Otonari no Tenshi-sama Vol.5 Chapter 3 Bahasa Indonesia

Chapter 3 — Interogasi saat Makan Siang

 

“Amane-kun, bagaimana kalau kita makan siang bersama?”

Setelah jam pelajaran pagi selesai, Mahiru membawa tasnya dan berjalan mendekati tempat duduk Amane. Di dalam tas tersebut terdapat dua kotak bekal makan siang.

Amane berencana untuk makan siang bersama gengnya yang biasa selama waktu istirahat, tapi Ia merasa ragu-ragu karena itu bisa menyebabkan masalah bagi semua orang.

Meski kadang-kadang Ia makan bersama Hiiragi dan Kuju karena sudah sering berbicara dengan mereka secara teratur, mereka masih menolak untuk makan dengannya hari ini dengan alasan “Kaum jomblo macam kita tidak mau menjadi obat nyamuk pasangan pengantin baru”. Sayangnya, Amane tidak memiliki kepercayaan diri untuk menyangkal kata-kata mereka. Lagipula, Ia memang sedikit mengacau saat pertama kali mengumumkan hubungannya.

“Hmm. Jika kamu tidak masalah dengan itu. Hei Itsuki, ayo makan bersama dengan kami.”

“Memangnya kamu benar-benar berpikir kalau kami takkan bergabung denganmu?”

Itsuki, Chitose, serta Yuuta mendekati Amane dan Mahiru sambil membawa dompet mereka dengan tersenyum kecut.

“Ya, jangan bicara seperti itu. Itu akan sama seperti biasanya.”

“Itsuki…”

“Lagi pula, jika tidak ada yang berani menghentikan ‘kemesraan’ kalian berdua, jumlah orang mati di sekitar kami akan sangat meningkat. Kupikir lebih baik mengajak kami untuk mengawasi kalian di sini.”

“Itu sih ...aku tidak bisa berkomentar.”

Mempertimbangkan interaksi mereka hari ini, Amane bisa memahami apa yang dikatakan Itsuki, tapi Ia masih tidak nyaman dengan hal itu.

Tentu saja, Amane bukannya berencana melakukan hal itu, tapi percakapan antara dirinya dan Mahiru cenderung selalu memasuki dunia mereka sendiri tanpa disadari. Kekhawatiran Itsuki masih sedikit beralasan.

“Pokoknya, kita akan bertingkah sama seperti sebelumnya.”

“Yah, kalau buat aku sih, aku berharap kalau Mahirun akan menyerang lebih sering dan melakukannya lebih jauh~”

“Jika itu yang terjadi… aku takkan bisa berdiri di sekitar kalian lagi. Suasana di antara kalian berdua terlalu manis … bahkan hanya dengan memikirkannya saja sudah membuatku malu sendiri!”

“Kamu juga, Kadowaki?”

“Wajahku semakin panas hanya membayangkannya, walaupun melihat kalian berdua bahagia juga cukup menyenangkan.”

Saat senyum mereka dipenuhi dengan berkah murni, Amane terdiam. Kemudian, Kadowaki menambahkan, “Tapi kamu tetap harus memperhatikan area sekitarmu, jika tidak, orang lain yang melihatnya mulai merasa tidak tahan.”

Mengenai hal ini, Amane bisa memahami keengganan Kuju dan Hiiragi, jadi Ia mengangguk dengan serius.

“…kalau begitu, hari ini ke kantin, ‘kan? Aku tidak punya bekal makan siang, jadi aku harus membeli makan siang dari antrian.”

“Uhh…”

“Kalau begitu ayo pergi~ kira-kira paket makan siang hari ini apaan, ya?”

“Kalau tidak salah paket ayam goreng?”

“Heh~, tidak buruk. Ayam goreng di sini sangat enak dan kulitnya juga cukup tipis.”

Itsuki terkekeh, lalu melambaikan dompetnya dan berjalan keluar. Amane diam-diam berterima kasih padanya dan mengikuti di belakang mereka untuk memasuki kantin.

 

◇◇◇◇

 

 “…Amane-kun, ini makan siangmu.”

Saat tiba di dalam kantin, grup mereka menempati lima kursi. Setelah ketiga orang yang membeli makanan kembali, Mahiru mengeluarkan bekal makan siang dari dalam tasnya dan menyerahkannya kepadanya.

Kemudian, Mahiru mengeluarkan kotak bekal makan siangnya sendiri. Bekal makan siang bagian Amane jauh lebih besar. Meskipun Amane tidak makan banyak, nafsu makan siswa SMA laki-laki lebih besar daripada seorang gadis dan porsi sebanyak ini diperlukan untuk memuaskan nafsu makannya.

“Baiklah, terima kasih.”

“Bekal makan siang Mahirun terlihat sangat enak~”

“Ini bukan untukmu, tau.”

“Cih, dasar pelit~”

Chitose menggembungkan pipinya dengan manis, tapi untungnya Mahiru menawarkan bagiannya sendiri, “Kamu boleh mengambil bagianku.” Wajahnya yang merajuk dengan cepat terlihat sumringah.

Meskipun Chitose bertindak sangat kekanak-kanakan, senyum riangnya, perkataan, tindakan, dan ekspresi yang menyertainya membuat Itsuki terlihat sangat senang.

Melihat percakapan antara kedua gadis itu, Amane membuka tutup kotak bekalnya.

Isiannya terdiri dari sisaan ayam dengan tomat kecil dan bayam, jagung goreng, brokoli rebus, sosis yang berbentuk gurita, dan yang terakhir, telur dadar favorit Amane.

Ada banyak lauk pauk yang disediakan karena selera makan Amane yang besar menjadi pertimbangan.

Amane akan memakan apa saja dan juga suka makan sayuran, tapi memakan daging akan meningkatkan nafsu makannya. Ditambah dengan telur yang disukainya, perut Amane jadi tambah keroncongan.

“Aku membuat lebih banyak telur dadar kesukaan Amane-kun, oke?”

“Kurasa aku bisa melakukan yang terbaik untuk pelajaran sore hari hanya dengan telur dadar saja.”

“Kamu selalu saja terlalu berlebihan.”

“Tidak, tidak, aku serius, tau.”

Amane sangat menyukai hidangan berbahan dasar telur. Baginya, telur dadar buatan Mahiru sangat merangsang energinya ketimbang masakan daging ayam. Oleh karena itu, peningkatan porsi persis seperti yang dia inginkan.

Amane buru-buru berkata “Itadakimasu,” mengungkapkan rasa terima kasihnya pada makanan dan Mahiru, sebelum menjulurkan sumpitnya ke arah telur dadar.

Saat telur dadar tersebut memasuki mulutnya, telurnya terasa lembap dan licin; dan setelah digigit, kaldunya keluar. Aroma segar dan gurih berpadu, membuat Amane mengangkat sudut mulutnya menjadi senyuman.

Telur dadar itu sangat lezat sehingga Amane tidak tahan untuk segera menelannya. Ia perlahan-lahan mengunyahnya dan menikmati rasanya di ujung lidahnya.

Ia harus makan perlahan sebagai tindakan pencegahan, tetapi yang lebih penting baginya, Ia cuma ingin menikmatinya selama mungkin.

Amane memakan bentonya tanpa menyembunyikan kegembiraan dalam ekspresinya seolah berkata, “Rasanya enak seperti biasa”. Yuuta yang menatapnya hanya bisa menghela nafas.

“…Kamu terlihat sangat menikmati makananmu ya, Fujimiya.”

“Yah mau gimana lagi, karena ini rasanya sangat enak.”

“Aku tahu itu. Tapi Shiina-san pasti merasa sangat bangga pada dirinya sendiri ketika kamu memakannya dengan sangat nikmat.”

Yuuta melirik ke arah Mahiru, yang menatap Amane dengan senyum di wajahnya dan pipinya terlihat sedikit memerah. Sambil tersenyum, Mahiru berkata, “Ya. Amane-kun selalu memujiku karena makanannya yang enak. Jadi aku merasa sangat senang.”

“Kerja keras yang kulakukan untuk memasak tidak sia-sia.”

“Rasanya luar biasa jika ada seseorang yang memasak untukku, belum lagi rasanya sangat lezat.”

“Aku sudah mengetahui semua selera Amane-kun, dan aku akan terus bekerja keras lagi di masa depan nanti.”

“Kamu tidak perlu berusaha terlalu keras, kamu tinggal melakukannya seperti biasa saja.”

“Tapi aku masih ingin memenuhi semua seleramu sepenuhnya, Amane-kun.”

“Kupikir kamu bisa melakukan apa yang kamu suka. Lagipula, semua masakan yang kamu buat sangat lezat, Mahiru.”

Amane tidak punya rencana untuk meninggalkan Mahiru, Ia tidak mengharapkan Mahiru untuk menyesuaikan diri di sekitarnya, dan Amane juga ingin mempelajari apa yang disukai Mahiru sendiri.

Ia tidak ingin Mahiru memanjakannya secara berlebihan, tapi agar mereka berdua saling menyesuaikan diri. Amane juga ingin dia memenuhi preferensinya sendiri.

Amane mengangguk secara emosional sambil memakan sosis berbentuk gurita, yang wajahnya digambar imut dengan biji wijen. Di sampingnya, Mahiru tersenyum malu dan mengecilkan bahunya.

Ketika melihat rona merah di wajah Mahiru, Amane tidak bisa menahan diri untuk tidak melihat sekeliling dan melihat tatapan tercengang yang ada di mata Itsuki.

“...Kalian berdua langsung saja bermesraan dalam dunia kalian sendiri sebelum kita bisa menghentikannya. Serius, apa yang harus kita lakukan supaya bisa menghentikan kalian?”

“ ...Kami tidak bermesraan, itu hanya percakapan biasa.”

“Chii, apa kamu dengar itu?”

“Artinya~ ini baru tingkat permulaan, belum pada tingkat bermesraan!”

“Oi, kalian berdua enak saja kalau ngomong.”

“Percakapan tadi emang sedikit lebih halus ketimbang yang kamu lakukan di dalam kelas, dan jika dilihat sudut pandang itu, memang bisa dibilang kalau kalian tidak saling bermesraan. Namun, mendengar obrolan kalian sampai segitunya akan menunjukkan kepada orang lain kalau mereka tidak mempunyai kesempatan untuk campur tangan sama sekali.”

Usai mendengarnya sampai sejauh itu, Amane mengalihkan pandangannya ke tempat duduk yang ada di sekitarnya dan menemukan kalau para cowok dari kelas yang sama serta seniornya sedang memelototinya.

Walaupun tatapan mereka dipenuhi dengan niat membunuh, setelah Mahiru melirik ke arah sana, mereka buru-buru membuang muka, jadi Ia mengerti betul perkataan Itsuki.

(Aku tidak yakin apa aku harus merasa malu karena percakapanku didengar oleh mereka, atau harus merasa senang karena aku berhasil menahan diri dibandingkan dengan pagi ini.)

Amane menunjukkan senyum kaku, dan Yuuta berbisik, “Kupikir tadinya kamu melakukannya dengan sengaja…”

“… Serius, hubungan kalian terlalu cocok, tapi kalian berdua selalu saja gampang terlena dengan dunia kalian sendiri. Bukankah seharusnya kamu lebih menaruh banyak perhatian lagi?”

Meski Yuuta menambahkan kalimat lain, “Kali ini tampaknya berhasil,” tapi suaranya sedikit tidak berdaya, dan Amane mengerucutkan bibirnya sebagai tanggapan.

 

◇◇◇◇

 

“…Kenapa aku mendadak dikepung begini?”

Begitu mereka kembali ke ruang kelas setelah makan siang, segerombolan anak cowok berkumpul mengelilingi Amane.

Mahiru sepertinya pergi untuk membeli minuman bersama Chitose, jadi dia sedang tidak ada di kelas. Itsuki dan Yuuta melihat Amane dikepung, tapi mereka hanya tersenyum dan berkata, “Oke, tenang saja dan jawab pertanyaannya,” dan mulai bersiap-siap untuk jam pelajaran berikutnya.

“Mereka berdua benar-benar…,” pikir Amane. Tetapi jika Ia tidak bisa menangani situasi ini dengan baik, bagaimana mungkin Ia bisa berinteraksi dengan orang lain dengan mudah di masa depan, terutama Mahiru? Setelah memikirkannya, Amane tidak punya pilihan selain menghela nafas diam-diam di dalam hatinya, dan kemudian dengan patuh membiarkan semua orang mengelilinginya.

Kebanyakan anak cowok yang berkumpul mengelilinginya.

Mereka cuma ingin melampiaskan ketidakpuasan mereka kepadanya, tanpa ada niat jahat sedikit pun. Setidaknya, atmosfir yang mereka keluarkan tidak dimaksudkan untuk mengintimidasi Amane.

“Kamu benar-benar tidak bisa dimaafkan, kamu adalah pencuri paling tercela di abad ini, mencuri Tenshi-sama semua orang seenaknya ...”

“Mulai sejak akapan aku menjadi pencuri paling tercela abad ini? Lagipula, Mahiru itu bukan milik semua orang.”

“Aku sangat iri padamu karena kamu bisa mendapatkan bekal makan siang yang dibuat oleh Tenshi-sama langsung.”

“Lagipula, kami sudah berpacaran. Aku tidak haru harus bagaimana menanggapinya jika kamu mengeluh hal-hal seperti ini.”

“Tapi kamu berhasil memetik kembang sekolah dengan begitu mudahnya.”

“Sebenarnya, itu tidak semudah kelihatannya…”

Semua orang menyuarakan ketidakpuasan mereka, tapi suara-suara ini lebih terdengar seperti kecanggungan atau kemarahan, dan mereka tidak terlalu keras padanya. Meski para cowok menunjukkan sedikit kecemburuan terhadap Amane, tapi mereka tampaknya tidak menentang hubungan itu sendiri. Itsuki yang diam-diam menguping, melihat ke arahnya dan tersenyum, memiringkan kepalanya. Tampaknya tidak ada keselamatan bagi Amane yang malang.

“Ngomong-ngomong, bagaimana kalian berdua bisa bertemu? Kamu pernah bilang kalau kalian bertemu tahun lalu, tetapi bagaimana kejadiannya?”

“Ah, gimana bilangnya … pada suatu ketika Mahiru basah kuyup karena hujan,  aku meminjamkan payungku padanya dan memulai percakapan. Mungkin itu pemicunya.”

“Cuma itu saja!?”

“Tentu saja bukan cuma itu, sebenarnya lebih seperti setelah bertemu Mahiru, dia tidak tahan dengan bagaimana lingkungan hidupku berantakan dan mulai merawatku.”

“Kamu itu terlalu berntung, tau?”

“Aku tidak bisa menyangkal itu.”

Pertemuan antara Amane dan Mahiru memang dipenuhi dengan kebetulan.

Jika Mahiru tidak menerima telepon dari ibunya pada hari itu, jika Amane tidak menyadari keberadaannya di taman, jika Ia benar-benar mandi dengan baik, atau jika dia membuat kesalahan, maka mereka berdua takkan berinteraksi lagi satu sama lain. Singkatnya, semuanya itu hampir mirip seperti takdir. Jika salah satu dari kondisi ini tidak terpenuhi, mereka mungkin takkan mengembangkan hubungan mereka seperti sekarang.

Oleh karena itu, hubungan cinta antara Mahiru dan Amane pastilah sebuah keajaiban.

Amane mengangkat bahu, menurunkan alisnya, dan tersenyum, lalu teman sekelas di depannya menghela nafas sedikit.

“…Aku bukan mencoba untuk meremehkanmu, tapi aku benar-benar tidak memahami mengapa Tenshi-sama menyukaimu. Dari segi penampilan atau akademis, pasti ada yang lebih baik darimu. Walaupun aku mengerti bagaimana kalian berdua bertemu, aku masih penasaran bagaimana dia bisa jatuh cinta padamu?”

“Ketika dia jatuh cinta padaku, atau apa penyebabnya, aku sendiri belum bertanya pada Mahiru tentang ini, jadi aku juga sama sekali tidak tahu.”

Amane hanya memahami kalau Mahiru mengaguminya, tetapi sejak kapan dia mulai memiliki perasaan seperti itu, Amane sendiri tidak pernah tahu. Ia tidak bisa menjawab pertanyaan ini sendiri; hanya Mahiru yang bisa menjawab pertanyaan itu.

Amane tersenyum kaku, tidak tahu bagaimana menjawabnya. Tak lama kemudian, seorang siswa lain tertawa. Sejak Ia membantu pada pertemuan belajar yang diselenggarakan oleh Mahiru minggu lalu, siswa ini mulai sesekali mengobrol dengan Amane.

“Aku mungkin bisa menebak sedikit. Karena Fujimiya selalu tenang, selain itu Ia selalu memperhatikan orang lain dan perasaan mereka, Tenshi-sama mungkin jatuh cinta pada kualitas dirinya, kan?”

“Ya, sepertinya Shiina-san tidak terlalu menyukai orang populer. Mungkin, daripada memilih orang yang akan mengharapkan sesuatu darinya, dia lebih suka berada di dekat seseorang yang kalem, bukan? Fujimiya mungkin tidak pandai berbicara… tapi Ia tidak pernah menyangkal orang lain, atau memperlakukan orang lain sebagai orang bodoh, jadi rasangat sangat mudah untuk bersamanya.”

“Omong-omong, setelah dipikir-pikir lagi, Fujimiya tampaknya sangat menyukai Shiina. Misalnya saja selama sesi belajar bersama, atau selama jam pelajaran olahraga, maupun praktik memasak. Kamu selalu bersikap begitu lembut padanya, bahkan ketika kamu hampir tidak bisa mengatur tubuhmu sendiri. Kamu harus menjaganya baik-baik, kawan.”

“Jadi begitulah cara Fujimiya memperhatikan Shiina dalam bayang-bayang.”

Kedua anak laki-laki itu mulai mengabaikan Amane dan mulai memujinya. Amane buru-buru memelototi mereka berdua.

“Hei, Konano, Yamazaki, itu sudah cukup.”

“Lihat, wajahnya sampai memerah begitu karena malu.”

“Inilah yang disebut kejujurannya, aku jadi paham.”

“Kalian berdua ini…”

Mereka berdua tampaknya tidak takut dengan tatapan Amane sama sekali.

Lebih baik bagi mereka yang iri padanya untuk mendengarkan percakapan mereka, tapi Amane merasa tidak nyaman dengan komentar mereka. Kemudian, tawa yang akrab terdengar dari luar kerumunan.

“Ahaha, meski Amane berusaha untuk tidak menonjol, tapi Ia sangat setia dan perhatian, Mahirun pasti jatuh cinta padanya karena itu~”

“Apa begitu? Tunggu, Shirakawa-san, sejak kapan kamu muncul?”

Chitose yang tadinya tidak ada di dalam kelas, menjulurkan kepalanya ke dalam.

“Eh? Karena istirahat makan siang hampir berakhir, sih. Selain itu, aku mendapat pesan yang memberitahu kalau Amane sedang dikelilingi oleh semua orang saat kami pergi, jadi aku kembali untuk melihatnya. Ngomong-ngomong, Mahirun juga ada di sini, loh.”

“Ya, aku minta maaf.”

Orang yang menjadi pusat perhatian, Mahiru, berbicara dengan ekspresi yang sedikit meminta maaf.

Jam pelajaran akan dilanjutkan setelah selesai jam istirahat makan siang. Orang yang menjadi objek diskusi pasti akan mengetahuinya karena sedang dibahas di ruang kelas.

Semua orang memahaminya dalam pikiran mereka, tapi mereka tampaknya sudah lupa dan terbawa suasana.

Amane melirik Itsuki dan melihatnya menggoyangkan ponselnya di tangannya. Ternyata dialah yang menjadi pelaku utama dari memanggil Chitose dan Mahiru kembali.

(Haruskah aku berterima kasih kepada Itsuki atas bantuannya, atau mengeluh karena Ia tidak datang dan membantuku sendiri?)

Melihat Amane yang sedang dikelilingi oleh semua orang, membuat Mahiru tersenyum tak berdaya dan mendekatinya. Hari ini, area di dekat Amane ialah teritori Mahiru. Dia tidak peduli dengan tatapan orang banyak.

“Aku tidak pernah mengatakannya secara langsung pada Amane-kun… Alasan kenapa aku bisa menyukainya? Sulit untuk menjawabnya, tapi kupikir itu karena Amane-kun menerimaku sebagai diriku sendiri dan masih memperlakukanku dengan baik, dan menghargai setiap bagian dari diriku.”

Suaranya yang tenang terdengar sangat lembut.

“Aku juga sudah pernah mengatakan ini sebelumnya bahwa meski Amane-kun terlihat acuh tak acuh terhadap orang-orang di sekitarnya, Ia sebenarnya orang yang perhatian dan sopan. Ia akan membantu ketika orang lain tidak nyaman dan takkan berbicara lancang dengan santai. Ia selalu memperhatikanku, menyampaikan pikirannya melalui tindakannya, dan menoleransi kelemahanku. Bukan hanya itu saja, tapi Amane-kun akan menyemangatiku, dan mendukungku sampai aku bisa membantu diriku sendiri. Setelah mengalami hal-hal tersebut, aneh rasanya jika aku tidak mulai menyukainya ... atau bisa jadi hal-hal itulah yang meyakinkanku kalau dialah satu-satunya pria yang hadir di duniaku.”

Dengan kata lain, sejak hari itu pada liburan musim semi dan hari di mana Mahiru bertemu ibunya lagi, Mahiru merasa yakin akan cintanya.

Setelah menyadari hal ini, Amane merasakan pipinya tiba-tiba memerah dan panas.

Amane memang ingin bertanya kepada Mahiru kapan dan mengapa dia mengaguminya, tapi dirinya tidak pernah menyangka bahwa Mahiru akan menjawabnya dengan cara ini, terlebih lagi di hadapan semua orang. Disertai oleh ekspresi bahagia dan malu-malu Mahiru, suaranya yang penuh kasih dan lembut juga terungkap.

Amane juga ikut merasa malu, sampai-sampai Ia memiliki keinginan besar untuk melarikan diri.

“Amane-kun adalah orang yang bisa menoleransiku, menghargaiku, menghormatiku, dan peduli padaku. Meski Ia orang yang pemalu dan sedikit jujur, Ia selalu lembut padaku. Jadi semakin aku memahaminya, semakin aku merasa tertarik padanya.”

“Tolong, jangan katakan apa-apa lagi ...”

“Tentu saja, bukan berarti Ia tidak memiliki kekurangan. Misalnya saja seperti Ia sangat acuh tak acuh terhadap urusannya sendiri dan tidak memiliki kepercayaan diri. Tapi baru-baru ini, Ia mencoba memoles penampilannya sendiri, yang menurutku sudah sangat tampan. Ia juga ternyata sedikit pemalu, yang mana itu terlihat imut.”

“….Mahiru, tolong jangan bilang apa-apa lagi.”

Mendengar apa yang dia katakan, Amane merasa malu setengah mati. Ia tidak menunggu Mahiru selesai berbicara sebelum menutup mulutnya dengan tangannya, tapi semuanya sudah terlambat.

Namun sayangnya, orang yang menjadi korban bukanlah Amane saja.

Penjelasan Mahiru pada dasarnya telah merubah dirinya yang menunjukkan kebahagiaannya. Begitu melihat ekspresi Mahiru yang penuh kebahagiaan, wajah para siswa yang mendengarnya berbicara memerah, dan tatapan mata mereka berkeliaran tanpa tujuan.

“Kenapa kamu mengatakan itu di sini?"

“Karena, jika aku mengambil kesempatan ini untuk menjelaskan betapa besar aku menyukai Amane-kun dan betapa hebatnya dirimu, aku mungkin bisa mencegah konflik dengan semua orang.”

“Licik sekali sengaja mengatakan itu … Selain itu, sekarang bahkan hal-hal yang tidak baik tentangku jadi terungkap.”

“Contohnya?”

“... Kalimatmu yang terakhir.”

“Tapi apa yang kukatakan itu kenyataannya, kok. Tentu saja, bagian Amane-kun itu juga bagus. Kekuranganmu masih terlihat sangat lucu.”

“Aku yakin itu menyebalkan, toh aku ini orang pengecut.”

Apa yang Amane pahami di sini ialah pacarnya sudah menusuknya di tempat yang menyakitkan.

Amane menggigit bibirnya karena merasa sedikit rumit. Pada saat ini, tawa kecil datang dari sampingnya.

“Jelas, aku cukup polos,” gumam Amane dengan suara yang hanya bisa didengar Mahiru, dan memalingkan wajahnya. Kemudian, Mahiru mulai memukul lengan Amane dengan ringan; karena dia juga mengingat kepolosannya sendiri.

Saat Amane menerima serangan yang sangat imut ini, Ia menenangkan hatinya dan pipinya. Kemudian, beberapa suara berbeda bisa terdengar yang sepertinya menyiratkan sesuatu.

Sumber suara tersebut ternyata dari Chitose. Dia menjaga postur sambil membuat suara, dengan tangan terlipat dan matanya terlihat sedikit tak berdaya.

“Oke, waktu mesra-mesraannya cukup sampai di sini saja dulu~ Ruang kelas akan terbakar habis karena ulah kalian… Jadi, setelah melihat pasangan yang manis dan menggemaskan ini, apa masih ada prajurit yang berani campur tangan?”

“Aku takkan berani.”

“Bagaimana mungkin orang lain bisa menang melawan itu?”

“Rasanya seperti ditendang oleh kuda.”

Setelah Chitose bertanya, gerombolan anak cowok itu segera menggelengkan kepala mereka dengan lemah, dan Amane terkulai karena malu.

Dirinya tidak menyangka bahwa Mahiru berbicara begitu banyak di depan semua orang, namun Amane juga bersalah karena tidak memiliki keberanian untuk bertanya lebih awal. Sekarang dirinya merasa malu setengah mati, dan setelah melihat ke arah Mahiru, dia menunjukkan senyum ringan, senyum yang penuh dengan keyakinan dan kebahagiaan.

“Bagaimana carav menggambarkannya, ya… Shiina, jika di depan orang yang dia sukai, dia hanyalah gadis biasa.”

Gadis yang mengatakan ini diam-diam mengamati sampai sekarang. Ketika Mahiru mendengar ini, matanya melebar, ekspresinya berubah menjadi senyum polos dan kenakalan.

“Ya, aku memang cuma seorang gadis biasa.”

Mahiru selesai berbicara tanpa ragu-ragu dan kemudian menunjukkan ekspresi malu-malu kepada Amane.

(Peristiwa ini mungkin justru benar-benar meningkatkan popularitasnya ...)

Sembari memikirkan hal itu, Amane dengan santai menepuk-nepuk kepala Mahiru untuk menyembunyikan rasa malunya.

 

◇◇◇◇

 

Amane merasa bahwa hari ini dirinya mendapat banyak cobaan. Ke manapun dirinya pergi, Ia selalu terus-menerus dilirik oleh siswa lain dan itu membuatnya agak tidak nyaman.

Meski Amane sengaja membiarkan mereka menatapnya, ada banyak mata yang tertuju padanya, membuatnya lelah secara mental.

Namun, tidak semua tatapan tersebut menunjukkan perasaan negatif, dan tidak sedikit orang yang menatapnya dengan rasa penasaran bercampur sorak-sorai bahagia.

Yang terakhir sebagian besar dari para gadis, menunjukkan bahwa Mahiru sangat populer.

“Mahiru, ayo pulang.”

Amane berbicara dengan Mahiru sepulang sekolah, yang juga hendak pulang ke rumah. Setelah seharian di kelas, akhirnya Amane bisa lolos dari segala macam pandangan orang.

Amane dan Mahiru tidak bergabung dengan klub mana pun. Jika Mahiru bergabung dengan klub tertentu, itu akan menyebabkan masalah, dan mempengaruhi anggota lainnya.

Itulah pilihan yang dibuat Mahiru sambil sepenuhnya memahami pengaruhnya, tapi fakta bahwa dia tidak boleh membiarkan dirinya mengikuti klub manapun membuat Amane merasa sedikit sedih.

Adapun Mahiru sendiri tidak keberatan sama sekali. Sebagai gantinya, dia mengucapkan kalimat yang menggemaskan, “Aku bisa bertemu Amane-kun karena aku tidak bergabung dengan klub ...” dan Amane menjadi malu.

“Yah, aku sudah lama menunggu.”

Mahiru mengemasi barang-barangnya dan menunjukkan senyum lembut, yang mana membuat ekspresi Amane secara alami tenang.

Amane merasa sangat senang karena mereka bisa pulang bersama sekarang, dibandingkan sebelumnya dimana mereka harus mengatur waktu mereka.

“Kalau begitu, kita pulang duluan.”

Amane mengambil tas Mahiru yang ada di atas meja, dan mengatakan kalimat ini kepada Itsuki yang ada di sebelahnya.

Yuuta sudah pergi duluan karena ada kegiatan klubnya, dan tidak lagi terlihat di dalam kelas.

“Yah, aku terlalu malu untuk mengganggu hubungan pengantin baru, jadi silakan pulang dengan hati-hati”

“Siapa yang kamu panggil pengantin baru?”

“Ah maaf, aku salah, kalian berdua adalah pasangan tua yang langgeng.”

“Apa di rumahmu tidak punya kaca?!”

Meskipun Amane memelototinya sambil berkata, “Memangnya kamu sendiri tidak ngaca?” Itsuki tampaknya tidak menganggapnya serius. Sebaliknya, Ia memasang wajah bahagia, dan masih memasang senyum sembrono yang biasa di depan tatapan tegas Amane.

“Aku benar tidak peduli bagaimana kamu melihatnya, Chi, bukannya kamu juga setuju?”

“Iya, aku setuju~”

“Kalian berdua memang sangat menyebalkan. Memangnya benar-benar tidak masalah bagi pasangan idiot (baka couple) untuk mengatakan hal seperti itu? ”

“Oh, kalau begitu kalian berdua adalah pasangan idiot generasi kedua. Karena kami adalah generasi pertama, aku menganggap kalian sebagai pasangan idiot.”

“Oi…”

“Sudah, sudah, Amane-kun juga harus tenang.”

Amane berencana untuk menjentikkan dahi Itsuki, tapi karena Mahiru mencegahnya, Ia memutuskan untuk tidak melakukannya.

"Akazawa-san juga, tolong jangan terlalu meledek Amane-kun.”

“Mahiru…”

“Amane-kun tuh orangnya malu-malu kucing, dan gampang sekali tersipu jika kamu menggodanya. Untuk saat ini, tolong dikurangi dulu.”

“Mahiru, kenapa kamu malah membela Itsuki?”

“Aku bercanda, kok.”

Bahkan Mahiru mulai menggodanya, yang membuat Amane merasa rumit, tapi karena Mahiru tersenyum bahagia dengan senyum aslinya bahkan di sekolah, Amane tidak bisa menghentikannya.

Di masa lalu, dia selalu menunjukkan senyum indah seakan memakai topeng yang akan dipuji semua orang, menyembunyikan senyumnya yang sebenarnya dalam bayang-bayang. Dan sekarang, senyum dan sikapnya tidak terkendali, dan Amane tentu saja tidak bisa menyalahkannya untuk itu.

Oleh karena itu, Amane tidak mau mundur dengan patuh tanpa sedikit pun balas dendam, jadi dia berencana untuk menggoda Mahiru sampai puas ketika mereka sampai di rumah.

“Oke Amane-kun, ayo pergi sekarang.”

Mahiru sepertinya menyadari sesuatu dan mendesaknya dengan sedikit bingung. Amane tersenyum sembari membalas “Ya,” dan meraih tangan Mahiru.

 

◇◇◇◇

 

“Aku pikir ada bagusnya mengumumkan hubungan kita, sekarang kita bisa pergi keluar dan membeli barang-barang bersama seperti ini.”

Di supermarket, Mahiru berbisik dengan emosi sambil memilih bahan untuk makan malam hari ini.

Supermarket bukanlah tempat yang biasanya dikunjungi oleh sepasang kekasih anak SMA, tapi Amane dan Mahiru juga tidak secara khusus mengatur kencan di sana.

Menimbang bahwa mereka harus menyiapkan makan malam, mereka berdua datang ke sini untuk membeli bahan-bahan makan malam.

“Lagipula, dulu sih mustahil bisa datang ke sini bersama.”

“Yah, kita bisa melakukan banyak hal tanpa sembunyi-sembunyi lagi di masa depan, seperti pergi keluar untuk membeli sesuatu bersama-sama.”

“Ya. Jika perlu, kita dapat memutuskan apa yang ingin kita makan di tempat.”

“Hmm…”

Apa yang ingin mereka makan selalu diputuskan sebelumnya, tetapi mulai sekarang, jika ada keinginan mendadak untuk hidangan tertentu, mereka masih bisa mendiskusikannya.

Malam ini, mereka awalnya berencana untuk makan hidangan berbasis masakan Jepang. Namun, Amane melihat makanan sehari-hari diatur di kafetaria saat makan siang dan mengatakan bahwa dia ingin makan ayam goreng, dan Mahiru siap memenuhi keinginannya.

Mahiru mengambil beberapa potong daging paha ayam dan memasukkannya ke dalam keranjang yang dipegang Amane. Dia lalu berkata, “Setelah makan daging sebentar, lebih baik kita makan ikan besok” seolah-olah dia sudah memikirkan makan malam besok.

“Apa yang harus kita makan besok?”

“Terserah, apa saja tidak masalah … kamu tidak keberatan jika aku mengatakan itu? Nah, bagaimana kalau dengan ikan tenggiri?”

“Kebetulan sedang musimnya, jadi kupikir itu ide bagus. Kalau begitu besok, mari kita makan ikan tenggiri goreng yang direndam dalam cuka bawang, tidak terlalu asam, kan?”

“Ya.”

Amane tertawa dan berkata, “Kamu benar-benar memahamiku dengan baik,” dan Mahiru dengan malu-malu menjawab, “Karena aku sudah memasak untukmu selama setengah tahun.”

Memang, setelah makan bersama selama 6 bulan, Amane juga mulai memahami kesukaannya sendiri. Dengan begitu, meskipun baru setengah tahun sejak keduanya terlibat dalam hubungan ini, ada banyak hal yang memang terjadi dan membuat Amane menghela nafas dengan keras.

“…Kita mulai berpacaran dalam waktu setengah tahun, sungguh luar biasa.”

“Tapi menurutku itu waktu yang cukup lama, loh? Kamu terlalu tidak peka, dan bahkan menutup mata ketika kamu menyadari perasaanku, Amane-kun.”

“Um… maafkan aku”

“Fufu, aku tidak menyalahkanmu sekarang, aku tahu kamu sangat menghargaiku.”

Mahiru tersenyum seperti anak nakal, membuat Amane merasa sedikit tidak nyaman. Tetapi pada akhirnya, masalahnya terletak pada Amane yang tidak bisa mengambil keputusan, jadi Ia sepenuhnya mengakui kesalahannya.

“Yah, aku akan dengan jelas mengungkapkan cintaku mulai sekarang.”

“Ya, aku juga akan terus menyuarakannya.”

“…Aku akan malu jika Mahiru melakukannya terlalu banyak, jadi tolong jangan terlalu berlebihan.”

“Malu?”

“…Jangan ubah aku menjadi serigala.”

Jika Mahiru mulai bertingkah manja lagi, kewarasan Amane mungkin akan semakin menipis, jadi Ia berharap kalau Mahiru akan berhenti sebelum terlambat.

Mahiru sepertinya mengerti pesan Amane, dan wajahnya memerah, mulutnya berkedut seolah membuat suara. Mendengar jawabannya dengan suara kecil, “Ak-Aku akan lebih berhati-hati lagi nanti…”, Amane mencoba menahan diri agar tidak tersipu juga, dan hanya mengangguk dalam-dalam.

 

 

Sebelumnya || Daftar isi || Selanjutnya

close

Posting Komentar

Budayakan berkomentar supaya yang ngerjain project-nya tambah semangat

Lebih baru Lebih lama