Our Dating Story Jilid 4 Bab 1 Bagian 5


Bab 1 Bagian 5

 

Dua minggu telah berlalu sejak saat itu, dan kalender mulai memasuki bulan Desember.

Suatu hari di dalam kelas, topik pembicaraan jam wali kelas membahas tentang “pengelompokan untuk jalan-jalan sekolah" di dalam kelas yang tegang karena waktu ujian akhir semester sudah semakin dekat.

Kami para anak kelas dua dijadwalkan untuk melakukan perjalanan sekolah pada bulan Maret. Karena perjalanan itu disebut “study tour”, masing-masing kelompok akan menggunakan waktu belajar terpadu mereka untuk menentukan jadwal kegiatan bebas dan meneliti sejarah dan budaya tempat-tempat yang akan mereka kunjungi.

“Jumlah orang dalam grup harus terdiri dari lima hingga tujuh orang, dan pastikan harus berisi campuran pria dan wanita. Kalau begitu, silahkan tentukan anggota grup kalian.”

Begitu mendengar perkataan ketua kelas, teman sekelas yang lain berdiri dari tempat duduk mereka dan mulai membentuk grupnya masing-masing.

“Ryuuto!”

Luna memanggilku ke arahnya. Di sana sudah ada Yamana-san dan Tanikita-san yang sedang bersamanya.

“Ayo masuk satu grup dengan kami.”

“Ya, dengan senang hati.”

Aku dan Luna sudah membicarakan tentang berada di grup yang sama untuk sementara waktu.

“Kalau Ijichi-kun sih gimana? Hari ini Ia masih belum masuk, ‘kan?”

“I-Iya……”

Luna bertanya padaku tentang itu, dan aku hanya menganggukkan kepalaku sambil melirik ke arah Tanikita-san.

Sejak kejadian festival sekolah itu, kesehatan Icchi mulai memburuk dan mengambil ijin sakit dari sekolah. Ia sering terlihat linglung ketika pergi ke sekolah, dan saat jam istirahat makan siang, Ia bahkan jarang menggerakan sumpitnya tanpa menghabiskan setengah dari bekal yang dibawanya. Sepertinya penolakan dari Tanikita-san menyebabkan luka hati yang cukup mendalam.

“Karena Kashima-kun juga ada di sini, gimana kalau kita memasukkannya ke dalam grup untuk berjaga-jaga?”

“Betul. Jika Ia ingin bergabung dengan grup lain, Ia bisa memberi tahuku nanti ketika sudah datang ke sekolah.”

Saat aku melihat Tanikita-san berbicara dengan Luna, dia sepertinya tidak terlalu tersiksa oleh rasa bersalah. Jika itu aku, aku pasti merasa tidak tahan, tapi sudah diduga, dia memang gadis yang ceria.

“Maria!”

Luna lalu meninggikan suaranya sekali lagi dan aku menguatkan diri.

“Ayo gabung satu grup dengan kami!”

Saat menoleh, aku bisa melihat Kurose-san yang kebingungan sedak didekati secara agresif oleh Luna.

“I... Iya...”

Kurose-san yang sepertinya tidak tahu harus bergabung dengan kelompok mana dan berlama-lama sendiri, mengangguk dengan ekspresi kaku.

“Horee~! Sudah diputuskan~!”

Luna menarik tangan Kurose-san dan menghampiri kami sambil berteriak senang. Kupikir alasan kenapa dia terlihat bersemangat tinggi seperti itu mungkin karena ingin menutupi kegugupannya dengan caranya sendiri.

“Dengan begini, jika ditambah Ijichi-kun, grup kita sudah oke, ‘kan?”

Kami mengangguk setuju dengan kata-kata Luna.

“Kalau saja Nishina-kun ada di sini, anggota Savage kita pasti sudah lengkap.”

“Apa boleh buat, Ia berada di kelas yang berbeda.”

Saat Tanikita-san menjawab begitu, aku tiba-tiba teringat Nisshi.

Nisshi, Ia pasti mengalami kesulitan saat pembagian grup di kelasnya ... Ia tidak mempunyai teman di kelas yang sama, jadi Ia selalu mampir ke kelasku setiap jam istirahat.

Meski demikian, aku juga tidak punya waktu untuk mengkhawatirkan orang lain.

Kurose-san, yang tatapan matanya kebetulan bertemu denganku, tersenyum padaku.

“…………”

Karena tak mampu mengatakan apa-apa, aku hanya menunjukkan ekspresi ambigu yang tidak bisa digambarkan sebagai senyuman masam atau senyum getir.

“Kalau begitu, mulai sekarang, kalian perlu berdiskusi dengan grup masing-masing dan mulai bekerja.”

Atas perintah perwakilan kelas, kami duduk berdekatan satu sama lain di setiap grup, dengan meja kami yang berdempetan

“Pertama-tama, tolong putuskan ketua dan wakil ketua masing-masing grup.”

Pada saat perwakilan kelas selesai mengatakan itu, Luna segera mengangkat tangannya.

“Aku! Aku! Aku mau menjadi ketua grup!”

Kemudian, dia menoleh ke arah Kurose-san yang duduk di sebelahnya.

“Lalu, Maria yang menjadi wakil ketuanya, tidak masalah ‘kan!?”

“Ehh……!?”

Kurose-san tampak tercengang dan tak bisa berkata apa-apa.

Ini juga pasti merupakan bagian dari “Rencana Pertemanan” Luna. Dengan bekerja dengan Kurose-san sebagai ketua dan wakil ketua grup, dia pasti bertujuan untuk memperpendek jarak di antara mereka.

Kalau begitu, aku juga harus membantu Luna ... setelah memantapkan tekad, aku lalu menatap Kurose-san.

“Ku-Kurose-san adalah orang yang teliti dan bertanggung jawab …. Jadi kupikir dia cocok untuk menjadi wakil ketua grup. Bahkan ketika aku bekerja sama dengannya dalam panitia festival …. Dia sangat terampil dan membantu.”

Begitu mendengar perkataanku, pipi Kurose-san terlihat sedikit merah merona.

“Kalau begitu ... baiklah, aku mau melakukannya.”

Pada saat ketua dan wakil ketua grup sudah diputuskan, perwakilan kelas kami mulai angkat bicara kembali.

“Untuk orang yang sudah menjadi ketua dan wakil ketua grup, silakan berkumpul di depan~! Mulai sekarang, aku akan menjelaskan tentang buku catatan belajar yang harus disiapkan sebelum perjalanan sekolah!”

“Ah, kita harus berkumpul ke depan! Maria, ayo pergi!”

“Hah? Eh, ya...”

Kurose-san yang terlihat bingung dari awal sampai akhir, dibawa ke depan kelas sembari mengikuti langkah Luna.

Satu-satunya yang tersisa di meja hanya ada aku, Yamana-san, dan Tanikita-san.

“Haaa~... Jalan-jalan sekolah, ya?”

Yamana-san menghela nafas berat dan Tanikita-san menatapnya.

“Nikorun, bagaimana kelanjutan hubunganmu dengan 'Senpai' sejak saat itu?”

“Sama sekali enggak ada kemajuan. Mana mungkin bakal ada kemajuan. Aku tidak ingin dibenci oleh Senpai lagi.”

“Yah~ apa boleh buat ‘kan. Ia sibuk dengan belajarnya.”

“…………”

Aku melihat Sekiya-san hampir setiap hari di sekolah bimbel, dan entah kenapa aku merasa kasihan pada Yamana-san.

Berbeda dengan Icchi yang masih berjuang dengan patah hatinya, Yamana-san tampaknya sudah banyak pulih.

“Senpai mungkin merasa tidak puas denganku ... Entah bagaimana, Senpai sepertinya sangat populer setelah masuk SMA. Ia pasti sudah sering berpacaran dengan banyak orang cantik ... Apa sebutannya saat berkencan, memandu? I melakukannya secara alami. Aku benar-benar terkejut ketika berkencan dengannya karena Ia sudah terbiasa dengan wanita tidak seperti dulu.”

Wajah Tanikita-san bersinar ketika mendengar curhatan Yamana-san.

“Ehh~ enak banget ya, punya pacar yang baik dan berpengalaman! Jika aku ingin pacaran, aku maunya sama cowok yang sudah terbiasa dengan gadis.”

“Eh, seriusan?”

“Iya dong, bukannya nanti aku akan mendapatkan kencan yang menyenangkan~! Dan aku ingin pacarku menuntunku dengan banyak hal.”

“Ehh, rasanya kayak seperti cowok playboy dan bikin khawatir. Bukannya lebih aman kalau sama cowok yang enggak terbiasa sama cewek?”

Aku berada di meja di antara mereka berdua dan terjebak dalam pembicaraan para gadis, karena kelihatannya tidak wajar kalau aku berpura-pura tidak mendengarkan, jadi setidaknya aku mencoba untuk terlihat baik dan mengambil sikap penuh perhatian..

“... Kalau aku sih, asalkan itu Senpai, yang perjaka pun tidak masalah.”

“Itu sih karena Nicorun jatuh cinta pada 'Senpai' saat Ia masih SMP!”

Tanikita-san dengan cepat membalas Yamana-san yang bergumam dengan wajah sedikit cemberut.

“Ketika menginjak kelas 2 SMA, kebanyakan cowok ganteng atau keren biasanya sudah punya pacar atau punya banyak pengalaman pacaran, iya ‘kan? Kalau sama cowok yang tidak berpengalaman sih, enggak bikin tertarik sama sekali~”

Kata “tidak berpengalaman” sangat menusuk tajam ke dalam hatiku, tapi aku menenangkan diri dan meyakini diriku sendiri kalau aku tidak perlu khawatir, aku sudah punya pacar.

“Karena perjaka merupakan bukti sebagai ‘pria yang tidak pernah dilirik wanita lain', iya ‘kan? Tidak ada alasan bagi seorang pria untuk secara sukarela mempertahankan keperjakaannya. Makanya enggak banget deh~”

Aku merasa seperti ada tombak besar yang menancap dadaku. Serangan itu terlalu mendadak untuk dihindari.

“Ugh ...”

Tanpa sadar aku keceplosan suara aneh, tapi aku baik-baik saja, baik-baik saja...

Aku sudah mempunyai Luna. Luna mengatakan kalau dia menyukaiku dan mau berpacaran denganku meskipun aku masih perjaka, dan pada waktunya ... Aku pasti bisa mengalami kelulusan yang penuh kasih dalam waktu yang tidak terlalu lama.

“…………”

Aku merasa kalau Yamana-san, yang seharusnya sudah mendengarkan detail hubungan kami dari Luna, menatapku dengan kasihan, mungkin karena dia merasakan kesunyianku.

“....Pastinya, keinginan seorang wanita bisa sangat kuat, iya ‘kan? Rasanya seperti menginginkan hal-hal yang sudah dimiliki atau diingikan orang lain, gitu~”

Ketika Yamana-san berkata begitu, Tanikita-san menanggapi dengan mengangguk penuh semangat.

“Bener banget~ bener banget~. Segala sesuatu yang dimiliki orang yang dikagumi pasti terlihat bagus. Begitulah tas dan aksesoris bermerek milik para selebriti menjadi populer.”

“Masalah kuku juga sama, loh~. Ada banyak gadis yang ingin melakukannya karena melihat temannya juga sama-sama melakukannya.”

Ujar Yamana-san sambil melihat kukunya yang dihias mencolok.

“Gadis-gadis tuh ingin memakan makanan yang sama dengan teman mereka, memiliki hal yang sama, dan berkata satu sama lain seperti, 'Itu bagus,' atau 'Itu membingungkan’. Rasanya sangat nyaman bisa bersimpati dengan orang lain.”

Kemudian Yamana-san tiba-tiba menatapku, yang telah berubah menjadi udara sampai sekarang.

“Sedangkan di sisi lain, cowok tuh mirip serigala penyendiri, iya ‘kan. Sesuatu yang disebut semangat perbatasan? Mereka melakukan perjalanan mencari wilayah yang belum terjamah, dan memiliki keinginan kuat untuk melihat apa yang belum pernah dilihat orang lain, bukan?”

“Ya-Yah ... aku tentu saja mengaguminya.”

“Perasaan khusus seperti ‘Hanya untukku’ atau ‘hanya aku yang tahu’ membuat mereka istimewa? Rasa superioritas? Bukannya yang begitu ‘tuh penting buat cowok?”

“Ya-Yah itu sih, biasanya begitu...”

Kupikir itu adalah keinginan alami yang dimiliki setiap manusia, tapi mungkin bagi kebanyakan gadis menganggap kalau itu tidak begitu penting?

Sudut pandang baru itu cukup menyegarkan.

“Aku tidak terlalu suka menyamakan “karena mereka laki-laki” dan “karena mereka perempuan”, tapi faktanya mereka memang berbeda, jadi mau bagaimana lagi. Tapi tentu saja, ada pengecualian.”

“Haa ....”

Aku merasa terkesan seperti biasanya, tiba-tiba merasa penasaran dengan sesuatu.

“... Ya-Yamana-san tuh tidak pernah berpacaran dengan orang lain selain Sekiya-san, ‘kan? Bagaimana kamu bisa tahu banyak tentang masalah percintaan?”

Yamana-san lalu menanggapi dengan “Hmmm~” sambil memainkan rambutnya dengan ujung jarinya.

“Hmm, mau dilihat bagaimana pun, aku lebih mirip seper karakter Anego, iya ‘kan? Sejak SMP, teman-teman dan kouhai-ku selalu meminta nasihat tentang masalah percintaan.” (TN: Karakter Anego tuh kayak cewek yang paling dihormati di geng mereka, mungkin yang sering nonton anime perkelahian anak SMA bisa ngerti maksudnya)

Memang sih, aku juga sempat berpikir kalau dia orang yang punya banyak pengalaman dalam cinta sampa aku mengetahui situasi pribadinya.

“Pada awalnya, aku hanya iseng mendengarkan curhatan mereka saja, tapi ketika mendengarkan berbagai kisah cinta, aku mulai memahami perbedaan antara cinta dan keinginan antara pria dan wanita.”

Karena dia tahu betul bagaimana keinginan seorang pria, jadi dia mencoba merayu Sekiya-san, tapi akibatnya dia justru dijauhi olehnya, rasanya seperti melihat kejadian langsung dari pepatah ‘Senjata makan tuan’.

“Dalam hal itu, satu-satunya orang yang harus berhati-hati mulai sekarang adalah kamu, Kashima Ryuuto.”

“Eh!?”

Karena namaku tiba-tiba diungkit dan ditegur, aku jadi sedikit terkejut karena sempat melamun sebentar.

“Karena ada banyak gadis yang mengagumi Luna. Bahkan aktris cantik dan terkenal sekali pun terkadang memiliki skandal karena suaminya berselingkuh, tau? Kasus begitu tuh biasanya pasangan selingkuhannya hanya ingin sesuatu yang mirip seperti ‘Ingin memiliki tas mahal yang sama dengan artis yang dia kagumi’.

“Ap-Apaan itu ...”

"Psikologi yang baru saja kusebutkan. Itu sebabnya cowok dengan pacar yang menawan mulai menjadi lebih populer daripada pesona aslinya.”

Memangnya cowok disamakan dengan tas merek ...? Menurutku kaum gadis sungguh sangat menakutkan.

“Tapi mungkin ucapakanku tidak terlalu salah. Bahkan jika kamu tidak menyukai cowok itu, terkadang kamu akan berpikir, 'Jika itu cowok yang dia pilih, cowok itu pasti cowok yang mekajubkan,' dan cowok tersebut terlihat 50 persen lebih tampan.”

“Nah itu tuh. Itulah yang paling berbahaya.”

Yamana-san mencondongkan tubuhnya ke depan dalam menanggapi seruan Tanikita-san.

“Kamu harus lebih berhati-hati lagi, oke?”

Dia menatap tajam ke arah wajahku, dan aku menanggapinya dengan sedikit panik.

“Eh? I-Iya...”

“Jika ada seorang gadis yang mendekatimu di masa depan, aku akan menegaskannya sekali lagi, orang yang membuatnya tertarik bukanlah mengenai kamu sendiri, tapi melainkan si Luna.”

“Ehh~ tapi mungkin saja ada gadis yang benar-benar menyukai Kashima-kun sebagai tipenya, ‘kan ?”

Yamana-san menyilangkan tangannya ketika menanggapi perkataan Tanikita-san.

“Jika dia adalah gadis yang sama sekali tidak mengenal Luna, mungkin saja begitu. Kecuali jika dia belum pernah melihat fotonya atau bahkan tidak tahu kalau cowok ini sudah punya pacar.”

“Hmmm~ kalau gitu, orang-orang dari sekolah kita sih kayaknya mustahil deh~. Saat melihat Kashima-kun, aku pasti kepikiran tentang Lunacchi.”

'Pacarnya Shirakawa Luna' iya, ‘kan?”

“………”

Setelah dibilang sampai sejauh itu oleh mereka berdua, aku segera diam.

Rupanya, Luna mempunyai pengaruh karismatik lebih di antara gadis-gadis daripada yang kubyangkan.

“... Ada apa? Apa jangan-jangan sudah ada gadis yang mencoba mendekatimu?”

Yamana-san melototiku dengan ringan, dan aku tersadar dari renunganku.

“Ti-Tidak, enggak ada kok ...”

Pada saat itu, Kurose-san kembali mendekati meja kami. Dia meletakkan banyak lembaran cetakan yang di bawa di dadanya di atas meja dengan bunyi gedebuk.

Salah satu dari lembaran itu terjatuh ke lantai dan ketika aku ingin mengulurkan tangan untuk mengambilnya, tanganku justru menyentuh tangan lain yang mengambil cetakan itu pada waktu yang hampir bersamaan.

“Ahh, maaf.”

Aku buru-buru mengangkat wajahku dan melihat wajah Kurose-san yang memerah.

“... Enggak apa-apa, maafin aku juga, ya.”

Smebari dengan lembut mengelus punggung tangannya yang menyentuh tanganku, Kurose-san meletakkan kembali lebaran cetakan itu di atas meja.

“Apa semua sudah melihat lembar cetakannya?”

Kemudian, Luna pun kembali ke meja kami.

“Masih belum. Ini saja baru nyampe setelah dibawa Kurose-san.”

Tanikita-san menjawab dan mengambil bagiannya sendiri dari tumpukan cetakan yang sepertinya cukup untuk jumlah semua orang.

“Uwahh ribet banget! Emangnya kita harus melakukan penelitian dan mengisi semua tanda kosong ini~!?”

“Asalkan bisa bersenang-senang selama jalan-jalan nanti, tugas segini mah tidak masalah, ‘kan~?”

Sebelum Tanikita dan Yamana bisa mengeluh, Kurose-san dengan acuh tak acuh merapikan lembaran cetakan dan membagikannya dengan yang lain.

“Makasih banyak ya, Maria!”

Luna yang duduk di kursi, dengan riang berterima kasih padanya sambil menerima lembaran cetakan darinya.

“... Ehh, sejak kapan Lunacchi dan Kurose-san menjadi akrab satu sama lain?”

Ketika melihat interaksi mereka berdua, Tanikita-san bertanya dengan wajah keheranan.

“Selama persiapan festival sekolah, ketika Takei-sensei datang untuk membantuku dengan dekorasi, Ia mengeluh ‘Anak panitia pamflet mengalami kesulitan~’ dan mengkhawatirkan jika semuanya tidak berjalan dengan baik, loh~?”

Setelah mendengar itu, Luna dan Kurose-san berhenti bergerak sejenak. Meskipun mereka sadar satu sama lain, tapi mereka tidak saling memandang dan hanya bisa tersenyum pahit.

“Ehh~ enggak ada masalah yang seperti itu, kok. Pembuatan pamfletnya juga berjalan lancar! Iya ‘kan, Ryuuto?”

“I-Iya……”

Aku segera mengangguk saat dimintai persetujuan oleh Luna. Kejujuran Luna bisa terlihat dari ekspresinya, “enggak ada masalah yang seperti itu, kok”.

“Begitu ya...? Syukurlah kalau begitu.”

Namun demikian, sepertinya Tanikita-san juga menyadari suasana canggung yang terjadi di antara Luna dan Kurose-san, lalu topik tersebur berakhir dengan sedikit ambigu.

Yamana-san yang sudah mengetahui hubungan sebenarnya antara Luna dan Kurose-san, hanya mengamati situasi itu dengan tenang, aku merasa agak tidak nyaman di bawah tatapannya, mungkin karena topik yang baru saja kami diskusikan, dan sejak saat itu aku tidak berani melihat ke arah Kurose-san.

 

◇◇◇◇

 

“... Jadi, hari ini apa yang terjadi? Karena berbagai hal, rasanya hampir bikin aku mati. Kamu sudah tahu sendiri, ‘kan?”

Di sekolah bimbel sepulang sekolah hari itu, setelah mengemil di ruang santai seperti biasa, Sekiya-san menatapku dengan tatapan mencurigakan.

“Eh....?”

“Pasti ada sesuatu yang ingin kamu bicarakan, bukan? Dari tadi kamu terlihat bengong melulu. Kamu bahkan tidak segera membuang sampah setelah selesai makan, seolah-olah kamu ingin mengulur waktu.”

“Ah……”

Jadi Sekiya-san menyadarinya, ya.

Aku sendiri masih belum bisa memilahnya dengan baik, jadi aku sedikit bimbang apakah aku bisa membicarakan masalah ini dengannya atu tidak.

“... Umm sebenarnya, ini mengenai Kurose-san”

“Nah loh, lagi-lagi masalah 'Kurose-san'

Sekiya-san bersandar pada sandaran kursi dengan ekspresi tercengang.

“Lalu, ada masalah apa lagi dengan Kurose-san?”

“Kami berada di grup yang sama dalam jalan-jalan sekolah.”

“Terus?”

“Aku kebingungan dengan apa yang harus kulakukan?”

“Hah?”

Sekiya-san mengerutkan alisnya dengan jelas.

Benar juga. Aku tahu. Bahkan aku pun akan bereaksi sama jika mendengar seseorang bertanya kepadaku seperti itu.

“Memangnya ada masalah dengan itu?”

“Tidak... ini cuma masalah perasaanku saja.”

“Perasaan, ya~”

“Karena Kurose-san juga gadis yang baik hati.”

“Jadi, apa kamu ingin ganti haluan?”

“Tidak! Aku tidak pernah kepikiran hal itu sama sekali.”

“Lalu, apa kamu ingin meluluskan keperjakaanmu dengan Kurose-san dulu sebelum bisa meniduri pacarmu?”

“Y-Ya enggak lah!”

Setelah diberitahu hal-hal ekstrem satu demi satu, mau tak mau aku mulai membayangkannya, dan wajahku menjadi panas.

“... Aku mulai melihat Kurose-san sebagai seorang wanita,... Hanya dengan saling bersentuhan tangan saja sudah membuat hatiku berdebar kencang  ... Kupikir hal semacam itu merupakan tindakan tidak setia kepada Luna.”

Sekiya-san bahkan tidak berusaha menyembunyikan wajahnya yang kecewa.

“Memangnya kamu itu ... perjaka, ya. Ah kelupaan, kamu memang masih perjaka. Maaf.”

Aku dibiarkan sendiri dan berpikir “Sialan!”,  aku bahkan tidak bisa membantahnya dan hanya bisa menunduk lemas.

“Kalau itu sih apa boleh buat, karena kamu seorang laki-laki. Jika tanganmu saling bersentuhan, anggap saja kalau kamu lagi beruntung.”

“Meskipun aku tahu kalau gadis itu menyukaiku?”

“Enggak masalah. Bukannya itu pengalaman yang mantap? Artinya kamu bisa langsung menikmati serunya hari-hari awal menjalin hubungan tanpa harus repot-repot pacaran, kan? Sebagai lelaki, kamu pasti ingin merasakan bagaimana rasanya menjadi populer, iya ‘kan?”

“Ta-Tapi aku tidak mau putus dengan Luna. Aku merasa kasihan dengan Kurose-san jika hubungan kita terus semakin dekat ...”

“Kalau itu sih, masa bodo banget.”

“Tapi ‘kan…”

Kurose-san adalah adik perempuan Luna ... jadi kupikir…

“Yah, kamu mah cowok yang serius, sih ...”

Sekiya-san lalu menyilangkan tangannya. Kemudian tiba-tiba ekspresinya berubah seolah-olah dilanda kehampaan.

“... Lagipula, kamu seriusan ingin berkonsultasi dengan keadaanku yang sekarang?”

“Eh?”

“Atau mungkin kamu itu tipe orang yang bisa berbicara santai dengan orang India, 'Menurutmu, mana yang enak untuk dimakan, steak atau sukiyaki?'

“Apa-apaan itu ...”

Orang India ... mayoritas beragama Hindu ... Dengan kata lain, berbicara tentang daging sapi kepada seseorang yang tidak bisa makan daging sapi = sama saja dengan meminta saran dari Sekiya-san yang sudah memutuskan hubungan dengan pacarnya. Sungguh perumpamaan yang terlalu bertele-tele. Tapi aku merasa kalau ini seperti Sekiya-san banget.

“Dengarkan ini baik-baik, oke? Semua teman lawan jenis adalah ‘lebih dari teman, tapi bukan kekasih’ selama orientasi seksualmu itu normal.”

Setelah diberitahu blak-balakan begitu, aku lalu merenungkannya.

“... Ta-Tapi ada beberapa gadis yang bisa berbicara santai dengan lawan jenis tanpa terlalu merasa kegeeran.”

Aku langsung memikirkan Yamana-san dan Tanikita-san. Meski tidak bisa dibilang dekat, tapi secara normal ... orang lain mungkin melihatku sedikit aneh, tapi menurutku, aku bisa berbicara cukup normal dengan mereka.

“Itu sih karena gadis-gadis itu sama sekali tidak menunjukkan ketertarikan romantis padamu. Enggak tahu juga, sih. Tapi coba bayangkan, bagaimana kalau mereka memperlakukanmu dengan penuh kasih sayang?”

“Ehh....”

Meski dalam keadaan sedikit bingung, tapi aku tetap mencoba melakukan apa yang diperintahkan. Sebagai percobaan, aku membayangkan Yamana-san ... Ekspresi penuh kasih sayangnya saat menatap Sekiya-san terlihat sangat menggemaskan, bahkan dari sudut pandang pengamat biasa. Bagaimana jika ekspresinya itu ditujukan padaku...?

“Tidak terlalu buruk, ‘kan?”

“... Y-Yah, begitulah.”

Aku menganggukkan kepalaku dengan suara kecil, merasa canggung karena mencoba membayanfkan Yamana-san di depan Sekiya-san.

“Jadi begitulah maksudnya. Tidak ada satu pun teman cewek yang takkan membuat hatimu berdetak kencang. Lagian, bukannya berarti kamu benar-benar menyelingkuhinya, jadi kalau cuma berbicara dengan gadis yang menyukaimu seharusnya tidak masalah, ‘kan~? Menikmati sensasi amoralitas karena main belakang dengan adik pacarmu …. Yah kamu mungkin tidak bisa menikmatinya,  tapi kamu sama sekali tidak melakukan suatu kesalahan, jadi kamu perlu bertingkah seperti biasanya saja.”

Bertingkah seperti biasanya…….

Bertingkah biasanya tuh, seperti apa maksudnya?

“Ta-Tapi, setidaknya aku harus memberitahu dulu kepada Luna, iya ‘kan?”

“Emangnya kamu ini bego apa? Mau bilang apa sama pacarmu? ‘Hatiku berdebar kencang ketika mengobrol dengan adikmu’, mau bilang begitu? Coba bayangkan dari sudut pandang pacarmu. Terkadang lebih baik kalau dia tidak tahu. Berbagi segalanya dengan pacarmu bukan berarti itu menunjukkan ketulusanmu.”

Perkataan Sekiya-san terdengar begitu benar sampai-sampai aku tidak bisa mengucapkan sepatah kata pun.

“Jika kamu terus melakukan itu, kamu tidak bisa berpacaran dengan gadis lain selain pacarmu saat ini selama sisa hidupmu. Bahkan jika kamu punya pacar, mengobrol dengan gadis-gadis imut tidak ada salahnya, ‘kan? Kamu hanya perlu menikmatinya atau merasa beruntung. Jagalah duniamu sendiri. Nikmati hidupmu sepuasnya. Apa kamu mau tidak mempunyai teman cewek selama sisa hidupmu?”

“Itu sih….”

Kupikir, itu, tidak bagus.

Tapi, kenapa?

“Sudah! Sudah! Mendingan ayo pergi ke ruang belajar mandiri. Apa-apaan sih, kamu cuma menyombongkan kepopuleranmu, dasar brengsek.”

Sekiya-san bangkit dari kursinya dengan perasaan jengkel dan mulai membersihkan meja.

Sambil ikut menirunya, aku masih kepikiran dengan sesuatu yang masih mengganjal di hatiku.

“... Ketimbang mikirin masalah itu, apa kamu sudah memutuskan universitas mana yang kamu inginkan?”

“Eh?”

Aku kebingungan ketika ditanya begitu dalam perjalanan ke ruang belajar.

“Aku masih kelas 2 SMA, tau?”

“Meski begitu, ada juga yang sudah memutuskan pilihannya, tau. Bukannya itu aneh meskipun kamu sudah mulai belajar untuk ujian masuk, tapi belum memutuskan universitas mana yang ingin kamu tuju? Itu tidak sepadan dengan usahamu.”

“…………”

Memang benar sih ... Aku sudah berusaha melakukan terbaik yang kubisa, tapi hal itu tidak dapat dipungkiri bahwa aku masih merasa bimbang karena aku belum menetapkan tujuan.

“Tentu saja belajar itu penting, tetapi kamu harus meluangkan waktu untuk memikirkan universitas mana yang ingin kamu masuki. Jika tidak, kamu akan terjebak.”

“Hah ...”

Alasanku jadi sedikit tersentak karena, seperti yang dikatakan Sekiya-san, aku sudah menemui jalan buntu dalam belajarku.

Luna memiliki lebih banyak pengalaman daripada diriku dan jauh lebih dewasa meskipun kami seumuran. Aku ingin menyusulnya secepat mungkin, itulah sebabnya aku mulai belajar untuk ujian masuk.

Aku merasa tidak bisa menyusulnya sama sekali.

Padahal aku ingin menjadi dewasa secepat mungkin.

Aku masih perjaka, dan aku bahkan masih belum tahu sudah seberapa dekat dengan tujuan belajarku untuk ujian masuk saat ini. Tidak mengherankan aku kebingungan begitu karena tujuanku sendiri masih belum ditetapkan.

Mungkin karena ketidaksabaran seperti itulah yang terkadang membuatku merasa lemas, padahal aku berada di ruang belajar setiap hari, dengan ilusi bahwa hanya semangatku saja yang menggebu-gebu.

Aku malu karena merasa kalau Sekiya-san bisa membaca pemikiran batinku.

“Akan kupikirkan baik-baik hal itu……”

Untuk saat ini, aku hanya bisa menjawab begitu dan mengikuti Sekiya-san melewati pintu ruang belajar.

 

 

Sebelumnya ||   || Selanjutnya

 

close

Posting Komentar

Budayakan berkomentar supaya yang ngerjain project-nya tambah semangat

Lebih baru Lebih lama