Bab 1 Bagian 5
Dua minggu telah berlalu sejak saat
itu, dan kalender mulai memasuki bulan Desember.
Suatu hari di dalam kelas,
topik pembicaraan jam wali kelas membahas tentang “pengelompokan untuk jalan-jalan sekolah" di dalam
kelas yang tegang karena waktu ujian akhir semester sudah semakin dekat.
Kami para anak kelas dua
dijadwalkan untuk melakukan perjalanan sekolah pada bulan Maret. Karena
perjalanan itu disebut “study tour”,
masing-masing kelompok akan menggunakan waktu belajar terpadu mereka untuk
menentukan jadwal kegiatan bebas dan meneliti sejarah dan budaya tempat-tempat
yang akan mereka kunjungi.
“Jumlah orang dalam grup harus terdiri
dari lima hingga tujuh orang, dan pastikan harus berisi campuran pria dan
wanita. Kalau begitu, silahkan tentukan anggota grup kalian.”
Begitu mendengar perkataan
ketua kelas, teman sekelas yang lain berdiri dari tempat duduk mereka dan mulai
membentuk grupnya masing-masing.
“Ryuuto!”
Luna memanggilku ke arahnya. Di
sana sudah ada Yamana-san dan Tanikita-san yang sedang bersamanya.
“Ayo masuk satu grup dengan
kami.”
“Ya, dengan senang hati.”
Aku dan Luna sudah membicarakan
tentang berada di grup yang sama untuk sementara waktu.
“Kalau Ijichi-kun sih gimana?
Hari ini Ia masih belum masuk, ‘kan?”
“I-Iya……”
Luna bertanya padaku tentang
itu, dan aku hanya menganggukkan kepalaku sambil melirik ke arah Tanikita-san.
Sejak kejadian festival sekolah
itu, kesehatan Icchi mulai memburuk dan mengambil ijin sakit dari sekolah. Ia
sering terlihat linglung ketika pergi ke sekolah, dan saat jam istirahat makan
siang, Ia bahkan jarang menggerakan sumpitnya tanpa menghabiskan setengah dari
bekal yang dibawanya. Sepertinya penolakan dari Tanikita-san menyebabkan luka
hati yang cukup mendalam.
“Karena Kashima-kun juga ada di
sini, gimana kalau kita memasukkannya ke dalam grup untuk berjaga-jaga?”
“Betul. Jika Ia ingin bergabung
dengan grup lain, Ia bisa memberi tahuku nanti ketika sudah datang ke sekolah.”
Saat aku melihat Tanikita-san
berbicara dengan Luna, dia sepertinya tidak terlalu tersiksa oleh rasa
bersalah. Jika itu aku, aku pasti merasa tidak tahan, tapi sudah diduga, dia
memang gadis yang ceria.
“Maria!”
Luna lalu meninggikan suaranya
sekali lagi dan aku menguatkan diri.
“Ayo gabung satu grup dengan
kami!”
Saat menoleh, aku bisa melihat
Kurose-san yang kebingungan sedak didekati secara agresif oleh Luna.
“I... Iya...”
Kurose-san yang sepertinya
tidak tahu harus bergabung dengan kelompok mana dan berlama-lama sendiri, mengangguk
dengan ekspresi kaku.
“Horee~! Sudah diputuskan~!”
Luna menarik tangan Kurose-san
dan menghampiri kami sambil berteriak senang. Kupikir alasan kenapa dia
terlihat bersemangat tinggi seperti itu mungkin karena ingin menutupi
kegugupannya dengan caranya sendiri.
“Dengan begini, jika ditambah
Ijichi-kun, grup kita sudah oke, ‘kan?”
Kami mengangguk setuju dengan
kata-kata Luna.
“Kalau saja Nishina-kun ada di
sini, anggota Savage kita pasti sudah lengkap.”
“Apa boleh buat, Ia berada di
kelas yang berbeda.”
Saat Tanikita-san menjawab
begitu, aku tiba-tiba teringat Nisshi.
Nisshi, Ia pasti mengalami
kesulitan saat pembagian grup di kelasnya ... Ia tidak mempunyai teman di kelas
yang sama, jadi Ia selalu mampir ke kelasku setiap jam istirahat.
Meski demikian, aku juga tidak
punya waktu untuk mengkhawatirkan orang lain.
Kurose-san, yang tatapan matanya
kebetulan bertemu denganku, tersenyum padaku.
“…………”
Karena tak mampu mengatakan
apa-apa, aku hanya menunjukkan ekspresi ambigu yang tidak bisa digambarkan sebagai
senyuman masam atau senyum getir.
“Kalau begitu, mulai sekarang,
kalian perlu berdiskusi dengan grup masing-masing dan mulai bekerja.”
Atas perintah perwakilan kelas,
kami duduk berdekatan satu sama lain di setiap grup, dengan meja kami yang
berdempetan
“Pertama-tama, tolong putuskan
ketua dan wakil ketua masing-masing grup.”
Pada saat perwakilan kelas
selesai mengatakan itu, Luna segera mengangkat tangannya.
“Aku! Aku! Aku mau menjadi
ketua grup!”
Kemudian, dia menoleh ke arah
Kurose-san yang duduk di sebelahnya.
“Lalu, Maria yang menjadi wakil
ketuanya, tidak masalah ‘kan!?”
“Ehh……!?”
Kurose-san tampak tercengang
dan tak bisa berkata apa-apa.
Ini juga pasti merupakan bagian
dari “Rencana Pertemanan” Luna.
Dengan bekerja dengan Kurose-san sebagai ketua dan wakil ketua grup, dia pasti
bertujuan untuk memperpendek jarak di antara mereka.
Kalau
begitu, aku juga harus membantu Luna ... setelah memantapkan tekad,
aku lalu menatap Kurose-san.
“Ku-Kurose-san adalah orang
yang teliti dan bertanggung jawab …. Jadi kupikir dia cocok untuk menjadi wakil
ketua grup. Bahkan ketika aku bekerja sama dengannya dalam panitia festival ….
Dia sangat terampil dan membantu.”
Begitu mendengar perkataanku,
pipi Kurose-san terlihat sedikit merah merona.
“Kalau begitu ... baiklah, aku
mau melakukannya.”
Pada saat ketua dan wakil ketua
grup sudah diputuskan, perwakilan kelas kami mulai angkat bicara kembali.
“Untuk orang yang sudah menjadi
ketua dan wakil ketua grup, silakan berkumpul di depan~! Mulai sekarang, aku
akan menjelaskan tentang buku catatan belajar yang harus disiapkan sebelum
perjalanan sekolah!”
“Ah, kita harus berkumpul ke
depan! Maria, ayo pergi!”
“Hah? Eh, ya...”
Kurose-san yang terlihat bingung
dari awal sampai akhir, dibawa ke depan kelas sembari mengikuti langkah Luna.
Satu-satunya yang tersisa di
meja hanya ada aku, Yamana-san, dan Tanikita-san.
“Haaa~... Jalan-jalan sekolah,
ya?”
Yamana-san menghela nafas berat
dan Tanikita-san menatapnya.
“Nikorun, bagaimana kelanjutan
hubunganmu dengan 'Senpai' sejak saat
itu?”
“Sama sekali enggak ada
kemajuan. Mana mungkin bakal ada kemajuan. Aku tidak ingin dibenci oleh Senpai
lagi.”
“Yah~ apa boleh buat ‘kan. Ia
sibuk dengan belajarnya.”
“…………”
Aku melihat Sekiya-san hampir
setiap hari di sekolah bimbel, dan entah kenapa aku merasa kasihan pada
Yamana-san.
Berbeda dengan Icchi yang masih
berjuang dengan patah hatinya, Yamana-san tampaknya sudah banyak pulih.
“Senpai mungkin merasa tidak
puas denganku ... Entah bagaimana, Senpai sepertinya sangat populer setelah
masuk SMA. Ia pasti sudah sering berpacaran dengan banyak orang cantik ... Apa
sebutannya saat berkencan, memandu? I melakukannya secara alami. Aku benar-benar
terkejut ketika berkencan dengannya karena Ia sudah terbiasa dengan wanita
tidak seperti dulu.”
Wajah Tanikita-san bersinar
ketika mendengar curhatan Yamana-san.
“Ehh~ enak banget ya, punya pacar
yang baik dan berpengalaman! Jika aku ingin pacaran, aku maunya sama cowok yang
sudah terbiasa dengan gadis.”
“Eh, seriusan?”
“Iya dong, bukannya nanti aku
akan mendapatkan kencan yang menyenangkan~! Dan aku ingin pacarku menuntunku
dengan banyak hal.”
“Ehh, rasanya kayak seperti
cowok playboy dan bikin khawatir. Bukannya lebih aman kalau sama cowok yang
enggak terbiasa sama cewek?”
Aku berada di meja di antara
mereka berdua dan terjebak dalam pembicaraan para gadis, karena kelihatannya
tidak wajar kalau aku berpura-pura tidak mendengarkan, jadi setidaknya aku mencoba
untuk terlihat baik dan mengambil sikap penuh perhatian..
“... Kalau aku sih, asalkan itu
Senpai, yang perjaka pun tidak masalah.”
“Itu sih karena Nicorun jatuh
cinta pada 'Senpai' saat Ia masih
SMP!”
Tanikita-san dengan cepat
membalas Yamana-san yang bergumam dengan wajah sedikit cemberut.
“Ketika menginjak kelas 2 SMA, kebanyakan
cowok ganteng atau keren biasanya sudah punya pacar atau punya banyak
pengalaman pacaran, iya ‘kan? Kalau sama cowok yang tidak berpengalaman sih,
enggak bikin tertarik sama sekali~”
Kata “tidak berpengalaman” sangat menusuk tajam ke dalam hatiku, tapi
aku menenangkan diri dan meyakini diriku sendiri kalau aku tidak perlu
khawatir, aku sudah punya pacar.
“Karena perjaka merupakan bukti
sebagai ‘pria yang tidak pernah dilirik
wanita lain', iya ‘kan? Tidak ada alasan bagi seorang pria untuk secara
sukarela mempertahankan keperjakaannya. Makanya enggak banget deh~”
Aku merasa seperti ada tombak
besar yang menancap dadaku. Serangan itu terlalu mendadak untuk dihindari.
“Ugh ...”
Tanpa sadar aku keceplosan
suara aneh, tapi aku baik-baik saja, baik-baik saja...
Aku sudah mempunyai Luna. Luna
mengatakan kalau dia menyukaiku dan mau berpacaran denganku meskipun aku masih
perjaka, dan pada waktunya ... Aku pasti bisa mengalami kelulusan yang penuh kasih dalam waktu yang tidak terlalu lama.
“…………”
Aku merasa kalau Yamana-san,
yang seharusnya sudah mendengarkan detail hubungan kami dari Luna, menatapku
dengan kasihan, mungkin karena dia merasakan kesunyianku.
“....Pastinya, keinginan seorang
wanita bisa sangat kuat, iya ‘kan? Rasanya seperti menginginkan hal-hal yang
sudah dimiliki atau diingikan orang lain, gitu~”
Ketika Yamana-san berkata
begitu, Tanikita-san menanggapi dengan mengangguk penuh semangat.
“Bener banget~ bener banget~.
Segala sesuatu yang dimiliki orang yang dikagumi pasti terlihat bagus. Begitulah
tas dan aksesoris bermerek milik para selebriti menjadi populer.”
“Masalah kuku juga sama, loh~.
Ada banyak gadis yang ingin melakukannya karena melihat temannya juga sama-sama
melakukannya.”
Ujar Yamana-san sambil melihat
kukunya yang dihias mencolok.
“Gadis-gadis tuh ingin memakan
makanan yang sama dengan teman mereka, memiliki hal yang sama, dan berkata satu
sama lain seperti, 'Itu bagus,' atau 'Itu
membingungkan’. Rasanya sangat nyaman bisa bersimpati dengan orang lain.”
Kemudian Yamana-san tiba-tiba
menatapku, yang telah berubah menjadi udara sampai sekarang.
“Sedangkan di sisi lain, cowok
tuh mirip serigala penyendiri, iya ‘kan. Sesuatu yang disebut semangat
perbatasan? Mereka melakukan perjalanan mencari wilayah yang belum terjamah, dan
memiliki keinginan kuat untuk melihat apa yang belum pernah dilihat orang lain,
bukan?”
“Ya-Yah ... aku tentu saja
mengaguminya.”
“Perasaan khusus seperti ‘Hanya untukku’ atau ‘hanya aku yang tahu’ membuat mereka
istimewa? Rasa superioritas? Bukannya yang begitu ‘tuh penting buat cowok?”
“Ya-Yah itu sih, biasanya
begitu...”
Kupikir itu adalah keinginan
alami yang dimiliki setiap manusia, tapi mungkin bagi kebanyakan gadis
menganggap kalau itu tidak begitu penting?
Sudut pandang baru itu cukup
menyegarkan.
“Aku tidak terlalu suka
menyamakan “karena mereka laki-laki”
dan “karena mereka perempuan”, tapi
faktanya mereka memang berbeda, jadi mau bagaimana lagi. Tapi tentu saja, ada
pengecualian.”
“Haa ....”
Aku merasa terkesan seperti
biasanya, tiba-tiba merasa penasaran dengan sesuatu.
“... Ya-Yamana-san tuh tidak
pernah berpacaran dengan orang lain selain Sekiya-san, ‘kan? Bagaimana kamu
bisa tahu banyak tentang masalah percintaan?”
Yamana-san lalu menanggapi
dengan “Hmmm~” sambil memainkan
rambutnya dengan ujung jarinya.
“Hmm, mau dilihat bagaimana pun,
aku lebih mirip seper karakter Anego, iya ‘kan? Sejak SMP, teman-teman dan
kouhai-ku selalu meminta nasihat tentang masalah percintaan.” (TN: Karakter Anego
tuh kayak cewek yang paling dihormati di geng mereka, mungkin yang sering
nonton anime perkelahian anak SMA bisa ngerti maksudnya)
Memang sih, aku juga sempat
berpikir kalau dia orang yang punya banyak pengalaman dalam cinta sampa aku
mengetahui situasi pribadinya.
“Pada awalnya, aku hanya iseng
mendengarkan curhatan mereka saja, tapi ketika mendengarkan berbagai kisah
cinta, aku mulai memahami perbedaan antara cinta dan keinginan antara pria dan
wanita.”
Karena dia tahu betul bagaimana
keinginan seorang pria, jadi dia mencoba merayu Sekiya-san, tapi akibatnya dia
justru dijauhi olehnya, rasanya seperti melihat kejadian langsung dari pepatah ‘Senjata makan tuan’.
“Dalam hal itu, satu-satunya
orang yang harus berhati-hati mulai sekarang adalah kamu, Kashima Ryuuto.”
“Eh!?”
Karena namaku tiba-tiba
diungkit dan ditegur, aku jadi sedikit terkejut karena sempat melamun sebentar.
“Karena ada banyak gadis yang
mengagumi Luna. Bahkan aktris cantik dan terkenal sekali pun terkadang memiliki
skandal karena suaminya berselingkuh, tau? Kasus begitu tuh biasanya pasangan
selingkuhannya hanya ingin sesuatu yang mirip seperti ‘Ingin memiliki tas mahal yang sama dengan artis yang dia
kagumi’.”
“Ap-Apaan itu ...”
"Psikologi yang baru saja
kusebutkan. Itu sebabnya cowok dengan pacar yang menawan mulai menjadi lebih populer
daripada pesona aslinya.”
Memangnya cowok disamakan
dengan tas merek ...? Menurutku kaum gadis sungguh sangat menakutkan.
“Tapi mungkin ucapakanku tidak
terlalu salah. Bahkan jika kamu tidak menyukai cowok itu, terkadang kamu akan
berpikir, 'Jika itu cowok yang dia pilih,
cowok itu pasti cowok yang mekajubkan,' dan cowok tersebut terlihat 50
persen lebih tampan.”
“Nah itu tuh. Itulah yang
paling berbahaya.”
Yamana-san mencondongkan tubuhnya
ke depan dalam menanggapi seruan Tanikita-san.
“Kamu harus lebih berhati-hati
lagi, oke?”
Dia menatap tajam ke arah
wajahku, dan aku menanggapinya dengan sedikit panik.
“Eh? I-Iya...”
“Jika ada seorang gadis yang
mendekatimu di masa depan, aku akan menegaskannya sekali lagi, orang yang
membuatnya tertarik bukanlah mengenai kamu sendiri, tapi melainkan si Luna.”
“Ehh~ tapi mungkin saja ada gadis
yang benar-benar menyukai Kashima-kun sebagai tipenya, ‘kan ?”
Yamana-san menyilangkan tangannya
ketika menanggapi perkataan Tanikita-san.
“Jika dia adalah gadis yang
sama sekali tidak mengenal Luna, mungkin saja begitu. Kecuali jika dia belum
pernah melihat fotonya atau bahkan tidak tahu kalau cowok ini sudah punya
pacar.”
“Hmmm~ kalau gitu, orang-orang
dari sekolah kita sih kayaknya mustahil deh~. Saat melihat Kashima-kun, aku
pasti kepikiran tentang Lunacchi.”
“'Pacarnya Shirakawa Luna' iya, ‘kan?”
“………”
Setelah dibilang sampai sejauh
itu oleh mereka berdua, aku segera diam.
Rupanya, Luna mempunyai
pengaruh karismatik lebih di antara gadis-gadis daripada yang kubyangkan.
“... Ada apa? Apa jangan-jangan
sudah ada gadis yang mencoba mendekatimu?”
Yamana-san melototiku dengan
ringan, dan aku tersadar dari renunganku.
“Ti-Tidak, enggak ada kok ...”
Pada saat itu, Kurose-san
kembali mendekati meja kami. Dia meletakkan banyak lembaran cetakan yang di
bawa di dadanya di atas meja dengan bunyi gedebuk.
Salah satu dari lembaran itu
terjatuh ke lantai dan ketika aku ingin mengulurkan tangan untuk mengambilnya, tanganku
justru menyentuh tangan lain yang mengambil cetakan itu pada waktu yang hampir
bersamaan.
“Ahh, maaf.”
Aku buru-buru mengangkat
wajahku dan melihat wajah Kurose-san yang memerah.
“... Enggak apa-apa, maafin aku
juga, ya.”
Smebari dengan lembut mengelus
punggung tangannya yang menyentuh tanganku, Kurose-san meletakkan kembali
lebaran cetakan itu di atas meja.
“Apa semua sudah melihat lembar
cetakannya?”
Kemudian, Luna pun kembali ke
meja kami.
“Masih belum. Ini saja baru
nyampe setelah dibawa Kurose-san.”
Tanikita-san menjawab dan
mengambil bagiannya sendiri dari tumpukan cetakan yang sepertinya cukup untuk
jumlah semua orang.
“Uwahh ribet banget! Emangnya kita
harus melakukan penelitian dan mengisi semua tanda kosong ini~!?”
“Asalkan bisa bersenang-senang
selama jalan-jalan nanti, tugas segini mah tidak masalah, ‘kan~?”
Sebelum Tanikita dan Yamana
bisa mengeluh, Kurose-san dengan acuh tak acuh merapikan lembaran cetakan dan
membagikannya dengan yang lain.
“Makasih banyak ya, Maria!”
Luna yang duduk di kursi,
dengan riang berterima kasih padanya sambil menerima lembaran cetakan darinya.
“... Ehh, sejak kapan Lunacchi
dan Kurose-san menjadi akrab satu sama lain?”
Ketika melihat interaksi mereka
berdua, Tanikita-san bertanya dengan wajah keheranan.
“Selama persiapan festival
sekolah, ketika Takei-sensei datang untuk membantuku dengan dekorasi, Ia
mengeluh ‘Anak panitia pamflet mengalami
kesulitan~’ dan mengkhawatirkan jika semuanya tidak berjalan dengan baik,
loh~?”
Setelah mendengar itu, Luna dan
Kurose-san berhenti bergerak sejenak. Meskipun mereka sadar satu sama lain, tapi
mereka tidak saling memandang dan hanya bisa tersenyum pahit.
“Ehh~ enggak ada masalah yang
seperti itu, kok. Pembuatan pamfletnya juga berjalan lancar! Iya ‘kan, Ryuuto?”
“I-Iya……”
Aku segera mengangguk saat dimintai
persetujuan oleh Luna. Kejujuran Luna bisa terlihat dari ekspresinya, “enggak ada masalah yang seperti itu, kok”.
“Begitu ya...? Syukurlah kalau
begitu.”
Namun demikian, sepertinya Tanikita-san
juga menyadari suasana canggung yang terjadi di antara Luna dan Kurose-san,
lalu topik tersebur berakhir dengan sedikit ambigu.
Yamana-san yang sudah
mengetahui hubungan sebenarnya antara Luna dan Kurose-san, hanya mengamati
situasi itu dengan tenang, aku merasa agak tidak nyaman di bawah
tatapannya, mungkin karena topik yang baru saja kami diskusikan, dan sejak saat
itu aku tidak berani melihat ke arah Kurose-san.
◇◇◇◇
“... Jadi, hari ini apa yang
terjadi? Karena berbagai hal, rasanya hampir bikin aku mati. Kamu sudah tahu
sendiri, ‘kan?”
Di sekolah bimbel sepulang
sekolah hari itu, setelah mengemil di ruang santai seperti biasa, Sekiya-san
menatapku dengan tatapan mencurigakan.
“Eh....?”
“Pasti ada sesuatu yang ingin
kamu bicarakan, bukan? Dari tadi kamu terlihat bengong melulu. Kamu bahkan
tidak segera membuang sampah setelah selesai makan, seolah-olah kamu ingin
mengulur waktu.”
“Ah……”
Jadi Sekiya-san menyadarinya,
ya.
Aku sendiri masih belum bisa
memilahnya dengan baik, jadi aku sedikit bimbang apakah aku bisa membicarakan
masalah ini dengannya atu tidak.
“... Umm sebenarnya, ini
mengenai Kurose-san”
“Nah loh, lagi-lagi masalah 'Kurose-san'”
Sekiya-san bersandar pada
sandaran kursi dengan ekspresi tercengang.
“Lalu, ada masalah apa lagi
dengan Kurose-san?”
“Kami berada di grup yang sama
dalam jalan-jalan sekolah.”
“Terus?”
“Aku kebingungan dengan apa yang
harus kulakukan?”
“Hah?”
Sekiya-san mengerutkan alisnya
dengan jelas.
Benar juga. Aku tahu. Bahkan
aku pun akan bereaksi sama jika mendengar seseorang bertanya kepadaku seperti
itu.
“Memangnya ada masalah dengan
itu?”
“Tidak... ini cuma masalah
perasaanku saja.”
“Perasaan, ya~”
“Karena Kurose-san juga gadis
yang baik hati.”
“Jadi, apa kamu ingin ganti
haluan?”
“Tidak! Aku tidak pernah
kepikiran hal itu sama sekali.”
“Lalu, apa kamu ingin
meluluskan keperjakaanmu dengan Kurose-san dulu sebelum bisa meniduri pacarmu?”
“Y-Ya enggak lah!”
Setelah diberitahu hal-hal
ekstrem satu demi satu, mau tak mau aku mulai membayangkannya, dan wajahku
menjadi panas.
“... Aku mulai melihat
Kurose-san sebagai seorang wanita,... Hanya dengan saling bersentuhan tangan
saja sudah membuat hatiku berdebar kencang
... Kupikir hal semacam itu merupakan tindakan tidak setia kepada Luna.”
Sekiya-san bahkan tidak
berusaha menyembunyikan wajahnya yang kecewa.
“Memangnya kamu itu ...
perjaka, ya. Ah kelupaan, kamu memang masih perjaka. Maaf.”
Aku dibiarkan sendiri dan
berpikir “Sialan!”, aku bahkan tidak bisa membantahnya dan
hanya bisa menunduk lemas.
“Kalau itu sih apa boleh buat,
karena kamu seorang laki-laki. Jika tanganmu saling bersentuhan, anggap saja
kalau kamu lagi beruntung.”
“Meskipun aku tahu kalau gadis
itu menyukaiku?”
“Enggak masalah. Bukannya itu
pengalaman yang mantap? Artinya kamu bisa langsung menikmati serunya hari-hari
awal menjalin hubungan tanpa harus repot-repot pacaran, kan? Sebagai lelaki,
kamu pasti ingin merasakan bagaimana rasanya menjadi populer, iya ‘kan?”
“Ta-Tapi aku tidak mau putus
dengan Luna. Aku merasa kasihan dengan Kurose-san jika hubungan kita terus
semakin dekat ...”
“Kalau itu sih, masa bodo
banget.”
“Tapi ‘kan…”
Kurose-san adalah adik
perempuan Luna ... jadi kupikir…
“Yah, kamu mah cowok yang
serius, sih ...”
Sekiya-san lalu menyilangkan
tangannya. Kemudian tiba-tiba ekspresinya berubah seolah-olah dilanda kehampaan.
“... Lagipula, kamu seriusan
ingin berkonsultasi dengan keadaanku yang sekarang?”
“Eh?”
“Atau mungkin kamu itu tipe
orang yang bisa berbicara santai dengan orang India, 'Menurutmu, mana yang enak untuk dimakan, steak atau sukiyaki?'”
“Apa-apaan itu ...”
Orang India ... mayoritas
beragama Hindu ... Dengan kata lain, berbicara tentang daging sapi kepada seseorang
yang tidak bisa makan daging sapi = sama saja dengan meminta saran dari
Sekiya-san yang sudah memutuskan hubungan dengan pacarnya. Sungguh perumpamaan
yang terlalu bertele-tele. Tapi aku merasa kalau ini seperti Sekiya-san banget.
“Dengarkan ini baik-baik, oke?
Semua teman lawan jenis adalah ‘lebih
dari teman, tapi bukan kekasih’ selama orientasi seksualmu itu normal.”
Setelah diberitahu blak-balakan
begitu, aku lalu merenungkannya.
“... Ta-Tapi ada beberapa gadis
yang bisa berbicara santai dengan lawan jenis tanpa terlalu merasa kegeeran.”
Aku langsung memikirkan
Yamana-san dan Tanikita-san. Meski tidak bisa dibilang dekat, tapi secara
normal ... orang lain mungkin melihatku sedikit aneh, tapi menurutku, aku bisa
berbicara cukup normal dengan mereka.
“Itu sih karena gadis-gadis itu
sama sekali tidak menunjukkan ketertarikan romantis padamu. Enggak tahu juga,
sih. Tapi coba bayangkan, bagaimana kalau mereka memperlakukanmu dengan penuh
kasih sayang?”
“Ehh....”
Meski dalam keadaan sedikit
bingung, tapi aku tetap mencoba melakukan apa yang diperintahkan. Sebagai percobaan,
aku membayangkan Yamana-san ... Ekspresi penuh kasih sayangnya saat menatap
Sekiya-san terlihat sangat menggemaskan, bahkan dari sudut pandang pengamat
biasa. Bagaimana jika ekspresinya itu ditujukan padaku...?
“Tidak terlalu buruk, ‘kan?”
“... Y-Yah, begitulah.”
Aku menganggukkan kepalaku
dengan suara kecil, merasa canggung karena mencoba membayanfkan Yamana-san di
depan Sekiya-san.
“Jadi begitulah maksudnya.
Tidak ada satu pun teman cewek yang takkan membuat hatimu berdetak kencang.
Lagian, bukannya berarti kamu benar-benar menyelingkuhinya, jadi kalau cuma
berbicara dengan gadis yang menyukaimu seharusnya tidak masalah, ‘kan~?
Menikmati sensasi amoralitas karena main belakang dengan adik pacarmu …. Yah
kamu mungkin tidak bisa menikmatinya, tapi
kamu sama sekali tidak melakukan suatu kesalahan, jadi kamu perlu bertingkah
seperti biasanya saja.”
Bertingkah seperti biasanya…….
Bertingkah biasanya tuh,
seperti apa maksudnya?
“Ta-Tapi, setidaknya aku harus
memberitahu dulu kepada Luna, iya ‘kan?”
“Emangnya kamu ini bego apa?
Mau bilang apa sama pacarmu? ‘Hatiku
berdebar kencang ketika mengobrol dengan adikmu’, mau bilang begitu? Coba
bayangkan dari sudut pandang pacarmu. Terkadang lebih baik kalau dia tidak
tahu. Berbagi segalanya dengan pacarmu bukan berarti itu menunjukkan ketulusanmu.”
Perkataan Sekiya-san terdengar
begitu benar sampai-sampai aku tidak bisa mengucapkan sepatah kata pun.
“Jika kamu terus melakukan itu,
kamu tidak bisa berpacaran dengan gadis lain selain pacarmu saat ini selama
sisa hidupmu. Bahkan jika kamu punya pacar, mengobrol dengan gadis-gadis imut
tidak ada salahnya, ‘kan? Kamu hanya perlu menikmatinya atau merasa beruntung. Jagalah
duniamu sendiri. Nikmati hidupmu sepuasnya. Apa kamu mau tidak mempunyai teman
cewek selama sisa hidupmu?”
“Itu sih….”
Kupikir, itu, tidak bagus.
Tapi, kenapa?
“Sudah! Sudah! Mendingan ayo
pergi ke ruang belajar mandiri. Apa-apaan sih, kamu cuma menyombongkan
kepopuleranmu, dasar brengsek.”
Sekiya-san bangkit dari
kursinya dengan perasaan jengkel dan mulai membersihkan meja.
Sambil ikut menirunya, aku
masih kepikiran dengan sesuatu yang masih mengganjal di hatiku.
“... Ketimbang mikirin masalah
itu, apa kamu sudah memutuskan universitas mana yang kamu inginkan?”
“Eh?”
Aku kebingungan ketika ditanya begitu
dalam perjalanan ke ruang belajar.
“Aku masih kelas 2 SMA, tau?”
“Meski begitu, ada juga yang
sudah memutuskan pilihannya, tau. Bukannya itu aneh meskipun kamu sudah mulai
belajar untuk ujian masuk, tapi belum memutuskan universitas mana yang ingin kamu
tuju? Itu tidak sepadan dengan usahamu.”
“…………”
Memang benar sih ... Aku sudah berusaha
melakukan terbaik yang kubisa, tapi hal itu tidak dapat dipungkiri bahwa aku masih merasa bimbang karena aku
belum menetapkan tujuan.
“Tentu saja belajar itu penting,
tetapi kamu harus meluangkan waktu untuk memikirkan universitas mana yang ingin
kamu masuki. Jika tidak, kamu akan terjebak.”
“Hah ...”
Alasanku jadi sedikit tersentak
karena, seperti yang dikatakan Sekiya-san, aku sudah menemui jalan buntu dalam
belajarku.
Luna memiliki lebih banyak
pengalaman daripada diriku dan jauh lebih dewasa meskipun kami seumuran. Aku
ingin menyusulnya secepat mungkin, itulah sebabnya aku mulai belajar untuk
ujian masuk.
Aku merasa tidak bisa
menyusulnya sama sekali.
Padahal aku ingin menjadi
dewasa secepat mungkin.
Aku masih perjaka, dan aku
bahkan masih belum tahu sudah seberapa dekat dengan tujuan belajarku untuk
ujian masuk saat ini. Tidak mengherankan aku kebingungan begitu karena tujuanku
sendiri masih belum ditetapkan.
Mungkin karena ketidaksabaran
seperti itulah yang terkadang membuatku merasa lemas, padahal aku berada di
ruang belajar setiap hari, dengan ilusi bahwa hanya semangatku saja yang
menggebu-gebu.
Aku malu karena merasa kalau
Sekiya-san bisa membaca pemikiran batinku.
“Akan kupikirkan baik-baik hal
itu……”
Untuk saat ini, aku hanya bisa
menjawab begitu dan mengikuti Sekiya-san melewati pintu ruang belajar.
Sebelumnya || || Selanjutnya