Chapter 1 — Jarak Di Antara Mereka
“... Ichi.”
Keterkejutan memenuhi
kepalanya. Ia terus memberitahu dirinya sendiri untuk tenang dan santai, tapi
jalan pikirannya sepertinya tidak berhenti sama sekali.
Hatinya terus berdetak seperti
mesin mobil. Ia berada dalam kondisi 'kebingungan'
dan situasi dapat dengan mudah dimasukkan dalam kamus Jepang sebagai contoh
kalimat dari kata tersebut.
Luna langsung bergegas ke arah
Ichigo.
“Hah…?”
Semuanya terjadi begitu
mendadak.
Mana mungkin Ia bisa bereaksi
dengan tepat.
Butuh kurang dari satu detik
untuk menutup jarak di antara mereka.
Luna berlari ke Ichigo secepat
yang dia bisa, lalu mendekati wajahnya
—
dan bibir lembut Luna menyentuh bibir Ichigo.
“Wooaahh!…”
Seketika, Ichigo berteriak dan
terbangun.
Matanya melebar, dan melihat
dinding interior putih yang familier dari perumahan perusahaan.
Ruangan itu dipenuhi dengan
keheningan. Cahaya mentari pagi bersinar melalui tirai, menerangi bagian dari
kegelapan redup seolah-olah memotongnya.
Setelah beberapa saat tertegun
oleh situasi tersebut, Ichigo menyadari kalau dirinya berada di tempat tidur
dan menghela nafas lega.
“Mimpi, ya ...”
Akhir-akhir ini, adegan pada hari
itu terus terngiang-ngiang di dalam kepalanya. Tak perlu dikatakan lagi, itu
adalah hari Luna menciumnya. Peristiwa tersebut sangat mengejutkannya baginya
... Itu bukan sesuatu yang bisa Ia abaikan dengan mudah.
Putri dari cinta pertamanya,
yang penampilannya sama persis seperti dia. Seorang gadis SMA yang telah
mencuri bibirnya.
“Ya ampun …”
Bagaimana
bisa aku terus kepikiran hal itu? - Ichigo bertanya pada dirinya
sendiri. Sebagai masyarakat beradab, dan sebagai orang dewasa berusia 28 tahun,
hal itu sangatlah menyedihkan.
Ichigo menghela nafas jijik
pada dirinya sendiri, kemudian melanjutkan untuk beranjak dari tempat tidur.
Sambir beridiri, Ia dengan ringan meregangkan punggungnya dan mulai bersiap
untuk hari itu.
Hari lain dari rutinitasnya
untuk bekerja.
Biasanya, Ichigo masih merasa
sedikit mengantuk setelah bangun, jadi Ia akan bermain-main dengan smartphone-nya
sampai benar-benar terjaga, tetapi hari ini, semua rasa kantuknya langsung
menghilang berkat mimpi yang baru saja dialaminya.
Kamar tidur rumah ini berada di
lantai pertama, jadi Ichigo keluar dari kamar tidurnya dan langsung menuju ruang
tamu. Kemudian, Ia pergi ke area dapur yang terhubung ke ruang tamu dan mulai
menyiapkan sarapan.
Ia meletakkan roti di
pemanggang. Dan pada saat yang sama, menyalakan mesin kopi. Ia memasukkan bubuk
kopi dari kafe favoritnya dan air mineral, dan kemudian mesin kopi mulai
menyeduh.
Setelah menyelesaikan
persiapan, Ia kembali lagi ke ruang tamu dan menyalakan TV untuk memeriksa
berita pagi. Memeriksa informasi saat ini, termasuk ramalan cuaca, sangat
penting. Penting untuk memahami perubahan dan tuntutan dunia secara langsung
dan memasukkannya ke dalam manajemen toko.
Tak lama, alarm terdengar di
dapur, menunjukkan bahwa roti panggang dan kopinya sudah siap. Ichigo
menempatkan roti panggang ditambah dengan margarin, selai blueberry, dan secangkir
kopi yang baru diseduh, dengan susu serta gula, di atas nampan kayu dan
membawanya ke meja ruang tamu.
“Itadakimasu.”
Aroma unik dari kopi otentik,
yang diimpor dari Brasil, memiliki aroma pahit yang memenuhi hidungnya.
Setelah menyelesaikan
sarapannya dengan cepat, Ichigo membersihkan piring dan pergi ke kamar mandi
untuk mandi.
“Hah ...”
Kamar mandi dipenuhi dengan
panas dan kelembaban. Ketika air panas mengalir di atas kepalanya, Ichigo
mengingat isinya dari mimpinya yang tadi. Namun, dirinya tidak cuma kebingungan,
tapi juga berusaha menganalisa dan memilah pikirannya dengan tenang.
“....”
Memang benar bahwa Ichigo
sendiri kewalahan oleh tindakannya yang jujur dan
mendadak itu.
Di dalam diri gadis itu,
terdapat bom tidak aktif yang akan meledak kapan saja jika dia didorong terlalu
dalam atau menumpuk terlalu banyak. Jadi wajar saja untuk tidak memprovokasinya
... tetapi bahkan sebelum itu, Ichigo masih belum bisa menemukan solusi yang
tepat tentang cara menanggapi dan berinteraksi dengannya. Itu sebabnya di toko,
walau Ichigo tidak mengabaikannya, Ia mungkin berusaha menjaga jarak dengan
Luna.
“Sungguh merepotkan ...”
Masalah ini bukanlah perkara
yang mudah diselesaikan. Sebuah masalah tanpa solusi yang jelas.
Ichigo berpikir kalau dirinya
sudah terbiasa dengan hal-hal emacam itu, setelah mengalaminya berkali-kali
melalui pekerjaannya ... baru-baru ini Ia menyadari bahwa Ia masih belum
memiliki banyak pengalaman di bidang ini.
Di dalam bidang cinta,
maksudnya.
“… Aku harus tegas.” Ichigo
berkata ketika menampar pipinya sendiri dengan telapak tangannya.
Selama tetap terngiang-ngiang
di kepalanya, itu akan menjadi kenyataan yang harus dia hadapi, tapi meski
demikian, tidak ada gunanya mengkhawatirkannya terus.
Sebagai orang dewasa, Ia harus
tahu kapan harus mengumpulkan fokusnya. Pertama-tama, Ia harus memenuhi peran
dan tugasnya. Setelah sampai pada kesimpulan ini sekali lagi, Ichigo keluar
dari kamar mandi dan mengenakan pakaian kerjanya. Kemudian, Ia mengambil tasnya
dengan barang-barang yang terkait pekerjaannya, laptop dan dokumennya, lalu
kemudian meninggalkan rumah. Ia masuk ke mobil mini pribadinya dan menuju
tempat kerjanya.
※※※※※
“Permisi, Pak manajer.”
Seolah-olah kesedihan Ichigo di
pagi hari tak ada gunanya, pada hari itu di tempat kerja, Ia didekati oleh
orang yang bersangkutan, Luna. Saat berada di ruang persediaan, Luna kebetulan
lewat dan memanggilnya.
“Ah, Lu ... Hoshigami-san.”
Tentu saja, Luna mengenakan
seragam pekerja paruh waktunya hari ini, dengan rambut hitamnya yang panjang
diikat dengan gaya ekor kuda. Penampilannya tampak ceria dan imut, berbeda dari
pakaian biasa yang biasanya dia kenakan – sebuah pemandangan yang biasa Ichigo lihat.
Namun, ketika dihadapkan olehnya, Ichigo sekali lagi kewalahan, dan nada suaranya
tanpa sadar sedikit meninggi. Tentu saja, itu bukan karena dia tertarik pada
penampilan Luna atau semacamnya.
Terlebih lagi, tidak ada orang
lain selain mereka saat ini. Mau tak mau, kewaspadaan Ichigo jadi meningkat.
Namun...
“Di mana kita harus membuang
baterai bekas yang dikumpulkan?”
Luna mengajukan pertanyaan
terkait pekerjaan.
“Ah, ya, tentang itu ... ada
titik pengumpulan sampah, dekat gerbang muatan di belakang ruang persediaan.
Ada kotak penyortiran untuk baterai, jadi kamu bisa memasukkannya ke sana.”
“Terima kasih banyak, pak!”
Ketika Ichigo menunjuk ke arah
area pengumpulan, Luna berterima kasih padanya dengan ceria. Dia menunjukkan senyum
cantik yang sama dengan yang selalu dia tunjukkan kepada pelanggan di area
penjualan di tempat kerja. Setelah memberinya senyum yang tampaknya agak
profesional, Luna berjalan menjauh dari tempat Ichigo berada.
“......”
... hari ini juga, sikap Luna
terhadap Ichigo masih terlihat normal. Hanya karena mereka berduaan di ruang
tertutup, bukan berarti dia akan menunjukkan kontak dekat yang sama pernah dia
lakukan pada saat itu ... pada kenyataannya, setelah hari di mana bibir mereka
saling bercumbu, Luna benar-benar berhenti mendekatinya . Dia bahkan tidak menunjukkan
kepura-puraan.
Sebagai pekerja paruh waktu,
dia menjalani pekerjaannya dengan serius dan menjaga jarak yang sesuai dari
Ichigo.
(…'Sesuai'?)
...
Tidak, jarak ini, apakah ini benar-benar 'jarak yang sesuai'? -
Ichigo berpikir pada dirinya sendiri.
Rasanya terlalu asing, atau
terlalu kasual ... tapi Ichigo masih belum bisa menyebutnya sebagai acuh ...
(...
Apakah aku terlalu gede rasa?)
Alih-alih berpikir tentang itu
- Ichigo mengarahkan pemikirannya pada sesuatu yang sedikit lebih bencana.
Mungkin, pikirannya sudah tidak lagi apa yang Ia pikirkan. Dengan kata lain,
ciuman tempo hari itu meniup sesuatu ke dalam dirinya. Atau bahwa ada ada yang
tidak diketahui Ichigo dan meerubah pikiran Luna secara drastis.
(...
Jadi, jika dia benar-benar memiliki perubahan, maka ...)
Itu artinya,
— Apa dia tidak lagi peduli dengan Ichigo?
—
Apa dia sudah tidak tertarik dan tidak menyukai Ichigo?
“......”
Ichigo penasaran.
Saat memikirkan hal tersebut
... walau hanya sedikit, tetapi hatinya perih. Seolah-olah Ia mengalami patah
hati ...
“... Apa sih yang aku pikirkan
...”
Apa
kamu merasa kecewa? Apa kamu menyesal? Karena kasih sayang Luna kepadamu sudah
men hilang? Sebenarnya, memangnya kamu ini siapa, hah? Tidak mengherankan kalau
keyakinanmu sangat goyah. Mulut siapa yang berani menceramahi Luna dengan sok
dewasa dan selalu benar?
Tiba-tiba, Ichigo mau tak mau
memarahi dirinya sendiri dalam hatinya karena memikirkan kemungkinan yang
terlintas dalam pikiran dan kurangnya pengekangan diri ke arahnya.
Lalu—
“…Hmm?”
Ichigo baru menyadari.
Beberapa meter dari tempatnya.
Luna, yang seharusnya berjalan
menjauh darinya, berbalik dan memandang Ichigo.
Apakah dia menatapnya dengan
peduli karena Ichigo mendadak melamun?
Tidak-
“Ah…”
Ketika Ichigo memperhatikannya,
Luna segera mengalihkan wajahnya dan kabur. Seolah-olah melarikan diri.
(...
Mungkin itu cuma imajinasiku saja?)
Untuk sesaat, Ichigo mulai
berpikir.
Segera setelah tatapan matanya
bertemu Luna, wajahnya memerah, dan bergegas untuk menutupinya ...
Itulah kesimpulan yang Ichigo
dapatkan.
※
※ ※ ※ ※
Waktu pun berlalu menjelang
tengah hari.
“Manajer, makan siang yang anda
pesan sudah tiba, jadi tolong cepat.”
“Oh aku mengerti.”
Wakana, asisten manajernya,
memanggil Ichigo saat bekerja dari kursinya di kantor.
Karyawan yang tidak membawa
kotak makan siang mereka sendiri memesan makan siang untuk dikirim.
Melihat jam tangannya, Ichigo
melihat kalau waktunya sudah pukul 12:30.
“Yah, kurasa ini saat yang
tepat untuk istirahat makan siang singkat.”
“Ya pak.”
Setelah memberi tahu Wakana,
Ichigo meninggalkan ruang kantornya. Ia kemudian langsung menuju ruang
istirahat. Di sana, di dalam ruang istirahat, beberapa karyawan toko sedang
makan bersama.
“Ah…”
Secara tak sadar, Ichigo
berhenti bergerak. Di antara mereka, Luna berada di sana. Dia duduk di salah
satu meja sembari membawa kotak makan siang di tangannya. Tak perlu dikatakan
lagi, dia membuat makan siangnya sendiri.
Luna dikelilingi oleh
sekelompok mahasiswi paruh waktu dan ibu rumah tangga yang juga sedang
istirahat.
“Tapi kamu benar-benar cantik,
Luna-chan.”
Tidak dapat memasuki ruang
istirahat, Ichigo menyembunyikan dirinya di dekat pintu masuk dan mengintip ke
dalam. Tampaknya semua orang sedang asyik mengobrol.
“Rambut dan kulitmu dirawat
dengan sangat baik, aku jadi sangat cemburu.”
“Terima kasih banyak, itu
membuat saya bahagia.” Tersenyum, Luna menunjukkan tawa malu-malu. Senyum di wajahnya
tampak murni dan polos, seolah-olah dia benar-benar senang dan tidak ada
sedikit pun sarkasme mengnai hal itu.
“Ara~, aku dulu semenarik
Luna-chan, loh.”
“Ya, ya, anda selalu mengatakan
hal yang sama setiap kali ada gadis muda yang baru masuk.” Sonozaki, seorang
pekerja paruh waktu sekaligus ibu rumah tangga yang bertanggung jawab atas
departemen desain interior dan teman baik Luna, terus-menerus menyela
percakapan sejawatnya.
Dan begitulah, Luna berbaur
dengan suasana unik dari wanita-wanita yang lebih tua dan tampaknya membuat
pembicaraan kecil tanpa kewalahan. Fakta bahwa dia bisa lancar berinteraksi
dengan siapa pun, terlepas dari usia, menunjukkan seberapa baik keterampilan
komunikasinya.
“Um, permisi, Hoshigami-san!”
Saat itu, seorang pemuda yang
berperawakan baik, yang melirik kelompok gadis-gadis dari kursi agak jauh,
mendekati dan memanggilnya. Cowok itu adalah Aoyama, mahasiswa pekerja paruh
waktu.
“Kalau tidak salah, hari ini
shift-mu selesai pukul 5 sore, ‘kan?”
“Ah iya.”
Seperti yang diharapkan dari
seorang mahasiswa perguruan tinggi pendidikan jasmani, suaranya terdengar
keras. Namun, napas hidungnya, nada suara, dan gerakan membuatnya tampak agak
terlalu kuat ... Itu membuat Luna merasa agak bermasalah.
“Aku juga akan selesai pukul 5
sore, jadi … bila kamu tidak keberatan, apa kamu ingin makan malam bersamaku
setelah bekerja?”
“Eh?”
Rupanya, Ia berusaha mengajak Luna
untuk keluar makan.
“Ada warung ramen yang enak di
dekat sini, jadi biarkan aku mentraktirmu.”
Pada desakan Aoyama, Luna
tampaknya berusaha mencari kata-kata yang tepat saat dia sedikit terkekeh. Sayangnya,
tidak peduli bagaimana orang melihatnya, ajakan Aoyama jelas-jelas seperti
kalimat rayuan.
“Apa yang kamu lakukan berusaha
merayu seorang gadis SMA yang baru kelas 1?”
“Motif tersembunyimu kelihatan
jelas.”
Sekelompok mahasiswi parh waktu
di ruangan itu berteriak meledeknya.
“Be-Berisik, aku tidak
bermaksud melakukan itu ...”
“Maksudku, kamu mencoba menggoda
gadis berusia 15 tahun, itu sangat gawat, kan?”
“Luna-chan, kamu harus
hati-hati. Ia itu tipe cowok yang mendekati siapa pun. Ia juga menggunakan trik
yang sama pada kami ketika kami baru pertama kali bekerja di sini.”
“Kamu terlalu bersemangat
karena kamu biasanya tidak memiliki kesempatan untuk bertemu siapa pun.”
Ia menjadi sasaran cemoohan
serta ejekan, dan menerima dampak yang buruk buat hatinya
(...
Aoyama-Kun, aku kasihan padamu ...)
Tapi begitulah adanya. Luna
diperlakukan oleh orang-orang di sekitarnya seolah-olah dia dicintai dan
dipuja. Melihat mereka berinteraksi satu sama lain, Luna dengan santai tertawa,
“Ahahaha ...”
Kemudian…
“Ngomong-ngomong, apa ada
seseorang yang kamu sukai sekarang, Luna-chan?”
Tiba-tiba, Sonozaki bertanya
padanya. Percakapan itu melayang ke dalam topik percintaan. Bahkan Ichigo, yang
bersembunyi di dekat pintu masuk, merasa gugup.
“Sekarang kamu mengungkitnya,
Luna-chan masuk d SMA Himesuhara, karena itu sekolah khusus perempuan, jadi dia
tidak bisa bertemu siapa pun, kan?”
“Mungkin seseorang dari sekolah
yang berbeda?”
“Bisa jadi guru di sekolahnya?”
Salah satu mahasiswi paruh
waktu berkata begitu, dan kemudian pekerja paruh waktu lain, yang juga seorang ibu
rumah tangga mulai berteriak berlebihan.
“Eh, guru? Itu sih enggak
baik.”
“Kamu pasti enggak mau pacaran
dengan pria yang mengincar murid-muridnya sendiri, ya ‘kan.”
“Apalagi anak di bawah umur
begitu?”
“Menjijikkan.”
......
Ichigo tahu kalau mereka tidak
bermaksud seperti itu, tapi kalimat yang diucapkan oleh para wanita sangat menusuk
hati Ichigo. Pada saat yang sama, Luna masih mendengarkan komentar mereka
dengan senyum masam di wajahnya.
“Ahaha ... namun,” tapi
kemudian, Luna menundukkan wajahnya sedikit. Dia bergumam pada dirinya sendiri,
pipinya sedikit berwarna kemerahan. “Saya agak merindukannya ... Ini seperti cinta
terlarang, kurasa.”
Tiba-tiba, melihat ekspresi di
wajah Luna ketika dia mengatakan ini, orang-orang di sekitarnya langsung, “Oya Oya?”, Dan mulai memperhatikan
sesuatu.
“Oh, maksudmu, ada seseorang
yang sebenarnya kamu sukai?”
Ketika ditanya begitu, Luna
terdiam sejenak dan terlihat gelisah.
“... Ya, sebenarnya, ada.”
Dia membalas begitu.
“Ada seseorang yang sedikit
lebih tua dari saya dan saya berpikir kalau Ia orang yang sangat baik.”
Ibu-ibu rumah tangga dan
mahasiswi paruh waktu langsung
bersemangat dengan komentar Luna, dan mengatakan, “Eh?!” atau “Kyaa!”
Sedangkan di sisi lain, Ichigo
sedikit tersentak, karena orang yang Luna bicarakan mungkin ...
“Oh ya, omong-omong, apa kamu
sudah memberitahunya tentang perasaanmu?”
“Ah, itu ...” Ketika salah satu
ibu rumah tangga bertanya dengan rasa penasaran, Luna menjawab tergagap. “Saya
sudah memberitahunya ... tapi ada masalah."
Pandangan Luna tertunduk ketika
dia bermain-main dengan ujung jari-jarinya, memutar ujung rambutnya ke atas
ponytail. Wajahnya tampak sedih dan gelisah.
“Saya merasa ... takut.”
Dia berbicara perlahan.
“Pihak lain adalah orang dewasa
yang sudah menjadi bagian masyarakat, jadi itu akan agak menjengkelkan jika
saya, gadis yang masih di bawah umur, dengan santai mendekatinya.”
“Eh? Apa jangan-jangan orang
yang kamu sukai sudah menikah?”
“Oh, bukan, Ia belum menikah
... tapi ada masalah pandangan sosial dan akal sehat.”
Orang-orang di sekitarnya tampaknya
setuju dengan ucapannya, dan membalas sedikit bersimpati, “Yah, mungkin itu ada
benarnya.”
“Saya menyukainya, tapi tentu
saja saya harus menjaga jarak yang tepat ... Saya mengetahui hal itu, tapi saya
tidak tahu bagaimana memperlakukannya atau seberapa dekat jarak yang bisa saya
ambil demi mendekatinya ... Itu masalahnya.”
Orang-orang di sekitarnya
tampak bersimpati dengan masalah Luna. Mereka semua mengangguk dan berkata,
“Begitu rupanya.”
“Aku pikir itu baik-baik saja,
karena kamu menyukainya, bukan? Jadi, mau bagaimana lagi, kamu tidak bisa
menahannya.” Sonozaki berkata dengan mengangguk dan melipat tangannya. “Jika aku
berada di posisi Luna-chan, aku akan mendorong lebih keras tanpa memedulikan
tentang apa yang orang lain pikirkan.”
“Tidak, itu tidak sesederhana
itu.” Ibu rumah tangga yang lain ikut menimpali.
“Tapi itu mengejutkan sekali,
bukan? Ternyata Luna-chan memiliki masalah seperti itu. Kurasa itu tidak
terduga, atau lebih tepatnya, ada kesenjangan ini.”
“Rasanya sedikit menyenangkan
saat melihat gadis muda yang polos memperjuangkan cinta terlarang.”
“Tidak bermoral ~”
Para mahasiswi paruh waktu juga
ikut bersemangat tentang hal itu.
Di sisi lain …
“Loh? Aoyama?”
“......”
“Percuma saja, nyawanya sudah
mencapai titik nol.”
Aoyama yang kaget dengan
informasi gebetan cinta Luna, berdiri di sana dengan linglung.
“Apa yang dilakukan orang ini?”
“Dari awal, kamu tidak pernah
memiliki kesempatan untuk menang, jadi jangan khawatir tentang itu.”
Gadis pekerja paruh waktu lain
mengatakan itu dengan nada kasihan.
(...
Aoyama-Kun, aku merasa kasihan padamu ...)
Dengan senyum masam, Ichigo
menyandarkan punggungnya ke dinding.
“......”
Sebuah kisah cinta yang
diceritakan Luna. Isi ceritanya terdengar berbeda dengan Ichigo.
(...
Jadi itu yang dia maksud.)
Akhirnya, Ichigo mengetahuinya.
Ia memahami. Dengan caranya sendiri, Luna berusaha menjaga jarak yang tepat dari
Ichigo. Dia ingin menuruti perkataan yang dikatakan Ichigo kepadanya sebelumnya, 'Mari kita memiliki hubungan yang sesuai dan
sehat.'
Meski dia menyembunyikan cinta
abadi di hatinya, dia masih memikirkan Ichigo dan berusaha memenuhi janjinya
kepadanya. Selain itu, dia juga berharap cintanya membuahkan hasil. Itu
sebabnya, meskipun tahu, Luna masih berjuang untuk mencari tahu seberapa dekat
jarak yang harus dia dekati untuk bisa bersama Ichigo dan bagaimana
mempersingkat jarak di antara mereka.
Itu sebabnya dia berusaha
menjauh. Itulah alasan mengapa dia bertindak sangat tidak wajar.
“Ah, sekarang sudah hampir
selesai istirahat, jadi jika saya permisi dulu.”
Mendengar suara Luna, Ichigo
buru-buru bersembunyi di belakang pilar terdekat. Menyaksikan kepalanya ke area
penjualan, Ichigo memasuki ruang istirahat pada saat yang sama.
“Pak Manajer, terima kasih atas
kerja keras anda.”
“Terima kasih atas kerja keras
anda.”
Sambil menyapa orang-orang yang
baru saja mengobrol dengan Luna, Ichigo menyantap makan siang yang sudah
disiapkan untuknya.
(...
Dia memikirkannya matang-matang.)
Ichigo mengira Luna takkan
peduli dengan omongan orang lain, atau bahkan dia tidak mempertimbangkan akal
sehat. Dia ingin perasaan membara yang terbakar di dalam dirinya untuk mencapai
Ichigo.
Memahami bahwa itu hanya akan
menjadi ledakan egois, dia jadi serius memikirkannya.
(...
Aku perlu merenungkan ini.)
Pikir Ichigo. Pada saat yang
sama, Ia mengerti bahwa ini saja tidak cukup, dan mulai berpikir dengan tenang.
Tentu saja hubungan mereka sekarang lebih aman daripada sebelumnya.
Luna menekan perasaannya yang
sebenarnya, menunggu saat yang tepat untuk datang dengan tindakan yang benar
berikutnya. Namun, Ia tidak bisa akhir. Untuk melanjutkan situasi ini tanpa
batas akan mengkhawatirkan dengan haknya sendiri.
Jika Ichigo terlalu memaksanya,
perasaannya mungkin terluka. Ya, sama seperti di mana ketika gadis dari cinta
pertamanya menghilang ...
Dan jika perasaannya hancur
berkeping-keping ...
※※※※※
Waktu pun berlalu, dan sekarang
menunjukkan pukul lima sore hari. Sudah waktunya untuk Luna meninggalkan
pekerjaannya.
“Oh, Hoshigami-san.”
Luna keluar dari ruang ganti di
belakang ruang istirahat, setelah mengganti pakaiannya. Hari ini adalah hari
libur dan dia bekerja sepanjang hari, jadi dia berada dalam pakaian santainya.
Ketika Ichigo yang telah
menunggunya, memanggilnya, Luna tersentak seolah-olah terkejut dan berbalik.
Rambut hitam panjangnya melengkung dengan lembut di udara, dan aroma wangi
shampo memenuhi di seberang ruangan. Pada saat yang sama, bau segar
antiperspirant juga menyebar ke udara.
“Ah ... U-um ...” Dia pasti
kebingungan karena Ichigo tiba-tiba berbicara dengannya. Luna sedikit tergagap
selama beberapa detik dan kemudian-
“Ap-Apa anda perlu sesuatu, Pak
manajer?” Dia tersenyum selayaknya berhadapan dengan atasan, dan menghadapi
Ichigo.
“Um, yah ...”
Ichigo juga tampak kaku. Ia
ingin bicara. Sekarang Ia tahu apa yang sedang Luna lakukan, Ia harus
mengatakan sesuatu. Tapi Ichigo tidak bisa mengeluarkan sepatah kata sedikit
pun. Dirinyaa tidak tahu harus berkata apa, Ia tidak tahu bagaimana memulai
percakapan.
“... Terima kasih atas kerja
kerasmu hari ini, sampai jumpa lagi.” Pada akhirnya, seorang anggota staf
kebersihan kebetulan melewati tempat dan hanya mengeluarkan ucapan salam dengan
tergesa-gesa.
“Ah, ya, terima kasih atas
kerja keras anda.” Luna juga menundukkan kepalanya dan berbalik memunggungi
Ichigo. Dia berjalan keluar dari ruang istirahat.
“......”
…Namun.
Saat dia hendak mendekati pintu
ruang istirahat,
“Um ...” Luna berbalik
seolah-olah dia telah membulatkan tekad. Matanya tampak seolah-olah mencoba
untuk menunjukkan atau melekat pada sesuatu.
Ichigo mengerti bahwa dia ingin
mengatakan sesuatu dan meninggikan suaranya.
... Tapi suara itu segera
berubah jadi samar.
“Untuk permintaan shift
berikutnya, saya perlu memberinya ke siapa?”
Itulah kata-kata yang keluar
dari bibirnya.
“Ah, ya, tinggal berikan saja
kepada Oshikata-san, manajer penjualan, atau jika Oshikata-san tidak ada,
berikan kepada Kazunato-san, asisten manajer. Atau kamu bisa memberikannya
kepada staff administratif dan itu akan baik-baik saja.”
“Saya mengerti, terima kasih
banyak, dan terima kasih atas kerja keras anda.”
Setelah mengatakan itu, Luna
meninggalkan ruangan.
“......”
... Pada akhirnya, Ichigo cuma
bisa terdiam.
Dalam keheningan yang sunyi, Ia
bisa melihat bayangannya sendiri dalam pantulan cermin saat berdiri di sana.
Rasanya seperti kepicikan sendirinya sedang dibawa ke dalam kelegaan.
“... Apa boleh buat.”
Sekarang sudah pukul lima sore.
Ichigo dijadwalkan meninggalkan toko sekitar pukul delapan. Ia akan menelepon Luna
ketika ia selesai pekerjaannya. Saat sampai pada kesimpulan ini, Ichigo
menggaruk rambutnya.
Kemudian, Ia mengingat kembali
apa yang terjadi tempo hari. Waktu di mana Ia menolak Luna dan mendorongnya
menjauh. Hari di mana, dalam keadaan dia syok, Luna meninggalkan rumahnya dan
tidak menghubungi Ichigo lagi pada hari berikutnya.
“... Bukan.”
Hal ini tidak bisa dibiarkan
terus.
Bila kamu perlu berbicara, atau
ketika kamu ingin berbicara, kamu harus berbicara sesegera mungkin.
Ia harus mengatakan padanya
sekarang.
Tidak ada jaminan bahwa ‘waktu berikutnya’ yang bisa dibayangkan dengan mudah akan
datang.
——Karena pada akhirnya, janjinya dengan Sakura di pantai, ‘Ayo datang ke sini lagi di musim panas mendatang.’ tidak
pernah terpenuhi.
Rasanya menyakitkan, karena Ia
sudah pernah mengalaminya.
Ichigo mulai berlari.
Meninggalkan ruang istirahat dan langsung ke ruang persediaan. Ia berjalan menuju
ke pintu masuk dan keluar bagi karyawan.
“Luna-san!”
“Eh? Ah…”
Luna berbalik, terkejut, ketika
Ichigo dengan penuh semangat memanggilnya. Kedua matanya terbuka lebar saat
menatap Ichigo yang terengah-engah.
“Ah, um ...” Ichigo memutuskan
sambil meletakkan tangannya di dadanya dan mengatur pernapasannya. “Luna-san.”
Ia memanggilnya untuk kedua
kalinya. Sudah lama sejak Ia memanggilnya dengan nama depannya. Ichigo bisa
melihat bahwa Luna tersentak.
“Luna-san, aku minta maaf ...
aku sedang mendengarkan pembicaraanmu selama istirahat makan siang hari ini.”
“Eh ...”
“Kamu tidak tahu bagaimana
menjaga jarak yang tepat di antara kita, kan?”
Mendengar kata-kata Ichigo,
Luna langsung memalingkan wajahnya seolah-olah merasa jengkel.
“Itu …”
“Aku mengkawatirkanmu.”
Ichigo tidak tahu bagaimana
mengatakannya. Ia tidak tahu bagaimana untuk memulainya. Jadi, pertama-tama, Ia
memutuskan untuk mengungkapkan perasaannya dengan jujur. Tidak ada alasan lain
karena dia persis sama dengan hari lain.
“Aku takut kalau kamu akan
merasa galau dan terpojok lagi.”
“......”
Tiba-tiba, Luna meraih ujung
bajunya sendiri. Mungkin dia kesakitan karena Ichigo memberitahu apa yang
dipikirkannya.
“Jika cuma kita berdua, tidak
apa-apa.” Melihat muka tertekan Luna, Ichigo mengatakan begitu.
Luna cepat-cepat mengangkat
kepalanya saat mendengar ucapan Ichigo.
“Bukan di tempat di mana kita
tidak pernah tahu apakah seseorang bisa menemukan kami, tapi jika iti di tepat
di mana kita berdua dalam ruang tertutup, Kamu bisa seperti sebelumnya ... Kamu
boleh mengungkapkan perasaan jujur dan
mengandalkanku.”
“... Ichi.”
—Suaranya terdengar lega
seakan-akan kutukan di dalam dirinya telah dicabut. Menggunakan nama julukan
itu, dia memanggil Ichigo.
Untuk sementara waktu, mereka
saling berhadapan dalam diam. Mereka kemudian mengalihkan tatapan mereka, baik
pencarian untuk langkah selanjutnya mereka pada gilirannya tiba-tiba peristiwa.
Rasanya frustrasi.
(...
Aku sudah mengatakan apa yang harus kukatakan.)
Dan Ichigo juga membuat saran,
jadi Ia menyerahkan semuanya pada Luna untuk memutuskan. Dengan ini, Ia telah
memilih langkah berikutnya dan memutuskan untuk mengatakan sesuatu kepada Luna.
“Hari ini, setelah kamu
menyelesaikan pekerjaanmu ...”
Akhirnya, Luna membuka
mulutnya. Dia berbicara dengan lembut, masih asing sedikit dari biasanya. Tapi
kemudian, dia membuka topeng palsu dan meminta Ichigo dengan suara penuh dengan
dia tulus inginkan.
“Bisakah kamu datang ke
rumahku?”
※※※※※
Sekarang sudah waktunya untuk
menutup toko, dan semua karyawan lainnya sudah pulang. Dengan semua laporan dan
pekerjaan yang perlu dilakukan, Ichigo menyelesaikan pekerjaannya dan bersiap
untuk pulang.
Setelah menyelesaikan
persiapannya untuk pulang, Ia meninggalkan toko, meninggalkan penjaga keamanan
untuk mengunci pintu di belakangnya.
Ichigo masuk ke mobilnya di
tempat parkir dan langsung menuju rumah Luna.
“... Fiuh.” Ichigo mengambil
napas dalam-dalam sambil mencengkeram setir.
Ia tahu kalau dirinya sedikit
gugup. Namun, Ichigo tidak bisa membiarkan rasa gugup menghantuinya dan
menyebabkan kecelakaan.
Butuh beberapa menit untuk
mengendarai mobil sambil menjaga pikirannya terfokus dan mengemudi dengan aman.
Mobil Ichigo tiba di daerah
dengan relatif sedikit pejalan kaki, dekat dengan stasiun kereta api, terminal
bus, dan jaringan transportasi lainnya. Di sana, Ia melihat bangunan apartemen mewah. Itu adalah gedung
apartemen tempat tinggal Luna yang sudah lama tidak Ia kunjungi.
Ichigo memarkir mobilnya di
tempat parkir terdekat, berjalan melalui pintu masuk, mengidentifikasi nomor
kamar, dan menekan bel pintu.
Setelah menerima izin dari
pemilik kamar apartemen, pintu otomatis terbuka. Ia lalu berjalan menaiki
tangga ke lantai dua.
“Ah…”
Ruangan di atas tangga. Luna
sudah membiarkan pintunya setengah terbuka dan menyapanya.
“Selamat datang kembali, Ichi.”
Dia memakai baju yang berbeda
saat dia datang ke toko. Dia tampaknya telah menggantinya menjadi pakaian
kasual yang berbeda. Dia mengenakan baju yang sama saat menyergap Ichigo di mal
dan berkembang menjadi kencan dadakan.
(Dia
tidak memakai piyamanya. Bukannya cara dia berpakaian seakan-akan ingin pergi
keluar?)
Dari sudut pandang Ichigo, da
sengaja berdandan. Terlebih lagi, wajahnya. Pipinya sedikit memerah, dan
mulutnya sebagian terbuka. Ekspresi wajahnya tidak bisa menyembunyikan
kebahagiaannya.
Dia terlihat menawan, hal itu
membuat Ichigo tersenyum dan menenangkannya seakan kelelahannya hari ini
menghilang begitu saja.
“Terima kasih atas kerja
kerasmu hari ini.”
“Ah, ya.”
“Sekarang, ayo masuk, masuk.”
Saat mengatakan ini, Luna
meraih tangan Ichigo dan menariknya. Seolah-olah dia adalah hewan peliharaan
yang melompat pada tuannya ketika pulang. Atau lebih mirip seperti seorang anak
yang menunggu kepulangan ayahnya? Atau ... Seperti seorang gadis yang sabar
menunggu kedatangan kekasihnya.
(...
Tidak, kalau itu sih sudah keterlaluan.)
Intinya, Ichigo merasa malu
dengan kenyataan bahwa Ia telah memikirkan ekspresi yang terlalu mudah.
Bagaimanapun juga, Ia dipandu ke dalam ruangan.
Ruangan tamu dan area dapur
yang berdekatan satu sama lain dan ruangan itu sedikit terlalu luas untuk
seorang gadis SMA yang hidup sendirian. Ini adalah pemandangan lain tidak dilihat
Ichigo setelah sekian lama. Melihat sudut ruangan, Ichigo bisa melihat kotak
warna vintage yang dibuatnya dan diberikan kepada Luna.
“Eh?” Kemudian, setelah melihat
sekeliling, mata Ichigo mendapati sejumlah besar makanan yang disiapkan di atas
meja. Itu adalah pesta. “Apa yang terjadi? Kenapa ada begitu banyak makanan?”
“Kamu pasti lapar, kan? Mari,
ayo kita makan.” Ujar Luna, menggenggam tangannya di depan dadanya. Itu adalah
hal yang sangat manis untuk dilakukan.
“Aku tidak bisa mempersembahkan
makanan buatanku sendiri aku saat terakhir kali, jadi jangan ragu untuk memakan
semuanya hari ini.”
“......”
Ichigo melihat sekilas makanan
yang ada di atas meja. Di sana terdapat berbagai hidangan yang menunjukkan
betapa kerasnya dia berusaha mempersiapkan semua ini. Ada banyak yang dipilih,
dan kualitas bahan yang digunakan tampaknya bagus. Ichigo sulit membayangkan
kalau seorang gadis SMA yang tinggal sendirian akan memiliki bahan-bahan
tersebut. Dia pasti bergegas ke toko segera setelah diputuskan bahwa dirinya
akan datang. Jujur,Ichigo merasa senang bahwa dia telah menempatkan begitu
banyak upaya dalam mempersiapkan untuknya. Namun—
“Apa kamu baik-baik saja?” Ia
merasa khawatir. “Kamu tahu, secara finansial.”
“Tidak masalah.” di sisi lain, Luna
tersenyum cerah seakan dia tidak peduli sama sekali. “Hari gajianku akan segera
tiba. Entah bagaimana, aku bisa mengatasinya.”
... penggunaan uang sangat salah
kaprah.
Entah bagaimana, Luna terlihat
bersemangat dari biasanya. Dia tampaknya menikmati dirinya sendiri.
Ichigo bertanya-tanya lagi jika
dia beneran sesenang itu melihat Ichigo berada di rumahnya lagi, dan berpikir
menggemasknya dia. Tapi pertama-tama…
“Luna-san, kamu yakin kalau
kamu sedang baik-baik saja?”
Mungkin itu sedikit berlebihan,
tapi Ichigo yang tenang merasa prihatin dengan keadaannya. Hingga saat ini, Ia
telah berinteraksi dengan Luna dalam waktu yang singkat tapi sudah sangat
sering. Ichigo memiliki pemahaman tertentu dari kepribadian, dan karakter Luna.
“Ak-Aku baik-baik saja ...”
Melihat perhatian yang tulus
dari Ichigo, Luna mengalihkan matanya. Ichigo bisa melihat bahwa nada suaranya
menjadi sedikit kaku.
“Apa kamu sudah mendapatkan
uang untuk membiayai hidup dari keluarga walimu?”
Bagaimanapun, dia masih seorang
gadis SMA yang tinggal sendirian. Biaya hidup dan sewa untuk apartemen ini,
tentu saja, harus dibayar oleh keluarga walinya yang sekarang.
“Um ... Itu ...”
Luna terbata-bata dan kesulitan
untuk mencari kata yang tepat. Tapi akhirnya, di bawah tatapan serius Ichigo,
dia pasti sudah menyerah. Dia siap untuk jujur.
“Aku memberi tahu kakek-nenek kalau
aku mulai bekerja paruh waktu, sehingga mereka dapat mengurangi uang yang
mereka kirimkan kepadaku ...”
“......”
Dia pasti memaksakan dirinya
sendiri. Berpura-pura menjadi murid teladan, seperti yang pernah dia sebutkan
sebelumnya. Tidak, menyebutnya berpura-pura mungkiin terlalu berlebihan. Luna
adalah Luna, dan dia berusaha mengatur untuk hidup sendiri meskipun sendirian di
dunia.
Terutama setelah kematian
ayahnya, dia dibesarkan oleh ibunya sendiri, yang telah meninggal karena
kecelakaan. Demi Sakura, dia berusaha menjalani hidupnya dengan cara yang takkan
mengecewakan orang-orang di sekitarnya.
Ichigo menghela nafas. Tentu saja,
itu bukan karena rasa kekecawaan. Ia merasa seperti kepribadian Luna yang
terlalu sungguh-sungguh telah salah dalam bebragai artian.
“Masih ada beberapa hari lagi sampai
hari gajian, ‘kan?” Sambil mengatakan ini, Ichigo mengeluarkan dompetnya dari sakunya.
Dia kemudian mengeluarkan dua lembar 10.000 yen dan menmberinya ke Luna atas
dasar kedermawanan. “Ini untuk makanan hari ini. Sisanya bisa kamu gunakan
untuk biaya hidupmu.”
“Eh, aku-aku minta maaf! Aku tidak
bermaksud untuk ... “
Luna panik, tetapi Ichigo
tersenyum kembali.
“Jangan khawatir. Lagian, aku
pernah memberitahumu sebelumnya, ‘kan?”
Pada malam ketika Ia baru
pertama kali bertemu Luna, Ichigo berkata kepadanya yang masih memiliki jejak
kimirpan dengan Sakura, 'Jika kamu memiliki masalah, Kamu bisa mengandalkanku
untuk apa pun. Aku akan membantumu semampuku.’
... Yah, akibat dari pernyataan
itu, dia mendesak ingin menjadi pacar Ichigo, dan itu adalah awal dari hari-hari
yang meresahkan dan kacau hingga hari ini. Bagaimanapun juga, Ichigo akan
membantunya. Itu adalah janji pertama yang Ia buat. Jadi tidak ada yang salah
dengan itu.
... Tidak, kalau dipikir
baik-baik, pemandangan seorang pekerja kantoran yang menyerahkan uang tunai
kepada seorang gadis SMA, dalam artian lain, mungkin bisa berefek sangat buruk.
Tidak, tidak perlu merasa sadar diri, karena tidak ada yang merasa bersalah.
Namun, mau tak mau Ichigo merasakan kontradiktif dalam nilai moralnya.
“Um, tapi ...”
Namun, Luna yang serius
ragu-ragu untuk menerima uang Ichigo.
Namun, setelah sejumlah
bolak-balik.
“... Ya, aku mengerti. Terima
kasih, Ichi.” Mungkin setelah memutuskan, dia menerima niat baik Ichigo. “Terima
kasih, aku akan mengambil ini.”
“Ya.”
“Tapi ... Aku hanya akan
menggunakannya saat aku benar-benar tidak punya pilihan. Sampai saat itu tiba,
aku akan menyimpannya.”
“Tidak, aku lebih suka kalau
kamu menggunakannya sebelum terlambat. Atau jika ada sesuatu yang kamu
inginkan, jangan ragu-ragu untuk menggunakannya.”
Luna tidak harus menganggapnya
terlalu serius. Itu adalah pemikiran jujur Ichigo.
“Kalau begitu, aku akan
menyimpannya sampai aku bisa melihat bahwa itu akan menjadi masalah, atau
sampai aku memiliki kebutuhan yang sangat mendesak.”
Dengan ekspresi serius, Luna
mengepalkan kedua tangannya. Ichigo terkekeh. Mau bagaimana lagi. Ia tahu kalau
Luna memiliki kepribadian seperti ini.
Bukannya dia tidak fleksibel,
dia hanya ingin membalas kebaikan orang lain dengan ketulusan yang bisa dia
terima. Karena pada intinya, dia mempunyai sifat yang jujur, baik, dan ceria.
“Ya, aku mengerti. Tapi jangan
terlalu memaksakan dirimu sendiri.”
Luna tersenyum kepada Ichigo
yang mengatakan itu. Sekarang, setelah pertukaran seperti itu.
“Ayo cepat, cepat, sebelum makanannya
jadi dingin.”
“Ya, Itadakimasu.”
Ichigo dan Luna duduk di
seberang meja satu sama lain, mengobrol dan tertawa ketika mereka menikmati
makanan lezat.
“Apa rasanya enak, Ichi?”
Keterampilan memasak Luna cukup
baik, meski Ichigo sudah mengetahuinya karena Ia pernah menerima kotak makan
siang sebelumnya. Rasa dan tampilan makanannya sebanding dengan makanan dari
restoran dan toko khusus.
Saat Ichigo memberitahunya hal itu, Luna tersenyum dengan campuran rasa malu dan sukacita, sembari mengatakan, “Kamu terlalu melebih-lebihkanku.”
Obrolan mereka terutama tentang
pekerjaan dan tempat kerja mereka. Yah, itu topic yang wajar. Percakapan santai
yang, pada kenyataannya, bisa menjadi obrolan normal di antara mereka sampai
hari ini. Sudah lama sejak Ichigo dan Luna memiliki percakapan seperti itu.
Adapun pendekatan intens dari
Aoyama, mahasiswa pekerja paruh waktu, Luna tampaknya agak bingung. Namun, dia
sepertinya tidak keberatan karena semua pekerja paruh waktu yang mahasiswi dan
ibu rumah tangga di sekitarnya melindunginya.
“Lalu, Oshita-san, mahasiswa
perempuan paruh waktu yang bekerja di bagian DIY, bilang kalau dia tidak bisa
berkomunikasi dengan baik dengan Ukita-san, yang bertanggung jawab dengan
bagian alat.”
“Heh ~ begitu ya?”
Selain itu, Ichigo jadi
mengetahui tentang hubungan antara karyawan, kelebihan dan kelemahan mereka di
tempat kerja, dan situasi keluarga mereka. Ia dengan jujur menghargai
informasi ini. Lagi pula, bila menghitung semua karyawan di toko, dari karyawan
reguler sampai ke OB, dari atas ke bawah, ada hampir 400 orang yang bekerja di
toko ini. Jadi wajar-wajar saja kalau ada masalah dengan orang yang tidak cocok
satu sama lain.
“Apa Ia tampak sulit atau sulit
untuk diajak bicara? Beberapa orang berpikir dia terlihat menakutkan.”
“Ukita-san adalah mantan
pengrajin kayu. Dia seorang pengrajin, dan tidak terlalu baik dengan wanita.
Namun, Ia tidak keberatan membantumu jika kamu tidak tahu sesuatu, jadi kamu
bisa berbicara dengannya secara normal.”
Beberapa orang akan
melaporkannya dengan jujur dan meminta bantuan, tapi
bagi beberapa orang yang pemalu, serius, atau tidak ingin menonjol, akan
memendamnya.
Informasi tersebut sangat
membantu bagi Ichigo untuk dapat memvisualisasikan masalah-masalah ini. Ada juga
informasi yang seharusnya Ia ketahui sebagai bos mereka, seperti informasi tentang
pendidikan anak-anak jika Ia adalah karyawan yang sudah berkeluarga, atau
tentang ujian masuk dan pekerjaan jika masih mahasiswa.
(...
Aku juga harus membagikan informasi ini dengan Wakana-san.)
Mereka berdua menghabiskan
waktu yang menyenangkan dan bermakna seperti itu. Ichigo memandangi wajah Luna.
Mukanya bukan penampilan orang asing, tidak juga suram maupun bermasalah.
Ichigo merasa senang bisa melihat senyumnya lagi, benar-benar dari lubuk
hatinya.
“Tapi serius, aku mengalami serangan
jantung saat kamu tiba-tiba muncul jadi pekerja paruh waktu.”
“Heh ~ masa?”
Ichigo penasaran, sudah berapa
lama waktu berlalu. Percakapan antara Ichigo dan Luna berlanjut untuk sementara
waktu, dan tanpa disadari, topik tersebut muncul.
“Ya, kamu membuatku kaget.
Terlebih lagi, ciuman mendadak itu—”
Ichigo menghentikan apa yang
akan Ia katakan saat melihat wajah Luna. Ia hendak membicarakan ciuman di hari
itu. Pada saat itu, tatapan mata Luna melebar dan wajahnya langsung memerah
sekaligus. Mukanya semerah tomat, dia menurunkan pandangannya dan tiba-tiba
langsung jadi diam.
“Um ... Luna-san?”
“......”
... Rupanya, Luna juga merasa
malu tentang ciuman itu. Baik Ichigo dan Luna tak mampu berkata-kata. Pada akhirnya,
Ichigo membuka mulutnya.
“Apa kamu juga malu?”
“Ye-ya, tentu saja, meski aku
duluan orang yang melakukannya.”
Dia sepertinya tidak berani
melakukan kontak mata dengan Ichigo. Luna mengalihkan kepalanya, dan dengan
upaya goyah, menyerukan suaranya, “Aku melakukan itu karena dengan caraku yang
berani ... Aku ingin menunjukkan betapa seriusnya aku.”
Sepertia yang Ichigo duga, Luna
berada dalam keadaan tidak terkendali pada waktu itu.
Salah satu cara untuk
menggambarkannya ialah, perasaan yang sudah berusaha dia tekan meluap, dan
memiliki keinginan spontan untuk melakukan sesuatu tentang hal itu.
“Tapi ketika aku memikirkannya
dengan tenang setelah aku melakukannya ... sejak awal, Ichi adalah orang
dewasa, jadi ciuman seharusnya bukan menjadi masalah besar, justru sebaliknya
... Aku terlalu kekanak-kanakan ... ketika aku memikirkannya , Aku mjadi malu
... Aku tahu kalau ini agak terlambat untuk mengatakannya, tapi aku minta
maaf.”
Dia begitu malu dengan
tindakannya pada waktu ketika saat berpikir tentang memperlakukan Ichigo
normal, pikirannya jadi kosong. Ini adalah salah satu alasan mengapa dia
bertingkah jadi tidak wajar dan berperilaku aneh saat berhadapan dengan Ichigo
sampai sekarang.
“Jadi begitu rupanya…”
Walaupun Ichigo memasang wajah
normal ketika mendengar ini, tapi batinnya cukup gugup. Luna tampaknya berpikir
kalau ciuman itu bukan masalah besar untuk Ichigo. Tapi sebenarnya, Ichigo
juga, sangat terkejut dengan ciuman itu sampai-sampai Ia tidak bisa
melupakannya.
(Selain
itu, aku tidak menyangka kalau aku kadang-kadang masih bermimpi tentang hal itu
dan melompat kaget dari tempat tidur ...)
Ia terlalu malu untuk
mengatakan hal semacam itu. Lagipula, sebanyak Luna menyukainya, Ia hanya
tertarik pada Luna, sama seperti Luna tertarik padanya, tidak kurang dan juga
tidak lebih.
Ichigo dibuat menyadari hal itu
sekali lagi.
Sebelumnya
|| Daftar isi || Selanjutnya