Chapter 03 — Tenshi-Sama Dan Gangguan Yang Tidak Diinginkan
Teman
sekelas mereka sering menyebut Mahiru dengan panggilan Tenshi (malaikat/bidadari). Hal tersebut berdasarkan betapa lembut
dan rendah hatinya dia, kepribadiannya yang begitu baik, mempunyai segudang prestasi
baik di bidang akademik maupun olahraga, ditambah kecantikannya yang bak dari
kayangan, panggilan Tenshi merupakan julukan yang tepat untuknya. Tidak
mengherankan jika dia sangat populer.
Selama
kelas 1 SMA, ada banyak murid cowok dari berbagai kelas dan angkatan yang
menyatakan cinta padanya, dan Mahiru pernah mengeluh kalau menolak mereka semua
bukanlah suatu kebanggaan baginya, tapi justru sebuah gangguan. Dia tidak
menghargai orang asing yang mendekatinya hanya demi berpacaran.
Sebegitu
populernya Mahiru, setelah sekitar setengah tahun dengan keras kepala menolak
setiap para pejuang berani, dia akhirnya bisa membungkam mereka. Pada saat dia
bertemu Amane, meski masih ada banyak cowok yang tertarik padanya, serentetan
pengakuan cinta sudah sedikit mereda.
Tapi
bukan berarti hal tersebut tidak berhenti sama sekali, dan Amane dibuat
menyadari hal itu.
“Aku
menyukaimu, tolong berpacaranlah denganku.”
Peristiwa
itu terjadi sepulang sekolah, saat Mahiru mampir ke perpustakaan untuk mengembalikan
buku sebelum pulang.
Ruang
perpustakaan sekolah mereka bukan berada di gedung satu, di mana ruang kelas
berada, melainkan ada di gedung dua, artinya Mahiru harus berjalan melalui
koridor penghubung untuk bisa sampai ke sana.
Gedung
sekolah kedua pada dasarnya penuh dengan ruang kelas yang kosong, kecuali ada
murid yang sesekali menuju pertemuan klub. Oleh karena itu, orang yang
berlalu-lalang sangat sedikit dan sepi, sehingga kalimat pengakuan cowok itu
bisa terdengar sangat jelas.
Begitu
Amane mendengar suara yang datang dari bawahnya saat berjalan menyusuri koridor
penghubung di lantai dua, Ia mencoba melangkah seringan mungkin. Ia bukan tipe
orang yang suka mencampuri urusan cinta orang asing. Itu adalah masalah pribadi
mereka, dan Amane sendiri tidak terlalu tertarik dengan urusan cinta orang lain.
Karena tidak ingin menguping, Amane mencoba bergerak cepat tanpa membuat suara
apapun.
“Aku
minta maaf, tapi aku tidak bisa menerima pengakuanmu.”
Namun,
setelah mendengar suara yang sangat familiar, tubuhnya langsung menjadi kaku
secara refleks. Suara itu terdengar ramah dan lembut yang biasanya sangat
menyenangkan. Tapi suara tersebut terdengar agak berduri sekarang.
Walau
Ia tahu kalau Ia tidak boleh melakukannya, tapi Amane tetap merangkak ke
jendela terdekat dan mengintip dari kusen jendela. Di lantai pertama ada Mahiru
dan seorang murid cowok yang mungkin adalah teman sekelas mereka. Untungnya,
tak satu pun dari mereka yang memperhatikan keberadaan Amane.
Si
cowok memunggungi Amane, jadi ekspresinya tidak terlihat, tapi Mahiru menatap
cowok yang baru menembaknya dengan tenang.
Wajah
anggun dari sang Tenshi langsung berubah menjadi ekspresi yang agak menyesal,
menunjukkan bahwa dia tidak berniat menerima pengakuannya.
“Kenapa?”
“Aku
tidak mengenalmu. Aku sungguh menyesal, tapi aku tidak bisa membalas
perasaanmu.”
“Kita
bisa saling mengenal saat kita sudah jadian—”
“Aku
pikir menjalin hubungan pacaran adalah sesuatu yang harus dilakukan setelah
mereka membangun hubungan saling percaya dan memupukkan kasih sayang. Aku tidak
tertarik untuk berpacaran dengan seseorang secara tiba-tiba—hubungan yang
dangkal seperti itu hanya akan merugikan semua orang yang terlibat.”
Mahiru
tidak pernah menghargai ekspresi kasih sayang cowok yang ditujukkan padanya,
terutama dari cowok yang tidak begitu dikenalnya. Dan bila mengingat keadaan
keluarganya, pemikiran untuk berpacaran dengan orang asing mungkin membuatnya
sangat tidak nyaman. Jadi jelas saja kalau dia tidak gampang setuju buat
berpacaran dengan siapa pun.
Suara
Mahiru terdengar lembut, tapi penolakannya tegas. Karena tidak ada lagi yang
perlu didiskusikan, jadi dia mengangguk sekali dan berbalik untuk pergi,
tapi…cowok yang menembak tadi segera meraih tangannya.
Suara
indah Mahiru mengeluarkan tangisan kecil kesusahan. Dia berbalik sembari mengerutkan
kening dengan gugup. “Permisi. Apa kamu bisa melepaskan tanganku?” Sepertinya
dia merasa kalau cengkeraman si cowok terasa menyakitkan.
“Maaf,
tapi aku tidak bisa menyerah begitu saja.”
“Aku
tidak mau berpacaran denganmu. Sekarang tolong, lepaskan tanganku.”
Meski
dia berbicara lebih keras kali ini, dan dengan ekspresi kesal yang sangat jelas,
Mahiru tetap mempertahankan ketenangan ala tenshi sampai akhir.
Tapi
tetap saja, si cowok itu masih ngotot sambil terus menarik-narik tangannya.
Sekarang
Mahiru tampak ketakutan, takut dengan apa yang mungkin akan dilakukan cowok itu
selanjutnya.
Amane
memutuskan kalau Ia tidak bisa membiarkan ini berlangsung lebih lama lagi.
Sambil mengerutkan kening dan mencondongkan tubuh ke luar jendela yang setengah
terbuka. “Kurasa dia tidak menghargaimu yang terlalu memaksa,” gerutunya. Suaranya
cukup keras untuk didengar mereka berdua.
Cowok
tersebut berputar dengan panik, dan Mahiru memanfaatkan jeda singkat itu untuk
lepas dari genggamannya dan dengan cepat membuat jarak di antara mereka berdua.
Dia pasti mengenali suara Amane, karena dia terlihat lega dengan gangguan yang
tiba-tiba. Meski dia masih berusaha mempertahankan wajah tanpa ekspresi, Amane
tahu bahwa Mahiru merasa jijik dan takut dengan tindakan egois cowok itu.
Hal itu pasti sangat mengganggunya…
Amane
memelototi cowok kasar tadi dengan wajah marah sekaligus jijik.
Karena
kemarahannya begitu jelas, wajah si cowok langsung menegang, yang Amane anggap
sebagai tanda kalau Ia merasa bersalah.
“Maaf,
bukannya aku ingin menguping pembicaraan kalian atau semacamnya, tapi… aku
kebetulan lewat dan melihat kalian berdua sedang terlibat dalam masalah; hanya itu
saja. Ditambah lagi, sepertinya Shiina-san tampak kesakitan.” Amane menunjuk ke
Mahiru, yang sedang menggosok tangannya di tempat cowok itu meraihnya.
“Ap-Apa
kamu benar-benar terluka?” tanya si cowok, wajahnya semakin pucat.
“…Genggamanmu
cukup kasar saat menangkapku. Lagi pula, itu salah menyentuh seorang gadis
tanpa izin.” Mahiru telah mendapatkan kembali ketenangannya. Alih-alih marah,
suaranya terdengar sedingin es.
“Itulah
yang dia bilang.” Amane mengangguk. “Kamu harus lebih berhati-hati lagi.” Imbuhnya.
Si
cowok menggigit bibirnya dengan keras. “Maaf” hanya itu yang Ia katakan sebelum
bergegas pergi.
Merasa
lega karena si cowok sudah pergi, Amane berbalik ke arah Mahiru. Dia tersenyum
tipis pada Amane, masih dengan sikap waspada sambil mencengkeram tangan di
dadanya. Melihat Mahiru yang begitu membuat hati Amane tersayat, dan Ia hampir
ingin mengulurkan tangannya. Tapi mereka masih berada di sekolah, jadi Amane
tidak bisa sembarangan melakukan kontak dengannya. Mahiru pasti mengerti itu.
Dia membungkuk dalam-dalam dan berbalik untuk pergi. Entah bagaimana, dia
terlihat lebih lembut dari biasanya, tapi yang bisa Amane lakukan hanyalah
melihat kepergiannya dengan cemas.
◇◇◇◇
“Terima
kasih untuk sebelumnya.”
Itulah
hal pertama yang Mahiru katakan pada Amane setelah mereka sampai di apartemen.
Dia
memasang senyum bermasalah.
Mahiru
pasti masih kepikiran dengan kejadian siang tadi. Dia duduk di sofa di sebelah
Amane, terlihat sedikit lelah, dan bersandar di bantal. Biasanya, Mahiru duduk
dengan sangat tegak lurus. Dia pasti merasa sedikit lelah.
“Sejujurnya,
aku juga kebingungan apa aku mungkin sudah melampaui batas,” ujar Amane.
“Tidak,
kamu benar-benar sudah menyelamatkanku. Cowok itu tidak mau melepaskan tanganku,
meski aku sudah memintanya. Semua orang tahu kalau aku tidak pernah menerima
pengakuan cinta, dan kebanyakan murid cowok lain tampaknya langsung memahami
kalau aku menolaknya, jadi mereka cepat menyerah—tapi cowok tadi siang agak
berbeda.”
Amane
tidak tahu seberapa banyak cowok yang sudah menembak Mahiru, tapi dari
perkataan Mahiru, kelihatannya jumlahnya cukup banyak. Walau begitu, Mahiru
tidak pernah menerima satu pun pengakuan cinta mereka. Sempat terlintas di
benak Amane bahwa jika dia benar-benar mulai berpacaran dengan seseorang, waktu
kebersamaan mereka juga pasti akan berakhir.
“…
Kamu memang sangat populer, ya?”
“Yah,
kurasa memang begitu. Meski itu bukan sesuatu yang membuatku senang, tau.”
tutur Mahiru secara terbuka mengakuinya sebagai fakta dan kemudian dengan jelas
mengungkapkan perasaannya yang sebenarnya tentang masalah tersebut. “Aku
menghargai kalau mereka menaruh kasih sayang kepadaku, tapi belakangan kali ini
jadi lebih mengkhawatirkan ...”
Mahiru
menggumamkan sesuatu dengan nada yang agak menyesal karena tidak tahu bagaimana
mengelola semua ekspetasi mereka, dan Amane menyadari bahwa dia sering berurusan
dengan hal semacam ini.
Amane
jarang berinteraksi dengan Mahiru di sekolah. Setiap kali memikirkannya, Amane
pasti menatap Mahiru, jadi Ia dengan sengaja berusaha membatasi insiden itu
jika memungkinkan. Itulah sebagian alasan, mengapa Amane tidak tahu seberapa
sering dia harus mengalami peristiwa pengakuan cinta.
“Dan
aku yakin kalau kamu selalu menolak dengan ramah dan terus terang, kan?”
“Yah,
jika seseorang datang kepadaku untuk mengungkapkan perasaannya dengan
sungguh-sungguh, tentu saja aku akan mendengarkannya sebelum aku menolaknya.
Bagaimanapun juga, rasanya tidak sopan untuk mengabaikan mereka. Meski aku
berpikir kalau tidak semua dari mereka serius tentang perasaan mereka, sih?”
“Eh,
masa?”
“Ya.
Ada beberapa cowok yang menembakku meski sudah mengetahui kalau aku akan
menolaknya, layaknya sanksi dari suatu hukuman permainan. Ada juga yang
menyukai penampilanku dan menginginkanku seperti sebuah trofi. Tentu saja aku
tidak punya niat untuk meladeni orang-orang yang begitu. ”
“Aku
tidak menyangka kalau ada cowok yang bisa mengumpulkan keinginan untuk
menembakmu dengan alasan yang begitu sepele.”
Ia
memiliki keraguan serius tentang golongan cowok yang pertama, dan mengenai
golongan cowok kedua, Yah, Amane selalu percaya bahwa suatu hubungan harus
menjadi hal yang serius. Jika seseorang berniat mengakui cinta mereka, mereka
harus benar-benar tulus, dan Amane sendiri merasa tidak yakin kalau perasaan
dangkal seperti itu masih bisa disebut “cinta”
atau tidak.
“Aku
dengan sopan menolak orang-orang yang seperti itu, sama seperti yang lainnya. Aku
tidak bisa menerima pengakuan mereka pada tingkat yang mendasar. Itu tidak
mungkin.” Nada suara Mahiru menjadi dingin lagi.
Amane
mengingat reaksinya saat pertama kali Mahiru datang ke apartemennya—dan Ia secara tidak sengaja menyentuh topik
sensitif—dan merasa kalau Ia tidak bisa mengatakan apa-apa lagi.
Mahiru
jelas-jelas tidak tertarik menjalin hubungan yang cuma untuk main-main. Amane
juga merasakan hal yang sama, dan Ia sekali lagi merenungkan fakta bahwa
meskipun kata-katanya saat itu disebabkan oleh kesalahpahaman, perkataannya
waktu itu masih sangat kasar.
Usai
melirik ke arah Mahiru, Ia bisa melihat bahwa matanya tidak sedingin
sebelumnya, dan meski Amane tahu bahwa tatapannya yang menghina dan judes itu
tidak dimaksudkan untuknya, Amane masih merasa sedikit segan padanya.
“Ngomong-ngomong,
mungkin ini pertanyaan yang naif, tapi … apa banyak yang mengira kalau aku ini
orang gampangan yang mengangguk setuju begitu saja untuk berpacaran dengan
seseorang yang hampir tidak kukenal?”
“Tidak,
kurasa tidak juga …”
“Kalau
begitu, mengapa mereka semua melakukan upaya yang sia-sia? Rasanya aneh kalau
mereka berpikir aku mungkin menjawab ya
meski aku tidak mengenal mereka. Hanya saja, rasanya jadi sedikit menakutkan
didekati oleh orang asing sepanjang waktu, ”gumam Mahiru, merasa terganggu
karena sering mendapat pengakuan dari cowok.
“…
Apa menurutmu mereka kehilangan kendali karena mereka ingin kamu memperhatikan
mereka atau semacamnya?”
“Jadi
maksudmu, apa mereka diperbolehkan untuk menggenggam pergelangan tanganku atau
bersikap kasar karena mereka tidak bisa mengendalikan diri?”
Suasana
hati Mahiru semakin buruk.
Amane
menggelengkan kepalanya untuk menghilangkan kesalahpahaman yang mungkin
dimiliki Mahiru tentang apa yang baru saja Ia katakan.
“Tidak,
tentu saja bukan begitu maksudku. Memang tidak ada yang salah dengan menyukai
seseorang, tapi tidak dibenarkan juga untuk memaksakannya pada orang lain atau
dengan egois mencoba memaksakan perasaan mereka. Aku jelas tidak mencoba
membela apa yang dilakukan orang itu. Kalau pun ada, aku justru merasa marah.”
Mahiru
mempunyai paras yang sangat cantik, dan Amane tidak bisa menyalahkan seseorang
karena ingin memenangkan hatinya. Bagaimanapun juga, Ia sendiri memiliki
perasaan untuk Mahiru. Tapi Ia takkan pernah mencoba memaksakan perasaannya
pada Mahiru. Saat Ia menggunakan alasan itu untuk membenarkan tindakan
yang membuat Mahiru tidak nyaman adalah
saat Ia sudah bertindak terlalu jauh.
Kali
ini, setidaknya, Amane kebetulan ada di sana untuk ikut campur. Ia bergidik
ngeri saat memikirkan ada seseorang yang mencengkeram tangan Mahiru seperti itu
ketika Ia tidak ada. Meski Amane tahu bahwa Mahiru takkan ragu untuk membela
diri, secara fisik jika perlu, itu masih merupakan pikiran yang tidak
menyenangkan.
“…
Apa begitu?” tanya Mahiru.
“100
persen.” jawab Amane. “Tindakannya sudah keterlaluan karena mencoba memaksakan
perasaannya padamu seperti itu ... Apa kamu tidak merasa takut?”
“Aku
sedikit takut, tapi kalau Ia berusaha mencoba menyakitiku, aku akan
menendangnya tepat di selangkangan dengan segenap tenagaku.”
Sesuai
dugaan Amane, Mahiru takkan ragu-ragu untuk membalas dengan kekerasan. Jika dia
diancam, siapa pun akan mengerti jika dia berusaha membela diri.
“Aku
pikir itu salah satu solusinya,” kata Amane. “Harus kuakui, hanya memikirkannya
saja membuatku sedikit ngilu.”
“Bukan
berarti aku akan melakukan hal seperti itu padamu, Amane-kun.”
“Yah,
kuharap aku tidak pernah memberimu alasan untuk melakukan itu.”
Orang
tua Amane akan mencoretnya dari daftar kartu keluarga jika Ia berani berbuat sesuatu seperti itu. Dan itu bertentangan
dengan prinsipnya sendiri. Memaksakan kehendak pada seorang gadis akan menjadi
aib bagi semua cowok.
Amane
mengira Ia telah memperjelas posisinya tentang masalah ini, tapi Mahiru terus
menatapnya dengan sedikit kesal.
“…Tentu
saja tidak. Bukan kepada Amane-kun yang sudah menjadi cowok jantan sempurna.”
“Apa
ini perasaanku saja, atau kamu memang sedang marah padaku?”
“Mana
ada, aku hanya memujimu, kok.”
“Tapi
sorot matamu tidak menyiratkan begitu.”
“Itu
pasti cuma imajinasimu saja, Amane-kun.”
Baik
nada suaranya maupun sorot matanya jauh dari kata ramah. Justru sebaliknya,
wajahnya tampak tidak puas. Apa yang dia katakan dan cara dia mengatakannya
tidak selaras, dan Amane tidak memahami apa yang sebenarnya dia maksud. Tatapan
Amane mengembara gugup ke sekeliling ruangan saat menggeliat di bawah
tatapannya. Mahiru tersenyum kecil, seolah mengatakan bahwa ketidaknyamanannya
tidak bisa dihindari.
“Yah,
dalam hal menghormati perasaan gadis, kamu sudah sempurna, Amane-kun. Tapi kamu
memiliki satu kelemahan, tahu?”
“Dan
apa itu…?”
“Kamu
lemah terhadapku, ‘kan?”
Terkejut
oleh senyum nakalnya yang begitu tiba-tiba, Amane memalingkan wajahnya, tapi
Mahiru sepertinya tidak menyadari ketidaknyamanannya dan mulai sedikit bersandar
pada Amane.
Mahiru
juga sepertinya tidak menyadari detak jantung Amane yang berpacu begitu cepat.
“Perkataanku
ini mungkin terdengar sedikit sombong, tapi popularitas sendiri sebenarnya
merupakan sebuah masalah, tahu?” Mahiru bergumam dengan suara serak. Dia
terdengar benar-benar bermasalah. “Aku menyadari bahwa, setidaknya secara
fisik, aku lebih menarik daripada kebanyakan orang. Jadi hal semacam ini sering
terjadi, dan aku sudah muak dengan itu.”
“…Kedengarannya
sulit.”
“Memang.
Oh, aku yakin ada beberapa gadis yang mungkin akan mengatakan kalau hal
tersebut menjadi masalah yang luar biasa untuk dimiliki, tapi jujur saja, aku
berharap kalau aku tidak harus berurusan dengan orang asing yang terus-menerus
menyatakan cinta mereka dan kemudian menjadi murung ketika aku menolaknya, atau
bahkan lebih buruk, bersikap kegatelan atau mendadak marah. Rasanya melelahkan
karena harus menolak begitu banyak pengakuan. Dan aku merasa bersalah saat
menolaknya juga, kau tahu.”
Mahiru
tidak memiliki belas kasihan pada siapa pun yang dia anggap sebagai musuhnya.
Pada saat yang sama, dia pada dasarnya adalah gadis yang berhati baik dan
bijaksana serta umumnya memperlakukan semua orang yang dia temui dengan baik.
“Aku
berpikir kalau itu bukan lagi candaan kalau aku merasakan bahaya karena menjadi
diriku sendiri,” gumam Mahiru. “Aku bekerja begitu keras untuk mengembangkan
diriku bukan demi bisa menjadi aksesori seseorang.”
Mahiru
menghela nafas dengan keras. Dia terdengar benar-benar muak dan lelah.
Ketenaran
memang mempunyai serangkaian masalahnya sendiri.
Amane
mengulurkan tangan dan dengan lembut membelai rambutnya. Mahiru membiarkan
Amane melakukannya, secara pasif menerima gerakan meyakinkan itu.
Respons
yang sama sekali berbeda terhadap kontak fisik ini terletak pada hubungan
saling percaya antara Mahiru dan dirinya. Saat Amane menepuk kepalanya,
berhati-hati agar jarinya tidak tersangkut di rambut halusnya, Mahiru
memejamkan matanya, seakan-akan menikmati momen ini. Dia hampir menyerupai
kucing yang membiarkan teman tepercaya menjilatnya.
“Kepribadian
yang aku gunakan di sekolah adalah salah satu yang aku pilih, tapi hal itu
membuat segalanya menjadi sulit saat ada orang yang ingin mengenalku. Aku takkan
membiarkan siapa pun menyentuhku kecuali aku menginginkannya.”
Saat
Mahiru yang tampak tidak senang mengucapkan kata-kata itu, tangan Amane
berhenti sejenak. Saat ini, Mahiru membiarkan Amane menyentuhnya, tapi mau tak
mau hal itu membuat Amane berpikir kalau dirinya entah bagaimana mengambil
keuntungan dari Mahiru yang sedang bad
mood.
“Kenapa
tanganmu berhenti?”
“Yah,
aku, uh…,” Amane tergagap. “Tiba-tiba aku merasa sedikit sadar diri tentang
setiap kali aku menyentuhmu sebelumnya ...”
“Jika
aku tidak menyukainya, aku pasti sudah lama menghentikanmu, jadi kamu tidak
perlu risau.”
“Ba-Baiklah.”
“Kamu
boleh menyentuhku lebih banyak lagi… jika kamu mau.”
Dia
lalu menatap Amane dan tersenyum lembut, dan dari tatapan matanya, Amane bisa
melihat kepercayaan dan secercah antisipasi.
Amane
menelan ludah kecut. “I-Itu sih, um—” Ia kebingungan bagaimana harus
menjawabnya.
“Aku
cuma bercanda.” Ekspresi Mahiru kembali normal, dan terkekeh. Dia lalu
menurunkan pandangannya. “Tapi tolong… tetap pegang tanganku. Apa yang terjadi
hari ini sedikit mengerikan.”
Amane
tidak yakin bagaimana menanggapi kata-katanya yang tenang atau kesedihan yang
menyayat hati yang bisa Ia rasakan mengalir di dalam dirinya, jadi Amane hanya
menggigit bibirnya dan meraih tangan Mahiru.
Jari-jari
Mahiru terasa ramping dan mungil. Saat Amane menelusuri jari-jarinya di atas
jarinya, Ia bisa merasakan bahwa itu terasa lembut tapi kuat, dengan sedikit
kapalan di mana bagian penanya biasanya diletakkan. Jarinya tidak lemah sedikit
pun.
Tapi
dia juga tidak berpikir kalau tangan ini cukup kuat untuk melawan seorang cowok
SMA. Amane tidak yakin apakah Mahiru berusaha tidak melepaskannya atau tidak
bisa. Pokoknya yang jelas, dia merasa sedikit trauma atas kejadian siang tadi .
Amane
dengan lembut menggosok dan memijat tangannya, mencoba membantu mengendurkan
rasa takut yang menyelimuti dirinya.
Mahiru
tersenyum tipis, terlihat sedikit lebih baik. “Aneh sekali. Saat kamu menyentuhku,
yang kurasakan justru rasa nyaman.”
“Sebagian
dari diriku berharap kamu mempertahankan sedikit kewaspadaan saat kita baru
pertama kali bertemu …”
Amane
kemudian menatap mata Mahiru, bertanya-tanya apa tidak masalah membiarkan dia menyentuhnya
seperti ini, dan Mahiru menjawab dengan senyum yang indah.
“Oh,
kamu tidak puas dengan hubungan kita saat ini?”
“Bu-Bukannya
aku tidak puas, tapi… Bagaimana bilangnya ya…?”
“Jika
aku tidak setuju dengan itu, aku takkan berkeliaran di dalam apartemenmu, dan aku
takkan membiarkanmu menyentuh aku. Aku juga takkan pernah membiarkanmu tiduran
di pangkuanku.”
“Kamu
mungkin seharusnya tidak boleh membiarkanku melakukan itu ...”
“Meski
kamu terlihat menikmatinya?”
Amane
kesulitan membantah hal itu.
Ia
dengan senang hati meletakkan kepalanya di paha Mahiru dan tertidur lelap, jadi
desakannya agar mereka tidak melakukannya lagi terdengar sedikit kurang valid.
Bahkan jika Mahiru adalah orang yang mengusulkannya sendiri, Amane sendiri yang
bersemangat menyetujui ide itu.
Jadi
ketika Amane menjawab dengan sedikit mengalihkan pandangannya dan berkata
“...Itu ya itu, dan ini ya ini,” sambil tertawa kering.
“Fufu,
jadi ada cara praktis seperti itu ya. Aku akan mengingatnya baik-baik untuk
menggunakannya nanti. Tapi … kamu jangan perlu khawatir, oke? Aku akan
membiarkanmu meletakkan kepalamu di pangkuanku kapan pun kamu merasa lelah.”
“Ah,
kupikir aku akan menahan diri ...”
Amane
tahu betul jika Ia membiarkan dirinya terbiasa dengan pengalaman yang
semenakjubkan itu, Ia akan menjadi kecanduan. Amane menjadi benar-benar putus
asa, bahkan lebih dari sebelumnya, tapi dengan kemampuan yang bahkan lebih
sedikit untuk melawannya.
Ketika
Amane dengan lembut menolak tawarannya demi menjaga sedikit martabat yang tersisa,
Mahiru tersenyum ramah. “Ara, sayang sekali.” Dia tidak tampak sangat kecewa.
Amane merasa kalau dia sedang mengolok-oloknya.
“…Jangan
menggodaku.”
“Tidak
kok. Itulah yang benar-benar aku rasakan.”
Dalam hal ini, dia cuma berbuat nakal.
Amane
mencoba meremas tangan Mahiru lebih keras untuk memberitahu bagaimana perasaannya, tapi Mahiru hanya
tertawa seolah-olah kalau genggaman erat Amane cuma bisa menggelitiknya, jadi
Amane berbalik untuk menyembunyikan rasa malunya yang begitu jelas.