Chapter 5 — Yang Besar-Besar Memang Mantap
“Cihuuyyy~
Akhirnya istirahat juga~. Masachika, Hikaru, kalian berdua gimana? Hari ini sih
aku sudah beli makananku sendiri.” (Takeshi)
“Hee,
tumben sekali.” (Hikaru)
“Lama-lama
jenuh juga kalau makan di kantin melulu” (Takeshi)
“Kalau
aku sih bawa bento hari ini.” (Masachika)
“Oh,
begitu ya? Kalau begitu aku mau ke toko dan beli sesuatu lah.” (Hikaru)
“Ah~
kalau begitu aku juga mau membeli minuman.” (Masachika)
Setelah
meninggalkan ruang kelas, Masachika berpisah dengan Hikaru dan mulai berjalan
menuju mesin penjual minuman otomatis yang ada di lantai pertama gedung sekolah.
Tapi
saat Ia hendak mencapai tangga, ada seseorang yang tiba-tiba memanggil namanya
dari belakang.
“Masachika-sama”
Suara
yang terdengar dari belakang itu sedikit mengejutkannya, tapi Masachika segera
mengenali pemilik suara itu dan berbalik sembari berpura-pura tenang.
“Ayano...
apa ada perlu sesuatu?”
Orang
yang memanggilnya ternyata Kimishima Ayano, gadis yang baru saja bergabung
dengan OSIS kemarin. Dia adalah pelayan pribadi Yuki, dalam artian lain, dia
juga bisa dibilang sebagai teman masa kecilnya Masachika.
“Saya
minta maaf bila ini terlalu mendadak. Tapi, apakah Anda bersedia untuk
meluangkan waktu berharga Anda sebentar?”
Ayano
membungkuk dengan sopan dan meminta maaf atas ketidaksopanannya, dia lalu
menatap Masachika melalui poni panjangnya dengan ekspresi yang sulit terbaca.
“...
Baiklah. Bagaimana kalau kita berbicara di tempat yang sepi?”
“Terima
kasih banyak. Silahkan lewat sini”
Sepertinya
dia sudah punya ide ke mana harus pergi, jadi Ayano dengan cepat melangkah di
depan Masachika dan mulai memandunya.
(Seperti biasa, dia mirip seperti ninja
saja)
Masachika
bergumam dalam hati sambil menatap tajam punggung Ayano. Itu karena ... Meski dari
sudut pandang umum Ayano mempunyai wajah yang cantik, tapi anehnya, dia tidak
punya hawa kehadiran. Kamu takkan menyadari dia mendekatimu sampai pada jarak
dimana kamu baru bisa mendengar suaranya yang tidak terlalu keras itu.
......
Tidak, mari hentikan penggunaan konsep samar-samar yang mengatakan kalau dia
tidak punya hawa kehadiran. Tapi, karena setiap gerak-geriknya dilakukan tanpa
menimbulkan suara, dan pada saat kamu memalingkan pandanganmu, kamu takkan bisa
melihat gerakan itu kecuali kamu melihatnya dengan teliti. Tanpa disadari, dia
akan tiba-tiba menghilang, dan disaat kamu baru menyadarinya lagi, dia sudah
berada di dekatmu.
(Yah, Aku tak bisa berkomentar apa-apa
karena dia sendiri tidak punya niatan buruk ...)
Selain
itu, Ayano bertingkah seperti itu bukan bermaksud untuk mengejutkan orang lain.
Dalam keadaan siaganya, dia tak berbicara, diam tanpa suara, dan tak berekspresi.
Lagipula, Ayano jarang berbicara dengan siapa pun, jadi tidak ada yang terkejut
dengannya. Bagi Masachika, yang mana adalah teman lamanya, ini merupakan
kejadian langka Ayano sampai mengajaknya berbicara duluan .
“Silahkan
masuk”
Ketika
dia berhenti di depan ruang kelas yang kosong, Ayano membuka pintu tanpa
mengeluarkan suara (Entah bagaimana dia
bisa melakukan itu dengan pintu geser) dan mempersilahkan Masachika masuk.
Saat
Masachika sudah memasuki kelas, Ayano menutup pintu tanpa suara dan menyalakan
lampu. Saat dia berada di hadapan Masachika, dia membungkuk sekali lagi.
“Dalam
kesempatan kali ini, saya ucapkan terima kasih banyak kepada Masachika-sama
karena sudah bersedia meluangkan waktu— ”
“Ah,
jangan terlalu bertele-tele. Langsung saja ke topik utamanya”
“Saya
sungguh minta maaf. Kalau begitu…”
Ayano
mendongak dan menatap lurus ke arah Masachika. Meski wajahnya masih tanpa
ekspresi seperti biasa, tapi tatapan matanya sedikit muram.
“Saya
sudah mendengar perihal ini dari Yuki-sama. Masachika-sama berniat mengikuti
pemilihan Ketua OSIS bersama Kujou-sama. Apa semua itu benar?”
“……Iya,
itu benar.”
Saat
Masachika mengangguk, Ayano menunduk ke bawah sejenak ...... dan ketika dia
mengangkat kepalanya lagi, tatapan matanya berubah menjadi dingin.
“Mengenai
masalah ini, Tuan merasa tidak senang dengan tindakan Masachika-sama.”
“!!!”
Masachika
tersentak usai mendengar informasi yang diberikan Ayano. “Tuan” yang dimaksud
Ayano adalah kepala keluarga Suou saat ini, dengan kata lain, kakek dari pihak
ibu Masachika dan Yuki.
“Apa
untungnya bagi Masachika-sama, yang sudah meninggalkan keluarga Suou, sampai
menghalangi Yuki-sama segala? Beliau sangat marah dengan masalah ini.”
“…...”
Masachika
sendiri tidak terlalu kaget mengenai hal itu. Tidak mengherankan jika kakeknya,
yang sangat menghargai martabat keluarga Suou lebih dari apapun, tidak senang
dengan keputusan Masachika.
Kakeknya
takkan pernah memaafkan Masachika, yang telah meninggalkan keluarga Suou,
menghalangi karir elit Yuki sebagai pewaris sah keluarga Suou.
Ini merupakan hal yang sangat jelas. Aku
seharusnya bisa menduga kalau inilah yang akan terjadi....... Kenapa aku tidak
berpikir sampai sejauh itu?
(Dasar kakek tua bangka ...)
Masachika
melontarkan umpatan dalam hati pada kakek yang ada di dalam ingatannya.
Pertama-tama,
alasan mengapa Masachika dan Yuki harus berpura-pura menjadi teman masa kecil
ialah karena hal tersebut merupakan keinginan dari kakek mereka. Dari sudut
pandang Masachika, hal tersebut merupakan sandiwara yang sangat bodoh sekali, tapi
menurut kakeknya, Masachika yang harusnya menjadi penerus sah malah meninggalkan
keluarga besar merupakan aib bagi keluarga Suou. Oleh karena itu, sebagai
syarat kepergiannya, Masachika dibuat berjanji untuk tidak memberitahu
siapa-siapa kalau dirinya terkait dengan keluarga Suou.
Masachika
tidak mempunyai kewajiban untuk menepati janji tersebut. Tapi jika Ia
menyinggung kakeknya, adik perempuannya yang masih berada di keluarga Suou akan
menjadi pelampiasan kemarahan kakeknya.
Karena
memahami konsekuensi tersebut, Masachika terus menepati janji itu demi adik
kesayangannya. Ia dengan patuh menuruti keinginan Kakeknya.
“Terus?
Apa kamu disuruh kakek untuk menanyakan
niatku yang sebenarnya?”
“...
Tidak, ini merupakan keinginan saya sendiri.”
“Hee?”
Masachika
yang mengira kalau itu adalah perintah kakeknya, mengangkat alisnya setelah
mendengar perkataan Ayano. Ketika Masachika menatapnya dengan ekspresi
terkejut, Ayano terus melanjutkan dengan tatapan mata yang dingin dan wajah
serius.
“Sudah
menjadi kewajiban seorang pelayan untuk menghilangkan kecemasan tuannya.
Sebagai pelayan pribadi Yuki-sama, saya harus mengukur niat sebenarnya dari
siapapun yang menentang dirinya.”
“Loyalitas
banget. Memangnya kamu ini samurai?”
Meskipun
Masachika mengejek Ayano, tapi tidak ada tanda-tanda cemoohan atau ejekan dalam
suaranya. Meski kata-katanya terlalu berlebihan, Masachika juga menegakkan
punggungnya karena Ia tahu tidak ada kepalsuan dalam maksud yang terkandung di
dalam perkataan Ayano.
(Kenapa, ya……)
Masachika
kemudian merenungi kembali tindakannya sendiri. Bersama Alisa, Ia mencalonkan
diri sebagai calon kandidat ketua OSIS melawan Yuki. Jika dipikir-pikir secara
rasional, keputusannya sungguh tidak masuk akal. Apa yang sedang Ia raih dengan
menyinggung kakeknya dan memusuhi adik tersayangnya?
Kehormatan
menjadi wakil ketua OSIS? Ia tidak tertarik dengan hal semacam itu. Masachika
cuma ... tidak bisa meninggalkan Alisa sendirian. Pada akhirnya, hanya itu saja
alasan yang bisa Ia pikirkan.
“Saya
…… percaya ...”
Ayano
menatapnya dengan pandangan menyalahkan ke arah Masachika yang merenung.
“Kalau
Masachika-sama takkan pernah melakukan apapun yang akan membuat ......
Yuki-sama merasa sedih. Apa itu ...... salah?”
“...”
Suara
Ayano yang penuh kegetiran membuat Masachika merasa sedih. Ia merasa sedih
melihat gadis di depannya mau melakukan peran seperti musuh demi tuannya.
Masachika
tahu betul kalau gadis yang tampaknya tanpa emosi ini sebenarnya mempunyai
sifat penyayang dan baik hati seperti Yuki. Kenyataannya, dia bukanlah tipe
orang yang bisa menyalahkan atau menuduh siapapun. Semakin sering kamu menuduh
seseorang, semakin banyak juga kamu menyakiti dirimu sendiri. Dia adalah gadis
yang berhati lembut.
Gadis
yang seperti itu menanggung rasa sakit dan menunjukkan permusuhannya. Fakta tersebut
membuat Masachika merasa sedih. Dan Ia merasa tidak berdaya karena dirinya lah
yang menjadi penyebab Ayano sampai berbuat begitu.
(Kenapa aku tidak…….menanggapinya lebih
cepat ...)
Sambil
menyesalinya, Masachika mengubah ekspresinya dan menghadapi Ayano dengan sekuat
tenaga. Ia menatap lurus ke matanya dan menyampaikan keinginannya dengan hati
yang tulus.
“Aku
memutuskan untuk ikut mencalonkan diri bukan karena ingin melawan Yuki. Aku hanya
memutuskan untuk mencalonkan diri bersama Alya, cuma itu saja. ......
Akibatnya, mau tak mau aku jadi melawan Yuki.”
“Itu……”
Tatapan
Ayano goyah setelah mendengar perkataan tulus Masachika. Akan tetapi, dia
dengan cepat menajamkan tatapannya lagi dan melanjutkan pertanyaannya.
“Tidak
peduli apa urutannya, fakta bahwa Masachika-sama memusuhi Yuki-sama masih tetap
tidak berubah. Bagi Masachika-sama, apa hal itu sebegitu pentingnya mencalonkan
diri bersama Kujou-sama? Sampai membuat Anda harus mengkhianati Yuki-sama dan
bahkan menyakitinya?”
“……Iya”
Masachika
mengangguk tanpa ragu membalas pertanyaan itu ... dan kali ini Ayano dibuat gentar.
Masachika terus berbicara dengan tulus kepada Ayano yang raut mukanya terlihat
sedih sekaligus bingung.
“Untuk
alasannya... aku sendiri masih tidak tahu. Tapi aku akan tetap melakukannya.
Aku akan melakukan yang terbaik untuk menjadikan Alya sebagai ketua OSIS.
Benar, aku sudah berjanji padanya.”
“Apa
itu karena... Anda memendam perasaan khusus padanya? Apa Masachika-sama menyu—”
“Bukan”
Masachika
langsung membantah asumsi Ayano. Ia membantu Alisa bukan karena ada perasaan
romantis padanya. Lalu, jika ditanya apa alasannya... Masachika sendiri tidak
begitu paham. Tanpa mengetahui motifnya, Ia cuma bertekad melakukan itu.
“Aku
memutuskannya atas keinginanku sendiri. Ini juga tidak ada hubungannya dengan
Yuki. Aku bahkan tidak sempat memikirkan apa yang akan keluarga Suou lakukan.”
“…..”
“Oleh
karena itu…... tolong beritahu ini kepada kakek. Jangan salahkan Yuki mengenai
masalah ini. Jika Ia punya keluhan, silahkan datang langsung kepadaku.”
“....
Saya, paham.”
Ayano
melebarkan matanya sedikit usai mendengar kata-kata Masachika, dia mengguncang
dirinya sendiri, dan membungkuk dalam-dalam. Dia pun bertanya sembari masih
menundukkan kepalanya.
“Saya
masih mempunyai pertanyaan terakhir untuk Anda. Apakah perasaan
Masachika-sama terhadap Yuki-sama....... masih sama seperti dulu? Apa yang
Masachika-sama pikirkan tentang Yuki-sama?”
“Bagiku,
Yuki adalah orang yang sangat penting di dunia ini. Dan perasaan itu tidak
pernah berubah.”
Masachika
mengatakannya tanpa ragu seraya menurunkan alisnya dan meminta bantuan Ayano.
“Oleh
karena itu, kumohon. Aku tahu kalau aku
tidak berhak mengatakan ini sekarang, tapi ... tolong dukung dan bantu dia.”
“...Saya
mengerti. Saya senang bisa mendengar pendapat anda, Masachika-sama.”
Ayano
mengatakan itu melalui poni panjang yang menyembunyikan ekspresinya, dan dia
berbalik menuju pintu yang ada di belakangnya.
“Terima
kasih banyak atas kesediaan anda mau meluangkan waktu anda yang berharga. Kalau
begitu, saya permisi undur diri dulu.”
Dia
lalu membungkuk di depan pintu dan meninggalkan ruang kelas. ...... Kalau
biasanya, dia akan menunggu Masachika keluar dulu sebelum dirinya.
“Apa
aku sudah membuatnya kecewa ...”
Masachika
merasa kalau pintu yang dibiarkan terbuka menggambarkan perasaan Ayano, dan
dengan ekspresi getir, Ia bergumam pada dirinya sendiri.
(Yah, kalau dilihat dari situasinya saja
sih. Ini mirip seperti cowok brengsek yang beralasan 『Dia enggak bisa berbuat apa-apa kalau
enggak ada aku. Kalau kamu ‘kan enggak ada aku juga pasti baik-baik saja 』 ….. Padahal bagian brengseknya ada
benarnya juga sih)
Masachika
menggaruk poninya seraya mencela dirinya sendiri di dalam hati.
“Meski
aku sudah memahaminya ... tapi rasanya masih tetap sakit”
Permusuhan
yang diarahkan padanya dari gadis yang Ia kenal sejak kecil sangat menghantam
hati Masachika lebih dari yang Ia duga.
Kenyataan
bahwa perbuatannya menyakiti dua gadis yang paling dekat dengannya membuat hati
Masachika tersiksa.
Namun
anehnya, Ia tidak merasa menyesal. Tidak ada satupun secuil keraguan dalam niatnya untuk berjalan
bersama Arisa. Meski tidak ada, tapi ...... hatinya masih merasa tertekan.
“Haaa...”
Sembari
menghela nafas lemas, Masachika berjalan dengan susah payah kembali ke ruang
kelas, dan melupakan tujuannya untuk membeli minuman.
“Ah,
akhirnya balik juga. Lah... mana minumannya?”
“Eh?
Ah...”
Takeshi
bertanya padanya dan akhirnya Ia baru mengingat tujuannya meninggalkan kelas,
tapi Masachika tidak bisa memakasan dirinya membeli minuman lagi. Atau lebih
tepatnya, nafsu makannya sendiri justru benar-benar hilang.
“Yah,
enggak apa-apa lah, lagian masih ada air botol.”
“
…? Benarkah?”
Ketika
Masachika mengguncang botol air yang Ia bawa dari rumah, Takeshi sepertinya
merasakan sesuatu dan tidak bertanya lebih jauh. Tak berselang lama, Hikaru
kembali sembari membawa roti yang dibeli dari toko dan membalik mejanya untuk
menempelkannya ke meja Masachika.
“….Mumpung
orangnya enggak ada, jadi kenapa kamu enggak pakai kursi Alya saja seperti
biasa?”
Saat
Masachika mengucapkan hal itu pada Takeshi yang sampai repot-repot membawa kursinya
sendiri dari jauh, Takeshi membalas tersenyum pada kursi kosong yang ada di
barisan terakhir dekat jendela.
“Sejujurnya,
aku memang sedikit tergoda untuk duduk di kursi Putri Alya, tapi aku segera
menghilangkan pemikiran itu karena merasa bakalan dibunuh.”
“Ah,
kamu ini terlalu berlebihan”
“Tidak,
bukan sama Putri Alya... melainkan sama teman-teman sekelas?”
“......Begitu
rupanya?”
Meski
tidak bakalan dibunuh, tapi kamu mungkin akan menderita jadi sasak tinju oleh
gerombolan murid-murid cowok. Apalagi di sekolah ini, setiap meja mempunyai
tanda nama di sudut kanannya, jadi kamu bisa langsung mengetahui siapa pemilik
dari meja itu.
Dengan
menggunakan meja yang sama sepanjang tahun, para siswa secara alami akan
merawat peralatan sekolah dengan baik ... atau itulah tujuannya, tapi hal ini juga membuat para siswa merasa segan
menggunakan meja siswa lain secara santai.
(Yah, aku maklumi kalau kita memang tidak
bisa tenang jika ada nama gadis yang selalu tertangkap oleh perhatian kita.)
Masachika
membuka kotak bentou-nya seusai memahami maksud Takeshi.
“...
Apa-apaan itu?”
“The ☆ Sisaan
dari kemarin ”
“Dari kelihatannya saja aku udah tau”
Kotak
makan siang dua tingkat Masachika mempunyai lauk steak hamburger di bagian atas dan nasi putih yang dikemas rapi di
bagian bawah. Bagian atas berwarna coklat dan bagian bawah berwarna putih. Brokoli
yang disajikan bersamaan dengan steak hamburger setidaknya bisa memberi sedikit
warna. Meski....... warnanya sudah layu.
“Yah,
yang penting rasanya enak, iya ‘kan?”
“Tapi
itu benar-benar menggambarkan makanan khas cowok”
“Tidak,
ini memang makanan cowok, kok.”
Masachika
mengangkat bahunya kepada kedua sahabatnya yang tertawa. Mereka berdua tahu
kalau Masachika berasal dari keluarga single-parent,
jadi mereka menepukkan kedua tangan tanpa mempermasalahkannya.
“Itadakimasu.”
“Itadakimasu.”
“Itadakima~su.”
Mereka
bertiga mulai menyantap makanan mereka masing-masing, tapi ...... Masachika
yang masih kepikiran dengan kejadian tadi, sedang dalam suasana hati yang
kurang baik. Ia membawa sumpit berisi makanan ke arah mulutnya dengan lesu.
Mungkin
Ia merasakan sesuatu saat melihat kondisi Masachika yang muram, Takeshi tiba-tiba
mengeluarkan majalah dari kantong plastik yang berisi bento minimarket.
“Oi,
oi, lihat nih. Majalah gravure edisi minggu ini, setiap anggota “Bloo-♡ming” berkumpul semua, tau.”
Takeshi
dengan bersemangat menunjukkan foto grup idol berisi dua belas anggota yang
akhir-akhir ini sedang naik daun. Hikaru yang biasanya tidak tertarik dengan
topik semacam ini, tumben-tumbennya meladeni percakapan Takeshi karena Ia juga
merasakan ada sesuatu yang aneh pada sikap Masachika.
“Belakangan
ini aku sering melihatnya muncul di TV. Kupikir mereka tipe idol yang cuma
memakai baju imut dan manis, tapi aku baru tahu kalau mereka melakukan gravure
baju renang juga.”
“Sepertinya,
ini pertama kalinya semua anggota mereka berkumpul. Wow, seriusan. Bukannya
gadis ini punya badan yang langsing ...”
Takeshi
terlihat cengengesan saat melihat foto gadis-gadis yang memakai bikini.
“Naa,
kalau Masachika suka idol yang mana?”
“Yah,
sejujurnya, aku tidak tahu apa-apa tentang idol. Meski aku tahu nama grupnya,
tapi aku tidak tahu nama anggotanya sama sekali.”
“Kamu
kedengaran kayak om-om tau... Kalau begitu, siapa artis favoritmu? Tidak masalah
entah itu aktris atau idol.”
“Yah......
Aku bukan penggemar selebriti atau semacamnya, tau. Tapi kalau pelawak favorit
sih punya.”
“Eh~?...
Lalu, bagaimana dengan seiyuu? Apa tidak ada seiyuu wanita yang kamu sukai?”
“Aku
tidak begitu tertarik dengan seiyuu ...”
“Apa-apaan
itu, kalau Hikaru bagaimana?”
“Memangnya
kamu pikir, aku menyukai gadis glamor macam seorang selebriti?”
Hikaru
membalas dengan senyum muram pada pertanyaan Takeshi.
Fakta
bahwa Hikaru menggambarkan mereka sebagai “glamor” ketimbang “berkilauan” sudah
tersampaikan dengan jelas mengenai kesannya tentang selebriti. Takeshi
menggerutu tidak puas dengan reaksi kedua temannya.
“Kalian
berdua ini gimana, sih! Kalau kalian cowok pasti punyalah! Satu atau dua
selebriti favorit!” (Takeshi)
“Bukannya
gimana-gimana, cuma karena kamu menyukai seseorang bukan berarti kamu bisa
berpacaran dengannya... ” (Masachika)
“Jika
kamu bilang begitu, berarti karakter dari 2D juga enggak ada bedanya” (Takeshi)
“Benar
sekali, tapi kamu bisa merasakan pengalaman romansa semu dengan karakter 2D
melalui karakter utama.” (Masachika)
“Bagaimana
dengan heroine sampingan yang tidak bisa berpacaran dengan karakter utama?”
(Takeshi)
“Takeshi...
di dunia ini, ada buku tipis yang memenuhi hasrat para cowok ...” (Masachika)
“Oi,
kamu masih 16 tahun” (Takeshi)
“Enggak
ada yang bilang kalau itu larangan 18+, kok?” (Masachika)
Masachika
membalas tsukkomi Takeshi dengan wajah acuh tak acuh. Dan di sana, Hikaru pun
menyetujui dengan senyum gelap menghiasi wajahnya.
“Benar
juga ... Jika itu karakter 2D, dia takkan berkhianat, ‘kan ...?” (Hikaru)
“Oi
Hikaru, apa yang terjadi? Apa jangan-jangan Yamiru-san? Apa Yamiru-san muncul
lagi?” (Takeshi)
“Hikaru
... Sayangnya, belakangan ini juga karakter 2D banyak yang kena netorare, tau?”
(Masachika)
“Hentikaaaannnn!”
(Takeshi)
“Sudah
kuduga... gadis-gadis memang jahat...!” (Hikaru)
“Omonganmu
sudah kayak karakter pembalas dendam saja.” (Masachika)
“Memangnya
salah siapa coba, hayo salah siapa?” (Takeshi)
Saat
Takeshi menatapnya, Masachika merenungkan kalau ucapannya terlalu sembrono, dan
secara sengaka meningkatkan nada suaranya.
“Tapi
yah, tak bisa dipungkiri kalau itu memang impian semua cowok, iya ‘kan.
Diam-diam berpacaran dengan idol populer.”
“O-ohh,
benar sekali!”
“Dia
adalah idol semua orang, tapi sebenarnya dia adalah pacarku. Semua cowok pasti
pernah bermimpi hal seperti itu.”
“Paham
banget! Rasa superioritas memang tak ada tandingannya.”
Mereka
berdua menjadi bersemangat oleh fantasi yang mustahil terjadi. Mungkin merasa
senang dengan antusiasme Masachika, Takeshi mulai membuka kembali majalah dan
menunjukannnya kepada Masachika.
“Jadi,
siapa yang kamu suka? Dari penampilannya saja enggak masalah.”
“Hmmm~.”
Saat
membolak-balik halaman, entah itu karena instingnya sebagai cowok atau
nalurinya sebagai penyukai oppai, melihat idol gravure memakai bikini membuat
pandangan Masachika selalu tertuju ke bagian tertentu dari gadis-gadis. Takeshi
juga ikutan tersenyum, mungkin karena Ia juga menyadarinya.
“Apa
kamu lebih suka tipe Onee-san yang punya dada boing-boing? Kalau aku sih
kelompok yang dari usia sebaya juga lumayan mantap, apalagi karena mereka memakai
baju renang.”
“Pastinya
lah. Memangnya ada cowok yang bisa menolak pesona ini?”
“Setuju
banget. Lagipula, dada gadis merupakan tempat yang penuh dengan impian dan
romansa cowok!”
“Bukannya
itu cuma tumpukan lemak?”
“Yamiru-san,
tolong tutup mulutmu sebentar~.”
Sembari
tersenyum pahit melihat percakapan mereka, Masachika lalu mengarahkan majalah ke
arah Takeshi.
“Yah,
jika dibilang siapa yang kusuka di antara mereka, mungkin gadis ini—”
Masachika
mendongak sambil menunjuk seorang gadis yang ada di foto ... lalu Ia menyadari
kalau Takeshi dan Hikaru sedang melihat ke belakangnya dengan ekspresi ““Ahh””.
Segera setelah itu, hawa sedingin es berhembus dari arah belakangnya.
Masachika
yang langsung menyadari situasinya … langsung mengeluarkan jurus silat lidanya
sambil menghadap ke depan.
“...
Tapi, tetap saja iya ‘kan~! Rasanya sedikit samar karena biasanya ada gadis
super cantik yang duduk di sebelahku!”
“Disita”
“Kenapa!?”
Masachika
berteriak saat sebuah tangan terulur dari belakangnya dan mengambil majalah
itu. Saat Ia mengikuti ke mana majalah itu di ambil, Masachika melihat Alisa
tengah memandang rendah dirinya dengan tatapan jijik. Pandangannya lalu beralih
ke majalah yang ada di tangannya, dan gumaman penuh hinaan terdengar dari
mulutnya.
【Cabul】
“O,
Oh ... meski aku tidak mengerti bahasa Rusia, tapi entah kenapa, aku tahu kalau
aku sedang dihina.”
“Kebetulan
banget, Takeshi. Aku juga merasakan hal yang sama.”
“Hahaha
...”
Takeshi
dan Masachika tersenyum kaku, dan Hikaru juga ikut tersenyum seolah-olah
dirinya tidak ikut terlibat.
Namun,
saat Alisa memelototi mereka, Takeshi dan Hikaru langsung buru-buru memalingkan
muka dan menundukkan kepala mereka.
“Kuze-kun...
Apa menurutmu, seseorang yang sudah menjadi anggota OSIS, bisa membawa sesuatu
seperti ini ke sekolah?”
“Tidak,
itu sih... Sebenarnya, Takeshi yang membawanya ke sekolah ...”
“Kalau
begitu, harap berhati-hati”
“Siap”
Masachika
pun ikut menundukkan kepalanya seperti Takeshi dan Hikaru usai mendengar suara
dingin Alisa.
Seelah
memandang jijik pada trio idiot yang meringkuk dengan menyedihkan, Alisa
meletakkan majalah di atas meja seraya menghela nafas.
“Um...
kalau boleh, apa kamu bersedia mengembalikannya?”
“Jangan
salah paham. Aku cuma tidak ingin menyentuh benda ini.”
“Tidak,
memang benar kalau ada sampul dan halaman gravure yang sedikit merangnsang,
tapi bagian lain dari majalah ini sangat sehat, tau?”
“Lalu
mulut siapa yang kegirangan dengan bagian yang tidak sehat?”
“Hmmm
... benar juga, maaf”
Masachika
diyakinkan oleh jawaban yang sangat masuk akal seolah-olah Ia menelan ludahnya
sendiri. Alisa yang duduk di kursinya sendiri mengatakan “Ba~ka” kepada Masachika yang mengerang karena tak bisa membantah
ucapan Alisa.
“(Ayo
cepat lakukan sesuatu, sebelum Alya mengubah pikirannya)”
“(Lah...sejak
kapan kamu menjadi anggota OSIS?)”
“(Ah...baru
kemarin)”
“(Kok
aku baru dengar? Apa yang terjadi?)”
“(Yah,
ada banyak hal yang terjadi ...)”
Trio
idiot itu entah bagaimana mulai bergerak dan berbisik-bisik. Setelah melirik ke
arah mereka, Alisa memangku pipinya dengan jengkel dan memalingkan wajahnya ke
arah jendela.
Dia
kemudian mengingat kembali teriakan Masachika tadi. Meskipun Alisa tahu kalau
Masachika menyanjungnya demi menutupi kalau dirinya membawa majalah, dia merasa
kalau punggungnya semakin panas.
【Sungguh bodoh】
Seolah-olah
ingin menyamarkan panasnya, Alisa bergumam begitu pada dirinya sendiri. Terlepas
dari kata-katanya, Masachika merasa kalau suasana hati Alisa telah membaik, dan
Ia mengelus dadanya dengan lega. Akan tetapi…
“Hmm?
Ada apa, Hikaru?”
Masachika
menoleh setelah mendengar suara Takeshi, Ia kemudian melihat Hikaru menatap
tajam ke sampul majalah yang akan disimpan Takeshi.
Masachika dan Takeshi memiringkan kepala mereka saat melihat tatapan tak biasa dari Hikaru yang misogini[1]. Kemudian Hikaru menunjuk ke salah satu gadis yang ada di sampul itu dan berkata.
“Bukan
apa-apa ... hanya saja, gadis yang Masachika pilih tadi. Siapa namanya? Yah itu
tidak penting, tapi jika dilihat-lihat lagi, bukannya dia terlihat mirip
seperti Kujou-senpai?”
Pada
saat itu, Masachika langsung merasakan tatapan tajam dari sebelah kirinya. Ia
bisa merasakan suasana hati Alisa yang tadinya sudah membaik, sekarang langsung
berubah menjadi sedingin es.
(Ooooooooiiiii!! Kamu ini ngomong apaan,
Hikaruuu!!)
Saat
Ia mencoba melirik ke tetangga sebelah, Masachika melihat bahwa Alisa sudah
membuang muka dan memelototinya melalui jendela. Masachika berteriak dalam hati
sambil berkeringat dingin.
Sambil
tersenyum kaku, Ia mencoba membantahnya, “Ti-Tidak
juga kok, palingan itu cuma perasaanmu saja?”, Tapi Takeshi yang
melihat-lihat sampul itu lagi setelah Hikaru menunjuknya, ikut mengangguk
setuju dan menimpali.
“Benar
juga, setelah kamu bilang begitu, dia memang kelihatan mirip.”
(Ooooiiii !! Peka sedikit, Takeshi !!)
Masachika
berteriak dalam hati, tapi badai salju tidak bertiup kencang seperti
sebelumnya, dan kedua temannya mulai bersemangat tanpa menunjukkan tanda-tanda
menyadari situasi, mungkin karena badai salju yang bertiup itu cuma tertuju
pada Masachika.
“Kamu
setuju, iya ‘kan? Gaya rambut dan atmosfirnya... Rambut cokelat dan mata
cokelatnya juga sangat mirip.”
“Terlebih
lagi dia gadis tipe Onee-san. Hee~ Masachika, apa gadis yang seperti Kujou-senpai
adalah tipemu?”
Semakin
mereka berdua bersemangat, semakin menyakitkan pula badai es yang melanda
Masachika. Tentu saja, itu cuma imajinasinya saja.
(Ga-Gawat ... Kalau aku menjawab salah di
sini, entah kenapa aku merasa bakalan terlibat dalam masalah yang rumit)
Saat
insting bertahan hidupnya sebagai makhluk hidup berdering keras, Masachika
membalas dengan lamban.
“Tidak,
bukannya dia itu tipeku atau semacamnya ... Lagipula, Masha-san sudah punya
pacar.”
“Dengan
kata lain, jika dia tidak punya pacar, kamu akan mengincarnya?”
“Hah,
Masha-san? Sejak kapan kalian berdua begitu dekat sampai kamu boleh
memanggilnya dengan nama panggilan segala?”
(Mengapa kalian berdua cuma kompak pada
saat-saat seperti ini, dasar kamprettt !!)
Jika
ditanya kenapa, itu karena Masachika biasanya tidak menunjukkan ketertarikan
pada gadis asli.
Masachika
yang sebenarnya cuma berteman dengan Alisa dan Yuki, yang dikenal sebagai gadis
tercantik di sekolah, diam-diam dicemaskan oleh teman-temannya, “Nih anak, Ia serius cuma tertarik dengan 2D
doang?”
Mereka
berdua merasa lega sekaligus sedikit bersemangat dengan topik gadis 3D, ….
Apalagi mengenai kisah cinta Masachika.
Bagi
Masachika sendiri, itu adalah cerita yang menjengkelkan dan tidak diperlukan.
“Tidak,
tidak, seriusan ini cuma kebetulan doang. Aku tidak pernah memandang Masha-san
dengan tatapan semacam itu ...”
Masachika
mengatakan itu dengan spontan, tapi sayangnya ada terlalu banyak hal yang
terlintas di pikirannya hingga merasa ragu untuk mengatakan “Tidak”.
Sampai-sampai
bagian diri Masachika
yang punya sifat jujur ingin menyela dan berkata, “Tidak, tidak, jangan
bohong.”
“...
Itu sih, yah, ya. Aku tidak pernah sekalipun berpikir ingin berpacaran dengannya.”
Takeshi
dan Hikaru menatap lembut Masachika yang jelas-jelas sekali menghindari
pertanyaan.
Di
tambah lagi, tatapan jijik Alisa yang diarahkan kepadanya. Yah, siapapun akan
melakukan hal yang sama jika ada seorang cowok yang menatap cabul kakak
perempuanmu.
【Dasar binatang buas】
Umpatan
dalam bahasa Rusia menusuk hati Masachika. Selain tidak bisa bereaksi, Ia pun
tak bisa membalas, jadi posisinya benar-benar sangat sulit.
“Kalau
dia gimana? Apa kamu tak pernah kepikiran ingin berpacaran dengan Suou-san?
Meski banyak yang bilang kalau hubungan teman masa kecil mustahil bisa berubah
menjadi hubungan romantis, tapi menurutmu sendiri gimana?”
Begitu
Takeshi menyebut nama Yuki, Masachika langsung menyadari kalau suasana hati Alisa
langsung berubah dengan jelas.
Sambil
merasakan tatapan menyengat dalam arti yang berbeda dari sebelumnya, Masachika
menjawab sambil mengingat Ayano ketimbang Yuki.
“Itu
takkan mungkin terjadi... Atau lebih tepatnya, aku tidak pernah memandangnya
sebagai lawan jenis. Ah, asal kalian tahu, mana mungkin aku dan Yuki bisa
berpacaran, oke?”
“Aku
memang pernah mendengar hal yang sama, tapi kenapa?”
Karena kami berdua kakak dan adik. Karena
kami mempunyai orang tua yang sama dan tak bisa dipungkiri kalau kami adalah
saudara kandung.
Cuma
itu saja alasannya, tapi Masachika tidak bisa mengatakannya karena keadaan di baliknya. Saat Masachika cuma
membalas dengan senyum samar-samar, Takeshi menggelengkan kepalanya seolah-olah
Ia tidak memahami jalan pikir Masachika.
“Aku
sama sekali enggak paham ... padahal dia itu gadis yang sangat cantik. Apalagi
dia punya kepribadian yang baik dan sopan, bisa dibilang kalau dia itu tipe
Ojou-sama yang sudah sangat langka di jaman sekarang.”
“Ah,
ya ...”
Masachika
hampir ingin mengatakan, “Memangnya itu
siapa?”, tapi berhasil menelan kembali kata-katanya.
Nyatanya,
jika kamu cuma melihat Yuki dalam mode Ojou-sama di sekolah tanpa mengetahui
sifat asli Yuki yang isi kepalanya penuh dengan hal otaku, mungkin banyak orang
memikirkan hal yang sama seperti Takeshi.
......
Dari sudut pandang Masachika yang mengetahui sifat asli Yuki, ini adalah
evaluasi yang harus ditanggapi dengan wajah tegas.
Namun,
meski Takeshi adalah temannya, Ia tidak bisa begitu saja mengungkapkan sifat
asli Yuki, jadi Ia perlu mengelabuinya.
“Mengenai
Ojou-sama itu ... sebagai rakyat jelata, aku menghargainya.”
“Ah...
yah begitulah...”
“Tapi
jika kamu mengatakannya seperti itu, bukannya gadis-gadis di sekolah ini cukup
elit? Bukan hal yang aneh saat mengetahui kalau gadis yang kamu ajak bicara
sebenarnya putri dari CEO perusahaan.”
“Yah,
itu benar... Pokoknya, jika aku ingin berpacaran dengan seseorang, aku akan
memilih seseorang yang derajatnya setara denganku. Itupun kalau aku pacaran,
ya.”
“Bukannya
ini cuma hubungan cinta antar pelajar? Memangnya kamu perlu berpikir sampai
sejauh itu?”
“Yang
setara denganmu ... apa itu berarti keluarga kelas menengah?”
“Yah,
benar juga... Maksudku, keluarga kelas menengah, gampang akrab, ‘kan? Rasanya
seperti kamu bisa berteman dengan mereka ...”
Masachika
menjawab tanpa terlalu memikirkannya dalam-dalam sambil mengingat “Gadis itu” di kepalanya.
【Artinya, se-seseorang seperti
aku? 】
(Bukan, kok?)
Masachika
menanggapi dalam hatinya seperti Yamiru terhadap bahasa Rusia yang tiba-tiba
mengganggu adegan kenangannya.
Saat
Ia melirik ke sampingnya, Masachika bisa melihat sosok Alisa yang sedang
memangku pipinya, dalam suasana hati yang aneh.
Kalau
diperhatikan baik-baik, Masachika bisa melihat bahwa badan Alisa sedikit
gemetar, dan jika didengar dengan seksama, Ia bisa mendengar kalau Alisa
menyenandungkan sebuah lagu dan masih mengatakan sesuatu dalam bahasa Rusia.
Begitu mendengarnya ... tatapan Masachika langsung berubah.
( Jangan pasang ekspresi『Aku mengatakannya, aku mengatakannya!
Kyaaaaaa—— ! 』. Aku bisa melihat wajahmu yang menyeringai
melalui jendela, tau? Bukannya kamu sedikit eksibisionis? Apa ini tentang itu?
Aku pernah mendengar kalau orang Rusia mengatakan apa yang mereka pikirkan
lebih jelas ketimbang orang Jepang. Apa kamu akan mengatakan apapun yang
terlintas di pikiranmu dalam bahasa Rusia?....dasar aho)
Sudut
mulut Alisa berkedut saat dia memangku pipinya dengan tangan kanan. Entah karena
dia tidak menyadari tatapan Masachika, atau dia menyadarinya tapi tidak bisa
menoleh ke belakang karena belum bisa mengembalikan ekspresinya kembali normal.
...... bagaimanapun juga, rasanya entah kenapa sedikit mengecawakan.
“Masachika?
Ada apa?”
“Oh
bukan apa-apa... terus ...”
Ketika
Masachika melanjutkan kenangannya saat mendengar suara Takeshi, hal yang
terlintas di benaknya ialah senyum gadis itu. Sementara detail wajahnya masih
kabur, tapi gadis itu mempunyai senyum manis yang mana membuat orang yang
melihatnya ikut tersenyum, dan Masachika tersenyum kecil saat mengingat
senyuman itu.
“Memang,
aku lebih menyukai gadis yang mempunyai senyum manis.”
Setelah
mengatakan itu, senyum gadis yang ada di dalam kepala Masachika digantikan oleh
senyum Alisa yang Ia lihat tempo hari..
(Tidak, tidak, kenapa aku malah mengingat
dia)
Ia
buru-buru menghapus kenangan itu dan melihat ke samping pada orang yang
dimaksud ...
“
... ”
Dan
melihat punggung Alisa yang menengang spektakuler. Punggungnya menegang
sedemikian rupa sampai-sampai Ia hampir bisa mendengar suara gemetarnya.
Ditambah lagi dengan ekspresinya yang terpantul di jendela.
“Hee~
gadis yang punya senyum manis, ya~”
“Yah,
memang benar senyum itu penting. Terlepas dari jenis kelaminnya. Orang yang
tidak tersenyum atau yang cuma tersenyum tipis, entah kenapa terlihat judes dan
sulit didekati.”
“Em...
yeah”
Masachika
juga memahami pendapat Hikaru, tapi... saat Ia melihat punggung Alisa meringkuk
usai mendengar perkataan Hikaru, rasanya sulit sekali untuk setuju dengannya.
(Hikaru, hentikannn !! Alya-san terkena
peluru nyasar dari omonganmu)
Meski
Hikaru tidak berniat menyinggung, tapi... jika dilihat secara obyektif, “orang yang tidak tersenyum” dan “orang yang cuma tertawa kecil”, sangat
menggambarkan sikap Alisa yang biasa.
Tidak,
dari sudut pandang Masachika, Alisa tertawa cukup normal, dan meskipun matanya
tidak terlihat ramah, tapi dari lubuk terdalam matanya dia pun bisa tersenyum
... meski, Alisa sendiri sepertinya tidak menyadari hal itu.
“Ta-Tapi,
yah, saat seseorang yang biasanya tidak tersenyum, lalu menunjukkan senyumnya
pada kita, mereka justru terlihat sangat menarik. Rasanya seperti ‘gap moe’ gitu.”
Masachika
yang menimpali perkataan Hikaru membuat kedua temannya menganggukkan kepala
mereka seraya berkata, “Aaah, memang bener sih”. Punggung Alisa yang tadinya
meringkuk karena berkecil hati, mulai sedikit meregang.
“Tapi
keramahan itu cuma berlangsung sesaat dan kemudian sulit untuk mendekatinya
lagi.”
“Benar,
tuh. Bagaimanapun juga, sikap yang normal itu penting.”
Namun,
balasan dari Takeshi dan Hikaru segera membuatnya panik lagi.
(Kampreeetttttt! Jangan sia-siakan
upayaku! Omongan kalian itu bekerja ampuh pada Alya dan menyakitinya!)
Karena
kesabarannya sudah habis, Masachika mendekatkan wajahnya ke mereka dan
berbisik-bisik sambil melirik ke arah Alisa.
“(Oi
kalian berdua, jaga sedikit omongan kalian, Alya bakalan merasa tersakiti, tau)”
“(Eh?
Kujou-san?)”
“(Tidak...
Putri Alya mana mungkin memedulikan tentang itu, kan?)”
Dia
memedulikannya. Dia sangat memedulikannya. Mukanya meringis sampai-sampai
terlihat ingin menangis. Karena wajah yang terpantul di jendela terlihat
meringis. Jelas-jelas itu bukan senyuman, itu adalah ekspresi seakan-akan menahan
sesuatu yang lain.
【Enggak masalah ….. lagian aku
punya teman, jadi enggak masalah sama sekali, kok 】
Terlebih
lagi, dia mulai mengatakan sesuatu yang menyedihkan.
Sejujurnya,
Masachika juga tersentuh oleh situasi ini, dan sempat berpikir “Oh, jadi ini yang namanya gap moe,” tapi lebih dari itu, hatinya terasa sakit
karena rasa kasihan dan permintaan maaf.
“(Pokoknya,
kalian tinggal ikuti aku saja. Apa kalian mau, jam pelajaran siang nanti bakal
dipenuhi suasana sedingin es?)”
“(Uh,
itu sih enggak mau...)”
“(Se-Setuju
...)”
Setelah
mereka setuju, Masachika duduk di kursinya dan hendak membuka mulutnya, tapi
Takeshi menghentikannya dengan memberi kode melalui tatapan matanya.
『Masachika, serahkan ini saja padaku』
『Takeshi ... apa kamu bisa melakukannya? 』
『Iya, serahkan saja padaku』
『……Baiklah 』
Mereka
berkomunikasi melalui kontak mata dan bertukar anggukan kecil sebagai tanda persetujuan.
Kemudian, Takeshi tersenyum percaya diri dan berkata dengan suara lantang.
“Tapi
yah, jika gadis yang dimaksud secantik Putri Alya, kita takkan terlalu
memedulikan tentang itu, ‘kan!!”
““Dasar
payahhhhh !! ””
Masachika
dan Hikaru secara bersamaan membalas spontan ucapan Takeshi dengan blak-blakan.
Akan tetapi, Takeshi cuma mengedipkan matanya kebingungan dengan ekspresi “Eh?
Sebelah mananya yang payah?”.
Masachika
mencoba mengeluh pada ekspresi menjengkelkannya itu ... tapi sebelum bisa
melakukan itu, suara yang sedingin kutub utara terdengar dari sampingnya.
“Hmm,
begitu rupanya ... jadi begitu pandanganmu terhadapku, ya.”
“A,
Alya...”
Masachika
menoleh ke sumber suara tersebut dengan gerakan yang mirip seperti orang yang
kegigilan, Ia penasaran kemana perginya wajah orang yang hampir menangis tadi.
Sembari
memasang ekspresi yang menyeramkan di wajahnya, Alisa menatap mereka bertiga
dengan tatapan dingin. Sorot matanya membuat Takeshi menegang, seolah-olah Ia
baru menyadari apa yang sudah Ia lakukan.
“Maaf
banget ya? Aku memang gadis yang tidak ramah dan tidak menarik selain wajah
doang”
“Ah
tidak, aku tidak bilang sampai segitunya ...”
“Kurasa
aku akan menyita majalah yang tadi.”
“Eh!?
Jangan, itu sih...”
“Cepat
keluarkan”
“……baik
”
Takeshi
yang tidak kuat dengan tekanan Alisa, dengan enggan menyerahkan majalah itu.
Setelah merebut paksa, Alisa kemudian duduk dengan kasar di kursinya. Saat
suasana di kelas tiba-tiba berubah membeku, Masachika dan Hikaru menatap tajam
Takeshi.
“Dasar
kampret”
“Itu
sebabnya Takeshi tidak pernah punya pacar.”
“Kalian
jahat!”
Jeritan
menyedihkan dari cowok yang pantas mendapatkan ganjarannya bergema di ruang
kelas yang dipenuhi suasana dingin.
◇◇◇◇
Waktunya
dimundurkan sedikit ... Setelah menyelesaikan urusannya dengan Masachika, Ayano
berjalan menyusuri koridor menuju ruang kelas kosong di lantai atas.
Dia
berjalan melewati koridor di antara para siswa sambil berusaha untuk menjaga
langkahnya tetap sunyi dan sebisa mungkin tidak terlihat oleh orang lain.
Gerak-geriknya
mirip seperti dedaunan yang menghindari bebatuan di aliran sungai. Ketika dia
mencapai tujuannya tanpa ada yang menyadari keberadaannya, dia mulai mengetuk
pintu kelas sebanyak tiga kali.
“Masuklah”
“Permisi”
Ketika
Ayano membuka pintu, Yuki sudah menunggunya di ruang kelas yang remang-remang
tanpa ada penerangan.
“Apa
pembicaraanmu dengan Onii-chan sudah selesai?”
“Ya”
“Begitu
ya ... lantas, apa kamu sudah merasa lega?”
Menanggapi
pertanyaan Yuki, Ayano mengingat kembali percakapannya dengan Masachika ... dan
tatapan matanya memancarkan cahaya lembut.
“Ya,
... Ternyata Masachika-sama, masih sama dengan Masachika-sama yang saya
cintai.”
“Kalau
begitu, syukurlah”
Yuki
merasa lega setelah melihat Ayano, yang secara tidak biasa mengungkapkan
ketidakpercayaan dan ketidakpuasan terhadap Masachika, mempunyai tatapan jernih setelah berdiskusi.
Ayano
biasanya tidak banyak berekspresi, tapi wajah datarnya adalah sifat yang
didapat, dan bukan karena kurangnya emosi. Sebaliknya, Yuki merasa lega karena
kesalahpahaman Ayano mengenai kakaknya telah diselesaikan, karena dia
mengetahui kalau Ayano sangat menyayangi mereka berdua.
“Tempat
ini sangat gelap. Permisi, saya akan menyalakan lampu—”
Saat
Ayano mencoba menyalakan lampu dengan sakelar yang ada di sebelah pintu, tapi
Yuki justru menghentikannya.
“Ah, jangan dinyalakan.”
“...
Begitukah?”
“Ya.
Aku tidak ingin terlihat menonjol,dan yang paling penting ...”
Setelah
jeda sejenak, Yuki berbalik secara diagonal ke bawah dan menyibak poninya, lalu
dia berpose sambil membuka lebar matanya.
“Bukannya
yang gelap-gelap ... kelihatan jauh lebih
keren?”
“...
Maafkan saya. Saya masih dalam tahap awal dalam memahami “keindahan” di bagian itu.”
“Enggak
masalah, enggak masalah, kamu tinggal mempelajarinya saja dari sekarang”
“Terima
kasih banyak atas pengertian anda”
Ayano
masih menanggapi serius omong kosong ala chuunibyou Yuki. Setelah mengangguk
tegas, Yuki mendesaknya untuk melanjutkan.
“Jadi...
Apa yang Onii-chan katakan padamu?”
“Ya.
Masachika-sama ... masih tidak mengubah keputusannya untuk mencalonkan diri
bersama Kujou-sama.”
“Sudah
kuduga. Terus?”
“Dia
juga menyuruh saya ......untuk menyampaikan kepada Tuan bahwa 『Yuki tidak ada hubungannya dengan masalah
ini. Jika kamu punya keluhan, langsung datang ke hadapanku』”
“Hee
...”
Usai
mendengar hal itu, Yuki langsung menyadari kalau Masachika mengkhawatirkan
dirinya. Dia melebarkan matanya sesaat karena terkejut, dan kemudian mulai
menyeringai.
“Sampai
Onii-chan bilang begitu … berarti Ia serius.”
Ayano
mengangguk serius pada Yuki yang tersenyum bahagia sampai-sampai mulutnya mau
bersiul-siul.
“Ya. Rahim[2] saya bergetar tanpa sadar melihat semangat juangnya yang luar biasa itu.”
“O-Oh.
Sampai membuat rahimmu bergetar?”
“Ya”
Yuki
tersenyum kaku pada Ayano yang mengangguk acuh tak acuh seolah-olah apa yang
dia ucapkan tadi bukanlah sesuatu yang memalukan.
“Etto...
aku ingin bertanya padamu untuk jaga-jaga, apa Ayano menyukai Onii-chan ... mana
mungkin begitu, iya ‘kan?”
“Bila
yang anda maksud dalam hal perasaan romantis, apa yang Yuki-sama katakan memang
benar. Saya menghormatinya sama seperti saya menghormati Yuki-sama, tapi saya
tidak memendam perasaan romantis padanya.”
“Oh,
begitu ya……”
“Saya
tidak pernah memikirkan hal lancang seperti ingin menjadi kekasihnya ... Selama
Ia bisa menggunakanku sebagai alat, itu saja sudah cukup.”
“Bukannya
itu membuatmu jadi gadis super M?!!”
Yuki
secara spontan melakukan tsukkomi saat mendengar ucapan Ayano yang keterlaluan.
Penilaian
Masachika terhadap Ayano memang tidak salah. Faktanya, Ayano merupakan gadis
yang sangat penyayang dan baik hati. Hal itu tidak perlu diragukan lagi.
Hanya
saja …. kombinasi dari rasa hormat yang berlebihan kepada tuannya dan
preferensi seksualnya sendiri telah membuatnya diliputi oleh “keinginan untuk dipahami.”
Ada
bagian dari dalam dirinya yang sedikit senang saat Masachika atau Yuki memberi
perintah.
Dia
pikir kalau itu bentuk dari kesetiaan, dan bahkan merasa bangga dengan hal itu.
Faktanya
bahkan sekarang, Ayano memiringkan kepalanya dengan kebingungan, seolah-olah
dia tidak memahami mengapa Yuki mengakatakan itu.
“Saya
sungguh minta maaf. Karena pengetahuan saya masih dangkal... saya ingin bertanya, apa arti dari super M?”
“Eeehhh?!
Ahh, itu artinya super Maid. Yup,
makanya disingkat jadi super M.”
“Terima
kasih banyak atas pujiannya. Saya merasa terhormat. Mulai sekarang, saya akan
terus mengabdikan diri untuk menjadi gadis super M yang baik.”
“Kamu baru saja mengatakan sesuatu yang luar biasa, oi.”[3]
Ayano
berkedip pelan pada Yuki yang mengatakan hal itu dengan suara kaku. Dia
kemudian membuka mulutnya lagi seakan baru mengingat sesuatu.
“Benar
juga... saya lupa memberitahu anda satu hal terakhir.”
“Hmm?
Apa?”
“Masachika-sama
mengatakan bahwa baginya, Yuki-sama masih menjadi orang terpenting di dunia
ini.”
“O,Ohhh……”
Setelah
mendengar kata-kata Ayano, wajah Yuki tiba-tiba berubah serius dan dia bergegas menuju jendela yang menghadap ke
halaman sekolah. Yuki lalu membuka jendela, seraya mengambil napas
dalam-dalam——dan berhenti .
“Yuki-sama?
Anda kenapa?”
“...”
Tanpa
menjawab pertanyaan Ayano, Yuki memegangi pinggiran jendela dan terdiam
beberapa saat, dia kemudian menghela napas panjang.
“Bahaya
banget... aku tadi hampir saja ingin meneriakkan cintaku pada Onii-chan di
tengah gedung sekolah.”
Yuki
menutup jendela usai menyeka mulutnya, dan menggelengkan kepalanya sambil berkata
“Yare~yare”.
“Hmm...
ya ampun, dasar Onii-chan-samaku yang imut”
Yuki
mengatakan itu sembari cengengesan, dan kemudian bersandar ke dinding
seolah-olah ingin menghilangkan rasa geli yang menjalar di seluruh tubuhnya.
Dia
menyilangkan lengannya, menyandarkan bagian belakang kepalanya ke dinding,
mendongak ke langit-langit, dan bergumam pada dirinya sendiri.
“Tapi...
begitu rupanya. Ia tidak gentar meski sudah ditanyai Ayano, ya.”
“Ya.
Meski Ia mengkhawatirkan Yuki-sama, tapi sepertinya Masachika-sama tidak
meragukan pencalonannya.”
“Begitu
ya, Jadi Ia serius ... fufufu, apa Ia benar-benar serius mau melawanku?”
Suara
Yuki benar-benar ceria, meski kakak tercintanya itu memilih untuk memusuhi
dirinya.
“Boleh
juga~ rasanya jadi makin menarik ya? Sejujurnya, kalau cuma Alya-san saja, dia
takkan sanggup menjadi lawanku.”
Meski
Yuki mengatakannya dengan arogan, tapi Ayano mengangguk setuju.
“Seperti
yang anda katakan ... Saya sudah melakukan sedikit riset, dan sepertinya
sebagian besar murid kelas satu masih mengharapkan Yuki-sama untuk menang. Mengenai
Kujo-sama...Jujur saja, banyak dari kalangan murid mempunyai kesan padanya
sebagai 『Murid pindahan yang tidak mengenal Ketua Suo
dari masa SMP melakukan sesuatu yang sembrono』.”
“Ahahaha,
enggak kenal ampun. Faktanya, pendukungku benar-benar solid ... Nah, Apa yang
akan Onii-chan lakukan untuk membalikkan situasi ini?”
Tatapan
mata Yuki berbinar dan ujung mulutnya tersungging ke atas. Senyum di wajahnya
begitu lebar sampai-sampai hampir bisa digambarkan sebagai ganas.
“Anda
tampak bersenang-senang”
“Tentu
saja menyenangkan. Karena aku bisa bertarung serius melawan si jenius itu ...
anak ajaib dari keluarga Suou? Mana mungkin kalau ini tidak menyenangkan.”
Menjauh
dari dinding yang jadi tempat sandarannya, Yuki lalu merentangkan tangannya
seakan-akan sedang menari.
“Aku
yang tidak pernah bisa mengalahkan Onii-chan tak peduli apapun yang kulakukan,
tapi bersama Alya sebagai pasangannya yang kuat, Ia dengan serius menantangku.
Aku merasa senang. Itulah yang membuatnya sangat berharga. Oke, aku akan
menghancurkannya dengan segenap kekuatanku!”
Sembari
menyilangkan kedua tangannya kuat-kuat, Yuki menoleh ke Ayano dan membuat pernyataan
begitu.
“Aku
akan memintamu untuk bekerja sama, Ayano. Supaya Onii-chan menganggapnya super
serius.”
“Dipahami.
Saya akan melakukan yang terbaik untuk membantu anda, Yuki-sama.”
Ayano
juga menanggapi permintaannya dengan penuh semangat.
Setelah
tertawa puas usai mendengarnya, Yuki memunggungi Ayano, tatapannya mengarah ke
luar jendela dan kemudian menghembuskan napas.
“Ngomong-ngomong,
Ayano”
“Iya,
Yuki-sama, ada apa?”
Saat
Ayano memiringkan kepalanya, Yuki menoleh ke belakang dan ....... bertanya
dengan ekspresi yang sok.
“Aku yang sekarang, sudah sangat mirip seperti karakter last boss, iya ‘kan? ”
<<=Sebelumnya |
Daftar isi | Selanjutnya=>>