Otonari no Tenshi-sama Vol.5 Chapter 2 Bahasa Indonesia

Chapter 02 — Dua Sejoli yang Membuat Debut Mereka di Sekolah

 

“Amane-kun, ayo cepetan bangun.”

Terdengar sebuah suara lembut nan merdu yang memanggil namanya.

Mendengar bisikan lembut itu dalam tidurnya, Amane mengerang pelan dan perlahan-lahan mengangkat kelopak matanya yang berat.

Penglihatan Amane masih sedikit buram karena rasa kantuk dan dalam keadaan setengah sadar, lalu penampilan seorang gadis polos yang diterangi oleh cahaya redup dari jendela, memasuki bidang penglihatannya.

Sembari berlutut dan mencondongkan tubuhnya ke depan, gadis itu mengguncang badan Amane. Rambutnya yang berwarna rami menjuntai dan bergoyang.

“Mahiru?”

“Ya, selamat pagi.”

Amane memanggil namanya untuk menegaskan, Ia kemudian mendengar suara yang familiar dan melihatnya mengangguk.

Amane masih dalam keadaan linglung; dirinya tidak sedang bermimpi, dan Mahiru memang hadir di hadapannya. Melihat Mahiru bertindak secara alami, Amane mulai tersadar penuh dan tidak kebingungan lagi.

“…Pagi juga. Kenapa Mahiru bisa ada di sini?”

“Memangnya kamu sudah lupa mengenai apa yang kita diskusikan kemarin, Amane-kun?”

Ketika melihat sedikit kerutan di dahi Mahiru, Amane bergumam “…kemarin…” dan berusaha mengingatnya.

 ……..

“Bisakah kita berangkat sekolah bersama pada hari Senin nanti?” Pada hari Minggu, Mahiru bertanya padanya saat mereka berpisah.

Dia menggenggam tangan Amane dengan erat dan mendongak cemas saat menatap Amane, yang mana hal itu membuat Amane sedikit gelisah.

Alasan Mahiru bertindak seperti itu ialah untuk memastikan apakah Amane masih ingin menyembunyikan hubungan mereka atau tidak.

Mereka tadi sudah mendiskusikannya dan memutuskan untuk mengumumkan hubungan mereka secara publik, tapi Mahiru masih terlihat sedikit khawatir.

“Tentu saja, aku tidak keberatan dengan itu.”

“Benarkah?”

“Buat apa aku berbohong padamu?”

Mendengar jawaban lugas Amane, ekspresi Mahiru yang tadinya terlihat gelisah, sekarang berubah menjadi kegembiraan.

Aku selalu ingin pergi ke sekolah bersamamu” gumaman manis Mahiru membuat detak jantung Amane semakin cepat. Untungnya, Mahiru tidak menyadarinya dan ekspresinya semakin cerah.

“Kalau begitu aku akan mampir ke rumah Amane besok pagi. Dengan begitu, aku juga bisa memasak sarapan untukmu.”

“Wahhh, bisa menikmati sarapan lezat yang dibuat oleh Mahiru di pagi hari, aku benar-benar beruntung.”

“Itu cuma sisa bekal makan siang …apa Amane-kun mau dibuatkan bekal juga?”

 “Jika itu tidak terlalu merepotkanmu …”

Bisa menikmati sarapan yang lezat saja sudah membuatnya sangat beruntung, tapi sekarang Mahiru menawarkan diri untuk membuatkannya bekal juga. Tentu saja Amane takkan menolak tawarannya.

Ekspresi Mahiru juga terlihat senang. Dia tidak perlu mencemaskan orang lain lagi. Amane terlihat sangat bahagia, meski merasa malu dan sedikit gelisah.

(Kami akan pergi ke sekolah bersama besok.)

Sampai sekarang, demi mencegah orang lain mengetahui hubungan mereka, Amane baru akan berangkat sekolah setelah Mahiru.

Namun sekarang, hal tersebut tidak diperlukan lagi.

Amane mungkin akan mendapatkan tatapan penuh iri jika Ia berinteraksi secara terbuka dengan Mahiru di sekolah, jadi dirinya masih sedikit gugup. Namun, hal yang terpenting bagi Amane ialah kebahagiaan Mahiru dan dirinya merasa senang bisa berada di sisinya.

Sembari melihat senyum ceria Mahiru, Amane bergumam, “Aku harus bekerja keras besok.”

……..

 “… Agh?”

Karena Ia baru saja bangun, Amane mengingat kejadian kemarin dan berteriak pelan.

Di tambah lagi, langsung melihat wajah Mahiru di pagi hari tidak baik untuk jantungnya. Bukan karena Amane tidak suka dibangunkan, akan tetapi hal itu tidak baik untuk kewarasannya. Sepertinya Ia harus mempertimbangkan kembali untuk meminta Mahiru membangunkannya.

Mahiru terlihat sedikit tercengang saat melihat penampilan Amane.

Dia bukannya terkejut, tetapi merasa tidak berdaya dan ingin tertawa. Amane yang merasa malu tampak mengerutkan bibirnya.

“Kenapa kamu bisa pelupa gitu... oke, ayo ganti bajumu dan cuci mukamu.”

“Baiklah.”

Mahiru akan menyiapkan sarapan selama waktu tersebut. Amane menahan diri untuk tidak menguap, Ia bangun dari tempat tidur, melepas bajunya, dan mendengar jeritan dari belakang punggungnya.

Amane memakai kembali kemeja tidurnya, membalikkan badannya untuk melihat Mahiru, dan mendapati wajahnya yang terlihat merah merona.

“Su-Sudah kubilang, tolong jangan buka baju di depan mataku!”

Mungkin karena melepas bajunya di depan matanya, Mahiru tampak gemetaran, dan Amane hanya bisa tersenyum kecut.

“Tapi aku ‘kan cowok, jadi aku tidak keberatan kalau dilihat.”

“Ta-Tapi bukan begitu masalahnya .....”

"Bukannya aku ingin menunjukkan badanku padamu, dan aku tidak ingin memaksamu. Tapi jika begini terus, kita takkan bisa berenang bersama di musim panas.”

(Kelihatannya Mahiru tidak terbiasa melihat tubuh laki-laki. Bagaimana caranya dia bisa berhasil bertahan selama pelajaran renang di SMP…)

Amane sedikit penasaran tentang itu, tapi karena Mahiru tidak bisa berenang, jadi dia mungkin menggunakan itu sebagai alasan untuk membolos.

Mahiru mempunyai watak yang serius, jadi sulit dibayangkan kalau dia akan membolos. Dia pernah mengatakan bahwa dia memilih sekolah SMP yang tidak mengharuskan berenang sebagai mata pelajaran pilihan, jadi mungkin memang begitu.

Mereka memang membuat kesepakatan tak tertulis kalau mereka berdua akan pergi mengunjungi kolam renang saat musim panas tiba. Jika Mahiru terlalu peduli tentang itu, Amane juga akan merasa malu. Seringkali ada laki-laki setengah telanjang di dekat kolam renang, jadi Amane merasa penasaran apa dia mampu untuk pergi ke sana.

“Ugh…A-aku akan mencoba…”

Mahiru pasti menyadari hal ini juga. Setelah menjawab dengan suara gemetar, dia dengan hati-hati membuka matanya dan menatap Amane.

Melihat tubuh bagian atas Amane, pipinya memerah lagi dan dengan tatapan berkaca-kaca. Dia tampak gemetaran seraya menggumamkan “uwah”. Sejujurnya, tubuh Amane seharusnya tidak terlalu menarik perhatian.

Supaya tubuhnya tidak terlalu letoy, Amane berusaha olahraga ringan pada hari kerja. Sejak duduk di bangku kelas 2 SMA, Ia juga telah melakukan latihan otot tambahan yang direkomendasikan oleh Kadowaki, supaya bentuk tubuhnya tidak cungkring. Namun, itu masih bukan tubuh yang berotot, dan takkan membuat seseorang berpaling.

Demi menjadi pria yang layak disandingkan Mahiru, Amane tentu saja mulai rajin berolahraga, tetapi itu takkan menunjukkan hasil secara instan.

Tentu saja, dibandingkan ketika mereka pertama kali bertemu, tubuhnya sekarang lebih kuat, dan dirinya sudah sedikit berotot, tapi bukannya berarti tubuhnya yang sekarang mampu membuat orang lain menatapnya dengan kagum.

(Jika dia tidak terbiasa, itu mungkin menjadi masalah…)

Meskipun hubungan mereka pasti akan semakin dalam seiring berjalannya waktu, jika Amane juga melihat tubuh Mahiru, dia juga akan membeku karena malu. Dalam artian tertentu, mereka berdua juga sama-sama orang yang polos.

“Ah… ummm… yah, lebih baik buat sarapan saja…” Amane juga tersipu setelah membayangkan hal seperti itu.

Setelah mendengar ucapannya, Mahiru lalu menggumamkan “Aku pergi sekarang” dan melarikan diri layaknya kelinci.

Melihat punggungnya yang menghilang di balik pintu, Amane membanting kepalanya ke dinding, “Apa sih yang kulakukan pagi-pagi begini?”

 

◇◇◇◇

 

Cermin di kamar mandi memantulkan penampilan wajahnya yang asing.

Amane mengenakan seragam yang sama seperti biasanya, tapi area bagian kepalanya sangat berbeda. Penampilannya sekarang bukanlah hal yang jarang diketahui, karena Amane kadang-kadang menunjukkan penampilan ini kepada Mahiru, meski rasanya masih tidak nyaman karena Ia tidak mengenakan pakaian kasual yang biasa.

Seraya memainkan poninya, Amane menyesuaikannya sehingga tidak lagi menutupi matanya.

Untungnya, cowok tidak membutuhkan riasan, tapi Amane masih belum terbiasa berdandan dengan penampilannya ini.

“Amane-kun…”

Sebuah suara memanggil dari belakangnya.

Dari cermin kamar mandi, Amane bisa melihat Mahiru memanggilnya, karena dia sudah siap. Namun, setelah berbalik, Amane melihat bahwa ekspresi Mahiru terlihat sedikit rumit.

“Apa ada yang salah?”

“... Bukannya kamu tidak menyukai itu?”

“Tidak menyukai? Apanya?”

“Gaya rambut itu.”

“Hah?”

Mahiru sedikit ragu-ragu dan perlahan-lahan mengungkapkan keprihatinannya.

Dari sudut pandang Mahiru, Amane selalu menolak bersekolah dengan gaya rambut seperti itu, jadi Mahiru kelihatannya khawatir kalau orang lain akan membuat keterkaitan antara dirinya dan “pria ganteng itu”.

Amane yang ingin melakukan ini tentu saja tidak membencinya.

Bukan berarti dirinya tidak merasa gelisah, tapi karena Amane sudah memutuskan untuk berdiri di samping Mahiru, setidaknya inilah yang bisa dilakukannya.

Wajah Amane tidak terlalu tampan, tapi Itsuki dan Kadowaki telah meyakinkannya, jadi seharusnya tidak ada masalah besar dengan penampilannya.

Dengan mengenakan gaya rambut ‘mode ikemen’-nya, tidak ada yang akan mengejek Mahiru bahwa dia memiliki selera yang buruk - setidaknya, itulah yang Amane harapkan.

“Aku sama sekali tidak terganggu. Apa kamu membencinya?”

“...Ketimbang membencinya, aku hanya memiliki perasaan yang rumit.”

“Perasaan yang rumit?”

“...Karena, aku mungkin tidak memilikimu untuk diriku sendiri lagi.”

Mahiru menggumamkan kata-kata manis seperti itu dan menyusut. Amane tertawa kecil saat melihat reaksi lucu ini dan mengelus kepalanya sambil berhati-hati agar tidak mengacaukan rambutnya.

“Kamu menginginkanku untuk dirimu sendiri?”

“...Ya.”

Sejujurnya, Amane mengatakan itu sebagai candaan, tapi Mahiru mengangguk dan mencondongkan tubuhnya ke depan.

Amane tidak menyangka Mahiru benar-benar setuju. Meskipun Ia sendiri yang mengatakannya, Amane masih sedikit meringis. Meski begitu, tatapan Mahiru yang mengusap dahinya ke dadanya membuat Amane tersenyum, dan perlahan-lahan melingkarkan tangannya di sekitar Mahiru.

Mahiru bertingkah sangat menggemaskan, jadi wajar saja kalau Amane menyentuhnya tanpa sadar.

Tinggi badan Mahiru sedikit lebih pendek dari Amane, dan wajah Mahiru terkubur di dadanya. Dia mencengkeram baju Amane seolah-olah menyiratkan kalau dia takkan pernah melepaskannya. Mahiru mengangkat kepalanya dan melirik Amane, dengan ekspresi gelisah.

“...Amane-kun, kamu itu mempunyai wajah yang tampan, jadi pasti ada banyak gadis yang akan mendekatimu. Aku  memang merasa senang kalau Amane-kun bisa mendapatkan penilaian yang tepat, tapi...”

“Kesampingkan dulu aku punya wajah yang tampan atau enggaknya, memangnya kamu pikir aku akan jatuh cinta pada gadis lain?”

“Mungkin itu mustahil terjadi, tapi aku masih tetap khawatir ...”

“Jadi, kamu merasa cemburu?”

Perkataan mendadak Amane membuat pipi Mahiru merah merona dalam sekejap. Meski begitu, dia diam-diam cemberut, lalu membenamkan wajahnya di dada Amane lagi.

Dia mungkin merasa sangat malu. Melalui rambutnya yang berwarna rami, Amane dapat melihat bahwa wajahnya memerah sampai ke telinganya.

“Imutnya...”

"...Baka."

“Jangan khawatir, bahkan jika ada seseorang yang mendekatiku, aku takkan tertarik pada siapa pun kecuali kamu.”

Amane takkan menganggap gadis lain sebagai calon pacar, jadi Mahiru tidak perlu merasa cemburu segala. Karena, tentu saja, ada seorang gadis cantik dan menggemaskan yang sangat Ia sayangi di sebelahnya. Jadi mana mungkin bagi Amane untuk berpaling darinya.

Mungkin ini terdengar sangat ekstrem, tapi kecuali untuk orang-orang yang dekat dengannya, Amane tidak peduli dengan siapa pun dan tidak tertarik sama sekali. Oleh karena itu, Amane bahkan takkan melirik orang-orang seperti itu. Tipe orang yang tiba-tiba mendekati seorang pria begitu dirinya menjadi tampan bukanlah seseorang yang ingin dikenal Amane.

“…Aku tahu. Jadi, aku akan menunjukkan kepada semua orang bahwa akulah yang paling menyukai Amane-kun, jadi tidak ada orang lain yang coba-coba mencurimu.”

“Hati-hati… aku tidak ingin orang lain melihat ekspresi imutmu.”

“Kamu selalu saja mengatakan hal ini, Amane-kun!”

Mahiru tiba-tiba menjadi marah. Amane dengan cepat membelai kepalanya dengan panik untuk menghiburnya, tapi Mahiru memukul-mukul dadanya dengan ringan.

“Amane-kun selalu mengatakan hal itu dengan gampanya, kamu seharusnya tidak boleh melakukan itu.”

“Tidak boleh?”

“Itu tidak baik untuk jantungku, tau.”

“Aku bisa mengatakan hal yang sama ... terkadang kamu bertingkah manja, dan hampir membuatku bingung harus berbuat apa.”

Sebaliknya, Mahiru dengan kontak fisiknya, memiliki kekuatan penghancur yang lebih besar.

Entah itu tubuh lembutnya yang membuat seseorang merasa putus asa ketika menyentuhnya, atau aroma wangi yang menyebar dari badannya, maupun senyum memabukkan yang ditampilkan Mahiru membuat jantung Amane berdebar kencang.

Bahkan sekarang, karena kelucuan Mahiru, jantung Amane berdetak lebih cepat dan kencang. Mahiru yang wajahnya masih terkubur di dadanya, seharusnya sudah menyadarinya juga.

"Serangan mendadak lebih merusak."

Setelah bergumam dengan suara pelan, Mahiru menempelkan pipinya ke dada Amane.

“....Tapi, karena jantung Amane juga berdetak kencang, aku akan memaafkanmu hari ini.”

Mahiru tampak senang dengan detak jantung Amane. Dia membisikkan itu sembari mengelus-eluskan kepalanya di dada Amane.

Karena tingkah lakunya yang begitu juga terlihat sangat imut, Amane hampir mengerang keras sembari menggumamkan "tenanglah, tenanglah” dan membelai rambut Mahiru untuk menyembunyikan keinginannya yang perlahan menumpuk di hatinya.

Setelah lima menit, Mahiru selesai mengisi daya cintanya.

Wajah Mahiru memerah san matanya sedikit basah. Melihatnya secara langsung tidak baik untuk jantungnya. tapi karena dia tampak puas, Amane menekan suasana gelisahnya.

“Kalau begitu, ayo berangkat.”

Karena waktunya masih tidak terlalu siang, bahkan jika ada kontak fisik di pagi hari, mereka takkan terlambat. Meski begitu, Amane merasa sudah waktunya untuk pergi, jadi Ia segera memberitahu Mahiru. Dia tersenyum dan setuju. “Ya.” Entah itu karena efek psikologis atau faktor lainnya, tapi Amane merasa kulit Mahiru tampak lebih cerah dari biasanya.

(Pagi-pagi begini aku sudah merasa lelah)

Amane bukannya mengeluh. Justru sebaliknya, Ia merasa sedikit gembira. Karena itu akan menahan kegelisahannya. Jika pada akhir pekan, Ia masih bisa memanjakannya untuk melawan, membuat Mahiru merasa dimanjakan sampai membuatnya tak berdaya, tetapi karena sekarang hari biasa, Ia tidak bisa melakukannya.

Mahiru tampaknya tidak menyadari kelelahan Amane, dan tampak dipenuhi energi.

Pagi-pagi sekali, Amane sudah merasakan kesusahan dan kelelahan di semua aspek, tapi itu tidak mengganggu. Sembari tersenyum masam. Amane mengambil tasnya dan berjalan keluar pintu bersama Mahiru.

Karena ini pertama kalinya Ia pergi bersama Mahiru dalam seragam sekolah mereka, Amane memendam emosi yang luar biasa. Ia mengunci pintu apartemennya, melirik sekilas ke Mahiru, dan mendapati Mahiru tampak sedikit tidak yakin.

Tangan Mahiru dengan takut-takut mencengkeram ujung kemeja Amane.

“…Apa boleh kita berpegangan tangan?”

“Tentu.”

Sepertinya dugaan Amane tepat sasaran. Ia menggumamkan "Dia sangat imut sekali” ke arah Mahiru yang pemalu, dan mencengkeram tangan dengan jari-jarinya yang ramping.

Dia kemudian segera mendongak dan memalingkan pandangannya seraya mengatakan, “Aku tidak bermaksud agar Amane-kun membawa tasku juga”, tetapi Amane berbisik, “Sebagai pacarmu, setidaknya aku harus melakukan ini.” dan Mahiru menutup mulutnya. Dengan bibir mengerucut, tingkah lakunya terlihat sangat imut di mata Amane.

“Aku merasa sangat malu untuk berpegangan tangan secara formal seperti ini.”

Mereka berdua berjalan keluar dari apartemen dan menginjakkan kaki di jalan menuju sekolah. Sejak kencan mereka selama liburan Golden Week, ini adalah pertama kalinya mereka berpegangan tangan di luar, dan Amane merasa gelisah ketika memikirkannya.

Terlebih lagi, Amane bukan hanya pelindung bunga lagi. Jari-jemari yang saling terjalin dengan Mahiru membentuk ikatan yang disebut 'gandengan tangan ala kekasih'. Cara berpegangan tangan ini menunjukkan rasa keintiman yang luar biasa di antara mereka.

Walaupun Amane sudah pernah bergandengan tangan dengan Mahiru beberapa kali sebelumnya, tapi itu masih membuat Amane sedikit gugup.

Amane khawatir apakah Ia mencengkeramnya terlalu erat atau apakah tangannya berkeringat, tapi Ia bisa melihat bahwa Mahiru memiliki senyum yang menyenangkan di wajahnya.

“Meski aku merasa sedikit malu, tapi aku juga sangat senang.”


“Ya.”

“Aku sangat memimpikan bisa pergi ke sekolah bersama Amane-kun seperti ini. Setelah akhirnya bisa mencapai tujuanku, um ... bagaimana bilangnya ya, perasaanku jadi campur aduk ... tapi intinya aku merasa sangat, sangat bahagia.”

Mereka berdua berangkat ke sekolah bersama. Walaupun itu hanya masalah sepele, tapi sepertinya itu adalah keinginan Mahiru yang sudah lama ditunggu-tunggunya karen, ekspresi wajahnya lebih energik dari biasanya.

“Sepertinya banyak kebahagiaan Mahiru yang berkaitan denganku.”

“U-um, it-itu sih karena, um… kebahagiaanku adalah bisa bersama Amane-kun.”

“…Be-Begitu ya?”

Setelah Amane sedikit tergagap, Mahiru tersenyum lembut. Senyum ini sekali lagi membuat Amane sangat menyadari seberapa besar Mahiru menyukainya, meninggalkannya dengan perasaan hangat di dalam dadanya.

Amane mencoba yang terbaik untuk tidak menunjukkan perasaannya di wajahnya, tapi Mahiru bisa melihatnya dan tersenyum lebih lebar ketika dia menyadari rasa malunya.

“Jadi, mulai hari ini, aku akan merasa seperti ini setiap hari… Aku benar-benar orang yang bahagia.”

“Kupikir itu juga berlaku untukku.”

“Kalau begitu kita berdua akan bahagia untuk waktu yang lama.”

“Hidup dengan kedamaian dan ketenangan itu luar biasa.” Mahiru tertawa bahagia, memperpendek jarak antara keduanya. Kali ini, Amane berhati-hati untuk tidak membuatnya kesal dan membalikkan tubuhnya ke samping untuk mencegah lengannya menempel di tubuhnya, dan pada saat yang sama menepuk kepala Mahiru.

Amane sudah terbiasa berpegangan tangan dan berjalan bersama,etapi masih sedikit tidak nyaman untuk menempel terlalu dekat. Tentu saja, kontak intim antara pacarnya dan dirinya sendiri membuat Amane sangat ceria, tetapi tindakan ini mungkin tidak terlihat sama di mata orang lain, apalagi Amane tidak ingin terlihat begitu bersemangat di pagi hari.

Ia dengan hati-hati memendam perasaan itu di dalam hatinya, lalu meremas tangan Mahiru, dan mereka terus berjalan ke sekolah sambil bergandengan tangan.

Karena waktu pagi biasa dipenuhi dengan jam-jam sibuk, jadai ada banyak pelajar dan pekerja kantoran yang berpakaian di sekitar mereka, menunjukkan tatapan lembut yang penuh kasih sayang.

“Rasanya seperti ada banyak orang yang menatap kita.”

Saat jarak menuju sekolah semakin dekat, ada banyak mata yang tertuju ke arah Amane, menyebabkan Ia bergumam lelah.

Pertanyaan orang-orang di depan matanya sangat beragam, ada yang mengamati seperti “Siapa cowok yang bergandengan tangan dengan Shiina?”, sementara yang lain bercampur dengan kecemburuan, iri hati, dan rasa penasaran.

Meskipun Amane sudah menduganya, secara pribadi mengalami tatapan ini masih merupakan cerita yang berbeda.

Untungnya, tidak semua emosi dalam pandangan itu tampak negatif, tapi Amane tidak terbiasa dengan pemandangan seperti itu. Amane telah menjalani kehidupan biasa dan sederhana dengan santai. Oleh karena itu, Ia tidak bisa tenang sama sekali.

“Tentu saja. Itu karena Amane-kun terlihat seperti orang yang sama sekali berbeda.”

Mereka berpegangan tangan dan berjalan dekat satu sama lain untuk menunjukkan bahwa mereka sedang menjalin hubungan; tentu saja, siswa laki-laki lainnya juga akan menyaksikannya.

Hanya saja kesenjangan, atau mungkin perbedaan, antara penampilan Amane selama festival olahraga dan yang sekarang sangat drastis sekali. Meski tidak ada orang yang secara langsung mengajukan pertanyaan kepadanya, Amane bisa melihat bahwa tatapan mereka dipenuhi dengan rasa ingin tahu.

“Memangnya benar-benar ada perbedaan besar?”

“Yah, gaya rambutmu telah berubah, jadi kamu sudah terlihat berbeda, tetapi yang lebih penting, kamu meluruskan punggungmu dan mengubah ekspresi menjadi penuh percaya diri, jadi kesan yang kamu pancarkan terlihat sangat berbeda.”

“Maafkan aku karena biasanya sangat mengecewakan.”

“Tolong jangan katakan itu… lagipula, kamu sudah berubah sekarang, Amane-kun. Aku suka tipemu yang biasa dan tampan, Amane-kun, tapi aku benci ketika kamu meremehkan dirimu sendiri.”

“Aku tidak ingin dicaci, jadi aku akan mengingatnya.”

“Baguslah.”

Mahiru tersenyum puas pada Amane, dan menyandarkan tubuhnya lebih dekat, sementara Amane melihat sekeliling lagi.

Saat ini, pemandangan itu telah bercampur dengan aura pembunuh, membuat Amane hampir membeku. Namun, setelah Mahiru memberi mereka senyuman ala malaikat, tatapan tersebut langsung menghilang.

Kekuatan sang Tenshi yang mampu menghentikan siapa pun memanglah yang terkuat.

Dalam suasana yang relatif damai, Amane merasa kalau tatapan mereka seakan maish bisa menusuknnya, tapi Ia masih memegang tangan Mahiru dan melihat ke depan. Mereka berdua sudah hampir sampai di pintu masuk sekolah. Begitu mereka masuk, pandangan mata yang tertuju pada mereka akan semakin bertambah, menyebabkan Amane merasa sakit perut hanya dengan memikirkannya saja.

“Dengan semua tatapan ini, bagaimana caranya aku memasuki kelas kita nanti?”

“Tolong menyerah saja ... atau apakah kamu membencinya?”

“Aku tidak membencinya, kok. Karena aku sudah memutuskan untuk berubah.”

Sejak Mahiru mengakui perasaannya, Amane tahu kalau dirinya tidak bisa tetap sama seperti sebelumnya.

Amane telah memutuskan untuk tidak mempermalukan dirinya sendiri saat berada di sampingnya. Daripada mengabaikan untuk menghadapi kerja keras, lebih baik bersiap untuk situasi sulit supaya layak disandingkan untuk Mahiru.

Mendengar pernyataan ini, Mahiru menjawab, “…Begitukah?” sambil menggenggam tangannya semakin erat.

“Hah, Mahirun?”

Amane menyadari kalau telinga Mahiru memerah dan hendak berbicara dengannya ketika Ia mendengar suara yang familier dari belakang mereka.

Begitu mendengar nama julukan yang tidak aneh, Amane menoleh dan melihat Chitose berdiri disana sambil mengedipkan matanya berkali-kali.

Dengan ekspresi kaget, Chitose melirik Mahiru, lalu perhatiannya tertuju Amane yang ada di sebelahnya.

Melihat mereka berpegangan tangan, Chitose langsung menyeringai “oohh~”, lalu berjalan ke arah mereka berdua, dan kemudian tiba-tiba menepak punggung Amane.

“Selamat pagi ~ akhirnya kamu berhasil mencapai titik ini ya, bro?”

“Cerewet, lu.”

“Selamat pagi juga untukmu, Mahirun~ Sepertinya semuanya berjalan dengan lancar ya.”

Chitose tampak seperti sedang dalam suasana hati yang baik, karena dia terus-menerus menampar punggung Amane.

Hari ini, Amane telah menerima tatapan penasaran dan kedengkian. Ekspresi di mata Chitose memancarkan ketulusan memberkati mereka, dan itu menghangatkan hati Amane.

“Selamat Mahirun, kelihatannya usahaku tidak sia-sia.”

“Ya, aku bersyukur sudah mendiskusikan banyak hal denganmu, Chitose-san.”

“Hmm. Misalnya, sikap tidak peka Amane?”

“…Mahiru?”

“It-Itu karena, Amane-kun benar-benar tidak peka.”

Mendengar apa yang Mahiru katakan, Amane tidak bisa berbuat apa-apa untuk membantahnya.

Mahiru selalu menunjukkan perasaannya, tapi Amane belum bisa menanggapinya dengan baik sampai sekarang, dan tanggung jawab memang ada padanya. Mahiru pasti akan curhat dengan Chitose tentang apa yang harus dilakukan.

Chitose yang sudah banyak mendiskusikannya bersama Mahiru, berkomentar, “Yah, lagipula ini mengenai Amane~” yang membuat Amane sedikit tidak senang, dan memelototinya lagi. Dia sepertinya mengamati Amane dengan seksama, karena dia melihat Amane yang rapi di depannya.

“Oh, ngomong-ngomong, ini baru pertama kalinya aku melihat Amane dalam mode tampannya~”

“Apa-apaan dengan julukan itu?”

“Itulah yang dikatakan Ikkun dan Yuuta. Hmm, meski kamu tidak seganteng Ikkun, kamu masih terlihat cukup bagus untuk seorang pria.”

Chitose tersenyum dan menepuk punggung Amane lagi, memberikan ulasannya Amane dengan caranya sendiri. Kata-katanya terdengar seperti kalimat penyemangat, “Meskipun penampilanmu berbeda, orang di dalamnya tetap sama”, yang membuat sudut mulut Amane sedikit rileks.

“Itsuki masih yang terbaik untukmu, ya?”

“Tentu saja. Untuk Mahirun kamulah yang terbaik, jadi tidak ada yang perlu dikeluhkan, kan?”

“Betul sekali. Aku nomor satu untuk Mahiru.”

Amane sama sekali tidak peduli bisa menjadi orang terbaik di mata Chitose. Selama Mahiru berpikir kalau dirinya yang terbaik, itu saja sudah cukup baginya.

Ia lalu melirik Mahiru dan menemukannya memegang tangannya, menyandarkan wajahnya di lengannya seraya berbisik, “...Amane-kun memang nomor satu untukku.”

Mungkin karena dia merasa sedikit malu dengan pernyataan Chitose, Mahiru jadi sedikit tersipu.

“Gadis baik~ Mahirun terlalu imut. Jika Amane tidak ada di sini, aku akan memelukmu.”

“Oke, jangan lakukan itu saat kita masih dalam perjalanan ke sekolah, lakukan saja nanti saat kita sudah di kelas

“Wow bagus sekali, pacarmu setuju Mahirun. Beri aku pelukan nanti ya~!”

“Uhh, tolong yang lembut…?”

Setelah tiba-tiba diminta untuk memeluk, Mahiru mengangguk; meskipun bingung. Kemudian Chitose berjalan di samping Mahiru sambil tersenyum, tampak putus asa untuk mengucapkan selamat padanya.

Setelah menyaksikan kedekatan di antara keduanya, Amane melihat sekeliling.

Mungkin karena mereka semakin dekat dengan sekolah, ada lebih banyak siswa di sekitar mereka.

(...Saat kita memasuki kelas, saat itulah pertanyaan akan mulai membanjiri)

Membayangkan masa depan yang akan terjadi dalam beberapa menit membuat Amane hanya bisa tersenyum kecut.

Setelah melewati gedung sekolah, tatapan di sekitarnya meningkat lebih jauh. Meskipun Chitose juga berada di samping mereka, Amane dan Mahiru yang berpegangan tangan menarik banyak perhatian.

Chitose dengan santai berkomentar, “Ya ampun, begitu banyak orang yang menonton,” tapi Amane masih tidak nyaman dengan tatapan mereka.

Adapun Mahiru, mungkin karena dia sudah terbiasa, dia terus berjalan dengan anggun. Dia memegang tangan Amane erat-erat saat mereka berjalan bersama, seolah-olah mengumumkan hubungan mereka.

“Tenshi-sama berpegangan tangan dengan seorang cowok...”

“Shiina terlihat sangat berbeda sekarang ...”

“Cowok itu dari yang sebelumnya? Dibandingkan dengan festival olahraga, penampilannya sangat berbanding terbalik…”

…dan seterusnya. Tidak disangka-sangka bagi mereka bahwa Amane merupakan cowok yang Mahiru nyatakan sebagai 'orang penting'-nya.

Mahiru tidak menanggapi suara mereka dan menunjukkan senyum manisnya seperti biasa.

“Amane-kun.”

“Ya?”

“Sebentar lagi kita akan memasuki ruang kelas, apa itu tidak apa-apa?”

Saat mereka mendekati kelas, Mahiru meminta izin kepada Amane.

“Aku sudah mempersiapkan diri ketika memutuskan untuk menunjukkan penampilan ini kepada mereka, jadi tidak apa-apa.”

“… Benarkah?”

“Penampilanmu pasti akan mengejutkan semua orang. Hanya selang beberapa hari sejak Mahirun menyatakan perasaannya, dan kamu sudah mengubah penampilanmu.”

Chitose berkata seperti itu dengan senyum tipis, “Aku juga sempat terkejut sih,” membuat Amane merasa sedikit menyesal karena tidak sempat memberitahunya, Itsuki, dan Kadowaki sebelumnya.

Amane terlalu malu untuk membicarakan awal hubungan mereka, jadi Ia menundanya. Namun, hal-hal semacam ini harus diberitahukan kepada mereka yang telah mendukung Mahiru dan Amane sejak awal.

“… Chitose?”

“Ya?”

“Maaf aku tidak sempat memberitahumu.”

“Apa? Hubungan kalian dimulai tepat setelah festival olahraga, ’kan? Aku yakin kalau kalian berdua mungkin sibuk bermesra-mesraan satu sama lain. Kurasa kamu juga mungkin lebih suka berbicara secara langsung, jadi aku sudah menduganya.”

Tebakan Chitose mengenai mereka yang “sibuk bermesraan” membuat Amane merasa sedikit rumit, tapi memang benar mereka menghabiskan sepanjang hari bersama kemarin.

Terlebih lagi, seperti yang dikatakan Chitose, Amane menerima banyak dukungan darinya dan yang lainnya dan berharap untuk memberi tahu mereka secara langsung. Chitose menyadari itu dan menggodanya tentang hal itu, tapi dia memahami maksud Amane.

“Terima kasih.”

“Tidak masalah, hmph~ Aku cuma mengikat benang merah takdir antara dua karakter utama di sini, jadi sembahlah aku lebih banyak~”

“Baiklah, aku akan mentraktirmu crêpes yang kamu suka di depan stasiun, Chitose-sama.”

“Hehehe ini tidak seberapa~”

Chitose melontarkan candaan dan Amane meladeninya. Sambil mengobrol, mereka memasuki kelas.

“Ah, selamat pagi, Shiina… hah?”

Hal pertama yang mereka lihat adalah sekelompok kecil gadis berkumpul di dekat pintu kelas.

Mereka duduk di meja dan tampak mengobrol dengan antusias. Gadis-gadis itu mendongak ketika mereka melihat Mahiru memasuki kelas… dan kemudian melihat Amane yang bergandengan tangan dengannya.

Perhatian mereka berpindah dari tangan menuju wajah Amane.

Ekspresi wajah mereka tampak penasaran seolah-olah menyiratkan “Siapa cowok ini?”.

Reaksi mereka cukup wajar, karena Amane belum pernah berdandan di depan teman-teman sekelasnya sebelumnya.

Mungkin saja teman sekelasnya pernah melihatnya berdandan di luar sekolah, tapi Ia tidak pernah menghadiri kelas dengan penampilan ini sebagai Fujimiya Amane Fujimiya. Di mata orang lain, Amane terlihat seperti orang asing.

Pada minggu lalu, Mahiru telah memberitahu semua orang akalau Amane merupakan sosok yang penting baginya, dan banyak siswa masih mengingat adegan itu. Penampilan Amane yang sekarang seakan-akan mengakui kalau dirinya adalah pria yang bersama Mahiru selama liburan Golden Week tempo hari.

Hanya dengan sedikit deduksi saja, mudah bagi mereka untuk menyamakan pria yang berpegangan tangan dengan Mahiru adalah Amane.

Namun, sebelum mereka menyimpulkan ini, Amane segera melepaskan tangan Mahiru dan pergi untuk meletakkan barang-barangnya di kursinya sendiri.

Tindakan ini sudah memperjelas identitasnya.

Setelah itu, suasana kelas menjadi lebih hening dari biasanya. Bahkan teman sekelas yang biasanya berbicara dengan ekspresif juga memperhatikan Amane.

“Selamat pagi, Fujimiya.”

Dalam keheningan yang canggung, Kadowaki dan Itsuki berjalan menuju Amane dengan senyum yang biasa terlihat di wajah mereka.

Mereka berdua merupakan teman yang akrab dengan Amane dan masih akan menyapanya seperti biasa, yang membuat Amane sangat berterima kasih.

“Pagi, kalian berdua.”

“Ada apa, apa akhirnya kamu mulai mendapat wangsit?”

“Wangsit dengkulmu … yah, karena dia sudah berhasil mengelabuiku, dan sekarang aku juga mendapatkannya.”

Amane telah berdiskusi dengan mereka berkali-kali, dengan Itsuki menjadi orang pertama yang menyadari bahwa Amane menyukai Mahiru. Karena mereka melihat Amane berjalan bergandengan tangan dengan cara seperti itu, mereka segera memahami kalay mereka berdua mulai resmi berpacaran.

“Um, Fujimiya, selamat. Aku baru berteman baik denganmu baru-baru ini, tapi tetap saja. Yah, meski aku tidak menunggu selama itu, tapi merasa cemas sampai mati benar-benar menyeret waktu.”

“Yuuta, kamu ini ngomong apaan? Aku malah harus menunggu setengah tahun. Aku tidak ingin menjadi secemas itu, dan semuanya berkat pengecut ini.”

“Berisik, ini memang salahku, puas?”

Setelah melihat Amane dan Mahiru berinteraksi selama enam bulan terakhir, Itsuki mungkin merasa cukup puas dengan dirinya sekarang. Ia mengangguk dengan emosi dan berbisik, "Aku sudah menunggu begitu lama.”

Dalam artian baik atau buruk, Itsuki selalu mendukung— tidak, sering menendang Amane dari belakang. Ia sangat berterima kasih, dan meskipun Itsuki terkadang terlalu suka ikut campur, dia menyemangati mereka dengan sungguh-sungguh.

Di antara orang-orang yang Amane kenal, Itsuki lah yang paling tulus memberkati hubungan mereka.

“Jadi, kamu sudah memutuskan untuk berpenampilan seperti ini?”

“Ya.”

“Ah, tapi entah kenapa rasanya aneh, aku masih belum terbiasa.”

“Setuju. Aku belum pernah melihatnya berpenampilan begini sejak kita karaokean bareng . ”

Terakhir kali Kadowaki melihatnya berdandan ialah saat liburan Golden Week, jadi sudah sekitar sebulan yang lalu. Tidak mengherankan jika mereka masih belum terbiasa melihat penampilan ‘mode ikemen’ Amane.

Saat ini, cuma Mahiru saja yang sudah terbiasa dengan penampilan barunya.

Adapun Mahiru sendiri, dia disibukkan oleh Chitose yang melakukan beberapa skinship dengannya sembari dikelilingi oleh teman sekelas. Meski kelompok itu berada di kejauhan, mudah untuk mendengar apa yang mereka tanyakan kepada Mahiru. Tentu saja, Amane bisa tahu bahkan tanpa perlu mengupingnya.

“Um, Fujimiya-kun!”

Amane yang melihat ke arah sana dan berpikir, “Pasti itu rasanya merepotkan…”, tiba-tiba ada yang memanggil namanya.

Ketika Amane menoleh dan melihat ke sumber suara, Ia menemukan beberapa gadis menatapnya, membentuk lingkaran di sekitar mejanya. Mereka tidak menyembunyikan rasa penasaran yang bersinar di mata mereka.

Amane tidak pandai berurusan dengan gadis-gadis dan sedikit tidak nyaman dengan situasinya. Namun, Ia sendiri sudah menduga situasi ini, dan melihat mereka sambil menjawab dengan tenang.

“…Iya, ada apa?”

“Uwahh, kamu beneran Fujimiya-kun! Kamu benar-benar berbeda dari biasanya, aku sampai dibuat terkejut!”

“Yah lagipula, kesanku sedikit berubah.”

“Itulah masalahnya! Penampilanmu yang sebelumnya terlihat membosankan, sih.”

“Hei, mengatakan itu tidak sopan, tau?”

“Ah, maafkan aku, Fujimiya-kun.”

“Tidak apa-apa, kamu tidak salah, kok.”

Meskipun Amane hampir kewalahan oleh aura para gadis, Ia mencoba yang terbaik untuk tidak terbawa ke dalam ritme mereka dan pada saat yang sama hanya bisa tersenyum kecut.

Mereka hanya mengatakan yang sebenarnya, jadi Amane tidak mau menyangkalnya, dan Ia juga tidak marah. Itu semua karena pilihannya sendiri untuk tetap berpenampilan biasa karena Ia tidak ingin menonjol, jadi Ia membangun citra karakter figuran, tidak berbahaya dan jujur di kelas.

Karena kesan tersebut mendadak hancur, wajar-wajar saja kalau mereka terlihat kebingungan.

“Tapi kamu benar-benar terlihat sangat berbeda.”

“Ya. Memangnya penampilanku terlihat aneh seperti ini?”

“Tidak, tidak, kupikir itu justru jauh lebih baik.”

“Atau lebih tepatnya, melihatmu begitu tampan sangat mengejutkan kami.”

“Jika kamu sampai mengatakan itu, kurasa usahaku tidak sia-sia.”

Dipuji secara langsung membuat Amane merasa malu, tapi mana mungkin Ia menyangkalnya. Amane tahu kalau selalu merendah tidak selalu mendatangkan hal yang baik, jadi Ia dengan penuh syukur menerima pujian itu.

Amane menaruh perhatian lebih supaya ekspresinya selembut mungkin. Ia balas mengangguk pada pertanyaan mereka, dan gadis-gadis itu tertawa bahagia.

“Umm, boleh aku menanyakan satu hal?”

“Tentu, selama aku bisa menjawabnya.”

“Aku cuma penasaran; Tapi, apakah itu Fujimiya-kun, cowok yang jalan bersama Shiina-san sebelumnya?”

(Ah. Pada akhirnya mereka tetap menanyakan ini.)

Karena seseorang akan bertanya cepat atau lambat, Amane bermaksud untuk menjawabnya dengan jelas di sini dan mengungkapkan pemikirannya tentang hal itu.

Murid-murid lain sepertinya mendengarkan dengan cermat dalam percakapannya. Jika Ia menyatakannya dengan tegas sekarang, berita tersebut akan menyebar ke seluruh sekolah.

“Ya, itu memang aku.”

“Lalu, apa kalian berdua berpacaran? Aku tadi melihat kalian berdua berpegangan tangan sebelumnya ...”

“Ya. Berkat dukungan semua orang, kami mulai berkencan minggu lalu.”

Setelah Amane menegaskannya dengan jelas, teriakan bernada tinggi mulai terdengar. Ia kemudian mendengar keputusasaan para cowok  di belakangnya, tapi Ia akan mengabaikan mereka untuk saat ini.

Lagipula, para cowok pasti akan menginterogasinya nanti, jadi Amane bisa menanggapinya pada saat itu.

“Hei, bagaimana kamu dan Shiina-san bisa saling mengenal…”

“Ada sebuah insiden terjadi tahun lalu, dan hubungan kami secara alami berkembang dari sana. Benar ‘kan, Mahiru? ”

“Ya.”

Mungkin karena interogasi di bagian Mahiru sudah berakhir, atau kemungkinan karena percakapan yang tepat akan menyelesaikan segalanya lebih cepat, Mahiru berjalan menuju meja Amane sambil tersenyum. Dia berdiri di kejauhan hampir menyentuhnya dan tersenyum indah pada gadis-gadis yang mengajukan pertanyaan mereka kepada Amane.

“Kalau dijelaskan mungkin akan lumayan panjang, kami mulai berpacaran setelah banyak hal lain terjadi. Perasaan cintaku tak berbalas sebelum kami mulai berpacaran, jadi aku terlalu bersemangat pagi ini ... Aku merasa ingin pamer ketika kami berpegangan tangan.”

Sama seperti ketika mereka tiba di sekolah, Mahiru meraih tangan Amane. Amane tersenyum pahit dan balas menggenggamnya.

“Tidak, kurasa aku duluan yang jatuh cinta padamu.”

“Benarkah? Tapi, Amane-kun sama sekali tidak mau menembakku.”

“Maaf, aku harus merenungkannya. Tapi aku sudah mengaku sekarang, jadi maafkan aku, ya.”

“... Kupikir aku duluan yang melakukan pendekatan.”

“Kalau begitu lain kali, aku akan menjadi orang yang melakukan itu.”

“Memangnya lain kali kamu mau melakukan apa?”

“… Kamu bisa menebaknya.”

Adapun langkah berikutnya dari status pacaran, cuma ada satu kemungkinan. Mahiru seharusnya memahami apa yang Amane maksud ... tapi dia merasa bingung.

Amane merasa bahwa dirinya seharusnya tidak perlu mengucapkan kata-kata itu dengan keras, jadi Ia memendam kata tersebut di dalam hatinya karena Ia masih belum cukup umur untuk bertanggung jawab. Amane yakin perasaannya akan tetap sama selama bertahun-tahun yang akan datang. Jika waktunya sudah tepat, Amane bermaksud akan mengatakannya dengan benar kepadanya, jadi Ia akan menghabiskan waktunya untuk saat ini.

Berkat candaan Amane, Mahiru menatapnya tampak sedikit tidak puas. Setelah Amane mengelus-ngelus kepalanya, Mahiru sedikit tenang.

“... Kamu pasti mencoba membodohiku lagi.”

“Aku akan membicarakannya lagi nanti, jadi tolong maafkan aku untuk sekarang.”

“…Benarkah?”

Mahiru berbicara dengan nada merajuk, tapi dia terlihat sangat puas.

Namun, dia sepertinya mulai menyadari sesuatu dan buru-buru menutupi wajahnya yang mulai memerah. BAmane tidak tahu apa yang terjadi. Tampak kebingungan. Saat melihat sekeliling, Ia menyadari ada keheningan yang jelas dari teman-teman sekelasnya.

Pndangan mereka semua tertuju pada Amane dan Mahiru.

(Aku benar-benar mengacaukannya.)

Sejujurnya, Amane bermaksud menunjukkan hubungan baik mereka dan memamerkan posisinya sebagai pacar Mahiru. Namun, Ia tidak berencana untuk mengobrol dengan Mahiru seperti yang biasa dilakukan di rumah.

Amane tanpa sadar sudah membelai kepala Mahiru. Namun, begitu dirinya melakukan itu, orang-orang di sekitarnya bisa melihat dengan jelas bagaimana hubungan mereka berkembang.

“... Amane, kamu menunjukkan kasih sayangmu secara tidak sengaja, tolong lebih menahan diri lagi, oke?”

Bahkan Itsuki, yang sudah menempati gelar “pasangan idiot generasi pertama" harus mengingatkannya. Amane buru-buru menjauhkan tangannya dari kepala Mahiru, menggigit bibirnya dengan erat untuk menghindari sensasi panas yang menyengat di pipinya.

 

◇◇◇◇

 

Berita bahwa “Amane dan Mahiru sudah mulai berpacaran” segera menyebar ke segala penjuru sekolah.

Berkat teman sekelasnya yang, dalam artian baik atau buruk, suka bergosip, dan juga karena saksi mata yang melihat mereka berjalan ke sekolah bersama, semua orang tahu itu bukan sekedar kabar burung biasa. Setiap kali ada perubahan dalam waktu atau mereka perlu meninggalkan ruang kelas, akan selalu ada orang yang berbisik di dekatnya, yang mana itu membuat Amane merasa sangat tidak nyaman.

“Keributannya pasti akan mereda dalam beberapa hari, kan?”

Kuju yang berdiri jarak tertentu dari tengah kebisingan dan melihat pemandangan itu. Hiiragi mengangguk setuju.

“Yah, seperti kata pepatah: gosip hanya akan berlangsung selama 3 bulan, jadi kurasa itu akan meredup seiring munculnya topik lain segera.”

“Kuharap saja begitu. Jika peristiwa begini terjadi setiap hari, aku benar-benar akan mulai sakit kepala.”

Bahkan selama kelas, Amane bisa mendengar seseorang berbisik agak jauh darinya. Sejujurnya, Ia dalam sedikit suasana hati yang buruk.

Kebetulan, selama jam istirahat tadi, anak-anak cowok di kelas mulai menyerbunya dengan segala pertanyaan untuk waktu yang lama, membuat dirinya merasa kelelahan secara fisik maupun mental. Untungnya, tidak ada ham pelajaran olahraga hari ini.

“Kurasa orang yang menanyaimu akan semakin berkurang di masa depan, tapi kamu mungkin akan dikelilingi karena alasan lain.”

“Alasan lain?”

“Akan ada beberapa yang berpikir kalau kamu sebagai calon pacar yang ideal.”

“Tapi aku sudah punya seseorang yang aku suka.”

Seluruh hidup Amane sudah didedikasikan untuk Mahiru. Bahkan jika dia diminta untuk mencari gadis lain, Ia pasti tidak akan bisa. Lagi pula, bahkan jika ada gadis yang lebih baik dari Mahiru, Amane takkan pernah memilih orang lain.

Orang lain yang mencari perhatian Amane hanya akan menyusahkannya. Mana mungkin Amane bisa bertingkah layaknya seorang playboy.

“Terkadang, jatuh cinta memang tidak masuk akal seperti itu.”

“Wow. Sangat jarang mendengar hal semacam itu dari Makoto.”

“Enak saja. Tapi biasanya, meski kamu sudah memiliki pacar, perasaan mereka tidak dapat ditekan dengan mudah. Bagaimanapun, cinta hanyalah sebuah dorongan.”

Kuju menambahkan, “Kamu benar, tapi mereka tidak bisa bertindak sembarangan berdasarkan dorongan hati saja ‘kan.” Ia melihat gadis-gadis yang berkumpul untuk mengobrol dan menghela nafas ringan.

“Mau bagaimana pun juga, kurasa tidak ada yang bisa menghalangi kalian berdua. Begitulah menurut sudut pandangku.”

“Sepakat. Pertunjukkan kasih sayangmu tadi seharusnya memberi peringatan orang lain arti dari menahan diri, tapi meski begitu, aku tidak menyangka kalau kamu berani melakukan itu di depan semua orang.”

“Oh ayolah, lupakan itu…!”

Amane memikirkan tindakan cerobohnya tadi pagi, dan Ia mulai merasa tersipu lagi.

Ia memang ingin memamerkan keintiman mereka untuk membantu mengusir serangga pengganggu, tetapi membelai kepala Mahiru dengan penuh kasih seperti yang biasa dilakukan sama saja dengan pengakuan. Di tambah pula, kalimat yang Amane katakan sesudahnya terdengar seperti Ia berencana untuk melamar Mahiru di masa depan. Dia tidak berniat untuk membiarkan teman-teman sekelasnya tahu banyak tentang mereka.

Untungnya, Mahiru berhasil mengusir semua orang, tapi Itsuki dan Kuju masih dibuat tercengang sembari berkata, “Kalian sangat lengket kayak lem”

“Yah, sekarang semua orang tahu Shiina hanya menunjukkan ekspresi itu kepada Fujimiya. Jika dilihat dari sudut pandang itu, rasany tidak terlalu buruk, kan?”

“…Yah bisa dibilang begitu sih, tapi yang namanya memalukan tetap memalukan.”

“Kamu masih mengatakan itu setelah berpegangan tangan selama berangkat ke sekolah?”

“Ini dan itu adalah dua masalah berbeda.”

Tampilan kasih sayang yang disengaja dan tidak disengaja memiliki tingkat rasa malu yang berbeda.

“Mending pasrah saja. Selain itu, ada beberapa orang yang berterima kasih karena kamu bermesraan seperti itu.”

“Berterima kasih? Bagaimana bisa?”

“Jika cowok-cowok yang mengejar Shiina akhirnya mengalihkan perhatian mereka ke tempat lain, para gadis akan merasa senang.”

Masalah itu merupakan sesuatu yang sudah Amane pertimbangkan juga. Tidak semua gadis memperlakukan Mahiru dengan cara yang sama. Amane tahu bahwa beberapa dari mereka memiliki perasaan campur aduk terhadapnya karena dia menarik perhatian banyak cowok.

Sampai sekarang, Mahiru selalu menjomblo. Dia adalah primadona sekolah yang tidak menunjukkan keintiman kepada siapa pun, tapi sekarang dia menetapkan Amane sebagai orang penting dan tidak menunjukkan minat pada orang lain. Ini meredakan rasa jijik yang dipendam oleh beberapa orang.

Mahiru pernah berkata, “Tidak semua orang menyukaiku, dan ada beberapa yang diam-diam menggunjingku.” Amane berpikir bahwa dunia wanita lumayan mengerikan, tetapi mengingat situasi mereka sekarang, setidaknya Mahiru akhirnya akan terbebas dari kebencian mereka.

“Para gadis benar-benar mencoba yang terbaik. Tapi sekarang, setelah peristiwa ini, semua orang akan mengerti bahwa Mahiru hanyalah seorang gadis biasa. Dia juga tidak suka orang memanggilnya dengan julukan “Tenshi-sama”, dan menganggapnya terlalu memalukan.”

“Kurasa tidak mengejutkan.”

“Betul, Yuuta juga memiliki perubahan ekspresi yang halus setiap kali dipanggil Pangeran. Jadi kurasa itu wajar saja.”

Menurut Hiiragi, Kadowaki juga tidak nyaman dengan julukan Pangeran. Seperti yang Ia duga sebelumnya, Yuuta juga memiliki masalah yang sama dengan Mahiru, jadi Amane berdoa dalam hati untuknya.

Amane berharap Kadowaki akhirnya bisa menemukan seseorang yang memahaminya, seperti yang dilakukan Mahiru.

(Semoga orang itu memperlakukan semua orang secara setara, lembut dan baik hati, serta merupakan tipe orang yang tetap jujur ​​pada diri mereka sendiri)

“… Kalian sedang membicarakan apa?”

Saat Amane mengharapkan kebahagiaan Kadowaki, Mahiru selesai berbicara dengan Chitose dan berjalan mendekat.

Mahiru mungkin tidak mendengar apa yang mereka bicarakan, tapi dia mungkin melihat pipi Amane yang memerah, jadi dia melihat mereka bertiga, ekspresinya tampak sedikit kaget.

“Ah, Shiina? Kami tidak membicarakan apa-apa, kok. Kami hanya membahas kalau kamu ternyata cuma gadis biasa juga.”

“Kalian berbicara tentang topik semacam itu ...?”

“Ah, tidak, yah… sekarang, teman sekelas kami melihatmu sebagai gadis normal, bukan sebagai ‘Tenshi-sama’, Mahiru.”

Amane hampir melupakan apa yang terjadi pagi ini dan merangkum obrolan ringan mereka dengan Mahiru. Karena memahami apa yang mereka bicarakan, Mahiru lalu mengangguk dan berkata, ‘Begitu rupanya’

“Aku tahu sampai batasan tertentu kalau aku dilihat sebagai idola oleh beberapa orang. Itu benar.”

Mendengar gumaman tenang Mahiru, Kuju dan Hiiragi sama-sama menunjukkan ekspresi “Yah, sudah pasti dia menyadarinya”.

Mereka berdua telah mengenal Kadowaki untuk sementara waktu, dan memperhatikan hal-hal serupa dalam dirinya juga, jadi mereka mengerti bagaimana perasaan Mahiru karena dia sangat mirip dengannya.

“Tapi, aku tidak peduli dengan apa yang mereka katakan tentangku.”

“Benarkah?”

“Um… Lagipula, selama Amane-kun melihatku sebagai gadis biasa, itu saja sudah cukup bagiku.”

Meski yang mendengar gumaman itu hanya Amane, Kuju, dan Hiiragi, kekuatan penghancurnya sudah lebih dari cukup.

Pipi Mahiru sedikit memerah, dan dia tersenyum malu-malu. Amane bukan satu-satunya yang terpesona olehnya.

Ia mendengar Hiiragi dan Kuju terengah-engah di sebelahnya. Bahkan teman sekelas yang kebetulan lewat dan tak sengaja mendengarnya, sekarang menatap ekspresi Mahiru dengan linglung.

“…Fujimiya, coba pikirkan cara untuk mengendalikan pacarmu.”

Kemudian Amane mendengar dengan suara lembut, “Ada banyak korban di sekitar kita.” Ia sangat setuju, tetapi cinta tidak berdaya seperti itu. Atau lebih tepatnya, Amane sendiri merupakan korban terbesar dan mencoba yang terbaik untuk menenangkan jantungnya yang berdebar kencang.

“…Seriusan, dia sudah klepek-klepek dimabuk cinta.”

Mendengar gumaman tak berdaya Kuju, pipi Mahiru mulai tersipu lagi dan tersenyum lebih cerah seolah-olah ingin menegaskannya.

 

 

Sebelumnya || Daftar isi || Selanjutnya

close

Posting Komentar

Budayakan berkomentar supaya yang ngerjain project-nya tambah semangat

Lebih baru Lebih lama