Selingan 4 — Nostalgia
“Ah.”
“Oh.”
Langkah kakiku terhenti saat
melihat seseorang berdiri di depanku. Aku sedang dalam perjalanan pulang di
sore hari. Pria itu berdiri dengan tangan di saku di bundaran bus, di mana
bayang-bayang membentang panjang.
Yamazaki Hiroyoshi. Ia memiliki
rambut merah yang mencolok dan berbadan tinggi. Ia mendongak ke langit dengan
ekspresi termenung di wajahnya, tapi ketika menyadari kehadiranku, Ia mendorong rokok yang
dihisapnya ke asbak.
Ia membuang puntung rokok dan
melangkah ke depan dengan kakinya yang panjang.
“… Lama enggak ketemu.”
Aku belum pernah bertemu dengan
Yamazaki lagi sejak aku bertanya kepadanya tentang berandalan yang mencoba
menyakiti Sayaka. Sudah sekitar satu bulan berlalu sejak peristiwa itu.
“… Astaga, bagaimana bisa kamu merokok
dengan pakaian itu?”
“Hmm?”
Ia mengenakan seragam sekolah, yang
mana Ia gampang dikenali sebagai pelajar SMA. Tidak mengherankan jika dirinya
ditangkap. Kantor polisi berada di sisi lain stasiun kereta api, tetapi ada kemungkinan
besar seseorang akan melihatnya.
“Haha, tidak masalah. Aku
tinggal merokok saja dengan wajah cemberut dan tidak ada yang akan mendekatimu.
”
“Kurasa itulah keuntungan dari
wajah yang menakutkan. Yah, dengan rambut merahmu, mereka takkan mengira kamu
adalah siswa SMA biasa.”
“Itulah yang aku maksud. Mereka
mungkin mengira aku ini seorang cosplayer.”
Bahkan sekarang, aku masih
mengingat kalau Ia dulu bergaul dengan anak nakal lainnya. Namun hari ini,
Yamazaki sendirian. Ia memiliki luka kecil di ujung bibirnya, mungkin karena
dia masih menghabiskan hari-harinya untuk bertarung. Sembari berdiri
berdampingan, aku kagum dengan seberapa tinggi badannya.
“Mau?”
Yamazaki mengeluarkan camilan
asing dari sakunya. Itu tampak seperti beruang bergetah berbentuk piramida
segitiga. Aku entah bagaimana menerimanya, membuka plastiknya, dan
melemparkannya ke dalam mulutku. Rasanya manis dan asam. Sejujurnya, aku tidak
terlalu menyukainya. Ia langsung mendecakkan lidahnya padaku.
“…Kamu terlalu cepat
menunjukkan wajahmu, ya? Jangan khawatir, kamu tidak perlu memakannya lagi.”
“Maaf.”
Memang benar kalau Yamazaki
selalu menyukai makanan manis.
“Aku punya kesempatan untuk
pergi sebentar. Aku pikir iru cemilan langka, jadi aku membelinya.”
Yamazaki memasukkan cemilan itu
ke dalam mulutnya.
“Yah, memang tidak terlihat
seperti sesuatu yang bisa kamu temukan di supermarket biasa atau minimarket
lainnya.”
“Nah, ‘kan?”
Perasaan nostalgia terbersit di
benakku.
Hal yang sama pernah terjadi
padaku saat masih SMP dulu.
Aku mungkin terlalu tegang
tentang Yamazaki. Tidak bergaul dengannya bukan berarti tidak berbicara
dengannya. Yamazaki selalu menjadi pria yang baik. Aku tidak punya masalah
berbicara dengannya seperti ini ketika aku bertemu dengannya sesekali.
“… Apa para berandalan itu
masih sama?”
Yamazaki menjawab sambil
tertawa.
“Kamu ini benar-benar Siscon,
ya? Masalahnya sudah terpecahkan. Mereka takkan terlibat denganmu lagi.”
“… Diam, Bung. Aku cuma sekedar
bertanya saja.”
Sejak peristiwa itu, aku tidak
pernah melihat tampang berandalan itu. Aku telah menghancurkan alasannya untuk
terobsesi denganku, dan aku telah memberinya alasan untuk menjauh dariku. Aku
yakin kalau semuanya baik-baik saja sekarang.
Yamazaki memasukkan cemilan
lagi ke dalam mulutnya.
“Manusia tidak berubah segampang
itu. Para bajingan itu masih takut padaku, dan mereka tampak senang menggertak
yang lemah. Cuma masalah waktu saja sebelum mereka terlibat.”
“Sama seperti di pusat gim?”
“Yah, pusat gim juga. Aku
pernah mendengar kalau mereka juga memalak orang di sekolah dan memburu
kakek-kakek tua di jalan. Aku cuma mendengarnya dari orang lain, jadi aku tidak
tahu seberapa benar kabar tersebut.”
“Jadi begitu.”
…Yamazaki tidak banyak berubah
selama bertahun-tahun, tetapi ada beberapa dari dirinya yang sudah berubah.
Suasana di sekitarnya menjadi lebih
santai dari sebelumnya. Ia bukan tipe orang yang berlarian dengan penuh
semangat, tapi Ia tipe orang yang
gampang kehilangan kesabaran. Sekarang, bagaimanapun, dia hanya mendecakkan
lidahnya.
“Bekas luka itu tidak ada hubungannya
dengan orang-orang itu, kan?”
“Ah? Oh, yang ini?”
Aku cukup penasaran tentang hal
itu dari tadi. Bekas luka di sekitar mulut Yamazaki.
“Memangnya kamu pikir aku bisa
terluka oleh orang-orang itu? Mana mungkinlah.”
“Oh ya?”
“Ini masalah yang sama sekali
berbeda. Ini bukan luka serius dan kamu tidak perlu mengkhawatirkannya.
Bagaimana dengan lukamu?”
“Cederaku juga hampir sembuh.
Yah, masih ada bekas lukanya, sih.”
Masih ada satu perban di
atasnya. Mungkin sudah waktunya untuk melepasnya.
“Dari sudut pandang orang luar,
sepertinya aku sedang memalakmu.”
“Eh?”
Aku melihat sekeliling dan
melihat sosok menatapku dengan prihatin. Aku memang terlihat seperti murid
teladan sekarang. Keadaanku yang sekarang seperti sedang terlibat masalah pria
besar.
Saat aku menatapnya, orang
tersebut langsung berjalan pergi.
Bagaimanapun juga, keberadaan
Yamazaki memang menonjol. Itu sebabnya aku berdiri di dekatnya dan menarik
perhatian.
“Atau mungkin yang itu. Kamu
adalah perwakilan kelas yang membujuk para berandalan. Kita memiliki seragam yang
berbeda, jadi orang takkan mengira kalau kita berada di sekolah yang sama, sih.”
Aku tidak tahu mengapa, tapi
Yamazaki tampaknya dalam suasana hati yang baik. Aku tidak berpikir dia
berpikir bahwa itu hal yang baik karena dirinya semakin jarang berbicara
denganku, tapi mungkin Ia menikmati saat mengolok-olokku.
“Kamu masih seburuk dulu.”
“Apa kamu barusan mengatakan
sesuatu?”
“Tidak.”
Aku menghela nafas. Sudah
waktunya untuk mengakhiri percakapan dan pergi berbelanja. Isi kulkas di rumahku
pasti sudah hampir habis. Akan lebih baik pulang lebih awal karena aku
terlambat membuat makan malam akhir-akhir ini.
“Aku akan pergi sekarang.”
“Ya. Sampai jumpa lagi.”
Yamazaki berjalan melewatiku.
Meski Ia berjalan perlahan, Ia memancarkan rasa intimidasi kepada orang-orang
di sekitarnya. Sudah lama sejak aku melakukan percakapan dengannya, dan aku
juga cukup menikmatinya.
Sebelumnya
|| Daftar isi || Selanjutnya