Otonari no Tenshi-sama Vol.3 Chapter 3 Bahasa Indonesia

Chapter 03 — Tenshi-Sama Dan Gangguan Yang Tidak Diinginkan

 

Teman sekelas mereka sering menyebut Mahiru dengan panggilan Tenshi (malaikat/bidadari). Hal tersebut berdasarkan betapa lembut dan rendah hatinya dia, kepribadiannya yang begitu baik, mempunyai segudang prestasi baik di bidang akademik maupun olahraga, ditambah kecantikannya yang bak dari kayangan, panggilan Tenshi merupakan julukan yang tepat untuknya. Tidak mengherankan jika dia sangat populer.

Selama kelas 1 SMA, ada banyak murid cowok dari berbagai kelas dan angkatan yang menyatakan cinta padanya, dan Mahiru pernah mengeluh kalau menolak mereka semua bukanlah suatu kebanggaan baginya, tapi justru sebuah gangguan. Dia tidak menghargai orang asing yang mendekatinya hanya demi berpacaran.

Sebegitu populernya Mahiru, setelah sekitar setengah tahun dengan keras kepala menolak setiap para pejuang berani, dia akhirnya bisa membungkam mereka. Pada saat dia bertemu Amane, meski masih ada banyak cowok yang tertarik padanya, serentetan pengakuan cinta sudah sedikit mereda.

Tapi bukan berarti hal tersebut tidak berhenti sama sekali, dan Amane dibuat menyadari hal itu.

“Aku menyukaimu, tolong berpacaranlah denganku.”

Peristiwa itu terjadi sepulang sekolah, saat Mahiru mampir ke perpustakaan untuk mengembalikan buku sebelum pulang.

Ruang perpustakaan sekolah mereka bukan berada di gedung satu, di mana ruang kelas berada, melainkan ada di gedung dua, artinya Mahiru harus berjalan melalui koridor penghubung untuk bisa sampai ke sana.

Gedung sekolah kedua pada dasarnya penuh dengan ruang kelas yang kosong, kecuali ada murid yang sesekali menuju pertemuan klub. Oleh karena itu, orang yang berlalu-lalang sangat sedikit dan sepi, sehingga kalimat pengakuan cowok itu bisa terdengar sangat jelas.

Begitu Amane mendengar suara yang datang dari bawahnya saat berjalan menyusuri koridor penghubung di lantai dua, Ia mencoba melangkah seringan mungkin. Ia bukan tipe orang yang suka mencampuri urusan cinta orang asing. Itu adalah masalah pribadi mereka, dan Amane sendiri tidak terlalu tertarik dengan urusan cinta orang lain. Karena tidak ingin menguping, Amane mencoba bergerak cepat tanpa membuat suara apapun.

“Aku minta maaf, tapi aku tidak bisa menerima pengakuanmu.”

Namun, setelah mendengar suara yang sangat familiar, tubuhnya langsung menjadi kaku secara refleks. Suara itu terdengar ramah dan lembut yang biasanya sangat menyenangkan. Tapi suara tersebut terdengar agak berduri sekarang.

Walau Ia tahu kalau Ia tidak boleh melakukannya, tapi Amane tetap merangkak ke jendela terdekat dan mengintip dari kusen jendela. Di lantai pertama ada Mahiru dan seorang murid cowok yang mungkin adalah teman sekelas mereka. Untungnya, tak satu pun dari mereka yang memperhatikan keberadaan Amane.

Si cowok memunggungi Amane, jadi ekspresinya tidak terlihat, tapi Mahiru menatap cowok yang baru menembaknya dengan tenang.

Wajah anggun dari sang Tenshi langsung berubah menjadi ekspresi yang agak menyesal, menunjukkan bahwa dia tidak berniat menerima pengakuannya.

“Kenapa?”

“Aku tidak mengenalmu. Aku sungguh menyesal, tapi aku tidak bisa membalas perasaanmu.”

“Kita bisa saling mengenal saat kita sudah jadian—”

“Aku pikir menjalin hubungan pacaran adalah sesuatu yang harus dilakukan setelah mereka membangun hubungan saling percaya dan memupukkan kasih sayang. Aku tidak tertarik untuk berpacaran dengan seseorang secara tiba-tiba—hubungan yang dangkal seperti itu hanya akan merugikan semua orang yang terlibat.”

Mahiru tidak pernah menghargai ekspresi kasih sayang cowok yang ditujukkan padanya, terutama dari cowok yang tidak begitu dikenalnya. Dan bila mengingat keadaan keluarganya, pemikiran untuk berpacaran dengan orang asing mungkin membuatnya sangat tidak nyaman. Jadi jelas saja kalau dia tidak gampang setuju buat berpacaran dengan siapa pun.

Suara Mahiru terdengar lembut, tapi penolakannya tegas. Karena tidak ada lagi yang perlu didiskusikan, jadi dia mengangguk sekali dan berbalik untuk pergi, tapi…cowok yang menembak tadi segera meraih tangannya.

Suara indah Mahiru mengeluarkan tangisan kecil kesusahan. Dia berbalik sembari mengerutkan kening dengan gugup. “Permisi. Apa kamu bisa melepaskan tanganku?” Sepertinya dia merasa kalau cengkeraman si cowok terasa menyakitkan.

“Maaf, tapi aku tidak bisa menyerah begitu saja.”

“Aku tidak mau berpacaran denganmu. Sekarang tolong, lepaskan tanganku.”

Meski dia berbicara lebih keras kali ini, dan dengan ekspresi kesal yang sangat jelas, Mahiru tetap mempertahankan ketenangan ala tenshi sampai akhir.

Tapi tetap saja, si cowok itu masih ngotot sambil terus menarik-narik tangannya.

Sekarang Mahiru tampak ketakutan, takut dengan apa yang mungkin akan dilakukan cowok itu selanjutnya.

Amane memutuskan kalau Ia tidak bisa membiarkan ini berlangsung lebih lama lagi. Sambil mengerutkan kening dan mencondongkan tubuh ke luar jendela yang setengah terbuka. “Kurasa dia tidak menghargaimu yang terlalu memaksa,” gerutunya. Suaranya cukup keras untuk didengar mereka berdua.

Cowok tersebut berputar dengan panik, dan Mahiru memanfaatkan jeda singkat itu untuk lepas dari genggamannya dan dengan cepat membuat jarak di antara mereka berdua. Dia pasti mengenali suara Amane, karena dia terlihat lega dengan gangguan yang tiba-tiba. Meski dia masih berusaha mempertahankan wajah tanpa ekspresi, Amane tahu bahwa Mahiru merasa jijik dan takut dengan tindakan egois cowok itu.

Hal itu pasti sangat mengganggunya…

Amane memelototi cowok kasar tadi dengan wajah marah sekaligus jijik.

Karena kemarahannya begitu jelas, wajah si cowok langsung menegang, yang Amane anggap sebagai tanda kalau Ia merasa bersalah.

“Maaf, bukannya aku ingin menguping pembicaraan kalian atau semacamnya, tapi… aku kebetulan lewat dan melihat kalian berdua sedang terlibat dalam masalah; hanya itu saja. Ditambah lagi, sepertinya Shiina-san tampak kesakitan.” Amane menunjuk ke Mahiru, yang sedang menggosok tangannya di tempat cowok itu meraihnya.

“Ap-Apa kamu benar-benar terluka?” tanya si cowok, wajahnya semakin pucat.

“…Genggamanmu cukup kasar saat menangkapku. Lagi pula, itu salah menyentuh seorang gadis tanpa izin.” Mahiru telah mendapatkan kembali ketenangannya. Alih-alih marah, suaranya terdengar sedingin es.

“Itulah yang dia bilang.” Amane mengangguk. “Kamu harus lebih berhati-hati lagi.” Imbuhnya.

Si cowok menggigit bibirnya dengan keras. “Maaf” hanya itu yang Ia katakan sebelum bergegas pergi.

Merasa lega karena si cowok sudah pergi, Amane berbalik ke arah Mahiru. Dia tersenyum tipis pada Amane, masih dengan sikap waspada sambil mencengkeram tangan di dadanya. Melihat Mahiru yang begitu membuat hati Amane tersayat, dan Ia hampir ingin mengulurkan tangannya. Tapi mereka masih berada di sekolah, jadi Amane tidak bisa sembarangan melakukan kontak dengannya. Mahiru pasti mengerti itu. Dia membungkuk dalam-dalam dan berbalik untuk pergi. Entah bagaimana, dia terlihat lebih lembut dari biasanya, tapi yang bisa Amane lakukan hanyalah melihat kepergiannya dengan cemas.

 

◇◇◇◇

 

“Terima kasih untuk sebelumnya.”

Itulah hal pertama yang Mahiru katakan pada Amane setelah mereka sampai di apartemen.

Dia memasang senyum bermasalah.

Mahiru pasti masih kepikiran dengan kejadian siang tadi. Dia duduk di sofa di sebelah Amane, terlihat sedikit lelah, dan bersandar di bantal. Biasanya, Mahiru duduk dengan sangat tegak lurus. Dia pasti merasa sedikit lelah.

“Sejujurnya, aku juga kebingungan apa aku mungkin sudah melampaui batas,” ujar Amane.

“Tidak, kamu benar-benar sudah menyelamatkanku. Cowok itu tidak mau melepaskan tanganku, meski aku sudah memintanya. Semua orang tahu kalau aku tidak pernah menerima pengakuan cinta, dan kebanyakan murid cowok lain tampaknya langsung memahami kalau aku menolaknya, jadi mereka cepat menyerah—tapi cowok tadi siang agak berbeda.”

Amane tidak tahu seberapa banyak cowok yang sudah menembak Mahiru, tapi dari perkataan Mahiru, kelihatannya jumlahnya cukup banyak. Walau begitu, Mahiru tidak pernah menerima satu pun pengakuan cinta mereka. Sempat terlintas di benak Amane bahwa jika dia benar-benar mulai berpacaran dengan seseorang, waktu kebersamaan mereka juga pasti akan berakhir.

“… Kamu memang sangat populer, ya?”

“Yah, kurasa memang begitu. Meski itu bukan sesuatu yang membuatku senang, tau.” tutur Mahiru secara terbuka mengakuinya sebagai fakta dan kemudian dengan jelas mengungkapkan perasaannya yang sebenarnya tentang masalah tersebut. “Aku menghargai kalau mereka menaruh kasih sayang kepadaku, tapi belakangan kali ini jadi lebih mengkhawatirkan ...”

Mahiru menggumamkan sesuatu dengan nada yang agak menyesal karena tidak tahu bagaimana mengelola semua ekspetasi mereka, dan Amane menyadari bahwa dia sering berurusan dengan hal semacam ini.

Amane jarang berinteraksi dengan Mahiru di sekolah. Setiap kali memikirkannya, Amane pasti menatap Mahiru, jadi Ia dengan sengaja berusaha membatasi insiden itu jika memungkinkan. Itulah sebagian alasan, mengapa Amane tidak tahu seberapa sering dia harus mengalami peristiwa pengakuan cinta.

“Dan aku yakin kalau kamu selalu menolak dengan ramah dan terus terang, kan?”

“Yah, jika seseorang datang kepadaku untuk mengungkapkan perasaannya dengan sungguh-sungguh, tentu saja aku akan mendengarkannya sebelum aku menolaknya. Bagaimanapun juga, rasanya tidak sopan untuk mengabaikan mereka. Meski aku berpikir kalau tidak semua dari mereka serius tentang perasaan mereka, sih?”

“Eh, masa?”

“Ya. Ada beberapa cowok yang menembakku meski sudah mengetahui kalau aku akan menolaknya, layaknya sanksi dari suatu hukuman permainan. Ada juga yang menyukai penampilanku dan menginginkanku seperti sebuah trofi. Tentu saja aku tidak punya niat untuk meladeni orang-orang yang begitu. ”

“Aku tidak menyangka kalau ada cowok yang bisa mengumpulkan keinginan untuk menembakmu dengan alasan yang begitu sepele.”

Ia memiliki keraguan serius tentang golongan cowok yang pertama, dan mengenai golongan cowok kedua, Yah, Amane selalu percaya bahwa suatu hubungan harus menjadi hal yang serius. Jika seseorang berniat mengakui cinta mereka, mereka harus benar-benar tulus, dan Amane sendiri merasa tidak yakin kalau perasaan dangkal seperti itu masih bisa disebut “cinta” atau tidak.

“Aku dengan sopan menolak orang-orang yang seperti itu, sama seperti yang lainnya. Aku tidak bisa menerima pengakuan mereka pada tingkat yang mendasar. Itu tidak mungkin.” Nada suara Mahiru menjadi dingin lagi.

Amane mengingat reaksinya saat pertama kali Mahiru datang ke apartemennya—dan Ia secara tidak sengaja menyentuh topik sensitif—dan merasa kalau Ia tidak bisa mengatakan apa-apa lagi.

Mahiru jelas-jelas tidak tertarik menjalin hubungan yang cuma untuk main-main. Amane juga merasakan hal yang sama, dan Ia sekali lagi merenungkan fakta bahwa meskipun kata-katanya saat itu disebabkan oleh kesalahpahaman, perkataannya waktu itu masih sangat kasar.

Usai melirik ke arah Mahiru, Ia bisa melihat bahwa matanya tidak sedingin sebelumnya, dan meski Amane tahu bahwa tatapannya yang menghina dan judes itu tidak dimaksudkan untuknya, Amane masih merasa sedikit segan padanya.

“Ngomong-ngomong, mungkin ini pertanyaan yang naif, tapi … apa banyak yang mengira kalau aku ini orang gampangan yang mengangguk setuju begitu saja untuk berpacaran dengan seseorang yang hampir tidak kukenal?”

“Tidak, kurasa tidak juga …”

“Kalau begitu, mengapa mereka semua melakukan upaya yang sia-sia? Rasanya aneh kalau mereka berpikir aku mungkin menjawab ya meski aku tidak mengenal mereka. Hanya saja, rasanya jadi sedikit menakutkan didekati oleh orang asing sepanjang waktu, ”gumam Mahiru, merasa terganggu karena sering mendapat pengakuan dari cowok.

“… Apa menurutmu mereka kehilangan kendali karena mereka ingin kamu memperhatikan mereka atau semacamnya?”

“Jadi maksudmu, apa mereka diperbolehkan untuk menggenggam pergelangan tanganku atau bersikap kasar karena mereka tidak bisa mengendalikan diri?”

Suasana hati Mahiru semakin buruk.

Amane menggelengkan kepalanya untuk menghilangkan kesalahpahaman yang mungkin dimiliki Mahiru tentang apa yang baru saja Ia katakan.

“Tidak, tentu saja bukan begitu maksudku. Memang tidak ada yang salah dengan menyukai seseorang, tapi tidak dibenarkan juga untuk memaksakannya pada orang lain atau dengan egois mencoba memaksakan perasaan mereka. Aku jelas tidak mencoba membela apa yang dilakukan orang itu. Kalau pun ada, aku justru merasa marah.”

Mahiru mempunyai paras yang sangat cantik, dan Amane tidak bisa menyalahkan seseorang karena ingin memenangkan hatinya. Bagaimanapun juga, Ia sendiri memiliki perasaan untuk Mahiru. Tapi Ia takkan pernah mencoba memaksakan perasaannya pada Mahiru. Saat Ia menggunakan alasan itu untuk membenarkan tindakan yang  membuat Mahiru tidak nyaman adalah saat Ia sudah bertindak terlalu jauh.

Kali ini, setidaknya, Amane kebetulan ada di sana untuk ikut campur. Ia bergidik ngeri saat memikirkan ada seseorang yang mencengkeram tangan Mahiru seperti itu ketika Ia tidak ada. Meski Amane tahu bahwa Mahiru takkan ragu untuk membela diri, secara fisik jika perlu, itu masih merupakan pikiran yang tidak menyenangkan.

“… Apa begitu?” tanya Mahiru.

“100 persen.” jawab Amane. “Tindakannya sudah keterlaluan karena mencoba memaksakan perasaannya padamu seperti itu ... Apa kamu tidak merasa takut?”

“Aku sedikit takut, tapi kalau Ia berusaha mencoba menyakitiku, aku akan menendangnya tepat di selangkangan dengan segenap tenagaku.”

Sesuai dugaan Amane, Mahiru takkan ragu-ragu untuk membalas dengan kekerasan. Jika dia diancam, siapa pun akan mengerti jika dia berusaha membela diri.

“Aku pikir itu salah satu solusinya,” kata Amane. “Harus kuakui, hanya memikirkannya saja membuatku sedikit ngilu.”

“Bukan berarti aku akan melakukan hal seperti itu padamu, Amane-kun.”

“Yah, kuharap aku tidak pernah memberimu alasan untuk melakukan itu.”

Orang tua Amane akan mencoretnya dari daftar kartu keluarga jika Ia berani berbuat  sesuatu seperti itu. Dan itu bertentangan dengan prinsipnya sendiri. Memaksakan kehendak pada seorang gadis akan menjadi aib bagi semua cowok.

Amane mengira Ia telah memperjelas posisinya tentang masalah ini, tapi Mahiru terus menatapnya dengan sedikit kesal.

“…Tentu saja tidak. Bukan kepada Amane-kun yang sudah menjadi cowok jantan sempurna.”

“Apa ini perasaanku saja, atau kamu memang sedang marah padaku?”

“Mana ada, aku hanya memujimu, kok.”

“Tapi sorot matamu tidak menyiratkan begitu.”

“Itu pasti cuma imajinasimu saja, Amane-kun.”

Baik nada suaranya maupun sorot matanya jauh dari kata ramah. Justru sebaliknya, wajahnya tampak tidak puas. Apa yang dia katakan dan cara dia mengatakannya tidak selaras, dan Amane tidak memahami apa yang sebenarnya dia maksud. Tatapan Amane mengembara gugup ke sekeliling ruangan saat menggeliat di bawah tatapannya. Mahiru tersenyum kecil, seolah mengatakan bahwa ketidaknyamanannya tidak bisa dihindari.

“Yah, dalam hal menghormati perasaan gadis, kamu sudah sempurna, Amane-kun. Tapi kamu memiliki satu kelemahan, tahu?”

“Dan apa itu…?”

“Kamu lemah terhadapku, ‘kan?”

Terkejut oleh senyum nakalnya yang begitu tiba-tiba, Amane memalingkan wajahnya, tapi Mahiru sepertinya tidak menyadari ketidaknyamanannya dan mulai sedikit bersandar pada Amane.

Mahiru juga sepertinya tidak menyadari detak jantung Amane yang berpacu begitu cepat.

“Perkataanku ini mungkin terdengar sedikit sombong, tapi popularitas sendiri sebenarnya merupakan sebuah masalah, tahu?” Mahiru bergumam dengan suara serak. Dia terdengar benar-benar bermasalah. “Aku menyadari bahwa, setidaknya secara fisik, aku lebih menarik daripada kebanyakan orang. Jadi hal semacam ini sering terjadi, dan aku sudah muak dengan itu.”

“…Kedengarannya sulit.”

“Memang. Oh, aku yakin ada beberapa gadis yang mungkin akan mengatakan kalau hal tersebut menjadi masalah yang luar biasa untuk dimiliki, tapi jujur saja, aku berharap kalau aku tidak harus berurusan dengan orang asing yang terus-menerus menyatakan cinta mereka dan kemudian menjadi murung ketika aku menolaknya, atau bahkan lebih buruk, bersikap kegatelan atau mendadak marah. Rasanya melelahkan karena harus menolak begitu banyak pengakuan. Dan aku merasa bersalah saat menolaknya juga, kau tahu.”

Mahiru tidak memiliki belas kasihan pada siapa pun yang dia anggap sebagai musuhnya. Pada saat yang sama, dia pada dasarnya adalah gadis yang berhati baik dan bijaksana serta umumnya memperlakukan semua orang yang dia temui dengan baik.

“Aku berpikir kalau itu bukan lagi candaan kalau aku merasakan bahaya karena menjadi diriku sendiri,” gumam Mahiru. “Aku bekerja begitu keras untuk mengembangkan diriku bukan demi bisa menjadi aksesori seseorang.”

Mahiru menghela nafas dengan keras. Dia terdengar benar-benar muak dan lelah.

Ketenaran memang mempunyai serangkaian masalahnya sendiri.

Amane mengulurkan tangan dan dengan lembut membelai rambutnya. Mahiru membiarkan Amane melakukannya, secara pasif menerima gerakan meyakinkan itu.

Respons yang sama sekali berbeda terhadap kontak fisik ini terletak pada hubungan saling percaya antara Mahiru dan dirinya. Saat Amane menepuk kepalanya, berhati-hati agar jarinya tidak tersangkut di rambut halusnya, Mahiru memejamkan matanya, seakan-akan menikmati momen ini. Dia hampir menyerupai kucing yang membiarkan teman tepercaya menjilatnya.

“Kepribadian yang aku gunakan di sekolah adalah salah satu yang aku pilih, tapi hal itu membuat segalanya menjadi sulit saat ada orang yang ingin mengenalku. Aku takkan membiarkan siapa pun menyentuhku kecuali aku menginginkannya.”

Saat Mahiru yang tampak tidak senang mengucapkan kata-kata itu, tangan Amane berhenti sejenak. Saat ini, Mahiru membiarkan Amane menyentuhnya, tapi mau tak mau hal itu membuat Amane berpikir kalau dirinya entah bagaimana mengambil keuntungan dari Mahiru yang sedang bad mood.

“Kenapa tanganmu berhenti?”

“Yah, aku, uh…,” Amane tergagap. “Tiba-tiba aku merasa sedikit sadar diri tentang setiap kali aku menyentuhmu sebelumnya ...”

“Jika aku tidak menyukainya, aku pasti sudah lama menghentikanmu, jadi kamu tidak perlu risau.”

“Ba-Baiklah.”

“Kamu boleh menyentuhku lebih banyak lagi… jika kamu mau.”

Dia lalu menatap Amane dan tersenyum lembut, dan dari tatapan matanya, Amane bisa melihat kepercayaan dan secercah antisipasi.

Amane menelan ludah kecut. “I-Itu sih, um—” Ia kebingungan bagaimana harus menjawabnya.

“Aku cuma bercanda.” Ekspresi Mahiru kembali normal, dan terkekeh. Dia lalu menurunkan pandangannya. “Tapi tolong… tetap pegang tanganku. Apa yang terjadi hari ini sedikit mengerikan.”

Amane tidak yakin bagaimana menanggapi kata-katanya yang tenang atau kesedihan yang menyayat hati yang bisa Ia rasakan mengalir di dalam dirinya, jadi Amane hanya menggigit bibirnya dan meraih tangan Mahiru.

Jari-jari Mahiru terasa ramping dan mungil. Saat Amane menelusuri jari-jarinya di atas jarinya, Ia bisa merasakan bahwa itu terasa lembut tapi kuat, dengan sedikit kapalan di mana bagian penanya biasanya diletakkan. Jarinya tidak lemah sedikit pun.

Tapi dia juga tidak berpikir kalau tangan ini cukup kuat untuk melawan seorang cowok SMA. Amane tidak yakin apakah Mahiru berusaha tidak melepaskannya atau tidak bisa. Pokoknya yang jelas, dia merasa sedikit trauma atas kejadian siang tadi .

Amane dengan lembut menggosok dan memijat tangannya, mencoba membantu mengendurkan rasa takut yang menyelimuti dirinya.

Mahiru tersenyum tipis, terlihat sedikit lebih baik. “Aneh sekali. Saat kamu menyentuhku, yang kurasakan justru rasa nyaman.”

“Sebagian dari diriku berharap kamu mempertahankan sedikit kewaspadaan saat kita baru pertama kali bertemu …”

Amane kemudian menatap mata Mahiru, bertanya-tanya apa tidak masalah membiarkan dia menyentuhnya seperti ini, dan Mahiru menjawab dengan senyum yang indah.

“Oh, kamu tidak puas dengan hubungan kita saat ini?”

“Bu-Bukannya aku tidak puas, tapi… Bagaimana bilangnya ya…?”

“Jika aku tidak setuju dengan itu, aku takkan berkeliaran di dalam apartemenmu, dan aku takkan membiarkanmu menyentuh aku. Aku juga takkan pernah membiarkanmu tiduran di pangkuanku.”

“Kamu mungkin seharusnya tidak boleh membiarkanku melakukan itu ...”

“Meski kamu terlihat menikmatinya?”

Amane kesulitan membantah hal itu.

Ia dengan senang hati meletakkan kepalanya di paha Mahiru dan tertidur lelap, jadi desakannya agar mereka tidak melakukannya lagi terdengar sedikit kurang valid. Bahkan jika Mahiru adalah orang yang mengusulkannya sendiri, Amane sendiri yang bersemangat menyetujui ide itu.

Jadi ketika Amane menjawab dengan sedikit mengalihkan pandangannya dan berkata “...Itu ya itu, dan ini ya ini,” sambil tertawa kering.

“Fufu, jadi ada cara praktis seperti itu ya. Aku akan mengingatnya baik-baik untuk menggunakannya nanti. Tapi … kamu jangan perlu khawatir, oke? Aku akan membiarkanmu meletakkan kepalamu di pangkuanku kapan pun kamu merasa lelah.”

“Ah, kupikir aku akan menahan diri ...”

Amane tahu betul jika Ia membiarkan dirinya terbiasa dengan pengalaman yang semenakjubkan itu, Ia akan menjadi kecanduan. Amane menjadi benar-benar putus asa, bahkan lebih dari sebelumnya, tapi dengan kemampuan yang bahkan lebih sedikit untuk melawannya.

Ketika Amane dengan lembut menolak tawarannya demi menjaga sedikit martabat yang tersisa, Mahiru tersenyum ramah. “Ara, sayang sekali.” Dia tidak tampak sangat kecewa. Amane merasa kalau dia sedang mengolok-oloknya.

“…Jangan menggodaku.”

“Tidak kok. Itulah yang benar-benar aku rasakan.”

Dalam hal ini, dia cuma berbuat nakal.

Amane mencoba meremas tangan Mahiru lebih keras untuk memberitahu bagaimana perasaannya, tapi Mahiru hanya tertawa seolah-olah kalau genggaman erat Amane cuma bisa menggelitiknya, jadi Amane berbalik untuk menyembunyikan rasa malunya yang begitu jelas.

 

Sebelumnya  |  Daftar isi  |  Selanjutnya

close

Posting Komentar

Budayakan berkomentar supaya yang ngerjain project-nya tambah semangat

Lebih baru Lebih lama