Chapter 1 Part 4
Namun...
Keesokan harinya pada hari
senin, Yamana-san tiba di sekolah di menit-menit terakhir sebelum lonceng
berbunyi. Raut wajahnya tampak berantakan dan matanya terlihat bengkak karena
air mata sehingga siapapun yang melihatnya bisa langsung tahu.
“Kamu kenapa, Nikoru!? Kamu
sama sekali tidak membaca LINE-ku, jadi aku sangat khawatir, tau!?”
Pada jam istirahat, Luna
langsung bergegas ke tempat duduk Yamana-san.
Yamana-san yang tergeletak lesu
di mejanya dengan tangan terkulai, mulai membuka mulutnya dengan murung.
“....Aku ditolak.”
“Ehh!?”
Aku tak sengaja mendengarkan
karena tempat dudukku lumayan dekat, dan ketika mendengar perihal itu, aku
tanpa sadar bangkit dari tempat dudukku.
“Mana mungkin!? Kok bisa?
Kenapa!?”
Begitu mendengar komentar tak
terduga dari sahabatnya, Luna tampak marah dan nada suaranya jadi lebih keras.
“Apa itu berarti Ia cuma
mengincar tubuh Nikoru saja!? Setelah selesai melakukannya denganmu, Ia langsung mencampakkanmu!?”
Sementara teman-teman sekelas
di sekitarku juga memperhatikan “Apa? Ada
ribut-ribut apa, nih?”, Aku berdiri di dekat Luna seraya membaur dengan
yang lainnya untuk mendengar apa yang mereka bicarakan.
“... Tidak. Aku belum melakukannya.”
Yamana-san sepertinya tidak
punya tenaga untuk bangun dan menjawab dengan posisi yang sama.
“Setelah itu, Ia memberitahuku
di stasiun, 'Untuk sementara, ayo jaga
jarak dulu sebentar' ...”
“Kenapa!?”
“ ‘Aku ingin fokus pada ujianku dulu’ katanya ...”
“Bagaimana dengan bajumu!? Kamu
‘kan lumayan basah kuyup!”
“Senpai membelikanku beberapa
baju di toko Uniqlo dekat stasiun, aku lalu berganti baju dan pulang…”
“…………”
Luna tertegun sejenak ketika
titik kemarahan dipatahkan satu demi satu.
“... Ta-Tapi ‘kan. Kalau
begitu, bukannya berarti kamu “Ditolak”,
bukan? Kamu hanya jaga jarak sebentar saja, ‘kan? “
“... Iya sih ... tapi itu tetap
saja terlihat seperti ditolak.... Senpai bilang begini [Aku takkan menghubungimu lagi, dan bahkan jika kamu menghubungiku, aku
takkan membalasnya, kamu juga boleh melupakanku] ”
“Ke-Kenapa Ia mengatakan hal
yang egois seperti itu!?”
Luna gemetar karena marah,
tetapi Yamana-san yang matanya terlihat memerah, dalam keadaan linglung.
“... Apa karena aku terlalu
agresif, jadi mungkin Ia marah kepadaku? Mungkin Senpai lebih menyukai tipe gadis
lugu dan polos, jadi Ia menjauhkan diri...”
“Mana mungkin ...!”
“Aku pikir Ia hanya menggunakan
[Aku ingin fokus pada ujianku dulu’] sebagai
alasan saja dan cuma ingin menjauh dariku...”
Mungkin itu kesimpulan yang dia
dapatkan setelah bertanya pada dirinya sendiri puluhan kali tadi malam tanpa
bisa tidur.
“Hanya itu kemungkinan yang
bisa kupikirkan ...”
Yamana-san bergumam lemah
dengan tatapan kosong.
◇◇◇◇
“Aku sudah mendengarnya loh, Sekiya-san.
Kenapa kamu mengatakan hal semacam itu kepada Yamana-san ...”
Sepulang sekolah hari itu, aku langsung
membuka percakapan dengan Sekiya-san, yang menemuiku di ruang tunggu sekolah
bimbel seperti biasa.
Sepintas, penampilan Sekiya-san
tampak sama seperti biasanya. Namun, setelah dilihat-lihat lagi lebih dekat,
wajahnya menunjukkan warna kelelahan yang cukup parah.
Mungkin Sekiya-san juga sama-sama
tidak bisa tidur juga.
“Kamu malah tanya kenapa... kamu bisa melihatnya sendiri, ‘kan? Dia yang kemarin. Yang cuma dia pikirkan hanyalah pengen ngewe denganku.”
Kamu mau pamer tentang itu, hah!! Ayo coba bilang lagi ~~~!!
Aku menelan kembali kata-kata
iri tersebut dan membuka mulutku untuk memberikan pendapatku dengan tenang.
“... Bukannya itu sesuatu yang
kamu harapkan? Lagian juga, Yamana-san ‘kan pacarnya Sekiya-san.”
“Kalau dalam keadaan normal sih
memang begitu. Tapi kamu tahu sendiri dengan situasiku yang sekarang.”
“Yah, emang sih……”
Kemungkinan besar Ia
membicarakan kehidupannya sebagai seorang ronin
dan akan mengikuti ujian masuk.
“Lagipula itu gampang
diprediksi. Begitu kami mulai begituan, kami mungkin akan pergi ke
rumah satu sama lain atau hotel setiap kali ada waktu luang, dan keseharian seperti
monyet kawin akan berlanjut selama sekitar tiga bulan. Begitu aku kembali
tersadar menjadi manusia lagi, aku sudah menyelesaikan ujianku. Dalam banyak
artian.”
“Haaa ...”
Bagi diriku yang belum pernah
mengalaminya, ini adalah cerita yang sama-sama tidak realistisnya dengan Istana
Naga dari Legenda Urashima Taro.
“Awalnya kalian juga sama
seperti itu, ‘kan? Ah, kalian sudah lama pacaran, ya?”
“Ehh? Eng-Enggak, kok ...”
Karena objek pembicaraannya
tiba-tiba diarahkan kepadaku, dan aku menjadi panik dengan kurangnya pengalamanku.
“Rasanya seperti hubungan
kalian kelihatan lebih tenang. Ada nuansa adem ayem gimana gitu.”
“Tidak, umm itu ... kami sudah
pacaran sekitar 5 bulan sekarang.”
“Hmm. Jadi itu sebabnya kalian
sudah kelihatan tenang? Shirakawa-san adalah pacar pertamamu, ‘kan? Kalau aku
dulu ketika baru mendapat pacar pertama sih, aku justru bertingkah seperti
monyet nafsuan selama sekitar setengah tahun.”
“... Itu sih… ummm ...”
Tidak,
yang begini sih tidak bisa ditutupi...
Ketika aku berpikir begitu.
“... Hmmm... Begitu rupanya,
ya?”
Sekiya-san menyeringai
seolah-olah langsung memahami sesuatu.
“Yah namanya juga pacar
pertama. Apa itu karena cinta murni?”
“Bu-Bukannya begitu ...”
Hanya karena hasil jadi begini
bukan berarti hubungan platonis adalah niatku.
“... Maafkan daku yang masih
perjaka...”
Sekiya-san menertawakanku saat
aku menundukkan kepalaku, bukan dalam artian yang meledek.
“Yah, kurasa itu bagus-bagus
saja kok, cinta yang tulus dan murni. Aku dan Yamana ... setidaknya sampai
akhir ujian, aku senang jika bisa melakukan itu ...”
Aku merasakan keraguan terhadap
Sekiya-san yang memiliki pandangan jauh di wajahnya.
“Kenapa kamu tidak mengatakannya
saja kepada Yamana-san?”
“Mana mungkinlah. Bahkan dalam
dua minggu terakhir, kami tidak banyak bertemu, saling telponan juga jarang,
dan aku sudah membuatnya kerepotan. Alhasil, saat kita berkencan, dia jadi
lepas kendali, ‘kan? Kami bertemu lagi secara dramatis di festival,
dan karena terbawa suasana, kami akhirnya berpacaran satu sama lain, tapi bagaimanapun
juga itu mustahil dalam situasiku yang saat ini.”
“Ta-Tapi, jika kalian berdua
membicarakannya dengan benar, bahkan Yamana-san juga bisa memahami situasi Sekiya-san
yang saat ini dan mau menunggumu ...”
“Maksudmu membuatnya menunggu
sampai bulan Maret ketika semua ujian sudah selesai? Walaupun waktunya masih
empat bulan lagi?”
“Bukannya dia bisa menunggu?
Selama tiga tahun terakhir, dia selalu memikirkan Sekiya-san yang putus
darinya...”
“Itu sih bukannya berarti aku
memintanya untuk 'menunggu'-ku, ‘kan?
Ini sangat berbeda dari menjalin hubungan dan membuatnya menunggu.”
Sekiya-san mengatakan itu
dengan nada ketus seraya memalingkan wajahnya.
“Aku baru menyadarinya sejak lulus
SMA. Waktu di SMA memiliki masa yang berbeda dengan tahun-tahun sesudahnya.
Periode tersebut merupakan hal yang benar-benar berharga dan istimewa. Jika
seseorang memiliki waktu empat bulan, mereka bisa menjadi orang yang sama
sekali berbeda. Bukannya kamu setuju dengan itu?”
“Ehh ....?”
Aku mengingat diriku sendiri
ketika empat bulan yang lalu. Kebetulan waktu itu baru sekitar satu bulan sejak
aku berpacaran dengan Luna. Itu adalah waktu di mana aku tidak pernah
membayangkan sedikit pun peristiwa musim panas bergejolak yang akan menyertai.
Apalagi jika ditambah dengan
waktu empat bulan yang lebih jauh, aku hanyalah anggota KEN Kids dan cowok madesu, yang bahkan tidak berani bermimpi bisa
berpacaran dengan “Shirakawa-san”, sosok gadis yang kukagumi.
Memang, empat bulan bukanlah
waktu yang singkat.
“Aku merasa tidak tega
menyia-nyiakan waktu empat bulan itu demi diriku yang tidak bisa melakukan
apa-apa. Dia adalah gadis yang sangat baik dan aku tidak ingin merebut haknya untuk
menikmati masa mudanya dengan bebas bersama orang lain.”
Sekiya-san bergumam dan
menghela nafas dalam-dalam. Ekspresinya terlihat jengkel dengan sesuatu.
“Aku benar-benar tidak punya
waktu untuk berleha-leha. Aku sudah terlalu sibuk dengan urusanku sendiri, jadi
rasanya begitu sulit saat menyadari kalau ada seseorang yang menungguku ... dan
kupikir aku tidak bisa menanggungnya. Aku baru saja mendapatkan kembali hasil uji
coba ujian masuk, dan universitas pilihan pertamaku mendapat nilai D lagi kali
ini. ... “
Jadi itu penyebab dari
kejengkelanmu, ya?
Kira-kira
universitas mana yang ingin Sekiya-san masuki sampai-sampai belajar sekeras itu
saja masih tidak bisa dijangkau …. Saat memikirkan itu, aku
jadi cukup penasaran.
“Ngomong-ngomong, universitas
mana yang kamu tuju, Sekiya-san?”
Saat aku bertanya, Sekiya-san
menoleh ke samping dengan ekspresi enggan.
“... Sejujurnya sih, di mana
saja tidak masalah. Asalkan aku bisa diterima di fakultas kedokteran.”
Hah?
“Fa-Fakultas kedokteran!? Apa
kamu ingin menjadi dokter!?”
Sekiya-san menatapku dengan
ekspresi tercengang saat aku terkejut.
“Kamu benar-benar tidak tertarik
padaku, ya... Padahal aku selalu membuka buku pelajaran untuk kursus fakultas
kedokteran, loh.”
“…………”
Bahkan jika dikatakan demikian,
itu pernah terlintas di dalam pikiranku. Sepertinya aku kurang memperhatikannya.
“Fakultas Kedokteran , ya...”
Aku memiliki gambaran kalau
orang-orang yang bercita-cita seperti itu akan memasuki sekolah bimbel khusus,
tapi sekolah bimbel K juga memiliki kursus untuk bisa masuk ke fakultas
kedokteran, jadi tidak mengeherankan jika ada calon yang terdaftar.
“Ini bukanlah tujuan yang dapat
dicapai oleh seseorang yang selalu bermain-main selama tiga tahun di SMA hanya
dengan belajar selama satu tahun untuk menebusnya. Walau begitu, aku tidak
ingin membebani orang tuaku lagi ... Aku benar-benar ingin diterima tahun depan.”
“Demi menggapai itu... kamu
tidak punya pilihan lain selain menjaga jarak dari Yamana-san?”
Sekiya-san mengangguk kecil
padaku saat aku mengatakan ini dengan keengganan untuk melakukannya.
“... dengan keadaanku dan dia
yang sekarang, aku tidak punya pilihan selain melakukan ini.”
Setelah beberapa saat terdiam,
Sekiya-san menggaruk kepalanya seolah-olah dia merasa putus asa.
“Ya ampun, dia itu apa-apaan
sih. Kenapa dia malah ngebet banget kepengen melakukannya? Padahal dia sendiri masih
perawan. Sudah berapa kali dia membuatku membungkuk kemarin?”
Kalau
dikode begitu terus sih mustahil, aku enggak bakalan tahan jika kencan lagi
dengannya ... Sekiya-san bergumam begitu seperti rengekan, dan
akhirnya perasaan simpati mulai tumbuh di dalam diriku.
Ini masalah yang sama sekali
berbeda dariku, tapi pastinya hal itu merupakan situasi yang sulit dan
menyakitkan baginya.
“Bukannya itu karena dia sangat
mencintai Sekiya-san...?”
Aku menjawab dengan cara yang
menghibut, dan untuk beberapa alasan aku terkejut.
Suara Luna kembali terngiang di
dalam kepalaku.
——
Aku mencintaimu, Ryuuto!
Luna sering mengatakan itu
padaku. Aku tidak pernah meragukan kata-katanya, dan aku yakin kalau itu adalah
niatnya yang sebenarnya.
Akan tetapi.
Aku belum pernah merasakan aura
erotis dari Luna seperti yang aku rasakan dari Yamana-san kemarin.
Dengan pemikiran itu, aku harus
berpikir bahwa “cinta” Luna kepadaku
masih dalam tahap perkembangan.
Wajar saja jika dia belum memintaku
untuk melakukan begituan dengannya.
“ “ Haa~~ ... ” ”
Helaan napas yang berasal dari
lubuk hatiku kebetulan selaras dengan Sekiya-san.
“... Kenapa kamu malah
ikut-ikutan depresi segala?”
Ketika tatapan mata kami
bertemu, Sekiya-san tertawa lucu.
“Kalau begitu aku mau pergi ke
ruang belajar mandiri dulu. Aku harus mendapatkan nilai B pada ujian berikutnya
supaya bisa tepat waktu.”
Ia berkata dengan bercanda dan
bangkit dari tempat duduknya. Begitu melihatnya hendak pergi, aku tiba-tiba
teringat.
“Oh iya, Sekiya-san!”
Ketika aku ingin menyerahkan koin
yang ada di dalam kantongku, Sekiya-san melihat bagian atas telapak tanganku
dan mengerutkan keningnya.
“... Apa ini? Apa kamu
bermaksud ingin memberiku jimat keberuntungan?”
“Bukan, ini uang pengganti
popcorn tempo hari.”
Saat aku mengatakan ini,
ekspresi Sekiya-san terlihat santai.
“Oh yang itu ... kamu tuh orang
yang benar-benar teliti banget, ya.”
Kemudian Ia memasukkan
tangannya, yang memegang koin, ke dalam saku luarnya.
“Makasih. Aku mungkin akan
membeli oden atau semacamnya dengan ini."
Sosok punggungnya saat Ia pergi setelah mengatakan itu, terlihat lebih kecil dari biasanya.
Sebelumnya
|| || Selanjutnya