Chapter 4
“Dibilangin juga apa, kalau
kamu datang ke ruang belajar mandiri pasti selamat, ‘kan.”
Saat Sekiya-san mendengar
rincian kejadian hari Minggu dariku, Ia sepertinya sudah menyerah dan kecewa.
Setelah peristiwa itu ...
Aku mulai menjelaskan semuanya
kepada Luna kalau aku sedang tertarik untuk belajar di perpustakaan, dan
kebetulan saja bertemu dengan Kurose-san di sana, Aku juga memberitahu kalau
aku berniat untuk melaporkan hal ini kepada Luna nanti. Dia mendengarkan
penjelasanku dalam diam, tapi aku tidak tahu apakah dia akan menerimanya atau
tidak. Aku tidak berani mengatakan kalau aku terlihat sangat pengecut karena
melarikan diri dari Kurose-san dari sekolah bimbel, jadi aku tidak menyangkal
kalau itu terlihat tidak wajar.
“Padahal kamu selalu berusaha
menghindarinya, tapi kenapa kamu malah belajar bersama dengannya di
perpustakaan? Palingan, kamu masih menaruh rasa kepada Kurose-san juga, ‘kan.
Apa kamu ingin memacari adik dan kakaknya sekaligus?”
Aku mengangguk dan meminum
sebotol teh persik, sementara Sekiya-san mengolok-olokku. Ketika aku pergi
mengunjungi ke ruang belajar mandiri, Sekiya-san mengajakku yang sedang lesu ke
ruang santai, dan kami duduk mengelilingi meja untuk minum teh.
Karena Kurose-san sudah
mengetahuinya, jadi aku tidak perlu pergi keluar untuk beristirahat. Aku merasa
lega ketika mendengar kalau hari ini bukanlah jadwal di mana kouhai Sekiya-san muncul.
Mungkin karena mengingat janji kami sebelumnya, Sekiya-san membelikanku minuman
dari mesin penjual otomatis..
“... Aku ‘kan bukan Sekiya-san
...”
Sekiya-san mengerutkan kening
dengan jengkel pada ucapan sarkasmeku yang tertunda waktu dan tak berdaya.
“Memangnya kamu tahu apa tentang
aku? Pacaran pertamaku itu hubungan yang murni dan polos. Seminggu untuk
berpegangan tangan, dan butuh semingguan lagi untuk berciuman ...”
“Tapi habis itu kamu langsung
bergegas ke rute harem, iya ‘kan?”
Aku sudah mendengar sedikit
tentang kehidupan SMA Sekiya-san. Meski aku belum mengetahui keseluruhan
ceritanya, tapi kelihatannya Ia lumayan menikmati hubungannya dengan banyak
gadis cantik, yang mana hal itu cukup membuatnya menjadi seorang ronin.
“Gununu...”
Sepertinya pembelaanku langsung
berhasil, dan membuat Sekiya-san terdiam.
Kupikir pasti rasanya sangat
menyenangkan.
Padahal aku tidak melakukan
kesalahan apa-apa, tapi aku masih cemas mengenai perasaan bersalahku terhadap
Luna.
“... Sepertinya Sekiya-san tidak
pernah kena tusuk dari mantan-mantan
pacarmu, ya.”
“Yah, itu sih karena aku
melakukannya dengan baik.”
“Hee~ ...?”
Karena aku tidak pandai
berurusan dengan gadis, jadi walaupun aku populer, aku merasa kalau aku takkan bisa memainkannya
dengan baik. Saat aku terkesan, Sekiya-san membuka mulutnya seraya berkata
“Akan kujawab serius,loh.”
“Karena kupikir perasaan yang
dirasakan tidak begitu berat sampai-sampai membuat seseorang ingin menusukku,
mungkin. Lagipula, aku hanya berpacaran dengan gadis-gadis yang cuma menganggap
pacaran itu cuma main-main atau buat mengusir kebosanan doang.”
Ja-Jadi begitu ya...
“Selain itu, cinta seorang
gadis kebanyakan ditimpa, ditimpa ulang, tau. Pacar sekarang atau orang yang
sangat disukai adalah terbaik. Gadis yang selalu memikirkan cowok yang sudah tidak
ada hubungan dengannya lagi cuma ada dalam fantasi cowok.”
“Ap-Apa iya...?”
Mendengar hal itu
mengingatkanku pada cerita Yamana-san saat kami bermain Savage.
—Bodoh
banget, iya ‘kan. Aku tidak menyangka kalau aku masih belum bisa melupakan
cowok yang kupacari selama dua minggu ketika aku masih kelas 2 SMP.
“Ah, tapi ada satu orang kenalan
yang kutahu...”
Aku tidak yakin apa aku bisa
menyebut Yamana-san sebagai “teman”,
oleh karena itu aku menggunakan ungkapan “kenalan”.
“Ada gadis yang mengatakan
kalau dia tidak bisa move on dari
mantan yang pernah dia pacari bertahun-tahun yang lalu karena masih belum bisa
melupakannya.”
Ketika aku mengatakan itu,
Sekiya-san melipat tangannya dengan ekspresi yang tidak terlalu tertarik.
“Hmm gitu ya, kurasa dia pasti
berpacaran dengan cowok yang sangat baik.”
“Enggak juga, sepertinya
mantannya itu cukup gawat karena mengidap Chuunibyou. Menurut perkataan gadis
itu, mantannya itu sering mendengarkan [Sutra]
atau sejenisnya.”
“... Yah, namanya juga masa
puber. Semua orang pasti pernah mengalaminya.”
“Maksudnya mendengar [Sutra]
!?”
“Jangan salah, mendengarkan
[Sutra] bisa meningkatkan konsentrasi sebelum pertandingan, tau.”
“... Ka-Kalau gitu, apa
Sekiya-san masih mendengar itu untuk membantumu berkonsentrasi belajar untuk
ujian masuk?”
“Jika aku masih mendengarkannya
sekarang, aku mungkin sudah menjadi seorang biksu.”
Usai berkata begitu, Sekiya-san
tersenyum masam seolah-olah mengejek dirinya sendiri.
“Sudah sekian lama sejak aku
mengingat sejarah hitam itu.”
“... Y-Yah, pokoknya, gadis itu
menyukai mantan pacarnya yang seperti itu.”
“Hmm... Mending meledak saja
sana.”
Karena mendengar Sekiya-san
membuat umpatan itu dengan nada jengkel, aku tiba-tiba merasa penasaran.
“...Apa kamu sekarang tidak
punya pacar, Sekiya-san?”
Jika
punya, Ia akan lebih memaafkan kehidupan cinta orang lain….pikirku,
dan benar saja, Sekiya-san menjawab sembari mengangguk kepalanya.
“Hmm. Ada beberapa gadis yang sesekali
menghubungiku, tapi kalau buat dijadiin pacar sih ... lah lagian juga, sekarang
bukan waktunya buat mikirin cari pacar. Apalagi yang namanya Ronin pasti takkan
populer.”
“Haaa”
“Bahkan kamu sendiri juga pasti
akan dicampakkan oleh pacarmu yang sekarang kalau kamu menjadi seorang Ronin.
Coba bayangkan kalau pacarnya adalah seorang ronin, dia menjalani kehidupan
kampus yang berkilauan, lalu pacarmu berselingkuh dengan seorang senior di
UKM-nya, dan itu semua akan berakhir dalam sekejap mata.”
“…………”
Aku
sungguh minta maaf kalau kisah itu berdasarkan pengalamanmu sendiri, tapi aku
merasa kalau Luna takkan melakukan itu ……saat berpikiran begitu (dan aku bahkan tidak tahu apa Luna akan
melanjutkan kuliah atau tidak), memang tidak keren rasanya kalau aku gagal
dalam ujian, dan kupikir reaksi Luna mungkin agak kecewa saja, tapi sebisa
mungkin aku ingin menghindarinya.
“Yah, kupikir ada bagusnya cari
gebetan baru buat jaga-jaga kalau kamu dicampakkan. Tapi yah, kalau gebetannya
adik dari pacarmu sendiri sih bakalan gawat…”
“Tidak, sudah kubilang kalau
aku tidak bermaksud begitu ...”
“Oh, baru saja diomongin.”
Kemudian Sekiya-san menoleh,
aku juga mengikuti arah tatapannya dan melihat Kurose-san memasuki ruang santai
dengan beberapa temannya yang mengenakan seragam pelaut.
Karena kebiasaan masa lalu, aku
jadi selalu bersiap-siap dan waspada.
“... Gadis itu selalu bersama
gadis-gadis dari sekolah T, ya.”
“Ehh......?”
“Maksudku yang seragam pelaut
itu.”
Sekiya-san memberitahuku, dan aku
mengalihkan pandanganku kembali padanya.
“Ternyata Sekiya-san tahu banyak
mengenai seragam sekolah lain, ya.”
“Sekolah wanita T itu terkenal,
tau. Itu adalah sekolah khusus Ojou-sama dengan nilai standar yang tinggi, dan
di sana banyak gadis-gadis cantik dan manis.”
“Hee...”
Apa memangnya sepopuler
itu? Aku tidak tahu banyak mengenai sekolah
khusus Ojou-sama karena itu adalah dunia yang tidak ada hubunganku.
“……Ah!”
Sekiya-san tiba-tiba meninggikan
suaranya, jadi aku berbalik dan melihat Kurose-san yang berada di dalam kelompok
gadis itu sedang menatapku.
Ketika aku merasakan kalau
tatapan mata kami bertemu dan menundukkan kepalaku sedikit, Kurose-san
tersenyum sambil memberi lambaian kecil ke arahku.
“... Hee, kayaknya hubungan
kalian lumayan bagus. Lihat tuh, kurasa dia masih tertarik padamu.”
“Ehh!?”
Aku menatap Sekiya-san dengan
cemas saat Ia mengatakan sesuatu yang keterlaluan.
“Mustahil!? Ka-Kalau itu sih
bakalan jadi masalah ...!”
“Masalah? Kenapa? Padahal kamu
tinggal melakukannya dengan sikap tegas.”
“Yah, itu memang benar sih,
tapi...”
Kenapa
cuma pada saat-saat seperti ini saja perkataannya terdengar benar, dasar nih
orang!
“Meski begitu ...”
Kurose-san adalah gadis yang sangat
cantik. Begitu juga dengan Luna, tapi dia tipe yang sama sekali berbeda dengan
Luna. Parahnya lagi, aku lebih menyukai tipe gadis yang seperti Kurose-san
kalau cuma dilihat dari hal penampilan saja.
Misal, seandainya saja aku
digoda lagi seperti di gudang gedung olahraga waktu itu …... Apa kali ini aku
bisa menolak godaannya lagi? Bahkan beberapa hari yang lalu, aku hampir
menginjak ranjau darat.
Digoda berkali-kali oleh gadis
semanis dirinya, meski begitu masih berusaha menjaga kesucian dengan tekad
baja, hal semacam itu …….
“... Sekiya-san sendiri gimana?
Apa kamu bisa melakukannya?”
“Ah, aku sih mustahil. Kalau
aku pasti langsung tancap gas dan langsung terlena.”
“Eh.....”
“Karena aku mengenal diriku
sendiri dengan baik, itulah sebabnya aku putus dengan pacar pertamaku.”
Sekiya-san menatapku dengan
tatapan tajam dan berkata dengan tergesa-gesa.
“... Saat aku menciumnya, aku
berpikir. Aku ingin menjaga gadis ini dari lubuk hatiku. Aku sudah bersamanya
selama setahun dalam kegiatan klub, jadi kami berdua sama-sama tahu sisi baik
dan buruk satu sama lain. Aku merasa sangat nyaman saat bersama dengannya. Aku
juga sempat berpikir kalau dia adalah pasangan terbaik yang mungkin bisa
kuhabiskan sepanjang sisa hidupku.”
“Jika memang begitu, kenapa
...”
Menanggapi pertanyaanku yang
kebingungan mengapa Ia putus dengan pacar pertamanya meski berharap ingin terus
bersamanya, Sekiya-san terus melanjutkan.
“Namun saat menginjak sekolah SMA,
aku mulai populer di kalangan gadis-gadis cantik, dan berpikir kalau ini buruk.
Kalau terus begini, aku pasti akan terlena dengan godaan dan mulai berselingkuh
dua atau tiga pacar, dan hal itu akan menyakitinya dengan cara yang
mengerikan.”
“Oleh karena itu, kamu putus
dengannya sebelum menyelam terlalu dalam?”
“Yah kurang lebihnya begitu……
meski aku merasa kasihan padanya.”
Melihat pandangan matanya yang gelap
dan kesepian, aku kembali bertanya.
“Apa kamu menyesalinya?”
Mungkin menyadari nada kekhawatiranku,
Sekiya-san hanya bisa tersenyum masam.
“Mana mungkin aku tidak
menyesalinya. Meski cuma sesaat, dia adalah gadis yang ingin kuhargai selama
sisa hidupku.”
Usai mengatakan itu, Ia lalu
menunduk ke bawah.
“Tapi aku tidak ingin menyakitinya
dengan cara seperti selingkuh atau semacamnya. Karena dia adalah …. gadis yang
sangat murni.”
Aku penasaran gadis seperti apa
yang membuat Sekiya-san sampai berpikiran seperti ini. Aku jadi ingin bertemu
dengannya.
“Tapi….”
Sekiya-san mendadak bergumam
seolah-olah sedang berbicara pada dirinya sendiri.
“Seandainya saja aku bisa
mengulanginya lagi dari awal kelas 1 SMA,...... aku mungkin takkan
mencampakkannya di waktu itu.”
Sikapnya yang serius tampak seperti
orang yang berbeda dari Sekiya-san, yang selalu membuat candaan ringan.
“Gadis pertama yang kusukai
dalam hidupku itu benar-benar sangat istimewa. Bukan karena kebetulan atau
perhitungan berdasarkan pengalaman, tapi karena aku tertarik padanya secara
naluri.”
Perkataan itu membuat hatiku
bergejolak. Karena bagiku, kata-kata tersebut sangat menggambarkan Kurose-san.
“Berkat putus dengannya, aku
bisa berpacaran dengan berbagai gadis cantik dan manis, tapi …... kemudian aku
menyadari kalau pacar pertamaku masih yang terbaik. Setelah menyadari itu, aku
tidak bisa berbuat apa-apa lagi.”
Ekspresi Sekiya-san lebih muram
dari yang pernah kulihat sebelumnya.
“... Lalu, apakah kamu ingin
kembali dan menjadi biksu?”
Aku meledek Sekiya-san karena
aku ingin dirinya kembali bertingkah seperti biasa, dan sepertinya Ia memahami
niatku.
“Bukannya sudah kubilang kalau
aku sudah tidak mendengarkan sutra lagi.”
Ketika aku melihatnya membalas
ledekanku dengan paksa, aku berpikir kalau Ia orang yang baik.
“Aku akan mengamuk sepuasku
kalau aku sudah selesai mengikuti ujian masuk.”
“Yo, memang harus begitulah Don
Juan dari era Reiwa~”
“Tenang, serahkan saja padaku ...
memangnya kamu pikir aku ini siapa?”
Sekiya-san yang terus
menertawakan dan mengolok-olokku, mengatakan sesuatu di akhir, dan perkataan
tersebut terus terngiang-ngiang di telingaku untuk beberapa saat.
“... Yamada, kamu jangan sampai
menyesalinya juga.”
◇◇◇◇
Sekiya-san yang hidup dua tahun
duluan, bisa jadi merupakan gambaran kehidupanku dua tahun dari sekarang.
Aku
tidak ingin ada penyesalan.
Cinta
pertamaku adalah Kurose-san, tapi yang kupacari sekarang dan ingin kuhargai
seumur hidupku adalah Luna.
Luna
adalah gadis yang sangat kusayangi.
Aku
hanya akan menghargai Luna.
Dengan mengingat hal itu, aku
memutuskan untuk menjalani kehidupan sehari-hariku sembari berusaha untuk tidak
terlalu mengkhawatirkan Kurose-san.
Sekarang sudah memasuki
pertengahan Oktober dan cuacanya mulai terasa bagus dan sejuk. Pada suatu hari
Minggu, sekolah SMA kami mengadakan sebuah festival olahraga.
“Luna~! Semangat~!”
Gadis-gadis bersorak dari kursi
kelas yang dipasang di luar lapangan. Luna yang kini menjadi peserta lomba lari
estafet antar kelas, sedang berlari ringan di lintasan pertandingan.
Luna mempunyai kaki yang cepat
dan saraf motorik yang baik. Rambutnya yang diikat kasar berkibar dan kakinya
yang panjang, terbentang dari seragam olahraganya, bergerak gesit saat dia
menuju ke zona tempat pelari berikutnya menunggu.
“Uwaaaaaaahh! Berjuanglah,
Luna~~!!”
Luna berlari melewati di depan kursi
kelas kami, dan sorakan penuh dukungan semakin nyaring terdengar.
“Kyaa~ dia berhasil menyalip
satu orang!”
Pada saat itu, dia melewati
seorang pelari dari kelas berikutnya yang berlari di depannya.
“Luna, kamu hebat sekali~!”
“Larinya cepat banget!!”
Kelas kami yang tadinya berada
di posisi ke-3, berhasil menduduki
posisi ke-2 berkat Luna.
“Kerja bagus, Luna~!”
Luna langsung dikerumuni oleh
gadis-gadis dari kelas ketika dia kembali ke tenda. Sembari duduk di kursi
kelas, aku melihat pemandangan itu dari kejauhan.
“Pacarmu hebat sekali, ya.”
Ichi yang duduk di sebelahku
berkomentar begitu, dan aku membalasnya dengan mengangguk.
“Ya……”
Luna memang luar biasa. Dia
benar-benar orang yang periang. Dan gadis seperti itu ternyata adalah pacarku
….. saat aku berpikiran begitu, entah kenapa aku jadi merasa aneh.
Aku juga tidak terlalu buruk
dalam berolahraga. Kurasa kemampuanku berada dalam peringkat rata-rata, atau
setidaknya di peringkat rata-rata ke bawah. Tapi pada saat mencapai kelas 2 SMA,
orang yang benar-benar atletis dapat melakukannya secara profesional, dan bahkan
yang tidak terlalu jago, mereka tidak sebanding dengan orang-orang yang berkeringat
setiap hari dalam kegiatan klub olahraga.
Oleh karena itu, aku sedikit
kaget dengan kemampuan fisik Luna yang juga anggota klub langsung pulang ke
rumah.
“Ah, ada Tanikita-san.”
Ichi tiba-tiba nyeletuk.
Di dalam lapangan, acara
berikutnya sudah dimulai tanpa kusadari, dan Tanikita-san dalam balutan sragam pemandu
sorak, menari dengan gadis-gadis lain diringi lagu pop yang populer. Rupanya,
acara sekarang adalah kompetisi pemandu sorak.
“Tanikita-san tuh imut banget,
ya...”
“Iya, dia memang imut.”
Aku secara refleks menimpali
ucapannya, tapi Ichi menoleh ke arahku dengan ekspresi garang di wajahnya.
“Padahal kamu sudah mempunyai
Shirakawa-san, tapi apa jangan-jangan kamu mau mengejar Tanikita-san juga?”
“Ma-Mana mungkinlah. Kamu ini
ngomong apaan sih?”
Icchi memandangku dengan
tatapan curiga saat aku buru-buru menyangkalnya.
“Karena Kasshi punya catatan kriminal
dengan Kurose-san...”
Catatan criminal yang dimaksud
mungkin adalah foto ketika kami saling berpelukan.
“Sudah kubilang kalau itu cuma salah
paham ...”
Saat aku hendak memprotes,
Icchi yang sedang melihat tarian pemandu sorak, berkata, “Ah!”
“Lah, ternyata di sana ada
Kurose-san juga, toh.”
“……Ah, benar juga.”
Kurose-san menari dengan memakai
seragam pemandu sorak yang serasi dengan yang lainnya, dan pita yang serasi di
rambutnya. Wajahnya yang berparas menarik dipenuhi dengan senyum sederhana.
Karena regu pemandu sorak harus
mengikuti berbagai kompetisi lain selain kompetisi bersorak, dan ada banyak
latihan koreografi serta sejenisnya, siswa yang sibuk dengan kegiatan klub atau
yang mengikuti berbagai pertandingan seperti Luna, tidak dapat menjadi anggota.
Aku jadi teringat pada jam wali kelas yang panjang tentang festival olah raga
dan mengeluhkan kalau anggotanya tidak memenuhi kapasitas.
Apa sehabis itu dia menawarkan
diri untuk bergabung? Selain perihal itu dan menjadi anggota panitia persiapan festival
budaya sekolah, Kurose-san mungkin sedang berusaha menyesuaikan diri dan
menikmati kehidupan sekolah dengan caranya sendiri.
Ketika mengingat saat-saat kami
berbicara di perpustakaan dan ekspresi gembira yang dia tunjukkan di sekolah bimbel,
aku jadi merasakan perasaan yang berbeda terhadap Kurose-san.
Meskipun apa yang dia lakukan
pada Luna sebelumnya tidak bisa dimaafkan, tapi Kurose-san tetaplah Kurose-san,
dan aku ingin dia mendapat kebahagiaannya sendiri.
Bagiamanapun juga, dia adalah
adik perempuan Luna.
“Kalau dilihat-lihat lagi
seperti ini, gadis-gadis di kelas kita berada pada level yang sangat tinggi
ya~. Kurose-san juga tampak imut.”
“…………”
Berdasarkan pelajaran yang
sudah kualami tadi, aku tidak meladeni kata-kata Icchi kali ini.
Tidak, mungkin karena aku tidak
bisa membantahnya.
—
Hee, kayaknya hubungan kalian lumayan bagus. Lihat tuh, kurasa dia masih
tertarik padamu.
Karena Sekiya-san mengatakan
hal semacam itu. Jika Ia yang memiliki banyak pengalaman dengan wanita sampai berkata
begitu, aku pikir kalau itu mungkin ada benarnya.
“Ryuuto!”
Pada saat itu, aku dikejutkan
oleh suara Luna. Ketika aku berbalik, Luna sudah berdiri tepat di sampingku.
“Nee~ nee~, ayo makan siang
bareng...?”
“Eh?... Iya, baiklah?”
Tanpa kusadari, kompetisi
pemandu sorak sudah berakhir. Di lapangan sudah tidak ada orang sama sekali.
Sepertinya acara untuk pertandingan pagi sudah selesai.
Icchi yang ada di sebelahku
segera berkata, “Silahkan~ silahkan~”
dan menyelinap pergi sembari membawa barang bawaannya.
“... Aku ingin tahu, apa Ijichi-kun
tidak menyukai gadis kali ya?”
Aku terkejut saat mendengar
Luna bergumam seperti itu setelah melihat kepergian Icchi.
“Ehh!? Tidak juga kok...
ma-mana mungkin begitu.”
Yang
ada justru kupikir Ia sangat menyukainya ... Aku menambahkannya di
dalam ahti.
“Ehh, masa? Yah, tidak apa-apa
sih. Akari juga mengatakan itu. Dia mengatakan bahwa meski dia berusaha
mengajak bicara dengannya karena sesama panitia dekorasi, dia kesulitan untuk
melakukan percakapan karena tanggapan Ijichi-kun yang terlalu singkat.”
“Ah ...”
Dasar
Icchi begooo! Kamu ini lagi ngapain sih, padahal Tanikita-san sudah bersusah
payah berbicara denganmu ……!
Tidak,
aku memang memahami perasaanmu, aku paham, tapi rasanya jadimenyakitkan ...
“... Ia orangnya pemalu.
Padahal Ia tidak bermaksud buruk, kok.”
“Begitu ya. Aku nanti kasih
tahu Akari, deh.”
Sambil berkata begitu, Luna
duduk di tempat yang tadinya diduduki Icchi.
Setiap peserta lomba bebas makan
siang pada saat festival olahraga. Beberapa murid boleh kembali ke ruang kelas
mereka atau makan bersama keluarga di kursi biru di bagian tenda pengunjung.
Kursi pengunjung untuk orang
tua terletak di sekeliling lapangan serta kursi kelas. Kursi pengunjung untuk
orang tua kebanyakan kosong dan kupikir jumlah siswa yang keluarganya datang
berkunjung ke sekolah cuma sekitaran setengah dari jumlah siswa yang ada. Aku
sudah memberitahu orang tuaku kalau mereka tidak perlu datang karena festival
olahraga ini tidak terlalu seru dan rasanya sedikit memalukan. Icchi dan Nisshi
juga sama, dan mungkin kebanyakan murid madesu juga melakukan hal yang sama.
“Ayah tuh emang jahat banget,
ya. Ia mendadak bilang kalau ada perjalanan bisnis. Padahal aku sangat
menantikannya.”
Sepertinya Ayah Luna berniat
untuk datang tapi beliau tidak bisa datang di menit-menit terakhir.
“Tapi aku merasa terselamatkan
karena tidak perlu membuatkan satu lagi untuk ayah juga, tapi ... aku
mengacaukan sekitar setengahnya, jadi aku benar-benar dalam keadaan darurat
kalau Ia beneran akan pergi.”
Sambil menertawakan hal itu,
Luna mengeluarkan kotak bekal makan siang dari tas yang dibawanya Itu
adalah kotak dua tingkat, ukuran yang cukup besar untuk dua atau tiga orang.
“Ini, silakan dinikmati ♡”
“Ohhh ...!”
Luna sudah memberitahuku
sebelumnya, “Aku akan membuat bekal makan
siang buat Ryuuto!”, tapi melihat hal yang nyata seperti ini, aku merasa
terharu sampai-sampai menitikkan air mata.
“Ma-Makasih! Hebat sekali ...”
Aku merasa bahagia sekali ...!
Jadi begini rasanya berada di khayangan.
Aku mulai cengengesan dan
hampir meruntuhkan ekspresi wajahku, tapi aku segera terkesiap.
Padahal
cuma cowok culun, tapi Ia langsung berbunga-bunga cuma karena kotak makan siang
buatan Shirakawa Luna….Aku merasa malu kalau ada orang yang akan
berpikiran begitu
Tempat duduk kelas hanyalah
selembar kain biru besar yang terbentang tanpa kursi, dan semua orang duduk
dengan bebas. Aku melihat sekeliling dan menyadari kalau ada banyak siswa yang
memasuki gedung sekolah. Aku merasa lega karena tidak ada teman sekelas yang
duduk dengan nyaman pada interval tertentu dan terlalu memperhatikan kami.
“Ayo, coba dibuka!”
Untuk beberapa alasan, Luna
duduk dengan tegak dan mendorong kotak makan siangnya di depanku.
Melihat tingkah Luna yang seperti
itu, membuatku sekali lagi berpikir kalau dia sangat manis sekali …….
Luna dalam balutan seragam olahraga
juga masih terlihat sangat mempesona. Ikat kepala biru, yang menandakan
kelasnya, melilit di sekitar rambutnya yang berwarna terang, lalu tonjolan
montok yang mendorong pakaian olahraganya dengan laberl nama di atasnya, dan kesan
aneh yang didapat seseorang saat melihat Luna dalam seragam olahraganya sangat
menawan, karena hal itu tampaknya secara langsung mengekspresikan sifat
mencolok dan kemurnian batinnya. Kukunya dicat dengan warna biru yang sama
seperti warna kelas, dan lebih pendek dari biasanya. Dia juga memakai
anting-anting tindik polos, yang mana hal itu menunjukkan keseriusannya
terhadap festival olahraga ini.
“Ayo, cepetan dibuka~!”
“Eh, i-iya. Lalu...”
Luna segera mendesakku, dan aku
meletakkan tanganku di tutup kotak makan siang. Aku jadi mengingat pertama
kalinya aku memakan kotak makan siang buatannya di kebun binatang di Ueno, di
mana lauknya agak berat sebelah. ...... Aku membuka bekal itu sambil merasa
nostalgia.
“Ohhh~! Kelihatannya enak~!”
Tampilan hidangannya lebih indah
dari yang kubayangkan, dan aku dibuat terkejut saat melihatnya.
Makan siang hari ini terlihat
seimbang. Mungkin karena ada sekat silang dan lauk pauk yang dikemas di
dalamnya. Menu standar seperti ayam goreng, telur gulung, dan sosis gurita
diimbangi dengan tomat mini serta brokoli yang bertugas mewarnai hidangan.
“Makasih banyak ya, Luna...”
Saat aku berterima kasih padanya
dengan penuh emosi, Luna tersenyum bahagia.
“Uwaahh, syukurlah! Aku
berhasil melakukannya dengan menu seimbang!”
Sepertinya dia mengkhawatirkan
itu juga.
“Kali ini, Obaa-chan
mengajariku bagaimana cara membuatnya, dan aku sering berlatih.”
“Jadi begitu rupanya ... Terima
kasih buat kerja kerasnya.”
Tak
disangka-sangka kalau gadis secantik Shirakawa Luna sampai berbuat sejauh itu
demi diriku yang culun ini …… Aku merasa terharu saat mengingat
kembali saat-saat sebelum kami mulai berpacaran.
“Tapi cuma sosis gurita aja
yang jelek. Coba lihat ini.”
“Hmm?”
“Lihat, bukannya ini mirip
kayak alien?”
Ketika aku melihat sosis gurita
yang ditunnjuk Luna, mereka semua memang terlihat lonjong dengan kaki tidak
terbuka.
“Maafkan aku, ini jelek banget
iya ‘kan...”
Aku tersenyum lembut untuk menunjukkan
sikap kejantananku kepada Luna, yang mengambil salah satu gurita dengan wajah
sedih dan menunjukkannya kepadaku.
“... Ki-Kira-kira apa karena
guritanya punya kaki panjang? Aku yakin pasti begitu.”
“Begitu ya. Kurasa aku memotongnya terlalu dalam.”
Luna bergumam dengan bibir
mengerucut, dia lalu mengepalkan kedua tangannya.
“Kupikir aku berhasil membalas
dendam pada masakan makan siangku, tapi ... Cuma sosis gurita saja yang masih
belum, tapi aku akan akan membalaskan dendamku lagi lain kali!”
Lain
kali……!
Dia sepertinya berencana untuk
membuatkan bekal makan siang lagi untukku.
Luna tersenyum padaku saat aku sedang
memikirkan hal itu dan mengunyah kebahagiaanku.
“Hora~ Ryuuto! Ayo cepetan
dimakan!”
“Oh, maaf. Aku cuma sedikit terkesan
...”
“Tapi aku tidak yakin apa lain
kali rasanya bakalan enak atau enggak! Jangan menaikkan kesulitannya, dong~ !”
“Jangan khawatir. Kalaupun
rasanya enggak enak, aku tinggal menahan napas dan memakan semuanya.”
“Lah, udah ditebak bakalan
enggak enak!?”
“Bu-Bukan begitu maksudku!”
Sembari tertawa dan berbicara
satu sama lain, kami mulai menyantap makan siang kami.
Bekal makan siang buatan Luna
sangat lezat seperti kelihatannya, dan aku tidak perlu menahan napas untuk
memakannya.
“... Ya, rasanya sangat lezat!”
“Benarkah? Horee~!”
Jadi kami melanjutkan makan siang
bersama, dan pada saat aku sedang memakan Onigiri yang kedua, Luna tiba-tiba
menatap wajahku.
“... Ah, Ryuuto.”
“Eh, iya? Apa?”
“Ada rumput laut yang nempel
tuh~!”
Luna mengulurkan tangannya ke
wajahku sambil tertawa.
“Eh, ehhh...!?”
“Lihat nih~!”
Aku sangat terkejut saat dia
menyentuh bibirku. Luna kemudian mengambil potongan rumput laut yang menempel dan
menunjukkannya padaku, dia lalu membawa ujung jarinya ke mulutnya dan
memakannya.
“Ehehe~”
Wajahku mulai memanas saat
melihat Luna menertawakanku dengan ekspresi yang mirip seperti anak kecil
sehabis berbuat jahil.
“... Shi-Shirakawa-san!”
Di bawah langit musim gugur
yang cerah, Luna tersenyum ceria padaku saat aku berteriak padanya dengan wajah
tersipu, tanpa memedulikan tatapan mata teman sekelas kami.
“Terima kasih buat makanannya!”
◇◇◇◇
Luna juga sangat aktif pada
pertandingan sore hari.
Dia menempati posisi pertama
dalam lomba halang rintang, dan dalam lomba kavaleri wanita, Yamana-san
berhasil merebut banyak pita pada penunggang kuda yang menjadi lawannya.
Kemudian tibalah saatnya untuk
lomba meminjam barang.
Seperti biasa, Luna berlari
dari lintasan lurus dengan kecepatan tinggi, dan menjadi orang pertama yang
mengambil kartu subjek pinjaman.
“…………!”
Pipi Luna tampak merah merona
saat dia membaca kartu itu.
Kira-kira
apa yang menjadi subjek pinjamannya?
Saat aku melihatnya sembari
memikirkan itu, aku merasa kalau tatapan mataku bertemu dengan tatapan mata Luna, yang mendongak dan melihat
sekelilingnya. Kemudan tak disangka-sangka, dia melintasi lintasan lomba dan
langsung berlari ke sini.
Sepertinya itu bukan imajinasiku
saja saat tatapan mata kami bertemu, dan dia berteriak padaku saat mendekat.
“Ryuuto! Ayo ikut denganku!”
H-Hah,
aku!?
Dengan wajah kebingungan, aku
bangkit dari tempat dudukku dan berlari menuju lintasan lomba.
Begitu sampai di sana, Luna
langsung meraih tanganku dan kami mulai berlari bersama.
Kami kembali ke lintasan lomba
dan menuju ke garis finish dari posisi tema pinjaman.
Beberapa siswa tampaknya dapat
memperoleh tema pinjaman mereka dari dekat, dan ketiga gadis, termasuk Luna,
berangkat pada waktu yang hampir bersamaan dengan pandangan mereka tertuju pada
garis finish. Dari ketiganya, Luna sedikit terlambat.
“Ayo berlari sekuat tenaga!”
Luna berkata begitu seraya berpegangan tangan denganku.
“Ya……!”
Kami terus berlari sambil
bergandengan tangan.
Tampaknya, subjek pinjaman dari
peserta lain adalah “Kepala sekolah”, jadi kami pertama kali melewati murid
yang berlari bersama Kepala sekolah yang sudah lanjut usia.
Sisanya tinggal murid yang
berlari beberapa meter di depan kami sambil memegang ikat kepala merah. Jika
kami berhasil melewatinya, kami bisa menjadi pemenang yang menduduki peringkat
pertama.
Luna yang serius bisa berlari
dengan sangat cepat.
Aku berpikir bahwa tak peduli
seberapa cepat dirinya, dia masih seorang gadis, tetapi jika aku melambat
sedikit saja, dia akan mendahuluiku.
Aku merasakan keinginan yang
kuat kalau aku tidak ingin tertinggal.
Tehadap seorang gadis yang
mirip seperti mobil sport.
Buat dirinya yang sudah menjadi
dewasa lebih cepat dariku.
Aku
ingin berlari bersamamu, bahkan di masa depan nanti.
Aku
ingin terus berlari.
Aku
takkan pernah melepaskan tangan ini.
Pastinya
……!
Dengan mengemban perasaan itu,
aku terus menggerakkan kakiku dengan putus asa.
“Bertahanlah, tinggal sedikit
lagi!!”
Aku bisa mendengar teman
sekelasku bersorak dari kursi mereka.
“Luna!!!”
“Kashima-kun!!”
Bahkan teman sekelas yang belum
pernah kuajak bicara meneriaki namaku. Aku merasa kalau semua orang mendukung
kami.
Ayo,
ayo, ayo berjuanglah!
Tinggal
sedikit lagi, tinggal sedikit lagi.
Aku
yakin pasti ada masa depan yang bahagia menanti kita setelah mengatasi
ketidaksabaran, rasa bersalah, dan yang lainnya.
Oleh
karena itu…..
““““ Berjuanglah!!!””””
Diiringi sorakan yang sangat
keras, aku dan Luna berhasil melewati peserta lain yang ada di depan kami.
Dan kemudian kami memotong pita
garis finish.
◇◇◇◇
“Haaa…. Haa ... kita berhasil,
Ryuuto.”
Kami berdua melepas gandengan
tangan dan meletakkan tangan di lutut masing-masing karena ngos-ngosan, Luna
lalu mendongak dan tersenyum padaku. Desahan nafas kecil dan kasarnya itu
terlihat sangat seksi.
“... Benar ... Selamat buat
kemenanganmu... Shi-Shirakawa-san.”
Aku masih terengah-engah dan
tidak bisa mengatur napasku. Aku merasa seperti aku berlari lebih serius
daripada lomba lari yang kuikuti di pagi hari.
“Ehehehe... ini adalah
kemenangan kita berdua!”
Dan Luna menunjukkan senyuman
yang manis.
“Aku merasa senang bisa berlari
bersama Ryuuto ...”
Tema peminjaman Luna adalah “Seseorang yang kamu sukai”. Ketika itu
dibacakan setelah garis finish, suara sorakan dan siulan “Hyu~ hyu~” bergema di seluruh lapangan.
Bahkan sekarang, aku masih bisa
merasakan orang-orang di sekitarku menyeringai padaku. Sepertinya wajahku panas
dan jantungku berdebar kencang, dan itu bukan cuma karena aku berlari secepat
yang kubisa.
“...... tapi 'seseorang yang kamu sukai' tidak harus
dalam artian romantis, ‘kan? Yamana-san,
atau bahkan Tanikita-san bisa jadi pilihan juga.”
Tanikita-san sedang berada di
lintasan lomba sebagai bagian tim pemandu sorak, jadi dia akan kembali ke
lapangan lebih cepat daripada daripada membawaku ke lapangan. Jika dia
melakukan itu, dia pasti akan memenangkan tempat pertama dengan mudah.
“Eh...? Oh iya, benar juga,
ya.”
Ekspresi Luna tampak kaget,
seolah-olah dia baru diberitahu sesuatu yang tidak dia pikirkan.
“Tapi begitu aku melihat kata 'seseorang yang kamu sukai', wajah Ryuuto
langsung muncul di benakku ...”
Luna menatapku dengan pipi yang
merah merona.
“Lebih dari keluargaku maupun
teman-temanku ... Ryuuto adalah orang pertama yang muncul dipikiranku, tau.”
“... Shirakawa-san ...”
Perasaan hangat mengalir ke dalam
hatiku dan memenuhi dadaku.
“... Nee, Ryuuto”
Keudian, Luna, yang sudah
mengatur napasnya dengan baik, melepaskan tangannya dari lututnya dan melangkah
lebih dekat ke arahku.
“Ayo lakukan yang terbaik juga
di panitia pamflet, ya.”
“Ahh, ya ...”
Aku membuka mulutku ketika
melihat sedikit kegelisahan di dalam ekspresinya.
“Aku benar-benar minta maaf
tentang kejadian perpustakaan tempo hari. ...... Lain kali, kalau aku bertemu
dengan Kurose-san atau gadis mana pun, aku akan langsung menghubungim .......”
Ketika aku mengatakan itu, Luna
menggelengkan kepalanya sembari berkata “Tidak usah”.
“Kamu tidak perlu berbuat
sejauh itu, kok .... Karena aku percaya pada Ryuuto.”
Usai mengatakan kalimat itu, Luna lalu meraih
tanganku.
“ …...!”
Sambil mengkhawatirkan tatapan
orang di sekitarku, aku
dengan malu-malu menggenggam kembali tangannya yang lembut.
Kami
berdua akan baik-baik saja.
Karena
kami sangat mencintai satu sama lain.
Aku meyakini itu dengan kuat
dan tegas.
◇◇◇◇
Setelah itu, acara pertandingan
festival olahraga berjalan dengan lancar, dan akhirnya giliran pertandingan
final yaitu lomba estafet antar kelas.
Ini adalah kompetisi di mana
satu perwakilan pria dan satu wanita dari masing-masing kelas bersaing
memperebutkan posisi juara dengan angkatan lainnya. Siswa kelas satu jarang sekali
menang, tapi tampaknya anak kelas dua sering menang dalam beberapa tahun
terakhir, antara lain karena murid-murid kelas tiga kurang fit secara fisik karena
harus belajar demi ujian masuk perguruan tinggi.
Luna masih terpilih sebagai
perwakilan kelas kami di pertandingan ini. Sangat disayangkan bahwa dia tidak
masuk ke dalam klub atletik.
Aku memperhatikannya dari kursi
kelas dengan penuh kasih sayang saat dia melakukan pemanasan dengan memutar-mutar
pergelangan tangan dan kakinya di garis tunggu dekat zona tongkat estafet.
Keren
sekali.
Dia
tadi terlihat sangat imut, tapi sekarang dia terlihat keren.
Sungguh,
dia adalah pacar yang sangat kubanggakan, rasa-rasanya dia terlalu bagus untuk
jadi pacarku.
Aku mengaguminya dengan
pemikiran ini di benakku saat menunggu kompetisi dimulai.
“Hei, lihat deh yang di sebelah
sana, apa jangan-jangan dia itu ibunya Luna?”
“Bener banget!? Aku juga
berpikir begitu! Mereka kelihatan mirip banget, ‘kan~!”
Percakapan di antara
gadis-gadis di dekatku membuatku terkejut “Eh!?”
dan ikut menoleh untuk mengikuti garis pandang mereka.
Gadis-gadis itu melihat bagian
kursi orang tua atau wali yang berdekatan dengan kursi kelas. Aku melihat dari
dekat ke bagian itu juga dan terkesiap.
Mungkin siapa saja yang
mengenal Luna akan mengira kalau dia adalah kerabatnya. Seorang wanita yang
sangat mirip dengan Luna sedang berdiri melihat ke arah lintasan perlombaan.
Dia mempunyai rambut panjang
kecokelatan, warna yang lebih lembut daripada Luna, dengan sanggul kasar, dan
memakai anting-anting bercincin besar yang berayun. Luna memiliki kakak
perempuan yang sedikit lebih tua darinya, tapi wanita yang berdiri di bagian
kursi orang tua itu terlihat seperti berusia sekitar 40 tahunan, jadi aku yakin
kalau dia adalah ibunya.
Mungkin karena dia baru saja
tiba, jadi dia berdiri di belakang orang-orang yang duduk di terpal biru di
kursi bagian orang tua atau pengunjung umum, dan melihat lomba lari estafet
sendirian.
Ini
baru pertama kalinya aku melihat ibu Luna…… Saat berpikiran
begitu, aku langsung tersadar.
Ibunya Luna. Dengan kata lain ...
beliau adalah ibu mereka yang tinggal bersama Kurose-san.
“Hei, hei, ayo ke sana buat
menyapanya yuk!”
“Iya, ayo!”
Gadis-gadis tersebut lalu pergi
berkelompok dan menuju ke bagian kursi khusus orang tua atau wali murid.
“Permisi~~!”
“Tante tuh ibunya Luna, iya
‘kan!?”
Gadis-gadis itu berbicara
kepada wanita itu dengan suara ceria dan riang sehingga seseorang tidak perlu
menajamkan telinga untuk mendengarnya.
Wanita itu kemudian berbalik.
Aku dibuat terkejut saat matanya bertemu denganku, tapi dia melihat gadis-gadis
yang berbicara dengannya.
“Ya, itu benar~? Dan juga Mari
...”
Gadis-gadis itu melompat
kegirangan, menyela kata-kata wanita itu yang menjawab sambil tersenyum.
“Kya~~! Tuh ‘kan bener!”
“Tante sangat cantik sekali!”
“Penyihir cantik!”
“Tidak, panggilan penyihir
cantik itu sangat kasar, tau!”
“Serius!? Maaf! Tapi Tante
benar-benar cantik banget, deh!”
“Apa Luna akan seperti ini saat
dewasa nanti!?”
“Enak banget ~ bisa jadi wanita
cantik selamanya, dong!”
Ibu Luna melihat dengan senyum
masam pada gadis-gadis yang bersemangat.
“Ah, sudah dimulai!”
Kemudian salah satu gadis melihat
apa yang terjadi di lintasan lomba dan berteriak. Pada saat yang sama, bunyi
tembakan pistol sebagai penanda bisa terdengar, dan para peserta pertama lomba
estafet mulai berlari.
Karena Luna adalah pelari
kedua, dia berdiri di sisi berlawanan dari titik awal ... jadi dia berdiri di
zona menerima tongkat estafet dekat dengan bagian tempat kami berada.
“Luna, semangat~~!”
Gadis-gadis itu berteriak dan
Luna membalas dengan melambaikan tangannya ke arah mereka.
Kemudian dia tampak
terperangah. Dia pasti sudah menemukan keberadaan ibunya.
“Luna~! Ibumu juga sedang
mendukungmu, loh~~!”
“Berjuanglah~!”
Saat gadis-gadis itu berteriak
dengan penuh semangat, ibu Luna juga melambai kepada putrinya.
“Luna, lakukan yang terbaik~!”
Ketika melihat hal itu, wajah Luna
langsung berseri-seri.
“Ya, aku akan melakukan yang
terbaik!”
Kemudian pelari pertama datang
berlari, Luna lalu menerima tongkat estafet dan mulai berlari.
“Luna!!”
Ibu Luna bersorak untuk Luna.
Kemudian dia tiba-tiba mengalihkan pandangannya dan melambaikan tangannya ke
bagian lain dalam lapangan.
Di sana ada Kurose-san yang
jadi regu pemandu sorak. Dia mengibarkan bendera besar kepada para siswa yang
berlari di lintasan dengan membelakangi kami.
“Maria juga, lakukan yang
terbaik~!”
Ketika mendengar hal itu,
gadis-gadis yang masih berdiri di sampingnya tampak terkejut.
“ 'Maria' yang tante maksud itu... Kurose-san?”
“Apa Tante mengenal
Kurose-san?”
“Ehh......?”
Ibu Luna menatap gadis-gadis
itu dengan bingung, tapi sepertinya dia bisa menyadari sesuatu.
“... Hmm ya, sedikit.”
Dan kemudian, dia tidak pernah
bersorak lagi untuk menyemangati Kurose-san.
“…………”
Punggung kecil yang mengibarkan
bendera besar tampak lebih rapuh dari sebelumnya.
Mungkin berkat sorakan ibunya,
Luna berhasil mendahului anak kelas 3 tiga dan menyerahkan tongkat estafet
kepada pelari berikutnya di tempat pertama.
Setelah itu, tim kelas dua
sempat tertinggal, tapi pelari terakhir berhasil menebus kesalahan pelari
sebelumnya dan lomba lari estafet antar
kelas tahun ini berakhir dengan kemenangan anak kelas dua.
“Mama!”
Setelah para peserta lomba
bubar dari lapangan, Luna langsung mendatangi ibunya.
“Aku tidak tahu kalau Mama
bakalan datang!?”
“Ya. Aku bisa istirahat di sore
hari, jadi aku menyaksikan dari pertarungan kavaleri. Kamu luar biasa sekali,
Luna.”
Saat mengatakan itu, ibunya
meletakkan tangannya di kepala Luna.
“Hebat, hebat~”
Dia membelai kepalanya dengan
gerakan melingkar dengan telapak tangannya, lalu mengelus di sekitar pipi Luna dengan
kedua tangan dan tersenyum padanya. Pipi Luna sedikit merah merona dan
tersenyum bahagia atas belaian yang membuatnya terlihat seperti anak kecil.
“Ehehe~”
Lalu, tiba-tiba, dia menatap ke
arahku.
“Nee, Mama. Ada seseorang yang
ingin kuperkenalkan padamu...”
Setelah mengatakan itu, Luna
memberi isyarat kepadaku.
“Ryuuto! Ayo kemari!”
“...!”
Sekarang
waktunya!
Aku tahu kalau aku harus pergi
menyapa juga, tapi semuanya terlalu mendadak dan membuat jantungku berdegup
kencang.
Saat aku menuju ke arah mereka
dengan langkah kaki yang gemetaran, Luna melihatku dan ibunya dengan gembira
secara bergantian.
“Ia adalah pacarku,
Kashima Ryuuto-kun.”
“Mama tahu, kok. Mama juga
menonton lomba meminjam barang tadi.”
Ibunya Luna tertawa malu-malu
dan berkata dengan suara keras seolah-olah ingin menyembunyikan ras malunya.
“Masih muda memang menyenangkan
ya. Mama yang menonton justru merasa malu saat melihatnya.”
Karena aku tidak tahu bagaimana
cara buat menanggapinya, jadi aku cuma bisa menggaruk kepala dan tertunduk malu.
Melihat reaksiku yang seperti
itu, Ibu Luna lalu kembali tersenyum lembut.
“Meski dia orang yang begitu,
tapi mohon jaga baik-baik putriku.”
Itu adalah senyuman dengan
pesona misterius yang mampu menghangatkan hatiku. Hal tersebut mengingatkanku
pada Mao-san yang sudah merawatku di rumah pantai selama liburan musim panas
kemarin.
“... Tidak, ah, i-iya ...
Sa-Saya akan menjaganya dengan baik ...!”
Melihatku menjawab dengan gugup
dan terbata-bata, Ibu Luna tersenyum menawan.
Aku berpikir bahwa kehangatan
bak mentari dan keramahan Luna pasti berasal dari ibunya.
Pada saat itu, siswa dari regu
pemandu sorak melewati kami.
“Nee, Luna…”
Ketika melihat gerombolan itu,
ibu Luna menurunkan suaranya.
“Hmm? Ada apa?”
Tapi kemudian dia menggelengkan
kepalanya, mungkin berpikir dua kali setelah melihat sekelilingnya.
“... Tidak, bukan apa-apa.”
“Eh, apa? Aku jadi penasaran,
‘kan!”
Luna tertawa dengan suara
manis.
Namun, pada saat itu, aku
melihatnya.
Aku melihat Kurose-san, yang
berada di antara kerumunan regu pemandu bersorak, tampak seperti akan menangis.
Kemudian, aku melihatnya diam-diam meninggalkan kerumunan teman-temannya dan
pergi menuju gedung sekolah sendirian.
“…………”
Baik Luna dan ibunya takkan
bisa melihatnya dari sudut pandang mereka.
Cuma aku saja yang melihatnya.
Begitu sudah melihatnya, aku
tidak bisa membiarkannya begitu saja.
“Luna~! Ayo pergi ke upacara
penutupan!”
Setelah dipanggil temannya,
Luna pergi dan aku pun pamit menjauhkan diri dari Ibunya Luna.
Kemudian, aku menuju ke gedung
sekolah.
◇◇◇◇
Kurose-san tidak ada di ruang
kelas.
Kira-kira dia pergi ke mana ya ... dan hal pertama yang terlintas
dalam pikiranku adalah tangga menuju atap.
Di sanalah dia melarikan diri
setelah bertengkar denganku di kelas, yang sebelumnya menyebarkan desas-desus
buruk tentang Luna.
Dia juga tidak ada di sana, tapi
pintu menuju atap terbuka. Biasanya pintu itu terkunci, tapi hari ini mungkin terbuka
karena fotografer sekolah perlu mendokumentasikan kegiatan festival olahraga
dari atas.
Seperti yang sudah kuduga,
Kurose-san sedang berada di atap.
Aku mendekati Kurose-san yang
berdiri membelakangiku, dan sedang berpegangan pada pagar yang tingginya dua
kali lipat dari tingginya.
“... Apa kamu tidak memberi
tahu ibumu? Kalau kamu tidak memberi tahu semua orang tentang hubunganmu dengan
Shirakawa-san.”
Begitu mendengar kata-kataku,
Kurose-san berbalik dengan terkejut. Tatapan matanya terlihat merah dan basah.
“...Mana mungkin aku bisa
memberitahunya. Berkat perbuatan konyolku sendiri, aku tidak bisa mengungkapkan
kalau kami berdua itu saudara kandung, itu sangat memalukan.”
Dia lalu bergumam dengan wajah
cemberut.
“... Meskipun dia itu ibuku.”
Suaranya bergetar tak berdaya.
“Aku memberinya lembar
pemberitahuan dan bertanya apakah dia bisa datang ... padahal dia adalah ibuku
yang harusnya datang untuk mendukungku.”
Ketika mendengar cerita
sebelumnya, aku berpikir kalau Kurose-san memiliki dendam terhadap ibunya yang
memutuskan untuk menceraikan ayah tercintanya.
Tapi ternyata dia sangat
menyayangi Ibunya, ya. Sedemikian rupa sehingga berakhir seperti ini.
“... Ibu kalian berdua. Baik Kurose-san
dan Shirakawa-san.... jika ditambah kakak perempuanmu yang lain, maka Ibu
kalian bertiga.”
Namun, dia sepertinya tidak
mendengarkan kata-kataku, dan menundukkan kepalanya.
“Padahal Luna sudah memiliki
segalanya. Ayah, teman-teman, dan bahkan pacar ... tapi, dia masih tetap
merebut ibu dariku.”
“Hal seperti itu……”
“Kenapa kamu datang ke sini,
Kashima-kun?”
Buliran air mata tumpah dari
mata merah Kurose-san saat mendongak ke arahku.
“Ah, eh, umm... karena aku
melihat Kurose-san pergi ke gedung sekolah...”
Wajah Kurose-san berubah muram
dan terguncang karena merasakan air mata mengalir di wajahnya.
“Tinggalkan aku sendiri. Aku
sudah pernah bilang sebelumnya kalau aku tidak membutuhkan kata-kata menghibur
dari pacar Luna.”
“Tapi ...”
“Cepat menyingkir dari
hadapanku. Lagipula, kamu tidak terlalu peduli padaku, ‘kan?”
Tatapan Kurose-san tampak lurus
memandang mataku.
“Mana mungkin aku tidak
peduli.”
Saat mendengar ucapanku, tatapan
mata Kurose-san sedikit goyah.
“... Karena aku adik
perempuannya Luna?”
“... Ada juga yang itu... tapi karena
kita adalah rekan.”
“Di panitia pamflet?”
“I-Iya.”
Entah kenapa aku jadi tidak
sabaran.
“Selain itu, sebagai teman
sekelas...”
“Aku masih suka.”
Aku terdiam mendengar suara
Kurose-san, yang terdengar seperti tamparan keras di wajahku.
“Aku masih menyukaimu,
Kashima-kun. Jadi jangan biarkan aku menyukaimu lagi.”
Kurose-san menangis dengan
ekspresi sedih sekaligus marah di wajahnya.
“...Kamu akan merasa bermasalah,
‘kan? Karena itu, tolong pergilah dari sini sekarang.”
Melihatku tidak bisa berkata
apa-apa, Kurose-san tersenyum mengejek padaku.
Tetap saja, aku tidak bisa
memaksa diriku untuk pergi. Aku tidak tega meninggalkannya dalam keadaan
tersakiti seperti ini….
Karena aku merasa seperti
mengenal jati diri Kurose-san yang sebenarnya meskipun dia bersikap sok kuat.
Sebenarnya, dia adalah seorang
gadis yang pantas disukai oleh semua orang. Sama seperti Luna.
Aku merasa kasihan padanya yang
diasingkan sendirian karena kesalahan kecil.
Seberapa besar rasa kesepian
yang akan dia rasakan jika aku pergi dari tempat ini sekarang? Sebagai teman
sekelasnya dan secara pribadi ... Aku merasa tidak bisa melakukan itu.
Melihatku tidak mau beranjak
dari tempatku berdiri, air mata kembali mengalir di sudut mata Kurose-san.
“Jika kamu tidak segera pergi,
aku ... takkan menyerah pada Kashima-kun.”
Dia lalu mengatakannya dengan
nada marah.
“Apa kamu tidak keberatan
dengan itu!?”
“…………”
Aku tidak bisa menjawabnya.
Aku tidak berniat ingin mencoba
menarik perhatinnya.
Aku tidak berniat begitu,
tapi... Aku bahkan tidak bisa meninggalkannya.
“Kumohon tinggalkan aku sendiri
...”
Ekspresi Kurose-san tak bisa
membendung lagi emosinya. Aku berlari mendekatinya saat dia menangis di tempat.
“Kurose-san...!”
Karena aku memakai baju seragam
olahraga, jadi aku tidak membawa sapu tangan atau tisu.
Sesuatu
yang bisa menyeka air matanya ... Mana mungkin aku membuka baju olahragaku dan
memberikan itu padanya sekarang, iya ‘kan? Pikirku sambil
meraba-raba seluruh badanku.
“... Fufuu.”
Ketika aku memalingkan wajah ke
arah suara tawa yang kudengar dan melihat Kurose-san sedang tertawa di depanku.
Sejumlah helai rambut hitamnya
menempel di wajahnya yang berlinang air mata. Meski demikian, dia tetap gadis
yang sangat cantik.
“... Kashima-kun, kamu terlalu
baik.”
Pipinya tampak merah merona dan
dia tersenyum lembut.
Aku terperangah melihat
ekspresinya seperti itu.
“Umm, Kurose-san, aku...!”
—
Jika kamu tidak segera pergi, aku ... takkan menyerah pada Kashima-kun. Apa
kamu tidak keberatan dengan itu!?
Padahal sudah diberitahu sampai
sejauh itu, tapi aku tetap masih di sini.
Aku
minta maaf jika aku memberimu harapan palsu.
Aku
tidak punya niatan untuk putus dengan Luna.
Tapi, ketika aku kebingungan
harus berkata apa, Kurose-san menunjukkan senyum mencela dirinya sendiri lagi.
“... Aku tahu bagaimana
perasaan Kashima-kun. Jangan menolakku lagi dan lagi.”
Ada sedikit nuansa melankolis
dalam ekspresinya.
Saat aku berpikiran begitu,
ekspresi Kurose-san tiba-tiba berubah serius.
“Ini cuma masalah perasaanku
saja.”
Seolah-olah menyatakan sesuatu,
dia mengatakannya dengan jelas.
“Siapa yang aku cintai dan
orang yang kucintai ... semuanya itu adalah keputusanku sendiri. Hatiku bebas
untuk memilihnya, ‘kan?”
Dia kemudian tersenyum padaku
saat mengatakan itu.
“Aku hanya secara sepihak
menyukaimu.”
Itu adalah senyum yang terasa
mulia layaknya bunga yang bermartabat.
“... Hanya itu saja.”
Mata Kurose-san tidak lagi
basah saat dia memegang lututnya dan bergumam.
Dia menatap langit biru dengan
rambut hitamnya yang masih menempel di wajahnya, penampilannya yang sekarang
terlihat jauh lebih cantik daripada ketika aku pernah jatuh cinta padanya.
◇◇◇◇
Setelah festival olahraga
selesai, suasana sekolah langsung jadi bersemangat untuk menyambut festival
budaya.
Katika persiapan lain mendekati
tahap akhir, sudah saatnya bagi kami untuk membuat keputusan akhir.
“Adapun sampul yang diusulkan,
kami telah membuat dua pola berdasarkan masukan kalian berdua.”
Pada pertemuan antar staf
pamflet di ruang rapat, wanita dari perusahaan percetakan mengeluarkan dua
lembar kertas.
Karena kami amatiran di bidang
produksi buku, jadi kami menyerahkan sepenuhnya kepada orang-orang di
percetakan untuk desain dan aspek lain dari produksi pamflet. Dua sampel dari
dua desain yang diusulkan, “pink dan
berkilauan” dan “monoton dan beradab,”
yang telah disarankan Luna dan Kurose-san sebelumnya, sudah disiapkan di depan
mereka.
“Wahhh, lucunya! Ayo pakai
desain yang ini saja!”
Sampel yang diambil Luna adalah
kertas pink indah dengan tulisan karakter tipografi ramping yang dicetak pada
kertas perak. Ada desain kupu-kupu yang digambar di tepinya, membuatnya sangat
tidak nyaman bagi pria untuk mengambilnya.
“Bukannya itu karena sesuai
dengan selera pribadimu saja? Desain yang ini pasti disukai semua orang.
Ditambah lagi, ini kelihatan modis juga.”
Sampel yang diambil Kurose-san
dicetak dengan kertas berwarna emas pada latar belakang monoton dengan pola putih
seperti marmer yang mewah. Jenis hurufnya juga bergaya Gothic tipis, dan memberikan kesan desain yang canggih.
“Dua-duanya memiliki desain
yang sama-sama menakjubkan, tapi sekarang kalian tidak punya banyak waktu untuk
merasa bimbang lagi. Kalian harus memutuskan hari ini.”
Sensei yang bertanggung jawab
atas pamflet melihat mereka berdua secara bergantian dan berkata begitu.
“Hmmm, kalau aku masih SMA,
desain yang ini jauh lebih imut dan bikin festival lebih seru, ya ‘kan~”
Wanita dari perusahaan percetakan
menunjuk pada sampel yang dipilih Luna.
“Tapi ini bukan sekolah khusus
perempuan. Jika memikirkan bagaimana pamflet ini akan diterima oleh anak
laki-laki dan para orang tua, sudah pasti desain ini yang lebih bagus.”
Sensei memegangi bahu Kurose-san.
Sejauh ini dua lawan dua.
Gawat,
ini benar-benar gawat …….
Ketika aku buru-buru memikirkan
itu, tatapan mata Sensei bertemu dengan mataku.
“Bagaimana menurutmu,
Kashima-kun? Karena kamu mewakili murid laki-laki, jadi kamu harus
mengatakannya dengan jelas.”
Aku benar-benar terpojok...
“... Be-Benar juga...”
Luna dan Kurose-san menatap ke arahku. Mereka berdua terlihat
cemas dan cenderung cemberut.
Betul sekali. Mungkin
pendapatku ini akan menentukan halaman sampul.
“Ummm ...”
Sejujurnya, aku ingin mendukung
desain yang dipilih Kurose.
Tapi, apa aku berani untuk
mengatakan itu?
Bahkan beberapa hari yang lalu,
aku bertemu dengan Luna di depan rumah Kurose-san dalam perjalanan pulang dari
perpustakaan, dan keadaannya menjadi canggung.
“…………”
Sudah kuduga ini percuma saja. Mana
mungkin aku bisa memilih Kurose-san di sini, walaupun ini cuma tentang masalah
sampul.
“... Ka-Karena tema festival
budaya untuk tahun ini adalah [For the
future]... maka, demi masa depan yang terasa cerah ...”
Ra-Rasanya sungguh menyakitkan.
Namun, entah bagaimana aku
harus mengarahkannya untuk memilih sampel halaman yang berwarna pink berkilauan.
Dengan mengingat hal itu, aku
melanjutkan alasanku yang meyakinkan.
“... Sudah cukup, Ryuuto.”
Ujar Luna dengan suara pelan,
dia menatapku dengan ekspresi muram.
“Tolong katakan dengan jujur …...
aku tidak ingin membuat Ryuuto berbohong.”
Aku terkejut ketika mendengar
perkataannya.
——Seingatku,
jika seorang pembohong memasukkan tangannya ke dalam mulut ini, benda ini akan
menggigit tangannya
——Kalau
begitu, Ryuuto bisa aman. Karena Ryuuto adalah 'The Last Man'
Karena aku teringat apa yang
dia katakan padaku di Venus Fort.
“... Jadi, bagaimana
pendapatmu, Kashima-kun?”
Sensei bertanya padaku dengan
wajah curiga. Beliau bukan guru wali kelas kami, jadi mungkin Ia tidak tahu
mengenai hubungan antara aku dan Luna.
“…………”
Suaraku tidak mau keluar dari
tenggorokan.
Hal semacam itu seharusnya
tidak boleh terjadi.
Mana mungkin aku tega memilih
Kurose-san daripada Luna.
Namun…….
Luna menatapku dengan tatapan
penuh harap.
——
Aku tidak ingin membuat Ryuuto berbohong.
Suaranya masih terngiang-ngiang
di dalam telingaku.
“……Aku……”
Kurose-san memalingkan wajahnya
dan menurunkan bahunya.
Aku berusaha untuk tidak
memandangnya sebanyak mungkin dan berkata.
“... Jika aku harus membawanya
di tanganku, aku lebih suka desain yang monoton itu ....”
Untuk sementara, aku tidak
berani melihat wajah siapa pun di tempat itu.
Aku lalu mendengar Luna
menghembuskan napas dengan gusar.
◇◇◇◇
Dalam perjalanan pulang pada hari
itu, aku dan Luna berjalan dari stasiun A menuju kediaman Shirakawa dalam diam.
Cuaca mendung sejak pagi
akhirnya mulai mengguyur pada sore hari. Luna dan aku berjalan dengan payung
masing-masing di tengah hujan lebat layaknya di musim penghujan.
Aku merasa menyesal, kenapa aku
membawa payung segala. Aku merasa seolah-olah jarak di antara aku dan dia, yang
hanya dipisahkan oleh payung, secara langsung mewakili jarak di antara hati
kami.
Sampul pamflet diputuskan
berdasarkan usulan Kurose-san.
Aku tidak berani menatap Luna
secara langsung.
Aku hanya berjalan dalam diam
seraya menatap ujung sepatuku yang memercikkan tetesan air setiap kali aku
menginjak tanah.
“... Belakangan ini, aku sering
memikirkannya.”
Luna mulai mengatakan sesuatu,
jadi aku menoleh ke arahnya, tapi dia justru melihat kakinya, dan bukan ke arahku.
“Ryuuto tuh ... lebih cocok
bersama Maria ketimbang denganku, ‘kan?”
“Kamu ini bicara apa.....”
Luna akhirnya melihat ke arahku
saat aku hendak mengatakan sesuatu.
“Habisnya memang begitu
kenyataannya, ‘kan. Kamu mempunyai selera yang sama di sampul tadi, dan
streaming game? Kamu mempunyai banyak kesamaan dengan Maria ketimbang denganku,
bukan?”
“Aku benar-benar minta maaf
mengenai pemilihan sampul pamflet tadi. Aku juga ingin memilih pilihanmu,
tapi...”
“Sudah kubilang, itu tidak
apa-apa. Aku takkan senang jika kamu berbohong dan lebih memihakku.”
Raut wajah dan nada suara Luna
tidak menunjukkan kemarahan sama sekali. Dia justru terlihat sangat sedih.
“... Pada awalnya, aku berpikir
kalau Ryuuto itu orang yang sangat menarik karena kamu sangat berbeda denganku.”
Dia kemudian menunduk ke bawah.
“Semakin aku menyukaimu, aku
semakin diingatkan kalau kamu adalah tipe orang yang sama sekali berbeda
dariku, dan hal itu membuatku sangat gelisah.”
“Itu ...”
“Aku penasaran apa kamu tidak
masalah berpacaran denganku. Kira-kira apa kita bisa bersama selamanya ......
Aku bertanya-tanya apa kamu akan selalu mencintaiku.”
“Hal seperti itu……”
Bukannya
itu sudah jelas.
Sejak
awal aku sudah tahu kalau kami berdua itu berbeda. Meski begitu, aku tetap
ingin bersamanya.
Namun, tanpa menunggu
kata-kataku, Luna berbicara satu demi satu dengan ekspresi yang rumit.
“Bahkan Ryuuto mungkin mulai
merasa muak. Karena aku adalah gadis gyaru, jadi aku ingin melakukan semua yang
akan dilakukan seorang gadis gyaru. Semua tempat yang ingin aku kunjungi dan
hal yang ingin kulakukan, semua itu tidak menarik buat Ryuuto, bukan?”
“Hal seperti itu ... aku juga
suka minuman tapioca, kok...”
“Cuma sebatas tapioca doang!”
Luna berteriak dengan frustasi.
Kemudian, dia bergumam sambil menghela nafas.
“….. aku yakin.....kalau Maria
juga menyukai tapioca…”
“…………”
Kemudian aku berpikir, ahh begitu ya.
——
Soalnya, selera makanan kita sama, iya ‘kan? Jadi kupikir Maria mungkin akan
menyukainya juga....
Ketika aku mengantar Kurose-san
ke rumahnya dan bertemu dengannya, aku ingat dengan apa yang dikatakan Luna
sambil membawa croffle di tangannya.
Luna mengangguk dan bergumam
padaku yang terdiam.
“... Mungkin Ryuuto jauh lebih
bahagia jika berpacaran dengan Maria.”
“Sudah kubilang, kamu ini
bicara apaan ...”
“Karena kamu dulu pernah
menyukainya, ‘kan? Jika tidak ada aku, kamu mungkin sudah berpacaran dengan
Maria sekarang.”
“Tapi, tidak ada perumpamaan ‘jika’ yang seperti itu.”
Aku membalas perkataan Luna
yang mengangkat alisnya dan memohon padaku.
“Ketimbang membicarakan
kemungkinan semacam itu …… kenyataan yang ada di depan kita jauh lebih penting.”
“Tapi kenyataannya, Maria
selalu bertemu dengan kita! Setiap hari!”
Pada saat itu, Luna membuat
pernyataan yang begitu tegas, tapi dia segera berubah pikiran dan menurunkan
bahunya.
“... Aku bukanlah gadis yang
begitu naif untuk berpura-pura tidak menyadari kalau kalian berdua masih
tertarik satu sama lain dan terus berpacaran dengan Ryuuto......”
Usai mengatakan itu, Luna
menatap ke arahku lagi.
“Pada saat upacara penutupan
festival olahraga, kamu sedang bersama Maria, ‘kan?”
“…………”
Sejenak, aku terkesiap ketika
mendengar ucapannya.
Aku tidak memberitahu Luna
mengenai peristiwa yang terjadi di atap itu. Kurose-san merasa terasing saat
melihat Luna bersikap manja dengan ibunya di depan semua orang. Itulah sebabnya
aku berusaha menghiburnya sebagai tindakan penebusan atas perilaku Luna.
Kupikir
tidak ada orang lain di atap, tapi kira-kira apa ada yang melihat kami berdua
berbicara ... dan ketika berpikir begitu, napasku tercekat ketika
wajah Luna berubah muram.
“... Sudah kuduga, jadi itu
yang terjadi.”
Aku terkejut.
Ternyata dia tidak mendengarnya
dari orang lain, dia hanya berpikir begitu karena kami berdua tidak ada di sana.
“Tidak, itu karena ..... aku
melihat Kurose-san menangis.”
Kalau sudah begini, aku tidak
punya pilihan lain selain menjelaskannya.
“Sepertinya dia merasa kesepian
karena Ibu yang dia panggil, diperlakukan oleh semua orang sebagai ibu Luna
...”
“Aku tahu kok. Karena Ryuuto
memang cowok yang sangat baik.”
Satu-satunya senyum semakin
memudar dari wajah Luna saat dia tersenyum sedikit sedih.
“Sebenarnya aku merasa kasihan
pada Maria, tapi aku juga selalu merasa kesepian, tau. Memangnya salah untuk
dimanjakan oleh ibu yang bisa kutemui sesekali?”
“…………”
Aku tidak bisa menjawabnya.
Ini bukan salah Luna. Tentu saja
itu juga bukan salah ibunya.
Itu semua kesalahan Kurose-san
sendiri karena menyebarkan gosip jelek mengenai Luna dan tidak bisa
mengungkapkan kalau mereka berdua adalah kakak beradik.
Tapi... saat itu, aku tidak
tega membiarkannya menangis sendirian.
Karena aku sudah menyadari rasa
kesepiannya.
“Karena Ryuuto memahami
perasaan orang, jadi kamu tidak tega meninggalkan Maria sendirian, ‘kan.”
Setelah mengatakan ini untuk
menunjukkan pengertian, Luna lalu mengerutkan alisnya.
“Tapi karena sedang berurusan
dengan Maria ... aku tidak bisa mengabaikannya begitu saja.”
Sosoknya yang bergumam begitu
terlihat sangat cantik sampai-sampai aku dibuat terpesona walaupun di saat-saat
seperti ini.
“Karena Ryuuto terlalu baik... jadi
kupikir kalau aku duluan yang harus mengatakannya.”
“Luna, aku ...”
Aku tidak tahu harus berkata
apa atau bagaimana mengatakannya. Karena Luna sama sekali tidak menyalahkanku.
“... Aku takkan menghubungimu
untuk sementara waktu.”
Kata-kata Tsukiai membuatku
tergelitik dengan kesemutan besar di dadaku.
“Aku ingin Ryuuto memikirkannya
... apa kamu masih ingin terus berpacaran denganku atau tidak”
“Tidak, itu sebabnya aku ...!”
Aku
tidak perlu memikirkannya. Luna jauh lebih penting.
Padahal aku berpikiran begitu dan hendak mengatakannya.
Tapi Luna sudah berlari di
tengah hujan tanpa mendengar sedikitpun penjelasan dariku.
“... Luna!”
Aku berusaha mencoba mengejarnya, tetapi kakiku tidak bergerak. Mungkin karena aku tahu kalau aku tidak bisa mengejarnya.
Aku tidak bisa mengejar Luna
yang berlari dengan serius. Rumahnya juga sudah lumayan dekat.
Di tengah guyuran hujan, aku
cuma bisa terdiam dan menatap punggung kecilnya yang semakin menjauh.
Ketika mendengarkan suara pintu
depan kediaman Shirakawa ditutup, aku mulai teringat kalau hari ini adalah hari
jadian kami yang ketiga bulan.