Chapter 02 — Ratu Es dari Deretan Sebelah Merusak Reputasiku
Keesokan
harinya dalam perjalanan menuju sekolah, Kai mengirim pesan kepada Jun melalui
LINE supaya mereka bisa bertemu dan menaiki gerbong yang sama di kereta yang
sama. Saat itu memasuki jam sibuk dan penumpang saling berdempetan layaknya
ikan sarden. Maka dimulailah tes ketahanan empat perhentian, dua belas menit
harian mereka untuk mencapai Sakata, stasiun terdekat di SMA Asagi. Seperti
biasa, Kai membiarkan Jun berdiri di dekat jendela di pintu masuk. Ia menopang
dirinya dengan tangan ke pintu, yang Ia gunakan untuk membuat dinding untuk
melindungi temannya dari tekanan gerbong yang sempit.
Kebetulan,
ketika Jun setuju untuk bertemu dengan Kai di pagi itu, dia mulai cemberut saat
tatapan mata mereka bertemu. Kai mengira dia masih menyimpan dendam karena
tidak bisa berjalan-jalan dengannya dan Kotobuki. Dia bahkan dengan sinis
bertanya apakah dirinya “bersenang-senang
tadi malam.”
“Mana
mungkinlah. Kami cuma makan malam dan berpisah pada pukul 8 malam. Hari yang
kami habiskan begitu menakjubkan.” Terus terang, itu jauh lebih sehat daripada
beberapa hari yang dihabiskan Jun untuk makan malam di rumah Kai dan menginap
lebih dari jam sembilan.
“Kai,
kamu brengsek.”
“Bisakah
setidaknya kamu memanggilku dengan sebutan cowok jantan?!”
“Bagaimana
kalau kamu bersih-bersih dulu denganku?”
“Yah...
sejujurnya, aku tidak yakin apakah aku menyukainya sebagai seorang wanita atau
belum.”
“Ya,
sudah kuduga. Kamu tidak dapat mengetahui hal itu kecuali kamu mencoba
berkencan terlebih dahulu.”
Jun
benar-benar memberitahunya hal yang sama seperti yang diucapkan Kotobuki...
“Ngomong-ngomong,”
lanjut Kai, “Kupikiri kencan itu hanya untuk orang-orang yang sudah saling
menyukai. Aku tidak menyangka kalau mereka bisa dilakukan itu dengan santai. ”
“Hah,
itu cuma terjadi di dunia manga.”
Dia
benar-benar memberitahunya hal yang sama seperti Kotobuki!
“Oke,
baiklah, maaf karena sudah menjadi otaku. Aku minta maaf karena mencoba-coba
berkencan tanpa pernah memiliki pengalaman itu.”
“Maksudku,
aku juga tidak pernah berkencan.”
“Hah,
kamu belum pernah? Dan kamu masih berbicara sok seperti seorang sepuh?! ”
“Aku
merasa agal jijik ketika cowok membuatnya terlalu jelas apa yang mereka incar.”
Ah, emang sih, pikir Kai. Cowok mungkin merasa sedikit tertekan saat mengajak kencan seseorang
sepopuler Jun.
“Dan
selain itu,” imbuh Jun, “Rasanya jauh lebih menyenangkan untuk nongkrong dengan
teman-teman, bukan?”
“Aku
merasa sepakat pada tingkat spiritual yang mendalam,” Kai setuju sambil mengangguk
dalam-dalam. Sebenarnya, memiliki teman itu memang bagus. Bahkan sekarang,
rasanya nyaman memiliki seseorang yang bisa Ia ajak main atau bercanda dengan
santai.
“Pokoknya,
begitulah yang terjadi. Berkencan dengan Kotobuki memang menyenangkan, tapi
kami tidak melakukan sesuatu yang tidak senonoh.”
“Rasanya
sangat disayangkan dengan gadis seimut dia, jika kamu bertanya padaku.
Sejujurnya, aku sendiri tidak keberatan buat berkencan dengannya.”
“Ya,
ya, ya, bertambah lagi satu orang untuk anggota harem Miyakawa.” Jun mendapat
depakan dari penghinaan diri Kai yang murung. “Sebenarnya Jun, itulah yang
ingin kutanyakan padamu.”
“Apanya?”
“Kamu
selalu mengatakan kalau kamu ingin 'mengecup'
dan 'menikahi' gadis 2D, tapi apa
kamu merasa seperti itu tentang Kotobuki? Apa kamu beneran akan melakukan itu
pada orang yang asli?”
“Yah,
2D dan 3D bukan hal yang sama bagiku. Aku takkan serius jika aku bilang kalau aku
ingin menikahi seorang gadis asli.”
“Hah,
begitukah?” Kai mengangguk, tapi Ia tidak mempercayainya begitu saja. Keadaan
pikiran yang bisa membuatnya begitu terikat pada Kotobuki hanya sedikit di luar
imajinasinya. Tentu, Kai juga pernah merasakan hal yang sama; Ia mengagumi
Makina Kaizu yang matang dan keren dari seri Imouto sae Ireba Ii sebelumnya dan Ia bahkan sedikit terharu
ketika Bell dari seri DanMachi menembakkan
semua sihir Firebolt itu untuk menyelamatkan Lili. Tapi dia tidak pernah ingin
mencium karakter laki-laki. Tidak sekali pun. Dan jika Ia bertemu rekan kerja
cowok di kehidupan nyata, walaupun cowok tersebut cenderung berada di sisi
manis , Kai tidak pernah merasakan dorongan untuk menempelkan pipinya ke
pipinya.
“Apa
kamu ingin coba bilang kalau aku itu aneh?” Tuduh Jun sambil menggembungkan
pipinya.
“Tidak,
aku hanya mencoba untuk memahaminya,” kata Kai mencoba menenangkannya.
“Yah,
kurasa itu tidak sepenuhnya universal. Itu sebabnya Reina langsung
memberitahuku kalau aku aneh tepat di wajahku. Aku tidak berpikir kalau itu
aneh sama sekali. ”
“Lanjutkan.”
“Lihat,
gadis-gadis menyukai hal-hal yang imut, ‘kan! Tidak peduli seberapa tua usia
kita. Karakter maskot, boneka binatang, aku suka semuanya. Dan ketika berbicara
mengenai perempuan, entah itu nyata atau fiksi, keimutan adalah keadilan mutlak!”
“Begitu
rupanya, aku mulai mengerti.”
“Tapi
ada beberapa orang yang mengatakan kalau anak SMA tidak seharusnya menyukai
boneka binatang karena itu untuk anak-anak, jadi ada orang lain yang
menyembunyikan fakta kalau mereka sangat menyukai hal semacam itu karena mereka
tidak ingin diolok-olok.”
“Ah,
benar sekali! Mereka ada di mana-mana! Bahkan ada cowok yang menyukai boneka
binatang dan karakter maskot tapi bertingkah membencinya dan
menyembunyikannya.”
“Nah,
‘kan? Tapi aku tidak menyembunyikannya. Aku lebih suka terbuka tentang
segalanya! Itulah yang namanya cinta!”
“Jadi
begitu. Jadi bagimu, Kotobuki termasuk dalam kategori yang sama dengan boneka
binatang?”
“Kedengarannya
agak kasar ketika kamu mengatakannya seperti itu, tapi ya, sejujurnya, itu
adalah keadaan pikiran yang serupa. Jangan bilang padanya aku mengatakan itu.”
Dia menyegel permohonan terakhir itu dengan menjulurkan ujung lidahnya dengan
manis. “Tapi sebenarnya, jika kita berbicara tentang kelucuan, aku belum pernah
melihat gadis yang imut sebelumnya! Memangnya kamu bisa menyalahkanku karena
langsung histeris dan ingin memeluknya? ”
“Aku
tidak menyangka kalau gairah akan membuatmu sampai begitunya...”
“Itu
cinta!”
“Ngomong-ngomong,
apa kamu yakin belum pernah melihat
gadis seimut dia? Bukannya kamu dikelilingi oleh gadis-gadis manis?”
“Kalau
secara teknis, kelompok Reina lebih condong
ke sisi Planet Kecantikan. Mereka bukanlah makhluk imut. Mereka tidak
membuat Kanroji batinku mulai merah merona.”
Jun
bisa saja mengatakan “tidak sesuai selera” atau semacamnya, tapi dia mengganti metaforanya
dengan karakter manga. Dia adalah seorang otaku, jelas sekali.
“Tidak
banyak yang bisa kamu lakukan ketika Kanroji terdiam.” Kai sangat memahaminya.
Dirinya juga seorang otaku. “Tapi ya, sekarang setelah kamu menyebutkannya,
kelompok Reina pasti cocok dengan definisi itu.”
“Mereka
semua bilang kalau aku baby face
terbesar di grup!”
“Ha
ha, dibandingkan dengan mereka, wajahmu mungkin memang begitu. Tunggu,
bagaimana dengan Mihara? Dia pasti punya wajah imut, kan?”
Kai
mengungkit teman sekelasnya, Momoko Mihara. Dia lebih cenderung mirip wajah
bocah tengil ketimbang baby face,
tapi tidak diragukan lagi kalau dia memegang mahkota kelas untuk keimutan. Dia
juga memegang mahkota untuk yang paling menyebalkan, paling menjengkelkan, dan
kemungkinan besar akan babak belur habis-habisan jika dia bukan seorang
perempuan.
“Oh,
kalau Momoko sih mustahil!”
“Ah,
jadi Mihara tidak termasuk, ya.” Kai merenungkan betapa sempurnanya kecocokan
frekuensi mereka berdua.
“Bahkan
karakter maskot hidup di dunia anjing-makan-anjing, tau. Mereka tidak bisa
bertahan hidup hanya dengan penampilan saja. Kepribadian sama pentingnya, aku
ingin kamu mengingat hal itu.”
“Setuju.
Seperti bagaimana aku bisa memilih Sumikkogurashi.”
Dengan
demikian...
“Oke
Jun, aku bisa memahami kenapa kamu ingin memeluk Kotobuki. Aku tidak berpikir kalau
kamu itu aneh karena melakukan itu. ”
“Kai,
sahabatku! Bagaimana kalau aku memelukmu sebagai hadiah? Ini dia pelukannya!”
“Hentikan,
ada orang yang menonton, tau!”
“Padahal
cuma pelukan sekilas?”
Tidak
menerima jawaban tidak, Jun menempelkan pipinya ke dada Kai. Kai berharap ini
bisa terjadi setelah mereka beralih ke seragam musim panas mereka daripada
mengenakan blazer tebal ... meskipun Kai tidak berani memberitahunya kalau
dirinya berpikiran seperti itu.
“Kalau
begitu, aku mau pergi ke ruang guru dulu,” ujar Jun begitu mereka tiba di
sekolah.
“Apa,
apa ada guru yang memanggilmu untuk sesuatu? Apa kamu dalam masalah?”
“Bukan
begitu! Broyalty baru saja melupakan
makan siangnya dan aku harus mengantarkannya untuknya.”
“Masa?”
Kai bingung.
“Aww,
kamu kecewa tentang sesuatu? Biar kutebak, apa jangan-jangan ingin berjalan ke
kelas bersamaku?”
“Yah,
mungkin saja! Kamu benar-benar akan menggodaku ketika kamu sudah tahu, ya? ”
“Yah,
aku akan merasa sangat malu jika teman-temanku memulai rumor tentang kita
datang ke sekolah bersama, jadi aku mau pergi ke ruang guru sekarang. Duluan ya!”
“Kenapa
kamu...”
Kai
memberikan tatapan tidak senang, tapi Jun hanya terkikik dan melanjutkan
perjalanannya. Karena tidak ada lagi yang bisa dilakukan, Ia menuju ke ruangan
kelas 2-1 sendirian.
Ya,
Kai punya alasan tersendiri supaya mereka bisa bertemu dalam perjalanan mereka,
tapi bukan karena Jun memohon untuk mendengar tentang Kotobuki (dan jika memng begitu, itu bisa menunggu
sampai sepulang sekolah). Tidak, dia memiliki kekhawatiran yang berbeda dan
jauh lebih mendesak.
Semoga saja dia belum datang, Kai berharap dalam hatinya. Persetan dengan itu, mungkin juga berharap
kalau dia terlambat.
Kai
dengan harap-harap cemas memasuki pintu kelas dan mendapati harapannya langsung
pupus. Orang yang sangat Ia harapkan untuk datang terlambat justru menatap
langsung ke matanya. Dengan targetnya sekarang di depan mata, Fujisawa Reina
menyambut Kai dengan senyuman palsu dan mengundangnya untuk “Ayo menghadap kemari?”
Yup, dia ada di sini, keluh Kai sambil menyeret dirinya sendiri.
Jika tidak pergi sekarang, Ia akan merasakan akibatnya nanti. Jun bisa saja
memberinya kepercayaan diri jika dia ada di sini, tapi harapan hidupnya itu
sudah putus. Kai sekarang sudah pasrah dengan nasibnya.
Reina
sedang berada di dekat jendela barisan depan, di mana dia selalu menghabiskan
waktunya bersama gengnya. Dia dengan anggun bergosip dengan dua gadis yang
sangat populer di kelas saat mereka menunggu di sisinya seperti antek-anteknya.
Salah satu dari mereka adalah topik pembicaraan pagi itu, Momoko Mihara.
“Pagiiiiii,
Ash!” seru Momoko dengan suara yang terlalu manis untuk diartikan apa pun
kecuali kenakalan. “Ya ampun, kamu benar-benar terlihat ganteng hari ini!”
“Kamu
harus memeriksakan matamu.” Kai kesulitan menanggapi pujian itu dengan serius
ketika Ia gemetaran karena tatapan mata Reina yang jelas-jelas merasa tidak
senang.
“Tapi
wajahmu terlihat agak mati secara batin hari ini, itulah Ash yang kukenal!”
“Wajah
tidak berubah berdasarkan kesehatanmu."
“Ahhh,
bener banget! Katakan, bagaimana kalau aku tunjukkan klinik yang bagus di mana kamu
bisa melakukan operasi plastik?”
“Apa
semuanya sudah terlambat bagimu untuk bereinkarnasi menjadi orang yang tidak
terlalu menyebalkan?”
Lihat?
Dia ngeselin banget, kan?
Antek-antek
lain yang saat ini menahan tawanya pada percakapan ini adalah Shirayuki Saitou.
“Hah,
aku tidak pernah bosan dengan candaannmu,” katanya sambil menahan isi perutnya
secara melodramatis. Mungkin orang-orang akan bertingkah seperti itu ketika
mereka memiliki ibu Amerika. Shirayuki sendiri adalah gadis tertinggi di kelas
dengan paras cantiknya yang liar dan rambut merah menyala.
“Jangan
samakan aku dengan Mihara...”
“Gahah,
jangan pernah berubah, Ash.”
Kai
sekarang diperlakukan seperti spesies yang terancam punah. Mungkin dia;
Penampilan Momoko berada di peringkat sepuluh dari sepuluh, jadi tidak peduli
seberapa menyebalkannya dia, cowok biasa mungkin tidak bisa berbuat apa-apa
selain tersipu maluatau kehilangan keberanian. Mungkin kelangkaan itu hanya
melihat reaksi Momoko setelah seseorang membalas racun yang diludahkannya.
Persetan dengan kalian, tapi aku, Nakamura Kai, menjadi kebal terhadap
gadis-gadis manis berkat bantuan Jun dan Kotobuki! Kalian butuh sesuatu yang
lebih dari sekadar kontak fisik untuk membuatku tersipu!
Kai
membiarkan dirinya tersenyum puas. Sampai...
“Selamat
pagi, Ashie boy.”
Reina
memberikan salamnya seperti bos terakhir dan Kai terdiam membeku, kepercayaan
dirinya dengan cepat berubah menjadi pengecut.
“Se-Selamat
pagi, Reina-san,” jawabnya, nyaris tidak bisa membalasnya dengan suara gemetar.
Ketegangan
di udara tiba-tiba menebal. Bahkan dari ekspresi Momoko dan Shirayuki
menjelaskan bahwa waktu bermain telah berakhir.
Reina cukup menakutkan, pikir Kai dengan gugup, dan sekarang aku harus membuat kalian berdua
melawanku?!
“Ash,
sobatku,” kata Shirayuki. “Tidak perlu takut, tetapi tidak ada yang lebih payah
dari seorang cowok yang terlalu besar kepala.”
Badan
Shirayuki setinggi Kai, jadi dia meletakkan lengan di bahunya tanpa kesulitan.
Tetapi alih-alih merasakan kegembiraan memiliki seorang gadis cantik tepat di
wajahnya, Kai merasakan kecemasan dari pemangsa yang memotong rute pelariannya.
“A-Aku
tidak berpikir ada yang terlintas di kepalaku?” Kai berhasil menyusun pembelaan
sambil tetap tenang, tapi Momoko menjelaskan kejahatan apa yang didakwakan
padanya.
“Bukan
‘Reina-san’, oke? Kamu harus
memanggilnya Fujisawa-san, bukan? Aku yakin kamu tidak tahu betapa murah hatinya diriku untuk membiarkanmu
memanggilku dengan nama depanku, bukan? ”
Ah, jadi itu masalahnya, pikir Kai. Ia bisa menerima bahwa mereka
tidak senang dengan sikap tidak hormatnya pada Boss mereka. Tapi dalam hal itu,
Kai benar-benar tidak bersalah. Dia hendak membantah, tetapi Reina menyela
pembicaraan mereka.
“Jangan
khawatir,” dia meyakinkan mereka, jelas tidak terganggu. “Ia tidak bersalah. Akulah
yang memintanya untuk memanggilku 'Reina.'”
Memang
benar. Sebenarnya ada kalanya ketika pendapatnya tentang Kai telah mencapai
titik terendah, di mana dia menatap matanya dan berkata, “Cowok sepertimu tidak pantas untuk Jun. Aku menolak untuk
menerimamu.”
Tapi
segera setelah itu, Reina meminta maaf dan menyarankan mereka menebus
kesalahan. Kai tidak begitu mengerti mengapa karena dirinya barusan selesai
dipukuli oleh geng pria populer Matsuda, tetapi itu memang terjadi. Dan ketika
Reina menyarankan agar mereka benar-benar berteman, dia memberi tahu Kai bahwa
Ia boleh memanggilnya dengan nama depannya.
Momoko
dan Shirayuki, yang sama sekali tidak mengetahui semua ini, menatap Reina
dengan mata melotot tak percaya. Memangnya ini perkara besar?
Setelah dipikir-pikir, mungkin memang begitu, pikir Kai. Kelompok Reina mungkin adalah
sekumpulan orang-orang riajuu, tapi sudah diketahui secara umum seberapa
waspadanya mereka di sekitar anak cowok. Dan Reina adalah yang paling tak
tersentuh dari mereka semua; senyum palsu yang dia berikan kepada orang lain
membangun dinding yang menawan sekaligus menakutkan. Kai mengira dia bercanda
ketika Reina memberitahu kalau memanggil nama depannya adalah hak istimewa,
tapi sepertinya ada lebih banyak kebenaran daripada yang Ia yakini sebelumnya.
“Kebetulan,
aku percaya kalau bagian '-san' itu
tidak diperlukan.”
“Eh,
tapi itu terdengar lebih alami bagiku dengan cara ini ...”
Kai
bersikap merendah di hadapan kata-kata mulia sang ratu kelas. Bagaimanapun juga,
dia adalah wanita yakuza. Mitra dalam kejahatan tingkat sekolah SMA.
“Ashie
boy, apa kamu yakin bahwa sesuatu yang sangat kasar tidak terlintas dalam pikiranmu?”
“Tentu
saja tidak! Terus, kamu benar-benar bisa menghilangkan kata 'boy' kapan pun kamu
mau!”
“Bisa
saja. Mungkin ketika kamu tumbuh menjadi seseorang yang sedikit lebih dapat diandalkan,
aku akan menganggapmu seorang pria sejati dan melakukannya. Tapi untuk saat
ini, Ashie 'boy' terasa lebih alami
bagiku.”
“Bagaimana
kamu bisa memanggilku kasar ketika kamu benar-benar memperlakukanku seperti
anak kecil ?!’
Kai
melepaskan semua pengekangan dalam ledakannya. Setelah menonton rutinitas
komedi mereka, Shirayuki dan Momoko sepertinya menyesali anggapan mereka
sebelumnya.
“Sialan,
Ash, kamu benar-benar berteman dengan Reina. Maafin aku tentang sebelumnya,
tetapi kamu boleh memanggilku 'Yuki'
jika itu membuatmu merasa lebih baik!
“Dan
panggila aku Momoko, 'Momoko' yang super duper keren!”
“Dengar,
kamu keren selama kamu tidak cerewet,” kata Kai. Tentu saja, dia menyambut baik
hubungan biasa, jadi dia memilih untuk menerima saran mereka sebagai hal yang
positif. “Tapi jika kamu benar-benar ingin aku merasa lebih baik, kamu bisa
mencoba memanggilku 'Kai' daripada 'Ash.'”
“Ayolah,
Ash, ini namanya julukan kasih sayang.”
“Julukan
kasih sayang!”
Kai
tidak tahu tentang Yuki, tapi Momoko pasti berbohong.
Yah, aku akan menganggapnya begitu, pikirnya. Ketegangan telah memudar dan
semua orang tampak menerimanya. Mungkin Reina sebenarnya baik dan bukan
seseorang yang harus ditakuti? Dia bahkan memiliki senyum lembut di wajahnya
saat dia melanjutkan percakapan.
“Kebetulan,
Ashie boy, apa kamu mengingat apa yang kubilang kemarin?”
“Oh
ya, kamu ingin membicarakan sesuatu di sekolah, ‘kan?”
Kai
bertanya-tanya apa topiknya. Aku berani
bersumpah dia akan memberitahuku tentang sesuatu karena kencanku dengan
Kotobuki kemarin, pikirnya.
Tapi
hei, suasananya sangat akrab, kan? Mana mungkin sesuatu yang berbahaya. Dia
cuma asal mengambil kesimpulan, ‘kan? Kai menunggu Reina menjawab tanpa peduli
dunia. Namun, Reina masih menyeringai lebar.
“Tentu
saja. Aku ingin membicarakan tentang bagaimana bisa kamu mendepak Jun untuk pergi
berkencan dengan kucing garong kecil itu.”
Ah.
Tentu saja mengenai itu. Jangan
mengagetiku seperti ini! Ini buruk untuk hatiku!
“Tergantung
pada jawabanmu nanti, kamu mungkin harus
membayarnya dengan harga mahal.”
Ekspresi
Kai yang sebelumnya riang sekarang membeku seperti mayat. Sementara itu, Reina
tetap tersenyum sedingin es saat dia memberinya kondisi yang membuat darahnya
menjadi dingin. Suasaba pebuh ketegangan menebal sekali lagi saat Shirayuki dan
Momoko memelototinya dengan kemarahan yang wajar atas teman mereka.
“Kamu
seharusnya berterima kasih padaku, Ashie boy. Aku menganggap kalau kita berdua
adalah teman, itulah sebabnya aku bersedia mendengarkan alasanmu. ”
“Ya
nyonya.”
“Kira-kira,
apakah alasanmu bisa selesai dengan cepat, atau akan memakan waktu lama?”
“Itu
... eh, mungkin akan memakan waktu cukup lama.”
“Baiklah,”
Reina menerimanya begitu saja. Senyum model-dalam-pelatihannya bisa membuat
siapa pun terpesona, tetapi nada seramnya itu bisa memadamkan api romansa
selama berabad-abad.
“Sepulang
sekolah. Di belakang gedung olahraga.”
“...Siap,
nyonya.”
Sensasi
merinding sekali lagi menjalar di punggung Kai.
◆◆◆◆
Dan
hari itu berlanjut sampai bel sekolah terakhir berbunyi. Kai dipanggil di
belakang gedung olahraga oleh Reina. Secara khusus, mereka berada di pertengaha
tangga di dekat pintu masuk tempat Reina memintanya duduk bersimpuh. Lantainya
terbuat dari beton padat, yang membuat tulang kering Kai terasa sangat sakit.
“Kenapa
aku harus duduk bersimpuh seperti ini?”
“Posisi
apa yang lebih baik bagi seseorang yang perlu merenungkan kesalahannya?”
Reina
langsung menjawab. Posisi pilihannya adalah berdiri teguh dengan tangan disilangkan.
Berhadapan langsung dengan Ratu es yang mengintimidasinya dari atas sudah menimbulkan
ketakutan di hati Kai.
Namu
di sisi lain, Kai tidak yakin di mana harus mengarahkan pandangan matanya.
Reina, sebagaimana kebanyakan gadis SMA modern, mengenakan rok pendek. Dan
ketika memperhitungkan kakinya yang panjang dan ramping dari tubuh
supermodelnya, pinggulnya cukup tinggi dari tanah. Oleh karena itu, jika dia
berdiri di depan Kai yang sedang duduk bersimpuh Kai mungkin bisa melihat
sekilas sesuatu di dalam roknya yang seharusnya tidak boleh Ia lihat.
Tapi aku mungkin akan ditendang jika mengungkit
hal itu, jadi aku akan diam saja.
Jika
ada sesuatu yang memasuki garis pandangnya,
itu akan benar-benar hal yang tidak disengaja. Cukup baik, kan? Yah, setidaknya
mengingat kejadian yang tak terduga ini membuatnya hanya setengah ketakutan.
“Tepatnya,
kesalahan-kesalahan seperti apa yang perlu aku renungkan?” Kai mungkin telah
dipaksa untuk duduk bersimpuh, tapi Ia masih menunjukkan sedikit perlawanan
dalam suaranya.
“Kesalahan
karena dengan beraninya mendua Jun ketika dia adalah pacar yang lebih baik
daripada yang pernah kamu minta.”
“Mendua,
kamu bilang.”
“Ashie
boy, jadi bisakah aku meminta alasanmu sekarang?”
“Tentu,
itu hal yang sama yang selaluuuuuuuuuu kuberitahu padamu. Jun dan aku tidak
pacaran. Kami berdua cuma berteman. Aku cuma melakukan percobaan kencan dengan
Kotobuki. Jadi itu tidak masuk kategori mendua!?”
“Ya
ampun, kamu memang kepala batu. Memangnya kamu pikir kebohongan terselubung
seperti itu akan membuatmu lolos dari ini?”
“Aku
berani bersumpah kalau itulah kebenarannya.” Kai menghela nafas melihat bagaimana
percakapan mereka tidak selaras satu sama lain.
“Yah,
aku ingin memberitahumu kalau kamu harus memilih Jun. Lupakan gadis lain itu.
Bersumpahlah padaku di sini, sekarang, bahwa kamu takkan pernah melihatnya
lagi.”
Reina
memerintahkannya dengan paksa. Kai menurunkan bahunya. Sialan, dia mulai lagi, pikirnya.
“Kecuali
di tempat kerja, artinya aku akan menemuinya entah itu maumu atau bukan.”
“Solusinya
mudah. Tinggal berhenti saja dari pekerjaanmu.”
“Kamu
tidak bisa begitu saja menyuruhku menghancurkan hidupku, tahu!”
Kai
balas membentak, tapi Reina hanya berbalik dengan mengejek seolah-olah
kekhawatiran seperti itu ada di bawahnya. Tapi mereka berdua terus bersitegang;
Kai memalingkan wajahnya ke arah lain dengan gusar. Mereka terus beradu
argument satu sama lain.
“Dengar,
tidak peduli apa yang kamu katakan padaku, aku takkan mulai menghindarinya.”
“...Maksudmu
bukan aku yang memutuskan itu, tapi kamu, Ashie boy?”
“Ya.
Syukurlah kamu mulai memahami itu.”
“Aku
tidak punya alasan untuk tidak melakukannya. Itu hal yang sama kamu katakan
ketika membentak geng Matsuda. Mana mungkin aku melupakan itu dalam waktu
dekat.”
Reina
menghela nafas setuju seolah-olah menerima bahwa Kai berpegang teguh pada
ceritanya. Dia berbalik menghadapnya saat Kai melakukan hal yang sama. Mungkin
itu imajinasinya, tetapi ekspresi Reina tampak lebih lembut dan pandangan
matanya lebih ramah. Kai menganggapnya sebagai tanda bahwa dirinya mampu untuk
meringankan juga.
“Yah,
itu hal yang sama juga.”
“Baik,
aku mengerti. Jangan ragu untuk bermesra-mesraan dengan pacarmu itu, Ashie boy.”
“Tunggu
tunggu tunggu, kenapa kamu justru mengambil kesimpulan yang salah di sini!”
Apa otak Reina tidak memahami konsep
moderasi?
“Oh,
memangnya aku salah?”
“Aku
bahkan belum memutuskan untuk berpacaran dengannya! Dan selain itu...”
“Selain
itu, bolehkah aku bertanya?”
“Sulit
untuk mengatakannya, tapi sejujurnya, aku selalu kepikiran. Tentang kemarin.”
“Apa
kencanmu kurang menyenangkan daripada yang kamu harapkan?”
“Tidak,
kencannya sendiri menyenangkan. Seriusan. Tapi, kamu tahu, ada sesuatu yang lebih
dari itu.”
Berbeda
ketika nongkrong bersama teman-teman, ada banyak hal yang harus Kai perhatikan
saat berkencan. Ia harus benar-benar menghindari melakukan sesuatu yang akan
membuat pasangannya salah paham. Ia bahkan harus ikut menemaninya untuk
berbelanja pakaian, suatu kegiatan yang tidak Kai nikmati sedikit pun.
“Aku
bertemu Kotobuki di tempat kerja. Dia sangat menyenangkan untuk diajak
mengobrol. Kami juga memiliki hobi yang sama.”
Bahkan
baru kemarin, mereka terlibat dalam diskusi yang begitu memanas tentang pemikiran
mereka tentang film anime sampai-sampai menyadari kalau mereka lupa waktu. Dan
Kai menyukai setiap momen yang mereka habiskan bersama.
“Tapi
kami mungkin bisa melakukannya tanpa berpacaran ... sialan, kami mungkin bisa
lebih fokus pada bagian yang menyenangkan jika kami tidak...”
“Ashie
boy... Aku tidak tahu apakah kamu bertingkah dewasa atau kekanak-kanakan.”
“Oh
ayolah, aku masih anak-anak. Aku sendiri juga berpikiran begitu.”
“Namun
kamu masih memiliki sisi polos seperti itu padamu ... Tidak heran kamu bergaul
dengan baik dengan Jun.”
Itu
adalah kalimat yang cringe, tetapi rasanya
seperti punya makna berbeda ketika
berasal dari ratu ini. Sayangnya, Kai sangat jauh untuk dianggap sebagai
gebetan, jadi Ia masih menganggap perbandingan itu cukup memalukan.
“Ashie
boy, maukah kamu mengizinkanku memberimu satu kata nasihat terakhir, sebagai
teman?”
“Te-Tentu,”
balas Kai. Permintaan terakhir ini tidak memiliki nada mengancam khas Reina,
jadi dia mendengarkan dengan pikiran terbuka.
“Jika
kamu terus mengobrol dengan gadis itu, kamu mungkin takkan bisa sering bertemu dengan Jun lagi.”
“Hah?
Kenapa?”
“Bukannya
sudah jelas? Aku tak peduli yang mana pacarmu, kamu masih tetap mendua.”
“Padahal
Jun tidak pernah lebih dari seorang teman?”
“Mungkin
bagimu, tapi apa gadis itu akan menganggapnya seperti itu?”
“Aku
sudah memberitahu Kotobuki tentang Jun, kalau aku punya teman perempuan yang
hampir setiap hari nongkrong di rumahku. Dia seharusnya sangat menyadarinya,
jadi aku ragu dia akan memberitahuku untuk tidak pernah melihatnya lagi. Tidak
seperti kamu!?”
“Apa
kamu belum pernah mendengar ungkapan,
'cinta itu buta'? Dia mungkin merasa was-was dan hanya berpura-pura bahwa
semuanya baik-baik saja untuk menghindari masalah.”
“Apa
... memang seperti itu?”
“Jika
aku mengetahui kalau pacarku sering bersama gadis lain hampir setiap hari,
percayalah kalau aku takkan merasa senang.”
“...Jadi
begitu.” Kai harus menghela nafas. Itu adalah desahan yang terbesar, terdalam
yang Ia keluarkan hari itu.
“Masalah
pacar-pacaran ini ngerepotin banget ...”
Kai
keceplosan mengeluarkan keluhannya. Bahkan jika dia ditertawakan karena
kekanak-kanakan, dia tidak dapat menyangkal bahwa di situlah perasaannya yang
sebenarnya.
“Yah,
Ashie boy,” tawa Reina tanpa ragu, “apa kamu akan melewati hal merepotkan itu?”
“Aku
takkan melakukannya. Aku tidak bisa.”
Kai
memberikan jawaban putus asa. Jika menjalin hubungan romantis membuatnya harus
menjauhkan diri dari Jun, maka Kai tidak keberatan jika Ia tidak punya pacar.
Bagi Kai, keberadaan Jun jauh melampaui seseorang yang bisa dia anggap sebagai
pilihan. Tidak berlebihan untuk mengatakan kalau Jun adalah bagian dari
hidupnya.
“Rasanya
bikin merepotkan untuk melakukannya, tapi itulah yang akan kukatakan pada
Kotobuki.” Ujar Kai, suaranya terdengar hampir seperti beban terangkat dari
bahunya.
“Syukurlah
kalau begitu,” kata Reina sambil melepaskan tangannya yang tersilang.
“Omong-omong, permintaan maaf karena sudah membuatmu duduk bersimpuh. Sampai
jumpa besok.”
Reina
sedang berbalik seolah-olah dia menganggap urusannya sudah selesai. Sekarang Kai
bebas, Ia akhirnya bisa berdiri dan membiarkan kakinya bernafas. Darah yang
mengalir deras ke anggota tubuhnya yang mati rasa membuatnya ingin berteriak!
Tapi Ia bertahan untuk bisa mengatakan satu hal terakhir kepada Reina sebelum
dia menghilang dari pandangan.
“Terima
kasih banyak, Reina-san!”
“...Permisi?”
Reina menghentikan langkah kakinya dan berbalik saat bulu matanya yang panjang
berkedip dalam kebingungan.
“...Hah?”
Yang Kai lakukan hanyalah berterima kasih padanya, jadi Ia cukup bingung
mengapa Reina menatapnya dengan kebingungan.
Reina
bertanya lebih jauh karena penasaran. “Ashie boy, mengapa kamu berterima kasih
kepada seseorang yang memanggilmu ke tangga terpencil dan memaksamu untuk duduk
bersimpuh?”
“Eh…maksudku,
kamu memberiku nasihat ... sebagai teman.”
Itu
adalah bagian dari kehidupan yang tidak diketahui Kai, jadi dirinya merasa
terbantu karena Reina sudah menunjukkan jalan kepadanya. Oleh karena itu, Kai mengatakan
sesuatu sebagai balasan yang Ia anggap wajar. Namun, tatapan mata Reina
memberitahunya bahwa dia tidak bisa mempercayai si idiot ini. Mengapa?
“...Baiklah,
baiklah, sama-sama.” Reina menerima ucapan terima kasih Kai meskipun dia harus
mengangkat bahu dengan putus asa saat melakukannya. Dia sekarang benar-benar
pergi, tapi tidak sebelum meninggalkannya dengan kata-kata perpisahan ini:
“Ashie
boy... Aku benar-benar tidak paham apakah kamu bersikap dewasa atau
kekanak-kanakan.”
◆◆◆◆
Begitu
Reina pergi, Kai langsung pulang ke rumahnya. Ia bekerja sambilan sekitar dua
kali seminggu, dan pada malam itu Ia mendapat giliran kerja dari jam 6 sore
sampai jam 10 malam
Kai
mengambil beberapa kroket dari kulkas untuk menganjal perut sebelum keluar.
Kroket ini adalah produk terbaik di toko roti favorit ibunya; kerak mereka
disiram dengan remah roti yang kasar dan berkualitas tinggi yang tetap renyah
bahkan setelah dipanaskan kembali dalam microwave. Kentang tumbuk halus di
dalamnya memberi tekstur kenyal pada bagian tengahnya, yang kontras dengan
kantong kecil daging giling yang tersebar di seluruh bagian. Bersama-sama,
mereka menyelaraskan menjadi simfoni lezat yang mengangkat status kroket
sederhana menjadi lauk proporsi epik. Memanfaatkan kekuatan nafsu makannya yang
semakin besar, Kai menghabiskannya dengan mudah. Ia kemudian pergi, mengayuh
sepedanya dengan gembira menuju Beaver Video Rental, toko #4.
Ketika
Kai tiba sedikit lebih awal dari waktu giliran kerjanya, Ia melihat jadwal
shift di ruang istirahat. Kai berpikir bahwa jika Ia ingin membicarakan sesuatu
dengan Kotobuki, pilihan terbaiknya ialah mendiskusikannya secara langsung,
jadi Ia memeriksa kapan waktu berikutnya mereka berada di shift yang sama.
Mereka sering dijadwalkan bersama sejak Kai menjabat sebagai mentornya, tetapi
manajer mereka tampaknya berpikir kalau sudah waktunya bagi bayi burung untuk
meninggalkan sarang dan secara bertahap mulai memberi mereka giliran kerja yang
berbeda.
Hmm, waktu yang tidak pas. Kami tidak berbagi
shift sampai minggu depan. Kai
mungkin bisa memanggilnya untuk bertemu di restoran atau sesuatu besok. Karena
dirinya masih punya waktu, dia
mengeluarkan ponselnya untuk mengiriminya pesan melalui LINE...sampai dia
menyadari bahwa Kotobuki sendiri yang sudah mengiriminya pesan untuk menanyakan
apakah dia punya waktu sebelum shiftnya. Pesan tersebut pasti dikirim saat Ia
sedang bersepeda.
Kai
menggali koleksi stikernya dan mengirim gambar stiker Kotori Itsuka yang
mengatakan “Kurasa aku ada waktu”
dengan muka seringai. Pesannya langsung ditandai sebagai telah dibaca.
“Aku ingin berdiskusi serius,” datang pesan berikutnya dari Kotobuki.
Kai
merasa penasaran tentang apa yang ingin dia bicarakan. Dirinya lalu mengirim
tanggapannya dengan sedikit gentar.
“Apa
yang ingin kamu diskusikan?”
“Kira-kira, apa kita bisa berkumpul bersama
Miyakawa dalam beberapa hari mendatang?”
Hah?
pikir Kai, memeriksa layar beberapa kali untuk memastikan kalau Ia tidak salah
lihat. Apa yang merasukinya?
“Apa
ini akan menjadi lelucon yang terlalu tinggi buat kupahami?”
“Tidak, itu pertanyaan langsung. Emangnya itu
akan menimbulkan masalah?”
“Aku
sendiri tidak masalah dan Jun pasti akan mengambil kesempatan itu.”
Yang
ada justru, Jun mungkin masih kesal karena dia ditinggalkan kemarin.
“Kalau begitu aku akan menganggapnya sebagai
tidak ada masalah. Aku punya waktu luang setiap hari selain shift kerjaku, jadi
aku akan menyerahkan penjadwalannya padamu. ”
“Baiklah,”
jawab Kai, meski Ia merasakan perasaan buruk dengan ide ini. “Namun, aku
mendapat kesan kalau kamu takkan bisa akrab dengan Jun.”
“Kata siapa. Aku merasa dia adalah wanita
yang luar biasa bahkan pada pandangan pertama. ”
Serius? Kai hanya bisa mengingat mata ikan mati yang dimilikinya saat wajahnya
terkubur di dada Jun.
Apa
kamu yakin kamu tidak salah mengira dia sebagai Reina, orang lain yang kita
temui saat itu?”
“Orang yang memelukku dan tidak mau melepaskanku
menyebut dirinya sebagai 'Miyakawa,' jadi aku cukup yakin tidak ada kesalahan.”
Ya,
memang. Itu pasti Jun.
“Jika
bisa, aku ingin memiliki lebih banyak kesempatan bagi kita bertiga untuk
menghabiskan waktu bersama di masa depan.”
...Sungguh, pikir Kai, apa yang merasukinya? Aku tidak tahu ekspresi macam apa yang dirasakan
Kotobuki ketika mengirimkan pesan ini ...
Sulit
untuk mengetahui apa arti sebenarnya seseorang ketika tidak dapat melihat
langsung wajah mereka, tetapi bagaimanapun juga, Kai tidak dapat menemukan
alasan untuk menolak permintaan Kotobuki jika dia benar-benar ingin berteman
dengan Jun. Jadwal shiftnya akan segera dimulai, jadi Kai memberitahunya kalau
Ia akan membicarakan jadwal mereka dengan Jun dan mengabarinya lagi nanti.
Hmm, itu tidak berjalan seperti yang
kuharapkan ...
Kai
benar-benar bermaksud memberitahu Kotobuki bahwa dirinyaa tidak bisa berpacaran
dengannya karena dia ingin tetap berteman dengan Jun, tapi ternyata
perkembangannya mengalir ke arah yang berbeda.
Ia
melihat balasan dari Kotobuki muncul, mengatakan bahwa ini adalah kesempatan
sempurna karena dia juga ingin mengenal Miyakawa. Tentu saja, jika cuma itu saja yang jadi permintaannya, maka Kai akan merasa sangat bersyukur...namun, hal itu tampak terlalu bagus untuk menjadi kenyataan.
Kai tidak yakin apa harus merasa benar-benar bahagia atau cemas mengenai apa yang akan terjadi nanti.
...Tidak, memeras otakku tidak akan memberiku
jawaban, pikir Kai. Ia lebih baik
tidak membawa kecemasannya ke dalam pekerjaannya.
Ya ampun, masalah pacar-pacaran ini benar-benar
butuh banyak usaha...
Sebelumnya || Daftar isi || Selanjutnya