Roshi-dere Vol.2 Chapter 04 Bahasa Indonesia

Chapter 4 — Aku Cuma Bisa Merasakan Krimnya Doang, kok? Sumpah, kok?  

Pengingat :

[  ] = Alisa ngomong pakai bahasa Rusia

(  ) = Monolog Masachika/Alisa/ Yang lain tergantung warna

“(  )” =  bisik-bisik

===========================================

“Baiklah, hari ini cukup sampai segini saja dulu. Buat yang anak kelas 1, kalian boleh pulang duluan.”

“Eh, apa itu tidak apa-apa?”      

“Iya, karena kita yang kelas dua mau membicarakan sesuatu dulu dengan Sensei. Karena ada kemungkinan bakalan lama, jadi kalian boleh pulang duluan. Terima kasih atas kerja kerasnya!”

“Kalau begitu…..terima kasih atas kerja kerasnya.”

Setelah mendapat ijin dari Touya, Masachika dan Alisa meninggalkan ruangan OSIS. Sepertinya Yuki akan menunggu di ruang OSIS sampai mobil yang menjemputnya datang, jadi cuma ada mereka berdua saja yang berjalan pulang.

(Sekarang….gimana nih)

Saat Ia dan Alisa berjalan berdampingan, Masachika memikirkan bagaimana cara untuk memulai percakapan. Bukannya karena ada sesuatu yang khusus. Ia cuma berpikir kalau sekarang ialah waktu yang tepat untuk membahas rencana bagaimana menghadapi pemilihan ketua OSIS di tahun depan.

Namun, suasana di antara mereka masih sedikit canggung setelah kejadian yang terjadi di pagi hari tadi. Selain itu, Alisa bertingkah sedikit aneh setelah menghadiri rapat klub seni bersama Yuki. Meski Masachika sedikit kesulitan jika ditanya apanya yang aneh….

(Dasar si Yuki….dia pasti berbuat sesuatu, iya ‘kan)

Berdasarkan kejadian liburan tempo hari, tampaknya Alisa merasa penasaran dengan Yuki dalam artian yang tidak terlalu baik. Alisa yang mempunyai sifat serius dan tidak mau kalah, mungkin diakui oleh Yuki sebagai teman yang gampang untuk dijahili dan digoda.

Mudah sekali untuk membayangkan bagaimana dia menjahili Alisa sembari menyembunyikan senyum iblisnya di balik senyum anggun.

(Haa….yah, percuma saja kalau aku terus memikirkannya)

Ia menghela nafas dalam hati pada Alisa yang berjalan di sebelahnya dengan ekspresi yang sulit, Masachika lalu membuat keputusan saat melihat restoran keluarga yang familier.

“Ahh~ Alya?”

“Apa?”

“Jika kamu tidak keberatan, gimana kalau kita mampir ke sana sebentar?”

“Eh….?”

Mata Alisa membelalak saat Masachika menunjuk ke arah restoran keluarga.

“Ah ini, aku cuma ingin membicarakan mengenai banyak hal karena kita berniat untuk mengikuti pemilihan ketua OSIS tahun depan.”

“…Ah.”

Namun, Alisa menyipitkan matanya terhadap alasan yang dibuat Masachika dan dia mengangguk dengan santai.

“Yah, aku tidak keberatan, kok”

“Begitu ya, Kalau begitu ayo mampir ke sana.”

Merasa lega karena ajakannya diterima, Masachika dengan cepat menuju ke restoran keluarga dan meletakkan tangannya pada pegangan pintu masuk. Lalu…..

Jadi ini bukan kencan, ya

Serangan mendadak muncul dari belakangnya!

(Guhaa! Dasar pengecut, beraninya main belakang!)

Ia berteriak dalam hati layaknya Samurai yang ditikam oleh pembunuh, Masachika berpegangan pada daun pintu toko saat dirinya hampir romboh dan memasuki dalam toko. Pelayan toko lalu memandu mereka ke meja kosong dan duduk saling berhadapan, untuk sementara, mereka memesan minuman dulu.

“Etto…aku pesan café au lait”

“Kalau aku, pesan melon soda dan chocolate parfait.”

“Huh!?”

“……Apa?”

“Tidak, bukan apa-apa….”

Masachika tidak bisa menyembunyikan keterkejutannya saat mendengar pesanan terkutuk semacam itu, yang menggabungkan parfait cokelat yang sudah manis legit dengan minuman manis soda melon. Alisa langsung membuat alasan dengan ekspresi yang sedikit canggung, mungkin dia menyadari kalau pesanannya sedikit aneh.

“Kepalaku cuma sedikit lelah…..cuma itu saja kok. Kamu perlu memakan sesuatu yang manis untuk bisa membuat otakmu berputar, bukan?” 

“Begitu ya….ah, cuma itu saja pesanan kami”

Ini bukan masalah manisnya, tapi lebih cenderung pada keserasian dalam makanannya.  Masachika tidak mengungkit lebih jauh dan menatap pelayan yang berjalan menjauh, Ia lalu membuka mulutnya untuk menghilangkan keraguannya sambil menunggu pesanannya tiba.

“Etto….apa terjadi sesuatu dengan Yuki?”

“….Tidak ada apa-apa.”

Meski balasannya terdengar acuh, tapi jelas-jelas ada sesuatu yang terjadi karena Alisa menjawabnya sambil memalingkan tatapannya.

(Yukiiiiiiii!! Dasar kampret, apa yang sudah kamu lakukannnnnnnn!?)

Saat Ia berteriak dalam hati sampai membuat pipinya berkedut, Alisa yang melirik ke arah Masachika, terus melanjutkan ucapannya sambil tetap membuang muka lagi.

“Tidak ada apa-apa…..Aku cuma memberitahunya kalau aku ikut pemilihan ketua OSIS bersamamu.”

“Ah, begitu ya…”

Masachika yang berpikir kalau mereka tidak hanya membicarakan itu saja, dan bimbang apa harus bertanya lebih jauh. Tapi kemudian, Alisa yang sedari tadi terus-menerus melirik ke Masachika, bertanya dengan ekspresi tegas.

“Nee”

“Hmm?”

“Apa kamu…..berpacaran dengan Yuki-san?”

“Pacaran dengkulmu. Mana mungkin lah.”

Masachika langsung membalas pertanyaan Alisa yang tidak relevan. Tentu saja. Itu merupakan pertanyaan normal bagi Alisa yang tidak mengetahui kalau Masachika dan Yuki sebenarnya saudara kandung. Tapi bagi Masachika, pertanyaan semacam itu sedikit keterlaluan sampai-sampai membuatnya ingin berteriakMemangnya itu dari galge[1] mana!!”.  

“…..salah ya?”

“Ya iyalah. Sangat salah”

Alisa memandang dengan kebingungan terhadap jawaban tegas Masachika. Melihat ekspresinya yang begitu, Masachika melanjutkan seraya menghela nafas.

“Aku tidak tahu apa yang Yuki katakan padamu... tapi kami berdua itu sudah mirip seperti keluarga. Jadi, kami tidak memendam perasaan romantis satu sama lain.”

“Tapi, Yuki-san justru…..”

“Haa….mumpung sedang membahas ini biar kuberitahu dengan jelas, jangan terlalu mempercayai semua perkataan Yuki, oke?  Dia bukan wanita elegan seperti penampilannya. Dia cuma suka menjahilimu dan membuatmu kesal saja.”

“………”

Alisa menatapnya dengan ekspresi tidak yakin dan merasa tidak puas terhadap perkataan Masachika. Tapi, pada saat itulah pesanan minuman dan parfait tiba, jadi Masachika menghentikan pembicaraan mengenai Yuki dan mulai membahas topik utama.

“Baiklah…..kalau begitu, mari membahas tentang pemilihan ketua OSIS.”

Sembari menyesap café au lait, Masachika menatap lurus ke arah Alisa yang sedang meminum soda melon di depannya.

“Pertama-tama, biar kuberitahu sesuatu dulu. Jika begini terus, kita takkan mungkin bisa menang melawan Yuki.”

“!!!”

Alis Alisa berkedut usai mendengar penyataan tak terduga itu. Dia kemudian meletakkan soda melonnya dan menatap tajam wajah Masachika.

“…..tak disangka kamu mengatakannya dengan sangat yakin.”

“Karena memang itulah faktanya. Hal itu membuktikan sudah seberapa jauh Yuki memantapkan dirinya sebagai Ketua OSIS berikutnya.”

Masachika mengangkat bahunya tanpa takut, bahkan di bawah tatapan tajam Alisa.

“Lagian, dari awal saja sudah kelihatan aneh karena kurangnya anggota dari anak kelas satu di OSIS. Setiap tahun, setidaknya pasti ada tiga pasangan calon kandidat Ketua dan Wakil Ketua. Kenyataannya, pada semester pertama kelas satu SMP, kira-kira ada enam pasangan, termasuk aku dan Yuki. Jadi totalnya ada 12 anggota buat anak kelas satu.”

“12 orang!? Ternyata cukup banyak juga….”

“Yah, tapi karena setengah dari mereka langsung tersingkir dalam debat pra-pemilihan, jadi cuma ada tiga pasangan yang benar-benar mengikuti pemilihan Ketua OSIS.”

“Debat?”

“Iya, sesuatu yang berhungan dengan Rapat Umum Siswa. Begitu ya, masih baru satu tahun sejak kamu pindah ke sini ya….Aku akan menjelaskan bagian itu juga.”

Rapat Umum Siswa.

Bila ada suatu masalah muncul di antara siswa dan tidak dapat diselesaikan melalui diskusi antara pihak-pihak yang bersangkutan. Atau jika ada siswa mempunyai agenda yang ingin mereka sampaikan kepada OSIS, bisa dibilang ini mirip seperti kompetisi debat yang diadakan di auditorium. 

Dan di sana, setiap perwakilan mengemukakan pendapat mereka, dan kemudian para penonton akan memberikan voting untuk menentukan keputusan tersebut.

Keputusan yang dibuat dalam Rapat Umum Siswa mempunyai legalitas yang kuat dan sah, karena semua murid yang menghadiri rapat tersebut menjadi saksinya.

“Misalnya saja, masalah kemarin antara klub sepak bola dan klub bisbol akan diselesaikan melalui Rapat Umum Siswa jika mereka tidak mencapai kesepakatan. Yah, kalau dibesar-besarkan sampai segitunya, pasti gampang meninggalkan perasaan dendam... Pada dasarnya, semua pihak perlu berdiskusi baik-baik sampai menemukan titik terang. Mengadakan Rapat Umum Siswa merupakan pilihan terakhir.”

“Begitu rupanya….meski kadang-kadang aku tahu kalau ada siswa melakukan sesuatu di auditorium, jadi itulah yang terjadi sebenarnya, ya.”

“Rapat Umum Siswa biasanya diselenggarakan oleh OSIS, tau? Satu-satunya pihak yang berkaitan langsung cuma ketua dan wakil ketua, jadi anggota biasa tidak punya banyak urusan dengan itu. Kami hanya memproses formulir ketika ada pengajuan untuk mengadakan rapat umum.”

“Begitu…..lantas, apa hubungannya hal itu dengan pemilihan ketua OSIS?”

“Hmm? Ah….situasinya sedikit berbeda ketika para calon kandidat mengadakan rapat umum siswa.”

Rapat umum siswa sering diadakan karena perbedaan pendapat antar calon kandidat mengenai tugas OSIS.

Yang mana pada dasarnya, acara tersebut sering disebut debat.

Ini karena, selama para calon kandidat berdebat dan menentukan siapa yang menang atau kalahnnya, banyak siswa akan menganggap ini sebagai peringkat favorit di antara calon kandidat.

“Begitu peringkat popularitas telah ditetapkan dalam debat, hampir mustahil untuk bisa membalikkan keadaan. Akibatnya, kamu sudah kalah duluan sebelum kampanye pemilihan. Yah, meski secara mental pasti sulit rasanya untuk terus bekerja dengan orang yang mengalahkanmu, dan dalam banyak kasus, orang yang kalah akan keluar dari OSIS.”

“Jadi begitu ya….”

“Hmm, biasanya memang begitu. Lalu jumlah calon kandidat akan mengerucut sampai tiga atau empat pasangan saja. Yah, tidak semua siswa yang ikut pemilihat ketua OSIS akan bergabung dengan OSIS juga sih…..tapi yang pasti, tahun ini jelas-jelas sangat aneh.”

Sebelum Masachika ikut bergabung, anggota OSIS kelas satu cuma terdiri dari Yuki dan Alisa. Meski ada anggota lain yang bergabung, tapi mereka tak bisa bertahan lama dan segera berhenti. Itu berarti……

“Mereka semua langsung menyerah. Mereka pasti berpikir kalau mereka tidak bisa menang melawan Yuki dalam pemilihan Ketua OSIS. Itulah sebabnya Yuki dianggap sebagai Ketua OSIS berikutnya.”

 “……..”

“Kurasa aku tidak perlu menjelaskan lagi keuntungan menjadi Ketua OSIS di sekolah ini, ‘kan? Kenyataannya, karena gelar Ketua OSIS terlalu berharga, sampai-sampai pada beberapa tahun lalu, ada banyak trik licik yang terjadi di balik layar dalam acara pemilihan Ketua OSIS ──

Masachika tumben-tumbennya berbicara tentang pemilihan Ketua OSIS dengan sangat serius. Dan Alisa menatap sosoknya itu dengan perasaan yang rumit.

Alisa biasanya menyalahkan sikap Masachika yang selalu tidak serius dan malas-malasan, tapi ketika Masachika menjalankan tugas OSISnya dengan serius seperti ini, rasanya hal itu bukan seperti sifatnya atau semacamnya.

Selain itu, dia juga tidak menyukai fakta bahwa Masachika tampaknya tidak terlalu peduli mengenai mereka yang berduaan di restoran keluarga.

(Apa-apaan….dengan wajah tenangnya itu)

Alisa yang sedari awal tidak punya banyak teman…..sebenarnya, ini merupakan pengalaman pertamanya berduaan dengan lawan jenis di sebuah restoran.

Dia menyadari kalau kata-kata bahasa Rusia yang dia ceploskan sebelum memasuki restoran itu berasal dari hatinya. Semuanya itu karena pengetahuan salah kaprah manga shoujo yang telah ditanamkan Maria dalam dirinya, jadi di dalam kepala Alisa, “diajak cowok ke restoran keluarga sepulang sekolah” = “Ajakan kencan.”

Alhasil, dia merasa khawatir apa dia harus duduk di depan atau di samping Masachika, atau bagaimana kalau ada siswa lain melihat mereka berdua, atau apa dia akan terlihat dari luar jika duduk di dekat jendela. Tapi saat melihat wajah santai Masachika, Alisa menyadari kalau cuma dia saja satu-satunya yang merasa khawatir.

(Apa-apaan sih? Apa kamu ingin bilang kalau kamu sudah terbiasa berduaan dengan gadis di restoran keluarga? Ya ampun. Tidak hanya Yuki-san, tapi sepertinya ada gadis lain yang dekat denganmu, ya?) 

Ketika Alisa mengingat perkataan Masachika saat dia menjabat tangannya dalam perjalanan pulang kemarin, kemarahan pada saat itu juga kembali muncul dalam dirinya.

Dia meminum soda melonnya demi mengalihkan perhatian, tapi perasaan gundah di hatinya masih belum menghilang. Alisa merasakan sentuhan kasar di lidahnya dan dengan cepat menarik mulutnya, dia lalu menemukan sedotan yang sudah digigit rata tanpa dia sadari.

Dalam benaknya, “pantas saja sulit sekali buat diminum” dan merasa malu karena dia secara tidak sadar telah melakukan sesuatu yang kekanak-kanakan.

“... Tapi yah, berkat itu, sepertinya sekarang kita bisa mengadakan pemilihan Ketua OSIS yang adil dan bersih.”

Di hadapannya, Masachika masih berbicara serius seperti biasa, tapi isi pembicaraannya tidak masuk ke dalam pikiran Alisa. Meski dia pikir kalau dia harus berkonsetrasi karena Masachika sudah susah payah menjelaskan hal itu, tapi tetap saja, tidak ada isi pembicaraan yang bisa masuk ke dalam kepalanya.

“Hmmm, jadi begitu”

“Iya, jadi, sebagai gantinya, ada banyak pertarungan debat di antara para kandidat──

Alisa membawa parfait ke dalam mulutnya sembari memberi respon yang samar-samar. Manisnya es krim cokelat dan vanilla menyebar di mulutnya, dan kemudian dia merasakan giginya bergemeretak…..Kali ini dia tak sengaja menggigit sendok dan buru-buru mengeluarkannya dari mulutnya.

“Alya? Apa kamu mendengarkanku?”

“uh!”

Pipi Alisa memanas saat Masachika menatapnya dengan pandangan curiga. Alisa merasa malu dan terhina saat dia yang biasanya memperhatikan justru ditegur oleh Masachika.

“Aku dengar kok. Perhatianku cuma sedikit teralihkan karena parfait ini.”

“…haa, yah emang kelihatan enak sih….”

Masachika memberinya anggukan setengah hati dan menatapnya seolah-olah berkata, “Memangnya hal itu sampai membuat perhatianmu teralihkan?” Pipi Alisa semakin dibuat memerah.

(Apaan sih! Apaan sih! Ini semua gara-gara sikapmu aku jadi bertingkah aneh begini!)

Alisa menghindari tatapan curiga Masachika sembari meluapkan amarah yang tak masuk akal di dalam kepalanya….. Namun tiba-tiba, ide aneh (?) terlintas di benaknya saat melihat parfait yang ada di hadapannya.

(Fufufu, benar juga…..kalau Ia tidak peka, maka aku tinggal buat Ia peka saja!)

Dengan rasa persaingan yang misterius, Alisa berkata dengan ekspresi jahil dan senyum tak kenal takut menghiasi wajahnya.

“…..Mau coba, mencicipinya?”

“Eh, tidak usah…..”

“Bukannya tadi kamu bilang ini kelihatan enak. Kamu tidak perlu sungkan-sungkan segala.”

Alisa dengan santai menyendok krim parfait dengan saus cokelat di atasnya dan menyodorkannya ke arah Masachika. Tindakannya tersebut membuat Masachika tertegun sejenak.

“Ini, silahkan”

Ujung sendok yang jelas disodorkan ke arahnya. Posisinya jelas bukan posisi orang yang menyerahkan sendok, dan meski tidak ada kata pasti “aaan”, niat Alisa bisa terlihat dengan jelas.

(Eh? Apa-Apaan ini? Event disuapi? Tidak, tidak, suasana kita tidak sedang seperti itu, ‘kan? Sejak kapan pertandanya berkibar[2]??) 

Seperti yang Alisa harapkan, Masachika tidak bisa menyembunyikan kepanikannya. ...... Meski cara tersipunya lebih mengecewakan dari yang diharapkan Alisa.

“Etto, bukankah biasanya pakai sendok baru?”

“Tidak perlu repot-repot memanggil pelayan restoran segala, ‘kan. Nanti yang dicuci bakalan bertambah banyak.”

“Tapi…..”

Permainan memalukan macam apa ini?  Saat Masachika tetap merasa enggan, Alisa menyodorkan sendoknya lebih maju.

“Ayo cepat…..hal yang begini sudah biasa di Rusia”

“Eh, serius?”

Pengetahuan Masachika mengenai Rusia sebagian besar berasal dari film atau buku, dan bukan dari pengalaman langsung. Oleh karena itu, pemikiran kalau Rusia mungkin negara yang tidak terlalu peduli tentang ciuman tidak langsung dan sejenisnya terlintas di benak Masachika.......

(Ah, itu pasti bohong)

Ia mengalihkan pandangannya dari sendok ke Alisa dan langsung menyimpulkan hal itu. Karena, meski Alisa menunjukkan ekspresi jahil…...tapi kalau dilihat baik-baik, ujung telinga dan ujung jari Alisa perlahan-lahan berubah memerah. Karena kulitnya yang putih, hal itu jadi sangat menonjol.

(Seriusan, kamu lagi kerasukan apa sih….? Jangan memaksakan diri, jika kamu sendiri merasa malu)

Jika begini, yang ada justru Masachika merasa tenang dan rasa malunya berubah jadi kekhawatiran. Ekspresi Masachika dengan jelas menyampaikan hal ini, dan Alisa tiba-tiba menjadi tenang.

(Apa sih….yang sedang kulakukan)

Begitu dia kembali tenang, Alisa dilanda rasa malu atas tindakannya sendiri. Seluruh tubuhnya terasa panas, dan dia merasa seolah-olah semua orang yang berada di restoran menatap ke arahnya, dan dia tidak tahan tetap berada di sana.

Tetapi dia tahu kalau dia menarik kembali sendoknya pada titik ini, rasa malu yang dideritanya akan menjadi semakin tak tertahankan, jadi entah bagaimana dia berhasil mempertahankan ekspresinya dan tetap menyodorkan sendok ke arah Masachika.

“Lihat…..krimnya akan meleleh, tau?”

“Ah, iya…..”

Masachika sendiri sudah angkat tangan untuk mencoba membujuk Alisa, karena Ia menyadari kalau Alisa juga kesulitan menarik kembali sendoknya.

(Jangan bilang, kalau event ciuman tidak langsung bakal terjadi di sini….tapi, itu tidak masalah. Berkat kejadian saat bersama Masha-san tempo, aku sudah mensimulasikannya dan mempersiapkan hatiku!)

Pada saat itu, Ia terlalu buru-buru menyimpulkannya, tapi situasi sekarang tidak jauh berbeda. Dalam kejadian semacam ini, orang merasa malulah yang kalah. Ini semua tentang bersikap normal dan menanggapinya dengan gaya!

(Ya, bedanya cangkir kertasnya cuma berubah jadi sendok…..ya, cuma diganti sendok doang…..diganti kepalamu peang!! Itu sendok, loh? Itu sendok yang masuk ke mulut Alya dan menyentuh lidahnya, loh? Kalau itu masuk ke dalam mulutku, sebutannya bukan lagi ciuman tidak langsung, tapi justru ciuman mesra tidak langsung!!?)

Akibat dari menganalisis situasi dengan tenang, Masachika jadi tidak bisa mempertahankan ketenangannya. Tanpa sadar, tatapannya tertuju pada bibir Alisa, dan pada saat itu juga Alisa membuka mulutnya.

“Hora, aa~n”

Akhirnya, Alisa mengucapkan kata “aa~n”. Gigi putih dan lidah merah Alisa yang indah secara alami terlihat jelas di mata Masachika.

(Uwooooooooooo!!? Jangan segampang itu menunjukkan lidahmu! Bukannya itu tidak bermoral! Itu tidak bermoral!  Tapi mulut gadis cantik ternyata indah juga ya, terima kasih banyak atas sajian cuci matanya!!)

Di dalam hatinya, Masachika memegangi kepalanya dan berguling bolak-balik sampai tujuh kali. Akan tetapi, entah itu karena naluri cowo atau sebab lainnya, Masachika mendapati dirinya membuka mulut seperti anak burung yang disuapi oleh induknya.

“A, Aaaan…..”

Sendok yang disodorkan langsung dimasukkan ke dalam mulutnya.

Masachika secara refleks menutup mulutnya dan melahap krim dengan bibir atasnya. Padahal beberapa saat yang lalu, Ia berpikir untuk menggunakan gigi depannya supaya tidak terlalu banyak menyentuh sendok, tapi pemikiran itu benar-benar lenyap dari dalam kepalanya.

(Ugyooooooooo—–—–  !? Ciuman mesra tidak langsung! Aku melakukan ciuman mesra tidak langsung—–—–!!? Bukannya kamu membuat kesalahan dalam melakukan tahapannya?  Bukannya kamu melewatkan banyak tahapan!! Dasar bego, tahapan apa sih yang kubicarakan—–—–!?)

Dalam hatinya, Masachika membenturkan kepalanya di atas meja dan jatuh pingsan karean kesakitan. Lalu dalam bayangan itu, muncul wajah Yuki dengan ekspresi cengengesan sembari berkata “Hehehe, gimana Onii-chan? Bagaimana kesanmu mengenai rasa Alya-san?”  dengan suara bisik-bisik dan menepuk pundak Masachika. Untuk saat ini, Ia bangun dan menjitak wajah menyebalkan adiknya itu.

Bahkan dalam imajinasinya, adiknya masih saja berisik seperti biasa.

“…..Manis ya”

“….Memang”

Masachika sedikit panik saat berusaha menelan krim parfait dan memberi kesan yang terlalu sederhana. Namun, Alisa juga tidak terlalu memberi banyak komentar, dan diam-diam menarik kembali sendoknya.

(Tidak, maksudku suasana ini yang manis!!.....seriusan dah, mau diapakan suasana manis ini)

Padahal beberapa saat yang lalu kita membicarakan hal yang serius, kenapa malah jadi begini? Dan semoga saja situasi ini takkan dilihat siapapun.

Meski sudah terlalu telat, Masachika baru melihat area sekelilingnya…… lalu saat melihat ke luar jendela, Ia menatap punggung sosok yang dikenalnya.

(Bukannya itu…… Taniyama[3]?) 

Masachika memiringkan kepalanya sembari menatap ke luar jendela, lalu Ia kembali dibuat tersadar oleh suara batuk Alisa.

Ketika Masachika berbalik menghadapnya, Alisa mengangkat wajahnya dan menatap lurus ke arah Masachika dengan ekspresi bermartabat.

“Jadi, berdasarkan itu... menurutmu, bagaimana caranya supaya kita bisa menang melawan Yuki-san?”

Dia masih memiliki tatapan mata yang kuat meski menyadari kalau situasi sekarang cukup sulit dan tetap mencoba untuk melihat ke depan. Masachika tanpa sadar menatap kecemerlangan jiwanya yang bersinar di tengah-tengah kesulitan ...

(Tidaaaakkkkkkkk—–—– mustahil, mustahil!! Jangan tiba-tiba bertanya “jadi menurutmu, bagaimana cara kita supaya bisa menang? *Cling*”!!! Kamu jangan memaksa masuk ke mode serius dalam suasana begini,  Alya-san!!?)

Masachika melakukan rentetan tsukkomi di dalam hatinya. Namun, Masachika juga ingin melakukan sesuatu terhapap suasana aneh ini, jadi Ia memutuskan untuk membalas pertanyaannya dengan normal.

“Hmmm ...... kalau itu sih, tentu saja, kita harus menempuh rute yang berbeda.”

“Rute yang berbeda?”

“Yeah, kita tidak punya peluang menang jika melawannya secara langsung. Kalau begitu, kita tinggal ubah arah serangan dan menarik perhatian para siswa dengan cara yang berbeda dari Yuki.”

“….Secara khususnya gimana?”

Saat ditanya Alisa, Masachika membalas “Hmm…” seraya melihat sekitarnya dan menyimpulkan idenya.

“Ini sama seperti kontes popularitas idol. ...... Satu-satunya cara untuk mengalahkan lawan yang kuat ialah kita perlu mengincar jadi sosok yang didukung oleh semua orang.”

“…..Maksudnya? Mendapat dukungan atau semacamnya. ...... Bukannya kita memilih calon kandidat Ketua OSIS karena ingin mendukung mereka sejak awal, bukan?”

“Tidak juga, kok? Kebanyakan tidak selalu begitu. Pemilihan Ketua OSIS pada dasarnya sama seperti kontes popularitas. Berbeda seperti idol di mana para penggemarnya yang memilih, tapi yang ini seluruh murid di sekolah dipaksa untuk memilih…..Dalam hal ini, murid yang tidak tertarik dengan pemilihan Ketua OSIS biasanya memilih opsi “aman”. Dengan kata lain, pasti banyak murid yang memilih mantan Ketua OSIS SMP yang sudah tepercaya, dan terbukti rekam jejaknya. Kenyataannya, aku juga memilih mantan ketua OSIS pada pemilihan tahun lalu……. Meski aku masih terkejut saat mengetahui kalau orang lainlah yang terpilih jadi Ketua OSIS.”

“Benar juga….saat dipikir-pikir lagi, Ketua Kenzaki bukan anggota OSIS saat di SMP.”

“Ya, jika mantan ketua dan wakil ketua OSIS SMP mencalonkan diri sebagai pasangan yang sama ketika pemilihan Ketua OSIS SMA, peluang mereka untuk menang sekitar 70%. Dan Ketua Kenzaki memenangkan pemilihan itu, Ia memang orang yang luar biasa. ...... Dan yah, apa yang Ketua Kenzaki lakukan saat itu ialah membuat cerita yang mana membuatnya didukung banyak orang.”

Sembari dengan jujur memuji Touya, Masachika lalu mengeluarkan setumpuk kertas dari dalam tasnya.

Itu adalah salinan koran sekolah edisi tahun lalu yang diterbitkan oleh klub koran sekolah. Setelah mengeluarkannya, Masachika kemudian menunjuk ke suatu titik.

“Kamu bisa melihat kolom kecil ini, ‘kan?”

“…..Apa ini? Kenzaki Touya,  Jalan Menuju Kursi Ketua OSIS, Chapter 5?”

“Salah satu anggota klub koran saat itu sedikit tertarik pada Ketua Kenzaki, yang merupakan siswa rendahan, mencoba ikut serta dalam pemilihan Ketua OSIS, dan mewawancarainya. Ketua sendiri tampaknya setuju untuk membuat fitur khusus di bawah nama aslinya untuk membuat dirinya tetap termotivasi.”

“Hmmm, ...... yah, kamu tidak bisa berleha-leha saat berpikir kalau ada orang-orang yang memperhatikanmu.”

“Iya. Mungkin pada awalnya, anggota klub koran yang mewawancarainya juga cuma bersikap setengah bercanda. Tapi kemudian, seiring berjalannya waktu, penampilannya perlahan-lahan berubah dan nilai ujiannya semakin meningkat, jadi rasanya hal itu berubah menjadi seperti kisah sukses yang nyata. Lalu makin lama makib banyak pembaca yang berpihak padanya dan Ia akhirnya memenangkan pemilihan ketua OSIS.”

“Jadi begitu caranya membuat cerita yang didukung orang-orang….?Dengan kata lain, kita harus menunjukkan kepada siswa lain seberapa keras kita berjuang dan berusaha?”

“Alya memang luar biasa, kamu cepat memahaminya. Ya, itulah yang kumaksud.”

Masachika menyesap café au laitnya, dan tersenyum puas pada pemahaman cepat Alisa, tapi…… kesadarannya sedari tadi sudah tertuju ke tempat lain.

(Jadi, mau diapakan sendok itu?)

Ia terus kepikiran dengan sendok yang digunakan untuk menyuapinya.

Sekarang sendok itu berada di tangan Alisa, lebih tepatnya di atas tisu, tapi karena masih ada lebih dari setengah parfait cokelat yang tersisa, dan es krimnya akan meleleh dan hancur jika dia tidak segera memakannya.

Apakah Alisa benar-benar tidak menyadarinya atau dia berpura-pura tidak menyadari ini?

Di sisi lain, Alisa dengan antusias membaca salinan koran sekolah yang disiapkan Masachika…..sambil berpura-pura, tapi kesadarannya justru memikirkan hal yang lain.

(Sendoknya, bagaimana ini?)

…..mereka berdua memikirkan hal yang sama.

Alisa yang sudah melakukan adegan “aaa~n” dengan semangat persaingan yang tidak terlalu dia pahami, tapi sekarang setelah menenangkan diri, dia merasa sangat malu sampai-sampai ingin mati.

Kalau dipikir-pikir lagi, dia seharusnya tinggal memakan parfait lagi saja setelah menyuapi Masachika. Yang harus dia lakukan hanyalah menggunakan sendok itu dengan santai dan menggoda Masachika yang tersipu, seharusnya itu saja sudah cukup.

Tapi karena Alisa sudah meletakkan sendok di atas tisu, rasanya semakin sulit untuk menyentuhnya.

(Habisnya ... Kuze-kun memakannya dengan sangat lahap ... Tolong ada rasa sungkan sedikit coba! Dasar mesum!)

Sambil mengalihkan tanggung jawab dan menyalahkan orang lain, Alisa melirik sendok ... dan tiba-tiba pandangannya tertuju pada bekas krim yang masih menempel di sendok.

(Be-Bekas bibir Kuze-kun setelah disuapi, be-be-bekas bibirnyaaaaaa ~~~ ???)

Alisa merasa tersipu sambil diam-diam merasa panik dalam hatinya. Kemudian Masachika dengan ragu-ragu memanggilnya.

“Aah... maaf. Apa aku boleh memesan sesuatu?”

“Eh?”

Saat Alisa mengedipkan matanya, Masachika melihat sekelilingnya, lalu kemudian tersenyum setengah malu dan setengah merasa getir.

“Jika mencium aroma makanan, entah kenapa hal itu membuat perutku lapar ... kurasa melewatkan sarapan memang tidak baik.”

“Oh... aku tidak keberatan”

Masachika membuka buku menu setelah mendapat persetujuan Alisa. Usai membolak-balik halaman menu dan menemukan apa yang mau dipesan, Masachika kemudian menekan tombol panggil pelayan. Tak berselang lama, pelayan wanita segera mendatanginya.

“Maaf sudah membuat anda menunggu~”

“Ah, apa aku boleh memesan sesuatu?”

“Iya silahkan. Apa yang ingin anda pesan?”

“Um ... tumis bayam dan daging babi asap, Mapo tofu Sichuan, nasi dan ….dua gelas air dingin.”

“Saya ulangi pesanan anda.  Tumis bayam dan daging babi asap, Mapo tofu Sichuan, nasi dan 2 gelas air dingin, ‘kan?”

“Oh, omong-omong... apa tingkat kepedasan pada Mapo tofu ini bisa ditambahkan?”

“Boleh ditambahkan kok?”

“Eh, boleh?”

Pelayan restoran itu tersenyum dan melihat kembali ke Masachika saat Alisa tak sengaja keceplosan membalas.

“Ada yang tingkat 2, tingkat 3, tingkat 5, dan sampai tingkat 10, anda mau memilih tingkat berapa?”

“Seberapa pedas buat yang tingkat 10?”

“Hmmmm……”

Lalu pelayan itu melirik area sekeliling dan membalas dengan suara pelan.

“Sejujurnya, rasanya itu super duper pedas. Saya sendiri pernah mencicipinya, tapi saya hanya sanggup sesendok saja. Saya cukup yakin kalau tingkat kepedasan itu akan menghancurkan perut orang.”

“Sampai menghancurkan perut …... kelihatannya enak”

“Apanya?”

Alisa yang melakukan tsukkomi dengan wajah datar, tapi Masachika mengabaikannya dengan santai.

“Kalau begitu, tolong buat sampai tingkat 10”

“Dimengerti~ tingkat 10, ya. Apa itu saja pesanan anda?”

“Iya, dan... kalau boleh, aku minta sendok baru.”

Masachika mengatakan itu sambil melihat sendok yang ada di tangan Alisa, dan pelayan itu mengangguk tanpa bertanya lebih jauh.

“Baiklah. Kalau begitu, mohon tunggu sebentar.”

Seraya melihat pelayan restoran  kembali ke dapur, Alisa menggerutu pada Masachika yang sedang memegang buku menu.

“Padahal tidak usah diganti segala.”

“Maksudmu tentang sendok? Akulah yang merasa malu. Mungkin hal itu normal di Rusia, tapi hal begitu terlalu merangsang bagi cowok SMA di Jepang.”

“Hm, gitu ya......”

Setelah mengangguk dengan enggan, Alisa tiba-tiba tersenyum nakal.

“Tak disangka Kuze-kun masih naïf sampai-sampai tersipu cuma karena ini. Kupikir kamu sudah terbiasa dengan gadis.”

Alis Masachika berkedut usai mendengar ucapan Alisa, lalu membalas seolah-olah mengkhawatirkannya

“Justru menurutku, aku tidak bisa mempercayai kalau ada banyak orang yang bisa melakukan hal seperti ini dengan santai. Memangnya ciuman tidak langsung sudah menjadi hal wajar di Rusia?”

Saat Masachika mengatakan itu dengan senyum kaku, Alisa mengerutkan alisnya dan terdiam. Setelah terdiam beberapa saat, dia bergumam dengan wajah tidak puas.

Aku takkan melakukannya dengan siapapun selain kamu. Baka

Selamat Masachika-kun. Kamu jadi orang pertama yang mendapat ciuman tidak langsung Alya-san!!

(Terima kasih... Apa mungkin, aku bakalan mati hari ini?)

Masachika memandang ke arah luar jendela dengan tatapan jauh pada pengumuman ucapan selamat yang terngiang-ngiang di otaknya. Lalu, pelayan restoran yang menerima pesanan Masachika datang sembari membawa sendok baru.

“Maaf membuat anda menunggu~ saya akan menaruh sendok barunya di sini.”

“Ah, ya... Terima kasih banyak.”

Saat Alisa menerima sendok baru, Masachika segera mendesak Alisa untuk memakan parfait dengan tatapan jauh di matanya.

“Hora ... cepetan dimakan. Nanti meleleh loh?”

“... benar juga”

Sembari mengangguk patuh, Alya mendorong parfait yang sedikit miring dalam satu gerakan, menyendok krim di atas dan cornflake di bagian bawah, dan membawanya ke mulutnya. Setelah memakannya dengan tenang dan menghabiskannya dalam beberapa menit, lalu bertepuk tangan dan menyeka mulutnya dengan tisu seraya mengucapkan, “Terima kasih atas makananya”.

“Meski begitu ... porsi makanmu banyak juga, ya.”

“Hm?... ahh.”

Masachika memiringkan kepalanya sejenak dan menyadari kalau makanan yang dipesannya dianggap camilan, lalu mengoreksi kesalahpahaman Alisa.

“Aku cuma berpikir untuk sekalian makan malam di sini.”

“... Sedari tadi aku sudah kepikiran, tapi apa kamu tidak menghubungi rumahmu dulu? Bukannya orang tuamu sudah menyiapkan makanan untukmu?”

“Tidak, orang tuaku sedang tidak ada di rumah sekarang.”

“Begitu ya ......”

Pada dasarnya, Masachika lah yang menyiapkan makanan untuk keluarga Kuze yang cuma terdiri Ayah dan seorang anak. Bahkan Ketika ayahnya jauh dari rumah untuk bekerja, Ia biasanya memasak untuk dirinya sendiri..

“Lagipula aku sendirian, dan rasanya terlalu merepotkan kalau harus masak dulu setelah sampai di rumah.”

Sebenarnya, ada adik perempuan yang selalu menerobos masuk ke apartemennya tanpa pemberitahuan dan membuatkannya makanan. Tapi hari ini mungkin dia takkan datang menerobos lagi ... jadi Masachika tidak terlalu memusingkannya.

“Memasak....... Eh, kamu bisa memasak, Kuze-kun?”

Masachika mengangkat bahunya dengan santai kepada Alisa yang tampak terkejut.

“Kalau yang gampang-gampang saja. Aku tidak bisa membuat sesuatu yang besar karena yang bisa kulakukan cuma memasak yang sederhana atau makanan cepat saji.”

“Tapi tetap saja itu masih mengejutkan. Karena kamu terlihat seperti tipe orang yang tidak mau repot-repot untuk memasak.”

“Yah, aku sendiri tidak menyangkalnya.”

Nyatanya, bukannya Masachika suka memasak atau semacamnya. Ia cuma melakukannya karena hal itu lebih mudah untuknya.

Pada masa-masa awal SMP, Masachika sarapan dengan roti yang dibeli kemarin, lalu makan siang di kantin sekolah, dan untuk makan malamnya, Ia membeli bento dari minimarket, tapi setelah menjalani gaya hidup begitu selama sebulan, Ia pun merasa bosan. Sejujurnya, berbelanja setiap hari terlalu merepotkan baginya. Lalu pada suatu hari, Masachika iseng-iseng mencoba memasak makanan cepat saji yang pernah dilihatnya di TV dan menyadari kalau waktu yang dibutuhkan untuk berbelanja dan waktu yang dibutuhkan untuk memasak serta mencuci piring ternyata tidak jauh berbeda.

Selain itu, Masachika diberikan 2.000 yen[4] sehari sebagai uang makan saat ayahnya tidak pulang untuk perjalanan bisnis. Dengan kata lain, Ia bisa lebih berhemat dengan memasak makanan sendiri, karena uang yang tersisa itu akan masuk ke kantongnya sendiri. Jadi berdasarkan pertimbangan kelebihan dan kekurangan tersebut, Masachika memilih untuk memasak sendiri.  

“Alya sendiri bagaimana? Apa kamu bisa memasak?”

Masachika dengan santai bertanya, karena Ia pikir kalau gadis super sempurna ini bisa memasak sampai batas tertentu, tapi.....

“…...”

Alisa diam-diam memalingkan pandangannya. Masachika bisa langsung menebak kenapa dia tidak mau menjawab.

“Yah, cuma ada sebagian kecil orang yang bisa memasak pas kelas satu SMA.”

“Bukannya aku tidak bisa melakukannya …... itu karena membutuhkan banyak waktu saja.”

“Oh... Apa jangan-jangan, kamu ini tipe orang yang dengan hati-hati dan teliti memotong sayuran agar ukuran dan ketipisannya sama?”

“Yah, begitulah. Terus, aku penasaran apa bahan-bahannya sudah dimasak secara merata dan apa bumbunya sudah ditebar dalam jumlah yang benar atau tidak....”

“Bukannya itu, bakalan gosong”

“.....”

Alisa menyedot minuman soda melon dengan wajah canggung, karena mungkin tebakan Masachika tepat sasaran.

Masachika berusaha menahan tawa dan merasa yakin kalau itu sangat menggambarkan sifat Alisa, seorang gadis yang perfeksionis. Dalam memasak, ketepatan memang penting, tapi yang lebih penting lagi ialah ketangkasan. Berdasarkan pengalaman Masachika, triknya adalah tetap menjaga bagian-bagian penting tetap terkendali dan membumbui masakan secara kasar sesuai perkiraan, tapi Alisa yang merupakan tipe perfeksionis, mana mungkin bisa melakukan hal semacam itu.

“... Apa boleh buat, karena aku penasaran, sih. Ketika aku melihat Masha melakukannya dengan sembarangan, tanganku terasa gatal....”

“Ah~ entah kenapa aku bisa membayangkannya.”

Bayangan Maria dengan senyum lembutnya yang biasa melemparkan bahan dan bumbu ke dalam penggorengan muncul di benak Masachika, dan Ia tertawa sembari berpikir bahwa dia melakukan pekerjaan dengan baik. Berkebalikan dari adiknya, Masachika pikir kalau dia tak bisa memasak, tapi sepertinya tidak begitu.

“Tapi entah kenapa, makanan yang dimasaknya terasa enak ...”

“Bukannya itu berarti dia pandai memasak!”

Tampaknya Maria-san pandai memasak juga.

(Seriusan. Orang itu benar-benar sempurna.)

Masachika menepak dahinya saat teori kalau “ Apa Masha-san sebenarnya lebih berbakat ketimbang adiknya” muncul. Mungkin merasa canggung dengan sikap Masachika, Alisa melambaikan tangannya dan kembali membahas topik pemilihan ketua OSIS.

“Mari kesampingkan hal itu. Jadi secara rincinya, cerita macam apa yang sudah kamu pikirkan?”

“Eh, aah ... benar juga. Sampai mana pembicaraan kita tadi?”

“Sampai mencoba membuat cerita yang akan didukung oleh para siswa, seperti yang pernah dilakukan Ketua Kenzaki.”

“Ahh sampai situ ya ...”

Saat Alisa mendapatkan kembali ketenangannya, Masachika juga mengubah ekspresinya dan berkosentrasi pada pemikirannya.

“Yah, seperti kata Alya, kita perlu menunjukkan kerja keras kita dulu. Khususnya ... pada upacara penutupan semester pertama.”

“Upacara penutupan semester pertama? Apa kamu merujuk pada sambutan dari para anggota OSIS?”

Ia mengangguk pada Alisa yang sepertinya sudah memahami maksudnya.

“Benar. Bisa dibilang kalau itu panggung anggota OSIS untuk ajang pamer, 'Aku akan melakukan terbaik di angkatan ini dengan anggota ini.'”

“Kalau tidak salah setelah itu, tidak ada anggota OSIS baru, ‘kan?”

“Iya. Setiap tahun selama semester pertama, memang selalu ada anggota OSIS baru yang masuk dan keluar, tapi setelah acara sambutan ini, bahkan jika mereka keluar, mereka tidak bisa masuk jadi anggota lagi. Lalu ... Acara sambutan ini juga merupakan kesempatan bagi anggota OSIS kelas satu untuk mengumumkan kalau mereka akan mencalonkan diri dalam pemilihan ketua OSIS.”

“Setelah dipikir-pikir lagi, tahun lalu juga seperti itu ...”

Alisa mengangguk sembari mengingat kembali acara sambutan saat mereka masih kelas 3 SMP, dan Masachika memberitahunya dengan ekspresi serius.

“Ini merupakan sambutan pertama di hadapan seluruh siswa. Aku tidak perlu menjelaskannya mengenai betapa pentingnya itu, ‘kan?”

“Benar juga ...”

Alisa memasang ekspresi serius dan memikirkannya baik-baik. Dia melihat ke bawah sebentar dan sepertinya sedang memikirkan sesuatu, tapi tiba-tiba dia memandang Masachika dengan tatapan sedikit cemas.

“...Sambutan macam apa yang harus kuberikan?”

Masachika membalas santai kepada Alisa yang sedang mencoba mengandalkan pasangannya dengan suara kecil.

“Kamu bisa berbicara sesukamu. Dengan perasaan yang tulus, lebih baik berbicara menggunakan kata-katamu sendiri sehingga para pendengar dapat memahaminya.”

“Apa-apaan itu. Memangnya tidak ada satupun saran yang khusus?”

Alisa mengerutkan kening dengan ekspresi tidak puas padahal dia sudah mengandalkannya, dan malah mendapat balasan yang asal-asalan. Di sisi lain, Masachika menjawab sembari mengangkat bahunya.

“Bahkan jika kamu melakukannya dengan tidak terlalu buruk, kamu cukup menjadi dirimu sendiri saja sudah banyak yang ingin mendukungmu. Aku akan membantumu pada bagian di mana kata-katamu yang kurang, dan kamu bisa berbicara sesuai keinginanmu.”

Kata yang diucapkan dengan santai. Dan kata itu.....

“Gitu ya ...”

Alisa merasa tersipu. Ekspresi wajahnya yang tadinya tidak puas berubah menjadi malu-malu, dan tatapannya melirik ke sana-kemari tidak karuan dengan gelisah. Kemudian, dia membuka mulutnya untuk mengatakan sesuatu sambil memainkan ujung rambutnya dengan jarinya, dan setelah berpikir sejenak, dia menggumamkan sesuatu dalam bahasa Rusia.

... Sebelah mananya?

Masachika memandang ke arah Alisa, yang tampak gelisah dan curi-curi pandang ke arahnya seraya memohon dalam bahasa Rusia, “Puji aku, puji aku”.

(Bagian tsundere-mu itu, tau. Bukannya itu sangat imuuutttt)

Saat Masachika meluapkan uneg-uneg dalam hatinya, makanan yang Ia pesan akhirnya tiba.

“Apa pesanan anda hanya ini saja?”

“Ya”

“Baiklah, kalau begitu silahkan dinikmati~”

Setelah menatap pelayan yang pergi menjauh dan dan melirik Alisa, yang menangkap maksudnya, lalu mendesaknya “Silahkan saja”.

“Kalau begitu, maaf ... selamat makan.”

Masachika menangkupkan kedua tangannya dengan sungkan dan mulai mengarahkan sendoknya ke piring putih berisi tumis bayam dan daging babi asap. Setelah menghabiskan hidangan itu sebagai hidangan pembuka, Ia lalu menyantap hidangan utama, Shicuan Mapo tofu, yang direbus dalam panci besi tipis.

Tahu putih yang dipotong kotak-kotak dibalut  kuah merah kehitam-hitaman yang tampak seperti magma, dan Masachika langsung memasukkannya ke dalam mulutnya bahkan tanpa membiarkannya dingin.

“Heee ... buat sekelas restoran keluarga, rasa pedasnya cukup lumayan.”

Masachika mengangguk puas dengan rasa pedas yang menempel di gusinya. Alisa melihat pemandangan itu dengan alis yang terangkat.

“...Memangnya itu enak?”

“Hmm? Lumayan lah. Mau mencobanya?”

Usai mengatakan itu, Masachika berpikir, “sial, aku keceplosan.”

Perasaan tidak nyaman karena cuma Ia sendiri yang, dan adegan disuapi “aa~n” beberapa saat lalu membuatnya mengatakan sesuatu tiba-tiba, tapi saat dipikir-pikir lagi, tingkat kepedasan makanan ini bukanlah sesuatu yang bisa Alisa makan.

Namun, di hadapan Masachika yang tidak yakin apa akan menarik kembali pernyataannya itu atau tidak setelah diucapkan......Alisa pun sama-sama merasa ragu.

Sejujurnya, dia tidak ingin memakan hidangan yang jelas-jelas terlihat berbahaya seperti itu. Tapi, jika dia menolaknya sekarang, fakta kalau dia bukan pecinta makanan pedas akan terbongkar.

(Masih ada air. Minuman melon soda juga masih ada sedikit. Tidak apa-apa, aku yakin kalau sesendok saja pasti baik-baik saja)

Setelah memeriksa jumlah sisa item pemulihan minuman yang tersedia, Alisa pun mengambil keputusan.

“Kalau begitu, sedikit saja”

“Aah ... ya ... oke”

Sambil menebak pikiran Alisa dengan sangat akurat, Masachika pura-pura tidak menyadari dan meraih piring kecil.

Ia berpikir setidaknya akan menyajikan lebih banyak tahu, tapi saat Masachika menyendok ke dalam hidangan Mapo tofu ......yang Ia dapatkan justru bom berwarna merah.

“Eh, hebat juga. Isinya malah cabai semua, nih.”

“!?”

Masachika meletakkan senjata pembunuh berwarna merah terang itu ke atas sendok dan melirik ke arah Alisa, …… sedangkan Alisa memandangnya dengan tatapan memelas seperti anak anjing. Mata birunya yang sedikit sembab seolah-olah menyiratkan, “Aku tidak butuh, Aku tidak membutuhkannya”. Ketika melihat tatapan matanya itu ... Malaikat kecil dan iblis kecil muncul di dalam batin Masachika.

Untuk beberapa alasan, seorang malaikat dalam bentuk Maria kecil berbicara dengan lembut dan menegurnya.

Jangan, jangan lakukan itu pada Alya-chan. Pokoknya jangan

Di sisi lain, untuk beberapa alasan, iblis dalam bentuk Yuki kecil berbicara dengan suara vulgar seakan-akan berusaha menghasutnya.

Gehehehe, lakukan saja, Aniki. Aku paham kok? Pandangan berkaca-kaca Alya bikin membuatmu ingin menjahilinya, bukan?

Bujukan malaikat kecil dan godaan iblis kecil. Dua emosi yang saling bertentangan membuat Masachika bimbang dan kemudian Ia menggertakkan giginya.

(Sialan, aku... aku...!?)

Tangan Masachika gemetaran saat Ia dilanda kebimbangan apakah akan mengangkat atau menurunkan senjata biologis di tangannya. ...... Jika cuma melihat bagian ini saja, Ia sepertinya sedang berjuang di medan perang untuk menembakkan senjatanya atau tidak, tapi pada kenyataannya, benda yang ada di tangannya cuma sendok berisi cabai. Rasanya seperti ‘Apa sih yang sedang kulakukan di restoran keluarga ini’.

Aku pikir kamu bukan tipe orang yang tega menyakiti seorang gadis. Karena Kuze-kun…

Minggir!!

Kyaaa!

Dalam pikirannya, tubuh Yuki kecil meledak, dan Maria kecil terpental jauh seraya berteriak “Aaa~reeee~”.  Semua perdebatan itu diselesaikan dalam hitungan detik. Ada terlalu banyak perbedaan dalam kekuatan bertarung antara malaikat dan iblis.

(Maafkan aku, Alya)

Sambil meminta maaf di dalam hatinya, Masachika menjual jiwanya kepada iblis kecil yang ada di dalam dirinya.

“Ya, kalau begitu aku akan memberimu bagian yang paling enak”

“……Terima kasih”

(Aku sedang melakukan sesuatu yang sangat jahat sekarang)

Masachika menyerahkan piring kecil kepada Alisa sembari memasang senyum manis dan berpikir hal demikian seakan-akan itu urusan orang lain. Alisa mengambil sepasang sumpit dari kotak sumpit di tepi meja dan membawa hidangan mapo tofu itu ke mulutnya ... lalu meletakkan piring di atas meja dan memejamkan mata.

“... Bagaimana rasanya?”

“... Rasanya lumayan”

Alisa berbicara tanpa mengubah ekspresinya. Akan tetapi, Masachika menyadarinya. Tangan Alisa yang terkepal di atas meja bergetar. Alisa mati-matian menahan tangan kirinya untuk tidak meraih minuman dan tangan kanannya berusaha keras untuk menahannya. Masachika menyadari semua itu, tapi…..

(Maaf, Alya)

Masachika tersenyum jelas seraya dalam hatinya melontarkan kalimat seperti karakter yang telah mengkhianati seorang teman karena keadaan yang tidak dapat dihindari.

“Alya... hidangan utamanya masih tertinggal.”

“......”

Untuk sesaat, Alisa memberinya tatapan kalau itu adalah makanan yang tidak boleh diberikan gadis mana pun, tapi Masachika pura-pura tidak menyadarinya.

Didesak oleh senyum Masachika, Alisa melemparkan sisa cabai di piring kecil ke dalam mulutnya. Dia lalu menutup mulutnya dengan tangan kanannya dan menunduk dalam-dalam.

“... Alya?”

Bakaa

Menanggapi panggilan Masachika, Alisa membalasnya dengan gumaman lemah dalam bahasa Rusia.

Bakaa, bakaa

Tanpa menunjukkan ekspresinya, dia mengulangi kata “Baka” dengan suara gemetaran seakan menahan air mata. Apakah kata tersebut ditunjukkan pada Masachika, atau ditunjukkan dirinya sendiri karena begitu keras kepala...

“Mendingan minum air saja dulu? Gimana?”

Bakaa ...

Dia menyadari perilaku buruknya dan menyesalinya, tapi Alisa tetap terus-terusan mengucapkan kata “baka”. Pada akhirnya, setelah itu tidak ada percakapan di antara mereka berdua, Masachika dengan cepat menyelesaikan makannya seraya menunggu Alisa pulih, dan kemudian meninggalkan restoran keluarga.

“... Sepertinya kita menghabiskan banyak waktu untuk berbicara.”

“... Benar juga.”

Saat Alisa mengatakan itu sembari berjalan di bawah langit yang sudah gelap, Masachika segera membuang muka dengan rasa bersalah, dan berpikir, “Itu karena kamu butuh waktu lama untuk pulih”. Namun, Masachika tidak menyesalinya, Sejujurnya, Ia merasa tersentuh saat melihat Alisa yang selalu sok kuat tampak ingin menangis. Ia tak keberatan kalau dipanggil cowok kampret yang tak punya perasaan.

“Ngomong-ngomong….. apa yang akan Yuki-san lakukan?”

“Eh?”

Ketika Ia mengangkat wajahnya usai mendengar nama tak terduga yang tiba-tiba muncul, Alisa melirik Masachika dengan ekspresi yang sedikit canggung..

“Soalnya... Karena kamu sudah memutuskan untuk mencalonkan diri bersamaku, jadi Yuki-san juga membutuhkan ... calon wakil ketua, ‘kan?”

“……iya”

Masachika menganggukkan kepalanya, mencoba mencari tahu apa yang dia ulangi, tetapi Ia tidak memberi penjelasan lebih lanjut. Setelah menatap Masachika, Alisa terus melanjutkan dengan ekspresi sedikit tidak puas.

“Seperti yang sudah kita bicarakan tadi, anggota OSIS akan ditetapkan pada upacara penutupan semester pertama, ‘kan? Aku ingin tahu apa dia bisa mencari calon wakil ketua sebelum waktu itu tiba.”

“Yah, dalam kasusnya, popularitasnya sendiri begitu besar sehingga tidak peduli siapa pasangannya....”

Lagipula, Aku yang tidak mencolok buat menjadi pasangannya masih bisa memenangkan pemilihan ketua OSIS SMP,” imbuh Masachika sambil mengangkat bahunya. Namun, Ia langsung menggaruk kepalanya dengan canggung saat mendapat tatapan meragukan dari sebelahnya.

“Yah, karena dia punya banyak teman, jadi mungkin dia bisa menemukan seseorang yang cocok?”

Setelah mengatakan itu, Masachika lalu memikirkan kemungkinan siapa yang bakal menjadi pasangan Yuki nantinya.

“Kalau dipikir secara normal, dia pasti akan memilih sesorang yang pernah menjadi anggota OSIS ... hmm ...”

Kemudian, Masachika jadi teringat dengan punggung seorang gadis yang dilihatnya saat di restoran keluarga tadi.

“Benar juga..... kalau dia sampai memilih Taniyama, ini bakalan sulit...”

“Taniyama? Siapa?”

“Taniyama Sayaka. Dia adalah lawan berat Yuki dalam pertarungan memperebutkan posisi ketua OSIS saat masih SMP dulu...... Eh? Kamu tidak tahu?”

“Aku tidah tahu.”

Saat Alisa menggelengkan kepalanya, Masachika mengangkat alisnya dan memiringkan kepalanya.

Masachika mengira bahwa dia adalah salah satu dari sedikit gadis yang pernah bergabung dengan OSIS dan segera berhenti setelahnya.

(Apa dia sudah menyerah untuk menjadi ketua OSIS...?)

Di masa lalu, mereka bekerja bersama di OSIS ...... dan memikirkan gadis yang  dikalahkan mereka dalam pemilihan ketua OSIS memunculkan kembali perasaan getir di hati Masachika.

“Kuze-kun?”

“Oh tidak ... yah, cepat atau lambat kita pasti bakalan tahu? Kita baru memikirkannya setelah tahu siapa pasangannya.”

“Benar, juga ...”

Alisa mengangguk dengan ekspresi sedikit curiga. Masachika juga berhenti memikirkannya dan mengingat-ingat kembali mantan anggota OSIS masa SMP, merasa penasaran siapa yang akan dipilih Yuki sebagai pasangannya.

Akan tetapi, jawaban yang benar untuk pertanyaan tersebut ternyata sudah terjawab lebih cepat dari yang diharapkan Masachika. Pada waktu sepulang sekolah keesokan harinya. Murid yang dibawa Yuki justru ... bukan mantan anggota OSIS semasa SMP.

“Ayano”

“Ya, Yuki-sama.”

Menanggapi panggilan Yuki yang berdiri di depan pintu ruang OSIS, siswi yang menunggu secara diagonal di belakangnya melangkah maju tanpa suara.

Kemudian, setelah membungkuk dengan kedua tangan sejajar di depannya, dia melihat satu per satu kelima anggota OSIS yang duduk di kursinya masing-masing, dan mulai memperkenalkan dirinya dengan suara tanpa intonasi..

“Senang bertemu dengan Anda semua. Nama saya Kimishima Ayano dari kelas 1-C . Dalam kesempatan kali ini, saya mendapat kehormatan untuk ikut bergabung dalam anggota OSIS di bidang urusan umum. Saya mohon bantuannya mulai dari sekarang.”

Usai memperkenalkan diri tanpa menggerakkan ekspresi di wajahnya, dia sekali lagi membungkuk dengan indah.

Masing-masing anggota OSIS balasa menyapanya dengan sedikit kebingungan karena perilakunya yang mirip seperti robot.

“Kuze-kun?”

“.....”

Di antara mereka, Masachika memasang ekspresi muram di wajahnya pada kemunculan sosok yang benar-benar tak terduga ...... tapi Ia menyadari kalau Yuki benar-benar serius. Ia tidak sempat menanggapi suara Alisa, dan menatap Ayano dengan alis terangkat.

Pada saat yang sama, kepala Ayano berbalik dan dia menatap lurus ke mata Masachika.

Kemudian, untuk pertama kalinya, terdapat sedikit emosi muncul di matanya, dan dia diam-diam membuka mulutnya.

“Sebagai sesama anggota di bidang urusan umum, saya mohon kerja samanya mulai dari sekarang ... Masachika-sama.”

Kimishima Ayano. Dia merupakan pelayan pribadi Yuki ...... yang mana, dia juga dulunya pelayan pribadi Masachika.



 

 

<<=Sebelumnya  |  Daftar isi  |  Selanjutnya=>>

Komentar penerjemah : Maaf update-nya lama XD tau sendiri saya nerjemahin dari raw danmood buat nerjemahin novel naik turun kayak roller-coster. Semoga ke depannya bisa update lebih cepat lagi ( ╥ω╥ )   Jangan lupa untuk berdonasi supaya saya lebih bersemangat lagi :v


[1] Galge adalah game simulasi kencan, yah pasti kalian sudah tahu yang namanya galge ‘kan?
[2] Flag/Bendera, mungkin istilah ini masih awam bagi yang belum pernah bermain galge/game simulasi kencan. Intinya flag/bendera/pertanda/pemicu merupakan titik barometer kita saat ingin menaklukan heroine dalam karakter game simulasi kencan. Kalau di anime/manga mungkin lebih gampangnya ketika MC menyelamatkan Heroine dari bahaya, dan sejak saat itu heroine suka sama MC, nah momen pemicu itulah yang disebut flag/pertanda/pemicu, CMIIW jika mimin salah
[3] Karakter baru yang muncul di vol 2
[4] 2.000 yen itu sekitar Rp. 260.000 berdasarkan nilai tukar 1 yen = 130 rupiah pada tanggal 21 September 2021

close

Posting Komentar

Budayakan berkomentar supaya yang ngerjain project-nya tambah semangat

Lebih baru Lebih lama