Kimi wa Hatsukoi no Hito, no Musume Vol.1 Chapter 1 Bahasa Indonesia

Chapter 1 — Putri dari Cinta Pertamaku

 

Ia menekan tombol 'latte' saat berdiri di depan mesin kopi di ruang istirahat.

Mungkin karena tidak ada orang lain di dalam ruangan tersebut, suara mesin yang sudah dikenalnya, terdengar sedikit lebih keras.

Setelah beberapa saat, jumlah dan komposisi kopi yang tepat diseduh dan dituangkan ke dalam cangkir berisi bubuk krim, menghasilkan cairan berwarna cokelat muda.

Di perusahaan tempatnya bekerja, ada banyak orang yang merasa aneh bahwa Ia hanya meminum kopi manis, tapi alasan mengapa banyak orang menyukai kopi hitam mungkin karena mereka juga suka merokok.

Sebagai orang yang tidak merokok, Ia tidak bisa berempati.

(... dari awal, Aku selalu suka yang manis-manis.)

Rambutnya hitam dan dipotong dengan panjang yang sesuai, jadi meskipun Ia tidak menatanya, penampilannya takkan memberikan kesan kumal.

Untuk baju, Ia mengenakan setelan kemeja tanpa dasi, dan celana panjang serta  sepatu kantor standar. Ia berpakaian dengan cara yang memberi nuansa  bersih dan rapi.

Wajahnya yang meski terlihat masih muda, tapi juga memiliki aura kedewasaan.

Ichigo Kugiyama sedang berdiri di dekat jendela, melihat area luar sambil menyesap latte dari cangkirnya.

Di langit biru yang tinggi, awan tebal yang berwarna sedikit kelabu, melayang dengan pelan. Sebuah pemandangan langit yang khas sebelum musim panas.

Saat ini sudah memasuki musim hujan.

Ia berpikir kalau liburan Golden Week[1] baru terjadi beberapa hari yang lalu, tapi sekarang, Festival Obon Agustus sudah dekat.

(Musim sibuk berikutnya sudah dekat…)

Saat memikirkan hal ini, Ichigo menghela nafas

“Kurang tidur?”

Tanpa Ia sadari, sudah ada orang lain yang tiba di ruang istirahat.

Dilihat dari pemantik api dan rokok yang dipegang tangannya, Ia sepertinya baru saja kembali dari ruang merokok.

Tidak seperti Ichigo, Ia mengenakan pakaian yang lebih cocok untuk pekerjaan dan lebih mudah untuk bergerak.

Ia merupakan bawahan laki-laki yang umurnya jauh lebih muda dari Ichigo.

“Akhir-akhir ini, kita disibukkan dengan banyak acara baru, seperti perubahan area penjualan, dan pembangunan fasilitas baru.”

“Memang … Tapi berkat usaha semua orang kita bisa mencapai semua itu.”

Ichigo tersenyum saat mengatakan ini.

“Lagi-lagi dengan sikap merendah anda... Itu semua berkat manajer—”

“Manajer Kugiyama.”

Kemudian, karyawan lain memasuki ruang istirahat.

Orang yang masuk merupakan karyawan wanita baru yang baru saja bergabung musim semi ini.

“Manajer Regional ada di sini.”

“Apa itu urusan mendesak? Saat ini, manajer sedang istirahat, jadi bicaralah dengan manajer regional dan mencari cara untuk— ”

“Tidak apa-apa. Aku akan menemuinya sekarang.”

Ichigo menuangkan latte ke tenggorokannya dalam satu tegukan dan meletakkan cangkir di wastafel.

“Aku mungkin akan mulai berpatroli sekarang, jika terjadi sesuatu, hubungi aku.”

“Siap.”

“Ya.”

Setelah mengatakan itu, Ichigo meninggalkan ruang istirahat.

Di dalam ruangan sitirahat, hanya ada karyawan wanita baru dan karyawan pria.

“Pasti rasanya sulit untuk menjadi manajer, bukan?”

“Ya… Tapi aku menghormatinya.”

Ungkap karyawan laki-laki itu sambil membuat secangkir kopi untuk dirinya sendiri di mesin kopi.

Ia benar-benar menghormati Ichigo dari lubuk hatinya.

“Kurasa itulah jenis dari ‘orang dewasa cakap’ yang dipercaya oleh perusahaan ini.”

– Lima belas tahun telah berlalu sejak hari dimana Sakura menghilang.

– Ichigo Kugiyama yang berusia 28 tahun, saat ini bekerja sebagai manajer toko di department store besar dan di bawah naungan perusahaan ritel berskala nasional.

 

※※※※※

“Sepertinya kamu melakukannya dengan cukup baik untuk pertama kalinya sebagai manajer.”

Department store yang memiliki area penjualan luas itu sedang ramai dikunjungi pengunjung.

Toko yang ditangani Ichigo berlokasi di sudut NSC atau Neighborhood Shopping Center Pusat. Sebuat pusat perbelanjaan di mana toko independen tersebar di seluruh lokasi, dan dibangun sedikit lebih jauh dari pusat kota.

Department store ini menjual segala sesuatu, mulai dari kebutuhan sehari-hari, furnitur, hingga bahan dan alat yang dibutuhkan untuk renovasi, konstruksi, atau bahkan proyek DIY yang sekarang ini sedang naik daun.

Sambil melihat-lihat seisi toko, Ichigo sedang berbicara dengan Manajer Regional, orang yang bertanggung jawab untuk mengawasi dan mengelola semua toko di area tersebut.

Manajer Regional adalah seorang pria dewasa bertubuh kecil, kekar, dan berkacamata. Ia mempunyai karir yang panjang di dalam perusahaan dan tipe bos yang relatif sopan serta mudah untuk diajak berbicara.

“Proposal yang kamu ajukan tampaknya sangat efektif. Mengingat penjual terbaik, mengembangkan area penjualan sehingga merangsang motivasi orang untuk membeli barang, tampaknya mengarah pada hasil yang lebih baik. Angka penjualan tetap kuat seperti sebelumnya.”

Ichigo hanya membalas dengan senyuman masam terhadap manajer yang menghujaninya dengan pujian berlebihan.

“Saya hanya membuat proposal berdasarkan masukan staf, toko-toko di sekitar, dan topik penjualan yang sedang trending di media sosial. Saya memang membuat rencana, tapi bawahan dan pekerja sambilan lah yang melakukan semua pekerjaan.”

Mendengar jawaban rendah hati Ichigo, Manajer Regional menepuk pundaknya dan berkata, “Itu baru pekerjaan manajer yang baik.”

Saat mereka hendak mendekati etalase.

“Hah?” Di sana, di sudut khusus yang didirikan di toko, Manajer Regional memperhatikan bahwa beberapa pekerja sambilan melakukan semacam ajakan. “Itu…?”

“Seperti yang sudah saya laporkan pada rapat Manajemen Mingguan tempo hari, ini merupakan strategi yang bertujuan untuk meningkatkan jumlah pelanggan dengan menugaskan lebih banyak staf untuk melakukan lebih banyak iklan di toko-toko.”

“Ah, aku pikir toko lebih fokus untuk mendapatkan anggota aplikasi?”

Seorang pelanggan yang relatif tua terlihat mengalami kesulitan mengoperasikan smartphone, dan sekelompok pekerja sambilan berdiri di sampingnya, berusaha membantunya memasang aplikasi yang telah dibuat dan didistribusikan perusahaan sebelumnya.

“Ya, kami mempunyai pekerja sambilan yang lebih muda, mereka yang lebih memahami teknologi cenderung membantu pelanggan yang lebih tua mendaftar ke aplikasi. Kami juga memberi tahu mereka tentang penawaran khusus dan sistem yang kami miliki, sehingga mereka akan kembali lagi dan lagi. Tujuan kami adalah untuk mendapatkan pelanggan tetap.”

“Seperti yang diharapkan, kamu cepat bertindak begitu menemukan targetmu.” Manajer Regional menatap Ichigo dengan senyum di wajahnya. “Ambisius dan berbakat. Mungkin waktumu untuk mendapatkan promosi berikutnya tidak lama lagi.”

“Haha, saya lebih suka bekerja dan bersantai di posisi ini.”

Saat mereka berdua sedang melakukan percakapan ini…

“Oh, lihat, ada Manajer dan Manajer Regional.”

Saat Ichigo sedang melihat-lihat toko bersama atasannya, para karyawan toko juga memperhatikan mereka.

Orang yang berbicara adalah para mahasiswa paruh waktu yang bekerja di toko.

“Sepertinya Manajer mendapat pujian lagi.”

“Jadi Ia dekat dengan Manajer Regional ...”

“Apa posisi manajer itu prospek yang menjanjikan?”

“Ya iyalah … Pertama-tama, sungguh menakjubkan bahwa pada usia 28 tahun, dia sudah menjadi manajer dari toko peringkat-S.”

“Toko peringkat-S?”

“Toko terlaris pada tahun ini. Begitulah cara perusahaan menilai kualitas toko.”

Ketika salah satu pekerja paruh waktu mengajukan pertanyaan, pekerja lain mulai menjelaskan.

“Eh…? Kalau begitu, pendapatannya pasti cukup bagus, ‘kan?” Seorang mahasiswi paruh waktu juga ikut menimpali.

"Jika mengecualikan dewan eksekutif, Ia mendapatkan salah satu perlakuan terbaik dari perusahaan, tapi itu cuma rumor yang aku dengar.”

“Eh, begitu ya?!”

“Kalian semua sedang membicarakan apa?” Merasakan mereka bersemangat tentang sesuatu, Ichigo mendekati mereka dan bertanya.

“Oh, pak Manajer, di mana Manajer Regional?”

“Beliau baru saja menyelesaikan patroli, jadi Beliau mau kembali ke kantornya. Jadi, apa kalian menggosipkan sesuatu saat melihatnya berbicara denganku?”

“Tidak ada, Pak.”

“Kami baru saja berbicara tentang beberapa real estat utama.”

Dua mahasiswi paruh waktu saling memandang.

“Real estate? Apa kamu sedang mencari tempat tinggal?”

“Tidak, bukan itu.”

“Apa pak Manajer orang bebal?”

Gadis-gadis pekerja paruh waktu menertawakannya. Tentu saja, Ichigo sendiri tahu apa yang Ia katakan.

“Kalau boleh tau, apa pak Manajer sudah punya pacar?”

“Sekarang? Aku single.”

“Eh, tak disangka. Saya pikir Anda akan populer di kalangan gadis-gadis, pak. ”

Para pekerja paruh waktu mulai menjadi bersemangat.

Meski Ichigo dipuji, tapi Ia tidak terlihat terlalu senang mengenai hal itu.

…Setiap kali berbicara tentang kehidupan asmaranya, Ia selalu tampak enggan. Itu sebabnya, wajahnya tampak terlihat suram.

 

※※※※※

Matahari sudah terbenam, dan kegelapan malam menyelubungi langit.

“Ya, ya … aku mengerti. Kamu bisa meninggalkan kantor apa adanya. Terima kasih atas kerja kerasmu.”

Ichigo menerima telepon dari asisten manajer di toko.

Setelah menerima laporan bahwa toko akan tutup, Ichigo menutup telepon genggamnya.

Ichigo sudah pulang dari tempat kerjanya lebih awal hari ini, dan setelah kembali ke rumah, Ia mengunjungi stasiun di dekat rumahnya. Daerah di sekitar stasiun cukup ramai dengan banyak restoran dan toko pakaian berjejer di sepanjang jalan.

Di teras kafe di salah satu sudut gedung, Ia sedang mengerjakan beberapa dokumen, dan baru saja selesai.

“Aku harus pulang.”

Usai mematikan laptopnya, Ichigo lalu meninggalkan kafe.

Butuh waktu sekitar 20 menit berjalan kaki dari toko menuju rumahnya yang disediakan perusahaan. Saat ini, Ichigo memilih jalan kaki sebagai bentuk dari olahraga.

“Hah…”

Berjalan sembari membawa laptop di satu tangan membutuhkan sejumlah banyak tenaga.

Saat berjalan di sepanjang trotoar yang diterangi oleh lampu jalan, Ichigo menghela napas dalam-dalam.

Ia melihat-lihat area sekitarnya, tapi pada jam-jam malam di hari kerja begini, area jalanan menjadi lumayan sepi.

Kemudian, dari seberang jalan, bisa terlihat sepasang laki-laki dan perempuan.

Mereka mungkin pelajar – pikir Ichigo.

Saat pasangan itu mengobrol dan tertawa, pasangan tersebut berpapasan melewati Ichigo.

(...Eh? Apa hadiah itu ...?)

Sepintas, si gadis terlihat memegang kantong kertas yang sepertinya berisi sesuatu yang penting. Dari apa yang bisa didengar dari percakapan mereka, sepertinya itu adalah hadiah dari pacarnya.

(Apa ini mungkin ... hadiah untuk ulang tahunnya?)

Ichigo menebak-nebak isi dari hadiah itu. Melihat tren di tahun ini, dia pikir itu mungkin wewangian ruangan atau sabun tubuh ...

Ichigo menyadari bahwa dia menebak seperti itu mungkin karena Ia sendiri bekerja di department store sendiri. Dilihat dari penampilan mereka, mereka mungkin pelajar SMA. Jadi hadiahnya mungkin sesuatu yang lebih sederhana, sesuatu seperti… aksesoris…

“……”

Saat sedang memikirkan hal ini, ingatan tentang teman masa kecilnya – Sakura, kembali muncul di benaknya.

Ichigo juga memberi Sakura hadiah ulang tahun. Namun, karena pada saat itu dirinya masih anak-anak, Ia tidak dapat menyiapkan sesuatu yang mahal.

Oleh karena itu, Ichigo yang selalu pandai membuat sesuatu dengan tangannya, memutuskan untuk menebus kekurangan finansialnya dengan kreativitasnya. Menggunakan majalah gaya hidup ibunya sebagai referensi, Ichigo membuat sendiri lilin wangi, manisan, dan barang-barang lain untuk diberikan kepada Sakura.

Dan untuk hadiah ulang tahun Sakura, Ia membuat aksesoris perak dari tanah liat perak murni… bila diingat-ingat kembali, ide tersebut sangat kekanak-kanakan sampai-sampai membuatnya bergidik karena malu.

'Wow… Terima kasih, Ichi. Aku akan menghargainya.’

Ichigo tidak menyangka bahwa bahkan sekarang, Ia masih mengingat suara Sakura dan ekspresi kegembiraannya.

Sebagai balasan atas hadiahnya, Sakura membuat cemilan buatan sendiri untuk ulang tahun Ichigo.

Itu adalah kenangan yang agak manis dan asam.

Rambut hitam panjangnya yang terlihat palsu, lekukan hidungnya yang halus, bulu matanya yang panjang, bibirnya yang berwarna merah muda, senyumnya…

Sudah 15 tahun berlalu sejak saat itu. Ichigo serkarang menjalani kehidupan yang memuaskan, baik secara finansial maupun sosial.

Namun, dalam urusan asmara, dirinya masih abu-abu. Ichigo sadar betul bahwa tidak wajar bagi seorang pria yang berusia 28 tahun, masih terjebak dengan ingatan cinta pertamanya di usianya ... Tapi itulah seberapa besar arti keberadaan Sakura bagi Ichigo, dan itu adalah kenangan yang takkan pernah pudar.

Saat merasakan ketidakberdayaan pada situasi saat ini, Ichigo menundukkan kepalanya dan menghela nafas, “Hah ...”

Merasa putus asa dan tertekan, Ichigo bergumam, “Mungkin aku akan minum-minum dan pulang ...”

Seolah tertarik oleh cahaya penerangan, Ichigo memasuki sebuah minimarket yang berada tak jauh dari situ.

Ia sudah memiliki bahan untuk makan malam di rumah, jadi Ia hanya membeli alkohol. Hari ini, Ia ingin meminum sesuatu yang sedikit kuat untuk menghilangkan kegundahannya. Ichigo membeli wiski dan air soda. Setelah meninggalkan minimarker, Ichigo melanjutkan perjalanan pulang seraya berpikir, "Aku akan pulang dan minum sepuasnya”

–— Saat itulah ada sesuatu yang terjadi.

“Ayolah, tidak masalah, kan?”

Tepat di luar area perbelanjaan yang ramai, di trotoar berbatu, Ichigo mendapati dirinya berada di tengah jalan, dan mendengar suara yang begitu liar dan kasar.

Saat menoleh kecarah sumber suara, Ia melihat seorang pria dan gadis yang tampaknya berada dalam semacam perselisihan. Tidak… Setelah diamati baik-baik, sepertinya gadis itu sedang dirayu oleh si pria.

Pria yang terlihat dewasa itu bertingkah mencurigakan.

Ada sekaleng minuman beralkohol tinggi yang tergeletak di kaki pria tersebut, Ia mungkin membelinya di toserba terdekat, atau mungkin dari tempat yang baru saja Ichigo hampiri.

Rupa-rupanya, pria itu sedang mabuk.

Sedangkan di sisi lain, gadis itu tampaknya masih pelajar SMA bila dilihat dari seragam sekolah khusus perempuan, yang cukup terkenal di daerah sekitar.

Dia hanya sedikit di luar jangkauan cahaya penerangan jalan, jadi Ichigo tidak bisa melihat wajahnya dengan jelas, tapi Ia bisa mengetahui kalau gadis tersebut mempunyai atmosfer feminin yang samar-samar.

“Ayo ngobrol dulu sebentar sama abang.” Pria mabuk itu berkata demikian saat memaksanya.

Ichigo bahkan tidak tahu apakah pria itu berkata serius atau cuma bermain-main.

Tetapi gadis SMA itu tidak mengambil sikap yang terlalu menjijikkan.

“Um, aku dalam sedikit masalah, jadi aku sedang terburu-buru ...” ujarnya dengan senyum kaku.

Namun, meski dari luar dia terlihat tenang, tapi gadis itu jelas-jelas dalam masalah. Mungkin karena sudah malam, tapi tidak banyak orang di sekitar tempat itu. Orang-orang yang kebetulan lewat mengabaikan mereka, mungkin karena mereka sedang terburu-buru atau tidak mau terlibat.

Apa boleh buat... pikir Ichigo.

“Permisi.”

Atas keputusan spontannya, Ichigo segera berdiri di antara pria pemabuk dan gadis SMA itu.

Bahkan di tokonya sendiri, para pekerja paruh waktunya kadang-kadang mendapat godaan dari pelanggan. Cara untuk menghadapi situasi seperti itu dengan tegas sudah terpatri di kepala Ichigo.

Baik si pemabuk maupun gadis SMA itu menghentikan langkah mereka ketika melihat Ichigo tiba-tiba muncul.

“Dia sepertinya tidak menyukainya, jadi bisakah anda berhenti?” Ichigo berkata sambil berdiri di depan pria mabuk itu.

Pria itu kemudian berkata, “Apa?!” dengan nada kesal dan tidak jelas.

“Dia masih di bawah umur, dan perilaku berlebihan bisa dianggap paksaan.”

Tanpa meninggikan suaranya atau menjadi terlalu memaksa, Ichigo hanya menjelaskan situasinya. Ichigo mengambil pendekatan yang sangat matang untuk situasi ini.

Sedangkan di sisi lain, si pemabuk berkata dengan miat permusuhan yang meningkat, “Kamu siapa? Ini bukan urusanmu.”

Apa boleh buat, pikir Ichigo.

“Sebenarnya, gadis ini adalah pekerja paruh waktu di toko kami.”

Jika Ichigo mengungkit bahwa gadis tersebut mempunyai keterkaitan dengannya, komposisi dua lawan satu akan lebih kuat, dan pihak lain mungkin akan mengundurkan diri.

Sebuah kebohongan yang sah untuk meredakan situasi, dan itu akan menjadi alasan yang bagus di kemudian hari.

Namun, pria pemabuk itu tidak menggubrisnya dan berkata, “Masa bodo dengan itu.”

Situasinya jadi semakin memanas. Pria pemabuk itu sepertinya tidak ingin berbicara dengannya ... Tidak, percakapan itu bahkan tidak pernah dimulai sejak awal. Dengan kata lain, Ia pasti sedang sangat mabuk.

Ichigo bisa mengetahui kalau gadis SMA di belakangnya ketakutan oleh pemabuk yang memamerkan taringnya dengan mata hampa.

Namun sebaliknya, Ichigo merasa lega. Pria yang tidak bisa berkomunikasi itu sebenarnya menjadi kesempatan bagus untuk mereka.

Ichigo berbisik pada gadis SMA itu, "Bisakah kamu lari?"

“Eh?”

Pada saat berikutnya, Ichigo meraih tangan gadis SMA itu dan langsung melarikan diri dari tempat kejadian.

Pihak lain hanyalah pria tua yang sedang mabuk. Ia tak bisa bereaksi terhadap tindakan mendadak Ichigo, dan pada saat Ia menyadarinya, mereka sudah menghilang dari pandanganya.

Jeritannya bisa terdengar, tapi si pemabuk sepertinya tidak mengejar Ichigo dan gadis itu.

Dengan begitu, situasinya sudah ditangani dengan aman.

Jika keadaannya semabuk itu, Ia mungkin takkan mengingat apa yang baru saja terjadi saat  bangun nanti, pikir Ichigo.

Mereka berdua terus berlari sebentar dan mendekati daerah pemukiman.

“Kurasa kita sudah baik-baik saja jika sampai di sini.”

Saat Ichigo melepaskan tangannya, gadis SMA itu meletakkan tangannya di lututnya dan mulai bernapas ngos-ngosan.

“Maaf, aku mulai mendadak menyuruhmu berlari seperti itu.”

“T-Tidak…”

Akhirnya, napasnya menjadi tenang, dan gadis SMA itu mendongak.

Sebelumnya, karena  kurangnya penerangan, dan Ichigo harus berurusan dengan pemabuk itu jadi Ia tidak bisa melihat wajah si gadis dengan jelas. Sekarang setelah situasi sudah teratasi, Ichigo akhirnya bisa melihat wajahnya.

Ia terkejut dan tak bisa berkata apa-apa.

Rambut hitamnya yang panjang, tergerai hingga mencapai pinggangnya.

Kulitnya yang tampak halus dan hampir mendekati transparan.

Garis Wajahnya terdefinisi dengan baik dengan lekukan halus di hidungnya.

Matanya sedikit sipit dengan bulu mata yang panjang dan seksi.

Bibir yang berwarna merah muda.

Seperti itulah penampilannya saat itu.

Semuanya sama seperti saat itu.

Wajah gadis tersebut sama persis seperti teman masa kecilnya, Sakura.

“Um…”

Kejutannya begitu berdampak sehingga mata Ichigo melebar dan dia tidak bisa berkata-kata.

Sakura ... Tidak! Rupanya saja yang mirip Sakura.

“Terima kasih banyak.”

“… Apa?”

“Anda sudah menolong saya, ‘kan…?”

“…Ah, tidak… Tapi aku senang bahwa aku tidak terlalu ikut campur dengan tidak perlu.”

“Itu sama sekali tidak perlu… Saya benar-benar takut sampai-sampai saya tidak sanggup berteriak meminta bantuan. Anda benar-benar sudah membantu saya. ” Ucap gadis tersebut dengan sedikit berlinang air mata.

Dia menyeka air mata di bulu matanya yang panjang dengan tangan gemetaran.


Gestur yang sama. Jantung Ichigo berdetak kencang dan bagian belakang tenggorokannya bergetar.

Pikirannya mulai tak karuan, sedemikian rupa sehingga dia bahkan tidak bisa menganalisis situasi apakah ini hanya halusinasi atau kenyataan.

“Um ... Permisi, rumahku sebenarnya di dekat sini.” Ujar gadis itu sambil menunjuk ke gang gelap tempat lampu penerangan tak berfungsi. “Jadi ... Jika anda tidak keberatan, saya ingin mengucapkan terima kasih kepada anda.”

Bahkan di tengah kebingungan, frustrasi, keheranan, dan berbagai emosi lainnya… Ichigo tahu bahwa seorang pekerja dewasa yang mengikuti seorang gadis SMA ke rumahnya sama sekali bukan perkara baik.

“Kamu tidak perlu berterima kasih padaku.”

Tapi kemudian,

“...Tapi sekarang sudah larut malam, dan bukan berarti tidak ada kemungkinan kalau kamu akan terlibat masalah lagi, jadi aku akan mengantarmu pulang.”

Ichigo mengatakan itu, dan dirinya merasa seperti didorong oleh kekuatan yang tidak terlihat.

 

※※※※※

“Kita hampir sampai.”

“Ah, ya…”

Usai menyelamatkan seorang gadis SMA dari seorang pemabuk, Ichigo akhirnya mengantar gadis tersebut ke apartemennya. Awalnya, Ia terkejut melihat seorang gadis dengan wajah yang sama persis seperti Sakura muncul di hadapannya, tapi seiring berjalannya waktu, Ia mulai bisa berpikir dengan tenang.

(...Aku hanya mengantarnya pulang... Aku tidak punya niatan lain.)

Ichigo mencoba untuk tidak terlalu  memikirkannya hanya karena dia terlihat seperti cinta pertamanya, bahkan wajahnya persis seperti saat Ichigo baru jatuh cinta padanya.

Jika Ia mengantarnya pulang seperti ini, Ichigo berpikir kalau setidaknya Ia bisa  menjelaskan situasinya dengan benar kepada keluarganya.

Jadi, seraya membayangkan apa yang akan terjadi nanti, Ichigo bertanya pada gadis SMA yang ada di sebelahnya.

“Apa keluargamu ada di rumah sekarang?”

“Saya tidak punya keluarga. Saya tinggal sendirian.”

“……”

Perihal anak SMA yang tinggal sendirian, Ichigo pernah bertemu banyak orang dengan situasi yang berbeda dalam karirnya. Di zaman modern ini, Ia tidak menganggapnya sebagai hal yanganeh. Namun, itu berarti cuma ada dia satu-satunya orang yang tinggal di rumahnya. Mana mungkin dirinya diizinkan naik ke kamar di mana seorang gadis SMA tinggal sendirian.

“Kita sudah sampai. Di sini tempatnya.”

Sementara Ichigo memikirkan hal ini, mereka sudah tiba di apartemennya.

Untuk seukuran gadis yang tinggal sendirian, tempat tersebut bisa dibilang tempat apartemen dengan fasilitas yang cukup baik, dilengkapi dengan sistem kunci otomatis. Letaknya dekat dengan stasiun kereta dan memiliki keamanan yang baik.

Hal ini bisa meringankan beban pikiran bagi orang tua yang membiarkan anak-anak mereka hidup sendirian, kata Ichigo pada dirinya sendiri

“Silahkan lewat sini.”

Gadis SMA itu menuntun Ichigo menaiki tangga ke lantai dua.

Kemudian, di depan kamar tepat setelah berbelok dari tangga, gadis SMA itu mengeluarkan kunci dari tasnya.

Rupanya kamar ini adalah tempat tinggalnya.

“Silahkan masuk.” Gadis SMA itu membuka pintu dan memimpin jalan masuk.

"Tidak, aku hanya mengantarmu pulang." Namun, Ichigo mencoba untuk melanjutkan rencana awalnya, dan menolak undangannya. “Lebih dari ini …”

“Tidak masalah!” Gadis SMA itu meraih lengan baju Ichigo. Tidak mau kalah, dia berusaha sekuat tenaga untuk memaksa Ichigo masuk. “Jangan khawatir tentang itu. Di sini benar-benar cuma ada aku.”

(...Itu justu membuatnya semakin meresahkan...)

Gadis SMA itu menolak untuk menyerah pada Ichigo yang sedang bimbang, dia mengatakan bahwa dia ingin berterima kasih padanya.

Dalam wujud Sakura, dia meraih lengan bajunya dan menariknya erat-erat. Saat dia menatapnya, wajahnya tampak persis seperti cinta pertama Ichigo.

“… Kalau begitu, apa boleh buat.”

Bukan berarti Ichigo kalah dalam godaan. Ia hanya tidak tega menolaknya dan puas dengan apa yang terjadi di depannya.

“Kalau begitu, aku minta maaf sudah merepotkanmu.”

“Ya.”

Jauh lebih baik bila Ia menekan emosinya, dan menyelesaikannya dengan cepat. Dengan pemikiran seperti itu, Ichigo melewati pintu kamar gadis SMA itu. Begitu masuk, lampu ruangan dinyalakan, memperlihatkan interior ruangan. Ruangan itu sedikit lebih besar dari apartemen ukuran 1LDK biasa.

Tempat tidur, meja, pakaian yang tergantung di dinding, dan aroma wangi menyebar ke seluruh ruangan. Ruangan yang penuh dekorasi dan pernak pernik. Sunggguh ruangan yang sangat menggambarkan kamar gadis SMA.

“Tolong anggap saja seperti di rumah sendiri.”

Setelah mengatakan itu, gadis SMA pergi ke dapur, menyalakan ketel listrik, dan mulai merebus air. Selain itu, dia sepertinya mengeluarkan cangkir teh dan daun teh dari lemari dan mulai bersiap untuk menyeduh teh.

Secara alami, Ichigo tidak duduk di tempat tidur, kursi, maupun lantai.

(...Aku akan menghabiskan satu cangkir dan kemudian pergi saat mendapat kesempatan.)

Entah aku ceroboh atau lalai, aku akan memastikan kalau aku takkan melakukan apapun yang bisa membuat orang salah paham – pikir Ichigo pada dirinya sendiri.

“…..?”

Tiba-tiba, perhatian Ichigo tertuju bingkai foto di atas meja. Di dalam bingkai tersebut terdapat foto keluarga. Seorang pria, seorang wanita, dan seorang gadis muda, kira-kira seumuran anak SD, mereka berdiri berdampingan…

“…Hah.”

Pikiran Ichigo langsung berhenti saat itu juga.

“Apa ada yang salah?”

Gadis SMA itu kembali dari dapur sembari membawa teko dan cangkir di atas nampan.

Dia melihat Ichigo yang tertegun saat menatap foto di atas meja.

“Ah… Itu foto keluarga—”

“Sakura?”

“…Eh?”

Ichigo bergumam pada dirinya sendiri sambil melihat wanita yang ada di foto keluarga itu.

Ia memahaminya. Dalam ingatan Ichigo, waktu telah berhenti saat terakhir kali Ia melihatnya, ketika dia berusia 15 tahun... tapi di sanalah dia, tumbuh lebih tua dan lebih dewasa sejak saat itu.

Jika ada yang memberitahu kalau Ia salah orang, maka biarlah… Tapi intuisinya menebak kalau tebakannya benar.

Jika dia ada di foto ini…. Itu berarti…

“Apa anda mengenal ibu saya?”

Ibu.

Perkataan gadis SMA itu membuat jantungnya berdegup lebih kencang. Ichigo berbalik dan menatap wajah gadis itu lagi. Wajah yang menyerupai bayangan cinta pertamanya, sosok yang tertinggal dalam ingatannya yang bersinar cemerlang saat itu.

“Namamu, siapa nama lengkapmu?”

Sudah lama sejak Ichigo semarah ini dalam kehidupan profesional dan pribadinya. Ia tidak bisa bernapas dengan baik, dan mau tidak mau, Ia bahkan tidak bisa mengucapkan kata-kata dengan jelas.

Meski begitu, gadis SMA itu mengerti pertanyaan Ichigo – dia menjawab dengan ekspresi bingung di wajahnya.

“Nama saya adalah… LHoshigami Luna.”

“!!!”

Nama yang sama. Nama belakangnya bukan nama Sakura saat masih gadis, melainkan nama keluarga dari presiden perusahaan yang dinikahinya.

“Kamu... anak Sakura?”

Gadis SMA, Luna, menganggukkan kepalanya menanggapi kata-kata yang keluar dari mulut Ichigo.

Hal itu menjelaskan mengapa mereka terlihat sangat mirip.

Dalam keadaan penuh kebingungan, pemikiran lucu seperti itu muncul di benak Ichigo.

(Gadis ini adalah ... putri Sakura.)

Namun, fakta ini mengejutkan Ichigo yang belum pernah dia rasakan sebelumnya.

Pada saat yang sama ketika dia terkejut, Ichigo tidak bisa menahan rasa penasarannya tentang pertanyaan yang terus Ia tanyakan pada dirinya sendiri, sehingga rasa penasarannya meluap ke dalam suaranya.

“Di mana ibumu sekarang?”

“……”

Ekspresi Luna tampak gelap pada pertanyaan yang ditujukan padanya.

Apa yang terjadi? Apa ada keadaan yang membuatnya sulit untuk mengatakan sesuatu? – pikir Ichigo dalam hati.

Perasaan sedikit gelisah mengalir di punggung Ichigo dalam bentuk mati rasa.

“Ibu …”

Dan firasatnya ternyata benar. Bukan hanya sedikit, firasatnya mengarah pada kemungkinan terburuk.

Luna berkata, “Ibu saya mengalami kecelakaan beberapa tahun yang lalu… Dia sudah bersama saya lagi.”

 

※※※※※

 

Ichigo menyelamatkan gadis SMA yang terlihat sama persis seperti cinta pertamanya secara kebetulan ketika dia terlibat masalah dengan orang yang sedang mabuk.

Namanya Luna Hoshigami.

Tak disangka-sangka, ternyata dia adalah putri dari teman masa kecilnya, Sakura, yang pernah berpisah dengannya.

Ketika Luna memberitahu Ichigo bahwa ibunya sudah tidak ada lagi di dunia ini, Ichigo merasa kepalanya diguncang sampai ke intinya.

“Tidak hanya ibu saya, tapi… Ayah saya juga meninggal jauh sebelum dia. Sekarang, keluarga ibuku adalah waliku.”

Dibombardir dengan informasi ak terduga, Ichigo tetap samar-samar mendengar kata-katanya, tapi…

Pikiran Ichigo dalam keadaan kacau balau.

Kematian Sakura – Fakta yang terlalu berat untuk diterimanya.

Ia terhuyung-huyung dan duduk di kursi terdekat.

“Apa Anda baik-baik saja?”

“Ah… Ya.”

Luna menjadi khawatir saat melihat Ichigo yang tiba-tiba lemas tak berdaya. Akhirnya Ia bertanya,

“Apa Anda mengenal ibu ...?”

Berdasarkan apa yang dia lihat, itu adalah pertanyaan yang wajar untuk ditanyakan.

“Ah… Yah, kurasa bisa dibilang kalau kita ini teman masa kecil… Tapi aku belum pernah melihatnya sejak dia menikah.” Ichigo berbicara jujur ​​tentang hubungannya dengan Sakura.

Tapi kemudian…

“Mungkinkah Anda … ‘Ichi’, Ah maksud saya, Ichigo Kugiyama-san?”

“……”

Ketika Luna tiba-tiba menyebut nama 'Ichi', Ichigo tersentak. Sungguh nostalgia sekali – pikirnya. Itu karena nama tersebut merupakan nama panggilan Sakura saat biasa memanggilnya. Tapi, yang lebih penting dari itu, muncul pertanyaan lain.

“Bagaimana kamu bisa tahu tentang aku?”

Menanggapi pertanyaan Ichigo, Luna menjawab dengan ekspresi agak cemberut.

“Ibu saya sering berbicara tentang Ichigo-san.”

“Jadi begitu rupanya ya …”

Meskipun mereka berpisah, tapi dia tidak melupakannya... Saat memikirkan hal ini, senyum polos dari teman masa kecilnya yang melihat ke arahnya, kembali muncul di benak Ichigo...

Seakan-akan bendungan telah jebol, air mata mulai mengalir di pipinya. Sekali lagi, Ia harus menerima kenyataan bahwa pujaan hatinya sudah tidak ada lagi di dunia ini, dan Ichigo tidak bisa lagi menekan emosinya.

“Ku-Kugiyama-san…”

“Maaf, aku tidak apa-apa.”

Saat Luna tampak khawatir, Ichigo langsung bertingkah seperti orang dewasa dan tetap tenang. Jalan pemikiran normal kembali ke kepala Ichigo, dan Ia menyadari sesuatu sekali lagi.

Ia menyadari bahwa dirinya sudah membuat Luna berbicara tentang kematian ibunya… Pengalaman yang menyakitkan bagi seorang gadis semuda itu untuk dibicarakan secara alami.

“Maafkan aku.” Ichigo menundukkan kepalanya dan meminta maaf atas sikapnya yang tidak pengertian.

“Tidak, tidak, tolong jangan khawatir tentang itu.” Sebagai tanggapan, Luna buru-buru menjawab.

“Tapi jika itu masalahnya, maka sekarang, kamu ...”

“Ya, seperti yang sudah saya katakan sebelumnya, saya tidak punya keluarga."

Ichigo sebenarnya tidak bertanya tentang itu, tapi Luna salah paham.

Yang disebut 'Kesepian'.

(...Tidak, aku yakin ada keluarga dari pihak ibu dan ayahnya, jadi aku rasa aku tidak seharusnya mengatakan itu.)

Saat Ichigo sedang merenungkan situasi gadis di depannya…. Tiba-tiba, suara mengganggu “Kruyukk ~~” bisa terdengar.

Suara itu berasal dari perut Luna.

“Oh tidak…”

Sesaat, mereka terkejut dan terdiam, tapi kemudian, Luna menyadari bahwa suara menggeram itu berasal dari dirinya. Wajahnya langsung mulai memerah karena malu, dan dia berusaha menekan perutnya.

“Apa kamu lapar?”

“Maafkan saya…”

“Tidak, kamu tidak perlu meminta maaf segala. Lagipula ini sudah waktunya untuk makan malam.”

Ichigo, yang entah bagaimana menempatkan citra orang yang Ia kagumi di atas wajah Luna, merasa sedikit lega saat dia menunjukkan penampilannya yang rentan untuk pertama kalinya.

Pada saat yang sama, fakta bahwa dia adalah putri Sakura, sekaligus seorang gadis kesepian yang hidup mandiri, membuat rasa ingin melindungi muncul di dalam diri Ichigo.

Ia yang tadinya berencana untuk pergi cepat-cepat, tapi sekarang tidak bisa lagi memaksakan diri untuk melakukannya.

“Luna-san, apa yang kamu makan untuk makan malam?”

“Eh?” mendengar pertanyaan yang begitu mendadak, Luna sejenak kehilangan kata-kata.

Fakta bahwa seorang pria yang lebih dari sepuluh tahun lebih tua darinya memanggilnya dengan panggilan '-san' mungkin menjadi salah satu faktornya.

“Yah, saya tadinya berencana untuk memasak makan malam ...”

“Jika kamu mau, aku akan mentraktirmu makan malam.”

“Eh?!” Luna juga terkejut dengan saran yang tiba-tiba itu.

Di smartphone Ichigo, ada aplikasi yang terdaftar untuk pengiriman. Aplikasi itu dari restoran yang biasanya Ia kunjungi kalau dirinya terlalu malas untuk memasak makan malam. Ichigo bisa saja menelepon pihak restoran, tetapi menilai dari apa yang baru saja dikatakan Luna, sepertinya dia sudah menyiapkan bahan untuk makan malam. Jika itu masalahnya, maka itu tidak boleh disia-siakan.

“Yah, meski aku bilang kalau aku akan mentraktirmu, tapi aku akan memasak makan malam untukmu jika kamu mau. Kamu hanya perlu menunggu, itu jika tidak terlalu merepotkan. ”

“Tidak, itu tidak masalah. Sebenarnya, saya lebih bila anda tidak perlu berbuat   sejauh itu ...”

“Tidak apa-apa. Kamu tidak perlu khawatir tentang hal itu. Itu hanya untuk kepuasanku sendiri.”

Ichigo terkekeh pada dirinya sendiri saat menyadari bahwa Ia melakukan hal yang sama persis seperti Luna, yang sebelumnya, telah menolak untuk melepaskan keinginannya untuk berterima kasih padanya bagaimanapun caranya.

Namun, Luna sepertinya tidak bisa menerima tawaran itu tanpa berpikir dua kali.

“Seberapa banyak yang ibumu ceritakan tentang aku?” Ichigo bertanya pada Luna yang kebingungan, “Apa dia pernah memberitahumu kalau aku pandai memasak, atau semacamnya?”

“Ah… Ya,” jawab Luna dan mengangguk seolah-olah dia baru mengingatnya. “Ibu bilang kalau dia suka makanan yang kadang dimasak Kugiyama-san.”

“…Jadi begitu ya.”

Senang sekali bisa mendengar hal itu. Sakura masih mengingat hal-hal seperti itu, dan bahkan mengatakan kepada putrinya seolah-olah itu adalah kenangan yang berharga – pikir Ichigo saat Ia sangat tersentuh.

“Kalau begitu aku kira kamu bisa menyebutnya ulasan yang bagus. Bagaimana menurutmu, Luna-san? Karena kita di sini, bukankah menarik untuk melihat apakah kemampuanku asli atau tidak?”

Ketika Ichigo mengatakan ini dengan nada bercanda, Sakura cemberut sejenak, tapi kemudian, seolah-olah dia tidak tahan lagi, dia meledakkan semuanya.

Itu adalah gerakan kecil yang lucu.

“Hahaha… Kugiyama-san, Anda orang yang menarik, ya?”

Ichigo merasa lega saat dia tertawa. Suasana yang tadinya agak kaku sepertinya sudah sedikit mencair.

“Kalau begitu, saya akan menuruti perkataan anda… Ah,” Luna langsung menerima tawaran Ichigo untuk memasak makan malam. Tapi kemudian dia berkata, “Saya tidak suka ditraktir secara sepihak, saya merasa tidak nyaman… Ah, itu benar, kenapa anda tidak bergabung dengan saya untuk makan malam, Kugiyama-san?”

“Eh?”

Luna mengusulkan ide itu. Mungkin itu karena dia tidak mampu menerima bantuan dari orang lain dengan tangan terbuka, seperti Ichigo.

“Bahkan jika makanannya buatan sendiri, sayan akan kesepian bila makan sendiri. Dan, bisakah anda menceritakan lebih banyak tentang kenangan anda tentang ibu saya, Kugiyama-san?”

“……”

Dia gadis yang kuat – pikir Ichigo.

Pada saat yang sama, Ichigo memikirkan kekuatan mentalitasnya yang tidak sesuai dengan usianya yang pasti dia warisi dari Sakura.

 

※※※※※

Yah, aku sendiri yang mengatakannya – Ichigo berpikir dalam hati saat pergi ke dapur rumah Luna dan bersiap-siap memasak makan malam untuk mereka berdua.

Area dapurnya dilengkapi dengan baik, seperti yang bisa kamu harapkan dari gedung apartemen yang bagus.

Secara realistis, dapur tersebut mungkin agak terlalu besar untuk digunakan oleh satu siswa.

“Ayo kita lihat…”

Memeriksa bahan-bahan yang disiapkan di kulkas, nasi beku, telur, ayam, dan sayuran dapat ditemukan. Itu adalah isi dari kulkas seorang siswa SMA yang tinggal sendirian, jadi tentu saja isinya tidak banyak.

Walau demikian,

“Baiklah, aku sudah memutuskan menunya.”

Di masa lalu, Ichigo membuatnya untuk Sakura, dan sekarang, Ia memutuskan untuk memilih hidangan yang sama.

Dengan pemikiran seperti itu, Ichigo mulai memasak.

Pertama-tama, Ichigo menyiapkan ayam, bawang merah dan paprika hijau sambil memanaskan mentega di penggorengan. Ia kemudian memasukkan bahan-bahan yang sudah disiapkan ke dalam wajan panas dan membumbuinya dengan garam dan merica. Setelah matang, Ia mencampurkan nasi yang sudah dihangatkan kembali dan menambahkan saus tomat.

“Baunya enak.” Luna berkata demikian saat datang untuk memeriksanya, “Wah! Nasi ayam!"

“Betul sekali.”

Saat dia mengatakan itu, Ichigo meletakkan nasi ayam yang sudah dimasak di atas piring.

“Tapi tentu saja, ini masih belum selesai.”

Yah, aku pikir itu cukup jelas pada saat ini – pikir Ichigo dalam hati.

“Aku akan membiarkanmu menikmatinya setelah selesai.” ujar Ichigo sambil menyuruh Luna kembali ke kamar sebelah untuk melanjutkan memasak.

Melanjutkan masakannya, Ichigo memecahkan sebutir telur dan mengocoknya dalam mangkuk. Kemudian, Ia dengan cepat mencuci wajan panas dan menyeka permukaannya. Ia lalu menuangkan telur kocok ke dalam panci, dan menyebarkannya rata untuk memanaskan.

Telur dadar empuk yang dihasilkan kemudian diletakkan di atas nasi ayam di piring.

“Ini dia, sudah selesai.”

Hasilnya adalah menu omurice.

Ichigo kembali ke ruang tamu dan meletakkannya di atas meja.

“Wow…”

Wajah Luna penuh kegirangan saat melihat nasi omelet yang dibawakan untuknya.

Raut wajahnya tiba-tiba mengingatkan Ichigo pada wajah Sakura say Ia memberinya hadiah ulang tahun ketika mereka masih kecil. Kenangan yang baru ia ingat beberapa jam yang lalu.

Ekspresinya penuh dengan senyum yang mempesona.

Setelah meletakkan piring di atas meja dan menyelesaikan persiapan, Ichigo dan Luna duduk di kursi dan saling berhadapan.

““Itadakimasu.”” Kedua suara mereka saling tumpang tindih.

“Fufu…” Luna terkekeh lucu.

“… Apa ada yang salah?”

“Ah... Tidak. Hanya saja, sudah lama sekali saya tidak makan malam dengan orang lain.”

Maka dimulailah makan malam seorang pria dan seorang gadis yang baru saja mengalami pertemuan ajaib hari ini.

“Lezatnya!” seru Luna sambil mencicipi omurice. “Anda benar-benar pandai memasak, Ichigo-san. Saya belum pernah memakan omurice yang selezat ini sebelumnya.”

“Itu sih berlebihan.”

Tidak ada bahan khusus yang digunakan. Tidak ada bumbu khusus dan tidak ada produk mahal yang digunakan. Jadi seharusnya, rasanya sama seperti omurice biasa, tapi reaksinya sepertinya sedikit berlebihan…

“Tapi aku senang kamu menyukainya. Omurice ini... Aku pernah membuatnya untuk Saku- Ibumu sebelumnya.”

“Jadi untuk ibu juga…”

Mendengar hal itu, Luna menunduk menatap piring di depannya. Tentu saja, dibandingkan dengan sekarang, keterampilan memasak Ichigo benar-benar amatir, dan bahkan sekarang masih demikian. Meski begitu, Sakura di waktu itu, sama seperti Luna, mengatakan kalau rasanya enak dengan cara yang berlebihan juga.

Sakura bahkan berkomentar, 'Jika aku menikahi Ichi, aku akan bisa makan makanan lezat seperti ini setiap hari.'

Sebagai seseorang yang memendam perasaan padanya, Ichigo sangat senang mendengarnya.

(Kalau dipikir-pikir lagi, aku tidak percaya dia hanya tiga tahun lebih tua dariku. Dia sangat dewasa…)

“Kugiyama-san!?”

Saat dia mengenang kenangan yang indah bersama Sakura, Ichigo sepertinya ingin menangis sekali lagi.

Tidak bagus, tidak bagus – pikir Ichigo.

Ichigo tidak ingin membuat Luna khawatir jadi dia buru-buru menyeka air matanya.

“…Melihat anda begitu peduli padanya, saya yakin ibu sangat bahagia di surga sekarang.”

Dia tersenyum untuk menghibur Ichigo.

Setelah itu, Ichigo terus berbicara tentang Sakura saat makan malam. Luna mendengarkannya dengan tenang, dan Ichigo berbicara seolah-olah Ia sedang mengenang masa lalunya.

Sakura adalah teman masa kecil Ichigo dan mereka sudah sering berinteraksi sejak mereka masih kecil. Mereka selalu bermain bersama, belajar bersama, dan pergi ke berbagai acara bersama. Sakura adalah seorang ojou-sama, jadi sering kali dia harus pergi ke luar kota atau memiliki jadwal yang bentrok karena masalah keluarga, tapi dia selalu mengundang Ichigo kapan pun dia punya waktu.

Dan sekali lagi—

“Jadi, nama panggilan Kugiyama-san, begitu ibuku memanggilmu di masa lalu, adalah Ichi.”

"Jangan terlalu banyak tertawa, oke?"

Melihat wajah Luna yang tersenyum, Ichigo merasa tersipu.

“Saya merasa kalau ibu saya adalah orang yang sangat kuat, bahkan ketika dia masih kecil. Tapi entah kenapa, setelah mendengarkan cerita Kugiyama-san dan dari julukan 'Ichi', dia tampak agak kekanak-kanakan.”

“Ya, itu juga yang kupikirkan.”

Bila dipikir-pikir kembali, dia mungkin hanyalah gadis muda pada waktu itu.

(...Yah, kenangan bisa diperindah.)

Mereka melanjutkan percakapan yang menyenangkan seperti itu, dan sebelum mereka menyadarinya, baik Ichigo maupun Luna telah memakan semua makanan di piring mereka.

““Terima kasih atas makanannya.”” Setelah selesai makan, suara mereka tumpang tindih lagi.

“Ah, Kugiyama-san. Apa anda mau minum alkohol?” Tiba-tiba, Luna bertanya pada Ichigo.

“Eh?”

Tawaran itu begitu tiba-tiba sehingga Ichigo menghentikan langkahnya.

Ketika Ichigo menoleh, dia melihat Luna sedang menunjuk tasnya yang berisi laptopnya. Tidak, tepatnya, dia menunjuk ke kantong plastik dari minimarket yang diletakkan di sebelah tas.

Isinya wiski dan air soda yang dibeli Ichigo, tapi kantong plastik itu membiarkan isinya terlihat.

“Maaf, aku terlalu tidak sopan tentang itu.”

“Tidak, anda tidak perlu khawatir tentang itu ...”

Sikap Luna membuat Ichigo berpikir bahwa dia sangat disiplin dan sopan.

“Saya tidak tahu banyak tentang itu, tetapi orang-orang meminum wiski dengan air soda, kan? Saya sering melihatnya di TV.” Bertentangan dengan sebelumnya, Luna berkata kepada Ichigo dengan perasaan termotivasi, “Saya bisa melakukannya jika anda mau. Saya akan menuangkan minuman tersebut untuk anda”

“Ah, tidak, tidak usah ...”

Tawaran dari Luna memang menggiurkan. Namun, sedikit penyesalan moral menghantam Ichigo.

Situas di mana dirinya yang sudah dewasa meminum alkohol di depan anak di bawah umur, terlebih lagi di rumah anak di bawah umur tersebut!

Ichigo merasa kalau itu bertentangan dengan moral publik. Meski, itu tergantung pada waktu dan situasi.

“Ah, mungkin anda tinggal jauh dari sini? Atau apa anda punya mobil yang diparkir di dekat sini? ” Luna berkata dengan prihatin saat merasakan suasana hati Ichigo yang tidak tenang.

“Tidak, rumahku cukup dekat dalam jarak berjalan kaki. Jadi itu tidak masalah.”

“Syukurlah kalau begitu. Sudah lama sejak saya merasa sangat senang jadi saya berharap Kugiyama-san akan menikmatinya sama seperti saya.” Luna memiringkan kepalanya dan berkata dengan tatapan memelas.

“Tolong, izinkan saya menuangkan minuman untuk anda, Kugiyama-san.”

(…Ugh…)

Luna tidak punya niat buruk. Dia hanya menyarankan itu sepenuhnya karena kebaikan hatinya.

Bagaimanapun juga, ini bukannya aku yang memaksanya untuk minum denganku. Seharusnya tidak ada masalah – pikir Ichigo.

Tentu saja, Ichigo harus sangat berhati-hati agar Luna tidak merasakan alkohol.

(... Kalau begitu cuma sedikit saja.)

Demi gadis di depannya, Ichigo memutuskan untuk menerima tawarannya.

“Kalau begitu, saya akan menyiapkan gelasnya.” Begitu dia mengatakan itu, Luna segera membawa kembali gelas dari dapur. “Anda perlu memasukkan es ke dalamnya, kan? Saya pernah melihatnya di sebuah iklan.” Apalagi dia menambahkan es dari freezer ke dalam gelas.

Luna meletakkan gelas di atas meja, diikuti dengan membuka botol wiski. Kemudian, dia mencoba menuangkannya ke dalam gelas, tapi…

“…Um, seberapa banyak…?”

Tentu saja, dia tidak memiliki pengetahuan terperinci, jadi dia tidak tahu apa yang harus dilakukan selanjutnya.

Melihat Luna yang tampak kebingungan, Ichigo hanya bisa tersenyum. Ichigo merasa seolah-olah Luna adalah anaknya sendiri, yang sedang bermain-main menjadi orang dewasa.

“Yah, sebanyak ini.” Ichigo memutuskan untuk membantunya mengambil botol dan menuangkannya ke sekitar sepersepuluh gelas. “Kamu tidak perlu menuangkan wiski terlalu banyak ke dalam gelas.”

“Heh…”

“Apa kamu punya sendok?”

Meminjam sendok dari Luna, Ichigo menggunakannya untuk mengaduk es dan wiski. Ketika es sudah sedikit mencair, Ia mencampurnya dengan air soda.

“Yah, sesuatu seperti ini.”

Ichigo meminum cairan berbusa yang dihasilkan, yang berwarna kuning muda. Dengan rasa wiski tua ditambah stimulasi karbonasi, minuman keras tersebut terasa kaya rasa.

“Saya mengerti. Saya akan berlatih sekarang…”

“Berlatih…”

Luna mengeluarkan gelas lagi dan membuat highball [2]sendiri. Dia meniru cara yang dilakukan Ichigo sebelumnya. 

Wajahnya dipenuhi dengan antusiasme.

“Bagaimana menurut anda?”

“Biar aku mencicipinya… Ya, ini enak.”

“Syukurlah.”

Dia tampaknya menjadi pembelajar yang cepat dan keterampilan Luna meningkat dengan cepat.

Setelah itu, sambil menikmati highball buatan Luna, Ichigo terus membagikan kenangannya.

Namun, saat menenggak highballs yang dibuatnya, Ichigo mulai merasa kalau dirinya cukup mabuk. Dan Ia tidak punya waktu untuk mendapatkan kembali kesadarannya.

Sejak itu, Ichigo tidak tahu sudah berapa lama waktu yang berlalu. Langkah energik Luna, tipikal dari masa muda, telah membuat Ichigo lengah dan dia mendapati dirinya di ambang mabuk.

“Dan kemudian, Sakura, dia ...” Dipengaruhi efek alkohol, Ichigo dengan penuh semangat berbicara tentang kenangannya bersama Sakura.

“……”

Untuk beberapa lama, Luna hanya menatap wajah Ichigo dalam diam.

“Hmm? Ada apa, Luna-san?”

“…Kugiyama-san, apa anda menyukai ibu saya?”

Ia hampir menyemburkan highball yang telah diminumnya. Untungnya, cairan itu tidak berceceran di lantai, tapi gelembung kuningnya bertebaran di udara dan Ichigo tersedak.

“A-Apa yang sedang kamu bicarakan ...”

“Saya bisa mengetahuinya dari cara anda berbicara, Kugiyama-san.”

Paling tidak, Ichigo berpikir bahwa dia telah mempertimbangkan bahwa dia adalah ibu Luna dan hanya berbicara tentang Sakura sebagai teman masa kecil yang merupakan teman baiknya.

Mungkin, efek dari alkohol membuatnya berbicara terlalu banyak, dan Ichigo mengatakan sesuatu yang bisa dirasakan Luna.

“Saya cemburu pada ibu. Mempunyai orang sekeren seperti Kugiyama-san, yang sangat menyukainya.”

“…Tidak,” Ichigo langsung berusaha menyangkal komentar Luna.

Saat itu – Mungkin karena keadaan mabuknya menjadi lebih kuat, proses berpikir Ichigo telah berhenti bekerja dengan baik.

“…Itu sama sekali tidak benar.” Sebelum Ia bisa menyangkalnya, perasaannya yang sebenarnya keluar dari mulutnya. Mengoreksi kata-kata Luna, Ichigo berkata, “Saat itu, aku benar-benar masih kecil... Aku pikir Sakura hanya menganggapku sebagai adik laki-lakinya.”

“Itu tidak benar!” Luna dengan tegas menyangkal penghinaan diri Ichigo.

“Eh?”

“Saya… saya sangat menghormati ibu. Dia adalah orang yang kuat. Bahkan setelah kepergian ayah, dia membesarkan saya sendirian.”

“……”

“Dia mengajari tentang rasa syukur dan bagaimana menjalani kehidupan yang baik… Dia juga mengajari bagaimana bersikap sopan dan hormat di masyarakat.”

Luna mengagumi Sakura, dan Sakura pun membesarkan Luna sebagai putrinya dengan penuh cinta dan kasih sayang.

Bahkan jika Ichigo mengesampingkan fakta bahwa mereka mirip dalam penampilan, dia bisa merasakan suasana Luna yang mengingatkannya pada Sakura…

Kisah Sakura setelah dia menghilang dari kehidupan Ichigo – Bahkan dengan pikiran yang mabuk dan kacau, Ichigo mendengarkan dengan seksama cerita yang Luna mulai ceritakan.

“Ibu dulu sering bercerita tentang Kugiyama-san.”

“Eh…”

“Saat membicarakan tentang masa lalunya … Ibu tampak sangat bahagia dan gembira. Itu sebabnya saya bisa langsung mengenali Ichigo-san lebih awal. Cerita yang ibu sampaikan meninggalkan kesan begitu kuat pada saya, jadi saya yakin, Ibu juga, dia…” kata Luna dengan ekspresi serius.

“Kurasa dia menyukai anda, Kugiyama-san.”

“……”

“Ah, itu hanya asumsi saya sendiri. Dia tidak pernah memberitahu saya secara langsung. Terlepas dari apa yang terjadi, ibu dan ayah memiliki kehidupan pernikahan yang bahagia dan harmonis, dan saya juga sangat mencintai ayah …”

Tapi mengesampingkan itu – Tentang anak laki-laki dari cerita ibunya, Luna mengatakan bahwa dia tertarik pada Ichigo Kugiyama.

“…Kugiyama-san, apa anda sangat mabuk?” Luna bergumam untuk memastikan. “…Aku selalu mengagumi Kugiyama-san sejak saya masih kecil. Ibu sering bercerita tentang anda, dan saya membayangkan anda sebagai orang yang sangat baik. Anda menjadi orang ideal yang selalu saya kagumi.” Luna mengakui perasaannya seolah-olah dia memendamnya terlalu lama.

Sama seperti ketika Ichigo berbicara tentang Sakura, dengan nada suara yang berapi-api, Luna pun melanjutkan,

“…Saya merasa sangat senang kita bisa bertemu hari ini. Sekarang, saya yakin bahwa cerita itu benar.”

“Jadi begitu …”

Mendengar hal tersebut, pemikiran bahwa Sakura mungkin merasa seperti itu padanya, membuat Ichigo merasakan sesuatu di dalam dirinya, seolah-olah jantungnya dicabut dari dadanya.

“Luna-san.”

Kemabukan itu menyebabkan kabut terbentuk di kepala Ichigo.

Saat mencoba memproses semua pikiran di benaknya, Ichigo memanggil nama Luna.

“Ya?”

Luna hanya menatap kosong ke arah Ichigo.

Untuk sementara waktu, meski dia tidak minum, tapi pipinya tampak agak memerah.

“Jika kamu mempunyai masalah atau kesulitan, kamu bisa mengandalkanku dalam apapun. Aku akan membantumu sebisa mungkin.”

Meski telah kehilangan orang tuanya, dia harus tetap mendapat dukungan dari keluarga orang tuanya. Secara finansial, dia tidak mengalami kesulitan. Ichigo mengetahui hal tersebut tapi masih ingin mengatakan itu.

“Apapun…?”

“Ya, untungnya kita bertemu hari ini. Bahkan jika itu hanya permintaan kecil, kamu bisa memberitahuku dan aku akan melakukan apa pun yang aku bisa. ”

Dia berbicara dalam suasana kedewasaan. Hal-hal yang Ichigo tidak bisa katakan atau lakukan pada Sakura saat itu. Seakan-akan ingin menebus dosanya, Ichigo mengatakan itu pada gadis yang mirip sepertinya.

Pada saat yang sama, dia bersandar lemas. Rupanya, Ia terlalu banyak minum sehingga Ia tidak bisa mengendalikan diri. Merasakan sensasi yang tidak bisa digambarkan hanya sebagai rasa kantuk, Ichigo menjatuhkan diri ke meja.

Dari sudut matanya, Ichigo bisa melihat Luna membuat ekspresi yang merupakan campuran antara terkejut dan malu dengan kata-katanya tadi.

“…Ya terima kasih banyak.” Sedetik kemudian, menanggapi tawarannya tadi, Luna kemudian berkata, “Aku selalu mencintaimu, Kugiyama-san. Maukah kamu menjadikanku kekasihmu?”

Ichigo yang sudah tidak bisa berpikir jernih dan nyaris tidak bisa memenuhi permintaannya, dengan bercanda menjawab,

“Haha… aku tidak keberatan…”

Hanya itu yang bisa diingat Ichigo tentang malam itu.

 

※※※※※

 “… Mmm.”

Rasa sakit yang menjalar dan bertahap menghantam kepala Ichigo saat dirinya bangun.

Ichigo bisa merasakan sensasi lembut menyelimuti tubuhnya. Dari perasaan yang menutupi punggung dan perutnya, dia tahu bahwa dia sedang berbaring di tempat tidur.

“…Hmm?”

Rupanya, Ia tertidur tanpa Ia sadari. Ingatannya dari saat sebelum tertidur masih sangat kabur. Dan dia mengalami sedikit sakit kepala.

(...Apa aku habis minum-minum?)

Menatap langit-langit dengan mata mengantuk, pikiran Ichigo mengembara.

Mengingat kejadian tadi malam, Ia menolong seorang gadis SMA yang sedang dirayu oleh pemabuk. Setelah itu, Ia pergi ke rumah Si gadis SMA itu karena dia ingin berterima kasih padanya. Dan kemudian, ketika dia mengetahui bahwa dia adalah putri Sakura...

“Hah…”

Pada ingatan yang terlalu tidak realistis, Ichigo menghela nafas dan berbalik dalam tidurnya.

Mana mungkin. Itu sangat mustahil, aku yakin itu hanya mimpi – pikir Ichigo dalam hati.

“…Tidak.”

Saat itulah Ichigo menyadari bahwa langit-langit yang dilihatnya tidak sama dengan yang biasa Ia lihat di rumahnya.

Rumahnya, sebuah perumahan yang disewakan oleh perusahaan sebagai bagian dari keuntungan menjadi manajer.

Ada sesuatu yang berbeda dari langit-langit kamar ini. Berbeda dengan langit-langit kamarnya, di mana ia biasanya tidur sendirian di rumah yang agak terlalu besar untuk satu orang seperti dirinya.

(…Kamar ini …)

“Selamat pagi, Ichi.”

Ichigo mendengar suara orang memanggilnya. Pada saat yang sama, sesuatu mendarat di perut Ichigo saat Ia terbungkus futon.

Itu dia, gadis SMA yang Ia selamatkan tadi malam.

Gadis tersebut mengenakan seragam sekolah, dan memanggil Ichigo dengan nama panggilan yang biasa Sakura panggil.


Gadis itu – Hoshigami Luna, mengangkangi perut Ichigo melalui futon dengan senyum mempesona di wajahnya.

Ujung rambut hitam berkilaunya melengkung di atas dada Ichigo, menyebarkan aroma lembut sampo.

“Sarapan sudah siap.”

“Eh… Tidak, um…”

“Jam berapa pekerjaanmu dimulai? Apa tidak apa-apa jika kamu tidak terburu-buru?”

“Masih ada waktu… Tunggu, itu tidak penting. Um, Luna-san, ini…?”

Saat Ichigo mulai panik, Luna menjelaskan sambil tertawa.

“Tadi malam, Ichi hampir tertidur di kursi karena terlalu banyak minum. Itu sebabnya aku membawamu ke tempat tidur dan kamu akhirnya tinggal di tempatku.”

“A-Aku minta maaf!” teriak Ichigo ketika Ia menyadari telah melakukan sesuatu yang salah.

Dia sangat mabuk sampai-sampai membuatnya tertidur di rumah seorang gadis SMA.

Ichigo merasa malu dengan keteledorannya.

“Aku sungguh menyedihkan ...”

“Tidak apa-apa. Kamu tidak perlu meminta maaf.”

Luna kemudian melanjutkan seolah-olah itu hal yang wajar,

“Lagipula, kita adalah sepasang kekasih.”

“…Eh?”

Melihat wajah Ichigo yang tercengang, Luna tersenyum. Pipinya yang sedikit memerah tampak malu, dan senyum yang menghiasi wajahnya merupakan perpaduan dari rasa malu dan kegembiraan.

“Kamu bilang kalau kamu tidak keberatan jika kita menjadi sepasang kekasih.”

“…Ah…” gumam Ichigo sambil mengingat kejadian semalam.

Tepat sebelum Ia kehilangan kesadaran, sepertinya ada semacam kesalahpahaman dalam percakapan yang mereka lakukan.

Dalam keadaan dan situasi saat itu, pikiran Ichigo menjadi linglung.

Ya, memang Ichigo memang mengatakan itu.

“… Apa—”

Tapi itu cuma candaaan.

“—Apa  yang kamu bicarakan? Mana mungkin itu bisa terjadi.”

Ichigo tahu kalau itu kesalahannya karena menjawab begitu ceroboh. Namun, permintaan yang tidak realistis seperti itu tidak dapat disetujui dengan mudah. Mana mungkin Ichigo bisa menerimanya.

“Dengan putri Sakura… Tidak, sedari awal, seorang dewasa yang bekerja dan seorang gadis SMA menjalin hubungan seperti sepasang kekasih…”

“Kamu tidak menyukainya, Ichi? Kamu tidak ingin aku menjadi kekasihmu?” Luna bertanya sambil menegakkan punggungnya, dan mengangkat bagian atas tubuhnya.

Dari sudut pandang Ichigo, Ia bisa melihat hampir keseleruhan sosoknya. Luna mengenakan seragam sekolah SMA khusus perempuan yang bersih dan indah.

Dia memiliki rambut hitam panjang, hidung mancung, kulit putih bening tanpa cacat, mata sipit, dan bulu mata panjang. Itu adalah bentuk yang bisa dikagumi karena keindahannya secara gratis.

Tidak – Lebih penting dari itu, ada unsur kesenonohan yang membuatnya tidak realistis dan mustahil bagi Ichigo untuk menerima permintaannya.

“Kemarin, setelah Ichi menyelamatkanku, aku bertanya-tanya apakah mungkin aku bisa melakukan sesuatu untuk membalas budimu. Kupikir Ichi akan sangat senang jika kita bisa menjadi sepasang kekasih…”

“Untuk alasan itu…”

“Aku serius.”

Dia terlihat dan terdengar seperti Sakura, cinta pertama Ichigo dan ibu Luna.

Dengan ekspresi serius di wajahnya, dia mendekatkan wajahnya ke wajah Ichigo.

“Nee Ichi…”

Luna pun berkata,

“Maukah kamu menjadikanku sebagai kekasihmu?”


 

<<=Sebelumnya  |  Daftar isi  |  Selanjutnya=>>


[1] Golden Week adalah tanggal libur nasional di jepang yang terjadi di awal Mei
[2] Highball adalah sebutan dari minuman wiski yang dicampur soda

close

Posting Komentar

Budayakan berkomentar supaya yang ngerjain project-nya tambah semangat

Lebih baru Lebih lama