Chapter 3
Terkadang, Luna terlihat
seperti “gadis” yang jauh lebih
dewasa dari usianya. Mungkin karena dia menjalani hidupnya yang “Ingin menjadi dewasa secepat mungkin”
seperti yang pernah dia katakan sendiri, atau mungkin karena pengalaman yang sudah dia peroleh selama
ini.
Aku selalu dibuat terkejut
ketika melihat ekspresi dewasa di wajahnya yang biasanya terlihat polos, dan
setiap kali itu terjadi, aku jadi semakin tertarik padanya.
Aku
ingin menyusul Luna secepat mungkin.
Sebagai
pacar Luna, aku ingin menjadi cowok yang pantas untuknya.
Namun, mana mungkin usia mental
bisa tumbuh begitu cepat. Melakukan upaya sekuat mungkin juga sia-sia.
Jadi, satu-satunya hal yang
bisa kulakukan adalah meningkatkan spesifikasi diriku sendiri, tak peduli
pendekatan mana yang harus kuambil.
—
Misalnya saja, aku ingin punya tiga anak.
Perasaan tidak sabar tumbuh
dalam diriku saat aku tersenyum masam ketika mengingat perkataan Luna.
Mengharapkan
tiga anak di zaman modern begini. Aku tidak tahu apa jalur karir Luna nantinya,
dan kurasa itu akan sulit kecuali aku bisa diterima di universitas yang cukup
terkenal, bekerja di perusahaan besar, dan mendapatkan penghasilan yang stabil.
Aku yang tipe orang terlalu banyak
berpikir, mau tak mau jadi memikirkan berbagai hal yang realistis bersamaan
dengan imajinasi.
Kemudian, aku mengambil pamflet
untuk sekolah bimbel yang aku terima selama kursus musim panas.
◇◇◇◇
“Nee~ nee~, Ryuuto!”
Pada suatu hari saat sepulang
sekolah, ketika aku hendak keluar kelas dengan Ichi, Luna tiba-tiba
mendatangiku.
“Sabtu ini, aku mau membuat croffles dengan Akari di rumahku, kamu
mau mampir dan memakannya?”
“Ku? Kuro...?”
“Croissant waffle! Itu nama dari makanan penutup yang populer di
Korea. Saat aku bilang kalau aku punya waffle
maker yang dibeli nenekku sebelumnya, Akari memintaku untuk membuatkan
wafel untuknya. Dia bilang kalau dia akan membawakanku bahan-bahannya.”
“Hee ...”
Aku
tidak terlalu tahu dengan yang namanya croffles, tapi jika itu buatan Luna, aku
ingin mencobanya …. Atau itulah yang kupikirkan saat aku baru
mengingat sesuatu.
“Ah ... maaf. Hari Sabtu ini
aku ada jadwal les.”
Lalu, Luna memasang ekspresi
“Oh iya!”.
“Begitu ya. Mulainya minggu
ini, ‘kan ya?”
“Ya. Aku mau menyerahkan dokumen pendaftarannya
hari ini.”
“Begitu rupanya ... kalau
begitu hari Minggu ...tapi, aku mau
pergi berbelanja dengan Nikoru.”
“Kamu tidak perlu memaksakan
dirimu, kok.”
“Tapi ... kita jadi jarang
ketemuan, dong.”
Luna bergumam dengan nada yang
sedikit kesepian.
“Ja-Jangan khawatir, lagipula
kita masih bisa bertemu setiap hari di
sekolah.”
Memang sangat disayangkan kalau
kami tidak bisa bertemu selama hari libur, tapi aku tidak ingin mengganggu
persahabatan Luna.
“Ya…”
Luna menurunkan bahunya dengan
lesu, tapi kemudian dia tersenyum padaku.
“Baiklah. Semangat ya buat
lesnya.”
“Ya, makasih.”
“Lain kali, sebisa mungkin aku
akan mencoba meluangkan jadwalku di hari Minggu.”
“Ya ... tapi mungkin kamu juga
ingin main dengan Yamana-san, jadi dibawa santai aja, jangan terlalu berlebihan.”
Aku pernah mendengar dari Luna
kalau Yamana-san sering punya pekerjaan paruh waktu di hari Sabtu siang, jadi
dia hanya bisa bermain pada hari Minggu.
“Makasih. Aku juga bilangnya
sebisa mungkin, kok. Nikoru kadang-kadang ada pekerjaan paruh waktu pada hari
Minggu juga, sih.”
Usai bilang begitu, Luna lalu
menatap Ichi yang berdiri membisu seperti patung batu di sebelahku.
“Maaf sudah membuatmu jadi
menunggu ya, Ijichi-kun. Sampai jumpa lagi, Ryuuto!”
“Ya, sampai jumpa besok.”
Aku melambaikan tangaku dengan
ringan pada Luna, sedangkan Ichi menundukkan kepalanya dan menatapku dengan iri.
“Haaahh... kamu mah enak punya
pacar.”
Ichi bergumam begitu saat kami
berdua meninggalkan kelas.
“Kue yang dibuat Tanikita-san,
ya … Aku jadi ingin mencobanya …”
Sejak saat itu, Ichi sering menyebut
nama Tanikita-san. Mungkin Ia sudah jatuh cinta padanya. Tapi saat ditanya, Ia selalu
menyangkal, “Eng-Enggak kok!”.
Cowok perjaka memang makhluk
yang sulit. Aku juga sama sih ...
Tidak, tapi aku akan menjadi
pria yang pantas untuk Luna dan lulus dari keperjakaanku. Sekolah bimbel ini
adalah langkah pertama untuk mencapai tujuan itu.
Walau
rasanya sedikit menyakitkan bahwa waktu kebersamaan kita semakin berkurang,
tapi aku akan melakukan yang terbaik untuk bisa menuju masa depan yang lebih
cerah.
Usai merasa terinspirasi lagi,
aku bertemu Nisshi di lorong dan setelah kami bertiga pergi ke stasiun, aku
mengucapkan selamat tinggal pada mereka dan naik kereta menuju arah yang
berlawanan dari rumahku.
◇◇◇◇
Sekolah bimbel K yang
kuputuskan untuk kumasuki adalah sekolah bimbel utama untuk ujian masuk
universitas yang pernah didengar semua orang. Aku bahkan mendengar ada beberapa
siswa yang sudah mengadiri tempat les ini sejak mereka kelas 1, meski sekolah
SMA-ku bukan sekolah unggulan untuk melanjutkan studi, jadi ketika tiba saatnya
memutuskan sekolah bimbel untuk semester musim panas, aku cuma memilih dengan
pilihan yang mudah. Ini sama persis seperti kamu membeli sesuatu yang tidak
kamu kenali, dan kamu akhirnya memilih barang yang memiliki reputasi dan ulasan
yang terbaik.
Aku berjalan melewati keramaian
stasiun Ikebukuro tempat aku turun dan keluar dari pintu keluar barat. Setelah beberapa
menit berjalan dari stasiun dan menyusuri jalanan dengan suasana perkantoran,
aku akhirnya sampai di gedung sekolah bimbel K.
Di meja resepsionis, aku
menyerahkan dokumen pendaftaran yang sudah ditandatangani dan dicap oleh orang
tuaku dan setelah mendengarkan sedikit penjelasan dari staf, aku resmi menjadi
murid dari sekolah bimbel K.
“Hah ...”
Aku merasa seperti seorang
siswa yang mengikuti semua ujian sekaligus, yang mana membuatku merasa sedikit
ragu. Mulai sekarang, aku akan menghadiri pelajaran bahasa Inggris setiap hari
Sabtu. Saat aku bilang kalau aku ingin memasuki perguruan tinggi yang terkenal,
aku malah berakhir di tempat kursus tingkat tinggi, jadi tingkat pelajaran dan
peninjauannya juga sulit. Apalagi di kelas 3 nanti, akan ada lebih banyak mata
pelajaran yang harus dipelajari ... Sambil memikirkan itu, aku lalu menuju tangga
dengan langkah berat.
Karena aku pernah memasuki
gedung sekolah ini selama liburan musim panas, jadi aku tahu arah mana yang
harus aku tuju. Karena aku tidak ingin pergi ke ruang belajar yang ada di
lantai bawah, jadi aku pergi ke ruang santai yang ada di lantai paling atas
dulu. Kupikir aku ingin melihat-lihat buku teks yang sudah kuterima sambil meminum
teh.
Ketika aku membuka pintu ruang
santai, mataku sedikit silau oleh ruangan terang dengan dua dinding kaca. Ruangan
yang terdiri dari meja dan kursi yang
diatur pada jarak nyaman telihat belum begitu ramai, dan sebagai orang yang
pemalu, aku merasa lega.
Saat aku sedang melihat
sekeliling ruang santai dan mencoba mencari tempat duduk ..., tiba-tiba,
pandangan mataku langsung terpaku pada satu tempat.
“Kurose, san...!?”
Aku melihat Kurose-san yang
duduk di meja dekat jendela.
Kurose-san tidak sendirian. Dia
sedang duduk mengelilingi meja bersama beberapa gadis lain, memakan snack dan mengobrol dengan gembira.
Kecuali Kurose-san, semua gadis-gadis itu mengenakan seragam yang sama.
Itu adalah ekspresi bahagia Kurose-san
yang belum pernah kulihat di sekolah.
Entah karena bisa merasakan
tatapanku atau mungkin karena alasan lain, Kurose-san tiba-tiba memalingkan
wajahnya ke arahku, jadi secara refleks aku langsung berjongkok dan bersembunyi
di bawah meja.
“... Kenapa Kurose-san bisa ada
di sini...?”
Jangan
bilang, kalau dia mengejarku ……? Saat berpikir begitu, aku
langsung menyingkirkan pemikiran yang terlalu narsis itu. Bila dilihat dari caranya
bergaul dengan teman-temannya, sepertinya mereka sudah saling mengenal cukup
lama dan aku cukup yakin kalau dia sudah
mendaftar di sekolah bimbel ini lebih dulu sebelum aku.
“… Gimana nih.”
Karena
aku bersembunyi dengan tergesa-gesa, aku jadi bingung mengenai apa yang harus
kulakukan dari sini, apa perlu aku kabur dulu? Atau apa aku tinggal keluar
dengan santai dan menyapanya, “Hei, aku juga les di sini, lo.” ?
Sejak saat itu... Aku tidak
pernah mengobrol dengan Kurose–san sejak kami membicarakan masalah foto
berpelukan di hari terakhir semester pertama. Pada semeseter kedua, tempat
duduk kami terpisah dan tidak pernah berbicara satu sama lain. Sebagian alasan
kenapa aku langsung bersembunyi darinya karena kecanggungan di antara kami.
Selain itu.
—
Tapi ... kita jadi jarang ketemuan, dong.
Aku tidak bisa menghilangkan
perasaan bersalah karena aku bertemu Kurose-san di sekolah bimbel, sementara
membuat Luna merasa kesepian. Aku tidak menyangka kalau aku … akan bertemu
dengan gadis yang menyukaiku beberapa tempo hari yang lalu … tanpa ada pacarku
di sini.
“….”
Kalau
sudah begini, aku tidak punya pilihan lain selain melarikan diri dan
menghindari kontak dengan Kurose-san. Itu akan menjadi ketulusanku untuk Luna.
Aku sampai pada kesimpulan itu,
berpura-pura sakit, dan meninggalkan
ruang santai dengan merangkak sambil menahan rasa malu.
◇◇◇◇
Sejak hari itu, game survival di sekolas bimbel pun
dimulai, di mana game tersebut akan berakhir jika aku berpapasan dengan Kurose-san.
Kursus pelajaran bahasa Inggris
yang aku hadiri sudah dua kali diadakan. Pada awalnya, aku harus sering pergi
ke gedung sekolah untuk menindaklanjuti pelajaran video dan berbicara dengan
staf tentang peringkat sekolah yang ingin aku tuju. Selama berada di gedung
sekolah dan dalam perjalanan menuju gedung sekolah, aku selalu memastikan untuk
mengawasi lingkungan sekitarku dan mewaspadai keberadaan Kurose-san.
Hal yang paling membuatku gugup
adalah saat berada di ruang belajar mandiri. Kurose-san adalah pengunjung tetap
ruang belajar mandiri dan hampir selalu ada di sana saat aku pergi mengunjungi.
Begitu aku memasuki ruangan dan memastikan tempat duduk Kurose-san, aku harus
mengantisipasi lajur jalan yang akan dia lalui saat keluar dari ruang belajar,
dan aku harus menyesuaikan tempat dudukku supaya bisa menghindari tempat yang
akan dia lalui. Hal itu benar-benar menjengkelkan.
Bahkan jika aku pergi ke ruang
belajar mandiri di gedung lain, tergantung pada hari atau waktu dalam hari yang
sama, aku akan menghadapi kesulitan yang sama karena Kurose-san akan ada di
sana.
Berkat usaha kerasku, dua minggu
setelah aku memasuki sekolah bimbel, aku berhasil menjalani kehidupan sekolah
bimbel tanpa harus bertemu Kurose-san.
Namun, pada hari Sabtu
tertentu. Sebuah insiden terjadi setelah aku selesai mengikuti kursus bahasa
Inggrisku yang kedua kali.
Di pelajaran hari itu, aku
kebetulan bisa menjawab pertanyaan yang ditanyakan oleh pengajar. Aku merasa
sangat senang dengan hal itu sehingga tanpa sadar aku menurunkan kewaspadaanku
dengan area sekeliling daripada biasanya.
Di gedung sekolah, semua siswa
harus melewati tangga untuk naik turun dari lantai atas. Jika kamu berpapasan
dengan seseorang di tangga, pada dasarnya tidak ada jalan lain untuk melarikan
diri. Oleh karena itu, saat aku menggunakan tangga, aku harus berhati-hati
tentang siapa yang akan menaiki atau menuruni tangga.
Namun, di hari itu aku lalai
melakukannya dan pergi menuruni tangga begitu saja karena berpikir kalau itu
akan baik-baik saja. Tapi ternyata, hal itu adalah sebuah kesalahan.
Saat aku melihat rambut hitam
yang sangat kukenal, aku berpikir “Ah!”,
tapi semuanya sudah terlambat. Kurose-san berbelok ke arah tangga bersama teman-temannya
dan menuju ke arahku.
Aku langsung berbalik, tapi
jarak kami sudah terlalu dekat. Jarak antara aku dan Kurose-san hanya sekitar 1,5
meter.
Ini
sudah tidak mungkin lagi. Kami bakal berpapasan.
Ketika aku berpikir begitu ...
“Yo~ ada Yamada, toh! Lama
enggak ketemu~!”
Tiba-tiba, ada tangan seseorang
yang melingkari leherku dan menarik wajahku ke arahnya.
“Eh …!?”
Seorang cowok yang tidak kukenali.
Badannya cukup tinggi karena Ia
bisa melingkarkan tangannya padaku yang mempunyai ketinggian rata-rata. Ia
mungkin setinggi Ichi, tapi tidak seperti Ichi, Ia mempunyai tubuh yang ramping.
Aku tidak tahu ada kesalahpahaman
macam apa, tapi pria itu menyembunyikan wajahku, dan berkat dirinya, sepertinya
aku berhasil melalui situasi bahaya.
Pria itu membawaku ke koridor
dan Kurose-san serta teman-temannya menaiki tangga lebih jauh lagi. Mereka
mungkin menuju ke ruang santai.
Setelah mengkonfirmasi hal ini,
aku membuka mulutku dengan ketakutan.
“...maaf, namaku bukan ‘Yamada’, jadi...”
“Aku sudah tahu.”
Pria itu lalu melepaskan
tangannya dari leherku dan aku terbebas.
“Aku cuma menyelamatkanmu.
Gadis cantik yang selalu kamu hindari itu hampir menemukanmu, ‘kan?”
Pria itu menyunggingkan sudut
mulutnya saat menatapku.
Ia ternyata pria yang tampan.
Namun, ketampanannya sedikit
berbeda. Hidungnya memang mancung, tapi matanya agak sipit dan tajam, serta
bibir yang tipis. Hal yang membuatnya menonjol adalah rambut hitam tebal dan
poni yang begitu panjang sampai-sampai hampir menutupi matanya.
Bisa dibilang, inilah yang
disebut sebagai ‘suasana pria tampan’.
Yah, jika suasananya saja sudah tampan, aku yang mempunyai wajah karakter
sampingan suram hanya bisa merasa iri padanya ...
“... Eh, kamu tadi bilang apa?”
Aku tanpa sadar terparangah
dengan suasana pria tampan yang dimilikinya dan butuh beberapa saat untuk
memahami kata-katanya.
“Apa kamu mengenalku?”
Pria itu balas mengangguk.
“Aku sudah sering melihatmu
selama beberapa minggu terakhir. Di ruang belajar mandiri, kamu selalu melarikan
diri dari gadis cantik yang sama. Kamu terlihat sangat mencurigakan sehingga
membuatmu jadi menonjol.”
Aku tidak pernah mengira kalau
ada orang lain yang memperhatikan bahwa aku sedang menghindari Kurose-san. ...
Rasanya sungguh memalukan.
“Jadi, apa hubunganmu dengan
gadis itu? Mantan pacar? Penguntit? Seseorang yang dalam masalah jika dia
melihatmu?”
“Eh!? I-Itu sih...”
Itu bukan hubungan yang bisa
dijelaskan dengan beberapa kata, jadi saat aku kebingungan untuk menjawabnya, pria
itu meletakkan tangannya di bahuku lagi.
“Yah~, karena kelihatannya
menarik, jadi aku ingin mendengarkan ceritamu. Aku dari pagi berada di ruang
belajar terus dan butuh perubahan suasana. Ruang santai ... kemungkinan ada
gadis itu, jadi ayo pergi ke toko yang ada di luar sini.”
“Eh... ehhhhhh!?”
Aku tidak bisa mengimbangi
antusiasmenya yang mendadak, tapi karena Ia telah menyelamatkanku dari situasi
yang genting, aku tidak bisa mengabaikannya begitu saja. Tanpa disadari, aku
sudah berada di luar gedung sekolah dan menuju ke toko terdekat bersama pria
itu.
◇◇◇◇
“... Jadi begitu rupanya, ya.
Tak disangka-sangka kalau gadis yang dulu menjadi cinta pertamamu ternyata
adalah adik dari pacarmu yang sekarang.”
Di dalam kafe terdekat, cowok
yang mendengarkan cerita itu dariku bergumam dengan nada terkesan.
Nama cowok tersebut adalah
Sekiya Shuugo. Tampaknya Ia adalah orang yang disebut oleh masyarakat umum
sebagai ‘ronin’ yang terdaftar dalam
kursus pasca kelulusan SMA di sekolah bimbel K. Aku bertanya padanya tentang
hal itu saat kami berjalan menuju ke kafe ini. (TN : Istilah ronin digunakan di Jepang untuk
lulusan SMA yang gagal lulus tes
masuk perguruan tinggi atau sekolah lain yang lebih tinggi. Lulusan SMA yang
tidak lagi terdaftar di sekolah manapun diumpamakan sebagai samurai yang tidak
lagi memiliki majikan tempat mengabdi.)
“Jadi, apa yang akan kamu
lakukan? Apa kamu akan terus menghindarinya sampai masa kursusmu selesai?”
Saat Sekiya-san menanyaiku, aku
hanya bisa terdiam.
Es kopi yang kupesan -karena yang paling murah- rasanya pahit
dan aku tidak begitu menyukainya, jadi aku tidak ingin menghabiskannya. Tapi
karena Sekiya-san sudah repot-repot mentraktirku dan berkata, “Aku akan membayarnya sekalian,” jadi aku
harus menghabiskannya sebelum meninggalkan kafe.
“Aku tidak berpikir kalau itu
tindakan yang realistis, tapi untuk saat ini ...”
“Kalau begitu, apa kamu mau
pindah tempat bimbel?”
“Kupikir aku tidak perlu sampai
sejauh itu ...”
Kami menghabiskan waktu setiap
hari di kelas yang sama di sekolah dan kupikir itu bukan ide yang baik untuk
pindah ke tempat les yang lebih jauh dari rumah dan sekolah cuma demi
menghindari Kurose-san.
“Dari awal, aku mungkin
seharusnya menyapanya saja, tapi saat pertama kali melihatnya, aku secara
refleks langsung bersembunyi, jadi entah bagaimana...”
“Kenapa? Apa kamu merasa
bersalah dengan pacarmu yang sekarang?”
Ketika Sekiya-san menanyakan
hal itu padaku, aku memikirkannya sejenak.
“... Aku tidak ingin membuatnya
merasa gelisah lagi.”
Aku menggumamkan pikiranku
sembari mengingat kejadian di musim panas lalu.
“Karena dia sangat penting
bagiku, aku sudah berusaha untuk tidak terlibat lagi dengan Kurose-san, adik
dari pacarku … tapi kami justru berakhir di tempat les yang sama. Aku merasa
itu akan membuatnya merasa gelisah jika dia mengetahui kalau Kurose-san berada
di tempat les yang sama denganku, sementara aku jarang bertemu dengannya karena
aku akan sibuk belajar untuk ujian masuk.”
Iya. Aku memasuki sekolah
bimbel ini tanpa pernah menyangka kalau Kurose-san ada di sini ...
“Aku sudah memikirkannya.
Seandainya saja posisi kami di balik ... Jika dia menghadiri tempat les dan di
sana ada mantan pacarnya ... dan jika aku mengetahui hal itu ... mana mungkin
aku tidak memedulikannya sama sekali.”
“... Jadi begitu ya.”
Sekiya-san yang dari tadi mendengarkan
dengan tangan terlipat, mengangkat wajahnya dan berkata demikian.
“Kalau begitu, kamu tidak punya
pilihan lain selain terus menghindarinya. Aku akan ikut membantumu juga.”
“Eh……”
Aku sangat bersyukur untuk itu,
tapi aku belum sempat mengucapkan rasa terima kasihku karena Ia mengucapkannya
dengan begitu enteng.
“Aku selalu berada di sekolah Ikebukuro
setiap hari. Jika aku melihat gadis itu, aku akan memberitahumu keberadaan dia
lewat LINE. Jadi, coba bagi ID Line-mu.”
“Ah, iya…”
Aku melakukan apa yang
dikatakannya dan entah bagaimana bertukar informasi kontak dengan seseorang
yang belum pernah kutemui sebelumnya. Aku baru pertama kali mengalami hal ini.
“Eh, kenapa foto akunmu bukan
foto pacarmu?”
Setelah memeriksa akunku,
Sekiya-san berkomentar dengan nada kecewa.
“Meski kamu bilang kalau mereka
tidak terlalu mirip, tapi aku yakin kalau kakak perempuannya juga cantik, ‘kan?
Emang enggak ada fotonya?”
Saat aku melihat tatapan mata
penasaran Sekiya-san yang sepertinya menyukai wanita, aku mengangguk tanpa
sadar.
“Iya, enggak ada.”
“Jangan bohong, luh ~dasar pendiem
sangean.”
Ia hanya menanyakan hal itu dan
tidak bertanya lebih lanjut.
“Kalau begitu, aku mau kembali
ke ruang belajar lagi. Kalau kamu?”
“Eh ... ya, aku juga mau ke
sana.”
Saat aku buru-buru mencoba meminum
es kopiku yang hampir penuh, Sekiya-san mengulurkan tangannya untuk meraih
gelasku dari sisi yang berlawanan.
“Kalau kamu enggak mau, sini buat
aku aja. Lagian, aku ini pecandu kafein.”
“Eh, eh? Ah, ya ...”
Menghindari bagian sedotan, Sekiya-san
meneguk es kopi langsung dari gelas seolah-olah itu adalah bir.
“Ketika aku di ruang belajar
sepanjang hari, tidak peduli berapa banyak kopi yang kuminum, aku selalu
mengantuk. Aku meminum banyak kopi selama enam bulan terakhir ini sehingga efek
kafein sudah tidak mempan lagi.”
Menempatkan gelas yang cuma berisi
es batu, Sekiya-san berdiri dengan membawa nampan.
“Lain kali, pesanlah minuman
yang ingin kamu minum. Aku bisa mentraktirmu lagi.”
Aku diberitahu begitu saat
masih duduk, tapi aku segera mengambil tasku dan buru-buru berdiri.
“Te-Terima kasih banyak.”
Aku merasa malu karena aku
hanya mengikutinya layaknya anak itik. Sekiya-san yang lebih tua dariku,
terlihat sangat cerdas dan dewasa.
◇◇◇◇
“Namun yah~, siapa lagi nama
gadis itu, Kurose-san? Kamu mungkin sedang bermain kucing-kucingan dengannya,
tapi kamu juga jangan mengabaikan studimu di sekolah bimbel, lo.”
Dalam perjalanan kembali ke
tempat les, Sekiya-san yang berjalan di sampingku mengatakan hal itu.
“Seriusan, deh. Enggak ada
enaknya menjadi ronin, tau.”
Saat mendengarnya dari seseorang
yang menjadi ronin, kata-kata tersebut memiliki bobot yang berbeda.
“Haa ... aku akan berusaha
melakukan yang terbaik.”
“Haa, enak ya masih kelas 2 SMA.
Kamu masih bisa membidik ke mana saja. Aku juga, seandainya saja ada seseorang
yang mengatakan hal yang sama sepertiku pada saat itu...”
Saat itu, terdengar suara
berdengung dari kantong dada Sekiya-san. Ia kemudian mengeluarkan
smartphone-nya, melihat ke arah layar, dan mendecakkan lidahnya.
“… Ada apa?”
“Teman sekelas SMA. 'Ada reunian hari ini, kamu beneran enggak
ikut?' bilangnya, mana mungkin aku bisa datang lah, dasar kampret.”
Ia melakukan umpatan dan
menaruh smartphone-nya ke dalam kantong celana. Kelihatannya, barang-barangnya
ada di ruang belajar manndiri, dan saat ini Sekiya-san tidak membawa apa-apa.
“Padahal baru enam bulan lulus,
apanya yang reunian, reunian dengkulmu!! Palingan juga golongan anak-anak
tengik yang ingin pamer tentang kehidupan kampus mereka yang berkilauan.”
Gawat.
Di kafe, Ia terlihat seperti pria dewasa yang cerdas, tapi ternyata Ia
benar-benar orang yang sangat busuk ...
Ronin
sungguh menakutkan.
“Ah!”
Pada saat kami hampir memasuki
gedung sekolah bimbel, Sekiya-san tiba-tiba meninggikan suaranya, membungkuk
dan bersembunyi di belakangku.
“Eh? Seki...”
“Jangan panggil aku! Kamu
tinggal diam dan berdiri saja di sini!”
“……”
Mau tak mau aku berdiri
mematung tanpa mengetahui apa yang sebenarnya sedang terjadi.
Beberapa siswa les keluar dari
pintu masuk gedung les dan berjalan melewatiku.
“... Hahh.”
Sekiya-san lalu keluar dari belakang
punggungku.
“Kouhai dari SMA-ku. Bukannya
itu kelihatan payah banget saat mengetahui kalau Senpai yang selalu sok keren
ternyata seorang ronin yang belajar di tempat les yang sama denganmu?”
“Hah ...”
Kupikir itu jauh kelihatan
lebih payah sampai berlarian panik seperti ini, tapi aku tidak berani
mengatakannya.
……
Ah, apa jangan-jangan.
Apa
Ia menyadari kalau aku menghindari Kurose-san karena Ia menjalani kehidupan
melarikan diri dari orang-orang seperti ini?
“Tidak, kamu bisa bersembunyi
di bayang-bayang saat berada di luar seperti sekarang, tapi ketika memasuki
gedung, sangat penting untuk memeriksa jalur. Da-Dan juga, ada baiknya berteman
dengan pengajar. Sato-san dan yang lainnya sangat baik, jadi saat aku pergi ke
meja resepsionis, mereka akan memberitahuku, [Murid dari sekolah A sedang menuju ke ruang santai. loh]”
Sambil menyaksikan Sekiya-san
yang membicarkan hal itu dengan bangga, aku bergumam dalam hati, “Ronin sungguh menakutkan ...”.
◇◇◇◇
Berkat pertemuanku dengan Sekiya-san,
hidupku di tempat bimbel mulai berjalan lancar.
Di sisi lain, topik baru telah muncul
dalam kehidupan sekolahku.
“Mulai sekarang, aku ingin
memilih lima anggota untuk menjadi panitia persiapan festival sekolah.”
Demikian perkataan dari
perwakilan kelas yang berdiri di depan papan tulis selama jam wali kelas panjang
terakhir di bulan September.
“Bagi orang yang berminat,
silakan angkat tangan kalian!”
Festival budaya sekolah kami
diadakan pada awal November, dengan jadwal yang termasuk hari libur nasional.
Sama seperti yang terjadi tahun
lalu, pekerjaan panitia persiapan ini cukup sibuk meskipun singkat, sehingga posisi
tersebut tidak terlalu populer di kalangan normies
yang memiliki banyak kehidupan pribadi.
“Aku sih ada kegiatan klub,
jadi enggak bisa.”
“Aku juga……”
Orang-orang madesu yang bagian
dari klub langsung pulang ke rumah juga tidak ingin menonjol, jadi mereka tidak
punya pilihan lain selain menundukkan kepala dan meringkuk supaya tidak menjadi
kambing hitam kelas.
“... A-Ayo, apa tidak ada orang
yang ingin melakukannya? Rasanya seru lo, aku yakin.”
Ruang kelas terasa sangat
sunyi, meski seorang guru perempuan muda yang mengajar di kelas 1 memanggil
dengan tidak sabar.
“……”
Semua orang menahan napas dan
menatap meja mereka, berusaha untuk tidak mealkukan kontak mata dengan guru
atau perwakilan kelas.
“Kalau yang begini rasanya akan
sangat sulit kecuali ada seseorang yang mau mengangkat tangannya terlebih
dahulu ...”
“Bener banget. Alangkah baiknya
jika ada seseorang yang mau ...”
Pada saat suara bisik-bisik
mulai berdengung dan semua orang mulai saling mengamati dengan saling melirik
satu sama lain ...
“…Ya”
Suara samar bisa terdengar dan
tangan putih itu terangkat perlahan.
Ternyata orang yang mengangkat
tangan itu adalah Kurose-san. Pipinya memerah karena malu dan tangannya yang
terangkat tampak gemetaran karena gugup.
“Terima kasih, Kurose-san.”
Guru wali kelas membuat suara
yang terdengar lega.
“Makasih banyak, Kurose-san”
Perwakilan kelas juga terlihat
senang.
Melihat ekspresi mereka berdua,
Kurose-san juga terlihat ikutan senang.
Kurose-san….
Aku jadi teringat saat dia
dikelilingi oleh teman-temannya di tempat les.
Sebenarnya,
dia mungkin seorang gadis dengan banyak teman. Namun, begitu dia pindah ke
sekolah baru, karena kejadian semacam itu ... karena dia menyebarkan rumor
buruk tentang Luna, dia jadi dijauhi oleh teman-teman sekelas.
Apa
dia merasa kesepian? Oleh karena itu, dia sengaja mencalonkan diri supaya semua
orang berterima kasih padanya ...?
Tidak, mungkin dia benar-benar
cuma ingin menjadi anggota panitia persiapan, tapi mau tak mau aku jadi
memikirkan kemungkinan semacam itu.
“Apa ada orang lain yang masih
mau?”
Perwakilan kelas melemparkan
pertanyaan itu ke ruang kelas, dan pada saat itu...
“Ya~ ya aku juga mau!”
Terkejut dengan suara itu, aku
berbalik untuk melihat Luna yang sedang mengangkat tangannya tinggi-tinggi
seolah hendak berdiri.
Luna,
apa kamu mau menjadi angggota panitia persiapan ……!?
“Ah, jika Lunacchi mau melakukannya,
aku juga ikutan~!”
Tak disangka, Tanikita-san juga
mulai mengangkat tangannya.
Aku secara refleks melirik ke arah
Yamana-san, tapi dia cuma melihat kukunya seolah-olah dia tidak tertarik. Kurasa
karena dia punya pekerjaan paruh waktu, jadi dia tidak bisa melakukannya.
Kemudian aku melihat ke kursi
Ichi, yang secara diagonal berada di depan Yamana-san.
Ichi terlihat dalam keadaan
bimbang. Ia kadang terlihat bermasalah, atau juga khawatir ... Ia membuat
berbagai ekspresi dalam waktu yang singkat.
Aku langsung menyadari
alasannya.
Karena Tanikita-san, ya. Sejak Tanikita-san
mencalonkan diri menjadi anggota panitia, apa Ia juga ingin ikut mencalonkan
diri tapi tidak memiliki keberanian untuk melakukannya?
Lalu pada saat itu...
“Nee, Ryuuto! Ryuuto juga
ikutan dong~!”
Saat aku melihat ke arah sumber
suara itu, Luna menatapku dengan mata berbinar.
Saat melihat ekspresinya, aku
jadi mengingat pembicaraan kami sebelumnya.
──
Aku sedang berpikir untuk berteman dengan Maria.
──
Eh !?
──
Karena kupikir kalau aku akan ditolak jika aku menempuh cara biasa. Kami ini
sekelas, ‘kan? Semua orang di sekolah tidak tahu tentang hubungan kami. Itu
sebabnya, aku berpikir bahwa Maria tidak bisa mengabaikannya jika aku dengan
paksa datang kepadanya untuk mengatakan 'Ayo berteman'.
──
Jadi sambil menyembunyikan fakta bahwa kalian berdua adalah saudara kembar dari
semua orang, kamu ingin lebih dekat dengannya hanya sebagai teman sekelas...?
──
Ya. Dan aku ingin dukungan darimu.
Apa dia akan menjalankan
rencana itu?
Aku tidak menyangka itu akan
terjadi secepat ini.
Tapi ….
──
Saat musim gugur dan di awal musim dingin… aku ingin bisa berada di sisi Maria
lagi. Aku ingin duduk di bawah kotatsu, menonton TV, dan berbagi setengah
Papi●* dengan Maria lagi.
Kalau dipikir-pikir lagi, bulan
September sudah hampir selesai. Bagi Luna, mungkin sekarang adalah kesempatan
bagus untuk memulai rencana itu.
“Ka-Kalau begitu ... aku mau
melakukannya.”
Ketika aku menanggapi dengan
ketegangan yang menarik tatapan teman sekelas, orang-orang di sekitarku mulai
menggoda.
“Jangan sampai menunjukkan
kemesraan kalian di panitia persiapan, ya ~”
Walau demikian, semua orang
terlihat lega saat kuota calon anggota panitia sudah hampir terisi.
“Sisa satu lagi, apa masih ada
yang mau?”
Saat perwakilan kelas melihat
sekeliling kelas, aku mengangkat tangan dan berkata.
“Pe-Permisi!”
Aku merasa gugup karena sudah
menarik perhatian dan suaraku jadi tergagap. Sambil menahan rasa malu, aku
mati-matian mengeluarkan suaraku yang tertahan di tenggorokan.
“... Un-Untuk, anggota yang
satunya lagi... kupikir aku ingin mencalonkan Ijichi-kun...”
“Ehh?”
Perwakilan kelas terkejut
karena Ia tidak menyangka bahwa nama orang dari kelompok madesu tiba-tiba diungkit.
“Apa kamu tidak merasa keberatan?
Ijichi-kun...?”
Ichi menganggukkan kepalanya,
seakan ingin menyampaikan ketertarikannya kepada perwakilan kelas yang bertanya
dengan skeptis dan mengira kalau Ia sedang diledek atau semacamnya.
“Ya, tidak sama sekali……!”
Ia menjawab gembira dengan suara
kecil yang sangat kontras dengan tubuhnya.
◇◇◇◇
Anggota panitia festival budaya
direkrut dari kelas 1 dan 2, lima orang dari masing-masing kelas. Karena ada
lima orang per kelas, totalnya ada lima puluh orang yang akan ditugaskan untuk bagian resepsionis,
peralatan, dan bagian lainnya, lalu masing-masing bagian bertanggung jawab atas
tugasnya sampai hari acara tiba.
Sepulang sekolah hari itu, Ichi
langsung disuguhi dengan tugas-tugas yang sudah ditetapkan.
“Asataga kamu ini~, apa kamu
enggak bisa jadi panitia sendirian? Apa boleh buat, deh~”
Ichi sepertinya mengira kalau
aku merekomendasikannya karena aku ingin teman yang kukenal. Saat aku
mengatakan kepadanya bahwa aku sengaja menunjuknya supaya Ia bisa bersama
Tanikita-san, Ia justru terlihat marah dengan bilang “Su-Sudah kubilang kalau aku tidak menyukainya!”, tapi aku
menganggap bantahannya itu sebagai angin lalu.
Sepulang sekolah, semua anggota
panitia duduk di ruang kimia, yang telah disewakan untuk pembagian tugas
masing-masing panitia. Aku duduk bersama Ichi, di depan kami ada Luna dan
Tanikita-san, sedangkan Kurose-san duduk sendirian di kursi belakang yang agak
jauh dari kami.
“Kalau begitu, aku ingin
membagi beberapa orang yang bertanggung jawab dengan tugas bagiannya
masing-masing. Silakan angkat tangan kalian jika kalian ingin masuk ke bagian
yang diinginkan.”
Seorang siswa dari kelas lain
di angkatan yang sama, yang telah dipilih sebagai ketua panitia pelaksana
melalui voting, mengatakan hal itu.
“Kita akan memutuskan dari tugas
yang terkecil dulu. Pertama-tama, staf pengurusan brosur membutuhkan 3 orang.
Tugas ini diperuntukkan siswa kelas 2.”
Petugas brosur bertugas membuat
booklet yang berisi jadwal festival dan peta panduan sekolah. Dijelaskan kepada
kami bahwa posisi tersebut sangat cocok untuk orang yang pandai menulis dan tertarik
pada penerbitan, meski tampaknya tidak terlalu sulit karena hal yang dilakukan
cuma berkonsultasi dengan orang di percetakan dan model dari tahun sebelumnya
dapat digunakan kembali. Jumlah orang yang dibutuhkan juga sedikit, dan aku
pikir kalau itu bukan bagianku, jadi aku merasa tidak terlalu tertarik.
“... Apa cuma satu orang?”
Saat Ketua panitia melihat ke
arah para panitia lain yang duduk di area belakang dan berkata begitu, aku
melihat Kurose-san yang diam-diam mengangkat tangannya.
“...!”
Luna yang juga ikut melihat ke
belakang, segera berbalik ke depan dan mengangkat tangannya.
“Ya ya, aku juga!”
Dan kemudian dia menatap ke
arahku.
“Ryuuto …”
Tatapan matanya seolah-olah
sedang meminta bantuan. Sudah kuduga dia akan mewujudkan rencana itu.
“... I-Iya, aku juga.”
Oleh karena itu, aku pun
mengangkat tanganku.
“Baiklah, dengan begini tiga
orang sudah diputuskan.”
Suara ketua panitia terdengar,
dan aku diputuskan menjadi petugas pembuat brosur bersama Luna dan Kurose-san,
cuma ada kami bertiga. .... Aduhhh gimana nih?!
Cuma memikirkannya saja sudah
membuatku berkeringat dingin.
“Eh~!? Lunacchi, bukannya kamu
bilang kalau kita akan melakukannya bersama?”
“Ma-Maaf ya~, aku tiba-tiba
ingin membuat brosur ...”
Luna tersenyum masam dan meminta
maaf pada Tanikita-san yang memprotes karena merasa ditinggalkan.
Di tengah semua ini, aku tiba-tiba
merasa penasaran dan berbalik ke belakang.
“...!”
Tatapan mataku bertemu dengan
mata Kurose. Dia segera membuang mukanya. Pipinya memerah dan dia terlihat
kesal.
Yah itu sih wajar saja ... Dari
sudut pandang Kurose-san, seharusnya tidak seperti ini.
Setelah itu, semua panitia
mendapat bagiannya masing-masing, dan Ichi bisa menjadi panitia dekorasi
bersama Tanikita-san. Mereka bertugas mendirikan gapura di depan gerbang
sekolah dan mendekorasi lorong dan gedung olahraga. Pada bagian itu, ada banyak
yang dari kelas 1, tapi jika mereka bekerja bersama, mereka mungkin punya kesempatan
untuk berbicara sedikit.
“Kalau begitu, kita akan
mengakhiri rapat hari ini dengan membagi beberapa kelompok dan saling
memperkenalkan diri. Guru yang bertanggung jawab atas setiap bagian akan
menjelaskan tugas dan jadwal festival kepada kalian di kemudian hari.”
Begitu mendengar kata-kata
ketua panitia, semua orang bangkit dari kursi mereka dan mulai bergerak.
“Yang jadi bagian fasilitas,
sebelah sini~!
“Untuk yang kebagian jadi dekorasi,
tolong berkumpul di sekitar sini!”
Sembari melihat panitia-panitia
lain yang memanggil satu sama lain, aku dan Luna saling memandang dan diam-diam
menuju ke belakang kelas.
Cuma tiga orang. Kami bahkan
tidak perlu berteriak memanggil untuk berkumpul.
Kemudian, aku dan Luna tiba di
hadapan Kurose-san.
“……”
Kami bertiga ... Bahkan Luna
yang sangat mengharapkan situasi ini, tidak bisa menyembunyikan kecanggungannya.
Tanpa perlu memperkenalkan
diri, kami bertiga sudah saling mengenal dengan baik satu sama lain, baik nama
dan wajah, serta lainnya. Kami lalu saling memandang dalam posisi berdiri yang
membentuk segitiga sama sisi.
“... Mohon kerja samanya, ya.”
Orang pertama yang memulai pembicaraan adalah Luna.
Meski merasa canggung, dia masih berusaha untuk tersenyum.
“Mohon kerja samanya, juga …”
Aku harus mengatakan sesuatu
demi mencairkan suasana canggung ini, jadi aku pun membalasnya.
Kurose-san menunduk ke bawah
sembari memegangi siku lengannya dengan tangannya yang lain, tapi kemudian dia
mengangkat wajahnya. Dia melirik kami, lalu memalingkan wajahnya, dan
membuka mulutnya sedikit.
“... Kerja samanya...”
Dengan begini, “Rencana Pertemanan” Luna yang sulit akan
segera dimulai.
◇◇◇◇
Semuanya berubah menjadi rumit.
Dari awal memang sudah cukup rumit, tetapi hubunganku dengan Kurose-san menjadi
lebih runyam.
Bahkan di sekolah bimbel, aku
masih terus menghindari Kurose-san.
“Yo, Yamada.”
Pada hari Sabtu pagi, saat aku berada
di ruang belajar mandiri dan mengerjakan PR sebelum jadwal lesku dimulai,
Sekiya datang menghampiri tempat dudukku dan mendekatiku.
Aku sudah memberi tahu
Sekiya-san nama asliku, tapi Ia tetap memanggilku “Yamada” karena Ia bilang, “Akan
gawat jika gadis itu mendengar dan menyadarinya”. Suatu kali, ketika
Sekiya-san berbicara kepadaku di depan meja resepsionis, seorang anggota staf
yang mengenalku sampai menatapku dua kali.
Selain itu, tidak ada kendala
lain.
“Kamu belum makan siang, ‘kan?
Kalau begitu, ayo makan bareng.”
“... Sekitar 10 menit lagi aku
akan selesai, jadi tolong tunggu sebentar.”
“Oke. Aku pergi duluan, ya.”
Setelah mengatakan itu,
Sekiya-san meninggalkan ruang belajar mandiri. Karena kami berdua menjalami kehidupan
sekolah bimbel sambil berusaha menghindari orang-orang tertentu, jadi ini pasti
saat yang tepat untuknya.
Kurasa Sekiya-san cukup
mengkhawatirkanku, tapi Ia memberi kesan bahwa Ia tidak peduli tentang apapun,
jadi bahkan orang sepertiku bisa bergaul dengannya dengan nyaman. Aku yang
tidak pandai dalam hubungan senioritas dan tidak masuk dalam klub mana pun,
tidak menyangka bisa berbicara blak-blakan begini dengan seorang pria tampan
yang dua tahun lebih tua dariku.
Ia juga memberitahuku tips
tentang cara mendapatkan tempat duduk di kelas dan kapan harus bertanya kepada
pengajar, dan tidak diragukan lagi bahwa berkat Sekiya-san, kehidupanku di sekolah
bimbel jadi lebih nyaman. Oleh karena itu, aku ingin menghargai hubungan ini.
“Terus, apa yang sebenarnya
terjadi?”
Tanya Sekiya-san yang duduk di
seberang meja di warung ramen yang kami masuki.
“Eh?”
“Kamu tadi beberapa kali menghela
nafas di ruang belajar mandiri. Apa itu masih ada hubungannya dengan
[Kurose-san] lagi ?”
“……”
“Ayo coba cerita. Pasti terasa
jauh lebih enteng, loh? Aku lumayan percaya diri dengan kemampuanku dalam
memberikan nasihat tentang masalah gadis-gadis.”
Aku merasa ragu sejenak, tapi
karena aku sedikit jengkel, jadi aku memutuskan untuk tidak mengatakan yang
sebenarnya.
“…... Tidak. Aku cuma sedang
kesulitan mengerjakan PR bahasa Inggris-ku.”
“Benarkah? Mau aku ajari? Kamu
masih kelas 2 SMA, jadi jangan terlalu tergesa-gesa.”
“Haa.”
Aku
tidak ingin menjadi sepertimu, itu sebabnya aku berusaha sekeras mungkin ......
karena aku merasa kasihan padanya, jadi aku tidak mengatakan apa yang
kupikirkan.
“... Kalau boleh tau, kenapa
Sekiya-san bisa menjadi seorang ronin?”
Karena penasaran, jadi aku
bertanya padanya sambil menunggu ramen pesananku. Sekiya-san mambalas dengan
“Ah”.
“Kamu mau menanyakan itu? Itu
karena aku gagal mengikuti ujian masuk saat kelas 3 SMA dulu. Sudah jelas
sekali, ‘kan.”
Yah, kurasa sudah jelas begitu,
tapi aku ingin bertanya tentang keadaan yang membuatnya jadi seorang ronin.
“Waktu SMA dulu, aku terlalu
banyak bermain dengan gadis-gadis... dan tidak belajar sama sekali ...”
“Uwaaa……”
Ternyata
orang normies, toh….. saat aku bilang begitu, Sekiya-san
melambaikan tangannya seolah sedang terburu-buru.
“Tidak, bukannya begitu. Coba
bayangkan, cowok culun yang tidak pernah pacaran selama SMP tiba-tiba menjadi
populer setelah masuk sekolah SMA. Wajar saja jadi besar kepala dan sering
main-main sama gadis-gadis, iya ‘kan?”
“Hee~...”
Apa
memang begitu kejadiannya? Bukannya kamu selalu populer dan bermain-main melulu?
Saat aku menatapnya dengan pandangan
curiga, Sekiya-san mengoperasikan smartphone-nya dan mengarahkan layarnya
padaku.
“Lihat, nih. Ini fotoku saat
masih kelas 3 SMP.”
Di layar tersebut, terdapat
foto seorang anak SMP yang mengenakan baju olahraga. Dengan rambut pendeknya
yang hampir setengah terpotong, penampilannya sangat berbeda jauh dengan
penampilan Sekiya-san yang sekarang. Ia terlihat seperti anak SMP yang punya
penglihatan buruk. Memangnya seseorang bisa berubah sedrastis itu dengan satu
gaya rambut?
“Nah, ‘kan? Mana mungkin bisa
jadi populer, ‘kan?
“Maksudku, Sekiya-san dengan
gampangnya mencoba menunjukkan foto-fotomu saat masih culun kepada orang-orang ...”
Rasanya
sedikit nyelekit ….. saat aku hendak menelan kalimat itu,
Sekiya-san menanggapi dengan “Salah,
salah, bukanya begitu..” sambil tertawa.
“Ini adalah foto yang kuaambil
ketika memenangkan turnamen regional. Itu sebabnya aku memasukkannya ke dalam
favoritku. Ini adalah momen menggembirakan dan berharga dalam hidupku.”
“Turnamen? Apa kamu memainkan
suatu olahraga?”
Ketika aku bertanya, Sekiya-san
membalas dengan spontan.
“Ya iyalah, ping pong!
Memangnya kamu tidak melihat raket bet yang dipegang tanganku! Seberapa tidak
tertariknya kamu padaku!?”
Cara bicara Sekiya-san mungkin
agak kasar, tatapan matanya tersenyum dan suaranya yang rendah juga menawan,
jadi meski Ia berteriak dan berbicara asar padaku, aku tidak merasa buruk sama
sekali. Di tambah dengan penampilannya yang lumayan, kupikir wajar saja Ia bisa
jadi populer.
“... Tapi jika Sekiya-san jago
bermain ping pong, bukannya kamu sudah populer bahkan sebelum melakukan
perubahan penampilan?”
“Populer buat kouhai yang ada
di klub saja, sih. Lihat…”
Kemudian, Sekiya menertawakanku
lagi ketika bertanya padanya.
“Cuma ada satu orang. Ada
seorang gadis sekaligus manajer klub yang dekat denganku, dan ketika aku lulus,
kami merasa cocok dan mulai pacaran. Lalu dia bilang, 'Bagaimana kalau kamu mengubah gaya rambutmu?'. Dan kebetulan
rambutku sudah tumbuh panjang semenjak aku berhenti dari klub….”
“Bisa dibilang seperti debut SMA,
ya?”
“Tepat sekali.”
“Lantas, apa yang terjadi
dengan gadis itu?”
Sekiya-san mengalihkan
pandangannya ke bawah dan tidak menjawabnya.
“Jangan bilang ...”
Ia
berselingkuh dengan gadis lain, cuma bermain-main dengan perasaan gadis itu,
dan mencampakkannya ….. ketika aku memberinya tatapan mencela,
Sekiya-san buru-buru membuka mulutnya untuk membantah tuduhanku.
“Tidak, aku takkan melakukan
sesuatu yang sekejam itu .... yah, tapi mungkin... itu memang terlihat kejam
……bagi gadis itu.”
Sekiya-san langsung terdiam
setelah itu. Rupanya, Ia memiliki beberapa pemikiran mengenai gadis itu.
Kemudian, kebetulan saja ramen
yang kami pesan di antar ke meja kami dan topik pembicaraan pun berakhir.
Padanya kenyataannya, aku tetap
tidak bisa berbuat apa-apa mengenai masalah Kurose-san, terlepas aku
berkonsultasi atau tidak dengan Sekiya-san.
Untuk sementara ini, aku tidak
punya pilihan lain selain mendukung “rencana
pertemanan” Luna semaksimal mungkin sambil berusaha untuk tidak berpapasan
dengan Kurose-san di sekolah bimbel.
Memasuki bulan Oktober,
kegiatan anggota panitia persiapan festival semakin sibuk.
Tugas utama petugas pamflet
adalah mengumpulkan informasi klub dan kelas yang akan mengadakan program
kegiatannya, ide-ide dari guru dan ketua panitia yang ditulis ke dalam teks,
mengumpulkannya jadi satu dan menyiapkan draft sebelum batas waktu. Meskipun
ada template untuk peta sekolah dan halaman pembukanya, tapi bagian tata letak dan sampulnya dibuat
sekreatif mungkin sehingga bisa menunjukkan individualitas tahun ini.
Festival budaya selalu memiliki
tema tersendiri di setiap tahunnya, dan tahun ini temanya adalah “For
the future”. Anggota panitia yang bertanggung jawab bebas memutuskan
bagaimana memasukkan tema tersebut ke dalam desain pamflet.
Pertama-tama, ketiga panitia
harus mendiskusikan dan memutuskan arah desain pamflet.
Oleh karena itu, setelah
sepulang sekolah, kami bertiga menyewa ruang pertemuan dan duduk mengelilingi
meja.
“…………”
Sedari tadi, Luna terlihat
gelisah dan memerika Kurose-san yang ada di seberang meja. Kurose-san mangambil
pamflet terbaru yang tersebar di meja dan melihat-lihatnya sebagai referensi.
Kami bertiga sekarang duduk di
meja persegi dengan Luna dan aku duduk di satu sisi, sedangkan Kurose-san duduk
di seberang kami.
Setelah beberapa saat, Luna
angkat bicara seolah-olah dia sudah mengambil keputusan.
“Bagaimana kabarmu, Maria?
Sehat?”
Bahu Kurose-san tersentak kaget
dan mengalihkan pandangannya ke arah Luna sambil masih memegang pamflet.
“……Ya, sehat.”
Dengan ekspresi kaku dan
menunduk sedikit ke bawah, Kurose-san menanggapi sambil mengangguk.
Kupikir, ini baru pertama
kalinya aku melihat kakak beradik ini berkomunikasi secara langsung satu sama
lain.
“Belakangan ini kamu sibuk
lakukan apa?”
“Apanya ... Cuma kegiatan biasa
saja, kok.”
“Bukan gitu, maksudku apa ada
hobi tertentu yang sedang kamu lakukan.”
Kurose-san menjawab dengan
blak-blakan, dan Luna mengajukan pertanyaan satu demi satu seolah-olah sedang
terburu-buru.
“Hobi? ... Aku sering menonton
video dan sejenisnya.”
“Begitu ya! Oh iya, hei, apa
kamu sudah melihat video dance terbaru dari Gal High! Mungkin itu lebih menarik
daripada Yarirafie!”
“... Haa? Apa-apaan itu. Bahasa
dari planet mana?”
“…………”
Meski dia sudah susah payah
mengangkat topik pembicaraan, tapi Luna dibuat kecewa ketika mendapat balasan
yang ketus.
Melihat wajah Luna yang
seakan-akan menyiratkan, “HPku turun, aku
ingin beristirahat dulu sebentar.....,” aku dengan enggan mulai angkat
bicara.
“...Lalu, video macam apa yang
biasa Kurose-san lihat?”
Melihatku berbicara dengannya,
Kurose-san tampak terkejut, tapi setelah berpikir sejenak, dia pun menjawab.
“... Aku sering menonton video live streaming game.”
“Ehh!?”
Aku terkejut ketika mendengar
jawabannya.
“Streaming game macam apa?”
“Mungkin kebanyakan streaming
game horor ... Aku sering melihatnya di channel “Kino”-san dan ‘Gatchamen’.”
“Ahhh, aku tahu tentang channel
itu. Aku juga melihat streaming mereka saat memainkan [Bio Blizzard]. Mereka
jago banget, iya ‘kan.”
Karena mereka adalah
orang-orang terkenal, aku sering menontonnya beberapa kali, termasuk setelah
perilisan judul yang kuminati.
“Benarkah? Bahkan jika mereka
tidak jago, aku akan menonton apapun yang berkaitan dengan game horor. Melihat
streaming game seorang selebriti juga sangat menarik. Apa kamu pernah melihat
streamingnya Karino Eiko?”
“Ah, kalau itu sih aku belum
melihatnya. Aku tahu kalau dia sering jadi trending topik, tapi ternyata memang
menarik, ya. Aku akan memeriksanya kapan-kapan.”
Suasananya jadi semakin
menyenangkan. Baru pertama kalinya aku berbicara dengan seorang gadis yang
menyukai live streaming game. Aku tidak tahu kalau Kurose-san memiliki hobi
seperti itu.
“Kurasa kalau lagi mood, aku
juga menonton streaming lain selain horor. Kupikir sebagian besar streamer
terkenal sudah kulihat semuanya.”
Ketika mendengar itu, tanpa
sadar aku membuka mulutku dengan nada gembira.
“Kalau gitu, apa kamu tahu
tentang KEN? Aku cukup menyukainya ...”
“Ah, yang mantan gamer professional
itu, ‘kan? Aku dulu biasa menontonnya karena aku suka [The Sixth Personality]
dan [Werewolf Punishment]. Tapi karena Ia mulai jarang mengunggah streaming
game itu lagi, jadi aku berhenti menonton channelnya.”
“Tidak juga, game [Werewolf
Punishment] masih diposting sesekali, tau!”
“Eh, masa? Kalau gitu, aku akan
melihatnya lain kali.”
“Memangnya kamu tidak pernah
menonton [Sixty Crafts]?”
“Kalau aku sih tidak suka video
yang berhubungan dengan partisipasi Kids. Aku tidak suka melihat streaming
mereka yang bersenang-senang satu sama lain.”
“Itu tidak benar kok! Pada dasarnya
KEN lah yang berbicara, dan jika kamu menontonnya, kamu akan secara bertahap memahami
karakter para KEN’s Kids dan mulai menikmatinya.”
“Meski begitu, aku harus
memulainya dari mana?”
“Tidak masalah dari mana saja,
tapi waktu yang direkomendasikan buatmu adalah ...”
Pada saat itulah aku menyadari.
Karena aku baru mengingat keberadaan Luna.
Ketika aku menoleh ke arah
Luna, seperti yang kuduga, wajahnya menunjukkan ekspresi kosong seolah-olah dia
terkejut.
Gawat.
Aku seharusnya mendukung “rencana pertemanan” Luna dan Kurose-san, tapi aku
justru terbawa suasana.
“... Ka-Kalau begitu, sudah
waktunya membahas tugas bagian kita ...”
Kami dengan canggung memulai
kembali pembahasan, dan berdiskusi mengenai pamflet.
Aku merasa terkejut saat
mengetahui kalau Kurose-san memiliki hobi otaku. Selama waktu SMP, dia
memberikan kesan gadis cantik tipe muri teladan, dan aku hanya tertarik padanya
karena penampilannya, jadi tidak mengherankan jika aku tidak terlalu
mengenalnya.
Aku tidak tahu apakah “rencana pertemanan” Luna bisah berjalan
lancar atau tidak, tetapi diskusi mengenai pamflet tampaknya dimulai dengan
baik dan berkembang ke arah yang bagus.
“Kurasa sudah waktunya
memutuskan konsep untuk desain secara keseluruhan.”
Dalam diskusi kedua, aku
memulai pembicaraan.
“Hmm~~ aku ingin membuatnya jadi
sangat imut. Karena ini buat festival, jadi pamfletnya harus berkilauan dan indah! Sampulnya juga harus
berwarna merah muda dan….”
Ketika Luna mengatakan itu
dengan tatapan berbinar-binar, Kurose-san memiringkan kepalanya.
“Aku kurang yakin dengan desain
seperti itu. Festival sekolah tidak hanya untuk gadis-gadis saja, dan menurutku
lebih bagus memlih desain yang monoton, canggih atau sejenisnya yang takkan
membuat malu anak laki-laki dan orang tua yang membawa pamflet tersebut. Karena
temanya adalah [For the future], kita perlu menatap masa depan dan memasukan
kesan kedewasaan dalam desainnya.”
“Ehh~...tapi sekarang mumpung aku
masih JK, dan sedikit imut tidak masalah ‘kan ...kamu tahu, rasanya seperti
masa depan yang cerah... apa itu enggak bisa?”
Luna tampaknya tidak puas, tapi
demi bisa melancarkan “rencana pertemanan”, dia tampaknya tidak dapat membalas
balik dengan keras kepada adiknya, jadi dia menatapku seolah-olah meminta
bantuan.
“... Kalau menurut Ryuuto sendiri
gimana?”
“Ugh ...”
Aku dalam kesulitan dan merasa
dilemma.
Apa yang membuatku kesulitan
ialah karena pendapatku sama persis seperti Kurose-san.
Tapi, aku tidak boleh
memihaknya, aku merasa bahwa…. Sebagai pacarnya, aku tidak seharusnya memihak
adiknya, yang sekaligus jadi penyebab perselisihan dengannya.
“... U-Ummm, kalau gitu, bagaimana
kalau mengambil jalan tengah dari kedua pendapat itu?”
Mendengar usulan pahitku,
ekspresi wajah Luna dan Kurose-san langsung berawan.
“Apa maksudnya dengan itu?”
“Lebih tepatnya, desain seperti
apa yang kamu bicarakan?”
“It-Itu sih ….”
Aku mati-matian memutar otakku.
“Desain monoton yang canggih?
Dan ada sedikit kilau merah muda di dalamnya ...”
“Desain macam itu? Bukannya
konsepnya sedikit kabur dan agak norak?”
Kurose-san mengomentari itu
dengan pedas.
Namun,
jika dilihat dari keadaannya, tampaknya perasaannya padaku sudah hilang ... Aku
merasa sedikit kesepian, tapi aku merasa senang dengan ini.
Pada akhirnya, diskusi mengenai
desain konsep pamflet hari ini tidak menemui titik terang.
“Kalian bertiga kurang berkomunikasi
dengan baik. Kalian bertiga perlu membicarakannya baik-baik terlebih dahulu,
dan mengumpulkan pendapat kalian sebelum pertemuan berikutnya.”
Seorang guru veteran yang sudah
bertanggung jawab bagian pamflet selama bertahun-tahun, datang untuk memeriksa
keadaan kamu, berkata demikian dan pergi lagi begitu saja.
“…………”
Kurang
komunikasi, ya.
Kurasa itu ada benarnya. Karena
ada kakak beradik yang tidak pernah
benar-benar berbicara satu sama lain selama bertahun-tahun.
“Haaaaa ...”
Luna menghela nafas. Dia ingin
berteman baik dengan Kurose-san, tapi dia tampaknya muak dengan dirinya sendiri
karena memperkeruh suasana.
Kemudian, dia melirik ke arah
Kurose-san yang sedang bersiap meninggalkan ruangan dengan membereskan materi
pamflet, dan tersenyum cerah seolah menginspirasi dirinya sendiri.
“Nee, Maria.”
Kurose-san menghentikan
tangannya dan melihat ke arah Luna.
“Apa kamu pernah menonton video
make-up? Apa kamu tahu Sekimoto Misa? Dia bisa dijadikan yang bagus ketika kamu
ingin membeli kosmetik baru, loh!”
“Aku tidak pernah melihatnya,
aku juga tidak tahu dia itu siapa. Lagipula, aku tidak memakai make-up.”
Sekali lagi, dia menjawab
dengan ketus.
“…………”
Karena Kurose-san mengatakan
kalau dia suka menonton video, kurasa Luna mencoba berbicara dengannya melalui
cara pendekatannya sendiri. Meski begitu, aku merasa kasihan padanya karena
upayanya gagal lagi kali ini …… saat aku berpikir begitu, Kurose-san berkata “Ah, tapi...” seakan mempertimbangkan kembali ucapannya.
Wajah Luna langsung berubah
menjadi lebih cerah dipenuhi harapan.
“Aku mungkin melihat-lihatnya
sebentar ketika melakukan cosplay.”
Ekspresi ceria di wajah Luna
sekali lagi menunjukkan sedikit kebingungan.
“Eh, cosplay? Maria, kamu suka
melakukan cosplay?”
“Ya. Hanya ketika aku mau saja,
aku meng-cosplay karakter game kesukaanku. Karena aku tidak punya teman
cosplay, jadi aku cuma cosplayer solo yang berfoto selfie di rumah.”
“So-Solo...? Selfie...?”
“Lihat, yang seperti ini.”
Kurose-san menunjukkan layar smartphone-nya
kepada Luna yang kebingungan.
Aku bisa melihat layarnya juga
karena aku di sebelah Luna, dan bergumam
“Ah”.
“Bukannya ini tukang kebun dari
[The Sixth Personality]?”
Kurose-san mengedipkan matanya
sedikit karena terkejut dan mengangguk.
“Ya. Aku sangat menyukai
Yuma-chan.”
“Apa kamu sendiri yang membuat
kostum ini ? Ini mirip banget seperti di gamenya.”
“Enggak sih, aku membeli yang
bekas dari aplikasi pasar loak seharga 2.000 yen, tapi masih terlihat imut
sekali, ‘kan? Aku paling menyukai baju ini di antara semua pakaian Yuma.”
“Bagus sekali. Bagian matanya
bukan kancing, ya.”
“Foto yang memakai mata kancing
juga ada kok, lihat.”
“Uwaahh, menakjubkan sekali!
Sempurna banget. Rasanya seperti film live-action.”
Aku dibuat terkagum pada foto-foto
yang baru ditampilkan.
“Bukannya ini akan jadi
trending kalau kamu mengunggahnya di Twitter?”
“Eh~ enggak mau ah, aku malu.”
“Bukannya itu jadi sia-sia?
Padahal sudah mirip sekali dengan yang ada di gamenya.”
“Tetap aja enggak mau.”
Hatiku dibuat berdebar ketika
melihat Kurose-san menjawab dengan malu-malu dan pipi yang merah merona, tapi
kemudian aku tersadar.
Sekali lagi, aku mengabaikan
keberadaan Luna.
Luna mengawasiku dan Kurose-san
dengan mulut ternganga. Ketika tatapan matanya bertemu denganku, wajahnya meunjukkan
ekspresi sedikit cemberut.
Dia
merasa cemburu... imut banget. Walau aku berpikiran begitu,
tapi situasi ini tidak boleh terus berlanjut.
“Kalau begitu, ayo kita pulang
dulu untuk hari ini.”
Dan begitulah, “rencana
pertemanan” Luna tidak hanya berjalan alot, tapi juga justru berjalan ke arah
yang salah karena perbuatanku, jadi aku tidak bisa berbuat apa-apa.
◇◇◇◇
Kemudian, pada suatu hari
Minggu, ada acara kumpul-kumpul sesama panitia pelaksana festival sekolah.
Berbeda dengan panitia bagian pamflet
yang pekerjaannya hampir selesai satu minggu sebelum festival, banyak panitia
bagian lain yang paling sibuk pada hari festival sekolah. Tujuan dari pertemuan
tersebut adalah untuk memperdalam komunikasi antar anggota komite lintas
tingkatan kelas, sehingga mereka dapat bekerja sama dengan lancar pada hari
acara festival diadakan.
Atau begitulah alasannya, tapi
pada kenyataannya, para anggota panitia yang normies cuma ingin berkumpul dan
bersenang-senang.
Ajang pertemuan tersebut
diadakan di ruangan karaoke di Shibuya. Kami berkumpul pada jam 10 pagi, aku
dan Ichi mengobrol sana-sini mengenai KEN sementara para riajuu sedang asyik-asyik
sendiri sambil berkaraoke dan
makan-makan serta minum. Luna sedang bersenang-senang bersama Tanikita-san
dan gadis-gadis dari kelas lain.
Secara mengejutkan, Kurose-san
juga datang meskipun pertemuan ini boleh tidak dihadiri. Kurose-san duduk
dengan tenang sendirian setelah berbicara dengan beberapa cowok dan gadis yang
terkadang berbicara dengannya.
Kurang lebih tiga jam pertemuan
tersebut berakhir dengan suasana yang berantakan dari awal hingga akhir. Aku
memutuskan untuk berpartisipasi karena sepertinya Ichi ingin aku menemaninya (mungkin karena Ia ingin berada di ruangan
yang sama dengan Tanikita-san), tapi aku meninggalkan ruangan karaoke
dengan perasaan capek……. Sudah kuduga, orang culun sepertiku tidak cocok
berpartisipasi dalam kegiatan ini.
Kemudian, Luna tiba-tiba
berbicara padaku.
“Katanya putaran kedua akan
diadakan di restoran keluarga. Aku dan Akari mau ikutan pergi, tapi kalau
Ryuuto sendiri gimana?”
“Ah, kalau aku sih mau pulang
saja. Aku harus belajar di sekolah bimbel...”
Ada kuis pertama di pelajaran
Sabtu depan. Jika aku mendapatkan nilai yang jelek di kuis, aku tidak bisa
mengambil kursus bahasa Inggris tingkat tinggi di semesetr musim dingin, jadi
aku harus belajar lebih giat lagi.
“Begitu ya, kalau gitu sampai
jumpa besok. Semangat buat belajarnya, ya.”
“Ya, makasih banyak.”
Usai melambai padaku, Luna kemudian
pergi bersama Tanikita-san dan yang lainnya.
Kemudian, Ichi yang tadinya
agak jauh dariku, datang menghampiriku.
“... Aku juga mau pulang...”
“Ah, ya ...”
Wajahnya terlihat dipenuhi
penyesalan. Ia mungkin ingin ikutan bersama Tanikita-san, tetapi di restoran
keluarga, di mana kemungkin akan duduk dalam beberapa kelompok, tingkat
keterampilan berkomunikasi yang lebih tinggi akan diperlukan, dan Ia mungkin
tidak percaya diri dengan kemampuannya untuk berpartisipasi.
Aku melirik sekilas dan tidak
melihat tanda-tanda Kurose-san mengikuti grup yang menuju restoran keluarga.
Apa dia sudah pulang? Atau mungkin dia sedang belajar di ruang mandiri?
Sebenarnya, aku juga berencana
pergi ke ruang belajar mandiri untuk belajar. Dengan pemikiran itu, aku
meninggalkan rumah sambil membawa seperangkat alat belajar. Kalau di rumah, aku
tidak bisa berkonsentrasi karena aku tidak bisa menahan godaan untuk tidak menonton
video atau lainnya.
Jika Kurose-san juga akan
menggunakan ruang belajar mandiri, aku harus lebih berhati-hati saat pergi dari
sini ke Ikebukuro, dan kemungkinan juga aku akan di ruang belajar pada saat
yang bersamaan. Itu akan berbahaya dalam banyak artian.
Ada pilihan lain untuk
menggunakan ruang belajar mandiri di gedung lain sekolah bimbel K, tetapi
Sekiya-san pernah memberitahuku kalau setiap
gedung sekolah memiliki suasananya sendiri dan aturan tak tertulis untuk ruang
belajarnya, jadi rasanya terlalu repot untuk pergi ke sana.
Kafe
dan tempat lainnya memliki suasana yang kurang tepat, dan jika bisa, timpat di
mana aku bisa belajar dengan tenang dan gratis
…..ketika berpikiran begitu, hal yang terlintas di benakku adalah perpustakaan.
Aku segera memeriksanya di
smartphone-ku dan menemukan perpustakaan metropolitan di area Hiroo. Tampaknya
untuk sampai ke sana, bisa dicapai dengan kereta api dari Shibuya. Jadi,
setelah berpisah dengan Ichi, aku memutuskan pergi ke sana untuk mencobanya.
◇◇◇◇
Perpustakaan Pusat Metropolitan
terletak di Taman Memorial Arisugawa. Tamannya luas dengan ditumbuhi pepohonan,
dan memiliki ketinggian yang bervariasi, sehingga terlihat seperti gunung
kecil. Setelah berjalan menaiki tangga sambil mengagumi peralatan bermain khas
taman biasa dan kolam kuno yang terlihat seperti taman Jepang, aku mulai
melihat bangunan perpustakaan yang modern.
Seluruh area itu sunyi, jauh
dari hiruk pikuk Shibuya, jadi ekspetasiku semakin meningkat dan berharap kalau
ini merupakan tempat sempurna untuk berkonsentrasi.
Aku sebenarnya merasa gugup ketika
memasuki gedung karena aku bukan penduduk setempat, tapi aku merasa lega saat
bisa mendapatkan kartu masuk.
Di ruang baca di setiap lantai,
meja lebar dengan tempat duduk untuk beberapa orang berjejer di dekat jendela
dengan jarak yang sesuai. Aku berpikir rasanya cukup menyenangkan bisa belajar
sambil di temani tanaman hijau di sampingku, jadi aku menuju ke salah satu
tempat yang tampaknya kosong.
Aku merasa tidak nyaman karena secara
terang-terangan belajar untuk ujian di area membaca, jadi aku mengambil buku
untuk kamuflase dan duduk di dekat jendela. Ada tas yang tergeletak di
seberang, tapi cuma di sini satu-satunya tempat duduk kosong yang tersedia. Aku
berharap bisa menjauh dari pemilik kursi di seberang sepanjang waktu, kemudian
pada saat aku membuka buku teks dan
hendak mulai belajar…..
“Ah…”
Aku mendengar suara kecil dan
mendongak ke atas. Lalu, mataku berkedip kaget.
“...Kurose-san...!?”
Di hadapanku ada Kurose-san,
yang sepertinya sedang memegang buku pelajaran sama sepertiku dan hendak duduk,
dia menatapku dengan wajah terkejut.
“Ap-Apa yang sedang kamu
lakukan di sini?”
Ketika aku bertanya, Kurose-san
membuka mulutnya dengan pamik.
“Aku berpikir buat belajar ... karena
ujan tengah semester sudah dekat.”
“Be-Begitu ya... aku juga
sama.”
Omong-omong, ujian tengah
semester akan dimulai minggu depan. Aku tidak bisa disibukkan dengan sekolah
bimbel melulu.
Atau lebih tepatnya, jika dia melihat
buku pelajaranku berasal dari sekolah bimbel K, dia akan mengetahui kalau aku
menghadiri sekolah bimbel K. Cepat atau lambat dia akan menyadari kalau aku
memasuki sekolah bimbel yang sama dengannya masalah waktu sebelum gedung
sekolah sama. Dengan pemikiran itu, aku menggeser catatanku dan dengan santai
menyembunyikan pelajaran dari sekolah bimbel. Untungnya aku membawa beberapa
buku pelajaran SMA, jadi mungkin aku akan belajar buat ujian UTS saja hari ini...
Namun...
meski begitu, kenapa?
“Kenapa Kurose-san bisa ada di
sini...”
Paman yang ada di sebelahku terbatuk
dan aku langsung berhenti berbicara.
Untuk sekarang, lebih baik
konsentrasi saja dulu buat belajar. Aneh rasanya kalau aku pindah tempat duduk
sekarang.
Setelah itu, aku belajar selama
satu setengah jam, berkonsentrasi di lingkungan yang tenang, walaupun aku masih
sedikit khawatir tentang Kurose-san yang duduk di seberangku.
“... Kashima-kun.”
Ada suara memanggilku dari
belakang secara diagonal, dan ketika aku berbalik untuk melihatnya, tanpa
kusadari Kurose-san sudah ada di sana. Di tempat duduk yang ada di seberangku,
buku pelajaran dan catatan sudah ditempatkan dengan rapi.
“Aku mau pergi ke kafetaria untuk
istirahat, jika kamu mau, apa kamu ingin pergi denganku?”
“Eh…... ahh, baiklah.”
Jika aku terus berada di sini,
aku tidak bisa mengobrol dengannya. Karena mumpung sudah diajak olehnya, dan
kami juga sama-sama anggota panitia bagian pamflet. Kalau cuma sekedar minum teh saja ... Dengan pemikiran itu, aku pun
berdiri dari tempat dudukku.
◇◇◇◇
Sama seperti di area baca, kafetaria
di lantai lima merupakan ruangan yang nyaman dan menyenangkan dengan jendela
besar. Kami berdua lalu duduk saling berhadapan di meja dekat jendela dan
beristirahat.
Kurose-san kemudian memesan
makanan American corn dog.
“Di karaoke tadi, makanannya
sedikit banget, ya?”
Ketika dia mengatakan ini, dia
membuka mulut kecilnya lebar-lebar dan mengunyah American corn dog pesanannya.
Sudah
kuduga, dia memang manis sekali, pikirku.
Hari ini, Kurose-san mengenakan
rok jumper bergaris merah muda. Blus yang dikenakan di bawahnya memiliki kerah
besar, terlihat sangat feminin dengan renda dan berkibar. Karena mereka berdua
adalah anak kembar, aku yakin kalau Luna akan terlihat bagus dengan pakaian ini
juga. Aku jadi ingin melihatnya.
“Sudah makanannya sedikit,
anak-anak cowok malah terus-terusan makan lebih banyak, jadi aku hampir tidak
bisa memakannya sama sekali.”
“Maaf……”
Meski bukan aku yang memakannya,
tapi aku minta maaf sebagai sesama cowok.
“Kenapa kamu meminta maaf
segala? Kashima-kun tidak makan sebanyak itu, ‘kan?”
Kurose-san mendongak dari
tatapan matanya yang tertunduk ke bawah dan
tertawa.
“Buktinya, kamu sedang memakan
itu sekarang.”
Kurose-san lalu menunjuk ke
piring yanga ada di depanku. Seperti yang dia tunjukkan, aku merasa lapar dan
sedang memakan kentang goreng.
“…………”
Kurasa ini adalah pertama kalinya
aku melihat senyum alami Kurose-san. Kupikir senyum cemerlang yang kulihat
sejak SMP juga terlihat imut, tetapi senyum yang satu ini entah bagaimana
terlihat lebih menenangkan.
Fakta
bahwa dia menunjukkan padaku sifat alaminya seperti ini, itu berarti dia sudah
benar-benar melupakan perasaannya padaku. Jika memang begitu, itu akan sangat
membantuku .....
Apa sebaiknya aku perlu
memberitahu Luna kalau aku bertemu Kurose-san di perpustakaan seperti ini?
Mungkin memang lebih baik memberitahunya. Lagipula, aku tidak berbuat aneh-aneh
atau semacamnya.
Kurose-san membuka mulutnya
lagi kepadaku yang selama ini terdiam setelah memikirkan berbagai hal.
“Apa kamu sering datang ke
perpustakaan ini?”
“Eh, enggak...”
Aku menggelengkan kepalaku
untuk membantah.
“Aku baru pertama kalinya ke
sini setelah mencari tahu melalui internet. Kalau Kurose-san sendiri?”
“Aku sering datang ke sini
ketika masih di sekolahku yang dulu, karena tempat ini dekat dengan stasiun.”
“Eh, yang bener? Ternyata di
sekitaran sini ada sekolah yang menakjubkan, ya...”
Aku tidak percaya ada sekolahan
yang terletak di kawasan Minato-ku, apalagi di area yang dikelilingi oleh
kedutaan.
“Apa jangan-jangan itu sekolah
khusus Ojou-sama?”
“Betul.”
Kurose-san mengangguk pelan
pada pertanyaanku dan meletakkan stik American
corn dog yang sudah dia makan di piring.
“Mantan ayah tiriku adalah seorang
pengusaha. Ia menyuruhku buat pergi ke sekolah dengan lingkungan yang baik,
jadi aku mendaftar di sekolah khusus perempuan T.”
“Hee~ ...”
Baru pertama kalinya aku
mendengar Kurose-san membicarakan hal semacam ini. Kurasa aku pernah mendengar
desas-desus dari teman-teman sekelas kalau sekolah dia yang sebelumnya adalah
sekolah khusus perempuan.”
“Karena aku sangat menyukai
sekolah T ... Jadi ketika ibuku bercerai lagi, bagian yang paling menyedihkan
adalah aku harus pindah ke sekolah lain.”
“.... Tapi, jika di sekolah
sekitaran sini, kamu bisa masuk ke sana dengan rumahmu yang sekarang, ‘kan?”
Rumah Kurose-san berada di kota
yang sama dengan rumahku, jadi itu bukan jarak perjalanan yang mustahil.
Saat aku menanyakan pertanyaan
seperti itu, Kurose-san tersenyum lembut. Senyumannya itu terlihat sedih.
“Alasanku pindah sekolah bukan
karena jarak. Setelah orang tuaku bercerai, mantan Ayah tiriku tidak membayar
biaya sekolah untuk semester pertama kelas 2. Jadi aku tidak bisa terus tinggal
di sekolah itu lagi.”
“... Biaya sekolah ... begitu
rupanya. Karena itu sekolah khusus para ojou-sama, jadi biaya sekolahnya pun
mahal, ya ...”
Aku merasa malu pada diriku
sendiri sebagai orang biasa yang tidak memahami hal-hal seperti itu.
“Ah tapi, meski bercerai, bukannya
ibumu masih bisa mendapatkan sebagian harta dari pihak lain ...?”
Kurose-san menggigit bibirnya
saat dia mengucapkan pengetahuan yang seolah-olah dia dengar di berita di suatu
tempat.
“... Entahlah, apa beliau punya
uang sebanyak itu. Ayah tiriku, setengah tahun sebelum bercerai, Ia mengalami
kebangkrutan dan terlilit hutang. Sejak saat itu, Ia mulai frustrasi dan melakukan
kekerasan terhadap ibu….. dan pada akhirnya, bukan hanya perkara uang saja yang
membuatku keluar dari sekolah itu…”
“……Jadi begitu rupanya……”
Kurasa aku akhirnya mulai
mengerti alasan mengapa Kurose-san pindah ke sekolahku pada waktu pertengahan
semester.
“Ibuku menemukan pekerjaannya
saat ini setelah mulai berpikir untuk menceraikan mantan ayah tiriku, tapi itu
bukan pekerjaan tetap... Keluargaku sebenarnya tidak punya banyak uang. Pakaian
dan tas ini, semuanya dibeli untukku ketika ayah tiriku masih menjadi orang
yang baik.”
Kurose-san menyipitkan matanya
dan tersenyum seolah-olah sedang mengenang masa lalu. Rasanya sangat menyakitkan
ketika mendengar ceritanya dan aku merasa kalau aku harus mengatakan sesuatu
padanya.
“...Tapi sepertinya kamu bisa
pergi ke sekolah kita tanpa masalah, jadi itu bagus, ‘kan.”
Sekolah SMA kami juga merupakan
sekolah swasta, jadi kalau dia benar-benar kekurangan uang, dia pasti akan
kesulitan untuk pindah ke sekolah kami. Namun, begitu mendengar perkataanku,
Kurose-san hanya tersenyum tipis.
“Karena biaya sekolahnya kurang
dari setengah biaya sekolahku yang sebelumnya. Jadi pada dasarnya hampir bebas
biaya karena tertutupi oleh program sekolah SMA.”
“Eh, masa? Apa iya...?”
Aku
belum pernah mendengar hal semacam itu dari orang tuaku …..
saat aku merasa sedikit panik, Kurose-san tersenyum masam padaku lagi.
“Aku tidak bisa mendapatkan
bebas biaya jika sekolahnya berada di luar prefektur. Itulah sebabnya aku
tinggal di rumah bibiku.”
“Ja-Jadi begitu ya….”
Maksudnya masuk lewat jalur
belakang ya. Entah kenapa aku merasa kalau aku seharusnya tidak boleh mendengar
hal itu, jadi jantungku mulai berdegup kencang.
Kurose-san lalu menatapku.
“Apa Kashima-kun tidak pernah
merasa penasaran? Menurutmu, kenapa aku memilih sekolah kita sebagai sekolah
baruku?”
Aku sedikit ragu-ragu dan
membuka mulutku.
“... Untuk membalas dendam pada
Shirakawa-san?”
Kurose-san lalu kembali
tersenyum kecil.
“Ya enggaklah.”
Balasnya, dengan ekspresi sedih
terlihat jelas di raut wajahnya.
“Aku memang membenci Luna. Dia
punya ayah, nenek yang modis dan pandai memasak, serta kehidupan yang stabil
... aku juga sering menyalahkannya ….dan sering bertanya-tanya kenapa cuma aku
yang mengalami pengalaman pahit seperti ini...
aku bahkan harus mengganti nama belakangku berkali-kali ....”
Ketika aku memikirkan bagaimana
perasaan asli Luna saat mendengar itu, aku merasa kasihan pada mereka berdua,
dan hatiku terasa disayat-sayat.
“Tapi, alasanku memutuskan
untuk pindah ke sekolah kita mungkin …. Karena aku ingin membuat Luna merasa
senang.”
“……Ehh?”
“Karena Luna sangat menyukai
kejutan. Sebagai pacaranya, kamu pasti sudah tahu itu, ‘kan?”
Kurose-san lalu tersenyum tipis
ke arahku dan aku membalas “Iya, tentu
saja…” sambil mengangguk.
“Aku sudah mengatakan banyak
hal buruk kepada Luna dan berkali-kali bilang kalau aku membencinya......tapi
jauh di lubuk hatiku, kupikir aku ingin dimanja olehnya. Luna pasti akan tetap
memaafkanku. Karena Luna ...... selalu menyayangiku.”
Wajah Kurose-san terlihat sedikit
bahagia saat menceritakan hal itu.
“Itu sebabnya aku
mengharapkannya. Ketika aku memasuki kelas .....[Ternyata Maria, toh! Semuanya, gadis itu adalah adik perempuanku,
tau! ]... Aku pikir kalau Luna akan merasa senang bisa bertemu denganku
lagi.”
Peniruan suaranya sangat mirip
seperti Luna, dan aku merasa kalau kemungkinan hal semacam itu benar-benar bisa
terjadi di garis dunia yang lain.
“Makanya aku merasa syok. Saat
Luna melihatku, dia terlihat sangat kebingungan.”
Ah, jadi begitu yang dia
rasakan.
Pada saat itu, aku sudah
direpotkan oleh masalahku sendiri. Jadi aku tidak punya waktu untuk melihat reaksi
Luna terhadap murid pindahan.
“... Dan kemudian kamu
melakukan itu?”
Menanggapi pertanyaanku,
Kurose-san balas mengangguk.
“Benar. Kalau dipikir-pikir lagi,
kurasa aku sudah melakukan sesuatu yang sangat bodoh. Segala sesuatunya
terhadap Luna dan Kashima-kun.”
Kurose-san bergumam dengan
ekspresi sedih di wajahnya dan sedikit mengerutkan keningnya. Dia kemudian melihat
ke atas.
“Tapi berkat kegagalan itu, aku
tidak perlu memaksakan diriku lagi seperti dulu. Karena semua orang sudah
terlanjur membenciku, jadi aku tidak perlu jaga sikap segala.”
Hal itu juga kurasakan pada
pertemuan sosial hari ini. Ketika aku mengobrol dengannya seperti sekarang ini,
aku merasa semakin mengenal kepribadian asli Kurose-san.
“Kashima-kun, dulu aku merasa
sangat nyaman saat bersekolah di sekolah wanita T. Lingkungan di mana cuma ada
gadis-gadis saja. Aku tidak harus disukai oleh cowok-cowok ….. dan untuk
pertama kalinya dalam kehidupan sekolahku, aku bisa menjadi diriku sendiri. Dan
sekarang, aku, sedikit demi sedikit ... aku merasa kembali jadi diriku sendiri
seperti waktu itu.”
Setelah mengatakan itu, Kurose-san
menatapku dengan alis yang diturunkan.
“... Aku benar-benar minta maaf
tentang semua itu.” tuturnya.
Dia
adalah gadis yang baik, pikirku. Walaupun aku sudah merasakan hal
itu dari dulu.
Tentu saja begitu. Karena dia adalah adik
perempuan Luna.
“Sudahlah, tidak apa-apa.”
Lagipula,
semuanya sudah berakhir.
Keegoisanku
lah yang membuatku merasa sedikit kesepian karena perasaannya padaku
benar-benar sudah hilang.
“Kalau gitu, kurasa sudah
waktunya kita kembali untuk belajar.” Ajakku.
“Ah, tunggu sebentar, aku mau
ke kamar mandi dulu.”
Usai mengatakan itu, Kurose-san
mengambil saputangan dan kantong dari tasnya dan mencoba berbalik untuk
meninggalkan ruangan.
Pada saat itulah….
“Ah, itu ...”
Sesuatu yang berkilau menarik
perhatianku dan aku terpaku pada benda tersebut.
“Apa itu bulan dan bintang?”
Aku menunjuk ke bagian
aksesoris yang ada di penarik ritsleting. Aku merasa familiar dengan motif
bulan sabit dan bintang yang terpasang di kantong tersebut.
“Ah, ya..... dulu, Luna pernah
memberikannya padaku.”
Aku sedikit terkejut saat
mendengar perkataan Kurose-san.
“Ketika Ayah dan Ibuku
memutuskan untuk berpisah dan pindah ke rumah yang berbeda… Luna memberikan
anting-anting ini padaku dan bilang [Saat
kita masuk ke SMA, ayo pasang di masing-masing salah satu telinga kita],
itu sebabnya cuma ada satu.”
Sambil mendengarkan, aku mulai
mengingatnya dengan jelas. Aksesoris itu sangat mirip dengan anting-anting yang dicari
Luna saat kami bermain Savage.
“Anting-anting? Tapi, bukannya
itu ...”
“Oh, kalau ini aku sendiri yang
mengubahnya menjadi aksesori ritsleting.”
Kurose-san menjawab dengan
ringan.
“Lagipula, aku tidak pernah
memakai anting-anting. Habisnya, bukannya itu bertentangan dengan peraturan
sekolah? Kupikir peraturan di sekolah kita cukup longgar, tapi kebanyakan
sekolah melarang siswanya memakai aksesoris bertindik begini, jadi kamu tidak
bisa mengeluh jika kamu diperingati dan disita, ‘kan?......faktanya, aku sendiri tidak memakainya, karena ini
terlalu menonjol. Kalau Luna yang memakainya, kebanyakan orang pasti akan
melupakannya jika dia memakai aksesoris semacam ini.”
“Eh, tidak juga...”
Aku menatap aksesoris bulan
sabit dan bintang itu.
Tidak salah lagi.
—Itu
benda yang sangat penting untukmu, ‘kan? Kamu pernah bilang kalau kamu takkan
memakainya di sekolah karena tidak ingin itu disita.
Aku jadi teringat perkataan
Yamana-san.
Dia
tidak pernah melupakannya. Luna tidak melupakan anting-anting dan janji yang dia
berikan kepada Kurose-san, sampai sekarang dia masih menghargai separuh anting
lainnya ... ketika aku hendak membuka mulut untuk memberitahunya
hal itu….
“... Nee.”
Kurose-san mengucapkan itu
dengan nada blak-blakan, dan aku menatap ke arahnya. Wajahnya terlihat canggung
dan pipinya sedikit merah merona.
“Apa aku boleh pergi sekarang?
... Ngomong-ngomong, ini ‘kantong
sanitasi’, tau.”
“Ah, maaf.”
Walaupun aku meminta maaf secara
refleks, tapi kata ‘sanitasi?’ itu mengulik
rasa penasaranku.
Ketika Kurose-san pergi ke
kamar mandi, aku mencarinya di smartphone-ku dan mengetahui kalau itu kata
kiasan dari “pembalut wanita”, tanpa
sadar hal itu membuatku tersipu malu.
◇◇◇◇
Ketika aku kembali ke ruang
baca, aku menerima pesan LINE dari Sekiya-san.
[Sekiya
Hiiragi]
Hari
ini kamu enggak datang?
Mumpung
Kurose-san tidak ada di sini, jadi ini kesempatan sempurna untuk belajar dengan
tenang di ruang belajar mandiri.
“…………”
Jika Kurose-san terus belajar
di perpustakaan ini, aku mungkin bisa pergi ke Ikebukuro sendiri. Aku bisa
belajar dengan tenang karena tahu kalau dia takkan datang ke sana.
Namun, untuk beberapa alasan,
aku tidak ingin berpindah tempat, jadi aku menghabiskan dua jam berikutnya
untuk belajar di seberang Kurose-san.
Tanpa kusadari, sekarang sudah
jam lima sore. Aku belum makan apa-apa sejak makan siang tadi, jadi aku mulai
lapar lagi, dan berpikir kalau sudah waktunya untuk pulang.
Meski tidak direncanakan, tapi
kelihatannya Kurose-san mulai membereskan barang-barangnya juga.
“Kashima-kun, kamu mau pulang
sekarang?”
“I-Iya……”
“Aku juga sama.”
Kemudian, entah bagaimana, aku
akhirnya meninggalkan perpustakaan umum bersama Kurose-san..
Begitu aku melangkah keluar,
area di sekitar sudah mulai gelap. Meskipun aku tidak menyadarinya ketika
datang ke sini, tapi beberapa daun yang ada di kolam mulai berubah warna, dan
ada sedikit tanda-tanda kalau sekarang sudah memasuki musim gugur.
“Kurose-san, apa kamu selalu pulang
di jam segini?”
“Ya, ketika aku pulang dari
sekolah. Jika aku pulang sedikit lama lagi, aku mungkin akan jadi korban
pelecehan di dalam gerbong kereta yang penuh sesak karena jam sibuk.”
“Eh ... ahh, memang sih.”
Aku tercengang ketika
Kurose-san mengatakan hal seperti itu dengan begitu santai.
Pelecehan
seksual, ya. Aku tidak punya nyali untuk
melakukan hal semacam itu, dan jika pun ada, aku tetap tidak melakukannya, tapi
ada banyak orang yang berbuat tidak senonoh semacam itu di dunia ini.
“Karena hari ini adalah hari
libur, jadi kurasa tidak apa-apa.... apalagi, Kashima-kun juga ada di sini.”
Kurose-san menatap ke arahku
dan tertawa kecil. Wajahnya yang manis membuatku jadi sedikit gugup dan panik.
Aku bukannnya berusaha menutupi
rasa bersalah yang kurasakan, tapi aku memutuskan untuk mengalihkan topik
pembicaraan mengenai Luna.
“.... Shirakawa-san sering
memakainya, loh. Anting-anting itu.”
Aku berhasil mengatakan hal
yang gagal kuberitahu padanya di kafetaria tadi.
Kurose-san cuma membalas, “Eh...”, tapi tak berselang lama
kemudian, wajahnya menunjukkan pemahaman mengenai apa yang kubicarakan.
“Dia hanya memakainya pada hari
libur karena dia tidak ingin anting-anting itu disita sekolah..... Hari ini aku
tidak melihatnya, tapi tempo hari aku melihat kalau dia memakainya. Karena
kelihatan sama, itu sebabnya aku tadi merasa penasaran.”
Sepertinya Kurose-san bisa
memahami intinya, meskipun dengan penjelasanku yang tidak masuk akal.
“……Begitu ya.”
Kurose-san menjawab dengan
wajah tertunduk.
“Dari dulu, Luna memang selalu menyukai
aksesori dan kosmetik.”
Ucapnya, seolah-olah sedang
bergumam pada dirinya sendiri.
“Ayah punya wajah yang tidak
ganteng-ganteng amat. Ia bahkan selalu memberitahu Ibu kalau “Riasan alami adalah riasan terbaik”.
Tapi Ibu tidak berhenti memakai bulu mata palsu dan riasan modis. Mereka berdua
memang sangat mirip. Ibu dan Luna.”
Kurose-san terus berbicara
seraya menyipitkan mata seolah-olah melihat ke kejauhan.
“Aku tidak memakai riasan atau cat
kuku seperti yang diinginkan Ayah. Mungkin karena aku ingin Ayah berpikir kalau
aku itu [imut].”
Ketika mengatakan itu, dia
menggigit bibirnya dengan frustasi.
“Tapi, bukan aku yang disayangi
Ayah, melainkan Luna... Kurasa wajar saja. Karena Ayah mencintai Ibu dan
menikahinya. Jadi aku seharusnya meniru Ibu. Sama seperti yang Luna lakukan.”
“Kalau dibilang meniru
ibunya... Kupikir Shirakawa-san sudah menyukai hal semacam itu sejak awal ...”
“Aku tahu.”
Kurose-san menjawab dengan
senyum geli dan bergumam.
“Itu sebabnya aku sangat marah
....... karena aku tidak bisa melarikan diri ke arah itu.”
“……Apa maksudmu?”
Melarikan
diri, ketika aku terpaku pada kata tersebut, Kurose-san
menanggapi dengan senyum ironis.
“Memangnya kamu pikir dia
menjadi gadis gyaru karena menyukai fashion gyaru? Mungkin ada gadis yang
semacam itu, tetapi dalam kasus Luna, itu sedikit berbeda .... Setidaknya,
menurutku bukan itu saja yang jadi satu-satunya alasan.”
Saat aku menunggu
penjelasannya, Kurose-san terus melanjutkan.
“Sejak awal, kami memiliki
kepribadian yang berbeda. Jadi sudah tentu hobi kami tidaklah sama. Tapi
semuanya mulai terlihat jelas saat sekitar kelas lima SD, ketika orang tua kami
mulai membicarakan tentang perceraian.”
Ekspresinya terlihat suram,
mungkin karena dia mengingat hari-hari itu.
“Aku mulai kecanduan manga dan
game untuk melarikan diri dari kenyataan yang tidak menyenangkan. Karena aku
merasa nyaman menghabiskan waktu dengan sesuatu yang bukan diriku sendiri ...”
Suasana sepi Taman Memorial
Arisugawa di waktu senja selaras dengan nada suaranya, dan itu membuat dadaku
terasa sesak.
“Pada waktu itu, Luna tertarik
dengan fashion gyaru. Dia bahkan mengenakan make-up ketika pergi ke sekolah SD
dan sampai membuat Ibu dipanggil pihak sekolah karena masalah tersebut.”
Hal
semacam itu... Aku tidak pernah menyangka kalau dia sudah
menjadi gadis gyaru sejak sekolah SD.
“Aku tidak berpikir kalau di
jaman sekarang, menjadi gyaru akan dicap sebagai “anak berandalan”, tapi kupikir masih ada unsur seperti itu. Karena
jika dia benar-benar menyukai fashion gyaru, mengapa dia tidak melakukannya
secara diam-diam pada hari libur? Karena memakai cat kuku, make-up dan menyemir
rambut pasti akan melanggar peraturan sekolah.”
Kupikir apa yang dikatakan Kurose-san
ada benarnya. Itu sebabnya aku mendengarkan tanpa membantahnya.
“Jika kamu melanggar aturan,
kamu akan dimarahi atau diawasi oleh orang dewasa, ‘kan? Bukannya itu tindakan
yang sangat bodoh? Itu sebabnya aku berpikir, justru itulah yang [diinginkan] Luna.”
“Apa maksudnya?”
“Dia mungkin ingin
diperhatikan. Karena Sensei …... Jika Sensei menghubungi Ayah dan Ibu, mereka
pasti akan lebih memberi perhatian pada Luna, ‘kan?”
Dengan senyum sarkastik, Kurose-san
tersenyum padaku.
“Kami berdua selalu diliputi
ketakutan dan kesepian. Orang tua kami selalu bertengkar setiap hari, dan
lingkungan keluarga kami mungkin akan berubah secara drastis... Jika kami tidak
melakukan sesuatu, kami akan dihancurkan oleh perasaan cemas yang terus
menghantui pikiran kami.”
Rasanya sungguh menyakitkan
untuk berpikir bahwa hal tersebut terjadi pada gadis-gadis yang baru kelas lima
SD.
“Aku mencari keselamatan di
dunia fiksi. Sedangkan Luna, dia mencoba melawan kesepian dan kecemasannya di
dunia nyata. Aku pikir fashion gyaru lah yang jadi manifestasi dari
perjuangannya.”
Kurose-san menatap ke arah kejauhan
seraya mengatakan itu dengan nada santai.
“Entah bagaimana, itulah yang
kurasakan.”
Mungkin itu adalah sesuatu yang
cuma bisa disadari oleh Kurose-san yang jadi kembarannya. Aku mengingat perasaan
campur aduk yang dia rasakan terhadap keluarganya, dan kadang-kadang membayangi
wajah Luna yang selalu ceria.
“Mungkin Luna lebih dewasa
dalam mencoba mengisi kesepiannya di dunia nyata daripada aku yang melarikan
diri dari kenyataan ke dunia fiksi.”
Dia tertawa seolah-olah mencela
dirinya sendiri, tapi Kurose-san mendadak memasang ekspresi serius.
“Atau mungkin lebih tepatnya,
... Luna mungkin ingin cepat tumbuh dewasa.”
Kurose-san mengangguk
seolah-olah menegaskan pernyataannya.
“Luna memang sangat dewasa ...
mungkin itu sebabnya, dia mau memaafkanku. Walaupun aku sudah berbuat hal itu
padanya...”
“Tentu saja dia akan
memaafkanmu.”
Dan di sanalah aku memotong
ucapannya.
“Karena...... Shirakawa-san
ingin berteman dekat dengan Kurose-san seperti dulu lagi, makanya dia menjadi
anggota panitia dan masuk di bagian pamflet.”
Aku tidak ingin menghalangi
rencana Luna, tapi setidaknya, aku bisa mengatakan sebanyak ini.
Kurose-san menatapku sejenak
dan kemudian menundukkan kepalanya.
“... Kupikir juga begitu.
Menjadi panitia bagian pamflet sama sekali tidak cocok untuk Luna.”
“Lalu ...”
Bukannya
kamu bisa sedikit lebih dekat dengan Luna tanpa harus membalas ketus seperti
tempo hari. Saat aku hendak melampiaskan perasaan itu,
Kurose-san kemudian berkata, “Tapi…”
“Aku belum bisa memaafkan
diriku sendiri. Setiap hari... saat aku sendirian, aku memikirkan banyak hal.”
Itu adalah kata-kata yang tidak
terduga.
“Makanya sekarang, aku tidak
punya keberanian ….. untuk mengakrabkan diri kembali dengan Luna….”
Kurose-san menundukan kepalanya
sambil bergumam tak berdaya.
“Jadi
begitu, ya……”
Kupikir Kurose-san masih
bermusuhan dengan Luna, tapi ternyata, kenyataannya tidak begitu.
—Aku
masih belum bisa memaafkan diriku sendiri. Setiap hari... saat aku sendirian,
aku memikirkan banyak hal.
Meski begitu, mereka
benar-benar anak kembar yang bertolak belakang.
—Aku
tidak pandai buat berpikir.
Aku menyadari itu ketika
mengingat kembali ucapan Luna. Satu-satunya hal yang membuat mereka mirip
hanyalah bagian suara saja…..
“Ahh!”
Pada saat itu, Kurose-san
melihat sesuatu dan berseru.
“Ada apa, Kurose-san?”
“Aku kebetulan melihat kios minuman
boba. Sepertinya itu kelihatan sangat enak.”
“Eh......”
Aku terkejut ketika mendengar
suara melenting Kurose-san.
Kami sudah meninggalkan area taman
dan dalam perjalanan menuju stasiun kereta bawah tanah. Tatapan mata Kurose-san
tampak berbinar saat melihat papan nama kafe modis yang muncul di pinggir jalan.
“Kurose-san, apa kamu menyukai
minuman boba...?”
“Ya”
Kurose-san mengangguk, tampak
sedikit kesal sambil memasukkan tangannya ke dalam tas, dan mengeluarkan
dompetnya.
“Aku sangat menyukainya. Bahkan
jika seluruh dunia merasa bosan dengan boba dan berhenti meminumnya, aku
bertekad untuk terus meminumnya.”
“Be-Begitu ya...”
Jantungku berdetak kencang.
Fenomena
trend minuman boba sudah terjadi dalam beberapa tahun terakhir. Bisa dibilang
kalau selama waktu tersebut mereka tak pernah berkomunikasi dan kebetulan saja
kecanduan hal yang sama tanpa menyadari satu sama lain?
Ketika aku diam-diam merasa
terkesan, Kurose-san langsung menuju ke dalam kios minuman boba tersebut.
Aku menunggu di luar, dan
beberapa saat kemudian, Kurose-san keluar sambil memegang gelas plastik dengan
sedotan tebal di dalamnya.
“Meski harganya 50 yen lebih
mahal, tapi aku menambah jumlah bobanya juga.”
Kurose-san tertawa dengan
ekspresi mirip seperti anak kecil yang diam-diam melakukan kesalahan.
—
Sebenarnya, keluargaku tidak punya banyak uang.
Aku merasa khawatir ketika dia mengatakan
hal semacam itu beberapa waktu yang lalu. Kurose-san mungkin berpikir begitu
karena membandingkannya dengan teman-temannya yang dari sekolah khusus
Ojou-sama, tapi aku sedikit lega melihat dia bukan dari keluarga “tidak punya uang” seperti yang
kubayangkan.
“Maaf ya, aku belinya buat aku
sendiri saja.”
“Enggak apa-apa, kok. Lagian,
aku masih punya botol teh.”
Kami mulai berjalan menyusuri
jalanan lagi. Di dekat taman, terdapat jalan tenang yang dipenuhi gedung-gedung
kedutaan besar dan toko-toko trendi.
“Kashima-kun, kamu tidak suka
minuman boba, ya?”
“Enggak juga, aku cukup menyukainya,
kok. Tapi aku lebih memilih minuman boba yang pakai susu gula merah daripada
teh susu. Bukankah rasanya kurang nendang
jika diminum dengan tapioka? Itulah yang kupikirkan.”
Mengingat pembahasan minuman
boba sebelumnya sampai membungkam Luna, kali ini aku merangkumnya secara singkat.
“Hmm.”
Kurose-san yang saat ini sedang
menyesap minuman boba, membalas dengan nada santai. ‘Syukurlah, aku tidak terlalu kegirangan membahasnya’, saat aku
merasa lega di dalam hati, Kurose melepaskan mulutnya dari sedotan.
“Kashima-kun pasti memandang
minuman boba dari sudut pandang kesempurnaan hidangan penutup, ‘kan.”
“Ehh......?”
“Minuman boba tuh bukan makanan
penutup, tau. Ini cuma sebatas minuman, oke.”
Kurose-san lalu memberitahuku
saat aku mengedipkan mata.
“Menikmati minuman boba
merupakan cara yang bagus untuk menghabiskan waktu. Kalau minum secangkir teh
susu saja, itu bisa habis dengan cepat, tetapi jika ada boba di dalamnya, itu
bertahan lama. Seseorang bisa mencicipi sebentar minumannya dan mengunyah boba
seperti permen karet. Ini adalah minuman yang bisa dinikmati selama beberapa
menit sambil mengobrol dengan teman-teman, dan kupikir itulah sebabnya kenapa minuman
ini menjadi populer di kalangan gadis-gadis SMA.”
“......Jadi begitu rupanya....”
Hal itu jadi mengubah
pandanganku.
Minuman boba hanyalah sekedar “minuman”. Minuman boba merupakan cara
yang bagus untuk ‘menghabiskan waktu’.
Itu adalah perspektif yang tidak kumiliki.
“... Kurose-san tuh ternyata
menarik juga, ya.”
Berbicara dengan Luna memang
mengasyikkan, hatiku menjadi lebih cerah, dan terasa menyenangkan. Mengobrol
dengan Kurose-san sama-sama menarik karena aku selalu mendapat wawasan baru. Mungkin
karena dia adalah “tipe berpikir”
yang sama seperti aku.
“Masa?”
Kurose-san menatapku dengan
ekspresi terkejut dan tersenyum.
“Baru pertama kalinya ada cowok
yang mengatakan itu padaku.”
Untuk beberapa alasan, wajahnya
terlihat sedikit bahagia.
◇◇◇◇
Kami sedang dalam perjalanan
pulang bersama ketika Kurose-san mendadak berhenti di jalan utama di luar
bundaran stasiun K.
“Kashima-kun, apa kamu mau
lewat sini? Kalau aku sih lewat sebelah sana.”
“Ahh iya...”
“Sampai jumpa besok.”
Setelah melambaikan tangannya
padaku, Kurose-san membalikkan badannya dan mulai berjalan pergi.
“…………”
Betul sekali. Aku yakin
beginilah aslinya mengucapkan selamat tinggal pada gadis yang bukan pacarmu.
Meski aku merasa sedikit tidak kecewa karena beberapa saat yang lalu, kami
berbicara dengan riang gembira mengenai
live-streaming gamer yang direkomendasikan di gerbong kereta tadi.
Karena aku belum pernah punya
teman perempuan, jadi rasanya sedikit tidak nyaman.
Ahh,
anggap saja sama seperti teman cowok.
Tapi ... memangnya aku bisa memperlakukannya
sama seperti teman cowok?
—
Jika aku pulang sedikit lama lagi, aku mungkin akan jadi korban pelecehan di
dalam gerbong kereta yang penuh sesak karena jam sibuk.
Walau dia mengatakannya dengan
nada santai, Kurose-san pasti memiliki pengalaman tidak menyenangkan tentang
pelecehan seksual.
Langit di atas sudah
benar-benar gelap. Karena kami masih di depan stasiun, jadi ada banyak lampu
dan pejalan kaki, tapi aku tidak tahu apakah itu akan terus berlanjut sampai ke
rumah Kurose-san. Bahkan jika tidak berada di dalam kereta, mungkin saja masih
ada orang yang akan melakukan sesuatu seperti pelecehan seksual.
Setelah
berpisah denganku, jika dia bertemu dengan pria seperti itu ... Aku merasa
sangat cemas membayangkan kemungkinan tersebut, jadi tanpa sadar aku sudah
berlari untuk mengejarnya.
“A-Aku akan mengantarmu pulang,
sampai rumah!”
Kurose-san tampak terkejut saat
aku muncul kembali di belakangnya. Saat aku sedang dilanda dilema, Kurose-san sudah
berjalan cukup jauh di depanku, dan aku kehabisan napas saat menyusulnya.
“Ehh, tidak usah.”
Kurose-san berkata dengan
enggan dan mengalihkan pandangannya.
“Jika kita terlalu lama
bersama, aku merasa tidak enakan dengan Luna ...”
“Tapi, aku mengkhawatirkanmu.”
Saat aku mengatakan ini,
Kurose-san tak bisa berkata apa-apa. Pipinya tampak merah merona saat aku
menatapnya, dan dia menyisir rambut ke telinganya seolah-olah demi
menyembunyikan rasa malunya.
“... Kalau begitu... Terima
kasih.”
Kurose-san bergumam pelan
sambil memalingkan wajahnya dariku.
◇◇◇◇
Rumah Kurose-san berjarak sekitar
15 menit berjalan kaki dari stasiun.
“Maafkan aku. Pasti jauh, iya
‘kan? Aku
biasanya naik sepeda buat menuju ke stasiun, tetapi prakiraan cuaca mengatakan
kalau sore ini akan hujan.”
Ujar Kurose-san dengan nada
meminta maaf. Memang, prakiraan cuaca pagi mengumumkan kalau hari ini akan
hujan. Cuaca hari ini bahkan tidak cerah, tapi tampaknya akan tetap berawan.
“Sebentar lagi kita hampir
sampai. Di apartemen itu.”
Kurose-san menunjuk ke arah gedung
apartemen setinggi tujuh atau delapan lantai di sebelah kanan jalur perjalanan.
Jalan
yang kami lalui sekarang adalah jalanan yang sepi dengan kuil kecil tak
berpenghuni berada di depan. Aku merasa ngeri saat melihat beberapa poster yang
bertuliskan, “Banyak insiden penjambretan
di daerah ini!” di tiang telepon dan papan reklame terdekat….Untung saja
aku memutuskan untuk mengantarnya.
“Rumahku berada di lantai dua.
Terima kasih.”
“Karena aku sudah sejauh ini,
aku akan mengantarmu sampai kamu memasuki rumah.”
Aku memberitahu itu kepada Kurose-san
yang hendak berpisah denganku di pintu masuk gedung apartemen, dan kami pun memasuki
gedung bersama-sama. Ini bukan apartemen yang mempunyai keamanan kunci otomatis
dan siapa pun bisa masuk, dan setelah melihat poster tadi, aku merasa lebih
aman buat mengantarnya seperti itu.
Karena satu-satunya lift yang ada
sedang berhenti di lantai 8, jadi Kurose-san memilih untuk menaiki tangga.
Lalu, pada saat kami sampai di
lantai dua….
“Ah, Maria!”
Aku meragukan indra pendengaranku
saat mendengar suara itu.
“Luna...!”
Kurose-san juga tampak terkejut.
Di koridor lantai dua, ada Luna
yang sedang berdiri di sana.
Tapi aku belum melihat sosoknya.
Mengikuti Kurose-san yang naik lebih dulu, aku berdiri di tengah-tengah tangga
dengan satu kaki menginjak lantai dua. Dari sini, aku tidak bisa melihat
seluruh area koridor karena terhalang tembok.
“Luna ...kenapa kamu ada
disini?”
Kurose-san menatap ke arah Luna
setelah beberapa saat mengkhawatirkanku.
“Aku sudah beberapa kali
menekan interkom, tetapi tidak ada yang menjawab. Karena aku tidak punya kuncinya,
jadi aku tidak bisa masuk.”
“Ahh, itu karena Ojii-chan
sedang di rawat di rumah sakit sekarang ... Aku yakin kalau Obaa-chan juga akan
segera pulang. Dan kurasa sebentar lagi Ibu juga akan pulang.”
“Ehh, apa Ojii-chan baik-baik
saja?”
“Ya, karena ini sudah sering
terjadi.”
Setelah menjawab singkat,
Kurose-san mengalihkan perhatiannya ke arah Luna lagi.
“Sebaliknya, kenapa kamu ada di
sini, Luna?”
“Ahh, sebenarnya ...”
Luna lalu menjawab dengan nada
yang agak sungkan.
“Setelah acara kumpul-kumpul
bareng panitia lain, aku dan Akari mengunjungi Shin-Okubo untuk nongkrong di
sana. Akhir-akhir ini aku lagi menyukai
croffle sejak aku membuatnya di rumah tempo hari, dan ketika aku mencicipi croffle yang ada di Shin-Okub0, rasanya
enak banget, jadi kupikir aku akan membeli satu lagi untuk dibawa pulang supaya
Maria juga bisa mencobanya.”
Aku bisa mendengar gemersik
seperti kantong plastik.
“Soalnya, selera makanan kita
sama, iya ‘kan? Jadi kupikir kamu akan menyukainya juga. ......”
Sambil berkata begitu, langkah
kakinya semakin mendekat.
“Eh? Tu-Tunggu dulu sebentar
Luna...”
Aku bisa melihat kalau
Kurose-san terlihat panik.
“... Ehh? Apa kamu sedang
bersama seseorang?”
Suara langkah kaki Luna semakin
mendekat.
Dan kemudian…….
“Ryuuto……!?”
Dari
semua tempat, aku bertemu kembali dengan pacarku, usai berpisah dengannya
beberapa jam yang lalu, di depan kamar apartemen adik perempuannya…….
“A-Ahh sebenarnya, Kashima-kun
sedang mengantarku pulang. Setelah itu, aku kebetulan bertemu dengannya di
perpustakaan dan belajar.”
Kurose-san berusaha menjelaskan
dengan tergesa-gesa.
“Perpustakaan?”
Wajah Luna diselimuti kecemasan.
“Bukannya di ruang belajar mandiri?
Tempat yang selalu Ia kunjungi di sekolah bimbel K yang ada di Ikebukuro ...”
“Ehh…”
Kurose-san tampak terkejut saat
mendengar hal itu.
“Kashima-kun juga masuk ke
sekolah bimbel K...? Terlebih lagi, sekolah yang ada di Ikebukuro...”
Aku tidak tahu harus memulai
pembicaraan dari mana, baik dengan Kurose-san yang berbalik dan menatapku dengan
tatapan tidak percaya, maupun kepada Luna yang menunggu dengan sabar
penjelasanku.
“…………”
Ini benar-benar situasi yang terburuk…….
Aku mendongak ke atas langit
dan mengutuk takdirku.