Chapter 2.2 : Awal Dari Rutinitasku Sehari-Hari.
Yang masuk jam pertama adalah wali kelas baru, dia memberitahu
kalau kami akan memperkenalkan diri masing-masing lagi dan menentukan komite
kelas kami.
“Aku yakin kedepannya anda akan mengetahui nama kami, jadi
untuk sekarang ayok kita tentukan posisi kursi dulu.”
Setuju dengan saran seseorang murid, wali kelas mulai menulis
nomor kursi di papan tulis.
Lalu, guru membuat undian dengan beberapa kertas.
“Nomor kursi ditulis di balik amplob ini, ya.”
Guru berkeliling, memasukan kertas undian ke dalam amplob
ukuran A4.
Sugiuchi mulai memasukan tangannya ke dalam amplob, setelah
mengambil salah satu amplob. Dia membuka undian lalu menengok ke atas, dan
berkata, “Tidaaaak, ini terlalu licik!”
Tidak ada yang mengetahui berapa nomor Sugiuchi, undian terus
berlanjut, dan sekarang giliranku.
Tidak masalah di mana aku akan duduk, selama aku tidak di duduk
depan atau di mana guru akan dengan gampang melihatku.
Aku dapat posisi kursi yang bagus yaitu di barisan paling
belakang, dan agak berdekatan dengan jendela.
Saat kami masing-masing pindah ke tempat duduk yang telah
ditentukan barusan, Hinagata datang ke sampingku.
“A-aku duduk di sini.”
“Ah, aku di sini.”
Kami berdua menunjuk di mana kami akan duduk, ternyata, kita
bersebelahan lagi.
Sugiuchi duduk di barisan depan dekat pintu masuk, hampir
berpapasan dengan barisan tempat dudukku.
Aku bisa merasakan tatapan irinya, tapi aku tak menghiraukan
itu.
“Senang mengenalmu.”
Senang mengenalmu?
“Ah, ya, senang
bertemu denganmu lagi.”
Saat semua orang duduk di kursi mereka masing-masing, seseorang
gadis memanggil Hinagata.
“Hei, Shiori-chan, apa
kamu mau tukeran kursi denganku?”
Aku tidak tahu namanya karena aku tidak pernah mengobrol
dengannya saat aku di kelas 1 SMA, tapi dia adalah gadis yang agak menawan.
“Ehh?”
“Kamu mau tukeran kursi denganku?”
“Emm … ”
“Tidak akan banyak perubahan, kok”
Gadis yang kelihatan mencolok itu berjarak dua kursi dariku,
tepatnya di sebelah Hinagata.
Persis yang dia katakan, memang betul tidak banyak yang akan
berubah.
Saat kupikir Hinagata akan bingung, tatapannya malah jadi
tajam.
“Tidak mau!”
“Ah… memangnya kenapa~?” Karena aku beloon, Aku malah
keceplosan mengatakan itu.
“Kalau tidak akan banyak perubahan, kamu tidak perlu tuker
kursi denganku, kan?”
Hinagata menengokku.
Matanya berbinar-binar, seolah-olah ada banyak bintang yang
tersebar di matanya itu.
Ternyata kata pepatah memang betul kalau mata berbicara
sebanyak mulut.
“Ya, itu betul.”
Entah kenapa aku jadi malu.
Aku sedikit malu dan membuang muka.
Saat kamu di SMA, kamu akan lebih peka tentang siapa yang
akan bersama dengan siapa hanya dengan melihat keadaan.
Jika ada seorang gadis yang bersebelahan dengan kursi
Hinagata dan merupakan temen dekatnya, aku bisa paham kenapa dia sangat ingin
tuker kursi. Tapi tidak ada orang seperti itu. Maksudku, kalau mereka sudah
bersebelahan, ngapain lagi mereka harus tukeran kursi.
Lalu guru mengungumkan, “Kalau kamu rabun, kamu bisa tuker
kursi dengan murid yang ada di depanmu.” Setelah itu semua murid duduk.
“Tonomura-kun, makasih, ya.”
Kayaknya kalau sedang ada di tempat ramai, dia hanya
memanggil nama marga-ku.
“Tidak apa-apa, kok, aku juga rada grogi saat duduk bersebelahan
dengan orang yang tak kukenal.”
“Kalau aku tidak, kan?”
“Apa kamu serius mengatakan itu? Setelah semua ini?”
Dia terkikik dan berbisik menanggapi kata-kataku, “Gitukah?”
“Kalau aku sih lumayan.”
“Apa?”
Ah, jadi begitu.
Aku langsung paham maksudnya setelah melihat keadaan kelas
yang agak berbeda.
“Itu karena di sini jarak meja terlalu berdekatan.”
Jarak meja antara aku dan Hinagata entah kenapa begitu dekat.
Mungkin bisa di bilang kalau tubuh kami hampir berdempetan.
Hmm, okelah.
Aku sedikit menggeser mejaku agar dapat memberi sedikit ruang
untuk kami berdua.
Bagaimanapun, kami adalah remaja laki-laki dan perempuan.
Karena jarak kita bedua yang berempetan pasti membuatnya agak
grogi.
Aku juga berpikir kalau aku lebih sedikit bebas untuk
bergerak, jadi ini sudah betul.
“ … ”
Menengok Hinagata, tatapannya nampak hampa.
“Oii, kamu baik-baik aja?”
“Aku baik-baik aja.”
Suaranya terkesan suram seperti hantu.
Sudah pasti itu tak baik-baik saja.
“Rasa grogi bukanlah hal buruk.”
…Lalu kenapa dengan itu?
“Grogi akan buat dirimu canggung dan menggangu
keterampilanmu, tapi ada juga dampak lain dengan itu.”
“Ya, aku tahu.”
Mendengar itu, Hinagata menutup rapat matanya, dan menengok
ke atas.
“Sampai sini dulu materi kita saat ini. Oke, sekarang saya
pamit.” Setelah mengatakan itu, guru itu langsung meninggalkan kelas, padahal
masih ada sekitar 10 menit tersisa sampai jam pelajaran tersebut berakhir.
“Kenapa sih tadi kamu pindahin mejamu?”
Lah, apa dia marah?
“Apa maksudmu dengan ‘kenapa’? Bukankah kamu merasa grogi
dengan hal itu, dan lagian, meja kita akan dibuat berdekatan cuma disaat kamu
yang kelupaan buku tulismu, kan.”
“Oh, aku ternyata melupakan buku-ku.”
“Apa maksudmu, kamu melupakan itu?”
Dia menengok ke depan dengan ekspresi cemberut.
‘Hatimu tidak dalam suasana bagus, ya?”
Kali ini, dia menengok ke bawah, meraih pinggir mejaku lalu
menariknya.
Jarak antara dua meja langsung berdempet dengan suara gesekan
kaki meja.
Saat aku menengok tangan dia yang putih mulus mencengkram
meja, urat tangannya nampak jelas. Di luar dari penampilannya ternyata kekuatan
cengkramannya sangat hebat.
“Aku tidak grogi.”
“Begitukah?”
Bagus dah kalau begitu.
Hinagata Mulai bersiap untuk jam pelajaran berikutnya dan
menaruh buku tulis dan buku paket di atas mejanya.
Dia bilang, “aku ternyata melupakan buku-ku.” Tapi sekarang
dia malah meletakkan buku tulis dan buku paketnya di atas meja seperti itu
tanpa ada satu pun yang kelupaan.
“Sudah lama kita tidak duduk bersebelahan kayak begini.”
“Ya, itu benar.”
“Terakhir kali mungkin di kelas 4 SD, jadi untuk ini aku agak
senang.”
Aku terkesan, ternyata dia masih mengingat hal itu dengan baik,
aku menengoknya.
Mungkin karena dia menyadarinya, dia memegang rambutnya dan
lalu menghalangi pandanganku.
“Hei, kok telingamu merah?”
“Eh … ”
Dengan sigap dia menutupi telinganya dengan rambutnya.