Chapter 01 — Memangnya Salah Menyukai Apa Yang Aku Suka?
Di antara semua hewan yang ada,
Amane paling menyukai hewan kucing.
Walaupun Ia menyukai sebagian
besar hewan, tapi tetap saja, hewan yang paling Ia sukai adalah kucing.
Saat masih kecil dulu, Amane masih
mengingat kalau orang tuanya sering membawanya ke kebun binatang, akuarium, dan
peternakan, tapi pada akhirnya, satu-satunya hewan yang menjadi favoritnya
adalah kucing yang ada di sekitar lingkungannya. Dirinya bahkan samar-samar
pernah berpikir untuk memelihara kucing di masa depan nanti saat Ia tinggal
sendirian.
Namun, seiring bertambahnya
usia, Amane tidak bisa bilang blak-blakan kalau dirinya menyukai kucing.
Pada saat Ia masuk SMP, kucing
di sekitar lingkungannya sudah mencapai akhir masa hidup dan Amane tidak bisa
lagi bermain-main dengannya. Sejak teman sekelasnya mengejek dirinya karena
menyukai kucing, Amane mulai menyembunyikan hal itu untuk dirinya sendiri
Dan sekarang setelah masuk SMA,
Amane tinggal di gedung apartemen dan tidak melihat banyak kucing liar, jadi Ia
tidak punya kesempatan untuk bermain-main dengan mereka, dan hanya bisa menonton
kehidupan sehari-hari tentang kucing melalui video.
Amane pergi ke toko buku pada
hari penjualan untuk membeli album foto kucing
dari saluran video yang sering Ia tonton.
Meski Ia sudah membuat
pemesanan di muka, Amane masih merasa khawatir kalau dirinya tidak bisa
mendapatkannya karena album foto itu dirilis menjelang musim belanja Natal.
Pada hari itu, Amane
menghabiskan sekolah dengan gelisah dan tidak bisa tenang. Dalam perjalanan
pulang, Ia mampir ke toko buku dulu, dan yang tersisa tinggal bersantai-santai
di rumah.
“Selamat datang kembali. Di
luar pasti dingin iya ‘kan, apa kamu ingin minum sesuatu?”
Saat melihat Mahiru sudah
berada di dalam rumahnya duluan, Amane sedikit tertegun.
Keberadaan Mahiru di dalam rumahnya
bukanlah hal yang aneh.
Amane mampir ke toko buku dan
diminta untuk membeli beberapa bahan untuk makan malam hari ini di supermarket,
jadi Ia baru saja kembali setelah berbelanja.
Jika Mahiru langsung pulang ke
rumah dari sekolah, tentu saja dia akan pulang lebih cepat daripada Amane.
Ketika Mahiru menyambutnya
dengan sangat alami, dia berkedip berulang kali saat melihat wajah Amane yang
pulang dengan suasana hati yang senang.
“Sepertinya kamu dalam suasana hati
yang baik, ya.”
“Yah, begitulah.”
Amane terlalu malu untuk
mengatakan bahwa alasan kenapa suasana hatinya sedang baik karena Ia baru
membeli album foto kucing yang Ia inginkan. Oleh sebab itu, Ia menjawabnya
dengan samar-samar, tapi hal itu justru menarik perhatian Mahiru.
“... Apa ada yang salah?”
“Eh, ti-tidak ... bukan
apa-apa, kok ...”
“Tapi wajahmu menunjukkan kalau
itu tidak bukan apa-apa.”
“Seriusan, bukan apa-apa, kok”
Amane mencoba mengalihkan
pandangannya karena malu dan berusaha tidak membahasnya, tapi tingkahnya itu
justru tampak mencurigakan dan tatapan mata karamel Mahiru perlahan menyipit.
Pada dasarnya, ada kesepakatan
tak terucap di antara mereka untuk tidak ikut campur dalam kehidupan pribadi
masing-masing, tapi jika ada perilaku bermasalah, ceritanya jadi berbeda.
Dari sudut pandang Mahiru, bisa
dibilang kalau tingkah laku Amane saat ini terlihat mencurigakan.
Dia terus menatap Amane.
Benda yang Ia sembunyikan bukanlah
sesuatu yang membuatnya merasa bersalah, tapi Amane masih tidak ingin mengatakannya,
jadi Ia merasa bimbang apa yang harus Ia lakukan dengan kecurigaan Mahiru.
Pandangan Amane mengarah
kesana-kemari, tapi hal tersebut justru menambah kecurigaan. Tatapan Mahiru
berubah menjadi lebih tajam.
Tatapan matanya lalu tertuju
pada plastik dari toko buku, jadi Amane mengangkat tas belanjaan ke arah
Mahiru, berusaha untuk tidak menarik
perhatiannya ke sana.
“Seriusan enggak ada apa-apa,
kok, jangan khawatir tentang itu. Bisakah kamu memasukkan bahan-bahannya ke
dalam kulkas? Ada beberapa makanan beku di dalam tas belanjaan.”
“Aku mengerti, tapi rasanya ada
sesuatu yang tidak wajar tentang itu.”
“Kumohon, jangan terlalu
dipikirkan, oke.”
Ketika Amane hendak menyerahkan
tas belanjaan ke Mahiru, tas kresek dari toko buku terlepas dari genggamannya.
Untungnya, tas belanjaan itu
sendiri sudah berada di tangan Mahiru, jadi tidak ada kerusakan di belanjaan
tersebut, tapi …. album foto yang
berusaha Amane sembunyikan terjatuh ke lantai dengan bunyi gedebuk.
Jika sampulnya menunjukkan foto
manusia, Amane masih bisa berusaha mengelabuinya, tapi sampul yang ada di album
foto tersebut menampilkan foto kucing dengan mata bulat yang imut. Itu adalah
gambar kucing lucu yang sedang difoto.
Suasananya mendadak jadi
hening. Bagi Amane, keheningan tersebut membuatnya berkeringat dingin.
Mahiru yang sama-sama terkejut
oleh situasi yang tiba-tiba, mulai memecahkan keheningan dengan mengambil album
foto yang jatuh.
Amane menguatkan diri untuk
mendengar kalimat apa yang akan dikatakan Mahiru, tapi dia hanya tersenyum lembut pada sampul album itu dan
berkata “Wahh, imutnya”.
Kemudian dia dengan lembut
membersihkannya dari debu dan menyerahkannya kepada Amane.
“Apa jangan-jangan kamu pulang
terlambat karena demi membeli ini?”
“... Emangnya enggak boleh?”
Jawaban Amane terdengar ketus
karena Ia berusaha menyembunyikan rasa malunya.
Mahiru tidak tersinggung oleh
nada kasarnya, dan hanya memiliki ekspresi tenang, atau lebih tepatnya, senyum
lembut di wajahnya.
“Tidak, bukan begitu maksudku,
tapi rasanya aneh saja. Padahal itu bukan sesuatu yang membuatmu merasa
bersalah, tapi caramu menyembunyikannya justru membuatku sedikit curiga.”
“Ku-Kupikir kamu akan
menertawakanku ...”
“Aku sedikit terkejut karena
kamu mengira kalau aku adalah tipe orang yang menertawakan hobi orang lain.
Jangan khawatir, aku takkan menertawakanmu, kok?”
“Bu-Bukan begitu masalahnya,
tapi ... ada juga beberapa orang yang mengolok-ngolok sambil menanyakan apa aku
sangat menyukainya sampai-sampai rela merogoh kantong untuk membeli album foto-nya.”
“Tidak melanggar ketertiban
umum dan kesusilaan, dan tidak mengganggu orang, jadi kamu bebas untuk menyukainya
atau membeli album foto, ‘kan? Orang yang suka mengejek hobi orang lain
biasanya suka mengolok-ngolok hobi
apapun.”
Setelah menyingkirkan kecemasan
Amane dengan beberapa kata yang menyegarkan, entah kenapa Mahiru tampak lega
karena tidak ada apa pun di dalam tas toko buku itu.
“Kamu tidak perlu khawatir
tentang itu, Amane-kun. Karena kamu tadi berusaha keras untuk
menyembunyikannya, aku jadi sempat berpikir kalau kamu membeli beberapa buku
yang tidak senonoh.”
“Mana mungkin lah!”
Jika ada cowok SMA yang
berupaya keras menyembunyikan sesuatu, tidak dapat dihindari kalau Ia akan
dicurigai memiliki buku atau benda semacam itu, dan Amane juga merasa bersalah
juga, tapi fakta bahwa Ia dicurigai melakukan sesuatu yang tidak ingin Ia
lakukan membuatnya tertawa masam.
Tsukkomi tenang yang aneh
muncul di kepala Amane bahwa toko buku mana mungkin akan menjualnya kepada anak
dibawah umur apalagi saat Ia masih memakai seragam, tapi Ia tidak jadi
berkomentar saat Mahiru berkata seolah-olah sudah mengerti, “Yah, kupikir kalau Amane-kun berbeda”.
“Aku berani menjamin kalau itu
takkan pernah terjadi ... Omong-omong, bagaimana kalau aku memang membeli buku
semacam itu?”
“Aku akan menanyaimu, mengapa
kamu memiliki sesuatu yang tidak diizinkan oleh anak di bawah umur. Aku bisa
memahami kalau kamu tertarik dengan hal begituan, tapi kamu harus lulus dari
sekolah SMA dulu sebelum boleh memilikinya.”
“Rasanya sangat menggambarkan
sifatmu saat kamu tidak bilang itu jorok atau mesum.”
“Yah mungkin setidaknya aku
akan bilang sesuatu seperti cabul atau semacamnya.”
“Jangan khawatir, aku tidak
memilikinya, kok.”
“Aku tahu.”
Mau tak mau Amane hanya bisa
tersenyum kecut pada Mahiru, yang tampaknya tidak menarik, tapi tentu saja
tidak masalah apakah Amane memilikinya atau tidak karena itu urusan pribadinya.
Ada aturan tak tertulis di
antara mereka untuk tidak mencampuri kehidupan pribadi masing-masing dan mereka
bebas untuk menghabiskan waktu mereka selama hal tersebut tidak berdampak
negatif atau merugikan satu sama lain.
(Kurasa
aku tidak perlu terlalu khawatir)
Seandainya saja Amane bertingkah
seperti biasa, Ia pasti bisa takkan mengundang kecurigaan Mahiru. Jadi bisa
dibilang, tindakan Amane sendiri sudah seperti menggali kuburannya sendiri.
Amane merasa kalau dirinya
seperti orang bodoh, tetapi fakta bahwa Mahiru membenarkannya membuat beban di
dadanya terasa sedikit lebih ringan.
Entah karena mengetahui rasa
lega Amane atau tidak, Mahiru menunjuk ke arah kamar kecil.
“Ayo, cuci tanganmu dulu. Jika
kamu ingin melihat album foto itu, kamu harus melalukan rutinitas pulang
terlebih dahulu.”
“Aku tahu.”
Tanpa
perlu diberitahu sekali pun, aku sudah terbiasa langsung mencuci tangan dan
ganti baju sesampainya di rumah, jadi kenapa dia repot-repot memberitahuku … Saat
Amane sedang memikirkan itu, Mahiru mengalihkan pandangannya dengan sedikit canggung.
“…U-Umm.”
“Hmm?”
“... Apa aku boleh ikut melihatnya nanti?”
Tanpa bertanya lebih lanjut apa
yang dia maksud, Amane bisa tahu persis apa yang ingin dilihat Mahiru, jadi Ia
menoleh ke Mahiru tanpa repot-repot menyembunyikan senyum yang secara alami
muncul di wajahnya.
“Ah, aku tidak keberatan, kok.”
“Syukurlah, tadi foto kucingnya
imut banget, ya.”
“Benar, ‘kan.”
“Kenapa malah Amane-kun yang
merasa bangga?”
Mahiru tampak sedikit terkejut,
tetapi dia tidak mengolok-olok Amane dan justru memberinya senyum lembut.
Senyum di wajahnya
menghangatkan hati Amane, dan Ia menuju kamar mandi dalam suasana hati yang
lebih baik daripada dalam perjalanan pulang tadi.
<<=Sebelumnya |
Daftar isi | Selanjutnya=>>
Catatan Penerjemah :
Volume 5.5 tidak terlalu mempengaruhi jalan ceritanya, mungkin ada beberapa kilas balik masa lalu yang tidak diceritakan di WN.