Bab 2 Bagian 5
Setelah itu, pihak kepolisian
mengunjungi tempat kerjaku dan menginterogasi aku.
Karena itu berubah menjadi
keributan yang lebih besar dari yang kuduga, jadi aku harus pulang lebih lama
dari biasanya.
“Emangnya perban ini
benar-benar diperlukan?”
“Tentu sajalah! Kamu sudah
mengeluarkan banyak darah!”
Aku menatap tak berdaya pada
lenganku yang diperban saat Kawasaki mengucapkan kata-kata itu dengan tegas.
“Padahal cuma dikasih ludah
saja pasti bakalan sembuh dalam sekejap.”
“Karena kamu terus mengatakan
hal-hal bodoh seperti itulah aku melakukan ini untukmu, Senpai.”
“Haaa…”
Sepertinya standar akal sehatku
menjadi terlalu aneh untuk dunia ini.
Sejak aku mengingat semua
tentang kehidupanku yang sebelumnya, aku mulai berpikir dengan pola pikir
seseorang yang hidup di dunia itu. Di sunia itu, perkelahian di bar merupakan kejadian
biasa dan tidak ada yang mempermasalahkannya, tapi di sini, justru
kebalikannya.
Aku tidak keberatan dengan apa
pun yang terjadi padaku, tapi Takase-san terus-menerus menangis sambil meminta
maaf kepadaku.
“Senpai, apa kamu terbiasa
berkelahi?”
“Apa yang membuatmu berpikir
begitu?”
Aku menjawab pertanyaannya
dengan pertanyaanku sendiri.
“Bagaimana bilangnya ya ...
bahkan dalam situasi seperti itu, kamu tampaknya tidak panik sama sekali ...”
Yah, karena aku merasa tidak
perlu mewaspadai kroco macam mereka. Tidak peduli seberapa lemah tubuhku yang
sekarang, aku bisa menghajar habis mereka semua sendiri jika aku mau.
Tapi, jika aku benar-benar
mencoba untuk melawan dan menang, aku akan berada dipihak yang salah jika
dilihat dari sudut padang hukum negara ini. Itu sebabnya aku memutuskan untuk
membiarkannya memukulku.
Ditambah lagi, jika aku
benar-benar panik dalam situasi semacam itu, aku akan didiskualifikasi sebagai
pahlawan.
“Kamu pikir aku ini berandalan?”
Tanyaku sambil mengambil kaleng kosong yang tergeletak di pinggir jalan dan
membuangnya ke tempat sampah terdekat.
Itu membuat suara keras saat
menabrak bagian bawah tempat sampah.
“Kamu tidak terlihat seperti
itu ... Apa kamu mantan berandalan yang sudah tobat?”
“Tentu saja tidak. Selain itu, aku
tidak pernah berkelahi sepanjang hidupku. ”
Aku mengangkat bahuku saat
mengatakan itu. Memang benar, aku tidak pernah berkelahi di dunia ini.
“Hmm…”
Kawasaki tampaknya masih
meragukanku.
“Kamu menyimpan banyak rahasia,
ya, senpai?”
Sebenarnya, aku tidak mencoba untuk
merahasiakan semuanya, tapi jika aku memberitahu orang waras di dunia ini kalau
aku adalah pahlawan di dunia lain dan bahwa aku bereinkarnasi ke sini karena
suatu alasan, pasti tidak ada yang akan mempercayaiku.
Jadi, aku menepisnya dengan
senyum misterius.
Kawasaki mengerutkan alisnya.
Ini agak sulit untuk ditangani… Aku harus mencoba untuk mengubah topik… Saat
itu, aku melihat seorang wanita tua membawa banyak barang di sudut mataku.
“Hah? Apa itu Maruyama-san?”
“Siapa?”
“Seorang bibi tua yang tinggal
di dekat sini. Dia sepertinya dalam masalah… aku harus membantunya.”
Aku mengabaikan Kawasaki yang
hendak mengatakan sesuatu dan memanggil Maruyama-san.
“Halo, saya akan membantu anda,
Maruyama-san.”
“Ya ampun, bukannya kamu putra
Shiraishi-san? Terima kasih sudah menawarkan bantuan. Lalu, bisakah kamu
membantuku membawa pulang ini? Jaraknya sudah dekat, tapi membawa ini
benar-benar membebani punggungku yang lama…”
“Tentu saja. Anda dapat
bergantung kepada saya.”
Maruyama-san tersenyum sambil
menyerahkan tas belanjaannya yang dia pegang.
“Kamu memang anak yang sangat
baik. Kamu juga yang menjaga cucu-cucuku tempo hari, ‘kan?”
“Yah, rasanya cukup menyenangkan
dengan mereka, anda tidak perlu memikirkan itu, Maruyama-san.”
Sebagai bagian dari pekerjaan
relawan, aku sudah membantu orang tua di sekitar lingkungan.
Maruyama-san adalah salah satu dari
orang yang aku bantu.
Pada tempo hari yang lalu, aku
bermain dengan cucu-cucunya saat orang tua mereka pergi.
“…Senpai, memang kamu lupa
kalau tanganmu sedang terluka? Sini, bagi salah satunya.”
Kawasaki dengan paksa mengambil
tas dari lenganku.
Kurasa dia ada benarnya.
Lenganku sebenarnya sedikit sakit.
“Kamu tidak benar-benar perlu
membantuku.”
“Aku bukan orang yang sekejam
itu. Aku takkan membiarkanmu melakukan apa pun sendirian.”
Ujar Kawasaki sembari mendengus
'hmph'.
“Ya ampun, kamu sedang berjalan-jalan
dengan seorang gadis di jam segini? Apa dia pacarmu?”
Aku membalas pertanyaannya
dengan tertawa. Aku tahu kalau dia sedang bercanda.
“Haha, anda benar-benar pandai
sekali bercanda, Maruyama-san! Bukannya menurutmu begitu, Kawasaki? …Hah?
Kawasaki?”
Entah kenapa, wajahnya terlihat
memerah.
Biasanya, dia akan menimpali
ucapan tersebut dengan lelucon dan menggodaku, tapi kurasa kali ini termasuk
pengecualian. Mungkin, dia tidak terbiasa dengan lelucon seperti ini.
“Sa-Saya bukan pacarnya.”
Kawasaki menjawab dengan
kesulitan.
Sebelum kami menyadarinya, kami
sudah sampai di tempat Maruyama-san.
“Terima kasih, kalian berdua. Aku
menghargai bantuan kalian.”
Maruyama-san mengucapkan terima
kasih beberapa kali dan memberi kami kue sebagai ucapan terima kasih.
Aku tidak mengharapkan imbalan,
tapi terkadang rasanya tidak terlalu buruk untuk menerima ucapan terima kasih
seperti ini.
Itu berarti usahaku dalam
membantu tidak sia-sia.
“…Apa kamu sering melakukan hal
seperti ini, senpai?”
“Aku melakukannya kapan pun aku
mau. Jadi, apa kamu masih berpikir bahwa aku ini mantan berandalan? ”
Aku mengangkat bahuku saat
mengatakan itu. Kawasaki menghela nafas sebagai jawaban.
“…Baiklah, kamu berhasil meyakinkanku.
Tapi, kamu tidak boleh melakukan hal seperti ini sampai lukamu sembuh, senpai.
Seriusan, kamu harus lebih menjaga dirimu sendiri.”
“Iya mamah, aku mengerti.”
“Aku ini kouhai-mu, bukan
ibumu, dasar cabul.”
“Itulah caraku untuk
memberitahumu bahwa kamu adalah orang yang peduli.”
“Meski begitu, aku tidak ingin
kamu memanggilku seperti itu!”
Melihat wajahnya yang jijik
membuatku merasa sakit hati.
Sementara kami melakukan
percakapan semacam ini, kami akhirnya tiba di depan rumahku.
“Baiklah, Senpai, sampai jumpa
lagi di sekolah.”
Setiap kali Kawasaki dan aku
bekerja pada hari yang sama, kami akan berjalan pulang bersama seperti ini.
Rumahnya sepuluh menit lebih jauh dari rumahku.
“…Tidak, tunggu sebentar, aku
akan mengantarmu pulang ke rumah.”
Aku memikirkannya sebentar, tapi
aku benar-benar harus melakukannya. Tapi saat mendengar kata-kataku, Kawasaki justru
mengerutkan keningnya.
“Apa? Tiba-tiba kamu ngomong
apaan sih, Senpai?”
“Maksudku, berkat kejadian apes
itu, kita pulang lebih malam dari biasanya, ‘kan? Kurasa tidak aman bagi gadis
sepertimu untuk berjalan sendiri pada jam-jam seperti ini… Yah, sebenarnya
tidak terlalu larut sih, tapi tetap saja…”
Ketika aku memikirkannya, entah
itu jam 9 atau 10 malam tidak ada bedanya.
Tapi tetap saja, setelah
peristiwa itu, aku jadi sedikit khawatir tentang kondisi mentalnya.
“Jangan khawatir, aku enggak
akan melewati lorong-lorong gelap seperti orang idiot. Aku bakalan baik-baik
saja, senpai. Aku tahu kamu mengkhawatirkanku, tapi aku lebih kuat secara mental
dari yang kamu kira... walaupun ini tawaran yang menggiurkan, sih~” Ujar
Kawasaki dengan senyum menggoda di wajahnya.
Melihat ekspresinya itu,
jantungku sedikit berdetak kencang. Dia lebih muda dariku, tapi senyumnya
terlalu berlebihan.
Tidak menyadari keadaan
pikiranku, dia melambai ringan padaku dan pergi menjauh.
“…”
Untuk beberapa saat setelah
itu, aku terus memperhatikan punggungnya.
Dia adalah kouhai baik yang
selalu mengerti niatku.
Kegelapan malam terus mengikuti
punggungnya saat dia perlahan-lahan menghilang dari pandanganku.
Walaupun keadaan sudah malam,
angin sepoi-sepoi yang berhembus tidak terasa dingin.
Sebaliknya, rasanya begitu hangat.
Saat aku berdiri dalam
keheningan sebentar, berbagai suara mulai memasuki telingaku. Suara jangkrik,
TV tetangga dan suara langkah kaki Kawasaki yang perlahan memudar di kejauhan.
Seekor kucing liar mendekatiku dan mengeong ke arahku.
…Namun, anehnya aku merasa
tidak nyaman.
“… Penyihir, apa itu kamu?”
Di belakangku, ada seekor
burung gagak yang hinggap di dahan pohon.
Ketika aku menatapnya, gagak
tersebut balas menatapku tanpa menunjukkan reaksi apa pun.
Ada tanda-tanda reaksi sihir yang
samar dari tubuhnya.
Sampai beberapa menit yang
lalu, gagak itu menutupi hawa kehadirannya dengan membaur hawa kehadiran
Kawasaki, tapi sekarang setelah dia pergi, aku menyadari kehadirannya dengan
mudah.
“Aku tidak tahu sejak kapan
kamu membuntutiku, tapi bisa tidak jangan menguntitku dengan familiarmu? Itu termasuk
kejahatan, loh?”
Burung gagak itu kemudian
melebarkan sayapnya dan terbang menjauh.
... Apa-apaan itu?
Kenapa dia membuntutiku, sih?
Yah, aku bisa bertanya padanya
mengenai itu besok.
◇◇◇◇
“… Hah? Aku ketiduran?”
Kesadaranku perlahan-lahan
kembali memasuki kenyataan. Aku melihat jam yang ada di mejaku. Saat ini sudah
tengah malam.
Aku mencoba berdiri dengan
tubuhku yang lesu dan mencoba mencari tahu apa yang terjadi padaku sebelum
tertidur.
Seharusnya aku kembali ke rumah
dari pekerjaan sambilanku sekitar pukul setengan sepuluh malam.
Aku berbaring di tempat tidurku
untuk beristirahat sebentar, tapi aku justru kebablasan tidur.
…Padahal aku berencana untuk
belajar ketika sampai di rumah.
Tidur sekitar jam itu terasa
tidak enak bagiku. Entah kenapa, rasanya begitu saja.
Yah, bagaimanapun juga, karena aku
tidak merasa mengantuk lagi, aku bisa mulai belajar sekarang jika aku mau.
“…Kurasa aku harus mandi dulu.”
Aku tidak menyalakan AC, jadi
tubuhku lumayan berkeringat.
Badanku masih terasa lemas,
tapi aku masih bisa bergerak. Aku berjalan menuju pintu kamarku dan membukanya.
Kepalaku mengalami sedikit
pusing saat berjalan. Apa aku mengalami masuk angin musim panas? Mana mungkin, iya
‘kan? Bagaimanapun, aku mengabaikan perasaan itu dan berjalan menuruni tangga.
Rupanya ibuku sudah kembali ke
rumah. Aku bisa mendengar dengkurannya yang tenang dari kamarnya.
Aku menguap dan membuka pintu
kamar mandi.
Lalu…
“…Hah?”
Hal pertama yang aku lihat ialah
sepasang payudara besar.
Kemudian, pandanganku tertuju
pada sepasang kaki ramping yang basah. Aku perhatikan bahwa tidak ada satu pun
pakaian yang menutupi bagian tubuh orang yang ada di hadapanku.
Sederhananya, gadis yang ada di
depanku ini, Kirishima Hina, sedang telanjang bulat.
“G-Godou ?!”
Seketika juga semua rasa kantukku langsung hilang dalam sekejap.
Hina segera mengambil handuk
dan menyembunyikan dadanya. Wajahnya langsung memerah seperti tomat
matang.
Kemudian, dia bergumam dengan
suara kecil,
“…Tutup …”
“H-Hah?”
“P-Pintunya! Cepat tutup
pintunya!”
“A-Ah, b-benar juga, ma-maaf.”
Jadi, aku menutup pintu yang
ada di belakangku.
“…”
“…”
Dan sekarang aku terjebak di
dalam ruangan ini bersama dengannya.
Aku sedang panik, oke? Tapi,
kurasa itu bukan alasan yang cukup bagus.
Keheningan di antara kami mulai
terasa menyesakkan.
Aku tahu kalau aku sudah
mengacaukannya.
Aku bisa merasakan keringat
dingin mengalir di punggungku.
Saat aku berdiri mematung, Hina
berteriak padaku.
“A-A-Apa yang kamu lakukan, dasar
idiot?! Pe-Pergi keluar dulu sebelum menutup pintunya!”
“M-Maaf, i-itu salahku! T-Tapi,
kenapa kamu ada di sini?”
“Memangnya kamu tidak bisa
menunggu sampai nanti untuk menanyakan pertanyaan itu ?!”
“T-Tidak, tentu saja tidak! Aku
perlu tahu sekarang!”
Aku mempertajam konsentrasiku
untuk mengukir pemandangan ini ke dalam ingatanku.
Berkat itu, konsentrasiku langsung
berada di puncaknya. Jika aku memberikan perbandingan, tingkat konsentrasiku
berada pada tingkat yang sama ketika aku melawan penyihir dengan
sungguh-sungguh di dunia itu.
“Tunggu itu! Untuk! Nanti!”
Hina mendorongku dengan tangan
kanannya sementara tangan kirinya menekan handuk ke dadanya dengan erat.
“B-Baik, aku mengerti! Jadi
jangan dorong-dorong terus!”
Aku membuka pintu dan pergi
keluar.
Mungkin karena dia juga panik
saat itu…
Dia menggunakan tangan kirinya
untuk memegang pegangan, mencoba menutup pintu dari sisinya.
Berkat itu, handuk yang
menutupi tubuhnya dengan lembut jatuh ke lantai.
Sekali lagi, tubuhnya terlihat
di mataku dengan penuh kemuliaan.
◇◇◇◇
“…Uhhh~~ sekarang aku tidak
bisa menikah lagi.”
Hina sedang berbaring di tempat
tidurku. Memeluk bantalku erat-erat dengan suasana hati yang jelas-jelas
merajuk.
“…Sungguh, itu memang salahku.
Mohon maafkan aku.”
“K-Kenapa kamu menatapku
seperti itu?! K-Kamu seharusnya mencari di tempat lain! …Aku seharusnya
melaporkanmu ke polisi.”
“Tolong jangan, aku mohon!”
Aku tahu kalau akulah yang
salah, jadi aku membuang harga diriku dan membungkuk padanya.
Dia cemberut sambil memeluk
bantalku. Matanya memerah, mungkin karena air mata.
Saat ini, dia mengenakan seragam
olahraga SMA kami. Dia mungkin menggunakannya sebagai pakaian tidurnya saat
ini. Sekali lagi, aku mendapati diriku menatapnya. Dia terlihat lebih seksi
dari biasanya dengan pakaian itu. Mungkin itu karena dia baru saja keluar dari
kamar mandi?
Pokoknya, apa yang bisa kulakukan
supaya bisa memperbaiki suasana hatinya?
Untuk saat ini, aku harus
mengubah topik terlebih dahulu.
“Lagian kenapa kamu bisa ada di
sini, sih? Karena kamu sudah lama tidak berkunjung, jadi aku tidak menyangka
kalau kamu bakalan ada di sini.”
“…Pemanas kamar mandi di
rumahku rusak, jadi aku berniat pergi ke pemandian umum. Aku lalu bertemu ibumu
dalam perjalanan ke sana dan banyak hal terjadi…”
“…Ah, maaf soal itu.”
Jika aku bisa menggambarkannya
dalam satu kata, ibuku lah yang 'memaksa'-nya.
Setelah mengetahui bahwa Hina
akan pergi ke pemandian umum, kemungkinan besar dia dengan paksa menyeretnya ke
sini.
“Tidak apa-apa! Jangan meminta
maaf begitu! Ketika aku menjelaskan situasiku kepadanya, dia memberitahuku
kalau aku boleh meminjam kamar mandi di sini. Ini untuk menghemat uang, katanya. Lagi pula, ibumu sama sekali
masih tidak berubah, ya? ”
Matanya menyala saat dia
mencoba meniru ibuku. Ekspresinya jelas cerah setelah itu. Sepertinya aku
berhasil meredakan amarahnya.
Meski begitu, tidak peduli
seberapa dekat mereka satu sama lain, tetap tidak pantas baginya untuk
meninggalkan Hina sendirian. Maksudku seriusan, bagaimana dia bisa tertidur
setelah menyeret seseorang ke dalam rumahnya?
“Ngomong-ngomong, sudah lama sekali
sejak terakhir kali aku datang ke sini.”
“…Ya.”
Kembali ketika kami masih kecil,
dia selalu datang ke sini sepanjang waktu. Kami selalu tidak terpisahkan saat
itu, layaknya sebuah keluarga. Seiring bertambahnya usia kami, dia semakin
jarang datang ke sini dan kami perlahan-lahan berpisah.
“Kamu berhenti datang ke sini
setelah semua orang menggodamu tentang hal itu ketika di SMP dulu.”
“A-Apa bileh buat, ‘kan!
Ka-Karena itu memalukan, oke ?! ”
Ngomong-ngomong, rumahnya tepat
di sebelah rumahku. Bahkan, kamarnya tepat di sebelah kamarku. Aku bisa dengan
mudah pergi ke sana jika aku menggunakan tangga sebagai jembatan. Sayangnya,
orang tuaku melarangku melakukannya karena itu berbahaya.
“Selain manga barumu, kamarmu
tidak banyak berubah, ya?”
Dia mengambil manga dari rak buku
lalu mulai membacanya sambil berbaring di tempat tidurku.
Menggunakan tempat tidur orang
lain seolah-olah itu miliknya sendiri...
Ya ampun, gadis ini...
Saat aku hendak mengeluh,
gelombang pusing menyerang kepalaku.
“Godou?”
“Bi-Bukan apa-apa… aku
baik-baik saja…”
Aku menggelengkan kepalaku dan
kesadaranku segera jernih kembali. Lalu, aku melirik jam di mejaku.
“Ngomong-ngomong, kenapa kamu
mandi semalam ini?”
“Aku makan malam dengan ibumu
dan kami mengobrol sebentar.”
“Jadi penyebabnya masih tetap Ibu,
ya…?”
Aku menjatuhkan bahuku saat mendengarnya.
Melihat reaksiku yang begitu, Hina menggembungkan pipinya dengan cemberut.
“Tapi itu masih tetap salahmu
karena sudah melihatku telanjang, oke? Apalagi, aku sengaja mandi malam-malam
begini karena takut kamu akan bangun dan menggunakan bak mandi. Memangnya
seberapa capeknya kamu? Ibumu bilang begitu sampai di rumah, kamu langsung
tertidur.”
“Aku mendapat giliran kerja
malam ini, tentu saja aku merasa lelah.”
Jangan coba-coba menghindari
pertanyaan.”
Dia lalu mulai mendekat ke arahku.
Aroma harum samponya bisa tercium di hidungku.
Sekali lagi, aku dibuat menyadari
kalau teman masa kecilku, yang selalu kuanggap sebagai keluarga, telah berubah
menjadi gadis yang begitu menawan.
“Aku tahu kamu sering melakukan
pekerjaan sukarela akhir-akhir ini. Kamu juga membantu OSIS dan klub olahraga
karena mereka kekurangan anggota. Ujian UAS juga semakin dekat… Seriusan, apa
kamu baik-baik saja?”
Begitu mendengar kata-kata
tersebut, mataku terbelalak kaget.
Begitu rupanya. Jadi dia sudah
tahu semuanya, ya. Aku tidak pernah memberi tahu siapa pun tentang hal itu,
tetapi dia masih tetap tahu tentang hal itu. Dia selalu mengawasiku, ya?
“Jangan khawatir, aku baik-baik
saja, kok. Terima kasih sudah bertanya.”
“Jangan memaksakan dirimu
terlalu keras, oke?”
“Aku tidak memaksakan diri, kok.”
“Jangan bohong. Menurutmu sudah
berapa lama aku mengenalmu? Kamu merasa tidak sehat, bukan? Aku tahu kamu
berusaha menyembunyikannya dariku.”
Hina menatap lurus ke arah mataku.
...Seperti yang kuduga, dia
menyadari kondisi tubuhku juga.
“Sepertinya kamu tidak demam.”
Dia bergumam sambil meletakkan
tangannya di dahiku.
“Kamu mungkin akan terkena
demam ketika pagi tiba. Jika itu terjadi, istirahatlah dari sekolah dan
pekerjaan sambilanmu, oke?”
“Oke, mah.”
Baik Kawasaki dan dia… Aku
dikelilingi oleh oran-orang yang selalu khawatiran.
“Kamu itu orang yang sukar
diurus, kamu tahu itu, ‘kan?”
“Tapi ibuku justru mengatakan
sebaliknya.”
“Itu karena kamu selalu
berusaha melakukan semuanya sendiri.”
Hina menghela nafas, meraih
tanganku dan mendorongku ke tempat tidur.
“Cepat pergi tidur. Ini
selimutmu.”
Dia membungkus selimut di sekitar
badanku, meraih bahuku dan memaksa u untuk berbaring.
Kemudian, dia berbaring di
sebelahku.
“Kamu akan masuk angin jika
terus seperti itu.”
“…Jangan salah paham. Aku hanya
melakukan ini karena aku tidak bisa mempercayaimu jika aku meninggalkanmu
sendirian. Hanya itu saja, tidak ada yang lebih, oke.”
“Hentikan sikap tsundere yang sudah
ketinggalan zaman itu.”
Mendengar jawabanku, dia
tersenyum nakal dan melanjutkan,
“A-Aku hanya melakukan ini
karena aku terlalu malas untuk pulang, tau!”
“Dapat dimengerti.”
“Yah, pokoknya, aku harus
pulang sekarang.”
“Kamu mau pulang? Maksudku,
tentu saja begitu… Ya, kamu harus cepat pulang.”
“Ya. Maksudku, jika aku tidur
dengan seseorang yang sudah melihat tubuh telanjangku, entah apa yang
akan terjadi padaku, bukan? Yah, cuma bercanda doang, kok.”
Kami dulu sering tidur bersama ketika masih kecil. Tapi sekarang kami berdua sudah menginjak usia dewasa, jadi
tentu saja kami takkan melakukan itu. Dia benar, jika kami melakukan itu, siapa
yang tahu apa yang akan terjadi…
“Baiklah, aku akan pulang.”
Hina bangkit dari kasurku sambil
menguap.
Tepat sebelum meninggalkan
ruangan, dia berbalik dan menatapku.
"Istirahat dengan benar,
oke?”
Dia mengatakannya dengan nada
serius.
Yah, bahkan jika dia tidak
memberitahuku itu, aku tetap berencana untuk melakukannya.
Setelah Hina meninggalkan
kamarku, kesadaranku mulai perlahan-lahan memudar.
Sebelumnya
|| Daftar isi || Selanjutnya