Apa pembicaraanmu dengan Onii-chan sudah selesai?”

“Ya”

“Begitu ya ... lantas, apa kamu sudah merasa lega?”

Menanggapi pertanyaan Yuki, Ayano mengingat kembali percakapannya dengan Masachika ... dan tatapan matanya memancarkan cahaya lembut.

“Ya, ... Ternyata Masachika-sama, masih sama dengan Masachika-sama yang saya cintai.”

“Kalau begitu, syukurlah”

Yuki merasa lega setelah melihat Ayano, yang secara tidak biasa mengungkapkan ketidakpercayaan dan ketidakpuasan terhadap Masachika, mempunyai tatapan  jernih setelah berdiskusi.

Ayano biasanya tidak banyak berekspresi, tapi wajah datarnya adalah sifat yang didapat, dan bukan karena kurangnya emosi. Sebaliknya, Yuki merasa lega karena kesalahpahaman Ayano mengenai kakaknya telah diselesaikan, karena dia mengetahui kalau Ayano sangat menyayangi mereka berdua.

“Tempat ini sangat gelap. Permisi, saya akan menyalakan lampu—”

Saat Ayano mencoba menyalakan lampu dengan sakelar yang ada di sebelah pintu, tapi Yuki justru menghentikannya.

“Ah, jangan dinyalakan.”

“... Begitukah?”

“Ya. Aku tidak ingin terlihat menonjol,dan yang paling penting ...”

Setelah jeda sejenak, Yuki berbalik secara diagonal ke bawah dan menyibak poninya, lalu dia berpose sambil membuka lebar matanya.

“Bukannya yang gelap-gelap ...  kelihatan jauh lebih keren?”

“... Maafkan saya. Saya masih dalam tahap awal dalam memahami “keindahan” di bagian itu.”

“Enggak masalah, enggak masalah, kamu tinggal mempelajarinya saja dari sekarang”

“Terima kasih banyak atas pengertian anda”

Ayano masih menanggapi serius omong kosong ala chuunibyou Yuki. Setelah mengangguk tegas, Yuki mendesaknya untuk melanjutkan.

“Jadi... Apa yang Onii-chan katakan padamu?”

“Ya. Masachika-sama ... masih tidak mengubah keputusannya untuk mencalonkan diri bersama Kujou-sama.”

“Sudah kuduga. Terus?”

“Dia juga menyuruh saya ......untuk menyampaikan kepada Tuan bahwa Yuki tidak ada hubungannya dengan masalah ini. Jika kamu punya keluhan, langsung datang ke hadapanku

“Hee ...”

Usai mendengar hal itu, Yuki langsung menyadari kalau Masachika mengkhawatirkan dirinya. Dia melebarkan matanya sesaat karena terkejut, dan kemudian mulai menyeringai.

“Sampai Onii-chan bilang begitu … berarti Ia serius.”

Ayano mengangguk serius pada Yuki yang tersenyum bahagia sampai-sampai mulutnya mau bersiul-siul.

“Ya. Rahim[2] saya bergetar tanpa sadar melihat semangat juangnya yang luar biasa itu.” 

“O-Oh. Sampai membuat rahimmu bergetar?”

“Ya”

Yuki tersenyum kaku pada Ayano yang mengangguk acuh tak acuh seolah-olah apa yang dia ucapkan tadi bukanlah sesuatu yang memalukan.

“Etto... aku ingin bertanya padamu untuk jaga-jaga, apa Ayano menyukai Onii-chan ... mana mungkin begitu, iya ‘kan?”

“Bila yang anda maksud dalam hal perasaan romantis, apa yang Yuki-sama katakan memang benar. Saya menghormatinya sama seperti saya menghormati Yuki-sama, tapi saya tidak memendam perasaan romantis padanya.”

“Oh, begitu ya……”

“Saya tidak pernah memikirkan hal lancang seperti ingin menjadi kekasihnya ... Selama Ia bisa menggunakanku sebagai alat, itu saja sudah cukup.”

“Bukannya itu membuatmu jadi gadis super M?!!”

Yuki secara spontan melakukan tsukkomi saat mendengar ucapan Ayano yang keterlaluan.

Penilaian Masachika terhadap Ayano memang tidak salah. Faktanya, Ayano merupakan gadis yang sangat penyayang dan baik hati. Hal itu tidak perlu diragukan lagi.

Hanya saja …. kombinasi dari rasa hormat yang berlebihan kepada tuannya dan preferensi seksualnya sendiri telah membuatnya diliputi oleh “keinginan untuk dipahami.”

Ada bagian dari dalam dirinya yang sedikit senang saat Masachika atau Yuki memberi perintah.

Dia pikir kalau itu bentuk dari kesetiaan, dan bahkan merasa bangga dengan hal itu.

Faktanya bahkan sekarang, Ayano memiringkan kepalanya dengan kebingungan, seolah-olah dia tidak memahami mengapa Yuki mengakatakan itu.

“Saya sungguh minta maaf. Karena pengetahuan saya masih dangkal...  saya ingin bertanya, apa arti dari super M?”

“Eeehhh?! Ahh, itu artinya super Maid. Yup, makanya disingkat jadi super M.”

“Terima kasih banyak atas pujiannya. Saya merasa terhormat. Mulai sekarang, saya akan terus mengabdikan diri untuk menjadi gadis super M yang baik.”

“Kamu baru saja mengatakan sesuatu yang luar biasa, oi.”[3] 

Ayano berkedip pelan pada Yuki yang mengatakan hal itu dengan suara kaku. Dia kemudian membuka mulutnya lagi seakan baru mengingat sesuatu.

“Benar juga... saya lupa memberitahu anda satu hal terakhir.”

“Hmm? Apa?”

“Masachika-sama mengatakan bahwa baginya, Yuki-sama masih menjadi orang terpenting di dunia ini.”

“O,Ohhh……”

Setelah mendengar kata-kata Ayano, wajah Yuki tiba-tiba berubah serius dan dia  bergegas menuju jendela yang menghadap ke halaman sekolah. Yuki lalu membuka jendela, seraya mengambil napas dalam-dalam——dan berhenti .

“Yuki-sama? Anda kenapa?”

“...”

Tanpa menjawab pertanyaan Ayano, Yuki memegangi pinggiran jendela dan terdiam beberapa saat, dia kemudian menghela napas panjang.

“Bahaya banget... aku tadi hampir saja ingin meneriakkan cintaku pada Onii-chan di tengah gedung sekolah.”

Yuki menutup jendela usai menyeka mulutnya, dan menggelengkan kepalanya sambil berkata “Yare~yare”.

“Hmm... ya ampun, dasar Onii-chan-samaku yang imut”

Yuki mengatakan itu sembari cengengesan, dan kemudian bersandar ke dinding seolah-olah ingin menghilangkan rasa geli yang menjalar di seluruh tubuhnya.

Dia menyilangkan lengannya, menyandarkan bagian belakang kepalanya ke dinding, mendongak ke langit-langit, dan bergumam pada dirinya sendiri.

“Tapi... begitu rupanya. Ia tidak gentar meski sudah ditanyai Ayano, ya.”

“Ya. Meski Ia mengkhawatirkan Yuki-sama, tapi sepertinya Masachika-sama tidak meragukan pencalonannya.”

“Begitu ya, Jadi Ia serius ... fufufu, apa Ia benar-benar serius mau melawanku?”

Suara Yuki benar-benar ceria, meski kakak tercintanya itu memilih untuk memusuhi dirinya.

“Boleh juga~ rasanya jadi makin menarik ya? Sejujurnya, kalau cuma Alya-san saja, dia takkan sanggup menjadi lawanku.”

Meski Yuki mengatakannya dengan arogan, tapi Ayano mengangguk setuju.

“Seperti yang anda katakan ... Saya sudah melakukan sedikit riset, dan sepertinya sebagian besar murid kelas satu masih mengharapkan Yuki-sama untuk menang. Mengenai Kujo-sama...Jujur saja, banyak dari kalangan murid mempunyai kesan padanya sebagai  Murid pindahan yang tidak mengenal Ketua Suo dari masa SMP melakukan sesuatu yang sembrono.”

“Ahahaha, enggak kenal ampun. Faktanya, pendukungku benar-benar solid ... Nah, Apa yang akan Onii-chan lakukan untuk membalikkan situasi ini?”

Tatapan mata Yuki berbinar dan ujung mulutnya tersungging ke atas. Senyum di wajahnya begitu lebar sampai-sampai hampir bisa digambarkan sebagai ganas.

“Anda tampak bersenang-senang”

“Tentu saja menyenangkan. Karena aku bisa bertarung serius melawan si jenius itu ... anak ajaib dari keluarga Suou? Mana mungkin kalau ini tidak menyenangkan.”

Menjauh dari dinding yang jadi tempat sandarannya, Yuki lalu merentangkan tangannya seakan-akan sedang menari.

“Aku yang tidak pernah bisa mengalahkan Onii-chan tak peduli apapun yang kulakukan, tapi bersama Alya sebagai pasangannya yang kuat, Ia dengan serius menantangku. Aku merasa senang. Itulah yang membuatnya sangat berharga. Oke, aku akan menghancurkannya dengan segenap kekuatanku!”

Sembari menyilangkan kedua tangannya kuat-kuat, Yuki menoleh ke Ayano dan membuat pernyataan begitu.

“Aku akan memintamu untuk bekerja sama, Ayano. Supaya Onii-chan menganggapnya super serius.”

“Dipahami. Saya akan melakukan yang terbaik untuk membantu anda, Yuki-sama.”

Ayano juga menanggapi permintaannya dengan penuh semangat.

Setelah tertawa puas usai mendengarnya, Yuki memunggungi Ayano, tatapannya mengarah ke luar jendela dan kemudian menghembuskan napas.

“Ngomong-ngomong, Ayano”

“Iya, Yuki-sama, ada apa?”

Saat Ayano memiringkan kepalanya, Yuki menoleh ke belakang dan ....... bertanya dengan ekspresi yang sok.

“Aku yang sekarang, sudah sangat mirip seperti karakter last boss, iya ‘kan? ”


 

<<=Sebelumnya  |  Daftar isi  |  Selanjutnya=>>


[1] Misogini adalah kebencian atau ketidaksukaan terhadap wanita atau anak perempuan
[2] Jangan tanya mimin, udah dari raw-nya kayak gitu :v rahimku anget maz wkwkwkwk
[3] Apa kalian tau arti M sebenarnya dari yang Yuuki maksud? ( ͡° ͜ʖ ͡°)
close

Posting Komentar

Budayakan berkomentar supaya yang ngerjain project-nya tambah semangat

Lebih baru Lebih lama