Chapter 1 — Hubungan Cinta Segitiga
Di masa lalu, Ichigo
mengunjungi banyak tempat bersama Sakura, menciptakan banyak kenangan
bersamanya, dan kemudian musim panas itu berakhir...
Liburan musim panas pun berakhir
dan sudah waktunya untuk memulai semester kedua.
Pada awal musim gugur, ketika
suhu panas melewati puncaknya dan angin yang berhembus menjadi nyaman.
'Liburan
musim panas tadi sangat menyenangkan, bukan?'
Saat dirinya dan Sakura berjalan
bersama menuju ke sekolah, Ichigo mengingat kembali hari-hari yang mereka
habiskan bersama.
'Kami
pergi ke kolam renang, festival, dan pantai. Terima kasih, Ichi. Terima kasih
banyak sudah mengajakku.'
Saat Sakura berterima kasih
padanya, Ichigo dengan malu-malu menganggukkan kepalanya dan berkata, '...Ya.'
Uuuhn,
Sakura lalu meregangkan badannya.
Meskipun cuacanya sedikit
mendingin, dia masih mengenakan seragam musim panas. Ujung baju seragam pelautnya
sedikit terangkat, memperlihatkan sekilas perutnya, dan Ichigo buru-buru
mengalihkan pandangannya.
'Sekarang
sudah memasuki musim gugur, bukan?'
Sebentar
lagi ada festival budaya segera--dan seterusnya, Ichigo dan
Sakura membicarakan banyak hal.
'Bagaimana
studimu?' Kemudian, tanpa diduga, Ichigo mengangkat topik seperti
itu ke Sakura.
Saat ini, Sakura duduk di kelas
3 SMP dan sedang mempersiapkan ujian masuknya. Ini adalah masa-masa di mana
para siswa akan mengabdikan diri untuk belajar ujian masuk.
'Mhmm...
entahlah.' Dia mengerang sedikit, lalu berkata begitu tidak yakin.
Bagi Ichigo, itu adalah respon yang tidak terduga.
Sekolah yang ingin Sakura
masuki memiliki persaingan yang cukup ketat.
Namun, berdasarkan nilai Sakura, Ia yakin Sakura bisa diterima di sekolah
tersebut.
'Kupikir
itu mungkin sedikit sulit. Aku sedang berpikir untuk menurunkan ekspektasiku
sedikit dan mendaftar ke SMA yang kesulitannya sedikit lebih rendah...'
ucap Sakura sambil mengarahkan pandangannya ke Ichigo.
Pipinya sedikit memerah dan
nada suaranya terdengar seakan-akan sedang berbisik.
...Mungkin, Sakura ingin
bersekolah di SMA yang sama dengan Ichigo, dan mungkin itu sebabnya dia
mengatakan apa yang dia lakukan dengan perasaan seperti itu. Dia mungkin
bermaksud kalau dia ingin berada di level Ichigo.
Jika itu masalahnya, Ichigo
merasa terus terang tersanjung oleh perasaan itu. Ia merasakan wajahnya memanas
karena emosi, seolah-olah Sakura menginginkannya.
...Namun.
Meski demikian, rasanya akan
memalukan bagi seorang pria untuk menerima itu.
‘Tidak
bisa.’ Ichigo membalas pernyataan Sakura.
'Ichi?'
Saat tatapan Ichigo diarahkan
lurus ke arahnya, ekspresi Sakura menjadi bingung.
Pelajaran di sekolah SMA yang
Sakura tuju adalah sains dan matematika. Tingkat pendidikannya tinggi, dan
tentu saja, tingkat kelanjutan dan tingkat pekerjaan yang baik.
Itu supaya dirinya, yang belum
memutuskan masa depannya, dapat mencoba apa pun yang dia inginkan. Sehingga
jika dia menemukan mimpi yang ingin dia kejar, dia bisa mewujudkannya tanpa
rasa khawatir. Itu adalah pilihan yang dia buat untuk memperluas cakupan
jalannya.
Ichigo tidak bisa membiarkannya
menyerah begitu saja.
'Karena
itu adalah sekolah SMA yang ingin kumasuki juga.'
'Eh?'
'Kubilang...
aku ingin bersekolah di SMA yang sama dengan Sakura.' Jadi
Ichigo mengatakan keputusan yang Ia buat secara diam-diam.
Memang benar bahwa Ichigo harus
bekerja lebih keras dan menaikkan nilai rata-ratanya untuk masuk ke sekolah pilihan
Sakura. Dan bahkan jika diterima, kehidupan sekolah SMA yang akan Ia habiskan
bersamanya hanya akan bertahan satu tahun. Tahun ketika Ichigo masuk sekolah,
Sakura akan berada di tahun terakhir masa SMA-nya. Dia mungkin lebih sibuk
belajar untuk ujiannya daripada sekarang, dan mereka mungkin tidak punya banyak
waktu untuk dihabiskan bersama.
Tapi Ichigo tidak keberatan
dengan itu. Hanya itu yang Ia inginkan, dan dirinya sangat menginginkannya.
Jadi Ichigo mengatakan itu, membuat pernyataan untuk dirinya sendiri juga.
Dia cukup berani untuk mengatakan
itu. Bagi Ichigo, ucapan itu hampir mirip seperti pengakuan, 'Aku mencintaimu.'
Sebagai tanggapan, '...Ya, aku juga. Aku juga ingin sekolah di
SMA yang sama dengan Ichi,' balas Sakura dengan senang.
Di bawah sinar matahari musim
gugur, di mana warnanya tampak sedikit memudar, dia menyipitkan matanya dan
menatapnya seolah dia sedang melihat kekasihnya, 'Ayo sama-sama lakukan yang terbaik, Ichi.'
………
……
…
Ia bertanya-tanya betapa
bahagia dirinya mendapatkan senyuman sebagai balasan atas pengakuannya yang
berani.
Namun, Wakana...
“...Hah~.”
Wakana tiba-tiba menyatakan
perasaannya …….. lalu, keesokan paginya.
Ichigo menghela nafas saat
mencuci piring di wastafel dapur. Lagipula, Ia kurang tidur.
Saat dia meremas alisnya dengan
ujung jarinya yang basah, dia memikirkan tentang tadi malam. Ia mengingat
penampilan Wakana.
Raut wajah dan sikapnya saat
mengungkapkan perasaannya kepada Ichigo. Tidak hanya wajahnya, tetapi kulitnya
yang memerah sampai ke lehernya. Tangannya terkepal di depan dadanya, dan
bahunya yang gemetaran—ini adalah ekspresi ketakutan dan antisipasi karena
harus mengatakan apa yang ada di pikirannya.
Sebagai perbandingan, ketika Ichigo
mengingat betapa pintar dan tajamnya Wakana yang biasanya, celah perbedaan di
antara keduanya membuatnya gugup lagi.
“...Wakana-san benar-benar
menembakku, ‘kan?” Ichigo mengatakannya dengan keras pada dirinya sendiri lagi.
Alasan mengapa itu tidak terasa
nyata, dan alasan mengapa itu terasa sangat ringan mungkin karena dia tidak
merasakan ketidaknyaman sedikit pun.
Dan itulah kenapa.
Ichigo tidak bisa memberikan
jawaban yang tepat.
Hubungannya dengan Luna akan
terungkap-- Hanya itu yang bisa Ia pikirkan.
Ia sudah mati-matian menutupi
situasi dengan berbohong lagi dan lagi. Rasa bersalah semakin menumpuk, dan
ekspresinya muram.
Dengan caranya sendiri,
perbuatannya tadi malam merupakan tindakan yang berani dan tulus.
Menanggapi hal ini, sebagian
karena keadaan kacau dan kebingungannya yang campur aduk, Ia mengambil sikap
yang membuatnya menunda kecemasannya.
Aku
minta maaf atas apa yang sudah kulakukan ... pikir Ichigo, tapi semuanya
sudah terlambat. “...Ups, sebaiknya aku harus bergegas.”
Namun, waktu tidak akan
menunggunya. Waktu akan terus mengalir sama bagi mereka yang menjalani
kehidupan tanpa beban dan bagi mereka yang bermasalah.
Setelah memeriksa waktu saat
ini, Ichigo mulai bersiap-siap untuk bekerja.
Ia menuju ke tempat kerjanya,
di mana dirinyaa akan bertemu dengan Wakana dan Luna.
※※※※※
Setelah menyelesaikan rutinitas
paginya dan membuat persiapan, Ichigo pergi ke toko. Seperti biasa, Ia memarkir
mobilnya di tempat parkir atap dan berjalan melalui pintu belakang toko menuju
kantor.
Setelah berhenti di depan
pintu, Ichigo menarik napas dalam-dalam. Menekan detak jantung dan
kegugupannya, Ia membuka pintu, sambil memperhatikan sikap normalnya.
“Selamat pagi.” Ichigo memasuki
kantor dengan salam. “Ah, pak Manajer, selamat pagi.”
“Selamat pagi.”
Dia disambut kembali oleh para
karyawan yang tiba di kantor lebih awal. Seperti biasa, Ichigo langsung masuk
ke ruangan kantornya dan duduk.
“Selamat pagi, pak Manajer.”
Dan seperti biasa—— Wakana datang menghampiri ke sisi Ichigo.
Dia memakai kacamata, memiliki
wajah yang tampak cerdas, dan rambut berwarna kastanye. Di sanalah dirinya,
tampak seperti biasanya.
“Selamat pagi, Wakana-san.”
Ichigo menjawab, dan Wakana
melanjutkan untuk membacakan jadwal hari itu dan memindahkan barang-barang, seperti
rutinitasnya setiap pagi.
...Di permukaan, itu mungkin
percakapan yang biasa.
Namun, suasana di antara mereka
berdua agak canggung.
Cara mereka memandang satu sama
lain, gerakan kecil yang mereka lakukan, jeda yang mereka ambil, semuanya
tampak tidak menyatu dengan baik. Bahkan, mereka tampak memperhatikan setiap
gerakan satu sama lain.
Suasana di anatar mereka tidak
nyaman, seolah-olah mereka berusaha mencari jarak antara satu sama lain dan
berhati-hati dengan bahasa tubuh mereka. Hanya dua orang yang bersangkutan yang
bisa merasakan ini.
“Hanya itu saja untuk laporan
hari ini.”
“Terima kasih.”
“......”
“......”
“...Oh, ngomong-ngomong, apa
yang terjadi dengan tempat parkir yang yang kita bicarakan tadi?”
“ ....Y-Ya. Kontraktor yang
kita sewa memberi perkiraan, dan kami membuat draft proposal ke kantor pusat...”
Meski merasa sedikit tidak
nyaman, Ichigo dan Wakana melanjutkan pembicaraan mereka. Seolah-olah mereka
takut untuk beralih ke percakapan yang tidak berhubungan dengan pekerjaan.
※※※※※
Waktu pun terus berlalu, dan ketika menjelang tengah hari.
“Kalau begitu, mari kita pajang
produk acara di pintu masuk utama seperti yang direncanakan, dengan tampilan
besar produk elektronik konsumen di depan pintu masuk kedua.”
“Siap.”
Ichigo dan Wakana sama-sama
berpatroli di lantai penjualan besar department store.
Sekarang sudah memasuki musim
gugur. Bersamaan dengan penurunan suhu rata-rata siang hari, musim akan dengan
cepat beralih ke musim dingin.
Oleh karena itu, saat ini
adalah musim untuk perubahan besar dalam tata letak toko.
Ichigo adalah manajer toko ini,
toko yang diklasifikasikan sebagai salah satu dari sedikit toko teratas di
negara ini dalam hal penjualan. Toko itu sangat bergengsi sehingga
diperingkatkan sebagai toko peringkat-S. Secara alami, area penjualannya juga
besar.
Permintaan peralatan rumah
musim panas seperti AC dan kipas angin secara alami akan menurun mulai
sekarang. Sambil mengurangi harga dan mengurangi stok barang-barang ini, toko
akan meningkatkan tampilan kompor, kotatsu, dan karpet panas untuk menyesuaikan
musim. Selain itu, mereka perlu menambah stok pelembab udara dan perangkat
pemanas lainnya.
Adapun persediaan hewan
peliharaan, mereka akan mengganti pakaian hewan peliharaan musim panas dan
tempat tidur hewan peliharaan menjadi pakaian musim dingin. Perangkat pemanas
untuk hewan kecil juga akan muncul.
Tempat tidur juga akan diganti
dari tempat tidur permeabel udara atau jenis tempat tidur dingin ke tempat
tidur penahan panas seperti selimut bulu angsa.
Di kategori peralatan dapur,
momentum barang-barang berkemah, yang dikhususkan untuk musim liburan, telah
melambat, dan skala produk seperti pot gerabah, yang digunakan di dalam rumah,
meningkat.
Produk terkait acara musiman
juga mulai diperhatikan, seperti item Halloween dan Natal.
Adapun produk pertanian seperti
mesin pertanian, ruang lingkup produk seperti herbisida dan mesin pemotong
rumput akan dikurangi karena rumput takkan tumbuh di cuaca dingin, dan digantikan
oleh perabotan panen, skala pengembangan tanaman dan bunga. akan menyusut
dengan cepat.
Sekarang adalah musim ketika
penting untuk mengetahui cara bekerja dengan cepat dan lengkap dalam waktu
terbatas yang tersedia.
Mereka berdua sedang
menyelesaikan rencana untuk perubahan besar-besaran di lantai penjualan.
“Dalam beberapa hari nanti, toko
kita akan diwawancarai oleh sebuah program TV yang sudah dijadwalkan dari dulu.
Mari kita kurangi lantai penjualan ke minimum saat itu.”
“Ya.”
Ichigo dan Wakana berjalan
bersama menyusuri toko dan melanjutkan diskusi mereka.
Meski ada kejadian kemarin,
mereka tidak bisa mencampuri kehidupan pribadi mereka ke dalam pekerjaan.
Terutama bagi mereka yang bertanggung jawab atas toko, mereka harus melakukan
apa yang harus dilakukan. Mungkin karena kesadaran ini,mereka berdua berdiskusi
dan merencanakannya lebih serius dan cermat dari biasanya.
Kemudian ….
“Hal berikutnya yang ingin kutunjukkan
adalah bagaimana menggunakan cakram penggiling (alat kecil seperti gergaji bundar genggam untuk memotong dan menggiling
kayu dan logam). Ada banyak remah-remahnya, jadi pastikan untuk memakai
kacamata anti debu dan sarung tangan kulit.”
“Ya.”
Saat melewati lokakarya, Ichigo
menemukan dua karyawan wanita sedang berbicara sambil bekerja. Mereka berdua
adalah Sagisaka, orang yang bertanggung jawab atas persediaan kerajinan dan
bengkel, dan Luna, pekerja paruh waktu. Sepertinya Luna belajar banyak tentang
cara menggunakan alat baru dari Sagisaka.
Seperti produk di lantai
penjualan, program kelas kerajinan di sini juga akan diubah sesuai musim yang
akan datang. Kontennya akan diubah dari konten kerajinan liburan musim panas
menjadi sesuatu yang sesuai dengan liburan berturut-turut di akhir tahun dan
Tahun Baru, seperti Natal dan Tahun Baru. Kemudian juga ada kostum Halloween,
pohon Natal, miniatur Kadomatsu, dan sebagainya.
Oleh karena itu, Luna sedang dalam
proses mempelajari ilmu baru.
Dia menganggukkan kepalanya,
“Hum hum,” dan mengikuti pelatihan dengan serius, sambil menyalin kata-kata
Sagisaka di buku catatannya.
"Kalau begitu, mari kita coba
memotong pelat logam ini.”
“Ya, aku akan melakukan yang
terbaik.”
Baru beberapa hari yang lalu
Sagisaka, penanggung jawab tetap, kembali bertugas di lokakarya.
Pada awal musim panas,
lengannya mengalami cedera karena kecelakaan pribadi dan harus mengambil cuti,
tetapi menurut dokternya, pemulihannya lebih cepat dari yang diharapkan.
Sekarang, gipsnya sudah di
copot.
Dia diberitahu kalau dia akan
membutuhkan waktu untuk pulih sepenuhnya, tetapi dia masih bisa melakukan tugas
normalnya selama dia tidak meregangkan lengannya. Jadi, dia kembali bekerja
tempo hari.
Dia sudah memberi Luna banyak
nasihat.
Luna menyalakan cakram
penggiling yang diberikan Sagisaka padanya. Dengan suara mendesing bernada
tinggi, bilah pemotong di ujungnya mulai berputar dengan kecepatan tinggi.
Ketika dia meletakkan ujung
bilahnya ke pelat logam yang terpasang di atas meja, percikan api terbang
dengan suara pemotongan.
"Ya, ya, terus begitu,
lakukan dengan hati-hati.” Sagisaka mengangguk.
Kamu
melakukannya dengan baik, Ichigo memperhatikan Luna dari sudut matanya.
Kemudian, saat itulah tetjadi.
Tiba-tiba, tatapan Luna menoleh
ke arah lain dan secara kebetulan bertemu dengan mata Ichigo yang sedang
menatapnya.
Dia hanya menatapnya. Tapi
Ichigo panik dan membuang muka, walaupun Ia tidak perlu melakukannya.
“Ah...”
Di sisi lain, Luna pasti
menyadari bahwa Ichigo dan Wakana sedang bersama. Dia tidak bisa menahan diri untuk
tidak menjerit ketika melihat mereka berdua berdiri berdampingan.
Mereka berdua sibuk berdiskusi,
dan perhatiannya sedikit teralihkan dengan apa yang mereka lakukan dan apa yang
mereka bicarakan.
“Hoshigami-san?"”
“Oh, um...”
Kemudian, Sagisaka dengan
penasaran memanggil Luna yang tiba-tiba menjadi tercengang. Luna merasa panik
ketika namanya dipanggil, dan dengan sembarangan memiringkan cakram penggiling
di tangannya.
“Awas!”
Dia sedang memotong pelat
logam, tetapi kekuatan aneh diterapkan pada bilah yang berputar cepat.
Sagisaka berteriak panik, tapi
sudah terlambat. Penggiling yang terkena pukulan kuat, melompat ke tangan Luna
dengan keras.
“Aahh!!”
Terkejut, Luna melepaskan
cakram penggiling. Alat tersebut terlepas dari tangannya. , terbang menjauh dari
Luna, dan jatuh ke lantai.
Sementara itu, Sagisaka menarik
tangan Luna dan memaksanya menjauh. “Apa kamu baik-baik saja?!”
Berkat peristiwa yang terjadi
begitu mendadak, Ichigo dan Wakana bergegas ke tempat kejadian.
Ichigo mengambil penggiling
yang jatuh ke lantai, mematikan alat tersebut, dan menoleh ke Sagisaka dan
Luna.
“Apa ada yang terluka?”
“Entah bagaimana, kami berdua
baik-baik saja.”
Itu mungkin berkat dia
mengenakan perlengkapan pelindung yang tepat dan tindakan Sagisaka cepat serta
tanggap.
Ichigo merasa lega ketika memastikan
bahwa baik Luna maupun Sagisaka tidak terluka.
“Kamu harus berhati-hati.
Penanganan alat dapat menyebabkan kecelakaan serius jika kamu melakukan kesalahan.”
“Benar, kali ini recoilnya
masih kecil karena hanya memotong plat besi, tapi jika kamu memotong sesuatu
yang lebih keras dan lebih berat, kamu bisa terluka parah jika tidak
hati-hati.”
“A-Aku minta maaf...”
Luna tampaknya telah bertahan
cukup lama dari peringatan Ichigo dan Sagisaka. Dia benar-benar tertekan, dan
kedua matanya tampak basah.
“Yah, ini juga pengalaman yang
bagus. Tidak apa-apa, tidak masalah. Ini kesalahan yang sangat kecil
dibandingkan dengan sesuatu seperti mematahkan lenganmu.”
“......”
Sagisaka menyemangatinya,
sementara Ichigo menatapnya dengan prihatin.
Sedangkan di sisi lain, Luna
membuang muka dengan canggung ketika dia melihat Wakana bergegas ke tempat
kejadian bersamanya.
...Semuanya
tampak gelisah.
Ini lebih serius dari yang dIa kira...
Ichigo, Wakana, dan Luna.
Menyadari sekali lagi atmosfir
aneh di sekitar mereka bertiga, Ichigo diam-diam menghela nafas.
※※※※※
Suasana canggung masih
berlanjut di antara mereka bertiga, dan waktu terus berlalu.
“...Oke, itu saja.”
Walau demikian, saat ini masih
dalam jam kerja. Sebagai anggota masyarakat yang bekerja, Ia perlu melakukan
pekerjaannya dengan baik.
Saat ini, Ichigo sedang bekerja
di kantor pribadinya. Ia sedang mengerjakan dokumen di komputernya. Dokumen
tersebut termasuk survei harga toko terdekat dan data perusahaan yang berencana
membuka toko baru. Ia menyelesaikan semuanya dengan keahlian yang luar biasa,
dan mengirimkannya sebagai lampiran email ke alamat surel manajer regional.
Setelah pekerjaannya selesai,
Ichigo duduk di kursinya dan merentangkan punggungnya, mengangkat tangannya ke
udara.
Tidak ada karyawan lain di
kantor kecuali Ichigo. Hal itu karena para staf administrasi dan karyawan
lainnya sedang berada di luar kantor untuk mengerjakan proyek lain.
Kemudian--
“Ah, Luna-chan, mau istirahat
makan siang?”
“Ya.”
Ichigo mendengar percakapan
seperti itu dari luar pintu kantor, yang masih terbuka.
Dia menoleh dan melihat Luna
berjalan melewatinya. Dia sepertinya sedang berbicara dengan pekerja paruh
waktu lain yang lewat.
Dia mungkin sedang dalam
perjalanan ke ruang istirahat.
“Waktu makan siang, ya ...”
Ichigo lalu melihat ke
arlojinya. Waktu sekarang menunjukkan pukul tiga sore.
Ada beberapa pelanggan lagi
yang datang hari ini, dan lantai penjualan tampaknya sedikit lebih sibuk.
Mungkin itulah sebabnya istirahat makan siang Luna ditunda sampai saat ini.
“......”
Setelah melihat Luna pergi ke
ruang istirahat, Ichigo berpikir sejenak.
Ia sangat terguncang oleh
begitu banyak yang terjadi kemarin, tetapi saat fokus pada pekerjaannya, Ia
perlahan mulai mendapatkan kembali ketenangannya. Mungkin Ia mulai bisa
memikirkan jalan keluar pada masalah yang dialaminya sekarang.
Ia mungkin harus mengatakan
sesuatu kepada Luna juga. “...Hmm.”
Setelah berpikir, khawatir, dan
memutuskan, Ichigo mengeluarkan smartphone-nya. Setelah menekan aplikasi pesan,
Ia memutuskan untuk mengirim pesan ke Luna.
[Aku
minta maaf mengenai kejadian tadi malam. Apa kamu keberatan jika aku
mengunjungi tempatmu malam ini? Bagaimana kalau makan malam bersama?]
Ichigo menyadari kalau pesan
teks itu agak ringan, dan tidak menunjukkan keseriusan.
“Baiklah kalau begitu...”
Kira-kira
apa dia akan membalasanya atau tidak - kemudian, saat dia berpikir
begitu ketika meletakkan smartphonenya kembali di sakunya, kantongnya segera
mulai bergetar. Ketika mengeluarkannya dan melihat ke layar, Ichigo melihat
bahwa Luna segera merespons.
[Ya
itu baik baik saja. Aku akan menunggumu di rumahku malam ini.]
Dia terkejut melihat betapa
cepatnya Luna merespon, tapi mungkin dia telah menunggu Ichigo untuk membuat
saran seperti itu.
Ichigo lalu tersenyum lembut.
Memikirkan Luna seperti itu,
membuatnya merasa cinta dan bahagia, dan dia bisa merasakan hatinya menjadi
ringan.
※※※※※
Malam hari pun tiba. Waktu di
jam dinding menujukkan sekitar pukul 9 malam.
“Baik, itu saja laporan hari
ini.”
Waktu tutup toko sudah lebih
dari sejam yang lalu dan sebagian besar lampunya sudah padam.
Pekerjaan di hari itu sudah
selesai dan sebagian besar karyawan telah meninggalkan kantor. Satusatunya
yang tersisa adalah Ichigo, sebagai manajer toko, dan Wakana, sebagai asisten
manajernya.
Dan sekarang laporan akhir dari
Wakana baru saja selesai.
“Hari ini adalah hari yang
berat, saya tidak menduga kalau hari ini akan menjadi hari yang sibuk.”
“Ya, memang.”
Jumlah pengunjung hari ini
melonjak dari yang diperkirakan, sehingga rencana kerja untuk seluruh toko jadi
tertunda.
Perubahan area penjualan tidak
berjalan lancar, jadi mereka harus segera mengumpulkan lebih banyak orang, dan
Wakana pun harus berkeja lembur untuk membantu.
Hal itu mengakibatkan mereka
berdua harus tetap berada di toko hingga saat ini.
“.........”
“.........”
Sekarang hanya ada mereka
berdua di kantor yang sepi. Suasana di antara mereka masih kaku dan tentu saja,
percakapan mereka tidak berlanjut.
“Umm….”
“Selamat malam dan kerja bagus,
pak manajer!”
“Eh?"
Di sana, Wakana mengucapkan
salam, dan pergi dengan cepat sebelum Ichigo bisa mengatakan apa-apa.
“Ah….”
Ichigo tidak mengucapkan
sepatah kata pun ketika melihat punggung Wakana yang keluar dari kantor dan
menghilang.
“Langsung pulang, ya?”
Pada akhirnya, Ichigo tidak
bisa menahan Wakana untuk melanjutkan pembicaraan mereka yang kemarin.
Namun, sepertinya bukan hanya
Ichigo saja.
Jika dilihat dari sikapnya yang
sebelumnya, entah kenapa Wakana sendiri tampaknya juga berusaha menghindari
topik pembicaraan mengenai kejadian kemarin malam.
Pada titik ini, Ichigo bahkan
dibuat kebingungan, apakah pengakuannya cinta yang kemarin itu nyata atau tidak.
“Apa boleh buat.”
Bagaimanapun juga, Ichigo masih
punya rencana lain setelah ini. Dirinya harus pergi ke tempat Luna.
Oleh karena itu, Ichigo meninggalkan
toko sekitar sepuluh menit setelah Wakana, dan menuju ke rumah Luna.
※※※※※
Setelah beberapa menit
mengemudi, mobil Ichigo akhirnya tiba di apartemen tempat tinggal Luna.
Apartemen itu cukup besar untuk
seukuran gadis SMA yang tinggal sendirian, tetapi ini adalah apartemen unggulan
dengan keamanan yang lumayan ketat.
Ichigo memarkir mobilnya di
tempat parkir terdekat dan memasuki pintu masuk apartemen. Setelah menekan bel
di pintu masuk dan menerima izin dari pemilik, pintu otomatis terbuka dan Ia
diajak masuk ke dalam apartemen.
Ichigo kemudian menaiki tangga
ke lantai dua. Kamar yang tepat sebelah tangga adalah unit ruangan Luna.
“Selamat malam.”
Ichigo yang baru saja mencapai
puncak tangga, bertepatan dengan Luna yang membuka pintu.
Saat Ichigo melihatnya, dia
sudah mengenakan pakaian kasualnya, bukan pakaian kerjanya.
“Maaf, aku datang agak lama.”
“Tidak, tidak, mau bagaimana lagi,
iya ‘kan? Kamu sangat sibuk hari ini.”
Luna memiliki sikap yang agak
berbeda, menyambutnya masuk ke dalam rumahnya.
Kamar yang sedikit lebih besar
tersebut dilengkapi dengan furnitur dan perabotan dengan nuansa khas anak gadis
SMA.
Ada juga kotak perabotan yang dibuat Ichigo beberapa waktu lalu. Di atasnya ada mangkuk besar
transparan yang diisi tiga ikan mas berenang di dalamnya.
Tempat ini merupakan unit kamar
Luna, yang sudah Ichigo kenal.
Entah sudah berapa kali dirinya
mengunjungi ruangan ini. Ketika pertama kali melihatnya, Ichigo berpikir bahwa
kamar ini akan sedikit berantakan.
“Ah maaf, aku pulang agak
terlambat hari ini, jadi aku belum menyiapkan makanan untuk makan malam.” Sekali
lagi, pengunjung toko hari ini lebih banyak dari yang diperkirakan, dan
sebagian besar anggota harus bekerja lembur.
Luna pun tidak terkecuali, jadi
dia pulang agak terlambat hari ini.
“Aku akan segera menyiapkan
makanannya. Jadi Ichi, buat dirimu senyaman mungkin di sini.”
Luna segera menuju dapur sistematis
dengan tergesa-gesa.
“Tidak, biarkan aku ikut
membantumu juga.”
Sedangkan sisi lain, Ichigo
ikut pergi menuju dapur.
“Eh?”
“Bukannya kita tidak bisa
memasak makan malam bersama kemarin?”
Ichigo berkata sambil
menggulung lengan bajunya.
“Kamu masih memiliki beberapa
bahan kemarin yang tersisa, 'kan?”
“Eh, iya.”
“Kalau begitu, tidak masalah, kan? Maksudku, ini demi
menepati janji kita yang kemarin.”
Mendengar ucapan Ichigo, Luna
terlihat tertegun sejenak, dan kemudian pipinya merah merona.
Ia meluangkan waktu untuk Luna
dan berusaha memenuhi janji mereka.
Mungkin, tindakan Ichigo ini
membuat Luna melupakan kekhawatiran dan kebingungan yang dia alami sebelumnya.
“Ya… Ehehe, aku senang sekali.”
“Ngomong-ngomong, kamu
berencana mau memasak apa?”
“Ya, ummm….”
Pada malam pertama kali Luna
dan Ichigo bertemu.
Malam pertemuan itu penuh
dengan peristiwa yang mengejutkan – di mana Ichigo menyelamatkannya dari
seorang pemabuk, dan kemudian mengetahui kalau dia adalah putri Sakura.
Saat itu, Ichigo juga
memasakkan omurice buatannya sendiri untuk Luna.
“Jadi, untuk hari ini, aku mau
membuat omurice.”
“Begitu ya, kalau begitu, aku
akan membuat saladnya.”
Menu yang sama seperti ketika
mereka pertama kali bertemu. Topik percakapan yang mereka lakukan tentu saja tentang
kenangan mereka saat itu.
“Bagaimanapun, aku terkejut
saat aku bangun di pagi hari dan kamu tiba tiba berkata ‘Tolong jadikan aku pacarmu?’.”
“Ehehe, waktu itu aku merasa
sangat malu juga tau?”
Luna yang menggoreng daging
ayam dan nasi di penggorengan, tertawa malu-malu ketika mendengar komentar
Ichigo.
“Tapi itu juga salah Ichi, tau?
Saat aku bertanya padamu, 'Maukah kamu
menjadikanku kekasihmu?' Kamu menjawab, ‘Tentu! Aku akan dengan senang hati menerimanya!’”
“Saat itu, aku sangat mabuk dan
tidak ingat apa-apa, kan? Aku jadi penasaran, memangnya aku beneran mengatakan
itu?”
“Ya, kamu bilang begitu. Kamu
membalas begitu, kok~♪.”
“Aku yakin kamu pasti
melebih-lebihkannya.”
Waktu pun berlalu dengan damai
sekaligus penuh senyuman.
Jika kamu mungkin bisa
melupakan masalah dan penderitaan yang sedang kamu alami sekarang, maka mungkin
hal yang sama terjadi pada Ichigo.
Dan sementara semua ini terjadi,
makanan pun sudah siap.
Dua nasi omelet (dengan daging sapi hash) dan sepiring
salad yang disajikan oleh Ichigo diletakkan di atas meja.
““Selamat makan.” ”
Mereka mengatakannya secara
bersamaan, dan Ichigo mencicipinya duluan.
“Bagaimana rasanya?”
Luna bertanya pada Ichigo, yang
menyuap dengan sendok dan mengunyahnya, “Ya, rasanya sangat lezat.”
Ketika Ichigo memberitahu hal ini,
wajah Luna menjadi lega.
Ucapan Ichigo bukanlah
perkataan manis di bibir belaka, tapi rasanya memang benarbenar enak.
Lagipula, Ichigo merasa
keterampilan memasak Luna jauh melampaui keterampilan anak SMA biasanya.
“Aku yakin ini bahkan lebih
enak dari omurice yang pernah aku buat.”
“Ehehe, itu enggak benar, kok.
Aku pikir masakan Ichi lebih enak daripada masakanku.”
Saat-saat yang damai berlalu.
Meskipun, permasalahan yang
terjadi di rumah Ichigo belum terselesaikan. tetapi kecanggungan yang terjadi
di antara mereka tampaknya sedikit memudar.
“Ichi… sebenarnya…”
Lalu, setelah mereka selesai
makan dan membersihkan piring, mereka beristirahat di depan kopi yang baru saja
diseduh.
Luna kemudian membuka
pembicaraan.
“Mengenai peristiwa kemarin …”
“.........”
......Sudah
kuduga, dia akan menanyakan itu.
Mengenai peristiwa kemarin yang
dimaksudnya pasti tentang Wakana. Bagaimanapun juga, Ichigo tidak bisa
menyalahkannya.
Bagi Ichigo, itulah salah satu
tujuan dia datang ke rumah Luna hari ini.
Baik Ichigo maupun Luna sudah
merasa tenang sekarang. Waktu saat ini merupakan saat yang tepat untuk mengangkat
topik tersebut.
“Dia menembakmu, 'kan, Ichi?”
“Ya.”
“Aku tahu. Hal semacam itu,
memang wajar terjadi, iya ‘kan?”
Sekarang waktu telah berlalu
dan perut mereka pun sudah kenyang, sehingga mereka bisa berbicara dengan
kepala dingin.
Mungkin, itulah alasannya. Luna
mengungkapkan perasaan jujurnya.
“Karena Ichi belum punya pacar
sekarang…”
Baik tentang keberadaan Luna
maupun hubungan antara Ichigo dengan Luna tentu saja tidak diketahui publik.
Jika sudah diketahui, tentu itu
akan menjadi masalah besar.
Dan itu juga berarti tidak ada
orang lain yang akan mempertimbangkan hubungan Luna dan Ichigo.
“Ichi sendiri… ummm, bagaimana
menurutmu?”
“Apanya?”
“Ah, maaf, itu mungkin sesuatu
yang sulit untuk dijawab di sini sekarang, tapi….”
Tatapan Luna berkeliaran kemanamana.
Dia sedang berpikir.
Jika Ichigo memilih Wakana, itu
mungkin berarti bahwa hubungan mereka yang seperti ini harus dihentikan.
Tentu saja, Luna tidak berhak
menghentikan itu.
Walau pun dia tidak
mengatakannya dengan lantang, tidak, bahkan jika dia mengungkapkannya dengan
terus terang, —— dia harus menghadapi kenyataan
dari situasi tersebut. Perasaan Luna sangat terlihat jelas di mata Ichigo,
meski Ia hanya terdiam.
Pada akhirnya, dia mungkin
merasa cemas. Ichigo juga tidak menyangkal bahwa itu adalah perasaan yang tak
terhindarkan.
“Sebenarnya, pembicaraan kami
masih belum berlanjut sejak saat itu.”
Jadi, Ichigo juga memutuskan
untuk berbicara jujur. Cara terbaik untuk menghindari membuat Luna merasa tidak
nyaman, terluka, atau disalahpahami adalah memberitahu fakta yang sebenarnya,
tanpa sedikitpun kebohongan.
Ichigo pun bercerita. Ia
berbicara tentang kemarin malam, yang berlalu dengan berbagai peristiwa. Ia juga memberitahu tentang hari ini yang berlalu
membuatnya begitu gelisah.
“Wakana-san sama sekali tidak
pernah mengungkitnya lagi, sejujurnya, aku tidak tahu apa itu perasaan aslinya,
atau mungkin karena keadaan tertentu, dia berpura-pura kalau peristiwa kemarin
malam tidak pernah terjadi …… yang pasti, aku tidak memahami maksud sebenarnya
dari Wakana-san.”
“Jadi, begitu rupanya.”
“Aku agak ragu untuk
menayakannya…. Atau mungkin aku hanya sedikit gugup.”
“Ya…..”
Luna tampaknya paham akan hal
itu.
“Tapi aku merasa bimbang apakah
aku membiarkannya begitu saja atau tidak. Bahkan jika itu hanyalah imajinasi
sesaat dan ingin kembali ke keadaan biasanya, aku juga harus memberikan
kepastian mengenai hal itu. Aku akan bertanya kepadanya tentang hal itu sekali
lagi, dan melihat apa yang terjadi tergantung dari dirinya.”
“Ya.”
Ichigo menanggapai permasalahan
ini dengan serius dan memutuskan tindakannya selanjutnya.
Di sisi lain, ekspresi Luna
menunjukkan rasa lega mengingat perpisahan di antara mereka tidak akan terjadi
dalam sekejap dan kecemasan akan masa depan yang tidak pasti.
“Kupikir itu ide yang bagus.”
Kemudian, seolah mengatakan pada dirinya sendiri, dia mengangguk sepakat.
※※※※※
Keesokan harinya.
Suasana di antara mereka masih
tetap sama, dan bahkan hari ini juga, ada suasana pelik antara Ichigo dan
Wakana.
Mereka berdua tetap menjalankan
pekerjaan mereka seperti biasanya. Berbagi informasi terkait pekerjaan berjalan
normal.
Namun, ketika pandangan mata
mereka bertemu sekilas atau ketika mereka berada dalam situasi berduaan, ada
sedikit rasa canggung di antara mereka, meskipun mereka tampak berbicara tanpa masalah
pada pandangan pertama.
Hal itupun berlaku sama bagi
Luna.
Kemarin malam, Ichigo berbagi
informasi dengan jelas kepadanya dan meredakan beberapa kecemasan di hatinya,
tapi dia masih merasa tidak nyaman tentang hal itu.
Selama bekerja, Luna sangat
memperhatikan gerak-gerik mereka berdua sehingga dia menjadi terganggu dan
harus diingatkan oleh Sagisaka beberapa kali.
Kemudian....
Hari-hari penuh kegelisahan
semacam itu berlalu seperti biasa, dan lampu-lampu di papan nama toko sudah
dipadamkan.
Sama seperti kemarin, tidak ada
kemajuan yang dibuat.
Apa
yang harus kulakukan, bagaimana caranya supaya aku bisa mendekatinya?
Ichigo masih tetap merasa
galau. Sedangkan di sisi lain, Wakana juga khawatir dengan situasi mereka saat
ini
“Haaa.”
Waktu berlalu tanpa henti, dan
penutupan jam operasional toko pun tiba. Para karyawan terakhir yang tersisa
sudah pulang, dan satusatunya yang tersisa di toko hanyalah manajer yang menyelesaikan
tugas-tugas terakhir.
Sudah waktunya bagi Wakana
untuk meninggalkan pekerjaannya juga. Saat bersiap-siap untuk pulang di ruang
ganti, dia menghela nafas frustasi.
Baik kemarin dan hari ini,
dirinya dan Ichigo mengembangkan jarak yang aneh satu sama lain. Bagaimanapun,
Ichigo juga mengkhawatirkan peristiwa malam itu, dan masih memikirkannya.
Di sisi lain, Wakana merasa
senang mengetahui bahwa Ichigo juga memikirkannya dan serius mempertimbangkan
pernnyataannya, tapi dia tidak begitu optimis untuk memiliki sikap percaya diri
tentang hal itu.
“Aku harus memberitahu pak
manajer.”
Wakana pun paham, tidak baik
kalau permasalahan ini diulur-ulur terus. Akibat dari tindakannya sendiri, mereka tidak bisa
lagi kembali ke hubungan mereka seperti sebelumnya.
Dia sendiri yang mengusulkan
hubungan antar lawan jenis ke dalam posisi atasan dan bawahan serta kolega.
Mungkin saja ada konsekuensi
yang menyakitkan.
Jika memang begitu masalahnya,
Wakana mungkin akan menghabiskan kesehariannya dengan penuh penyesalan, dan
berharap kalau dia tidak pernah mengungkapkan perasaannya pada Ichigo.
Namun, bukan berarti dia harus berdiam
diri terus. Wakana pun memahami kalau dia harus bertanggung jawab atas perbuatannya
sendiri.
Bisa dibilang, hanya itu
satu-satunya cara untuk menyelamatkan dirinya sendiri dari situasi runyam ini.
“Aku harus melakukannya. Rei-chan
bahkan menyuruhku untuk melakukannya.”
Demi mendapatkan kembali semangatnya,
Wakana mengingat kejadian yang terjadi kemarin.
※※※※※
Di malam sebelumnya.
Setelah pulang kerja dan tiba di
rumah, Wakana yang pikirannya buntu ke segala arah, menelepon sahabatnya, Hosoe
Rei, untuk membicarakan masalah itu.
“Hah!
Kamu menembaknya?!”
Di kamar apartemen tempat di
mana dia tinggal sendirian.
Wakana mengenakan pakaian
santainya, memegang bantal di dadanya, dan menempelkan ponselnya ke telinganya.
Saat Wakana menyelesaikan
ceritanya dengan wajah memerah, Hosoe terkejut dan menghela nafas tercengang.
“Yah,
emang sifatmu banget karena baru membicarkannya kepadaku terlambat dua hari,
tapi… ahhh… bukannya itu terlalu mendadak?”
“Um …. Iya sih.”
“Seharusnya
‘kan ada beberapa tahapan yang perlu dilakukan … Yah, ada beberapa bagian yang
jadi salahku juga karena sudah membuatmu merasa tergesa-gesa.”
“Ha-Hal seperti itu …..”
Hosoe juga merenungkan
kesalahannya sendiri, meski dia sendiri keheranan dengan perilaku keterlaluan
Wakana yang membuat pengakuan secara tibatiba.
Semuanya bermula saat mereka
melakukan reuni minumminum beberapa hari yang lalu.
Hosoe menyemangati Wakana yang
jatuh cinta pada Ichigo, tapi enggan mengambil tindakan.
“Jika kamu terus-terusan gadis serius seperti itu, kamu takkan bisa
mendapat kemajuan, tau?” “Apa kamu tidak keberatan, hubunganmu begitu terus?” “Usiamu
sudah hampir mendekati awal tiga puluhan. Kamu tidak bisa terus berkutat pada
cinta pertamamu selamanya. Kamu perlu bertindak tegas dan membuat keputusan,”
katanya, seolah ingin meledakkannya.
Meski itu sesuatu yang dia
katakan dalam kondisi mabuk, tapi akibat dari hasutan Hosoe yang seperti itu
membuat Wakana mengambil tindakan berani.
“….Baiklah,
aku mengerti. Aku juga akan bertanggung jawab.”
“Ini bukan salahmu, Rei-chan,
jadi kamu tidak perlu merasa bertanggung jawab.”
Mendengar Wakana yang
mengatakan demikian, Hosoe yang berada di sisi lain telepon tidak mengatakan
apaapa.
Memahami tekad Hosoe dari keheningan
itu, Wakana menjawab “Makasih” dengan suara bergumam.
“Tapi
kamu tahu, jika kamu sudah melangkah sejauh itu, kamu harus melakukannya sejauh
yang kamu bisa, kan? Kamu juga harus menunjukkan keseriusanmu padanya.”
“Keseriusanku?”
Wakana memiringkan kepalanya
ketika mendengarkan nasihat Hosoe.
“Iya, keseriusanmu. Aku pikir kalau kamu harus menunjukkan perasaanmu
yang sebenarnya, atau bisa dibilang perasaan cintamu, dengan segala ketulusan.”
“Ketulusan …”
“Lagian
sejak awal, kamu menyampaikan apa yang kamu rasakan. Kamu tidak mengungkapkan
perasaan cintamu kepada orang yang tidak kamu sukai, tetapi kepada seseorang yang
kamu sukai, iya ‘kan?”
“I-Iya…”
Hosoe membuat penegasan kembali
tentang perasaannya, dan Wakana merasa wajahnya sekarang memanas.
Mukanya terkubur pada bantal yang berada di tangannya.
“Dan bukannya berarti kamu meminta jawaban ya atau tidak, iya ‘kan?”
“Eh?”
“Karena
ini tentang kamu, aku yakin kamu mungkin berpikir jika kamu menyatakan
perasaanmu, kamu hanya perlu menunggu jawaban diterima atau tidak, padahal kamu
masih bisa menunjukkan kualitas dirimu supaya bisa meningkatkan peluang
keberhasilanmu.”
“Be-Begitu ya ….”
“Haah~
ya ampun, kamu ini selalu saja bertingkah serius. Orang berkacamata memang beda
banget, ya.”
“Ka-Kacamata tidak ada
hubungannya dengan itu kali…”
Menaggapi suara kecewa Hosoe,
Wakana langsung membantah dengan tegas.
Namun, Wakana merasa senang
bisa berbicara dengannya.
Dia memberikan Wakana ide untuk
menyelesaikan permasalahan yang membuatnya gundah.
“Terima kasih banyak,
Rei-chan.”
“Jangan
terlalu dipikirkan. Pertama-tama, kamu perlu mengambil tindakan selanjutnya.
Lalu, kamu laporkan kembali kepadaku bagaimana hasilnya. Kemudian kita akan
mengadakan pertemuan strategi lagi. Oleh karena itu, kamu tidak perlu merasa
takut dan percaya dirilah.”
“Iya…”
Seolaholah menanggapi
katakata penyemangat yang Hosoe berikan tadi malam, Wakana menggumamkan itu
seraya membulatkan tekadnya.
※※※※※
Setelah selesai bersiap-siap,
Wakana meninggalkan ruang ganti dan berjalan melalui area belakang. Ketika
keluar dari pintu keluar toko, dia tidak langsung menuju tempat parkir atap
tempat dia memarkir mobilnya, tetapi menunggu di sana sebentar. Beberapa menit
kemudian...
“Ah!”
“… Ah.”
...... Ichigo yang baru saja
menyelesaikan pekerjaannya, muncul.
“P-Pak manajer.”
“Wakana-san ….”
Wakana berjalan mendekatinya
saat Ichigo keluar dari pintu keluar.
Ketika keberadaan Ichigo cukup
dekat hingga terlihat jelas di kegelapan malam, jantungnya serasa berdetak
lebih cepat.
“Umm, apa kamu menungguku,
Wakana-san?”
“Begini ...... Me-Mengenai
kejadian beberapa hari yang lalu.”
Saat Wakana berkata begitu, wajah
Ichigo tibatiba menegang. Ia bisa merasakan seperti, “Akhirnya mulai membahas
ini ya.”
Wakana mengepalkan tangannya di
depan dadanya dan menyatakannya dengan susah payah.
“M-Maafkan aku karena
mengatakan hal seperti itu begitu mendadak, aku pikir kalau pak manajer juga
merasa kesulitan buat menanggapinya…”
“………..”
Ichigo diam-diam mendengarkan
perkataan Wakana saat dia berbicara dengan lantang.
“Mengenai hal tersebut, pak
manajer tidak perlu menjawabnya sekarang.”
“Eh?”
“Tapi sebelum itu, sekali saja….”
Setelah sedikit jeda dan
meneguk ludah di tenggorokannya, Wakana dengan jelas menyatakan kata-kata yang
telah dia pikirkan berulang kali.
“Umm, apa anda bersedia
berkencan denganku?”
“….. Kencan?”
Ichigo tampak terkejut dengan
usulan itu. Kemudian, Wakana terus melanjutkan ucapannya.
“Tiga hari nanti, kita berdua
sama-sama memiliki hari libur. Jika anda tidak memiliki rencana apapun pada
hari itu …..”
Dengan rona merah di pipinya
dan tatapan menengadah, Wakana lalu berkata, “Sekali saja, aku ingin pak Manajer
memandangku sebagai lawan jenis dan bukan sebagai bawahanmu.”
※※※※※
“........”
Dan pada saat itu, mereka
berdua bahkan tidak menyadarinya....
Ada seseorang yang melihat dari
balik bayang-bayang ketika mereka sedang melakukan percakapan semacam itu.
Orang tersebut adalah Luna.
Luna, yang telah meninggalkan
pekerjaan lebih duluan dari Wakana dan sudah menunggu kepulangan Ichigo, sedang
berada di sana.
“….Ichi.”
Karena tidak sanggup mendengarkan
percakapan Ichigo dan Wakana lebih lama lagi, Luna diam-diam berlari keluar
dari tempat itu.
Sebelumnya
|| Daftar isi || Selanjutnya