Chapter 1 — Putri dari Cinta Pertamaku
Ia menekan tombol 'latte' saat berdiri di depan mesin kopi
di ruang istirahat.
Mungkin karena tidak ada orang
lain di dalam ruangan tersebut, suara mesin yang sudah dikenalnya, terdengar
sedikit lebih keras.
Setelah beberapa saat, jumlah
dan komposisi kopi yang tepat diseduh dan dituangkan ke dalam cangkir berisi
bubuk krim, menghasilkan cairan berwarna cokelat muda.
Di perusahaan tempatnya bekerja,
ada banyak orang yang merasa aneh bahwa Ia hanya meminum kopi manis, tapi
alasan mengapa banyak orang menyukai kopi hitam mungkin karena mereka juga suka
merokok.
Sebagai orang yang tidak
merokok, Ia tidak bisa berempati.
(...
dari awal, Aku selalu suka yang manis-manis.)
Rambutnya hitam dan dipotong
dengan panjang yang sesuai, jadi meskipun Ia tidak menatanya, penampilannya takkan
memberikan kesan kumal.
Untuk baju, Ia mengenakan
setelan kemeja tanpa dasi, dan celana panjang serta sepatu kantor standar. Ia berpakaian dengan
cara yang memberi nuansa bersih dan rapi.
Wajahnya yang meski terlihat
masih muda, tapi juga memiliki aura kedewasaan.
Ichigo Kugiyama sedang berdiri
di dekat jendela, melihat area luar sambil menyesap latte dari cangkirnya.
Di langit biru yang tinggi,
awan tebal yang berwarna sedikit kelabu, melayang dengan pelan. Sebuah
pemandangan langit yang khas sebelum musim panas.
Saat ini sudah memasuki musim
hujan.
Ia berpikir kalau liburan Golden Week[1] baru terjadi beberapa hari
yang lalu, tapi sekarang, Festival Obon Agustus sudah dekat.
(Musim
sibuk berikutnya sudah dekat…)
Saat memikirkan hal ini, Ichigo
menghela nafas
“Kurang tidur?”
Tanpa Ia sadari, sudah ada
orang lain yang tiba di ruang istirahat.
Dilihat dari pemantik api dan
rokok yang dipegang tangannya, Ia sepertinya baru saja kembali dari ruang
merokok.
Tidak seperti Ichigo, Ia
mengenakan pakaian yang lebih cocok untuk pekerjaan dan lebih mudah untuk
bergerak.
Ia merupakan bawahan laki-laki
yang umurnya jauh lebih muda dari Ichigo.
“Akhir-akhir ini, kita
disibukkan dengan banyak acara baru, seperti perubahan area penjualan, dan
pembangunan fasilitas baru.”
“Memang … Tapi berkat usaha
semua orang kita bisa mencapai semua itu.”
Ichigo tersenyum saat
mengatakan ini.
“Lagi-lagi dengan sikap
merendah anda... Itu semua berkat manajer—”
“Manajer Kugiyama.”
Kemudian, karyawan lain memasuki
ruang istirahat.
Orang yang masuk merupakan
karyawan wanita baru yang baru saja bergabung musim semi ini.
“Manajer Regional ada di sini.”
“Apa itu urusan mendesak? Saat
ini, manajer sedang istirahat, jadi bicaralah dengan manajer regional dan
mencari cara untuk— ”
“Tidak apa-apa. Aku akan
menemuinya sekarang.”
Ichigo menuangkan latte ke
tenggorokannya dalam satu tegukan dan meletakkan cangkir di wastafel.
“Aku mungkin akan mulai
berpatroli sekarang, jika terjadi sesuatu, hubungi aku.”
“Siap.”
“Ya.”
Setelah mengatakan itu, Ichigo
meninggalkan ruang istirahat.
Di dalam ruangan sitirahat,
hanya ada karyawan wanita baru dan karyawan pria.
“Pasti rasanya sulit untuk
menjadi manajer, bukan?”
“Ya… Tapi aku menghormatinya.”
Ungkap karyawan laki-laki itu
sambil membuat secangkir kopi untuk dirinya sendiri di mesin kopi.
Ia benar-benar menghormati
Ichigo dari lubuk hatinya.
“Kurasa itulah jenis dari ‘orang dewasa cakap’ yang dipercaya oleh
perusahaan ini.”
–
Lima belas tahun telah berlalu sejak hari dimana Sakura menghilang.
–
Ichigo Kugiyama yang berusia 28 tahun, saat ini bekerja sebagai manajer toko di
department store besar dan di bawah naungan perusahaan ritel berskala nasional.
※※※※※
“Sepertinya kamu melakukannya
dengan cukup baik untuk pertama kalinya sebagai manajer.”
Department store yang memiliki
area penjualan luas itu sedang ramai dikunjungi pengunjung.
Toko yang ditangani Ichigo
berlokasi di sudut NSC atau Neighborhood
Shopping Center Pusat. Sebuat pusat perbelanjaan di mana toko independen
tersebar di seluruh lokasi, dan dibangun sedikit lebih jauh dari pusat kota.
Department store ini menjual
segala sesuatu, mulai dari kebutuhan sehari-hari, furnitur, hingga bahan dan
alat yang dibutuhkan untuk renovasi, konstruksi, atau bahkan proyek DIY yang
sekarang ini sedang naik daun.
Sambil melihat-lihat seisi
toko, Ichigo sedang berbicara dengan Manajer Regional, orang yang bertanggung
jawab untuk mengawasi dan mengelola semua toko di area tersebut.
Manajer Regional adalah seorang
pria dewasa bertubuh kecil, kekar, dan berkacamata. Ia mempunyai karir yang
panjang di dalam perusahaan dan tipe bos yang relatif sopan serta mudah untuk
diajak berbicara.
“Proposal yang kamu ajukan
tampaknya sangat efektif. Mengingat penjual terbaik, mengembangkan area
penjualan sehingga merangsang motivasi orang untuk membeli barang, tampaknya
mengarah pada hasil yang lebih baik. Angka penjualan tetap kuat seperti
sebelumnya.”
Ichigo hanya membalas dengan
senyuman masam terhadap manajer yang menghujaninya dengan pujian berlebihan.
“Saya hanya membuat proposal
berdasarkan masukan staf, toko-toko di sekitar, dan topik penjualan yang sedang
trending di media sosial. Saya memang membuat rencana, tapi bawahan dan pekerja
sambilan lah yang melakukan semua pekerjaan.”
Mendengar jawaban rendah hati
Ichigo, Manajer Regional menepuk pundaknya dan berkata, “Itu baru pekerjaan
manajer yang baik.”
Saat mereka hendak mendekati
etalase.
“Hah?” Di sana, di sudut khusus
yang didirikan di toko, Manajer Regional memperhatikan bahwa beberapa pekerja
sambilan melakukan semacam ajakan. “Itu…?”
“Seperti yang sudah saya
laporkan pada rapat Manajemen Mingguan tempo hari, ini merupakan strategi yang
bertujuan untuk meningkatkan jumlah pelanggan dengan menugaskan lebih banyak
staf untuk melakukan lebih banyak iklan di toko-toko.”
“Ah, aku pikir toko lebih fokus
untuk mendapatkan anggota aplikasi?”
Seorang pelanggan yang relatif
tua terlihat mengalami kesulitan mengoperasikan smartphone, dan sekelompok
pekerja sambilan berdiri di sampingnya, berusaha membantunya memasang aplikasi
yang telah dibuat dan didistribusikan perusahaan sebelumnya.
“Ya, kami mempunyai pekerja
sambilan yang lebih muda, mereka yang lebih memahami teknologi cenderung
membantu pelanggan yang lebih tua mendaftar ke aplikasi. Kami juga memberi tahu
mereka tentang penawaran khusus dan sistem yang kami miliki, sehingga mereka
akan kembali lagi dan lagi. Tujuan kami adalah untuk mendapatkan pelanggan
tetap.”
“Seperti yang diharapkan, kamu
cepat bertindak begitu menemukan targetmu.” Manajer Regional menatap Ichigo
dengan senyum di wajahnya. “Ambisius dan berbakat. Mungkin waktumu untuk mendapatkan
promosi berikutnya tidak lama lagi.”
“Haha, saya lebih suka bekerja
dan bersantai di posisi ini.”
Saat mereka berdua sedang
melakukan percakapan ini…
“Oh, lihat, ada Manajer dan
Manajer Regional.”
Saat Ichigo sedang
melihat-lihat toko bersama atasannya, para karyawan toko juga memperhatikan
mereka.
Orang yang berbicara adalah para
mahasiswa paruh waktu yang bekerja di toko.
“Sepertinya Manajer mendapat
pujian lagi.”
“Jadi Ia dekat dengan Manajer
Regional ...”
“Apa posisi manajer itu prospek
yang menjanjikan?”
“Ya iyalah … Pertama-tama,
sungguh menakjubkan bahwa pada usia 28 tahun, dia sudah menjadi manajer dari
toko peringkat-S.”
“Toko peringkat-S?”
“Toko terlaris pada tahun ini.
Begitulah cara perusahaan menilai kualitas toko.”
Ketika salah satu pekerja paruh
waktu mengajukan pertanyaan, pekerja lain mulai menjelaskan.
“Eh…? Kalau begitu,
pendapatannya pasti cukup bagus, ‘kan?” Seorang mahasiswi paruh waktu juga ikut
menimpali.
"Jika mengecualikan dewan
eksekutif, Ia mendapatkan salah satu perlakuan terbaik dari perusahaan, tapi
itu cuma rumor yang aku dengar.”
“Eh, begitu ya?!”
“Kalian semua sedang membicarakan
apa?” Merasakan mereka bersemangat tentang sesuatu, Ichigo mendekati mereka dan
bertanya.
“Oh, pak Manajer, di mana
Manajer Regional?”
“Beliau baru saja menyelesaikan
patroli, jadi Beliau mau kembali ke kantornya. Jadi, apa kalian menggosipkan
sesuatu saat melihatnya berbicara denganku?”
“Tidak ada, Pak.”
“Kami baru saja berbicara tentang
beberapa real estat utama.”
Dua mahasiswi paruh waktu
saling memandang.
“Real estate? Apa kamu sedang
mencari tempat tinggal?”
“Tidak, bukan itu.”
“Apa pak Manajer orang bebal?”
Gadis-gadis pekerja paruh waktu
menertawakannya. Tentu saja, Ichigo sendiri tahu apa yang Ia katakan.
“Kalau boleh tau, apa pak
Manajer sudah punya pacar?”
“Sekarang? Aku single.”
“Eh, tak disangka. Saya pikir
Anda akan populer di kalangan gadis-gadis, pak. ”
Para pekerja paruh waktu mulai
menjadi bersemangat.
Meski Ichigo dipuji, tapi Ia
tidak terlihat terlalu senang mengenai hal itu.
…Setiap kali berbicara tentang
kehidupan asmaranya, Ia selalu tampak enggan. Itu sebabnya, wajahnya tampak
terlihat suram.
※※※※※
Matahari sudah terbenam, dan
kegelapan malam menyelubungi langit.
“Ya, ya … aku mengerti. Kamu
bisa meninggalkan kantor apa adanya. Terima kasih atas kerja kerasmu.”
Ichigo menerima telepon dari
asisten manajer di toko.
Setelah menerima laporan bahwa
toko akan tutup, Ichigo menutup telepon genggamnya.
Ichigo sudah pulang dari tempat
kerjanya lebih awal hari ini, dan setelah kembali ke rumah, Ia mengunjungi
stasiun di dekat rumahnya. Daerah di sekitar stasiun cukup ramai dengan banyak
restoran dan toko pakaian berjejer di sepanjang jalan.
Di teras kafe di salah satu
sudut gedung, Ia sedang mengerjakan beberapa dokumen, dan baru saja selesai.
“Aku harus pulang.”
Usai mematikan laptopnya,
Ichigo lalu meninggalkan kafe.
Butuh waktu sekitar 20 menit
berjalan kaki dari toko menuju rumahnya yang disediakan perusahaan. Saat ini,
Ichigo memilih jalan kaki sebagai bentuk dari olahraga.
“Hah…”
Berjalan sembari membawa laptop
di satu tangan membutuhkan sejumlah banyak tenaga.
Saat berjalan di sepanjang
trotoar yang diterangi oleh lampu jalan, Ichigo menghela napas dalam-dalam.
Ia melihat-lihat area
sekitarnya, tapi pada jam-jam malam di hari kerja begini, area jalanan menjadi
lumayan sepi.
Kemudian, dari seberang jalan,
bisa terlihat sepasang laki-laki dan perempuan.
Mereka
mungkin pelajar – pikir Ichigo.
Saat pasangan itu mengobrol dan
tertawa, pasangan tersebut berpapasan melewati Ichigo.
(...Eh?
Apa hadiah itu ...?)
Sepintas, si gadis terlihat
memegang kantong kertas yang sepertinya berisi sesuatu yang penting. Dari apa
yang bisa didengar dari percakapan mereka, sepertinya itu adalah hadiah dari
pacarnya.
(Apa
ini mungkin ... hadiah untuk ulang tahunnya?)
Ichigo menebak-nebak isi dari
hadiah itu. Melihat tren di tahun ini, dia pikir itu mungkin wewangian ruangan
atau sabun tubuh ...
Ichigo menyadari bahwa dia
menebak seperti itu mungkin karena Ia sendiri bekerja di department store
sendiri. Dilihat dari penampilan mereka, mereka mungkin pelajar SMA. Jadi
hadiahnya mungkin sesuatu yang lebih sederhana, sesuatu seperti… aksesoris…
“……”
Saat sedang memikirkan hal ini,
ingatan tentang teman masa kecilnya – Sakura, kembali muncul di benaknya.
Ichigo juga memberi Sakura
hadiah ulang tahun. Namun, karena pada saat itu dirinya masih anak-anak, Ia
tidak dapat menyiapkan sesuatu yang mahal.
Oleh karena itu, Ichigo yang
selalu pandai membuat sesuatu dengan tangannya, memutuskan untuk menebus
kekurangan finansialnya dengan kreativitasnya. Menggunakan majalah gaya hidup
ibunya sebagai referensi, Ichigo membuat sendiri lilin wangi, manisan, dan
barang-barang lain untuk diberikan kepada Sakura.
Dan untuk hadiah ulang tahun
Sakura, Ia membuat aksesoris perak dari tanah liat perak murni… bila
diingat-ingat kembali, ide tersebut sangat kekanak-kanakan sampai-sampai
membuatnya bergidik karena malu.
'Wow…
Terima kasih, Ichi. Aku akan menghargainya.’
Ichigo tidak menyangka bahwa
bahkan sekarang, Ia masih mengingat suara Sakura dan ekspresi kegembiraannya.
Sebagai balasan atas hadiahnya,
Sakura membuat cemilan buatan sendiri untuk ulang tahun Ichigo.
Itu adalah kenangan yang agak
manis dan asam.
Rambut hitam panjangnya yang
terlihat palsu, lekukan hidungnya yang halus, bulu matanya yang panjang,
bibirnya yang berwarna merah muda, senyumnya…
Sudah 15 tahun berlalu sejak
saat itu. Ichigo serkarang menjalani kehidupan yang memuaskan, baik secara
finansial maupun sosial.
Namun, dalam urusan asmara,
dirinya masih abu-abu. Ichigo sadar betul bahwa tidak wajar bagi seorang pria
yang berusia 28 tahun, masih terjebak dengan ingatan cinta pertamanya di usianya
... Tapi itulah seberapa besar arti keberadaan Sakura bagi Ichigo, dan itu
adalah kenangan yang takkan pernah pudar.
Saat merasakan ketidakberdayaan
pada situasi saat ini, Ichigo menundukkan kepalanya dan menghela nafas, “Hah
...”
Merasa putus asa dan tertekan,
Ichigo bergumam, “Mungkin aku akan minum-minum dan pulang ...”
Seolah tertarik oleh cahaya
penerangan, Ichigo memasuki sebuah minimarket yang berada tak jauh dari situ.
Ia sudah memiliki bahan untuk
makan malam di rumah, jadi Ia hanya membeli alkohol. Hari ini, Ia ingin meminum
sesuatu yang sedikit kuat untuk menghilangkan kegundahannya. Ichigo membeli
wiski dan air soda. Setelah meninggalkan minimarker, Ichigo melanjutkan perjalanan
pulang seraya berpikir, "Aku akan pulang dan minum sepuasnya”
–— Saat itulah ada sesuatu yang
terjadi.
“Ayolah, tidak masalah, kan?”
Tepat di luar area perbelanjaan
yang ramai, di trotoar berbatu, Ichigo mendapati dirinya berada di tengah
jalan, dan mendengar suara yang begitu liar dan kasar.
Saat menoleh kecarah sumber
suara, Ia melihat seorang pria dan gadis yang tampaknya berada dalam semacam
perselisihan. Tidak… Setelah diamati baik-baik, sepertinya gadis itu sedang
dirayu oleh si pria.
Pria yang terlihat dewasa itu
bertingkah mencurigakan.
Ada sekaleng minuman beralkohol
tinggi yang tergeletak di kaki pria tersebut, Ia mungkin membelinya di toserba
terdekat, atau mungkin dari tempat yang baru saja Ichigo hampiri.
Rupa-rupanya, pria itu sedang
mabuk.
Sedangkan di sisi lain, gadis
itu tampaknya masih pelajar SMA bila dilihat dari seragam sekolah khusus
perempuan, yang cukup terkenal di daerah sekitar.
Dia hanya sedikit di luar
jangkauan cahaya penerangan jalan, jadi Ichigo tidak bisa melihat wajahnya
dengan jelas, tapi Ia bisa mengetahui kalau gadis tersebut mempunyai atmosfer
feminin yang samar-samar.
“Ayo ngobrol dulu sebentar sama
abang.” Pria mabuk itu berkata demikian saat memaksanya.
Ichigo bahkan tidak tahu apakah
pria itu berkata serius atau cuma bermain-main.
Tetapi gadis SMA itu tidak
mengambil sikap yang terlalu menjijikkan.
“Um, aku dalam sedikit masalah,
jadi aku sedang terburu-buru ...” ujarnya dengan senyum kaku.
Namun, meski dari luar dia
terlihat tenang, tapi gadis itu jelas-jelas dalam masalah. Mungkin karena sudah
malam, tapi tidak banyak orang di sekitar tempat itu. Orang-orang yang
kebetulan lewat mengabaikan mereka, mungkin karena mereka sedang terburu-buru
atau tidak mau terlibat.
Apa
boleh buat... pikir Ichigo.
“Permisi.”
Atas keputusan spontannya,
Ichigo segera berdiri di antara pria pemabuk dan gadis SMA itu.
Bahkan di tokonya sendiri, para
pekerja paruh waktunya kadang-kadang mendapat godaan dari pelanggan. Cara untuk
menghadapi situasi seperti itu dengan tegas sudah terpatri di kepala Ichigo.
Baik si pemabuk maupun gadis
SMA itu menghentikan langkah mereka ketika melihat Ichigo tiba-tiba muncul.
“Dia sepertinya tidak
menyukainya, jadi bisakah anda berhenti?” Ichigo berkata sambil berdiri di
depan pria mabuk itu.
Pria itu kemudian berkata, “Apa?!”
dengan nada kesal dan tidak jelas.
“Dia masih di bawah umur, dan
perilaku berlebihan bisa dianggap paksaan.”
Tanpa meninggikan suaranya atau
menjadi terlalu memaksa, Ichigo hanya menjelaskan situasinya. Ichigo mengambil
pendekatan yang sangat matang untuk situasi ini.
Sedangkan di sisi lain, si
pemabuk berkata dengan miat permusuhan yang meningkat, “Kamu siapa? Ini bukan
urusanmu.”
Apa
boleh buat, pikir Ichigo.
“Sebenarnya, gadis ini adalah
pekerja paruh waktu di toko kami.”
Jika Ichigo mengungkit bahwa
gadis tersebut mempunyai keterkaitan dengannya, komposisi dua lawan satu akan lebih
kuat, dan pihak lain mungkin akan mengundurkan diri.
Sebuah kebohongan yang sah
untuk meredakan situasi, dan itu akan menjadi alasan yang bagus di kemudian
hari.
Namun, pria pemabuk itu tidak
menggubrisnya dan berkata, “Masa bodo dengan itu.”
Situasinya jadi semakin memanas.
Pria pemabuk itu sepertinya tidak ingin berbicara dengannya ... Tidak,
percakapan itu bahkan tidak pernah dimulai sejak awal. Dengan kata lain, Ia
pasti sedang sangat mabuk.
Ichigo bisa mengetahui kalau
gadis SMA di belakangnya ketakutan oleh pemabuk yang memamerkan taringnya
dengan mata hampa.
Namun sebaliknya, Ichigo merasa
lega. Pria yang tidak bisa berkomunikasi itu sebenarnya menjadi kesempatan
bagus untuk mereka.
Ichigo berbisik pada gadis SMA
itu, "Bisakah kamu lari?"
“Eh?”
Pada saat berikutnya, Ichigo
meraih tangan gadis SMA itu dan langsung melarikan diri dari tempat kejadian.
Pihak lain hanyalah pria tua
yang sedang mabuk. Ia tak bisa bereaksi terhadap tindakan mendadak Ichigo, dan
pada saat Ia menyadarinya, mereka sudah menghilang dari pandanganya.
Jeritannya bisa terdengar, tapi
si pemabuk sepertinya tidak mengejar Ichigo dan gadis itu.
Dengan begitu, situasinya sudah
ditangani dengan aman.
Jika
keadaannya semabuk itu, Ia mungkin takkan mengingat apa yang baru saja terjadi
saat bangun nanti, pikir
Ichigo.
Mereka berdua terus berlari
sebentar dan mendekati daerah pemukiman.
“Kurasa kita sudah baik-baik
saja jika sampai di sini.”
Saat Ichigo melepaskan
tangannya, gadis SMA itu meletakkan tangannya di lututnya dan mulai bernapas
ngos-ngosan.
“Maaf, aku mulai mendadak menyuruhmu
berlari seperti itu.”
“T-Tidak…”
Akhirnya, napasnya menjadi
tenang, dan gadis SMA itu mendongak.
Sebelumnya, karena kurangnya penerangan, dan Ichigo harus berurusan
dengan pemabuk itu jadi Ia tidak bisa melihat wajah si gadis dengan jelas.
Sekarang setelah situasi sudah teratasi, Ichigo akhirnya bisa melihat wajahnya.
Ia terkejut dan tak bisa
berkata apa-apa.
Rambut hitamnya yang panjang,
tergerai hingga mencapai pinggangnya.
Kulitnya yang tampak halus dan
hampir mendekati transparan.
Garis Wajahnya terdefinisi
dengan baik dengan lekukan halus di hidungnya.
Matanya sedikit sipit dengan
bulu mata yang panjang dan seksi.
Bibir yang berwarna merah muda.
Seperti itulah penampilannya
saat itu.
Semuanya sama seperti saat itu.
Wajah gadis tersebut sama
persis seperti teman masa kecilnya, Sakura.
“Um…”
Kejutannya begitu berdampak
sehingga mata Ichigo melebar dan dia tidak bisa berkata-kata.
Sakura ... Tidak! Rupanya saja
yang mirip Sakura.
“Terima kasih banyak.”
“… Apa?”
“Anda sudah menolong saya, ‘kan…?”
“…Ah, tidak… Tapi aku senang
bahwa aku tidak terlalu ikut campur dengan tidak perlu.”
“Itu sama sekali tidak perlu… Saya
benar-benar takut sampai-sampai saya tidak sanggup berteriak meminta bantuan. Anda
benar-benar sudah membantu saya. ” Ucap gadis tersebut dengan sedikit berlinang
air mata.
Dia menyeka air mata di bulu
matanya yang panjang dengan tangan gemetaran.
Gestur yang sama. Jantung Ichigo berdetak kencang dan bagian belakang tenggorokannya bergetar.
Pikirannya mulai tak karuan,
sedemikian rupa sehingga dia bahkan tidak bisa menganalisis situasi apakah ini
hanya halusinasi atau kenyataan.
“Um ... Permisi, rumahku
sebenarnya di dekat sini.” Ujar gadis itu sambil menunjuk ke gang gelap tempat
lampu penerangan tak berfungsi. “Jadi ... Jika anda tidak keberatan, saya ingin
mengucapkan terima kasih kepada anda.”
Bahkan di tengah kebingungan,
frustrasi, keheranan, dan berbagai emosi lainnya… Ichigo tahu bahwa seorang
pekerja dewasa yang mengikuti seorang gadis SMA ke rumahnya sama sekali bukan
perkara baik.
“Kamu tidak perlu berterima
kasih padaku.”
Tapi kemudian,
“...Tapi sekarang sudah larut
malam, dan bukan berarti tidak ada kemungkinan kalau kamu akan terlibat masalah
lagi, jadi aku akan mengantarmu pulang.”
Ichigo mengatakan itu, dan dirinya
merasa seperti didorong oleh kekuatan yang tidak terlihat.
※※※※※
“Kita hampir sampai.”
“Ah, ya…”
Usai menyelamatkan seorang
gadis SMA dari seorang pemabuk, Ichigo akhirnya mengantar gadis tersebut ke
apartemennya. Awalnya, Ia terkejut melihat seorang gadis dengan wajah yang sama
persis seperti Sakura muncul di hadapannya, tapi seiring berjalannya waktu, Ia
mulai bisa berpikir dengan tenang.
(...Aku
hanya mengantarnya pulang... Aku tidak punya niatan lain.)
Ichigo mencoba untuk tidak
terlalu memikirkannya hanya karena dia
terlihat seperti cinta pertamanya, bahkan wajahnya persis seperti saat Ichigo
baru jatuh cinta padanya.
Jika Ia mengantarnya pulang
seperti ini, Ichigo berpikir kalau setidaknya Ia bisa menjelaskan situasinya dengan benar kepada
keluarganya.
Jadi, seraya membayangkan apa
yang akan terjadi nanti, Ichigo bertanya pada gadis SMA yang ada di sebelahnya.
“Apa keluargamu ada di rumah
sekarang?”
“Saya tidak punya keluarga.
Saya tinggal sendirian.”
“……”
Perihal anak SMA yang tinggal
sendirian, Ichigo pernah bertemu banyak orang dengan situasi yang berbeda dalam
karirnya. Di zaman modern ini, Ia tidak menganggapnya sebagai hal yanganeh.
Namun, itu berarti cuma ada dia satu-satunya orang yang tinggal di rumahnya.
Mana mungkin dirinya diizinkan naik ke kamar di mana seorang gadis SMA tinggal
sendirian.
“Kita sudah sampai. Di sini
tempatnya.”
Sementara Ichigo memikirkan hal
ini, mereka sudah tiba di apartemennya.
Untuk seukuran gadis yang tinggal
sendirian, tempat tersebut bisa dibilang tempat apartemen dengan fasilitas yang
cukup baik, dilengkapi dengan sistem kunci otomatis. Letaknya dekat dengan
stasiun kereta dan memiliki keamanan yang baik.
Hal
ini bisa meringankan beban pikiran bagi orang tua yang membiarkan anak-anak
mereka hidup sendirian, kata Ichigo pada dirinya sendiri
“Silahkan lewat sini.”
Gadis SMA itu menuntun Ichigo
menaiki tangga ke lantai dua.
Kemudian, di depan kamar tepat
setelah berbelok dari tangga, gadis SMA itu mengeluarkan kunci dari tasnya.
Rupanya kamar ini adalah tempat
tinggalnya.
“Silahkan masuk.” Gadis SMA itu
membuka pintu dan memimpin jalan masuk.
"Tidak, aku hanya
mengantarmu pulang." Namun, Ichigo mencoba untuk melanjutkan rencana
awalnya, dan menolak undangannya. “Lebih dari ini …”
“Tidak masalah!” Gadis SMA itu
meraih lengan baju Ichigo. Tidak mau kalah, dia berusaha sekuat tenaga untuk
memaksa Ichigo masuk. “Jangan khawatir tentang itu. Di sini benar-benar cuma
ada aku.”
(...Itu justu membuatnya semakin meresahkan...)
Gadis SMA itu menolak untuk
menyerah pada Ichigo yang sedang bimbang, dia mengatakan bahwa dia ingin
berterima kasih padanya.
Dalam wujud Sakura, dia meraih
lengan bajunya dan menariknya erat-erat. Saat dia menatapnya, wajahnya tampak
persis seperti cinta pertama Ichigo.
“… Kalau begitu, apa boleh buat.”
Bukan berarti Ichigo kalah
dalam godaan. Ia hanya tidak tega menolaknya dan puas dengan apa yang terjadi
di depannya.
“Kalau begitu, aku minta maaf
sudah merepotkanmu.”
“Ya.”
Jauh lebih baik bila Ia menekan
emosinya, dan menyelesaikannya dengan cepat. Dengan pemikiran seperti itu,
Ichigo melewati pintu kamar gadis SMA itu. Begitu masuk, lampu ruangan dinyalakan,
memperlihatkan interior ruangan. Ruangan itu sedikit lebih besar dari apartemen
ukuran 1LDK biasa.
Tempat tidur, meja, pakaian
yang tergantung di dinding, dan aroma wangi menyebar ke seluruh ruangan. Ruangan
yang penuh dekorasi dan pernak pernik. Sunggguh ruangan yang sangat
menggambarkan kamar gadis SMA.
“Tolong anggap saja seperti di
rumah sendiri.”
Setelah mengatakan itu, gadis
SMA pergi ke dapur, menyalakan ketel listrik, dan mulai merebus air. Selain
itu, dia sepertinya mengeluarkan cangkir teh dan daun teh dari lemari dan mulai
bersiap untuk menyeduh teh.
Secara alami, Ichigo tidak
duduk di tempat tidur, kursi, maupun lantai.
(...Aku
akan menghabiskan satu cangkir dan kemudian pergi saat mendapat kesempatan.)
Entah
aku ceroboh atau lalai, aku akan memastikan kalau aku takkan melakukan apapun
yang bisa membuat orang salah paham – pikir Ichigo pada dirinya
sendiri.
“…..?”
Tiba-tiba, perhatian Ichigo
tertuju bingkai foto di atas meja. Di dalam bingkai tersebut terdapat foto
keluarga. Seorang pria, seorang wanita, dan seorang gadis muda, kira-kira
seumuran anak SD, mereka berdiri berdampingan…
“…Hah.”
Pikiran Ichigo langsung berhenti
saat itu juga.
“Apa ada yang salah?”
Gadis SMA itu kembali dari
dapur sembari membawa teko dan cangkir di atas nampan.
Dia melihat Ichigo yang
tertegun saat menatap foto di atas meja.
“Ah… Itu foto keluarga—”
“Sakura?”
“…Eh?”
Ichigo bergumam pada dirinya
sendiri sambil melihat wanita yang ada di foto keluarga itu.
Ia memahaminya. Dalam ingatan
Ichigo, waktu telah berhenti saat terakhir kali Ia melihatnya, ketika dia
berusia 15 tahun... tapi di sanalah dia, tumbuh lebih tua dan lebih dewasa
sejak saat itu.
Jika ada yang memberitahu kalau
Ia salah orang, maka biarlah… Tapi intuisinya menebak kalau tebakannya benar.
Jika dia ada di foto ini…. Itu
berarti…
“Apa anda mengenal ibu saya?”
Ibu.
Perkataan gadis SMA itu membuat
jantungnya berdegup lebih kencang. Ichigo berbalik dan menatap wajah gadis itu
lagi. Wajah yang menyerupai bayangan cinta pertamanya, sosok yang tertinggal
dalam ingatannya yang bersinar cemerlang saat itu.
“Namamu, siapa nama lengkapmu?”
Sudah lama sejak Ichigo semarah
ini dalam kehidupan profesional dan pribadinya. Ia tidak bisa bernapas dengan
baik, dan mau tidak mau, Ia bahkan tidak bisa mengucapkan kata-kata dengan
jelas.
Meski begitu, gadis SMA itu
mengerti pertanyaan Ichigo – dia menjawab dengan ekspresi bingung di wajahnya.
“Nama saya adalah… LHoshigami
Luna.”
“!!!”
Nama yang sama. Nama
belakangnya bukan nama Sakura saat masih gadis, melainkan nama keluarga dari
presiden perusahaan yang dinikahinya.
“Kamu... anak Sakura?”
Gadis SMA, Luna, menganggukkan
kepalanya menanggapi kata-kata yang keluar dari mulut Ichigo.
Hal itu menjelaskan mengapa
mereka terlihat sangat mirip.
Dalam keadaan penuh kebingungan,
pemikiran lucu seperti itu muncul di benak Ichigo.
(Gadis
ini adalah ... putri Sakura.)
Namun, fakta ini mengejutkan
Ichigo yang belum pernah dia rasakan sebelumnya.
Pada saat yang sama ketika dia
terkejut, Ichigo tidak bisa menahan rasa penasarannya tentang pertanyaan yang
terus Ia tanyakan pada dirinya sendiri, sehingga rasa penasarannya meluap ke
dalam suaranya.
“Di mana ibumu sekarang?”
“……”
Ekspresi Luna tampak gelap pada
pertanyaan yang ditujukan padanya.
Apa
yang terjadi? Apa ada keadaan yang membuatnya sulit untuk mengatakan sesuatu? – pikir
Ichigo dalam hati.
Perasaan sedikit gelisah
mengalir di punggung Ichigo dalam bentuk mati rasa.
“Ibu …”
Dan firasatnya ternyata benar.
Bukan hanya sedikit, firasatnya mengarah pada kemungkinan terburuk.
Luna berkata, “Ibu saya
mengalami kecelakaan beberapa tahun yang lalu… Dia sudah bersama saya lagi.”
※※※※※
Ichigo menyelamatkan gadis SMA
yang terlihat sama persis seperti cinta pertamanya secara kebetulan ketika dia
terlibat masalah dengan orang yang sedang mabuk.
Namanya Luna Hoshigami.
Tak disangka-sangka, ternyata dia
adalah putri dari teman masa kecilnya, Sakura, yang pernah berpisah dengannya.
Ketika Luna memberitahu Ichigo
bahwa ibunya sudah tidak ada lagi di dunia ini, Ichigo merasa kepalanya
diguncang sampai ke intinya.
“Tidak hanya ibu saya, tapi…
Ayah saya juga meninggal jauh sebelum dia. Sekarang, keluarga ibuku adalah waliku.”
Dibombardir dengan informasi ak
terduga, Ichigo tetap samar-samar mendengar kata-katanya, tapi…
Pikiran Ichigo dalam keadaan
kacau balau.
Kematian Sakura – Fakta yang
terlalu berat untuk diterimanya.
Ia terhuyung-huyung dan duduk
di kursi terdekat.
“Apa Anda baik-baik saja?”
“Ah… Ya.”
Luna menjadi khawatir saat
melihat Ichigo yang tiba-tiba lemas tak berdaya. Akhirnya Ia bertanya,
“Apa Anda mengenal ibu ...?”
Berdasarkan apa yang dia lihat,
itu adalah pertanyaan yang wajar untuk ditanyakan.
“Ah… Yah, kurasa bisa dibilang
kalau kita ini teman masa kecil… Tapi aku belum pernah melihatnya sejak dia
menikah.” Ichigo berbicara jujur tentang
hubungannya dengan Sakura.
Tapi kemudian…
“Mungkinkah Anda … ‘Ichi’, Ah maksud saya, Ichigo
Kugiyama-san?”
“……”
Ketika Luna tiba-tiba menyebut
nama 'Ichi', Ichigo tersentak. Sungguh
nostalgia sekali – pikirnya. Itu karena nama tersebut merupakan nama
panggilan Sakura saat biasa memanggilnya. Tapi, yang lebih penting dari itu,
muncul pertanyaan lain.
“Bagaimana kamu bisa tahu
tentang aku?”
Menanggapi pertanyaan Ichigo,
Luna menjawab dengan ekspresi agak cemberut.
“Ibu saya sering berbicara
tentang Ichigo-san.”
“Jadi begitu rupanya ya …”
Meskipun
mereka berpisah, tapi dia tidak melupakannya... Saat memikirkan hal
ini, senyum polos dari teman masa kecilnya yang melihat ke arahnya, kembali
muncul di benak Ichigo...
Seakan-akan bendungan telah
jebol, air mata mulai mengalir di pipinya. Sekali lagi, Ia harus menerima
kenyataan bahwa pujaan hatinya sudah tidak ada lagi di dunia ini, dan Ichigo
tidak bisa lagi menekan emosinya.
“Ku-Kugiyama-san…”
“Maaf, aku tidak apa-apa.”
Saat Luna tampak khawatir,
Ichigo langsung bertingkah seperti orang dewasa dan tetap tenang. Jalan
pemikiran normal kembali ke kepala Ichigo, dan Ia menyadari sesuatu sekali
lagi.
Ia menyadari bahwa dirinya sudah
membuat Luna berbicara tentang kematian ibunya… Pengalaman yang menyakitkan bagi
seorang gadis semuda itu untuk dibicarakan secara alami.
“Maafkan aku.” Ichigo
menundukkan kepalanya dan meminta maaf atas sikapnya yang tidak pengertian.
“Tidak, tidak, tolong jangan
khawatir tentang itu.” Sebagai tanggapan, Luna buru-buru menjawab.
“Tapi jika itu masalahnya, maka
sekarang, kamu ...”
“Ya, seperti yang sudah saya
katakan sebelumnya, saya tidak punya keluarga."
Ichigo sebenarnya tidak
bertanya tentang itu, tapi Luna salah paham.
Yang disebut 'Kesepian'.
(...Tidak,
aku yakin ada keluarga dari pihak ibu dan ayahnya, jadi aku rasa aku tidak
seharusnya mengatakan itu.)
Saat Ichigo sedang merenungkan
situasi gadis di depannya…. Tiba-tiba, suara mengganggu “Kruyukk ~~” bisa terdengar.
Suara itu berasal dari perut
Luna.
“Oh tidak…”
Sesaat, mereka terkejut dan
terdiam, tapi kemudian, Luna menyadari bahwa suara menggeram itu berasal dari
dirinya. Wajahnya langsung mulai memerah karena malu, dan dia berusaha menekan
perutnya.
“Apa kamu lapar?”
“Maafkan saya…”
“Tidak, kamu tidak perlu
meminta maaf segala. Lagipula ini sudah waktunya untuk makan malam.”
Ichigo, yang entah bagaimana
menempatkan citra orang yang Ia kagumi di atas wajah Luna, merasa sedikit lega
saat dia menunjukkan penampilannya yang rentan untuk pertama kalinya.
Pada saat yang sama, fakta
bahwa dia adalah putri Sakura, sekaligus seorang gadis kesepian yang hidup
mandiri, membuat rasa ingin melindungi muncul di dalam diri Ichigo.
Ia yang tadinya berencana untuk
pergi cepat-cepat, tapi sekarang tidak bisa lagi memaksakan diri untuk melakukannya.
“Luna-san, apa yang kamu makan
untuk makan malam?”
“Eh?” mendengar pertanyaan yang
begitu mendadak, Luna sejenak kehilangan kata-kata.
Fakta bahwa seorang pria yang
lebih dari sepuluh tahun lebih tua darinya memanggilnya dengan panggilan '-san' mungkin menjadi salah satu
faktornya.
“Yah, saya tadinya berencana
untuk memasak makan malam ...”
“Jika kamu mau, aku akan mentraktirmu
makan malam.”
“Eh?!” Luna juga terkejut
dengan saran yang tiba-tiba itu.
Di smartphone Ichigo, ada
aplikasi yang terdaftar untuk pengiriman. Aplikasi itu dari restoran yang
biasanya Ia kunjungi kalau dirinya terlalu malas untuk memasak makan malam.
Ichigo bisa saja menelepon pihak restoran, tetapi menilai dari apa yang baru
saja dikatakan Luna, sepertinya dia sudah menyiapkan bahan untuk makan malam.
Jika itu masalahnya, maka itu tidak boleh disia-siakan.
“Yah, meski aku bilang kalau
aku akan mentraktirmu, tapi aku akan memasak makan malam untukmu jika kamu mau.
Kamu hanya perlu menunggu, itu jika tidak terlalu merepotkan. ”
“Tidak, itu tidak masalah.
Sebenarnya, saya lebih bila anda tidak perlu berbuat sejauh
itu ...”
“Tidak apa-apa. Kamu tidak
perlu khawatir tentang hal itu. Itu hanya untuk kepuasanku sendiri.”
Ichigo terkekeh pada dirinya
sendiri saat menyadari bahwa Ia melakukan hal yang sama persis seperti Luna,
yang sebelumnya, telah menolak untuk melepaskan keinginannya untuk berterima
kasih padanya bagaimanapun caranya.
Namun, Luna sepertinya tidak
bisa menerima tawaran itu tanpa berpikir dua kali.
“Seberapa banyak yang ibumu
ceritakan tentang aku?” Ichigo bertanya pada Luna yang kebingungan, “Apa dia pernah
memberitahumu kalau aku pandai memasak, atau semacamnya?”
“Ah… Ya,” jawab Luna dan
mengangguk seolah-olah dia baru mengingatnya. “Ibu bilang kalau dia suka
makanan yang kadang dimasak Kugiyama-san.”
“…Jadi begitu ya.”
Senang
sekali bisa mendengar hal itu. Sakura masih mengingat hal-hal seperti itu, dan
bahkan mengatakan kepada putrinya seolah-olah itu adalah kenangan yang berharga –
pikir Ichigo saat Ia sangat tersentuh.
“Kalau begitu aku kira kamu
bisa menyebutnya ulasan yang bagus. Bagaimana menurutmu, Luna-san? Karena kita
di sini, bukankah menarik untuk melihat apakah kemampuanku asli atau tidak?”
Ketika Ichigo mengatakan ini
dengan nada bercanda, Sakura cemberut sejenak, tapi kemudian, seolah-olah dia
tidak tahan lagi, dia meledakkan semuanya.
Itu adalah gerakan kecil yang
lucu.
“Hahaha… Kugiyama-san, Anda
orang yang menarik, ya?”
Ichigo merasa lega saat dia
tertawa. Suasana yang tadinya agak kaku sepertinya sudah sedikit mencair.
“Kalau begitu, saya akan
menuruti perkataan anda… Ah,” Luna langsung menerima tawaran Ichigo untuk
memasak makan malam. Tapi kemudian dia berkata, “Saya tidak suka ditraktir
secara sepihak, saya merasa tidak nyaman… Ah, itu benar, kenapa anda tidak
bergabung dengan saya untuk makan malam, Kugiyama-san?”
“Eh?”
Luna mengusulkan ide itu.
Mungkin itu karena dia tidak mampu menerima bantuan dari orang lain dengan
tangan terbuka, seperti Ichigo.
“Bahkan jika makanannya buatan
sendiri, sayan akan kesepian bila makan sendiri. Dan, bisakah anda menceritakan
lebih banyak tentang kenangan anda tentang ibu saya, Kugiyama-san?”
“……”
Dia
gadis yang kuat – pikir Ichigo.
Pada saat yang sama, Ichigo
memikirkan kekuatan mentalitasnya yang tidak sesuai dengan usianya yang pasti
dia warisi dari Sakura.
※※※※※
Yah,
aku sendiri yang mengatakannya – Ichigo berpikir dalam hati
saat pergi ke dapur rumah Luna dan bersiap-siap memasak makan malam untuk
mereka berdua.
Area dapurnya dilengkapi dengan
baik, seperti yang bisa kamu harapkan dari gedung apartemen yang bagus.
Secara realistis, dapur
tersebut mungkin agak terlalu besar untuk digunakan oleh satu siswa.
“Ayo kita lihat…”
Memeriksa bahan-bahan yang
disiapkan di kulkas, nasi beku, telur, ayam, dan sayuran dapat ditemukan. Itu
adalah isi dari kulkas seorang siswa SMA yang tinggal sendirian, jadi tentu
saja isinya tidak banyak.
Walau demikian,
“Baiklah, aku sudah memutuskan
menunya.”
Di masa lalu, Ichigo membuatnya
untuk Sakura, dan sekarang, Ia memutuskan untuk memilih hidangan yang sama.
Dengan pemikiran seperti itu,
Ichigo mulai memasak.
Pertama-tama, Ichigo menyiapkan
ayam, bawang merah dan paprika hijau sambil memanaskan mentega di penggorengan.
Ia kemudian memasukkan bahan-bahan yang sudah disiapkan ke dalam wajan panas
dan membumbuinya dengan garam dan merica. Setelah matang, Ia mencampurkan nasi
yang sudah dihangatkan kembali dan menambahkan saus tomat.
“Baunya enak.” Luna berkata
demikian saat datang untuk memeriksanya, “Wah! Nasi ayam!"
“Betul sekali.”
Saat dia mengatakan itu, Ichigo
meletakkan nasi ayam yang sudah dimasak di atas piring.
“Tapi tentu saja, ini masih
belum selesai.”
Yah,
aku pikir itu cukup jelas pada saat ini – pikir Ichigo dalam hati.
“Aku akan membiarkanmu
menikmatinya setelah selesai.” ujar Ichigo sambil menyuruh Luna kembali ke
kamar sebelah untuk melanjutkan memasak.
Melanjutkan masakannya, Ichigo
memecahkan sebutir telur dan mengocoknya dalam mangkuk. Kemudian, Ia dengan
cepat mencuci wajan panas dan menyeka permukaannya. Ia lalu menuangkan telur
kocok ke dalam panci, dan menyebarkannya rata untuk memanaskan.
Telur dadar empuk yang
dihasilkan kemudian diletakkan di atas nasi ayam di piring.
“Ini dia, sudah selesai.”
Hasilnya adalah menu omurice.
Ichigo kembali ke ruang tamu
dan meletakkannya di atas meja.
“Wow…”
Wajah Luna penuh kegirangan
saat melihat nasi omelet yang dibawakan untuknya.
Raut wajahnya tiba-tiba
mengingatkan Ichigo pada wajah Sakura say Ia memberinya hadiah ulang tahun
ketika mereka masih kecil. Kenangan yang baru ia ingat beberapa jam yang lalu.
Ekspresinya penuh dengan senyum
yang mempesona.
Setelah meletakkan piring di
atas meja dan menyelesaikan persiapan, Ichigo dan Luna duduk di kursi dan
saling berhadapan.
““Itadakimasu.”” Kedua suara mereka saling tumpang tindih.
“Fufu…” Luna terkekeh lucu.
“… Apa ada yang salah?”
“Ah... Tidak. Hanya saja, sudah
lama sekali saya tidak makan malam dengan orang lain.”
Maka dimulailah makan malam
seorang pria dan seorang gadis yang baru saja mengalami pertemuan ajaib hari
ini.
“Lezatnya!” seru Luna sambil
mencicipi omurice. “Anda benar-benar pandai memasak, Ichigo-san. Saya belum
pernah memakan omurice yang selezat ini sebelumnya.”
“Itu sih berlebihan.”
Tidak ada bahan khusus yang
digunakan. Tidak ada bumbu khusus dan tidak ada produk mahal yang digunakan.
Jadi seharusnya, rasanya sama seperti omurice biasa, tapi reaksinya sepertinya
sedikit berlebihan…
“Tapi aku senang kamu
menyukainya. Omurice ini... Aku pernah membuatnya untuk Saku- Ibumu
sebelumnya.”
“Jadi untuk ibu juga…”
Mendengar hal itu, Luna
menunduk menatap piring di depannya. Tentu saja, dibandingkan dengan sekarang,
keterampilan memasak Ichigo benar-benar amatir, dan bahkan sekarang masih
demikian. Meski begitu, Sakura di waktu itu, sama seperti Luna, mengatakan
kalau rasanya enak dengan cara yang berlebihan juga.
Sakura bahkan berkomentar, 'Jika aku menikahi Ichi, aku akan bisa makan
makanan lezat seperti ini setiap hari.'
Sebagai seseorang yang memendam
perasaan padanya, Ichigo sangat senang mendengarnya.
(Kalau
dipikir-pikir lagi, aku tidak percaya dia hanya tiga tahun lebih tua dariku.
Dia sangat dewasa…)
“Kugiyama-san!?”
Saat dia mengenang kenangan
yang indah bersama Sakura, Ichigo sepertinya ingin menangis sekali lagi.
Tidak
bagus, tidak bagus – pikir Ichigo.
Ichigo tidak ingin membuat Luna
khawatir jadi dia buru-buru menyeka air matanya.
“…Melihat anda begitu peduli
padanya, saya yakin ibu sangat bahagia di surga sekarang.”
Dia tersenyum untuk menghibur
Ichigo.
Setelah itu, Ichigo terus
berbicara tentang Sakura saat makan malam. Luna mendengarkannya dengan tenang,
dan Ichigo berbicara seolah-olah Ia sedang mengenang masa lalunya.
Sakura adalah teman masa kecil
Ichigo dan mereka sudah sering berinteraksi sejak mereka masih kecil. Mereka selalu
bermain bersama, belajar bersama, dan pergi ke berbagai acara bersama. Sakura adalah
seorang ojou-sama, jadi sering kali dia harus pergi ke luar kota atau memiliki
jadwal yang bentrok karena masalah keluarga, tapi dia selalu mengundang Ichigo
kapan pun dia punya waktu.
Dan sekali lagi—
“Jadi, nama panggilan
Kugiyama-san, begitu ibuku memanggilmu di masa lalu, adalah Ichi.”
"Jangan terlalu banyak
tertawa, oke?"
Melihat wajah Luna yang
tersenyum, Ichigo merasa tersipu.
“Saya merasa kalau ibu saya
adalah orang yang sangat kuat, bahkan ketika dia masih kecil. Tapi entah
kenapa, setelah mendengarkan cerita Kugiyama-san dan dari julukan 'Ichi', dia
tampak agak kekanak-kanakan.”
“Ya, itu juga yang kupikirkan.”
Bila dipikir-pikir kembali, dia
mungkin hanyalah gadis muda pada waktu itu.
(...Yah,
kenangan bisa diperindah.)
Mereka melanjutkan percakapan
yang menyenangkan seperti itu, dan sebelum mereka menyadarinya, baik Ichigo
maupun Luna telah memakan semua makanan di piring mereka.
““Terima kasih atas
makanannya.”” Setelah selesai makan, suara mereka tumpang tindih lagi.
“Ah, Kugiyama-san. Apa anda mau
minum alkohol?” Tiba-tiba, Luna bertanya pada Ichigo.
“Eh?”
Tawaran itu begitu tiba-tiba
sehingga Ichigo menghentikan langkahnya.
Ketika Ichigo menoleh, dia
melihat Luna sedang menunjuk tasnya yang berisi laptopnya. Tidak, tepatnya, dia
menunjuk ke kantong plastik dari minimarket yang diletakkan di sebelah tas.
Isinya wiski dan air soda yang
dibeli Ichigo, tapi kantong plastik itu membiarkan isinya terlihat.
“Maaf, aku terlalu tidak sopan
tentang itu.”
“Tidak, anda tidak perlu
khawatir tentang itu ...”
Sikap Luna membuat Ichigo
berpikir bahwa dia sangat disiplin dan sopan.
“Saya tidak tahu banyak tentang
itu, tetapi orang-orang meminum wiski dengan air soda, kan? Saya sering
melihatnya di TV.” Bertentangan dengan sebelumnya, Luna berkata kepada Ichigo dengan
perasaan termotivasi, “Saya bisa melakukannya jika anda mau. Saya akan
menuangkan minuman tersebut untuk anda”
“Ah, tidak, tidak usah ...”
Tawaran dari Luna memang
menggiurkan. Namun, sedikit penyesalan moral menghantam Ichigo.
Situas di mana dirinya yang
sudah dewasa meminum alkohol di depan anak di bawah umur, terlebih lagi di
rumah anak di bawah umur tersebut!
Ichigo merasa kalau itu
bertentangan dengan moral publik. Meski, itu tergantung pada waktu dan situasi.
“Ah, mungkin anda tinggal jauh
dari sini? Atau apa anda punya mobil yang diparkir di dekat sini? ” Luna berkata
dengan prihatin saat merasakan suasana hati Ichigo yang tidak tenang.
“Tidak, rumahku cukup dekat
dalam jarak berjalan kaki. Jadi itu tidak masalah.”
“Syukurlah kalau begitu. Sudah
lama sejak saya merasa sangat senang jadi saya berharap Kugiyama-san akan
menikmatinya sama seperti saya.” Luna memiringkan kepalanya dan berkata dengan
tatapan memelas.
“Tolong, izinkan saya
menuangkan minuman untuk anda, Kugiyama-san.”
(…Ugh…)
Luna tidak punya niat buruk.
Dia hanya menyarankan itu sepenuhnya karena kebaikan hatinya.
Bagaimanapun
juga, ini bukannya aku yang memaksanya untuk minum denganku. Seharusnya tidak
ada masalah – pikir Ichigo.
Tentu saja, Ichigo harus sangat
berhati-hati agar Luna tidak merasakan alkohol.
(...
Kalau begitu cuma sedikit saja.)
Demi gadis di depannya, Ichigo
memutuskan untuk menerima tawarannya.
“Kalau begitu, saya akan
menyiapkan gelasnya.” Begitu dia mengatakan itu, Luna segera membawa kembali
gelas dari dapur. “Anda perlu memasukkan es ke dalamnya, kan? Saya pernah
melihatnya di sebuah iklan.” Apalagi dia menambahkan es dari freezer ke dalam
gelas.
Luna meletakkan gelas di atas
meja, diikuti dengan membuka botol wiski. Kemudian, dia mencoba menuangkannya
ke dalam gelas, tapi…
“…Um, seberapa banyak…?”
Tentu saja, dia tidak memiliki
pengetahuan terperinci, jadi dia tidak tahu apa yang harus dilakukan
selanjutnya.
Melihat Luna yang tampak kebingungan,
Ichigo hanya bisa tersenyum. Ichigo merasa seolah-olah Luna adalah anaknya
sendiri, yang sedang bermain-main menjadi orang dewasa.
“Yah, sebanyak ini.” Ichigo
memutuskan untuk membantunya mengambil botol dan menuangkannya ke sekitar
sepersepuluh gelas. “Kamu tidak perlu menuangkan wiski terlalu banyak ke dalam
gelas.”
“Heh…”
“Apa kamu punya sendok?”
Meminjam sendok dari Luna,
Ichigo menggunakannya untuk mengaduk es dan wiski. Ketika es sudah sedikit
mencair, Ia mencampurnya dengan air soda.
“Yah, sesuatu seperti ini.”
Ichigo meminum cairan berbusa
yang dihasilkan, yang berwarna kuning muda. Dengan rasa wiski tua ditambah
stimulasi karbonasi, minuman keras tersebut terasa kaya rasa.
“Saya mengerti. Saya akan
berlatih sekarang…”
“Berlatih…”
Luna mengeluarkan gelas lagi dan membuat highball [2]sendiri. Dia meniru cara yang dilakukan Ichigo sebelumnya.
Wajahnya dipenuhi dengan
antusiasme.
“Bagaimana menurut anda?”
“Biar aku mencicipinya… Ya, ini
enak.”
“Syukurlah.”
Dia tampaknya menjadi
pembelajar yang cepat dan keterampilan Luna meningkat dengan cepat.
Setelah itu, sambil menikmati highball buatan Luna, Ichigo terus
membagikan kenangannya.
Namun, saat menenggak highballs
yang dibuatnya, Ichigo mulai merasa kalau dirinya cukup mabuk. Dan Ia tidak
punya waktu untuk mendapatkan kembali kesadarannya.
Sejak itu, Ichigo tidak tahu
sudah berapa lama waktu yang berlalu. Langkah energik Luna, tipikal dari masa muda,
telah membuat Ichigo lengah dan dia mendapati dirinya di ambang mabuk.
“Dan kemudian, Sakura, dia ...”
Dipengaruhi efek alkohol, Ichigo dengan penuh semangat berbicara tentang
kenangannya bersama Sakura.
“……”
Untuk beberapa lama, Luna hanya
menatap wajah Ichigo dalam diam.
“Hmm? Ada apa, Luna-san?”
“…Kugiyama-san, apa anda
menyukai ibu saya?”
Ia hampir menyemburkan highball yang telah diminumnya.
Untungnya, cairan itu tidak berceceran di lantai, tapi gelembung kuningnya
bertebaran di udara dan Ichigo tersedak.
“A-Apa yang sedang kamu
bicarakan ...”
“Saya bisa mengetahuinya dari
cara anda berbicara, Kugiyama-san.”
Paling tidak, Ichigo berpikir
bahwa dia telah mempertimbangkan bahwa dia adalah ibu Luna dan hanya berbicara
tentang Sakura sebagai teman masa kecil yang merupakan teman baiknya.
Mungkin, efek dari alkohol membuatnya
berbicara terlalu banyak, dan Ichigo mengatakan sesuatu yang bisa dirasakan
Luna.
“Saya cemburu pada ibu.
Mempunyai orang sekeren seperti Kugiyama-san, yang sangat menyukainya.”
“…Tidak,” Ichigo langsung
berusaha menyangkal komentar Luna.
Saat itu – Mungkin karena
keadaan mabuknya menjadi lebih kuat, proses berpikir Ichigo telah berhenti
bekerja dengan baik.
“…Itu sama sekali tidak benar.”
Sebelum Ia bisa menyangkalnya, perasaannya yang sebenarnya keluar dari
mulutnya. Mengoreksi kata-kata Luna, Ichigo berkata, “Saat itu, aku benar-benar
masih kecil... Aku pikir Sakura hanya menganggapku sebagai adik laki-lakinya.”
“Itu tidak benar!” Luna dengan
tegas menyangkal penghinaan diri Ichigo.
“Eh?”
“Saya… saya sangat menghormati
ibu. Dia adalah orang yang kuat. Bahkan setelah kepergian ayah, dia membesarkan
saya sendirian.”
“……”
“Dia mengajari tentang rasa
syukur dan bagaimana menjalani kehidupan yang baik… Dia juga mengajari
bagaimana bersikap sopan dan hormat di masyarakat.”
Luna mengagumi Sakura, dan
Sakura pun membesarkan Luna sebagai putrinya dengan penuh cinta dan kasih sayang.
Bahkan jika Ichigo
mengesampingkan fakta bahwa mereka mirip dalam penampilan, dia bisa merasakan
suasana Luna yang mengingatkannya pada Sakura…
Kisah Sakura setelah dia
menghilang dari kehidupan Ichigo – Bahkan dengan pikiran yang mabuk dan kacau,
Ichigo mendengarkan dengan seksama cerita yang Luna mulai ceritakan.
“Ibu dulu sering bercerita
tentang Kugiyama-san.”
“Eh…”
“Saat membicarakan tentang masa
lalunya … Ibu tampak sangat bahagia dan gembira. Itu sebabnya saya bisa
langsung mengenali Ichigo-san lebih awal. Cerita yang ibu sampaikan
meninggalkan kesan begitu kuat pada saya, jadi saya yakin, Ibu juga, dia…” kata
Luna dengan ekspresi serius.
“Kurasa dia menyukai anda,
Kugiyama-san.”
“……”
“Ah, itu hanya asumsi saya sendiri.
Dia tidak pernah memberitahu saya secara langsung. Terlepas dari apa yang
terjadi, ibu dan ayah memiliki kehidupan pernikahan yang bahagia dan harmonis,
dan saya juga sangat mencintai ayah …”
Tapi mengesampingkan itu –
Tentang anak laki-laki dari cerita ibunya, Luna mengatakan bahwa dia tertarik
pada Ichigo Kugiyama.
“…Kugiyama-san, apa anda sangat
mabuk?” Luna bergumam untuk memastikan. “…Aku selalu mengagumi Kugiyama-san
sejak saya masih kecil. Ibu sering bercerita tentang anda, dan saya
membayangkan anda sebagai orang yang sangat baik. Anda menjadi orang ideal yang
selalu saya kagumi.” Luna mengakui perasaannya seolah-olah dia memendamnya
terlalu lama.
Sama seperti ketika Ichigo
berbicara tentang Sakura, dengan nada suara yang berapi-api, Luna pun melanjutkan,
“…Saya merasa sangat senang
kita bisa bertemu hari ini. Sekarang, saya yakin bahwa cerita itu benar.”
“Jadi begitu …”
Mendengar hal tersebut,
pemikiran bahwa Sakura mungkin merasa seperti itu padanya, membuat Ichigo
merasakan sesuatu di dalam dirinya, seolah-olah jantungnya dicabut dari
dadanya.
“Luna-san.”
Kemabukan itu menyebabkan kabut
terbentuk di kepala Ichigo.
Saat mencoba memproses semua
pikiran di benaknya, Ichigo memanggil nama Luna.
“Ya?”
Luna hanya menatap kosong ke
arah Ichigo.
Untuk sementara waktu, meski
dia tidak minum, tapi pipinya tampak agak memerah.
“Jika kamu mempunyai masalah
atau kesulitan, kamu bisa mengandalkanku dalam apapun. Aku akan membantumu
sebisa mungkin.”
Meski telah kehilangan orang
tuanya, dia harus tetap mendapat dukungan dari keluarga orang tuanya. Secara
finansial, dia tidak mengalami kesulitan. Ichigo mengetahui hal tersebut tapi
masih ingin mengatakan itu.
“Apapun…?”
“Ya, untungnya kita bertemu
hari ini. Bahkan jika itu hanya permintaan kecil, kamu bisa memberitahuku dan aku
akan melakukan apa pun yang aku bisa. ”
Dia berbicara dalam suasana
kedewasaan. Hal-hal yang Ichigo tidak bisa katakan atau lakukan pada Sakura
saat itu. Seakan-akan ingin menebus dosanya, Ichigo mengatakan itu pada gadis
yang mirip sepertinya.
Pada saat yang sama, dia bersandar
lemas. Rupanya, Ia terlalu banyak minum sehingga Ia tidak bisa mengendalikan
diri. Merasakan sensasi yang tidak bisa digambarkan hanya sebagai rasa kantuk,
Ichigo menjatuhkan diri ke meja.
Dari sudut matanya, Ichigo bisa
melihat Luna membuat ekspresi yang merupakan campuran antara terkejut dan malu
dengan kata-katanya tadi.
“…Ya terima kasih banyak.”
Sedetik kemudian, menanggapi tawarannya tadi, Luna kemudian berkata, “Aku
selalu mencintaimu, Kugiyama-san. Maukah kamu menjadikanku kekasihmu?”
Ichigo yang sudah tidak bisa
berpikir jernih dan nyaris tidak bisa memenuhi permintaannya, dengan bercanda
menjawab,
“Haha… aku tidak keberatan…”
Hanya itu yang bisa diingat
Ichigo tentang malam itu.
※※※※※
“… Mmm.”
Rasa sakit yang menjalar dan
bertahap menghantam kepala Ichigo saat dirinya bangun.
Ichigo bisa merasakan sensasi
lembut menyelimuti tubuhnya. Dari perasaan yang menutupi punggung dan perutnya,
dia tahu bahwa dia sedang berbaring di tempat tidur.
“…Hmm?”
Rupanya, Ia tertidur tanpa Ia
sadari. Ingatannya dari saat sebelum tertidur masih sangat kabur. Dan dia
mengalami sedikit sakit kepala.
(...Apa
aku habis minum-minum?)
Menatap langit-langit dengan
mata mengantuk, pikiran Ichigo mengembara.
Mengingat kejadian tadi malam,
Ia menolong seorang gadis SMA yang sedang dirayu oleh pemabuk. Setelah itu, Ia
pergi ke rumah Si gadis SMA itu karena dia ingin berterima kasih padanya. Dan
kemudian, ketika dia mengetahui bahwa dia adalah putri Sakura...
“Hah…”
Pada ingatan yang terlalu tidak
realistis, Ichigo menghela nafas dan berbalik dalam tidurnya.
Mana
mungkin. Itu sangat mustahil, aku yakin itu hanya mimpi –
pikir Ichigo dalam hati.
“…Tidak.”
Saat itulah Ichigo menyadari
bahwa langit-langit yang dilihatnya tidak sama dengan yang biasa Ia lihat di
rumahnya.
Rumahnya, sebuah perumahan yang
disewakan oleh perusahaan sebagai bagian dari keuntungan menjadi manajer.
Ada sesuatu yang berbeda dari
langit-langit kamar ini. Berbeda dengan langit-langit kamarnya, di mana ia
biasanya tidur sendirian di rumah yang agak terlalu besar untuk satu orang
seperti dirinya.
(…Kamar
ini …)
“Selamat pagi, Ichi.”
Ichigo mendengar suara orang
memanggilnya. Pada saat yang sama, sesuatu mendarat di perut Ichigo saat Ia
terbungkus futon.
Itu dia, gadis SMA yang Ia
selamatkan tadi malam.
Gadis tersebut mengenakan
seragam sekolah, dan memanggil Ichigo dengan nama panggilan yang biasa Sakura
panggil.
Gadis itu – Hoshigami Luna, mengangkangi perut Ichigo melalui futon dengan senyum mempesona di wajahnya.
Ujung rambut hitam berkilaunya
melengkung di atas dada Ichigo, menyebarkan aroma lembut sampo.
“Sarapan sudah siap.”
“Eh… Tidak, um…”
“Jam berapa pekerjaanmu
dimulai? Apa tidak apa-apa jika kamu tidak terburu-buru?”
“Masih ada waktu… Tunggu, itu
tidak penting. Um, Luna-san, ini…?”
Saat Ichigo mulai panik, Luna
menjelaskan sambil tertawa.
“Tadi malam, Ichi hampir
tertidur di kursi karena terlalu banyak minum. Itu sebabnya aku membawamu ke
tempat tidur dan kamu akhirnya tinggal di tempatku.”
“A-Aku minta maaf!” teriak
Ichigo ketika Ia menyadari telah melakukan sesuatu yang salah.
Dia sangat mabuk sampai-sampai
membuatnya tertidur di rumah seorang gadis SMA.
Ichigo merasa malu dengan
keteledorannya.
“Aku sungguh menyedihkan ...”
“Tidak apa-apa. Kamu tidak
perlu meminta maaf.”
Luna kemudian melanjutkan
seolah-olah itu hal yang wajar,
“Lagipula, kita adalah sepasang
kekasih.”
“…Eh?”
Melihat wajah Ichigo yang
tercengang, Luna tersenyum. Pipinya yang sedikit memerah tampak malu, dan
senyum yang menghiasi wajahnya merupakan perpaduan dari rasa malu dan
kegembiraan.
“Kamu bilang kalau kamu tidak
keberatan jika kita menjadi sepasang kekasih.”
“…Ah…” gumam Ichigo sambil
mengingat kejadian semalam.
Tepat sebelum Ia kehilangan
kesadaran, sepertinya ada semacam kesalahpahaman dalam percakapan yang mereka
lakukan.
Dalam keadaan dan situasi saat
itu, pikiran Ichigo menjadi linglung.
Ya, memang Ichigo memang
mengatakan itu.
“… Apa—”
Tapi itu cuma candaaan.
“—Apa yang kamu bicarakan? Mana mungkin itu bisa
terjadi.”
Ichigo tahu kalau itu
kesalahannya karena menjawab begitu ceroboh. Namun, permintaan yang tidak
realistis seperti itu tidak dapat disetujui dengan mudah. Mana mungkin Ichigo
bisa menerimanya.
“Dengan putri Sakura… Tidak,
sedari awal, seorang dewasa yang bekerja dan seorang gadis SMA menjalin
hubungan seperti sepasang kekasih…”
“Kamu tidak menyukainya, Ichi?
Kamu tidak ingin aku menjadi kekasihmu?” Luna bertanya sambil menegakkan
punggungnya, dan mengangkat bagian atas tubuhnya.
Dari sudut pandang Ichigo, Ia
bisa melihat hampir keseleruhan sosoknya. Luna mengenakan seragam sekolah SMA
khusus perempuan yang bersih dan indah.
Dia memiliki rambut hitam panjang,
hidung mancung, kulit putih bening tanpa cacat, mata sipit, dan bulu mata
panjang. Itu adalah bentuk yang bisa dikagumi karena keindahannya secara
gratis.
Tidak – Lebih penting dari itu,
ada unsur kesenonohan yang membuatnya tidak realistis dan mustahil bagi Ichigo
untuk menerima permintaannya.
“Kemarin, setelah Ichi
menyelamatkanku, aku bertanya-tanya apakah mungkin aku bisa melakukan sesuatu
untuk membalas budimu. Kupikir Ichi akan sangat senang jika kita bisa menjadi
sepasang kekasih…”
“Untuk alasan itu…”
“Aku serius.”
Dia terlihat dan terdengar
seperti Sakura, cinta pertama Ichigo dan ibu Luna.
Dengan ekspresi serius di
wajahnya, dia mendekatkan wajahnya ke wajah Ichigo.
“Nee Ichi…”
Luna pun berkata,
“Maukah kamu menjadikanku sebagai
kekasihmu?”
<<=Sebelumnya | Daftar isi | Selanjutnya=>>