Chapter 7 — Rasi Bintang dan Duduk Bersimpuh
“... Umm, kalau begitu, ayo
kita mulai penyelidikannya?”
Sekitar pukul 7 malam, ketika
kegiatan klub di sekolah sudah berakhir. Di dalam ruang OSIS, Masachika dengan
enggan melihat ke sebelah kiri dan kanannya. setelah selesai makan malam lebih
awal dengan makanan yang dibeli di minimarket
“O-Ohh~~….”
“Mari kita selesaikan ini
secepat mungkin.”
Dengan pinggang yang
jelas-jelas gemetaran, Maria mengangkat tinjunya dengan suara tergagap.
Sedangkan Alisa, dengan tangan yang disilangkan sembari memasang ekspresi acuh
tak acuh, mengetuk-ngetuk jarinya dengan gelisah. ...... Sebelum keberangkatan,
Masachika sudah diliputi banyak kecemasan.
“Umm Masha-san, apa kamu baik-baik
saja? Atau lebih tepatnya, kamu kelihatan tidak baik-baik saja ….”
“E-Ehh~~? Itu tidak benar, kok?
Aku akan melakukan yang terbaik!”
Dengan kedutan halus di
matanya, Maria mengerutkan bibirnya dan mengepal erat kedua tangannya.
Penampilannya yang penuh antusias, terlihat sedikit menggemaskan, tapi ...
“Saat kamu mencoba bilang yang
terbaik saja sudah menjelaskan kalau kamu sedang tidak baik-baik saja ...”
Pernyataan itu saja sudah
menjadi pengakuan kalau dia ketakutan. Menanggapi sikap tersebut, Masachika
hanya bisa mengatakan, “Tolong jangan
terlalu memaksakan diri,” dan mengalihkan perhatianya kepada Alisa di sisi
lain.
“Jadi, apa Alya sendiri merasa baik-baik
saja?”
“? Aku baik-baik saja, kok?
Tidak seperti Masha, aku ini bukan orang yang penakut.”
Alisa mengangkat satu alisnya
dengan ragu dan menatap Maria dengan wajah agak tercengang …. Tapi apa itu
imajinasi Masachika saja kalau dia cuma berpura-pura tenang. Namun, tidak ada
gunanya mengungkit hal itu sekarang, jadi Masachika menghela nafas dan membuka
pintu ruang OSIS.
Kemudian sensor gerak bereaksi
dan lampu di lorong mulai menyala. Sambil mengangkat bahunya, Masachika menoleh
untuk melihat ke belakang.
“Lihat, Masha-san. Lampunya
mulai menyala. Lagian di luar masih belum terlalu gelap, kok. Jadi kamu tidak
terlalu takut, ‘kan?”
“Ya……”
Mengangguk pada perkataan
Masachika, Maria dengan takut-takut keluar ke lorong. Dengan ekspresi sedikit
tercengang di wajahnya, Alisa juga pergi ke lorong dan menutup pintu ruang OSIS.
“Lalu, ayo pergi ke ruang seni
dulu dan kemudian ke belakang gedung sekolah ... Setelah itu, kita bisa
berkeliling gedung sekolah untuk mencari keberadaan “Sosok siswi merah” .”
“Ba-Baiklah…”
“Ya, ayo lakukan itu.”
Setelah memastikan bahwa mereka
mengangguk, Masachika melanjutkan dan....
“Ah, tunggu sebentar!”
...... Tapi tiba-tiba, tangan
kanannya ada yang meraihnya dari belakang. Ketika berbalik, Masachika melihat
Maria yang melirik-lirik ke arah jendela dengan wajah yang sudah terlihat
seperti akan menangis.
“Jangan pergi duluan, aku
jadinya takut, tau~~”
“... tidak, itu sebabnya Masha-san
bisa menunggu kami di ruang OSIS saja tadi.”
“Jika aku sendirian, aku pasti
akan diserang!”
“Apa!? Kisah hantu sekolah
bukanlah cerita horor jumpscare,
tau!?”
Maria berteriak dengan suara
cepat yang tidak seperti biasanya, dan Masachika memberitahunya kalau dia pasti
salah mengira itu sebagai cerita horor tentang dikejar oleh seorang pembunuh
berantai. Tapi Maria sama sekali tidak mempercayainya dan berulang kali melirik
ke arah jendela. Tangan ramping yang memegang tangan Masachika juga terlihat gemetar
ketakutan.
“Aku tahu yang begini ......
hal semacam ini biasanya ada yang muncul tiba-tiba dengan bunyi bang dari luar, ‘kan?”
“Tidak, ini cuma cerita hantu
biasa, bukan tipe cerita yang mendadak menyerang dari luar …. haaa, apa begini
cukup?”
Sambil menghela nafas,
Masachika pindah ke posisi di sebelah Maria, menjaganya dari area jendela. Kemudian
Alisa juga bergerak ke sisi berlawanan dari Maria sambil menghela nafas.
“ ... Nih. Sekarang kamu tidak
perlu khawatir tentang sesuatu yang keluar dari dalam ruang kelas, ‘kan?
Walaupun tidak ada apapun yang keluar, sih.”
“I-Iya ... makasih ya,
Alya-chan.”
Sambil mengangguk dengan
canggung, Maria juga menggandeng tangan kiri Alisa. Meskipun dia mengangkat
alisnya sejenak, tapi saat tatapan matanya bertemu dengan mata Masachika di
atas kepala Maria, Alisa menyerah dan cuma mengangkat bahunya.
Tangan Maria dipegang oleh Masachika
dan Alisa dari kedua sisi. Komposisinya benar-benar mirip seperti pemandangan
orang tua dan anak, karena hanya bagian tengah yang lebih pendek daripada
bagian kiri dan kanan. Tapi pada kenyataannya, orang yang ada di tengah adalah
yang tertua.
“Yang begini-begini juga ...
bisa termasuk dalam adegan klise film horor, ketika seseorang berpegangan
tangan dengan kedua sisi, tanpa disadari orang yang dipegang sudah digantikan
oleh sesuatu yang lain ... Ah, maaf.”
Segera setelah Masachika
menggumamkan itu dengan suara rendah, Maria menatapnya dengan tatapan mata yang
sulit dipercaya dan Ia segera meminta maaf padanya.
Namun, Maria tiba-tiba tampak
terkejut dan menoleh ke Alisa dengan cepat. Kemudian, dia berbicara kepadanya
dengan ekspresi ketakutan.
“Alya-chan ...? Kamu Alya-chan
yang asli, ‘kan?”
“Iyalah. Jangan selalu menganggap
serius candaan Masachika-kun.”
Maria tiba-tiba berbicara dalam
bahasa Rusia kepada Alisa, yang tampak benar-benar tercengang.
【Kalau gitu, di mana tahi
lalat paling menonjol di tubuhmu? 】
【... Apa-Apaan dengan pertanyaan itu?】
【Tidak masalah ‘kan, lagipula
Kuze-kun tidak akan memahaminya】
Tidak, Ia paham. Ia benar-benar
memahami percakapan mereka berdua, tapi …. Alisa melirik sekilas ke arah Masachika dan
membuang muka sambil mendengus, dia kemudian berkata …
【…… di kaki kanan bagian paha】
(……Hou~)
Tidak, itu sebabnya, apa sih
yang sedang mereka bicarakan. Paling banter, Masachika hanya bisa bergumam di
dalam hatinya “ternyata Alya punya tahi
lalat juga, ya …”. Akan tetapi ... mau tak mau pandangannya selalu tertuju
pada paha yang tersembunyi di balik rok. Pada saat yang sama, Ia kembali
mengingat sebuah adegan di gudang peralatan olahraga yang terjadi pada siang
hari dan mencoba memverifikasi di otak, “Kira-kira,
apa di sana beneran ada tahi lalat?”.
“Yup! Tidak salah lagi, kamu
Alya-chan yang asli!”
Namun, saat Maria tiba-tiba
menengok ke arahnya, Masachika buru-buru mengangkat mukanya. Sejujurnya, Ia
tidak yakin apa dirinya berhasil memalingkan wajahnya tepat waktu, tapi ......
Maria tampaknya tidak terlalu peduli dan memiringkan kepalanya dengan erangan
dan geraman.
“Kalau begitu, sekarang giliran
Kuze-kun ... Kuze-kun ..............”
Setelah beberapa detik
berpikir. Maria menutup mulutnya dengan kedua tangan dengan ekspresi terkejut
di wajahnya.
“Ap-Apa yang harus kulakukan!
Aku tidak bisa memikirkan pertanyaan yang bisa membedakan apa yang ini Kuze-kun
asli atau palsu!”
“Ahh … iya.”
“Bagaimana dengan Alya-chan?
Apa kamu bisa mengajukan pertanyaan bagus untuk membedakan asli atau
palsunya!?”
“Ehh ...?”
Alisa mengernyitkan dahi dengan
ekspresi jengkel, tetapi dia melihat sedikit pada penampilan Maria yang terlalu
putus asa. Kemudian, dia menatap Masachika dengan senyum nakal di mulutnya
seolah-olah dia baru kepikiran tentang sesuatu.
“Kalau begitu ... Apa kamu bisa
memberitahuku apa yang sebenarnya kamu maksudkan saat menawarkan diri untuk
menjadi partner-ku dalam kampanye pemilihan nanti?”
“Ha-Hah, apa-apaan dengan
pertanyaan itu?”
“Ada apa? Kalau kamu
Masachika-kun yang asli, kamu pasti mengingatnya, ‘kan?”
Pipi Masachika berkedut pada
wajah Alisa yang menyeringai terang-terangan.
(Yeah, aku memang samar-samar
mengingatnya ... aku ingat kalau aku
mengatakan sesuatu yang gila dan super memalukan! Dan kamu ingin aku mengucapkan
kembali kalimatitu di sini!?)
Ketika Alisa menuntut permainan
memalukan yang mengerikan dengan dalih identifikasi jati diri, Masachika
mencoba menuntut perubahan dalam pertanyaan .... tapi setelah melihat tatapan
mata Maria yang sudah berkaca-kaca, dan dengan lembut menjaga jarak dari
dirinya sendiri, Ia langsung tutup mulut. Saat ditatap dengan tatapan seperti “Eh, itu tidak benar, ‘kan? Itu bohong, iya
‘kan?”, Ia secara naluriah ingin melakukan sesuatu tentang hal itu.
(Haaa ... cih, kurasa aku tidak punya pilihan
lain)
Dalam kasus begini, jika kamu
merasa malu mengenai itu, kamulah yang kalah. Sebaliknya, jika kamu mengatakannya
secara terbuka, justru pihak lain yang akan merasa malu.
(Karena kamu sendiri yang memintanya ...
jadi, jangan sampai menyesal, oke? Rasakan ini!)
Usai membulatkan tekadnya, BMasachika
membuat wajah serius setelah berdehem dan menatap lurus ke arah Alisa seraya
berkata.
“Kalau tidak salah, aku
mengatakan, [Aku takkan meninggalkanmu
sendirian lagi. Mulai sekarang, aku akan mendukungmu] ?”
“...Lebih tepatnya, kamu
mengatakan [Aku takkan membuatmu
sendirian lagi] [Mulai sekarang, aku akan berdiri di sampingmu dan mendukungmu]”
“Eh, ah, iya betul.”
Ketika Alisa mengoreksinya
dengan ekspresi tidak puas, wajah Masachika berubah serius. Segera setelah itu,
Ia dengan cepat tersipu karena rasa malu yang menjalar di hatinya.
(Uehh? Seriusan? Eh, apa-apaan dia ini?
Apa dia mengingat semua ucapanku dengan akurat? Ini sih bukan dalan level
memalukan lagi!?)
Fakta bahwa dia bisa secara
akurat mengingat ucapan dari sejarah hitamnya sendiri. Dan kenyataan kalau itu terukir
di otak Alisa sebagai kenangan penting membuat Masachika jatuh berguling-guling
di dalam batinnya.
“Ke-Kenapa wajahmu malah tiba-tiba
tersipu....”
Alisa memelototinya, tetapi
sepertinya rasa malunya datang terlambat dari Masachika, dan bahkan pipinya
sendiri sedikit memerah. Mungkin menyadari hal ini, Alisa memalingkan
pandangannya dari Masachika dan menoleh ke arah Maria dengan cara yang menipu.
“Lihat, aku tahu kalau Ia
adalah Masachika-kun yang asli ... jadi ayo cepat pergi.”
Dia mengatakannya dengan
ekspresi yang jelas dan nada yang santai, tapi ...... Maria memiringkan
kepalanya dengan senyum yang sangat berbeda dari yang baru saja dia berikan.
“Alya-chan, imut banget~”
“H-Hah? Apanya yang imut, sih.”
“Iya, iya, masa muda banget~
... oh iya, bagaimana kalau begini?”
Setelah mengatakan itu, Maria
menarik tangan Masachika dan Alisa, yang tergenggam di kedua tangannya, dan
setengah memaksa mereka untuk bergandengan tangan.
“Bagus. Sesama teman baik,
harus saling bergandengan tangan, oke?”
“Kenapa!”
“Tidak, bukannya percakapannya
jadi berbeda?”
Mereka berdua memberi komentar
secara bersamaan dan dengan cepat melepaskan tangan mereka satu sama lain.
Kemudian Maria menurunkan
alisnya sedikit sambil tertawa lembut.
“Duhh~ kalian berdua ini
sama-sama pemalu, ih ...”
“Tidak, aku tidak memahami
maksudmu.”
“Lagian sejak awal, bukannya
Masha-san sendiri yang meminta untuk berpegangan tangan karena kamu merasa
takut, ‘kan?”
“Itu benar, kok~ ? Oleh karena
itu, kalian berdua ayo pegangan tangan?”
“Maaf. Aku tidak memahami
maksud dari ‘Oleh karena itu’. ”
“Gunakan konjungsinya dengan
benar.”
Mereka berdua mengungkit itu
pada Maria, yang dengan lihai melewatkan bagian penting dari alasannya. Namun
sebaliknya, Maria tampak tidak puas dan berjalan ke sisi lain Masachika, lalu
memegang tangan kirinya.
“Kalau kamu bilang begitu terus,
biar aku saja yang berpegangan tangan dengan Kuze-kun, ya?”
“Sudah dibilang, kenapa malah
jadi begitu!?”
“Ob-Obrolannya sama sekali
tidak nyambung ...”
Masachika yang berteriak dengan
suara nyaring, dan Alisa meletakkan tangannya di dahinya seolah-olah kepalanya
terasa sakit. Namun, setelah melihat Maria memegang tangan kiri Masachika dan
entah bagaimana terlihat senang dengan dirinya sendiri, mereka berdua
meninggalkan pemahaman mereka pada saat yang sama. Setelah saling bertukar
pandang dengan lelah, mereka kemudian saling bergandengan tangan kembali.
“Baiklah, kalau begitu, ayo
berangkat~~!”
Setelah melihat itu, Maria
menganggukkan kepalanya dengan puas, dan menunjuk ke depan dengan suasana hati
yang gembira, ... sembari masih memegang tangan Masachika di tangan kanannya.
“...”
Untuk sesaat, Alisa menatap Maria
dengan satu mata lebar layaknya seorang preman dan seakan menyiratkan, “Kupikir kamu akan melepaskan tangannya
saat aku menggandengnya!”. Namun, dia segera menyadari kalau itu sia-sia
saja, lalu menghela nafas, dan melihat ke depan.
“Kalau begitu, ayo kita mulai ...
dan selesaikan dengan cepat.”
“... Ohh~~”
Dengan ekspresi pasrah,
Masachika mulai berjalan dengan tatapan jauh di matanya. Di sebelah kanannya ada
tangan Alisa yang ramping dan sedikit dingin, sedangkan di sebelah kirinya
terdapat tangan Maria yang hangat dan lembut.
(Hmm? Apa-apaan dengan situasi ini?
Harem? Horee~~ aku menggandeng dua kembang cantik di kedua tanganku~ akhirnya,
musim semi tiba juga di kehidupanku~)
Terlepas dari hal-hal bodoh
yang Ia katakan di otaknya, tapi di dalam batinnya, Masachika merasa cukup
gugup. Meskipun Ia pernah bergandengan tangan dengan Alisa beberapa kali, tapi
jumlahnya masih bisa dihitung, dan ini pertama kalinya Masachika bergandengan
tangan dengan Maria. Lalu pada saat yang sama, Masachika tidak tahu harus
berbuat apa. ‘Apa aku harus mengayunkan
lenganku, apa tanganku berkeringat, apa kecepatan berjalanku sudah pas, atau
apa cara bergandengan seperti ini sudah benar?’ . Ia mengkhawatirkan
hal-hal semacam itu sehingga Ia tidak bisa merasa tenang.
(In-Ini sih tentang itu ... Ahh,
sebaiknya aku harus menyelesaikannya dengan cepat)
Terjepit di antara Maria, yang anehnya
dalam suasana hati yang senang, dan di sisi lainnya, Alisa tampak sedikit
cemberut, Masachika memutuskan untuk mengakhiri penyelidikan lebih awal.
Alhasil…
“Ruang seni! Tidak ada
kelainan! Tempat selanjutnya!”
“Bunga sakura di belakang
gedung sekolah! Masih belum mekar! Selanjutnya!”
“Bukannya itu terlalu
asal-asalan!?”
Ketika Masachika menarik
kesimpulan dalam waktu kurang dari sepuluh detik setelah melihat sekilas, Alisa
pun mau tak mau mengkritiknya. Namun, Masachika tampaknya tidak
terlalu peduli dan mengangkat di bahunya dengan wajah santai.
“Sejak awal, penyelidikan ini
dilakukan untuk memastikan tidak ada kelainan, jadi tidak masalah, ‘kan? Jangan
khawatir, aku juga tidak lupa mengambil foto untuk buktinya.”
“Itu memang benar sih ...”
Karena sifat seriusnya, Alisa
bergumam frustadi dan tampak kurang yakin. Namun, ketika dia melirik Maria,
yang berada di sisi lain Masachika, dia menghela nafas.
“Masha ... sudah cukup, jangan
merasa takut melulu.”
“Eh, me-meski kamu bilang
begitu~~”
Atas permintaan tidak masuk
akal Alisa, Maria mengerutkan bahunya dengan suara menyedihkan. Dia kemudian
melihat sekeliling dengan ketakutan pada lingkungan yang akhirnya sudah gelap
dan diam-diam mendekatkan dirinya ke tubuh Masachika. Melihat pemandangan itu,
Alisa mengernyitkan alisnya.
“Habisnya, penyelidikannya
dimulai sekarang, ‘kan ... wajar saja aku merasa sangat takut. Mana mungkin
untuk tidak merasa takut~.”
Mungkin takut untuk
membicarakan rinciannya, Maria memotong kata-katanya dan …. bergerak semakin
mendekati Masachika. Dengan tangan kanannya mencengkeram tangan kiri Masachika,
dia merangkul erat lengan bawah Masachika dengan tangan kirinya. Secara alami,
lengan mereka benar-benar melekat satu sama lain, dan payudara Maria menempel
erat di siku Masachika. Wajah Masachika segera merah merona, sedangkan Alisa
mengerutkan keningnya.
“... Ayo cepat pergi dan
lanjutkan penyelidikannya.”
Alisa mengatakan ini dengan
campuran nada kesal dan menarik tangan Masachika saat dia mulai berjalan dengan
langkah besar. Namun, Maria masih menempel erat di lengan kanan Masachika dan tidak
bergerak menjauh, dan Alisa semakin mengerutkan alisnya saat dia melihat dari
balik bahunya untuk memastikan hal ini.. Dengan keadaan begitu, mereka berjalan
kembali ke gedung sekolah dan mulai berjalan menyusuri koridor.
“O-Oi, jalannya pelan-pelan
sedikit napa ...”
“Apa, sih? Kita akan
mengelilingi gedung sekolah utama, ‘kan? Bukankah sebaiknya kita berkeliling
secepat mungkin supaya tidak memakan waktu lama.”
“Yah, emang benar, sih...”
Masachika merasakan sedikit
ketidaknyamanan saat Alisa bergegas dengan tatapan matanya tertuju pada jalan
di depan, Ia lalu bertanya dengan takut-takut.
“... bukannya kamu terlalu
memaksakan diri?”
“...”
Pada titik ini, tangan Alisa
berkedut saat meraih tangan MasachikaNamun, ketika Alisa masih tidak mau
berbalik, Maria berbisik padanya.
“Alya-chan tuh lagi sok kuat
...”
“Ehh, apa? Sudah kuduga, kamu
beneran takut, ya?”
“... Enggak juga, kok?”
Dia mengatakannya dengan nada
suara yang acuh, tetapi dia masih tidak mau berbalik. Dan tiba -tiba, kecepatan
berjalannya mulai melambat. Ketika mereka berhasil menyusulnya, Alisa mendengus
dan menoleh ke samping untuk menyembunyikan ekspresinya.
“... Kamu takut dengan yang
berbau horor, ‘kan? Padahal saat tes uji nyali selama persiapan festival
sekolah tahun lalu, kupikir kamu terlihat baik-baik saja ...”
“Dibilangin, aku tidak merasa
takut sama sekali, kok...”
Alisa dengan keras kepala tetap
menyangkalnya sembari memalingkan wajahnya, tapi kemudian Maria kembali
memberikan penjelasan.
“Tau enggak, Alya-chan tuh~
kalau ditakut-takutin saja sih tidak apa-apa, tapi kalau mendengar cerita seram
atau menakutkan, dia baru merasa ketakutan, tau~”
“Ahh ... begitu rupanya. Jadi
kamu itu tipe orang yang merasa ketakutan dengan imajinasimu sendiri, ya.”
Ketika Masachika terdengar yakin,
Alisa memelototi Maria, tapi dia segera memalingkan wajahnya lagi. Setelah
melihat reaksi yang gampang dipahami itu, Masachika cuma bisa tersenyum masam
seraya berkata “Jika memang begitu
masalahnya, kurasa itu wajar-wajar saja”
Di antara tujuh misteri yang
ada, cuma misteri [Sosok siswi merah]
saja yang jelas lebih serius sebagai cerita hantu daripada yang lain. Sama
seperti cerita hantu terkenal Kuchisake
Onna dan Teke-Teke, ada banyak
saksi yang sudah melihat penampakan sosok siswi merah tersebut.
Katanya, siswi itu sering kali
muncul di dalam gedung sekolah utama setelah jam pulang sekolah. Sosok tersebut
memakai seragam Seirei Gakuen, dan pitanya berwarna hijau. Dia memiliki rambut
hitam sepanjang pinggang dan disebut “Siswi
Merah” karena dia selalu berdarah dari suatu tempat di tubuhnya.
Jika kamu bertemu dengannya, jangan
pernah memanggilnya atau sesekali membantunya karena kamu merasa khawatir. Jika
kamu membantunya, siswi itu akan berkata “Terima
kasih, aku sudah baik-baik saja.”, lalu pergi entah ke mana. Dan
orang yang mendengar perkataan tersebut, dalam beberapa hari, akan terluka di
tempat yang sama dengan siswi itu. Betul, seolah-olah luka dari “Sosok siswi merah” itu dipindahkan
persis apa adanya ...
(Lagian, cuma karena kamu terluka bukan
berarti kamu akan mati, hanya bagian itu saja yang anehnya terlalu realistis
... fakta kalau itu baru bisa terjadi dalam beberapa hari menambah
ketidakpastian ...)
Selain itu, ada cara untuk
menanggulanginya jika seseorang bertemu dengan sosok tersebut, terlepas itu
benar atau tidaknya.
Pertama-tama, jangan pernah
mendekatinya. Lalu, segera keluar dari gedung sekolah. Selain karakteristik
yang disebutkan di atas, cara membedakannya dari siswi biasa adalah sensor
gerak yang tidak merepons, jadi harap berhati-hati jika kamu melihat seorang
siswi yang berdiri di lorong gelap…. begitulah cara penanggulangannya.
(Yah, sejujurnya, aku punya firasat kuat
kalau itu bisa menjadi peringatan saja, tapi ... katanya, sudah ada yang
menjadi korban sebenarnya dari sosok tersebut.)
Touya memberitahu mereka kalau
Ia memiliki informasi tentang kedua korban. Kasus pertama terjadi pada bulan
November lalu. Seorang siswa laki-laki dari klub lari bertemu
dengan “Sososk siswi Merah” dengan
cedera pada kaki kanannya, dan tiga hari kemudian, laki-laki itu mengalami
cedera robek di bagian tumitnya.
Kasus kedua terjadi pada bulan Juni
tahun ini. Wakil ketua klub drum
band dirawat di rumah sakit dengan
operasi usus buntu setelah bertemu dengan “sosok
sisiwi merah” dengan darah berlumuran di bagian tengah seragamnya.. Karena
wakil ketua klub ini merupakan orang yang sangat populer dan banyak disukai,
desas-desus pun dengan cepat menyebar, dan tampaknya dialah yang menjadi pemicu
dari viralnya gosip tujuh misteri.
(Dengan kata lain ... Misteri dari
“sososk sisiwi merah” ini adalah asal mula dan puncak dari tujuh misteri
sekolah. Ahh, kalau dipikir-pikir, rasanya sedikit keren yang begitu)
Masachika tertawa ringan dengan
ide yang mirip seperti khayalan chuunibyo. Berbeda dengan Kujou bersaudari,
Masachika memiliki sikap yang cukup santai karena pada dasarnya Ia tidak
percaya dengan yang namanya cerita hantu.
Bukan hal yang aneh untuk
anggota klub lari mengalami cedera tumit, sedangkan masalah operasi usus buntu,
Masachika pikir kalau itu hanyalah masalah komplikasi biasa saja. Pertama-tama,
kedua kasus itu tidak ada disertai dengan pendarahan. Hal ini membuat mustahil
untuk dibilang kalau cedera dari “Sosok
siswi merah” itu dipindahkan.
(Padahal, jauh lebih kredibel kalau
mereka mengalami luka tusukan atau sayatan~)
Setelah meringkas pandangannya
mengenai rumor tujuh misteri, Masachika mengangkat bahunya dan menatap Maria.
“Dari awal, kebanyakan dari
tujuh misteri hanyalah hoaks. Kamu tidak mendengar suara isak tangis seorang
wanita di gedung klub, ‘kan?”
“I-Iya... yah, benar sih.”
Seperti yang Masachika katakan,
Maria dan yang lainnya menyelidiki “Suara
isak tangis di gedung klub” di siang hari, tapi setelah mencari-cari selama
satu jam, mereka tidak mendengar suara semacam itu. Jadi, mereka tidak punya
pilihan selain membuka jendela sedikit dan menyimpulkan bahwa suara angin
bertiup “Huuuuuuuu” merupakan
identitas asli dari misteri itu ….. atau lebih teparnya, itulah yang mereka
paksakan. Terlepas dari semua itu, dari enam misteri yang ada, satu-satunya
misteri yang teridentifikasi dengan jelas hanyalah kucing di gudang peralatan
olahraga, dan sisanya adalah hoaks, begitulah hasil penyelidikan mereka selama
ini. Oleh karena itu, kemungkinan besar cerita hantu terakhir ini juga
merupakan ciptaan para siswa.
“Bagaimanapun juga, yang
namanya Tujuh Misteri Sekolah kurang
lebih pasti begitu. Aku yakin kalau itu hanyalah seorang siswa mengalami
sesuatu yang aneh, dan kemudian menceritakannya dengan cara yang berlebihan.”
Melihat Masachika yang
tampaknya tidak merasakan sedikit pun rasa takut, mereka berdua tampaknya telah
kehilangan sebagian dari rasa takut mereka. Maria mengangguk perlahan seraya
menjauhkan tubuhnya dari Masachika sedikit.
“Ya ... ketika kamu
mengatakannya seperti itu, memang benar, sih...”
“Nah, iya ‘kan? Pertama-tama,
bukannya siswi perempuan merupakan legenda yang paling umum. Kenapa
tipe urban legend semacam ini kebanyakan perempuan? Sebut saja legenda hantu Hanako-san, Kuchisake-onna, Teke Teke, Yashaku-sama...
...Sebaliknya, akan lebih baru dan dapat dipercaya jika seorang kakek tua botak
yang berminyak akan muncul.”
“Yang begitu harus dilaporkan
secara normal.”
“Betul sekali.”
Arisa meledek Masachika dengan
ekspresi serius di wajahnya, menyebabkan mereka bertiga tertawa kecil. Maria
berpura-pura sedikit berpikir sembari mengendurkan ekspresinya.
“Tapi ‘kan, tapi ‘kan, ada juga
youkai yang kakek-kakek, ‘kan?... umm, kalau tidak salah namanya Konafuki-jiji?”
“Tidak, yang bener Konaki-jiji. Apa-apaan dengan youkai yang
sepertinya cocok dengan youkai Akaname
itu?”
“Yang itu mungkin lebih buruk
daripada kakek kepala botak yang berminyak ...”
Ketegangan yang telah terbangun
di antara mereka bertiga hampir sepenuhnya dilenyapkan oleh balasan jenaka
Maria yang alami. Kemudian Masachika menyadari kalau pencarian yang dimulai di
lantai satu, sudah mencapai bagian tengah lorong lantai tiga. Dalam suasana
yang santai, mereka bertiga berjalan menyusuri lorong sambil sesekali melihat
ke dalam ruang kelas….
“……Hmm?”
Saat mereka mendekati ruang
kelas di ujung yang jauh, saku celana Masachika menjadi sedikit lebih hangat.
Seolah-olah ada plester penghangat tubuh di dalamnya.
“Ada apa?”
“Tidak, bukan apa-apa……”
Masachika meletakkan tangannya
di sakunya saat menjawab pertanyaan Alisa dengan balasan samar-samar, Masachika
memasukkan tangannya ke dalam sakunya. Ia kemudian mengeluarkan sumber panas
yang menyentuh jari-jarinya.
“Ara? Itu benda apaan?”
“Aku meminjamnya dari
Sarashina-senpai. Tapi, entah kenapa...... benda ini, lama-kelamaan jadi sangat
panas.....”
Itu adalah tasbih (Juzu) hitam dengan nama yang sangat
menakutkan, yang Ia bawa untuk berjaga-jaga. Benda itu samar-samar terasa panas
di tangannya. Seolah-olah berusaha memberitahu Masachika tentang sesuatu.
“Hei... cepat hentikan. Jangan
coba-coba menakutiku terus, sih ...
bercandanya enggak lucu, tau.”
“Hah? Tidak, tidak, aku tidak
bermaksud begitu ... yah, kalau di dalam film horor, pola yang begini biasanya
menandakan kalau ada hantu pendendam sedang mendekat, sih ...”
Tepat setelah Masachika mengatakan
itu dengan bercanda seraya membuat alasan pada Alisa, yang mengangkat alisnya
dengan marah ..... ada sebuah tangan muncul dari sudut lorong beberapa meter
jauhnya.
“Eh——”
Sebuah tangan aneh berwarna
putih terulur dari balik sudut dan mencengkeram dinding. Perhatian mereka
bertiga langsung tertuju pada tangan itu.
“ “ “... ” ” ”
Mereka bertiga saling menatap
dalam diam, jari-jemari tangan putih itu mencengkeram dinding dengan kuat. Pada
saat itu, Masachika memiliki firasat bahwa ada sesuatu yang mengerikan akan
muncul di balik tikungan itu. Nalurinya dengan keras memperingatkan untuk
meninggalkan tempat ini sekarang juga. Tapi bertentangan dengan kehendaknya,
kakinya sama sekali tidak mau bergerak.
Hal yang sama berlaku untuk
Alisa dan Maria, baik secara sadar maupun tidak, mereka berdua berpegangan erat
pada lengan Masachika dan tidak bergerak selangkah pun dari tempat itu.
Dan pada akhirnya, sosok itu
muncul dari balik tangan yang mencengkeram dinding. Sambil mengenakan seragam
Seirei Gakuen dengan pita hijau. Rambut hitamnya tergerai panjang sampai ke
pinggang. Dan mengintip melalui rambut hitamnya ... Wajah seorang gadis berlumuran
darah.
“Kyaaaaaaa.”
“Ti-Tidaakkkk.”
Di sebelah kanan dan kirinya, Maria
dan Alisa mengeluarkan jeritan yang melengking. Sejujurnya, Masachika juga
ingin berteriak. Namun, kehangatan tubuh dan getaran lembut mereka terasa di kedua
lengannya, menjauhkan sementara ketakutan Masachika. Dengan
kepala dingin yang bahkan dirinya sendiri merasa terkejut, Masachika berpikir
cepat tentang bagaimana caranya keluar dari situasi ini.
(Apa lebih baik kalau kita bertiga kabur
saja? Tidak, jangankan Alya, kurasa Masha-san bahkan tidak sanggup untuk berlari.
Sebaliknya, kakinya sudah lemas sampai-sampai sekarang saja membuatnya
kesulitan untuk berdiri. Lagian, ini mungkin akan menjadi pengalaman traumatis
bagi Masha-san—— kalau gitu, kurasa aku harus …..hup!!)
Setelah membuat keputusan
cepat, Masachika melepaskan tangan mereka dan berjalan seraya menyunggingkan
ujung bibirnya. Ia mendekati siswi yang muncul dengan berlumuran darah.
Kemudian, melalui tenggorokannya yang gemetar, Masachika mengeluarkan suara
yang terkaget-kaget.
“O-O-Oi, oi, oi, oi! Ini
terlalu menakutkan, tau! Siapa sih yang menyuruhmu melakukannya sampai sejauh
itu!?”
Suaranya itu terdengar santai
dan ceria, berbanding terbalik dengan ketegangan tempat itu. Ia merasa kalau
tindakannya ini bisa membebaskan dua orang di belakangnya dari rasa takut untuk
sementara waktu.
Keputusan Masachika ialah......
membuat “Sosok siswi merah” ini
dianggap sebagai kejutan yang sudah Ia persiapkan. Sembari berjalan dengan
sikap seperti “Kurasa aku sudah sedikit
berlebihan dalam memberikan kejutan☆,” Masachika
mencengkeram juzu hitam yang dipinjamnya dari Chisaki. Dengan cara begini, Ia
bisa mempertahankan sikap santainya di permukaan, tetapi mempertajam
pemikirannya dengan berkepala dingin. Yang dibutuhkan adalah kesiapan untuk
terluka dan tidak ragu untuk menggunakan kekerasan. Secara sadar, Masachika
menyingkirkan semua emosi lainnya.
(Ahh~ aku mungkin bakalan mati)
Intsing semacam itu terbesit di
benaknya seolah-olah itu urusan orang lain. Walaupun dirinya takkan mati, Ia
merasa kalau dirinya takkan aman begitu saja. Masachika secara naluriah tahu
kalau itu sosok hantu yang asli. Di sisi lain, Ia hanya memiliki seutas juzu di tangannya, yang bahkan Ia
sendiri tidak tahu apakah itu bakalan mempan atau tidak. Kemungkinannya terlalu
rendah. Namun, mana mungkin dirinya mundur begitu saja tanpa melakukan
perlawanan.
Bagaimanapun juga, “sosok siswi merah” yang muncul itu
terluka di bagian wajahnya. Jika cerita hantu itu benar, maka Alisa dan Maria
mungkin akan mengalami luka di bagian wajah. Ia takkan membiarkan wajah kedua
orang itu mengalami luka ... Sebagai teman mereka, dan harga dirinya sebagai
seorang pria, Ia takkan memaafkan hal itu.
(Untuk sementara ini, aku akan
mendorongnya melewati tikungan dan memukulnya dengan juzu ini ... Bahkan jika
itu tidak mempan, satu-satunya orang yang terluka oleh “Sosok siswi merah”
ialah orang yang mendekatinya. Dan efeknya baru akan terlihat setelah beberapa
hari. Seandainya aku benar-benar terluka, aku bisa menyembunyikannya selama
liburan musim panas.)
Ada kemungkinan kalau dirinya
tidak dapat berpartisipasi dalam kamp pelatihan. Namun, jika Ia bisa melindungi
pikiran dan tubuh mereka berdua, Masachika merasa kalau semua upayanya itu
sepadan.
(Itu sebabnya ... biar aku yang menjadi
lawannya!)
Kemudian, saat Ia bersiap-siap
untuk menghadapi “Sosok siswi merah”
itu, Masachika mengalihkan perhatiannya ke tubuh siswi perempuan itu untuk
mencari-cari di mana Ia harus menyerang....... tapi tiba-tiba, Ia menyadari
sesuatu yang aneh.
(Hmm? Kok ada darah di pinggangnya...
Hmm? Kalau dilihat-lihat lagi dari dekat, kaki dan lengan kanannya juga terluka...)
Bukankah
lukanya terlalu banyak?
Sesaat kemudian, pertanyaan
semacam itu terlintas di benaknya. Lalu sebuah tangan baru yang terulur dari
sisi lain tikungan, mencengkram leher “Sosok
siswi merah” itu dari belakang
dengan erat. Dan pemilik dari tangan itu muncul dengan ekspresi getir di
wajahnya.
“Akhirnya berhasil kutangkap
juga, .... Hmm? Kuze-kun?”
“Eh? Hah?”
Orang yang muncul adalah wakil
ketua OSIS mereka, yang seharusnya tidak ada di sini. Kemunculan tak terduga
orang ini membuat Masachika berhenti mendadak dan tertegun.
“Ah, ada Masha dan Alya-chan
juga, ya. Kerja bagus buat kalian~”
“Ahh, eh, iya?”
“Te-Terima kasih atas kerja
kerasnya juga?”
Kujou bersaudari juga menanggapi
dengan canggung, seolah-olah mereka tidak tahu bagaimana harus bereaksi
terhadap situasi tak terduga yang terjadi secara beruntun. Namun, Chisaki
tampaknya tidak terlalu peduli tentang hal itu, dan melanjutkan dengan nada normalnya
yang biasa.
“Karena aku merasa khawatir~,
jadi aku mampir sebentar karena rapatnya berakhir lebih cepat ... Yah, untuk
sekarang, apa kalian bisa menyerahkannya padaku? Aku takkan membiarkannya kabur
lagi kali ini.”
Ketika Chisaki mengalihkan
perhatiannya kepada “Sosok siswi merah”
itu, tubuhnya langsung meronta-ronta. Matanya
yang berlumuran darah menoleh ke arah Masachika, dan tangannya terulur seraya
bersuara serak.
“T0-Tolong aku…..”
Namun, Chisaki segera
menyeretnya pergi dan siswi itu menghilang di balik tikungan.
“Ja-Jangan terlalu berlebihan,
ya~”
Masachika mengatannya dengan
nada yang agak ragu dan..... memiringkan kepalanya.
(Ummm... jadi, apa maksudnya ini? Ehh?
Mungkin dia bukan hantu yang asli ... melainkan hanya siswa yang menerobos masuk
tanpa izin, dan kena babak belur oleh Sarashina-senpai? Tidak, mau dilihat dari
mana pun, yang itu jauh lebih realistis... ...Mengesampingkan pertanyaan apakah
Sarashina-senpai akan menggunakan tinjunya kepada seorang siswi.)
Atau mungkin itu kejutan buruk yang
tidak melibatkan Masachika. Kemungkinan ada seseorang yang berpura-pura menjadi “Sosok siswi merah” dan mencoba
menakut-nakuti seseorang ... bila
berpikir seperti itu, dapat disimpulkan bahwa alasan mengapa ada darah
dioleskan di wajahnya karena ingin menyembunyikan identitas aslinya.
(Yup, aku merasa kalau memang begitu
kejadiannya. Owalahh~~ aku cuma terburu-buru mengambil keputusan, yaa~. Aku
jadi merasa malu karena maju dengan sok berani dan melakukannya dengan serius.~~
hahaha….)
Masachika menyimpulkan ini
sambil berusaha melakukan yang terbaik untuk memalingkan perhatiannya dari
fakta bahwa ada jimat yang melilit di tangan kiri Chisaki seperti sarung tangan.
Kemudian, saat Ia menggaruk kepalanya untuk menutupi rasa malunya ... ada dua tangan
yang mencengkeram kuat bahu Masachika dari belakang.
“Masachika-kun ... Apa
maksudnya ini?”
“Kuze-kun~? Kira-kira, apa kamu
bisa menjelaskannya padaku, hmm~?”
Suara dingin terdengar dari arah
belakangnya. Ketika berbalik untuk menoleh ke belakang dengan kaku, Masachika
melihat wajah Alisayang tersenyum tipis dengan pandangan mata yang tidak
tersenyum sama sekali, dan Maria dengan senyuman yang tidak wajar. Ekspresi
mereka berdua jauh lebih menakutkan daripada “Sosok sisiwi merah” yang baru saja dilihatnya tadi.
“Ah, eh, umm… De-Demi
mengejutkan kalian berdua, aku sudah menyiapkan kejutan khusus saja, kok?
Mungkin~ itu terlalu berlebihan, dan justru mendapat pelajaran dari
Sarashina-senpai…. ?”
Masachika, yang tidak bisa
menelan ludahnya sendiri, terpaksa menjelaskan situasinya. Seketika, tatapan mata
Alisa semakin menyipit dan senyum Maria semakin dalam. Di tambah lagi,
jari-jemari mereka berdua mencengkeram erat bahunya.
“Umm, kalau begitu, aku perlu
menyusul Sarashina-senpai dulu untuk memastikan kalau dia tidak terlalu
berlebihan ...”
Usai memberitahu itu,
cengkeraman mereka berdua sama sekali tidak mengendur. Setelah itu, mereka
berdua menceramahinya habis-habisan. Meskipun itu semua hanyalah fitnah.
(Hah, yah, tidak apa-apa lah... Tindakan
jantan merupakan sesuatu yang tidak meminta imbalan ...)
Sambil duduk bersimpuh di
hadapan mereka berdua, Masachika melihat ke luar jendela dengan pandangan mata
yang jauh. Betapa menyenangkannya bisa melihat indahnya rasi bintang bersama
dua saudari yang cantik jelita, sambil duduk bersimpuh, hari ini …...
“Masachika-kun! Apa kamu
mendengar perkataanku!?”
“Kuze-kun, kamu harus merenungi
ini dengan benar!”
“…Ya.”
...... . tampaknya menjadi hari
yang buruk. Tidak baik juga buat terus-menerus melarikan diri dari kenyataan.
Beberapa hari kemudian, topik mengenai Tujuh Misteri di sekolah turun
dalam waktu kurang dari seminggu, karena hasil investigasi Tujuh Misteri
disebarluaskan melalui kontak OSIS.
Adapun mengenai cerita hantu “Sosok siswi Merah” yang paling banyak
dibicarakan, mereka mengumumkannya dengan kalimat setengah bercanda seperti “Wakil Ketua Sarashina sudah memusnahkannya”,
dan anehnya ... para siswa menerimanya dengan cukup normal.
“Bukannya yang ini lebih cocok
jadi Tujuh misteri, ‘kan?”
“Betul banget.”
Setelah menyaksikan keseluruhan
cerita, dua kakak beradik bergumam apakah itu beneran ada atau tidak.
Sebelumnya
|| Daftar isi || Sebelumnya