Osananajimi kara no Renai Soudan Vol.1 Chapter 2 Part 3 Bahasa Indonesia

Chapter 2.3 : Awal Dari Rutinitasku Sehari-Hari.


    Pada hari pertama tahun ajaran baru, biasanya sepanjang jam cuma di habiskan dengan guru yang memperkenalkan diri. Sisanya sebagian besar untuk menjelaskan tentang bagaimana kelas akan berlangsung dan memberikan PR. Aku hampir tidak pernah menulis apapun di buku catatan yang kupakai sejak kelas satu.

    Di kananku, ada Hinagata yang sedang serius menulis tentang apa yang sedang guru jelaskan.

    Dan yang di sebelah kiriku adalah anak laki-laki dari tim sepak bola, yang sudah tertidur saat tadi kelas selesai menentukan tempat duduk. 

    “Ryu … Tonomura-kun kamu tidak nyatet, ya?”

    “Yahh, kurasa aku tidak apa-apa dengan itu.”

    Aku tahu kalau Sugiuchi sedang sibuk menulis karena posisi kursinya memaksanya untuk memperhatikan guru.

    “Apa saat di kelas kamu memanggilku dengan nama marga?”

    “Apa?”

    “Eh, aku juga tidak keberatan, sih, tapi kalau cuma kita berdua, aku akan memanggilmu dengan nama depan.”

    “Tonomura-kun, apa kamu juga memanggilku dengan nama marga?”

    “Ya, untuk sementara.”

    Bibir Hinagata mengerut mungkin karena kesal.

    “Saat aku masih SD, aku biasa memanggilmu ‘Shi-chan’. Tapi saat aku SMP, aku mulai memanggilmu ‘Hinagata.”

    “Aku tidak suka itu.” 

    Ehh, apa aneh untuk memanggilmu dengan nama marga?

    Maksudku bagaimana kamu bisa ingat kapan atau apa itu.

    “Saat kita mulai duduk di bangku SMP, agak memalukan memanggilmu 'Shi-chan'.”

    Saat di bangku SD, kita saling memanggil nama depan ataupun nama akrab.

    Saat SD, banyak juga anak laki-laki maupun perempuan yang memanggilku dengan nama depan.

    Tapi saat aku mulai SMP, jumlah orang yang memanggilku dengan nama depan mulai berkurang, jadi aku ikut-ikutan saja.

    “Walau memanggilmu dengan Hinagata. Itu masih terdengar imut, kok.”

    “Aku rada kurang percaya saat ada cowok yang nyebutin 'imut'.”

    Aku melihat dia yang sedang memainkan ponsel dengan posisi tangan di bawah mejahnya, segera setelah itu, ponselku nampaknya menerima notifikasi dan bergetar.

    Aku menerima pesan lewat SNS.

    Pengirimnya adalah Hinagata yang berada di sebelahku.

    Oi, jangan repot-repot mengirimiku pesan, ucapin aja dengan mulutmu.

    Hinagata, yang sekarang dalam mode ngambek, bahkan mungkin lebih dari itu, menulis, “Bahkan jika kamu memohon untuk menunjukannya, aku tidak mau melakukan itu.”

(Tln: Mungkin maksud Shiori enggak mau nunjukin catatannya pada Ryunosuke, kan Ryunosuke saat jam pelajaran berlangsung dia tuh enggak nyatet :3)

    Ini apa …

    Saat aku membaca pesan itu, aku juga menerima sticker beruang mengamuk dengan caption, “Kesal".

    “Lah … Kenapa kamu marah?”

    “Ryunosuke … Ehh, maksudku Tonomura-kun lah yang paling akrab denganku.”

    Dia serius ...

    Di kelas, dia berniat untuk memanggilku dengan nama depan.

    “ … Denganmu?”

    “Kan semua murid cewek lain hanya memanggilmu dengan nama marga.”

    “Ya, karena aku tidak terlalu akrap dengan mereka.”

    Apa dia bermaksud mengajariku agar lebih dekat dengan orang lain?

    Ya, memang benar kalau aku kurang ahli dalam hal begituan.

    Setidaknya, aku memang tidak terlalu nyaman saat tiba-tiba memanggil mereka dengan nama depan atau nama akrab.

    “Jadi aku lah yang paling akrab ... dengan Tonomura-kun.”

    “Oh, itu toh maksudmu?”

    Kurasa aku telah memecahkan suatu misteri itu.

    “Hah? Maksudmu?

    Ahh, semarah itu kah kamu padaku?

    “Emm … intinya, jangan perlakuin seolah kamu adalah cewek lain. Kamu tuh mau diperlakuin secara spesial, kan?”

    Hinagata menengokku dengan ekspresi terkejut.

    Dia menengokku seolah dia sudah menemukan jawaban yang dia mau.

    “Ya ya … !”

    Dia mengangguk dengan senang, walau dengan nada pelan.

    “Dengar, Hinagata, saling memanggil nama depan cuma dilakukan kalau orang itu special, jika tidak, orang lain akan anggap kalau kamu stres karena secara tiba-tiba memanggil mereka dengan nama depan.”

    Ini bisa jadi gawat untuk kita berdua. Kalau aku mungkin tidak terlalu gawat, tapi Hinagata punya pria yang dia suka, dan jika pria itu tahu, mungkin akan terjadi kesalahpahaman, sudah pasti itu akan menjadi masalah besar.

    “Temen masa kecil bagiku itu spesial.”

    “Maksudku yang melebihi itu.”

    “Tidak ada yang lebih spesial dari pertemanan masa kecil.”

    Ah, kalau di pikir-pikir, itu …

    “Yah … tapi aku agak kurang setuju.”

    Sugiuchi pernah bilang padaku kalau dia dan teman masa kecilnya berpisah saat mereka naik ke SMA.

    Kupikir masuk akal juga saat menganggap jika Seorang pria dan wanita adalah teman masa kecil, lalu mereka akan mendapat banyak anggapan tentang apa mereka saling suka atau saling cinta.

    Kurasa ada banyak yang seperti ini di seluruh dunia, tapi tidak semua dari mereka yang bersekolah di sekolah yang sama dengan teman masa kecilnya.

    Jika dia menganggap seperti itu, mungkin itu juga adalah sesuatu yang special.

    Sejak SMP aku dan Hinagata selalu ada di kelas yang berbeda.

    Tapi terkadang aku penasaran dengan suasana kelas Hinagata, dan saat aku kelar dengan kegiatan ekskul-ku, aku terkadang menongokknya berlatih di gym.

    Aku penasaran dengan siapa dia bergaul, apa yang dia lakukan saat istirahat makan, berapa nilainya, dan semcamnya.

    Jika itu gadis lain, aku mungkin akan cuek saja, tapi akan berbeda kalau gadis itu adalah Hinagata.

    “Kupikir tidak apa-apa jika kamu memanggilku 'Shiori'.”

    “Maksudmu kamu ingin aku memanggilmu seperti itu?”

“Iya, aku tidak mau kamu memanggilu 'Hinagata'. Tonomura-kun, kamu hanya boleh memanggilku 'Shiori'.”

    “Dikit demi dikit, ya.”

    “Yaa.”

    Dia nampak senang. Sepertinya dia sedang membayangkan sesuatu.

    Suasana hatinya yang buruk berlahan mulai membaik.

    Aku merasa lega.

    “Hal kayak begitu, aku baik-baik saja kalau itu dia.”

    “?”

    “Apa kamu tidak melakukan itu pada seseorang yang kamu sukai?”

    “Apa?!”

Jangan beri responan seperti, “Aku terkejut.” 'Ngerti.

    “A-apa, kenapa?”

    “Anak cowok tidak terlalu terbiasa untuk meperhatikan detail kecil kayak begitu. Kamu tahu, sudah jadi hal biasa kalau anak cewek lah yang harus mulai duluan.”

    Itulah yang kupikirkan.

    Persis apa yang dia lakukan tadi. Seperti, “Karena kita sudah lama akrab, jadi ayok kita saling manggil nama depan.”

    “Aku tidak memikirkan kalau memanggil satu sama lain dengan nama depan, sudah menjamin kalau kita benar-benar akrab. Yaa Sesuatu seperti itu.”

    “Ehh…!!!”

(TlKomen: Ughh, asli bikin gerem ama sifat nih MC, kepekaannya ada pada tingkatan bronze, cuihh)

    Mulutnya terbuka karena kaget dan tangannya menekan dadanya.

    Tapi, oppainya belum banyak perubahan sejak SD, kan?

    “Aku tidak berpikir kalau kita saling memanggil nama depan sudah menjamin apa kita akrab atau tidak.”

    “Uuuaaa.”

    “Kurasa jenis obrolan dan, yah, kamu tahu, jumlah waktu yang kita habisakan bareng, gampang untuk mengubah apa yang kamu sebut satu sama lain.”

    “Aaauuu.”

    Jangan buat suara aneh.

    Mungkin ini hanyalah cara berpikir lawas, tapi itulah yamg kuyakini.

    “Kalian yang di belakang sana berisik banget, oy.”

    Aku mengangkat kepalaku dan memanfaatin murid di depanku sebagai perisai dari tatapan guru.

    Lalu aku berbisik pada Hinagata, “Kalau aku sih tidak apa-apa, tapi kamu jangan sampai kena omelan guru juga, ya?”

    “Yaa.”

    Hinagata kayaknya terpukul dengan respon atas bantahanku, dan matanya berkaca-kaca dengan menyandarkan pipinya di atas meja.

(Tlkomen: Ulululu cup cup…sini menangid di pelukanku ajah :3)

    Apa dia begitu terpukul dengan bantahanku tadi? Kalau begitu aku sungguh minta maaf.

    “Apa yang harus kulakuin, Ryunosuke?”

    Dia sudah tidak memanggilku Tonomura-kun lagi.

    “Kamu tidak nyaman akan itu, kan?”

    “Yang tadi cuma perumpamaaan saja, aku juga tidak akan nyaman jika tidak bersama Hinagata.”

    “Jadi tidak apa-apa jika itu denganku?”

    “Ya, seperti itulah. Lagian, kita sudah lama saling kenal.”

    “Itu berarti aku ini spesial, kan?”

     “Jika kamu menganggap begitu, kurasa juga begitu.”  

    Hinagata tersenyum sambil menaruh dagunya di atas tangan yang disilangkan pada permukaan meja.

    “Fufufufu~”

    “Apa yang kamu ketawain?”

    “Bagaimanapun, Ryunosuke sungguh baik.”

    “'Gitukah?”

    Saat aku menganggukan kepalaku, Hinagata tersenyum manis kepadaku lagi.



close
juuone

Don't be a SIMP... Be a MAN OF CULTURE

Posting Komentar

Budayakan berkomentar supaya yang ngerjain project-nya tambah semangat

Lebih baru Lebih lama