Chapter 77 — Upacara Masuk
Semuanya berawal sekitar
dua tahun yang lalu.
Di dalam gedung olahraga, ratusan
murid berdiri dan berbaris rapi seraya menatap ke depan.
Pidato wakil kepala sekolah
baru saja dimulai, diikuti dengan nyanyian lagu sekolah, yang mana aku sendiri
tidak pernah mendengarnya, dan kemudian pidato kepala sekolah.
Kami berada di tengah-tengah
upacara masuk untuk menyambut siswa baru. Murid-murid di sekitarku tampak
sedikit gugup. Itu karena kami baru saja memasuki sekolah baru.
Gedung sekolah yang baru, teman
sekelas yang baru, dan seragam baru.
Sejauh yang mata memandang, aku
tidak mengenali apa-apa.
Semuanya terasa segar. Aku
menarik napas dalam-dalam.
——Aku
harus memulai dari awal lagi di sini.
Di tempat di mana tidak ada
yang mengenalku, aku harus mengembalikan kehidupan sekolahku.
Semuanya jadi menyimpang sejak aku
memasuki sekolah SMP.
Sebagai reaksi terhadap ujian
masuk sekolah SMP, aku mengalami masa sulit. Aku tidak menaati guru tanpa alasan,
berteman dengan para berandalan, dan berkelahi dengan mereka berulang kali. Aku
mewarnai rambutku menjadi pirang, mengenakan pakaian mencolok, dan menyebabkan
masalah bagi banyak orang.
——Enam
bulan kemudian, semuanya langsung berubah setelah aku menjadi berandalan.
Aku kehilangan seseorang yang aku
sayangi.
Aku takkan membiarkan kejadian
semacam itu terjadi lagi.
Dengan tekad seperti inilah aku
menghadiri upacara masuk sekolah ini.
Kepala sekolah ini berdiri di
atas podium dan melanjutkan pidatonya yang membosankan. Topik pembicaraan
selalu berganti, dan aku bahkan tidak tahu lagi apa yang dia bicarakan. Mungkin
tidak ada murid yang mendengarkan dengan serius.
Aku melihat sekeliling di
sekitarku, menggunakan percakapan panjang sebagai musik latar.
Tidak ada seorang pun yang aku
kenal. Sepertinya tidak ada yang tahu tentang masa laluku.
Ada alasan kenapa aku memilih
sekolah SMA ini. Pertama-tama, sekolah SMP-ku yang dulu menerapkan sistem eskalator
dan mengizinkan muridnya langsung naik ke tingkat SMA, jadi kebanyakan orang
akan memilih untuk tinggal di sekolah tersebut.
Aku akan terlahir kembali di
lingkungan di mana tidak ada yang mengenalku. Aku ingin menghabiskan masa muda
yang layak, berteman, belajar, dan terkadang melakukan hal-hal konyol.
——Dan
demi alasan itulah, tidak ada gunanya jika mereka tahu masa laluku.
Aku menatap penampilan seragamku.
Aku sudah memeriksa penampilanku
berkali-kali sebelum pergi keluar. Dasi di blazer-ku diikat dengan rapi. Aku
menyelipkan kemejaku ke dalam celana dan membungkus sabuk baruku sedikit lebih
ketat. Gaya rambutku cukup normal, dengan rambut hitam pendek. Mungkin kelihatannya
sedikit norak, tapi takkan ada yang mengira kalau aku dulunya adalah seorang
berandalan.
Setelah lebih dari sepuluh
menit pidato kepala sekolah, aku mendengar suara bisik-bisik dari arah
sampingku.
“Pidatonya lama banget.”
Seorang cowok dengan kepala
pelontos sedang berdiri di sana, di belakangnya ada cowok gemuk yang menanggapi.
“Emang, lama banget.”
Si cowok gemuk membalas dengan
nada yang sama. Suaranya agak keras dan mencolok.
Murid yang lain masih tetap
diam. Di sekolah SMA, semakin banyak siswa yang memperhatikan penampilan
mereka. Mereka juga diharapkan untuk bertindak dengan pikiran terbuka. Namun,
tak satu pun dari mereka berdua tampaknya memperhatikan hal-hal semacam itu
sama sekali.
Mungkin itu sebabnya. Aku tidak
bisa menahan diri untuk tidak menatap mereka berdua.
“Ah.”
Cowok yang berkepala pelontos
menyadari tatapanku. Ia segera meletakkan tangannya di depan wajahnya.
“Maaf.”
“Tidak apa-apa…”
Aku tidak bermaksud
menyalahkannya. Itulah yang kumaksud dengan “tidak apa-apa”. Aku bahkan sedikit
tertarik padanya. Meski aku memutuskan untuk menjadi siswa teladan, aku masih
memiliki jiwa pemberontak di dalam diriku.
Cowok dengan kepala pelontos
sedang melihat wajahku. Saat aku penasaran kenapa Ia terus melihat ke arahku,
wajahnya langsung berubah menjadi seringai.
“Kamu juga berpikir kalau pidatonya
lama banget, iya ‘kan?”
Ia berbicara lagi dengan suara
pelan. Aku balas dengan mengangguk.
“Beliau sudah berbicara selama
sekitar sepuluh menit sekarang. Isi pembicaraannya juga semakin ngaco ”
Betul sekali. Aku yakin kalau
Kepala sekolah itu sendiri bahkan tidak tahu apa yang Ia bicarakan. Mulanya Ia
berbicara tentang anak-anaknya sendiri, tapi tanpa disadari, Ia justru
menceritakan bagaimana tim bisbol baru-baru ini mencapai puncak.
“Ya, kurasa begitu. Kurasa aku
mulai mengantuk.”
“Aku ingin pulang lebih awal
hari ini, kau tahu. Karena eFan baru saja dirilis dan aku ingin memainkannya
sepanjang hari.”
Aku pikir itu luar biasa bahwa
Ia bisa begitu terbuka denganku meski ini cuma pertemuan pertama kami.
“Aku percaya kita diizinkan
untuk pulang sebelum siang. Kita cuma mendapat buku pelajaran dan barang-barang
lainnya hari ini. ”
“Enggak perlu mengikuti upacara
masuk segala. Mereka seharusnya tinggal membagikan buku pelajarannya saja, kan?
”
Aku memikirkan hal yang sama
persis. Jika itu diriku di masa SMP, aku mungkin akan bertingkah masa bodo dan
langsung pulang ke rumah. Tentu saja, aku takkan pernah melakukannya lagi.
Oi, Saito” kata cowok gemuk
yang berdiri di belakangnya.
“Ada guru yang menatapmu, tau.”
“Eh, yang bener?”
Baik aku dan cowok berkepala
pelontos di sebelahku dengan cepat berbalik. Pembicaraan kepala sekolah beralih
membahas betapa panasnya musim panas sebelumnya dan apakah krisis pemanasan
global semakin meningkat.
Lalu tiba-tiba, ada sesuatu
yang memukul lenganku. Cowok berkepala pelontos tadi menyikutku sambil tetap
menghadap ke depan.
Ia kemudian berbicara dengan
malu-malu ke arahku.
“Kamu mungkin juga seorang
otaku, ya ‘kan?”
Ia tersenyum cengengesan padaku.
Aku terkejut. Aku tidak
menyangka kalau Ia akan berpikiran seperti itu.
Mungkin pada waktu itu,
ekspresiku tidak dapat dipahami dari sudut pandang orang luar. Faktanya, cowok
berkepala pelontos itu menatapku dengan curiga.
Namun, hal tersebut membuatku bahagia. Aku
yakin kalau aku sedang tersenyum.
Jadi, begitulah percakapan
pertamaku dengan Saito dan Shindo.
Sebelumnya
|| Daftar isi || Selanjutnya