Eiyuu to Majo Jilid 1 Bab 3

Bab 3 — Pahlawan Buatan

 

'Proyek Penciptaan Pahlawan.'

Itu adalah proyek skala besar yang dipimpin oleh Sage, Alicia Edwards.

Tujuan dari proyek tersebut ialah menciptakan seorang pahlawan yang mampu membunuh Penyihir Malapetaka dan mengutus mereka ke dunia sebagai agen Tuhan. Sebenarnya, itu hanyalah salah satu agenda gereja untuk mendapatkan lebih banyak kekuatan dengan mendapatkan pencapaian membunuh penyihir.

Namun, rencana tersebut mengalami berbagai kendala.

Sejak awal, mengumpulkan cukup banyak anak yang memiliki bakat eksorsisme saja sudah sulit.

Meskipun mereka berhasil mengumpulkan seratus anak dari seluruh benua, tapi banyak dari mereka yang tidak berhasil bertahan hidup. Beberapa dari mereka memiliki tubuh yang rusak karena peningkatan fisik yang digunakan untuk proyek tersebut. Beberapa dari mereka hancur secara mental karena tidak tahan dengan efek samping obat-obatan yang digunakan untuk proyek tersebut. Beberapa dari mereka dibunuh dengan kejam oleh iblis selama pelatihan mereka. Beberapa dari mereka menderita trauma mental yang tidak dapat dipulihkan.

Oleh karena itu, sembilan puluh sembilan anak menjadi tidak berguna dan Sage Alicia hampir menyerah pada proyek tersebut. Namun, ada satu anak laki-laki yang bertahan pada proyek mengerikan itu. Ia berhasil berkembang pesat dan akhirnya berhasil mencapai tujuan yang telah ditetapkan Sage.

Karena anak laki-laki itu awalnya adalah anak yatim piatu yang tak berpendidikan, Sage Alicia mengajari anak laki-laki itu semua yang perlu Ia ketahui untuk menjadi pria yang layak menjadi pahlawan pilihan Tuhan.

Dia lalu menyatakan kepada sang pahlawan.

'Kalahkan kejahatan, selamatkan yang lain.'

Karenanya,

Tuhan membawa keselamatan ke dunia di mana orang berkabung karena si penyihir.

Gereja mengumumkan bahwa laki-laki tersebut merupakan orang terpilih sebagai pahlawan untuk mengusir penyihir jahat dan menyelamatkan dunia.

Dan nama pahlawan tersebut adalah Gray Handlet.

Dialah mahakarya gereja, keberadaan yang diciptakan hanya untuk membunuh si penyihir.

 

◇◇◇◇

 

“…Kamu itu orang yang sangat berdosa, ya?”

Shinji yang sedang meletakkan pipinya di atas meja di depanku, mengatakan itu dengan jijik.

“Dari semua orang, aku tidak ingin mendengarnya darimu.”

Aku baru saja selesai menceritakan apa yang terjadi dengan Hina tadi malam.

“Oi, oi, teman masa kecil yang normal takkan berbaring di ranjang yang sama, di bawah selimut yang sama, ketika mereka sudah menjadi anak SMA, tau?”

Ini nih, penggambaran yang tepat untuk pepatah maling teriak maling.

“Kamu salah paham tentang sesuatu. Ya, kami memang berbaring di bawah selimut yang sama, tapi dia pergi sebelum kami melakukan hal lainnya.”

“Coba jelaskan secara rinci pada bagian 'lainnya'.”

“Dengar, kami berdua sudah seperti keluarga, kami takkan melakukan apapun yang kamu bayangkan.”

“Hanya kamu saja yang berpikiran begitu, dia mungkin berpikir sebaliknya.”

"Tentu saja tidak. Atau mengapa dia bahkan masuk ke dalam selimut? ”

Aku tidak perlu membuktikan apa pun kepadanya. Ya, kadang-kadang, aku sadar kalau aku menganggap Hina sebagai seorang gadis dan lawan jenis, tapi pada akhirnya, dia sudah seperti saudara bagiku dan aku percaya bahwa dia juga berpikiran sama denganku.

“…Nih anak…seriusan deh …”

Untuk beberapa alasan, Shinji menatapku dengan tatapan jijik.

“Entah kenapa tanganku gatel kepengen menghajar mukamu, sekarang juga.”

“Hah? Kenapa?”

“Bukan hanya mempermainkan hati Hina, kamu juga mempermainkan hati Shiina Mai.”

“Kamu ini mengoceh apaan sih? Aku tidak melakukan semua itu.”

“Kenapa semua gadis cantik selalu berkerumun di sekitarmu? Rasanya sungguh tidak adil!”

“…Aku tidak ingin mendengarnya darimu!”

Ia mengangkat bahunya.

“Biarkan aku meluruskan ini, aku lebih populer dan terlihat lebih baik darimu.”

“Oh, tutup mulutmu.”

“Tapi kenapa semua gadis cantik berbondong-bondong di sekitarmu?”

Aku mengerutkan alisku. Apa yang sebenarnya pria ini bicarakan?

“Aku akan membeberkannya untukmu. Di kelas kita saja sudah ada Shiina Mai, Kirishima Hina dan Shindou Yuuka, lalu ada anak kelas satu, rekan kerjamu, Kawasaki Saya. Mereka semua adalah gadis tercantik dengan pesonanya masing-masing dan aku takkan meragukannya jika ada seseorang yang mengatakan kepadaku bahwa mereka sebenarnya adalah grup idola.”

“Bagaimana caranya kamu bahkan bisa tahu tentang rekan kerjaku ...”

Rasanya jadi sedikit menyeramkan.

Meski demikian, karena Kawasaki menghadiri sekolah ini juga, jadi kurasa tidak aneh jika Ia bisa mengenalnya.

“Yah, anggap saja jaringan informasiku  lumayan luas.”

Shinji melambaikan tangannya, memberitahuku bahwa Ia ingin membeli minuman dan pergi ke luar.

Aku membiarkannya pergi tanpa mengatakan apapun.

Saat ini sedang istirahat makan siang dan aku sudah menyelesaikan makan siangku, tapi masih ada waktu luang.

…Karena masih ada waktu senggang, bagaimana kalau aku bermain gim saja?

Aku mengeluarkan ponselku dan membuka aplikasi gim RPG tertentu.

Gim ini terasa sangat realistis bagiku karena mirip dengan kehidupanku sebelumnya.

Berkat ingatan dari kehidupan sebelumnya, aku memiliki cara untuk menikmati permainanku sendiri meskipun ada perbedaan pengaturan dibandingkan dengan kehidupanku sebelumnya.

Omong-omong, sekolah melarang kami membawa ponsel, tapi mereka tidak benar-benar menerapkannya secara ketat.

Tentu saja, jika kamu menggunakannya selama jam pelajaran berlangsung, mereka akan menyitanya, tapi jika kamu menggunakannya selama istirahat makan siang seperti ini, tidak ada yang akan menegurmu. Faktanya, ada beberapa teman sekelasku sedang menonton sesuatu di ponsel mereka.

Itulah sebabnya aku memutuskan untuk bermain gim hari ini tetapi, sayangnya, aku tidak dapat berkonsentrasi bermain karena seseorang tertentu.

“Begitu ya. Jadi kamu suka novel, ya? Aku kadang-kadang membaca beberapa yang terkenal juga.”

“Y-Ya… aku bisa membaca novel sendiri, jadi…”

Penyihir itu sedang mengobrol dengan Hina dan aku diam-diam mendengarkan percakapan mereka.

“Te-Terutama lnovel ringan… Aku menyukainya… A-Ah, maaf, apa kamu tahu apa itu novel ringan? Ka-Kamu mungkin tidak tahu, kan? I-Itu adalah novel dengan gaya seni anime sebagai ilustrasinya… T-Tidak, bukan itu… B-Bagaimana aku harus menggambarkannya… U-Um, maaf, aku mengoceh…”

Si Penyihir mulai mengoceh sendiri, tapi di tengah-tengah, dia mulai gagap dan suaranya memudar sedikit demi sedikit.

Hina menatapnya dengan senyum masam dan berkata, “Kamu bisa meluangkan waktu jika itu sulit untuk dijelaskan.”

Si Penyihir  hanya tertawa malu sebagai tanggapan.

“Uwah…”

Aku harus mengingatkan diri sendiri bahwa gadis ini adalah Penyihir Malapetaka.

Setelah itu, percakapan, meskipun aku tidak tahu apakah masih bisa disebut begitu,  terus berlanjut. Hina berhasil dengan terampil menangani keterampilan komunikasi penyihir yang buruk, seperti yang diharapkan darinya. Jika itu orang lain, mereka akan meninggalkannya ketika dia memulai pidato otakunya yang secepat kilat.

Aku meminta Hina untuk mengurus penyihir kemarin dan dia mengatakan bahwa dia berencana untuk melakukannya. Tapi pada akhirnya, tidak peduli seberapa banyak Hina mencoba untuk mengakomodasi nya, situasinya takkan membaik jika keterampilan komunikasinya tidak membaik dalam waktu dekat. Situasi ini cukup meresahkan…

Aku berharap bahwa si penyihir bisa menemukan seseorang yang bisa dia percaya dalam hidup ini.

Rasanya akan sangat menyedihkan jika dia hidup dengan asumsi bahwa semua orang di dunia ini adalah musuhnya, sama seperti yang dia lakukan di masa lalu.

 

◇◇◇◇

 

Karena aku mengalami kesulitan menjaga diriku tetap terjaga di kelas, semua jam pelajaran sudah berakhir tanpa aku sadari.

Karena aku tidak masuk angin, aku memutuskan untuk datang ke sekolah, tapi ternyata kondisiku masih belum membaik. Meskipun aku masih bisa melakukan pekerjaan sambilanku, sama sekali tidak ada masalah. Hina mungkin akan memarahiku lagi, tapi bukannya aku sedang menyiksa diriku sendiri atau apa pun, jadi seharusnya tidak menjadi masalah.

Tidak seperti pada kehidupanku sebelumnya, tubuhku yang sekarang jauh lebih rapuh, tapi aku hanya perlu menyesuaikannya.

Kesampingkan masalah itu …

“Oi, Penyihir, apa yang kamu lakukan kemarin?”

Ketika aku bertanya kepadanya tentang masalah familiar, si penyihir yang kepalanya berbaring di atas meja, perlahan mengangkat kepalanya.

"…Apa? Kamu marah karena aku mengetahui kalau kamu sedang bermesra-mesraan dengan anak kelas 1?”

“Siapa yang mesra-mesraan?! Kamu tahu bukan itu yang aku bicarakan! Kenapa kamu membuntutiku?!”

“Sudah menjadi kewajibanku sebagai musuh bebuyutanmu untuk menguntitmu supaya aku bisa mengetahui kelemahanmu.”

“Bisakah kamu berhenti melakukan itu, tolong?”

Si penyihir menguap dan mengabaikan keluhanku.

“…Tunggu, kamu ketiduran? Astaga, padahal kamu baru saja dipindahkan ke sini, dengarkan isi pelajaran dengan benar.”

“…berbeda denganmu, aku punya otak yang encer. Bahkan jika aku bermalas-masalan sebentar, aku takkan mendapat masalah.”

Si Penyihir mengusap dahinya dan bertanya,

“Jadi, kenapa kamu menggangguku? Apa ini masalah kutukan lagi? Aku sudah menyuruhmu melakukannya setiap tiga hari sekali, ‘kan?”

“Aku tidak keberatan jika kita melakukannya setiap hari.”

“…Tidak bisa. Aku tahu kalau butuh banyak upaya untuk menghilangkan kutukan semacam itu dari tubuhku. Jika aku tidak memberimu waktu untuk beristirahat, tubuhmu akan hancur. Maksudku, eksorsisme kemarin cukup membebanimu, bukan?”

Dia benar, tubuhku masih terasa tidak nyaman.

Seperti yang dia katakan, keadaanku menjadi begini karena aku mengobati kutukannya kemarin.

Tapi, kelelahan sebanyak ini bukanlah apa-apa. Itu takkan menghalangi kehidupan sehari-hariku.

Selain itu, aku sangat khawatir dengan kondisinya. Kutukan itu sepertinya mengikis lebih banyak bagian dari jiwanya dibandingkan dengan kehidupan kami sebelumnya.

Apa tidak apa-apa bagi kita untuk terus berlama-lama seperti ini?

“Apa semuanya akan baik-baik saja?”

“Apa maksudmu?”

"Jika aku terus merawatmu, apa kamu akhirnya akan membaik?”

Dia menjawab pertanyaanku dengan diam.

Aku tidak bisa melihat ekspresinya dari tempatku berdiri karena dia menunduk ke bawah. Setelah beberapa saat, dia bertanya dengan suara tanpa emosi.

“…Bagaimana jika aku mengatakan tidak?”

Si Penyihir lalu secara bertahap mengangkat wajahnya. Wajah yang menatapku tampak seperti dia akan hancur.

“Apa yang akan kamu lakukan jika aku memberitahumu kalau yang kamu lakukan tempo hari hanyalah sekedar pertolongan pertama?”

“Jika memang begitu masalahnya, maka aku akan menemukan cara untuk benar-benar membantumu kali ini.”

“…Bagaimana jika aku memberitahumu kalau ada cara untuk membantuku dan itu mengharuskanmu untuk mengorbankan umurmu?”

“Cuma itu saja? Yah, aku tidak suka ide begitu, tapi jika itu yang diperlukan demi menyelamatkan dunia, ya tentu, aku akan melakukannya. Kupikir harganya akan menjadi sesuatu yang besar, tapi jika cuma itu saja... Bagaimana caramu melakukannya? Jenis sihir apa yang akan kamu gunakan?”

“…”

Dia tidak menjawabku karena suatu alasan.

“Penyihir?”

“...Idiot, itu cuma pertanyaan retoris. Semuanya tidak sesederhana itu.”

“Masa? Yah, baiklah…”

“Lupakan saja, cepat menyingkir dariku. Kita akan melakukan perawatan lagi lusa, jadi jangan bicara denganku sampai saat itu. Aku tidak ingin melihat wajahmu setiap hari, itu bakal merusak pemandangan.”

“Wajahku tidak ada hubungannya dengan ini!”

Dia mendengus dan pergi.

Untuk beberapa alasan, dia tampak dalam suasana hati yang buruk. Tapi sekali lagi, dari awal dia memang sejutek itu.

“…Kurasa aku akan pulang.”

Aku keluar dari kelas dan menuju tempat parkiran sepeda.

Sama seperti kemarin, cuaca di luar masih terasa panas. Sinar matahari yang begitu cerah serasa membakar kulitku.

Aku mencoba mengipasi diriku dengan tangan, tetapi tidak berhasil mengurangi panasnya.

“Apa kamu akan bekerja lagi hari ini?”

Ketika aku sedang dalam perjalanan, Hina memanggilku dari belakang.

“Hi-Hina?! Hari ini aku cuma ada shift empat jam saja, jadi aku akan baik-baik saja!”

Dia sudah berganti ke seragam klubnya. Pahanya yang mulus dan lembut terbuka untuk kulihat.

“… Kenapa kamu kelihatan panik begitu?”

Dia mengerutkan alisnya dengan curiga.

Karena aku takut dengan kemarahannya, aku jadi sedikit kaget saat dia memanggilku dan itu membuat suaraku tergagap ketika menjawab pertanyaannya.

“Jadi kamu tidak mengambil cuti dari pekerjaanmu, ya?”

“Maksudku, jika aku tiba-tiba melakukan itu, itu akan merepotkan manajer…”

Aku tidak ingin menambah kekhawatiran manajer.

Setelah Kawasaki memutuskan untuk mengambil cuti, kami menjadi lebih kekurangan staf daripada sebelumnya.

“…Tolong jangan berlebihan.”

“Aku tahu kok. Jangan khawatir, aku takkan melakukan sesuatu yang tidak dapat aku lakukan.”

Aku tidak begitu mengerti apa yang ingin dikatakan Hina kepadaku, tapi aku tahu kalau dia mengkhawatirkanku. Maksudku, aku tidak pernah memaksakan diri terlalu keras. Aku tahu batasanku sendiri.

Diriku yang sekarang hanyalah anak SMA biasa. Ada banyak hal yang tidak bisa aku lakukan, jadi aku hanya melakukan apa yang bisa kulakukan semampuku.

“Jangan terlalu mengkhawatirkanku, oke?”

Aku mengelus-ngelus kepalanya.

Untuk beberapa alasan, Hina langsung terdiam setelah itu. Kalau dipikir-pikir, kapan terakhir kali aku mengelus kepalanya?

“...Y-Yah, aku tidak terlalu mengkhawatirkanmu, kok. Lagian. kamu mempunyai otak otot.”

Dia membuang wajahnya dengan 'hmph'.

“Apa maksudmu dengan mempunyai otak otot? Apa kamu sedang mengejekku? ”

“Sama seperti yang kukatakan. Semua kekuatan itu dan kamu bahkan tidak bergabung dengan klub mana pun. Kamu hanyalah segumpal otot sekarang, kamu tahu itu? ”

“Ah bawel! Oi, jangan pukul perutku!”

“Woah, perutmu masih luar biasa seperti biasanya…”

Aku mencoba menjauhkannya dari perutku.

“Bukankah sudah waktunya untuk memulai aktivitas klubmu? Kenapa kamu berlama-lama di sini?”

“Ah iya, benar juga! Sial! Aku akan terlambat!”

Hina meninggalkan tempat parkir dengan tergesa-gesa.

Dia adalah gadis yang rewel seperti biasanya. Berkat dia, hari-hariku tidak terasa membosankan.

“…Hm.”

Kemudian, aku merasakan kehadiran di belakangku, jadi aku berbalik menghadapinya.

Ada seorang gadis berambut hitam bersembunyi di balik pohon.

Apa dia mencoba bersembunyi atau apa? Apa yang dia lakukan di sini?

“…Terserahlah.”

Jika dia benar-benar mencoba bersembunyi, kurasa aku harus membiarkannya.

Aku menaiki sepedaku dan mulai mengayuh dengan santai.

Sepanjang perjalanan, aku melewati kawasan pemukiman, persawahan yang luas, berbagai jalan raya dan taman yang dipenuhi anak-anak yang asyik bermain-main. Butuh waktu lima menit bagiku untuk sampai dari sekolah. Lalu pada aat itu, aku menghentikan sepedaku.

…Dan mendengar suara sepeda yang jatuh dari belakangku.

Ketika berbalik, aku bisa melihat seorang gadis berambut hitam berusaha menyembunyikan wajahnya di balik tiang. Ada sepeda terbalik di dekat kakinya.

“O-Oi, apa kamu baik-baik saja?”

Aku tidak mengharapkan hal seperti ini terjadi. Aku berlari mendekati penyihir dengan tergesa-gesa.

Sepertinya dia sudah mengikutiku dari sekolah.

Apa dia seriusan berpikir kalau aku tidak menyadarinya?

“Sebenarnya apa sih yang sedang kamu lakukan? ...”

Dia menyembunyikan wajahnya dengan tangannya.

“Aku, tidak mengenalmu... cepat pergi ...”

“Eh, hahh…..”

Aku menghela nafas pada si penyihir yang menggumamkan hal bodoh seperti itu dengan suara palsu.

“Dengar, bahkan jika itu bukan kamu, aku akan tetap membantu siapapun yang terjatuh dari sepeda seperti ini. Mereka bisa saja terluka dan sebagainya. Ayo, biarkan aku melihatmu.”

Dia lalu dengan enggan menunjukkan wajahnya yang cemberut kepadaku.

"…Apa? Kamu masih ingin mengatakan sesuatu padaku?”

Aku memperbaiki posisi sepeda penyihir yang jatuh dan berkata,

“Tentu saja, kesampingkan perilaku penguntitanmu, mana mungkin aku tidak memiliki sesuatu untuk dikatakan kepadamu setelah hal semacam ini terjadi ..."

Si Penyihir tiba-tiba berjongkok, berusaha menyembunyikan lututnya yang berdarah.

“Sudah kuduga, kakimu lecet setelah habis jatuh tadi, ‘kan?”

“Luka segini tidak seberapa.”

“Untung saja di dekat sini ada taman. Kita bisa mencucinya di sana.”

“Sudah kubilang, ini bukan apa-apa.”

“Apanya yang bukan apa-apa. Ini bukan kehidupan kita sebelumnya, jadi jangan meremehkan luka kecil seperti ini.”

Jika di kehidupan kami sebelumnya, dia bisa menyembuhkan dirinya dengan sihir penyembuhan, tapi bukan itu lagi masalahnya.

Aku membawa sepeda ke area taman bersama si penyihir yang mengikutiku di belakang. Dia sangat penurut kali ini. Mungkin karena dia malu karena melukai dirinya sendiri setelah gagal mencoba membuntutiku.

Bagaimanapun juga, aku tidak bisa membiarkan lukanya seperti itu terus, jadi aku membantunya membersihkan tanah yang menempel di lukanya.

“Apa rasanya menyakitkan?”

“…Aku tidak merasakan apa-apa.”

Ekspresinya sama sekali tidak berubah, jadi aku berasumsi bahwa kata-katanya benar.

“Baiklah, sekarang sudah bersih. Aku akan mulai menyemprotkan beberapa disinfektan di atasnya.”

“Kenapa kamu membawa itu kemana-mana?”

“Tidak ada salahnya ‘kan membawanya kemana-mana.”

“Aku tahu, tapi kenapa? Orang normal takkan melakukan itu.”

“Apa begitu? Yah, masa bodo, hal yang berguna masih akan tetap berguna. ”

“…Kamu memang tidak pernah berubah ya, Pahlawan.”

“Bisa tidak kamu berhenti memanggilku seperti itu? Aku tidak ingin orang memperlakukanku seperti seorang chuunibyou.”

Mungkin aku harus berhenti memanggilnya dengan pangilan 'penyihir' mulai sekarang juga.

“Memangnya itu penting? Lagipula cuma ada kita berdua saja di sini.”

Si Penyihir mulai terbatuk.

“Lagi pula, aku tidak ingin memanggilmu dengan nama. Aku menolaknya dengan setiap serat keberadaanku. ”

“Begitukah?…”

Yah, aku mengerti perasaannya. Lagipula, kami dulu adalah musuh bebuyutan.

Bukannya kami terlalu akrab satu sama lain. Lagi pula, kami tidak berada dalam hubungan seperti itu.

“Meskipun status kita berbeda sekarang, hubungan kita masih tetap sama.”

Si Penyihir terus melanjutkan,

“Lagipula, kamu bukan pahlawan lagi. Kamu hanya seorang anak SMA biasa. Tidak ada alasan lagi bagi mu untuk membantu orang lain. Apa kamu masih berhalusinasi dengan kenyataan kalau kamu pernah menjadi pahlawan di kehidupanmu yang dulu? Apa itu sebabnya kamu melakukan semua ini?”

“…Kamu ini bicara apa sih?”

Aku tertawa mendengar kata-katanya.

“Ini hanyalah hal sepele, bukan sesuatu yang kuanggap 'membantu'. Selain itu, memberikan pertolongan pertama kepada seseorang yang membutuhkan adalah hal yang biasa dilakukan, semua orang di negeri ini juga melakukannya. Ini adalah hal terbaik yang bisa kulakukan dengan mempertimbangkan situasinya juga.”

“…Hmm, hal terbaik yang bisa kamu lakukan, ya?”

“… Apa-apaan dengan nada bicaramu itu?”

Si Penyihir menatap lurus ke arah mataku. Nada suaranya terdengar seperti dia bisa melihat ke dalam batinku dan itu terasa tidak menyenangkan.

Sebelum aku sempat menanyakan apa yang ada di pikirannya, dia membuka mulutnya.

Sudah kuduga. Kamu masih berpikiran kalau kamu harus membantu orang lain meskipun kamu sudah bereinkarnasi di dunia lain. Walaupun kamu tidak memiliki kekuatan lagi. ”

“Apa?”

Aku mencoba untuk menyangkal kata-katanya, tapi aku tidak bisa mengatakan apa-apa lagi.

Mungkin kata-katanya benar… Selama ini, aku tidak terlalu memikirkannya.

Aku ingin membantu orang karena itu adalah hal yang benar untuk dilakukan. Entah di dunia itu maupun di dunia ini, itu selalu terjadi padaku.

“…Memangnya ada masalah dengan itu?”

Memangnya salah bagiku untuk melakukan hal yang benar?

Aku mengerutkan alisku saat menanyakan itu padanya. Si Penyihir hanya menatapku dengan tatapan yang seolah-olah dia mengasihaniku.

“…Pikiranmu masih terjebak di dunia itu. Dan, sama seperti di dunia itu, kata 'Pahlawan' terukir di dalam jiwamu seperti kutukan. Itu sebabnya kamu memiliki obsesi gila untuk membantu orang lain di sekitarmu… memangnya kamu tidak menyadari kalau kamu adalah anomali bagi orang-orang di dunia ini?”

“Obsesi gila? Kamu terlalu melebih-lebihkan—”

“Coba lihat dirimu dan katakan itu lagi. Hanya orang gila yang akan membantu orang lain tanpa memikirkan kondisi mereka sendiri. Ya, memang ada orang baik yang akan membantu orang lain di sekitar mereka juga, tapi mereka takkan melakukan lebih dari yang diperlukan. Mereka hanya akan melakukannya dengan kemampuan terbaik mereka. Ya, dengan kemampuan terbaik mereka.”

“Apa yang ingin kamu coba katakan?”

“Kamu masih belum menyadari kalau standarmu itu sedikit melenceng? Kupikir jika bereinkarnasi ke dunia lain akan memperbaikinya, tapi sepertinya kamu masih sama seperti biasanya.”

Aku tidak mengerti apa yang dia bicarakan dan alasan kenapa dia mengatakan semua ini kepadaku.

Aku dibesarkan untuk hidup sebagai pahlawan, jadi sudah tak terelekan lagi jika standarku akan berbeda dari standar orang normal. Bagaimanapun juga, aku dilahirkan untuk menjadi berbeda dari orang normal. Hanya itu saja, tidak ada yang layak dibahas sama sekali.

“Kamu benar, membantu orang lain merupakan hal yang benar untuk dilakukan, tapi masalahnya, kamu tidak harus melakukannya. Itulah akal sehatnya, itulah yang orang normal percayai ... Hanya kamu yang berpikiran kalau membantu orang adalah sesuatu yang harus dilakukan seseorang... Aku akan bertanya sekali lagi, kamu menyadari kalau kamu bukanlah seorang pahlawan lagi, ‘kan?”

Si Penyihir menurunkan pandangannya dan menatap kakiku.

“Kemarin, ketika kamu membantu gadis itu, kakimu terkilir, ‘kan?”

“…Bagaimana dengan itu?”

Aku menjawab sambil menjatuhkan kakiku sedikit. Aku masih bisa merasakan sakitnya.

“Orang normal takkan berpikir untuk melakukan sesuatu yang sembrono sepertimu, tapi kamu melakukannya tanpa ragu-ragu. Aku yakin kamu masih akan melakukannya meskipun kamu tahu kalau kamu akan menderita lebih banyak cedera daripada sekadar pergelangan kaki yang terkilir. ”

“…Aku punya alasan bagus untuk melakukannya. Jika dia benar-benar jatuh, kepalanya akan menabrak meja. Karena aku bisa mencegahnya, aku jadi melakukannya. ”

Dibandingkan dengan kehidupan seseorang, pergelangan kaki yang terkilir hanyalah masalah sepele.

Bahkan anak kecil pun tahu mengenai itu.

“Kurasa kamu benar.”

Seolah-olah dia bisa membaca pikiranku, si penyihir lalu melanjutkan,

“Kamu membuat keputusan yang tepat saat itu, tapi aku yakin kamu akan melakukan hal yang sama bahkan jika kamu tahu dia hanya akan mendapatkan beberapa goresan.”

“…Berhenti berbicara begitu seolah-olah kamu mengenalku dengan baik.”

“Oh tentu saja aku tahu. Menurutmu sudah berapa kali kita mencoba saling membunuh di dunia itu?”

Si Penyihir kemudian tersenyum lebar.

“Kamu masih akan melakukannya dan akan terus melakukan hal yang sama bahkan jika kamu harus membayar dengan nyawamu sebagai ganjarannya. Sama seperti pada waktu itu…”

Begitu mendengar perkataan yang diucapkan penyihir, rasanya seperti dia meramalkan sesuatu yang pasti akan terjadi di masa depan.

Kata-kata merupakan bentuk paling dasar dari kutukan. Bahkan tanpa adanya ilmu ghaib, perkataan sudah sering digunakan oleh manusia untuk saling mengutuk.

“…Apa kamu mencoba mengutukku dengan kata-kata itu?”

Aku menanggapinya dengan bercanda, dan mencoba menepisnya dengan ringan.

“Tidak. Sebenarnya, aku tidak perlu melakukannya. Dari dulu kamu sudah lama dikutuk.”

Tapi si penyihir menanggapi kata-kataku dengan serius.

Kalahkan kejahatan, bantulah orang lain

Kata-kata itulah yang memulai segalanya dalam hidupku.

Kurasa semua perkataannya ada benarnya. Aku sudah dikutuk sejak lama.

Jika memang begitu masalahnya, para pahlawan adalah keberadaan terkutuk.

Aku selalu berusaha memenuhi harapan orang.

Aku selalu berperilaku sesuai dengan kehendak Sage Alicia.

'Jika itu pahlawan, Ia pasti akan menyelamatkan kita!'

'Pahlawan kita, Grey-sama, merupakan orang pilihan Dewa, Ia mampu mengusir kejahatan dari negeri kita!'

'Dialah sang pahlawan, Ia takkan pernah meninggalkan kita!'

'Bertahanlah! Tetaplah kuat! Gray pasti akan membantu kita!’

Aku selalu bertindak sesuai dengan peran yang diberikan kepadaku.

“Maaf, aku sudah membuatmu menunggu.”

“Sekarang sudah baik-baik saja.”

“Aku di sini untuk membantu.”

“Tidak perlu menangis, aku di sini untuk melindungimu.”

“Jangan khawatir, aku akan kembali.”

“Aku akan melakukan yang terbaik untuk melindungi senyummu.”

Meskipun begitu, aku tidak menyesal.

Karena itulah hal yang benar untuk dilakukan. Bisa melihat senyuman dari orang-orang yang aku selamatkan sangat memuaskan hatiku.

Tentu saja, aku tidak bisa hidup seperti orang normal sebagai ganjarannya.

Meski demikian, aku dilahirkan dengan kekuatan ini untuk mengabdikan diri kepada orang-orang.

Sudah takdirku untuk berada di medan perang. Tidak dapat dihindari bahwa tubuhku akan dilumuri lumpur, keringat, dan darah.

Dan itulah sebabnya, ketika aku terlahir kembali ke dunia ini, aku telah kehilangan alasan keberadaanku karena aku bukan lagi pahlawan.

Dan pada saat yang sama, aku kehilangan tujuan.

“Meski begitu…”

Aku menyuarakan pemikiranku.

“Apanya yang salah dengan keinginan untuk membantu orang lain ?!”

Aku maju selangkah dan menatap tajam mata si penyihir.

“Jadi bagaimana jika aku ingin membantu orang? Memangnya itu salah?!”

Ketika aku menanyakan itu, si penyihir mengerutkan wajahnya seolah-olah dia merasa terluka.

“…Kamu masih belum mengerti apa-apa, ‘kan?”

Si Penyihir mengalihkan pandangannya ke bawah saat menggumamkan itu.

Tatapan matanya membuatku kesal. Seolah-olah dia bisa mengerti segalanya.

“Aku akan bertanya padamu sekali lagi, penyihir.”

Bukannya aku tidak mengerti apa yang dia coba katakan. Aku tahu bahwa ada kebenaran dalam kata-katanya.

Tapi aku tidak tahu maksud di balik kata-katanya.

Jadi, aku membuka lebar kedua tanganku dan bertanya sekali lagi,

Memangnya ada yang salah dengan apa yang aku coba lakukan?

Kalahkan kejahatan, membantu orang lain.

Berjuang untuk keadilan.

Semua itu tidak semudah kedengarannya.

Ada kalanya ketika aku sudah mencoba berjuang sekeras mungkin, tapi pada akhirnya, aku tetap gagal.

Lebih dari sekali, aku mengorbankan orang lain demi kebaikan yang lebih besar.

Kamu boleh menyebutku orang yang munafik, sombong, pembohong dan merasa benar sendiri, aku sama sekali takkan menyangkalnya.

Memutuskan nasib orang lain dengan sembarangan dan bertindak seakan-akan aku ini adalah Dewa.

Aku tahu bahwa beban tersebut terlalu berat untuk dipikul.

Pertama-tama, peran seorang pahlawan terlalu berat untuk dipikul oleh satu orang.

Akan tetapi…

Aku tahu bahwa tindakanku sudah menyelamatkan banyak nyawa orang.

Aku sudah melindungi senyum orang-orang itu dan menyelamatkan mereka dari tragedi.

Punggungku yang tidak layak ini membawa kehendak orang-orang di dunia itu.

Punggung yang tidak layak ini tidak lain adalah diriku …

Sang Pahlawan, Gray Handlet.

Aku takkan membantah akibat dari tindakanku sendiri.

Bahkan jika itu merupakan efek dari kutukan.

“…Dengan keadaanku yang sekarang, aku tidak bisa berbuat banyak. Namun, aku ingin membantu orang lain dengan kemampuan terbaikku! Apa itu salah? Memangnya itu hal yang salah untuk dilakukan ?! ”

“Ya. Kamu memang salah.”

“Atas dasar apa—”

“Pahlawan… Tidak, Grey… Dalam kehidupanmu sebelumnya, apa kamu pernah tersenyum?”

Aku terdiam sesaat.

Aku tidak dapat mengingat kejadian apa pun ketika aku tersenyum kembali di kehidupanku sebelumnya. Setidaknya, tidak di dalam ingatanku.

“Kamu ini bicara apa ... Tentu saja pernah!”

“Apa kamu menyadari bahwa sekarang kamu lebih banyak tersenyum daripada di dunia itu?”

Si Penyihir mungkin masih merasa nyeri karena luka-lukanya, dan duduk di bangku.

“Aku sangat terkejut saat melihatmu tersenyum. Aku merasa senang untukmu. Akhirnya, kamu bisa tersenyum tanpa perlu memedulikan keselamatan dunia, tapi... Itu hanya bertahan sampai setahun yang lalu, bukan? Saat ingatanmu terbangun... Sejak saat itu, kamu semakin lama menjadi dirimu yang di kehidupan sebelumnya ...”

Si Penyihir terus berbicara dengan nada monoton.

“Aku benci itu, aku tidak tahan melihatmu menjadi seperti itu.”

“Apa pedulimu? Itu tak ada kaitannya denganmu!”

“Sungguh menggelikan mendengar kata-kata itu keluar dari mulutmu.”

“!!”

Kata-katanya terdengar nyelekit, seolah-olah dia mencoba menusuk hatiku dengan ucapannya.

“…Cobalah untuk berpikir secara mendalam tentang kata-kata yang baru saja kamu ucapkan.”

Semilir angin hangat menerpa pipiku.

Tanpa kusadari, keringat sudah mulai mengalir dari pipiku dan jatuh ke tanah.

“Kamu sudah bereinkarnasi, tetapi kamu masih terikat oleh kutukan. Kamu menyadari sendiri kalau kamu tidak perlu membantu orang lain lagi, bukan? Jalani hidupmu sendiri, dan carilah kebahagiaanmu sendiri, kenapa kamu tidak bisa melakukan itu?”

Aku merasa dadaku terasa sangat sesak.

Sekali lagi, aku menyadari bahwa orang di depanku adalah Penyihir Malapetaka.

Kebahagiaanku sendiri? Dia ini bicara apa? Aku sudah cukup merasa bahagia.

Aku memiliki kekuatan untuk membantu orang dan mereka percaya padaku.

Orang-orang di sekitarku dan mereka berkata bahwa mereka mencintaiku, jika itu bukan yang namanya kebahagiaan, lantas itu apa?

“Kamu mencoba menyelamatkan semua orang kecuali dirimu sendiri. Kamu menyebut dirimu seorang pahlawan, dan mencoba untuk membawa kebahagiaan kepada orang lain, tapi kamu bahkan tidak bisa membawa kebahagiaan untuk dirimu sendiri ... Itulah hal yang paling aku benci mengenai dirmu ... Itulah alasan mengapa aku membencimu.”

Si Penyihir mengakhiri kata-katanya begitu saja.

Karena dia tidak berniat melanjutkan pembicaraan ini, dia pun berjalan pergi.

Namun…

“Apa-apaan?”

Hanya itu kata-kata yang bisa aku ucapkan.

Aku tahu bahwa dia adalah orang yang baik. Aku tahu bahwa dia mengucapkan kata-kata itu dengan tulus untuk membantuku.

Tapi bukan berarti aku bisa menerima kata-katanya begitu saja.

“…Apa? Apa kamu masih punya sesuatu yang ingin dikatakan?”

“Aku…”

Saat aku mengambil langkah lain ke arahnya, ponselku berdering.

Aku tidak perlu memeriksa untuk mengetahui mengapa itu berdering. Sudah waktunya untuk pekerjaan sambilanku dimulai.

Aku menghabiskan terlalu banyak waktu untuk berbicara dengannya.

Aku tidak bisa mengabaikan ini karena aku akan terlambat.

“… Kalau begitu selamat tinggal, pahlawan. Sampai jumpa besok.”

Si Penyihir pergi tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Sepertinya dia benar-benar tidak punya niat untuk berbicara denganku lagi.

Gaya berjalannya masih goyah karena kakinya yang terluka.

“…Sepedamu masih di sini, loh?”

Gadis ini masih canggung seperti biasanya. Aku mengabaikannya dan menjawab telepon. Seperti yang sudah kuduga itu dari pak manajer.

“Halo? Ya, maaf, aku punya urusan yang harus diurus! Ya, aku akan segera ke sana!”

Saat aku meminta maaf seperti itu, si penyihir kembali, mengambil sepedanya dan pergi. Aku bisa melihat wajahnya yang memerah sampai ke telinganya.

Setelah dia pergi, hanya suara jangkrik saja yang terdengar di taman.

 

◇◇◇◇

 

Si Penyihir pernah memberitahuku bahwa kutukan yang paling kuat bukanlah ilmu ghaib.

Kutukan tersebut tidak memerlukan rapalan mantra, mana, maupun persiapan. Efek kutukan itu tidak terdeteksi oleh indra, seseorang takkan merasakan sakit atau ketidaknyamanan karenanya.

Namun, kutukan itu akan menggerogoti pikiran orang yang menerimanya.

Dan yang paling parahnya lagi, orang tersebut takkan menyadari keberadaan kutukan itu.

“…Kamu sama denganku, memangnya kamu tidak tahu itu?”

Mungkin, kata-kata yang dia ucapkan padaku adalah perasaannya yang sebenarnya. Dia hanya ingin aku merasa bahagia.

Mungkin, dia mengkhawatirkanku, itu sebabnya dia mengatakan semua itu padaku.

Meski begitu, meski kata-katanya benar, dan menyatakan kalau cara hidupku salah…

Selama dia masih melakukan hal yang sama denganku, aku tidak berniat mengakuinya.

*krincing*

Lamunanku buyar oleh suara bel, menandakan kedatangan seorang pelanggan di restoran.

“Selamat datang— Hah?”

Aku hampir menjatuhkan cangkir yang kupegang ketika melihat orang yang ada di hadapanku.

“Apa ada yang salah? Kamu kelihatan aneh hari ini loh, senpai.”

Ternyata orang yang datang adalah Kawasaki. Dia meletakkan tangannya di pinggul dan mulai memarahiku.

“Ma-Maaf...”

Aku hanya bingung karena banyak hal yang harus kupikirkan.

“Tuhh ‘kan, kamu melebih-lebihkan dirimu sendiri. Jika kamu merasa tidak enak badan, kamu bisa ambil cuti.”

“Tapi, jika aku melakukan itu, kita akan kekurangan staf daripada sebelumnya…”

Kemudian, aku menyadari sesuatu.

“Tunggu, kupikir kamu takkan mendapat shift sampai setelah ujian?”

Kemarin dia mengatakannya sendiri kepadaku kalau itu akan menjadi hari terakhirnya.

Kemudian, dia cemberut bibirnya dan bergumam malu-malu.

“Manajer sedang mencoba untuk mendapatkan lebih banyak karyawan senior untuk bekerja dengan lebih banyak shift dan karena aku salah satunya… Yah, aku tidak bisa mengatakan tidak, meskipun itu merepotkan…”

Kawasaki mengangkat bahunya.

“Begitu ya… Terima kasih banyaj…”

Sepertinya dia sangat mengkhawatirkanku.

Yah, kurasa itu wajar. Aku bukan seorang pahlawan lagi. Tidak ada yang mengharapkanku melakukan segalanya. Orang-orang takkan menaruh kepercayaan penuh padaku tanpa alasan lagi.

Mereka mungkin akan memperlakukan upayaku untuk membantu mereka sebagai hal yang tidak perlu.

“Aku hanya berusaha mempersulitmu untuk menghasilkan uang, senpai. Jangan berterima kasih padaku untuk itu.”

“Baiklah, kalau begitu aku akan menyimpan dendam padamu untuk itu.”

“Oke, itu sih sudah keterlaluan! Setidaknya, bersyukurlah sedikit!”

Aku menepuk pipiku sedikit dengan kedua tanganku.

Aku perlu menenangkan diri. Setidaknya, aku seharusnya tidak membuatnya mengkhawatirkanku.

“Aku hanya sedikit mengantuk, jadi jangan khawatir, Kawasaki.”

Aku seharusnya tidak membiarkan masalah pribadiku menghalangi pekerjaan.

Karena mereka menggajiku, sudah menjadi kewajibanku untuk melakukan pekerjaanku dengan baik.

Yang ada aku justru harus melakukan yang terbaik demi bisa mendapatkan banyak uang. Demi melakukan itu, aku perlu berkonsentrasi.

Aku menarik napas dalam-dalam dan menganalisis kondisi fisikku.

Aku merasa sedikit lelah, tapi seharusnya kondisi ini tidak terlalu menghalangiku.

Tubuhku yang sekarang jauh lebih lemah dibandingkan dengan tubuhku sebelumnya, tapi aku tidak dapat melakukan apa pun selain menghadapinya. Aku rajin berolahraga untuk mengasah tubuhku dan efek dari semua upaya itu mulai terlihat. Aku berhasil memperbaiki 'kesalahan' di tubuhku, sedikit demi sedikit.

Meski begitu, aku tahu bahwa aku takkan pernah bisa kembali menjadi seperti diriku di kehidupanku yang dulu.

“Kamu bukan lagi seorang pahlawan.”

Perkataan si penyihir terlintas kembali di benakku.

Kalimat tersebut terus terngiang-ngiang di dalam pikiranku seperti kutukan.

“… Aku menyadari hal itu, lebih dari siapa pun.”

Tanganku hanya bisa menjangkau mereka yang berada dalam jangkauanku.

Lagipula, tidak ada yang akan mencoba mengulurkan tangan kepadaku.

Itulah realitasku saat ini dan aku menerimanya.

Tapi tetap saja… Ketinggian tempatku berdiri… Jangkauan lenganku ini selama waktu itu… Dibandingkan dengan saat itu, diriku yang sekarang tampak menyedihkan. Itulah sebabnya, aku terus mengejar ilusi yang merupakan diriku yang dulu.

Padahal tidak ada yang meminta bantuanku

Meskipun ini adalah dunia yang tidak membutuhkan bantuanku.

“Sialan… Fokus! Aku harus fokus! Berhenti berpikir!”

Aku menepis bayangan penyihir dalam pikiranku dan mencoba berkonsentrasi pada pekerjaanku.

 

◇◇◇◇

 

Bahkan setelah aku selesai bekerja dan kegelapan malam semakin mendalam, serangga masih berdengung dengan penuh semangat.

Hampir tidak ada suara lain di lingkunganku. Aku melihat ke luar jendela. Aku bisa melihat rumah-rumah di sekitar menyala terang, menunjukkan bahwa ada orang yang tinggal di rumah-rumah itu. Kamar Hina yang ada di sebelah juga menyala. Apa dia masih belajar?

Kopi di tanganku terasa terlalu manis untuk seleraku. Sepertinya aku memasukkan terlalu banyak gula ke dalamnya.

Malam ini terasa sejuk untuk seukuran malam musim panas dan aku bisa tidur tanpa menyalakan AC jika aku mau.

“…Benar.”

Aku perhatikan buku pelajaran dan buku catatan tersebar di seluruh meja aku.

Aku harus belajar untuk ujian. Sejujurnya, aku tidak perlu khawatir akan mendapat nilai di bawah KKM, tapi aku merasa sedikit khawatir dengan si penyihir yang baru saja pindah.

Aku tahu bahwa dia adalah siswa berprestasi, tetapi jika ruang lingkup ujian berbeda dari sekolah sebelumnya, dia pasti akan mengalami kesulitan.

Aku harus meringkas poin utama dan memberikannya nanti.

Aku bukan siswa yang hebat, tapi siapa pun dapat belajar jika mereka punya niat.

Setelah meregangkan tubuh, aku duduk di kursi dan mulai belajar untuk mata pelajaran pertama, matematika.

“…”

Tiba-tiba, tanganku berhenti.

Apakah kata-kata penyihir itu benar? Apakah tindakanku saat ini hanyalah sesuatu yang lahir dari kutukan?

Selama ini, apa aku hanya mengejar bayangan diriku yang dulu?

Aku berpikir kalau aku hanya mengikuti keinginanku sendiri.

Jika dipikir-pikir lagi dengan tenang, tidak ada alasan apapun bagiku untuk membantunya karena dia adalah musuh bebuyutanku.

… Jika tindakan ini adalah hasil dari kutukan, lalu kemana perginya keinginanku, mimpiku dan kebahagiaanku? Semua ini persis seperti apa yang dikatakan penyihir kepadaku saat itu…

 

◇◇◇◇

 

Walaupun pengumuman dari pihak gereja menyebar ke seluruh penjuru benua, semua orang menanggap skeptis tentang hal itu. Tidak ada yang percaya bahwa sang pahlawan akan mampu mengalahkan si penyihir.

Oleh karena itu, misi pertamaku adalah mendapatkan kepercayaan dari orang-orang.

Aku menanggapi permintaan bantuan orang-orang dan mengalahkan berbagai iblis yang menyebar di seluruh benua.

Aku melakukan hal yang sama berulang kali sampai-sampai orang mengenaliku sebagai pahlawan sejati.

Baru kemudian aku mengetahui bahwa semua itu merupakan bagian dari pelatihanku untuk melawan penyihir.

“Rambut keemasan dengan pedang putih murni dan zirah sebiru langit cerah... Semuanya sesuai dengan rumor... Apa kamu pahlawan yang dipilih untuk mengalahkanku atau semacamnya?”

Aku tidak menyangka akan bertemu dengan penyihir dalam situasi seperti itu.

Di bawah rambut peraknya, ada sepasang mata merah mempesona dan wajah yang sangat cantik sehingga bisa membuat siapa pun jatuh cinta pada pandangan pertama. Di bawahnya, ada tubuh yang proporsional dan sepasang paha indah mengintip dari pakaiannya yang rusak.

Ciri-cirinya sangat cocok dengan deskripsi penyihir jahat dari rumor yang beredar.

“… Apa kamu Si Penyihir Malapetaka, Cerys Flores?”

“Dasar tidak tau sopan santun, menjawab pertanyaanku dengan yang lain. Mengapa kamu tidak menjawab pertanyaanku terlebih dahulu sebelum bertanya?

“Kamu benar. Ya, akulah pahlawan yang terpilih dari pihak gereja, Grey Handlet.”

“Begitu rupanya. Kalau begitu, aku akan memperkenalkan diri. Penyihir dan pengguna sihir terkuat, orang yang menjerumuskan dunia ke dalam bencana, orang yang menertawakan jeritan menyedihkan dari orang yang lemah! Satu-satunya penyihir malapetaka, Cerys Flores.”

Dengan nada percaya diri dan senyum tak kenal takut, si penyihir memperkenalkan dirinya.

“Aku tidak mencoba menjelek-jelekkanmu, aku hanya mencoba memberitahumu sebuah fakta. Tidak ada manusia yang bisa mengalahkanku, entah itu pahlawan atau bukan, tidak masalah. Aku sudah mengalahkan ribuan orang seperti dirimu dan aku meragukan kalau nasibku akan berakhir berbeda dari mereka. Itu sebabnya, pergilah dari pandanganku. Selama kamu tidak cukup bodoh untuk mengacungkan pedang untuk melawanku, aku akan menunjukkan belas kasihan kepadamu.”

Si Penyihir mengeluarkan niat membunuh yang kuat saat dia menyatakan itu.

Tanpa sadar, hawa dingin mengalir di punggungku saat menelan air liurku. Dia kuat. Benar-benar kuat.

Baru ketika aku bertatap muka dengannya seperti ini aku bisa mengetahuinya. Wanita ini jauh lebih kuat dari apapun yang pernah aku hadapi sebelumnya.

Dia jauh lebih kuat dariku, yang dijuluki sebagai orang terkuat di dunia oleh Sage Alicia.

…Tapi, ada sesuatu yang mengganggu pikiranku untuk sementara waktu sekarang.

“Yah, aku takkan tahu itu kecuali aku mencobanya. Tapi pertama-tama, ada sesuatu yang ingin kutanyakan padamumu.”

Penyihir yang memperhatikanku sambil menyilangkan tangannya, memiringkan kepalanya.

“Kamulah yang menciptakan iblis, bukan? Jadi, mengapa kamu membunuh makhluk yang kamu ciptakan sendiri?”

Alasan mengapa aku datang ke tempat ini ialah untuk mengalahkan iblis kuat yang terus meneror daerah ini.

Tapi, di depan gua tempat iblis itu tinggal, aku mendapati si penyihir di tengah pertempuran melawan iblis tersebut.

Aku tidak mengerti apa yang sedang terjadi, jadi aku tetap mengamati bagaimana pertempuran itu berlangsung. Dalam waktu singkat, dia berhasil membunuh iblis itu sendiri, meskipun dia sedikit terluka. Iblis itu seharusnya sangat kuat sehingga tidak ada seorang pun di daerah ini yang bisa mengalahkannya, dia mengalahkannya hanya dalam beberapa menit.

Meskipun tidak ada yang aneh tentang itu, karena si penyihir pasti memiliki kekuatan yang cukup untuk melakukan itu...

Mengapa dia melakukan itu sejak awal? Aku menanggap kalau itu sama sekali tidak masuk akal.

Begitu mendengar pertanyaanku, si penyihir mengerutkan alisnya.

“… Ya ampun, karena mereka adalah ciptaanku sendiri, jadi aku bebas melakukan apapun yang aku inginkan dengan mereka.”

Sesuatu yang aneh sedang terjadi. Dia sangat berbeda dari rumor yang beredar.

Yah, apapun itu, aku bisa mengetahuinya setelah aku menahannya.

“… Kurasa itu benar. Baiklah, persiapkan dirimu.”

Aku menghunus pedangku. Cahaya perak muncul di permukaan pedang saat aku memasukkan kekuatan eksorsismeku ke dalamnya.

“Sungguh pria yang ceroboh. Padahal aku sudah sejauh ini untuk memperingatkanmu.”

Si Penyihir menghela nafas dan memanggil tongkatnya.

Hanya suatu kebetulan aku bertemu dengannya di sini, tapi itu adalah kebetulan yang luar biasa karena ini merupakan kesempatan sempurna untuk mengalahkannya. Lagi pula, lukanya dari pertempuran terakhir belum sembuh total.

Sebagai pahlawan yang mengemban harapan orang-orang, semakin cepat aku mengalahkan si penyihir maka semakin baik.

“Bersiaplah, penyihir!”

“Majulah, pahlawan.”

Pada pertempuran pada hari itu berakhir dengan kekalahanku yang telak.

 

◇◇◇◇

 

 “…Mimpi itu lagi, ya?”

Aku bergumam ketika bangun dari tidurku sebelum mendecakkan lidahku karena kesal.

Tak peduli berapa kali aku bermimpi tentang saat aku dipukuli oleh penyihir, itu selalu membuatku merasa jengkel.

Jarum jam di mejaku menunjuk pukul 6.40 pagi. Masih terlalu dini untuk bangun tetapi terlalu terlambat untuk kembali tidur, jadi aku menyeret dengan paksa tubuhku dari tempat tidur. Aku mengambil ponselku di atas meja dan mencabut pengisi dayanya. Kemudian, aku menyadari kalau ada pesan RINE yang belum dibaca.

Itu pesan dari Shindou Yuuka.

Aku turun ke ruang tamu sambil membaca pesan itu.

[Mau belajar bareng dengan semua orang enggak?]

“…Kenapa sekarang?”

Aku sendiri tidak keberatan, tapi mengapa dia menanyakannya sekarang? Dia seharusnya bertanya tentang itu di sekolah nanti.

“… Ah, benar, hari ini adalah hari Sabtu.”

Menyadari hal itu, aku jadi ingin kembali tidur.

 

◇◇◇◇

 

Saat ini, aku sedang berada di depan restoran keluarga tempatku bekerja.

Aku memasuki restoran, membungkuk pada senpai yang sedang bertugas dan melihat Yuuka yang melambai padaku.

“Yo, kamu terlambat, loh~?”

Ada senyum lembut di wajahnya yang cantik.

Saat ini sudah pukul 13.30, terlambat tiga puluh menit dari waktu yang dijanjikan, yaitu pukul 13.00.

“Maaf. Aku ketiduran.”

Shinji yang duduk di sebelah Yuuka, mengangkat bahunya dengan berlebihan.

“Oi, oi, yang benar saja, ujian dimulai hari senin ini, tau?”

“…Hah? Masa? Sudah sedekat itu?”

“Setidaknya ingat tanggal ujianmu sendiri, dasar bodoh..”

Hina bergumam putus asa pada reaksiku.

“Maksudku, aku mengingatnya, aku cuma kelupaan harinya saja.”

“Ngomong-ngomong, apa kamu siap untuk itu? Aku sih enggak.”

“Mengatakan sesuatu seperti itu dengan bangga, kamu sehat? …Lagian, kamu sendiri lagi ngapain sih?”

Shinji sedang bermain game di ponselnya sambil mengunyah kentang goreng. Sementara itu, rombongan lainnya sedang belajar.

“Bodoh, aku sedang istirahat di sini. Belajar terus-terusan membuat kepalaku berasap.”

“Istirahatmu kelamaan, Shinji! Waktu istirahatmu lebih lama dari waktu belajarmu, tahu?”

“Itu karena aku tidak membutuhkan banyak waktu untuk belajar. Aku hanya perlu mempelajari bagian-bagian yang pentingnya saja.”

“Dan siapa orang yang merangkum bagian-bagian penting itu untukmu?”

“Aku tidak bisa cukup berterima kasih kepadamu, Yuuka-sama… Terimalah rasa terima kasih hambamu ini.”

Dengan gaya yang terlalu berlebihan, Shinji tiba-tiba membungkuk ke arah Yuuka. Ada kursi kosong di sebelah Hina, jadi aku duduk di sana.

Kami berempat disini berkumpul untuk belajar bersama.

“Pokoknya, tumben sekali. Kenapa kita mengadakan kelompok belajar segala?” tanyaku pada Yuuka.

Aku pikir Yuuka cukup pintar sehingga dia tidak perlu belajar dengan orang lain.

“Yah, melakukannya sesekali tidak buruk. Selain itu, aku tidak mengerti semua yang harus aku pelajari.”

“Dan itulah sebabnya Hina ini ada di sini.”

“Yah, Godou dan aku takkan banyak membantu, jadi itu sudah pasti.”

Aku tidak tahu mengapa Shinji selalu memiliki nada arogan… Yah, terserahlah.

“Yah, ada alasan lain juga sih…”

“Alasan lain macam apa?”

“Rahasia~” Kata Yuuka sambil tersenyum.

“Ngomong-ngomong, aku capek belajar. Boleh aku pulang sekarang?”

Shinji berseru. Ia tampak benar-benar tidak termotivasi.

“Astaga, Shinji!”

Yuuka dengan ringan memukul kepalanya.

“Hentikan itu. Kamu takkan mendapatkan nilai bagus jika kamu terus seperti ini.”

“Maksudku, aku yang bisa masuk ke sekolah ini sudah menjadi keajaiban.”

“Itu sebabnya kamu harus belajar lebih keras. Kamu bahkan nyaris tidak belajar dan tetap masuk ke sekolah ini, itu berarti kemampuanmu tidak terlalu buruk. Aku sudah merangkum semuanya, jadi kamu hanya perlu mempelajari ini… ”

“Tulisan matematika masih terlihat seperti moon rune bagiku…”

Shinji berusaha mati-matian untuk tidak menghadapi tatapan Yuuka saat dia dengan lembut menyuruhnya pergi.

“… Kalian berdua memang tidak pernah berubah, ya.”

Mereka berdua selalu berhubungan baik.

Aku tahu mereka berdua berteman sejak SMP, tapi mereka sangat dekat satu sama lain sampai-sampai aku sempat mencurigai hubungan mereka.

Shinji mencoba menggoda banyak gadis, tapi satu-satunya gadis yang dia coba untuk berteman adalah Yuuka.

“Kamu ini ngomong apaan? Nilaimu sama buruknya dengan nilaiku.”

Shinji mendengus saat mengatakan itu. Sepertinya Ia salah mengartikan kata-kataku.

“Tapi aku tidak pernah mendapat nilai di bawah KKM.”

“Hah? Benarkah? Itu berita baru bagIku.”

Yuuka berkata dengan heran. Hina ikut menimpali dan berkata,

“Aku tidak tahu bagaimana Ia melakukannya, tapi entah bagaimana Ia selalu berhasil melewati batas KKM.”

“… Itu luar biasa dalam arti tertentu.”

“Jangan terlalu memujiku, kalian berdua. Aku jadi merasa malu, tau.”

“Kamu tahu kalau itu bukan pujian!” balas Hina dengan nada tajam.

Memang benar aku tidak pernah mendapat satu pun nilai di bawah KKM selama hidupku.

“Oh iya Shinji, bagaimana ujian tengah semestermu?”

Ketika aku bertanya, Shinji tertawa dengan percaya diri.

“Heh… aku akan menggunakan hakku untuk tetap diam.”

“Ia hampir lulus semuanya kecuali matematika. Ia mendapat nilai merah untuk matematika.

“Maksudku, aku benci mendengarkan kelas Murakami…”

“Jangan buat alasan terus, tinggal lakukan saja, pelajarannya tidak sesulit itu, kok!”

“Ugh…”

“Kalau begini terus, kamu akan diseret Murakami-sensei ke dalam kelas tambahannya, tahu?”

Ketika Yuuka mengatakan itu, Shinji membuat ekspresi ngeri di wajahnya.

“Jika kamu tidak menginginkan itu, maka belajarlah dengan benar.”

“Iya…”

“Entah bagaimana, rasanya kamu itu menjadi pemiliknya atau semacamnya.”

Aku tersenyum melihat pemandangan mereka berdua.

Ketika mendengar hal itu, Yuuka menggembungkan pipinya dengan frustrasi.

“Aku tidak ingin menjadi pemilik orang ini!”

“Kalau gitu, Mamahnya.”

“Itu bahkan lebih parah! Aku tidak ingin cowok perayu macam dia menjadi anakku!”

Tanggapannya luar biasa sengit.

Dia bertindak seperti ini, tapi setiap kali dia berduaan bersama Hina, yang dia bicarakan hanyalah Shinji.

“Apa begitu? Maafkan aku kalau begitu.”

Aku harus meninggalkan mereka berdua. Aku mendekati Hina dan mulai belajar bersama dengannya.

Setelah memesan minuman dan makanan ringan, aku bertanya kepada Hina,

“Jadi, bagaimana denganmu?”

“Kurasa bagus. Aku seharusnya bisa mendapatkan nilai 80 dalam setiap mata pelajaran setidaknya…”

“Sama seperti biasanya, ya.”

Tangannya tidak berhenti bergerak saat menjawab pertanyaan itu.

Dia memecahkan masalah matematika dengan kecepatan yang tidak masuk akal. Tidak heran nilainya sangat tinggi.

Gadis ini selalu menempati peringkat kedua atau ketiga di kelas kami. Itu karena peringkat pertama selalu ditempati Yuuka.

“Kamu sendiri bagaimana?”

“Matematika terlalu sulit bagiku…”

“Bener banget, ‘kan? Materinya lebih sulit daripada saat kelas 1.”

Saat kami mengobrol seperti itu, pelayan restoran, salah satu senpaiku, membawakan pesananku.

Kami bertukar beberapa kata salam sebelum dia melanjutkan pekerjaannya. Lalu tiba-tiba, Hina menggumamkan sesuatu,

“Ah, benar juga, ini tempatmu bekerja, ya?”

“Kamu beneran datang ke tempat ini tanpa menyadarinya?”

Ketika aku menanyakan itu, Yuuka ikut bergabung,

“Mumpung lagi ngebahas itu, dan karena kamu adalah teman kami, bisakah kami mendapatkan diskon—”

“Tidak.”

“Ehh~…”

Yuuka langsung cemberut setelah mendengar jawabanku.

Lokasi restoran ini tepat di depan stasiun. Letaknya dekat dengan sekolah dan harganya lumayan terjangkau, jadi tidak aneh bagi pelajar seperti kami untuk berkumpul di sini. Tempatnya juga luas, jadi orang lain takkan terganggu bahkan jika kami membuat keributan di sana. Bahkan, ada dua kelompok lain yang belajar di sini juga. Beberapa orang dalam kelompok itu adalah kenalanku.

“Ah, dia di sini!”

Hina yang dari tadi melihat ponselnya, tiba-tiba berteriak

Dia mengalihkan pandangannya ke pintu masuk dan melambaikan tangannya dengan penuh semangat.

…Aku punya firasat buruk.

Yah, aku tahu kalau bakalan begini jadinya.

Lagipula, buat apa Yuuka mengundang kita untuk belajar bersama?

“Sebelah sini, Mai-chan~!”

“Y-Ya …”

Si Penyihir muncul di depan kami dengan membawa ransel bersamanya.

Dia mengenakan blus putih dan rok hitam. Penampilannya sederhana, tapi baju itu sangat cocok untuknya.

Rasanya membuatku frustasi untuk mengatakan ini, tapi dia terlihat sangat imut. Meskipun aku takkan mengatakannya di depan wajahnya, sih.

“Hei, Mai-chan. Ayo belajar keras bersama!”

“Yo, Shiina-san. Pakaian itu cocok untukmu. Kamu terlihat manis.”

“Eh? Te-Terima kasih banyak…”

“Jangan mengatakan sesuatu yang tidak perlu, Shinji. Ah, maukah kamu duduk di sebelahku?”

“Y-Ya! U-Um, Yuuka-san?”

“Haha, panggil Yuuka juga tidak masalah kok. Yah, jika kamu merasa nyaman memanggilku seperti itu, tidak apa-apa! ”

Cara mereka menyebut satu sama lain tampaknya telah berubah.

Aku curiga mereka menjadi lebih dekat, tapi meski demikian, si penyihir masih tetaplah penyihir.

Dia terlihat sangat gugup pada awalnya, tetapi ketika dia melihatku, dia langsung mengerutkan alisnya.

“…Apa kamu ingin mengatakan sesuatu padaku?”

“…Tidak.”

Memangnya kamu tidak mendengar kalau aku akan berada di sini?

Penyihir lalu mengambil tempat duduknya, dan Yuuka tersenyum padanya.

“Karena kamu murid pindahan, jadi mungkin ada banyak hal yang tidak kamu mengerti atau ruang lingkup ujiannya berbeda dari sekolahmu sebelumnya, itu sebabnya aku mengundangmu ke sini, Shiina-san! Kamu bisa bertanya kepada Hina jika kamu memiliki pertanyaan!”

“Aku sih tidak keberatan, tapi bukanknya ini bagian di mana kamu menyuruhnya untuk mengandakanmu?”

“Maksudku, kamu guru yang lebih baik dariku, Hina!”

“Tapi nilaimu lebih tinggi dariku ...”

Si Penyihir tampak kebingungan, mungkin karena dia tidak diajak bicara.

Kemudian, Hina mencoba membawanya ke dalam percakapan lagi.

“Um, pokoknya, Mai-chan, mari kita tinjau ruang lingkup ujiannya terlebih dahulu. Aku sudah membuat ringkasannya, jadi kamu bisa memeriksa punyaku”

“Te-Terima kasih banyak!”

Si Penyihir menundukkan kepalanya.

Setelah itu, dia duduk dan kelompok belajar akhirnya dimulai dengan sungguh-sungguh.

Pada awalnya, semua orang mengobrol tentang hal-hal sepele tetapi, seiring berjalannya waktu, percakapan itu mereda karena semua orang menjadi lebih fokus pada studi mereka. Padahal, bukan berarti kami tidak berbicara sama sekali. Hanya saja, semua 'percakapan' kami hanyalah kami yang saling mengajar.

Yuuka mengajari Shinji. Sedangkan Hina dan aku membantu si penyihir.

“Fiuh, kurasa aku bakala mengisi ulang minumanku…”

Hina menghela napas dalam-dalam saat dia dengan ringan mengguncang gelasnya yang kosong.

“…Ah, biarkan aku mengambilkannya untukmu, aku juga ingin mendapatkannya.”

Ujar si penyihir sambil mengangkat tangannya.

“Benarkah? Kalau begitu, bisakah kamu membelikanku soda melon?”

“O-Oke! Um, bagaimana dengan yang lain?…”

Shinji dan Yuuka terlalu sibuk dengan materi belajarmereka, jadi mereka tidak menjawab pertanyaannya. Atau mungkin mereka tidak mendengarnya karena suaranya yang terlalu kecil. Tatapan penyihir itu menoleh ke arahku sejenak, tapi dia segera mengalihkannya lagi.

Mungkin dia menyadari bahwa dia tidak perlu melakukan banyak hal untukku.

Aku berhenti belajar dan menatapnya. Dia pergi ke tempat isi ulang dengan dua gelas di tangannya.

…Dan ketika dia sampai di sana, dia menatap mesin dengan lesu.

Sudah kuduga, dia tidak tahu bagaimana menggunakannya.

Jika itu di dalam anime, akan ada tanda tanya yang melayang di kepalanya saat ini. Yah, kurasa wajar saja karena dia bukanlah rakyat jelata seperti kita, jadi dia mungkin tidak pernah menggunakan mesin itu sepanjang hidupnya.

Aku menghela nafas dan menuju ke sisinya.

“A-Apa?”

Aku mengabaikan tatapan si penyihir yang malu-malu dan mengambil minuman untuk diriku sendiri. Karena aku baru saja minum soda melon, aku memutuskan untuk minum teh oolong saja.

Si Penyihir  menatapku dan mendengus setelah menyadari apa yang aku lakukan.

…Lalu, dia tiba-tiba mengerutkan alisnya, seolah-olah dia sedang merasa kesakitan.

“Oi, penyihir, ada apa? Apa kamu masuk angin?”

Aku tahu bahwa pusat gravitasinya terasa linglung. Meskipun ekspresinya sama seperti biasanya, tubuhnya tampak goyah.

“Tentu saja tidak, aku takkan berada di sini jika itu masalahnya. Aku tidak ingin menyusahkan yang lain…”

“Aku rasa begitu. Yah, syukurlah jika tidak ada yang salah denganmu.”

Si Penyihir dengan berani mengoperasikan mesin dan mencoba mendapatkan soda melon. Ketika minuman keluar dari mesin, tubuhnya bergetar karena suatu alasan.

“Apa ada yang salah?”

“A-Aku tidak terkejut atau semacamnya!”

Aku tidak bertanya apakah kamu terkejut atau tidak.

Aku memutuskan untuk meninggalkannya sendirian dan kembali ke tempat dudukku terlebih dahulu.

Penyihir melakukan hal yang sama setelah dia mendapatkan minumannya sendiri.

Aku mengamati si penyihir ketika dia berjalan ke arah kami. Dia berjalan perlahan dan hati-hati seolah-olah dia takut menjatuhkan minumannya.

Meski itu bukan masalah, dia sepertinya memusatkan seluruh konsentrasinya untuk menjaga tubuhnya tetap stabil.

“Terima kasih!”

Ketika dia kembali, Hina berterima kasih padanya karena sudah diambilkan soda melon.

Si Penyihir hanya menghela nafas ringan sebagai tanggapan. Setelah itu, dia mulai belajar lagi dengan Hina. Dari waktu ke waktu, dia akan mengerutkan kening dan menggosok dahinya dengan tangannya.

Tidak peduli bagaimana aku melihatnya, dia sepertinya tidak baik-baik saja.

Aku kemudian berhenti menulis.

“Shiina, apa kamu ada waktu sebentar?”

Aku berdiri saat menanyakan pertanyaan itu padanya.

Walau aku menanyakan itu, tapi sebenarnya, aku tidak tahu apa yang ingin kubicarakan dengannya.

Ada terlalu banyak hal untuk dibicarakan.

“Godou? Apa ada yang salah?”

Hina dan yang lainnya menatapku dengan aneh karena hanya aku yang berdiri.

Si Penyihir sepertinya mengerti maksudku ketika tatapan mata kami bertemu.

Ketika aku berbalik dan pergi, dia mengikuti di belakangku.

“U-Um, ada yang ingin kita bicarakan, j-jadi kita akan keluar sebentar.”

Si Penyihir lalu tersenyum kaku ketika dia menjelaskan situasinya kepada yang lain.

Untuk beberapa alasan, aku tidak menyiapkan alasan untuk memberi tahu yang lain.

Aku baru menyadari bahwa aku telah terganggu untuk sementara waktu sekarang.

… Ah, begitu rupanya.

Aku merasa kesal terhadap si penyihir.

 

◇◇◇◇

 

Pikiranku mengenang kembali tentang masa lalu.

Pada hari itu, si Penyihir Malapetaka menyelamatkan hidupku.

Setelah pertempuran sengit, aku benar-benar dikalahkan secara telak.

Aku jatuh berbaring di atas tanah. Ada luka di sekujur tubuhku dan aku tidak bisa mengumpulkan kekuatan untuk melangkah maju.

Pada saat itu, aku sudah menyerah. Aku menerima nasib kalau aku tidak memiliki apa yang diperlukan untuk menjadi pahlawan.

Akan tetapi ..…

“Membunuhmu saja sudah tidak layak. Anggap kejadian ini sebagai pelajaran dan berhenti bermain-main menjadi pahlawan.”

Si Penyihir memberiku alasan setengah-setengah dan meninggalkan tempat itu.

'Tidak layak dibunuh', katanya. Memangnya dia tidak menyadari bahwa ada luka di sekujur tubuhnya juga? Bahkan pakaiannya sudah berubah menjadi compang-camping dan ada darah yang merembes melalui air mata di pakaiannya.

Di sisi lain, saat aku dalam kondisi yang sama, tidak ada luka fatal di tubuhku.

Dalam pertempuran sengit itu, dia masih menahan diri untuk tidak mendaratkan luka yang mematikan padaku.

Itu berarti dia cukup kuat untuk membunuhku dan memutuskan untuk tidak melakukannya karena alasan tertentu, meski faktanya aku sudah melakukan yang terbaik untuk membunuhnya.

“Aku berhasil menemukanmu lagi, penyihir.”

“Bukannya aku sudah memberitahumu untuk menyerah?”

Lagi dan lagi, kami saling bertarung dengan niat membunuh.

Lima atau enam kali pertama berakhir dengan kekalahanku.

Namun, si penyihir menolak untuk membunuhku dan selalu berhasil menemukan alasan untuk melepaskanku.

Ketika aku mencoba mengikuti jejaknya, aku menemukan bahwa dia tidak pernah mencoba membunuh siapa pun yang menyerangnya. Selain itu, sepertinya tujuannya adalah untuk membunuh semua iblis yang ditemuinya.

Karena aku melihat situasi yang aneh ini, aku memutuskan untuk bertanya kepada orang yang bersangkutan tentang hal itu.

“Kenapa kamu tidak membunuh orang yang menyerangmu? Mengapa kamu membunuh monster itu? Bukannya kamu yang menciptakan mereka? Bukannya kamu seharusnya menjadi sumber dari semua bencana di dunia ini?”

Tapi si penyihir  tidak pernah menjawab pertanyaanku dengan benar.

Dia selalu menutupi kebenaran dengan kebohongan. Kebohongan yang membuatnya seolah-olah dia adalah orang yang benar-benar jahat.

“Aku bebas melakukan apapun yang aku inginkan. Bagaimanapun juga, aku adalah sang penyihir.”

Jadi, pertarungan kami terus berlanjut.

Seiring berjalannya waktu, aku mulai bersikap lebih baik kepadanya.

Ketika kami mulai memiliki pertarungan yang lebih seimbang, si penyihir mulai melarikan diri setiap kali keadaan menjadi buruk baginya.

Ini adalah pertama kalinya aku menghadapi seseorang sekuat dirinya dan berkat itu, aku menjadi lebih kuat dengan cepat.

Tidak hanya kemampuan fisik dan ilmu pedangku, kemampuan eksorsismeku juga semakin kuat. Setiap kali aku menghadapi mantra ganasnya, aku harus menggunakan eksorsismeku untuk melawannya dan sebagai hasilnya, aku menjadi lebih mahir dalam menggunakannya.

Dan pertaruungan kami terus berlanjut. Lagi. Lagi. Dan lagi.

Aku mengejar si penyihir dan dia terus menerima tantanganku setiap kali kami bertemu.

Dia selalu bisa kabur jika dia mau, tapi dia hanya melakukannya saat aku hampir kalah. Aku tidak mengerti alasan mengapa dia melakukannya itu, tetapi aku berhasil mengetahuinya ketika semuanya akan segera berakhir.

Setelah pertarungan yang tak terhitung jumlahnya.

Aku berhasil mengacungkan ujung pedangku ke tenggorokan penyihir itu.

Mana-nya telah habis. Dia sudah tidak bisa melarikan diri lagi.

“… Jadi, kamu akhirnya bisa menghilangkan kutukanku, ya.”

Ucap si penyihir. Nada suaranya begitu tenang dan dia tampak puas dengan situasi ini.

Karena tidak ada lagi alasan bagi kami untuk bertarung, dia menyuruhku untuk mengakhiri hidupnya dan memejamkan matanya.

Tentu saja, dia tidak perlu memberitahuku tentang itu. Karena aku adalah seorang pahlawan, sudah menjadi tugasku untuk mengakhiri hidupnya.

Tapi, sebelum aku melakukannya, aku menanyakan alasan di balik tindakannya untuk terakhir kalinya.

“Boleh aku bertanya mengapa kamu melakukan semua ini?”

“…Benar, rasanya akan sangat sepi jika aku mati begitu saja, hm? Baiklah, izinkan aku menceritakan sebuah kisah tentang seorang penyihir yang malang. Jangan pernah melupakan itu nanti, oke? Anggap saja sebagai hadiah terakhir dariku.”

Pada waktu itu, aku memutuskan untuk menyelamatkan si penyihir.

 

◇◇◇◇

 

Di luar restoran.

Ada ruang kecil yang dikelilingi pepohonan di belakang gedung. Itu adalah area merokok karyawan restoran. Para karyawan biasanya akan pergi ke sana jika mereka ingin istirahat. Karena di sana ada bangku , jadi kami bisa duduk jika kami mau.

Aku duduk di bangku, sementara si penyihir menyandarkan punggungnya ke dinding di dekatnya dan menyilangkan tangannya.

“… Jadi, ada apa? Memangnya kamu tidak bisa memanggilku dengan cara yang lebih alami?” tanya si penyihir sambil mendengus.

Gadis yang selalu menjengkelkan setiap kali dia berbicara denganku.

Meski dia bersikap lemah lembut di depan Hina dan yang lainnya.

“Maaf, aku tidak merasa ingin melakukan itu.”

Aku meminta maaf dengan suara monoton.

Ketika dia mendengar suaraku, dia mengerutkan alisnya.

“Apa? Apa-apaan dengan nada suara itu? Apa kamu marah karena aku memarahimu kemarin?”

“Bukan begitu.”

Aku menggelengkan kepalaku. Kata-katanya memang membuatku kesal, tapi bukan itu alasannya.

Ada alasan lain mengapa aku bertindak seperti ini.

“Kamu tahu, aku sudah berpikir sejak kemarin…”

Aku terus melanjutkan,

“Kamu itu benar-benar munafik, kamu menyadari hal itu, ‘kan?”

Perasaanku yang rumit terhadapnya bisa diungkapkan dengan kata-kata itu.

[Kamu mencoba menyelamatkan semua orang kecuali dirimu sendiri. Kamu menyebut dirimu seorang pahlawan, dan mencoba untuk membawa kebahagiaan kepada orang lain, tapi kamu bahkan tidak bisa membawa kebahagiaan untuk dirimu sendiri ... Itulah hal yang paling aku benci mengenai dirmu ... Itulah alasan mengapa aku membencimu.]

Itulah yang dia katakan padaku kemarin.

Serius, dia juga melakukannya sendiri. Dia tidak punya hak untuk memberitahuku tentang itu.

Aku selalu membenci sisi dirinya yang begitu. Dia terus menganggap enteng hidupnya dan terus menolak bantuanku setiap kali aku menawarkannya kepadanya.

“…Apa yang sedang kamu bicarakan?”

Si Penyihir memiringkan kepalanya dengan ekspresi bingung di wajahnya.

“Tidak peduli bagaimana aku memikirkannya, jelas ada sesuatu yang aneh denganmu.”

Aku tahu kalau dia adalah gadis yang kikuk dan keterampilan komunikasinya nol.

Tapi, dia tidak seburuk ini awalnya.

Lupa mengganti sepatu di pintu masuk sekolah, lupa bahwa teh yang akan diminumnya bisa membakar lidahnya, jatuh dari sepedanya dan sebagainya. Penyihir yang kukenal takkan pernah melakukan itu tidak peduli betapa kikuknya dia.

Pada awalnya, aku pikir itu karena dia terlalu lengah di dunia yang damai ini.

Tapi, setelah memastikan fakta bahwa kutukannya sudah mengikis jiwanya sejauh itu, aku menyadari bahwa….

“Kamu mencoba menyembunyikan bahwa tubuhmu perlahan-lahan akan hancur, bukan…?”

Kesimpulan itu lebih masuk akal daripada tebakan pertamaku.

Dia tidak memperhatikan hal-hal kecil itu karena dia sudah menahan rasa sakit selama ini.

Namun dia bersikap angkuh di depanku, memarahiku tentang hal-hal yang jelas dia lakukan selama ini.

Semuanya masih sama seperti di kehidupan kami sebelumnya.

Dengan setiap pertempuran, aku tumbuh lebih kuat. Pada awalnya, aku berpikir kalau pertumbuhanku berkembang sangat pesat, tetapi sebenarnya tidak demikian. Ya, aku memang menjadi lebih kuat, tapi pada saat yang sama, kekuatan si penyihir semain melemah setiap kali kami bertarung.

Kutukan itu membebani tubuhnya dan seiring berjalannya waktu, kutukan itu semakin membuatnya tidak sehat secara fisik dan mental.

Dia mungkin dalam keadaan yang sama seperti saat itu.

Ketika aku memikirkan hal itu, dia balik bertanya kepadaku,

“…Kamu ini bbicara apa? Tentu saja tubuhku hancur. Bukannya itu sudah jelas?”

Si Penyihir mengatakannya dengan acuh tak acuh.

Apa? Dia mengakuinya semudah itu?

“Apa yang kamu?—”

“Pertama-tama, tubuhku yang sekarang berbeda dari tubuhku di kehidupan sebelumnya. Di dunia itu, aku terlahir sebagai seorang jenius. Aku berbakat dalam sihir maupun ilmu ghaib dan berkat itu, ketahananku terhadap kutukan jauh lebih tinggi dari sekarang. Itu sebabnya ketika aku melemparkan kutukan itu ke tubuhku, aku tidak langsung mati… Tapi tubuh ini jauh berbeda…”

Dia selalu memiliki kulit pucat.

Karena dia selalu terlihat seperti itu, aku selalu berpikir bahwa dia awalnya memiliki kulit yang lebih pucat dibandingkan dengan orang lain.

Tapi lagi-lagi sepertinya tebakanku kembali meleset.

“Karena aku berada di bawah kutukan, tentu saja aku selalu kesakitan. Tubuhku di dunia itu terlalu kuat, itu sebabnya aku bisa menahannya. Kutukan dimaksudkan untuk membuat orang yang terkena kutukan akan terus menderita, itulah intinya. Sejujurnya, untuk berdiri saja sudah terasa sulit untukku…”

Nada suaranya dipenuhi dengan ejekan diri.

“Aku bisa melemahkan rasa sakit dengan sihirku, tapi aku tidak bisa menyelesaikan masalah mendasar tanpa eksorsismemu. Aku ingin kamu melakukan sesuatu sebelum aku tidak dapat menahan rasa sakit lagi dan masa hidupku jadi terpotong setengahnya. Itu tugasmu, penebusanmu karena menyelamatkanku.”

Mungkin karena dia tidak lagi punya alasan untuk bersikap sok tegar di depanku, dia langsung terduduk di tempatnya berdiri.

Aku segera bergerak untuk mendukungnya.

“Kenapa kamu tidak mengatakan itu sejak awal?!”

“Karena itu bukan urusanmu! Kamu hanya perlu melakukan tugasmu! Rasa sakitku tidak ada hubungannya denganmu! Ini hukumanku atas semua yang sudah kulakukan ... “

“Jika kamu memberitahuku itu sejak awal, aku akan berusaha lebih keras untuk melemahkan kutukan itu!”

“Dan kemudian kamu akan memaksakan dirimu lagi. Aku sudah pernah memberitahumu sebelumnya, kamu bukan pahlawan lagi, kamu tidak punya alasan untuk membantuku! Aku itu musuhmu!”

Aku tidak bisa memaksa diriku untuk mengatakan apa pun padanya setelah mendengar tangisannya.

“Tapi aku…”

“Lantas kenapa kamu tidak membunuhku saat itu ?! ...”

Dia berteriak lagi. Butiran air matanya mengalir di pipinya kali ini.

“Jika kamu membunuhku pada waktu itu, semua ini tidak akan terjadi !!”

Dia benar.

Tindakanku saat itu membuatnya sangat kesakitan.

...Aku sudah membuat kesalahan yang tidak dapat diubah. Dia benar, aku harus menebus dosaku ini.

 

◇◇◇◇

[Sudut Pandang Cerys]

 

Masa laluku bukanlah perkara yang besar.

Aku bukanlah kasus sitimewa, ada banyak orang di dunia itu yang sudah melalui sesuatu yang mirip denganku.

Lagipula, aku hampir tidak ingat apa-apa tentang waktu itu. Aku hanya mulai mengingat sedikit demi sedikit baru-baru ini.

Aku tinggal di kota kecil yang terpencil. Karena orang tuaku adalah pembuat sepatu biasa, aku dibesarkan dengan cukup normal. Keluargaku cukup normal. Jika aku harus menggambarkannya, setidaknya mereka tidak memukulku atau semacamnya. Padahal, aku juga tidak bisa mengatakan bahwa mereka sangat mencintaiku. Setiap hari mereka hanya memberiku roti tawar dan sup untuk makananku dan aku harus bekerja setiap hari. Namun, aku tidak perlu mengeluh tentang menjalani kehidupan seperti itu.

Aku yakin orang tuaku juga merasakan hal yang sama. Mereka takkan memarahiku selama aku melakukan pekerjaanku dan jika aku melakukan pekerjaanku dengan baik, mereka akan memujiku. Aku sudah cukup bahagia dengan kehidupan itu.

Meski pada kenyataannya, aku bahkan hampir tidak mengingat seperti apa wajah mereka saat ini. Namun, pada saat itu, mereka lebih penting dari apa pun bagiku. Sebagian besar karena aku tidak berbicara dengan siapa pun selain mereka.

Tapi suatu hari, mereka meninggal dunia.

Mereka berkeliaran di daerah kumuh secara tidak sengaja dan akhirnya dirampok dan dibunuh. Mau bagaimana lagi, karena itu merupakan kejadian umum di dunia itu. Jika kamu menjelajahi seluruh benua, kamu akan menemukan hal seperti itu terjadi di setiap kota. Bagaimanapun juga, mereka tidak kembali ke rumah pada hari itu.

Aku baru mengetahui kematian mereka ketika pemilik rumah mengusirku dari rumah yang disewa orang tuaku. Dia menunjukkan kepadaku mayat orang tuaku sebagai pembenaran atas pengusirannya.

Ketika aku melihat tubuh mereka yang tergeletak tak bernyawa, aku menangis.

Aku merasa sedih.

Tapi kematian mereka bukanlah penyebab kesedihanku.

Sebaliknya, itu karena aku menyadari perasaan yang selama ini aku sembunyikan.

Aku membenci mereka.

Bahkan, aku membenci semuanya.

Aku membenci orang tuaku yang tidak pernah memperlakukanku dengan baik.

Aku membenci semua orang di kota yang menatapku dengan tatapan jijik hanya karena kami miskin.

Aku benci kota yang memperlakukan kematian seolah-olah itu adalah kejadian biasa.

Aku membenci dunia yang kejam ini.

Bodohnya, aku terus membenci segalanya.

Kebencian tersebut lalu menyelimuti jiwaku.

Dan dengan emosi kebencian itu, aku mengutuk dunia.

Aku menyanyikan lagu kebencian.

'Biarkan dunia ini dikutuk untuk selamanya.'

'Biarkan dunia ini menderita untuk selamanya.'

Aku menjadi gadis bodoh yang tidak tahu apa-apa tentang dunia, membenci, membenci dan mengutuk dunia.

Padahal aku hanya ingin merasakan kehangatan seseorang.

Meskipun aku hanya ingin hidup di dunia yang lebih bersahabat.

Aku memimpikan masa depan seperti itu, tapi karena dunia tidak membiarkanku mewujudkan mimpi itu, aku pun mengutuknya.

Hal yang aku alami merupakan kejadian biasa yang dialami setiap orang yang hidup dalam kesengsaraan di dunia itu.

Terkecuali aku dilahirkan dengan bakat sihir.

Aku lebih berbakat daripada siapa pun di dunia itu.

Jadi, lagu kebencian yang aku nyanyikan menjadi kutukan kuat yang menimpa dunia.

Oleh karena, dunia terjerumus ke dalam bencana karena iblis pemakan manusia yang tak terhitung jumlahnya muncul di seluruh dunia.

Lagu anak kecil membuat jutaan orang menderita.

Ketika aku menyadari fakta ini, aku sudah berubah menjadi Penyihir Malapetaka.

Seharusnya aku tahu dari awal, tapi diriku yang bodoh baru menyadarinya ketika semuanya sudah terlambat… Fakta bahwa aku adalah seseorang yang seharusnya tidak harus dilahirkan.

 

◇◇◇◇

[Sudut Pandang Grey]

 

Aku mengingat cerita yang dikatakan penyihir itu kepadaku.

Kisah penyihir kesepian yang menyedihkan.

Setelah menciptakan iblis, dia berkeliling dunia untuk membunuh mereka.

Dia memprioritaskan iblis yang lebih kuat yang lebih mungkin untuk menyakiti orang lain.

Ilmu ghaib adalah seni merapal kutukan, tapi itu tidak mampu menghilangkan kutukan yang sudah dilepaskan. Hanya eksorsis saja yang bisa menghilangkan kutukan, tapi si penyihir tidak bisa menggunakannya. Dengan kata lain, dia tidak bisa berbuat apa-apa tentang kutukan itu.

Oleh karena itu, dia membunuh iblis.

Orang-orang di dunia memanggilnya Penyihir Malapetaka dan membencinya.

Mereka selalu berusaha memburu dan membunuhnya.

Dia ingin mati, tapi jika dia mati, bencana yang lebih besar akan menimpa dunia, jadi dia memutuskan kalau dia tidak mengakhiri hidupnya. Jadi, dia terus berlari sambil membunuh iblis.

Kemudian pada suatu hari, aku muncul di hadapannya.

Sebagai seorang eksorsis, aku adalah musuh terberatnya, tapi pada saat yang sama, aku bisa menjadi penyelamatnya.

Lagipula, aku bisa menghilangkan kutukan yang mengakar jauh di dalam inti dunia.

Itu sebabnya penyihir menyambut hangat tantangan pertarungan denganku, untuk membuat kemampuan eksorsisku tumbuh menjadi lebih kuat.

Jadi, ketika aku akhirnya berhasil menghunuskan pedangku di lehernya, si penyihir merasa lega.

Dia tidak menyesal lagi karena aku sudah menjadi cukup kuat untuk menghilangkan kutukan dari dunia.

Aku sudah mampu membunuhnya dan menghilangkan kutukan yang tertanam jauh di dalam jiwanya.

Dengan begitu, dia akhirnya akan dibebaskan dari kehidupan menyakitkan yang dia jalani.

Baginya, aku adalah pahlawannya.

Dia mengatakan kepadaku bahwa aku tidak perlu ragu-ragu.

Ada raut kebahagiaan di wajahnya saat  mencoba meyakinkanku akan hal itu.

Dari lubuk hatinya yang terdalam, dia merasa senang.

Itulah pertama kalinya aku melihat senyumnya yang begitu indah.

Itu sebabnya, aku….

“…Apa ada yang salah? Cepat bunuh aku, wahai pahlawanku, Grey.”

…. tidak bisa memaksakan diri untuk mengayunkan pedangku ke arah tenggorokannya.

Tanganku terasa kaku dan tidak bisa bergerak. Alasannya sudah jelas.

'Menaklukkan kejahatan, menyelamatkan orang lain.'

‘Berjuang demi keadilan.’

'Sebagai pahlawan, tugasmu adalah membunuh si penyihir.'

'Ingat tujuan mengapa kamu menggunakan kekuatan itu.'

Tindakan itu bertentangan dengan peran yang seharusnya aku mainkan.

Karena menurut sudut pandangku, Cerys Flores bukanlah orang jahat.

Dan karena dia adalah orang yang baik, aku harus menyelamatkannya.

Itulah yang dikatakan oleh keyakinanku.

Tapi pada saat yang sama, sudah menjadi tugasku untuk membunuhnya.

Dan membunuhnya juga akan menjadi penyelamatnya.

Si Penyihir ingin aku membawa keselamatannya.

Tapi aku tidak menginginkan itu. Aku tidak ingin membunuhnya.

Jadi, aku berusaha kerasa memutar otakku, dan sampai pada suatu kesimpulan.

Aku adalah pahlawan pilihan Tuhan. Penyihir adalah musuhku.

Itu sebabnya aku tidak punya alasan untuk memenuhi keinginannya.

Jadi, aku menyarungkan kembali pedangku.

Ini adalah pertama kalinya dalam hidupku bahwa aku menolak panggilan seseorang untuk meminta bantuan.

Awalnya, si penyihir tertegun setelah melihat aksiku.

Kemudian, dia mulai mati-matian memohon padaku untuk membunuhnya.

Tetap saja, aku menolak untuk membunuhnya. Aku memutuskan bahwa aku takkan pernah membantunya.

Akumencoba membuat banyak alasan di dalam kepalaku, tapi alasan mengapa aku melakukannya adalah karena aku tidak bisa memaafkannya.

Aku tidak bisa memaafkan dunia yang sudah membuatnya menjadi seperti ini.

Aku tidak bisa memaafkan gadis ini yang berpikir bahwa kesimpulan semacam ini adalah solusi yang terbaik.

“… Persetan dengan itu, jangan bercanda denganku.”

Baru pertama kalinya aku merasa marah. Itulah pertama kalinya mesin yang disebut sebagai pahlawan merasa marah.

Jadi, aku bersumpah untuk menunjukkan kepada si penyihir seperti apa yang namanya kebahagiaan sejati.

 

◇◇◇◇

 

“Kamu bukanlah orang jahat. Aku adalah seorang pahlawan, seorang pahlawan takkan membunuh orang baik.”

Aku mengulangi perktaan yang pernah kuucapkan kepada si penyihir di kehidupan kami sebelumnya.

Membunuhnya berarti aku akan melawan prinsip kepahlawanan itu sendiri dan aku akan bertindak melawan peran yang sudah diberikan kepadaku.

Begitu mendengar perkataanku, eksrpesi wajah si penyihir berkerut saat dia menggertakkan giginya.

“Aku sudah mengutuk dunia, tau?! Aku sudah membuat seluruh penduduk dunia menderita! Aku sudah menyebabkan kematian yang tak terhitung jumlahnya! Bagaimana bisa kamu masih mengatakan kalau aku bukanlah orang jahat ?!”

“Kamu bahkan tidak melakukannya secara sadar! Kamu hanya berduka atas kematian orang tuamu, Kamu tidak bermaksud membuat siapa pun menderita! Jika kamu memang jahat, lantas mengapa kamu mencoba membantu orang lain?! Mereka itu membencimu, jadi kamu bisa saja membiarkan mereka mati!”

Dia bisa saja melarikan diri dan mengakui kalau itu bukan salahnya.

Dia bisa saja mengabaikan orang-orang yang tidak layak atas bantuannya.

Aku belum pernah melihat orang yang sebaik darinya sepanjang hidupku.

“Apa yang aku lakukan tidak masalah! Pada akhirnya, aku mengutuk dunia dan itulah yang dipedulikan semua orang di dunia itu! Aku membantu mereka sehingga aku bisa menebus dosa-dosaku! Aku tahu tindakan itu takkan membuat mereka memaafkanku, tapi tetap saja, aku harus melakukan itu…”

“Orang jahat bahkan takkan memikirkan hal semacam itu, tau?”

Aku meraih kerah penyihir, dan menariknya sedekat mungkin dengan wajahku, aku lalu menatap matanya dalam-dalam.

“Dunia itu mungkin menganggapmu sebagai orang yang jahat, tapi aku tidak peduli apa yang mereka pikirkan. Kamu adalah orang yang baik. Aku sudah melihat kebaikanmu dengan mata kepalaku sendiri.”

Si Penyihir tertawa lemah.

Ada senyum tipis di bibirnya.

“…Berkat pemikiran seperti itulah kenapa pihak gereja mengeksekusimu saat itu.”

Dia benar.

Pihak gereja mengeksekusiku karena aku menentang ketetapan Tuhan.

Setelah aku memutuskan untuk menyelamatkan si penyihir, kami berdua melakukan perjalanan bersama.

Sebuah perjalanan demi menyelamatkan dunia.

'Kita hanya melakukan ini karena memiliki tujuan yang sama. Cuma sejauh itu hubungan kita, paham?’

‘Tentu saja, kamu tidak perlu memberitahuku tentang itu.’

Demi bisa menyelamatkan dunia, pertama-tama kita harus pergi ke pusat dunia dan menyingkirkan kutukan dari sana.

'Apa kamu cuma bisa mengayunkan pedangmu saja? Cepatlah maju, aku akan melindungi punggungmu.’

'… Kamu tidak perlu memberitahuku itu. Lagipula aku tidak berharap orang lemah sepertimu menjadi penyerang.’

'Siapa yang kamu orang lemah ?! Serius, tutup mulutmu dan bertarunglah!’

Untuk bisa mencapai pusat dunia, kami harus melakukan perjalanan melalui Great Dungeon yang ada di pusat benua. Namun, berkat kutukan si penyihir, dungoen itu sudah berubah menjadi sarang para monster.

 ‘Tu-Tunggu, apa kamu baik-baik saja?’

'…Apa? Apa kamu mengkhawatirkanku?’

'T-Tentu saja tidak! Jika kamu mati setelah membiarkanku hidup seperti ini, aku bersumpahkalau aku takkan pernah memaafkanmu!’

'… Sungguh gadis yang menyebalkan. Yah, terserahlah.’

Meskipun kami terluka cukup parah, pada akhirnya kami berhasil menyingkirkan kutukan jauh di dalam Great Dungeon.

'Kita berhasil! Kita berhasil melakukannya, Grey!’

'…Ya. Kurasa peranku sebagai pahlawan akan berakhir sampai di sini.’

'Apa? Apa-apaan dengan respon yang loyo itu? Memangnya kamu tidak merasa senang tentang ini?’

‘Sejujurnya, aku justru merasa lebih lega daripada senang.’

Dan begitulah, kami berdua berhasil menyelamatkan dunia.

Aku telah melakukan peranku sebagai pahlawan yang terpilih.

Namun dalam perjalanan pulang, kelompok elit gereja menyergap kami.

'Mantan Pahlawan, Grey Handlet. Kamu ditahan.’

Meski aku berhasil membuat si penyihir melarikan diri dengan selamat, aku menghabiskan seluruh kekuatanku dan akhirnya ditangkap oleh gereja. Menurut mereka, aku dituduh bersalah karena dicuci otak oleh penyihir. Aku mencoba menjelaskan kepada mereka mengenai apa yang sebenarnya terjadi, tapi tidak ada yang mau mendengarkanku.

Pihak gereja lalu mengumumkan kepada dunia bahwa sang pahlawan telah mengkhianati mereka, orang-orang, dunia dan Tuhan. Penyihir dan aku adalah orang yang berhasil menyelamatkan dunia, tapi gereja mengklaimnya sebagai pencapaian mereka.

Pada akhirnya, aku dieksekusi sebagai pendosa. Pahlawan telah jatuh ke dalam dosa yang dibenci oleh seluruh dunia.

Dan itulah akhir dari kehidupanku sebelumnya.

Itulah akhir dari seorang pahlawan yang bernama Grey Handlet.

Aku masih memiliki satu penyesalan pada waktu itu.

Aku sudah berusmpah kepada penyihir bahwa aku akan menunjukkan kepadanya seperti apa yang namanya kebahagiaan sejati.

Namun, aku justru meninggalkannya di dunia itu.

Dia kembali sendirian di dunia itu.

Kamu bukan lagi seorang pahlawan.’

Aku sangat menyadari hal itu lebih dari siapa pun.

Bahkan sebelum aku bereinkarnasi ke dunia ini, aku bukan lagi seorang pahlawan.

Aku tidak bisa menjadi pahlawannya.

Aku tetap menjadi musuh bebuyutannya sampai akhir.

Aku tahu itu, tapi aku terlalu takut untuk mengakuinya.

Jadi, untuk waktu yang lama, aku memutuskan untuk tidak memikirkannya.

“Cerys…”

Tapi masih ada satu pertanyaan yang tidak terpecahkan. Apa yang terjadi padanya setelah aku mati?

Jika dia bereinkarnasi ke dunia ini, lalu bagaimana dia mati?

“Apa yang terjadi padamu setelah itu?…”

Saat aku menanyakan itu, dia membalas dengan menarik kerah bajuku. Ada emosi kebencian di matanya.

“Bagaimana kamu bisa menanyakan pertanyaan seperti itu padaku dengan santai ?! Kamu mati, jadi aku tidak bisa lagi diselamatkan saat itu! Karena dirimu, aku kehilangan kesempatan untuk mati! Dan…”

Dia menghela nafas kesakitan saat air mata mulai mengalir dari matanya.

“… Setelah kamu pergi, aku menjadi sendirian lagi…”

Aku tidak bisa berkata apa-apa setelah mendengar itu.

Aku tidak bisa berbuat apa-apa selain menyaksikan air matanya jatuh ke atas permukaan tanah.

“… Sekitar waktu kamu dieksekusi, mereka berhasil mengejarku. Orang-orang yang dianggap gagal dalam Proyek Penciptaan Pahlawan oleh Sage… Para eksorsisme itu…”

Penyihir alu menyeka air matanya dengan tangannya.

“Sage memang benar, mereka merupakan orang yang gagal. Bahkan ketika dikelompokkan bersama, mereka tidak bisa menghilangkan kutukan yang terikat pada jiwaku. Pada akhirnya, hanya kamu yang bisa melakukannya. Jadi, aku memutuskan untuk mereinkarnasi kita berdua ke dunia ini…”

Dengan kata lain…

“… Kamu terbunuh sekitar waktu aku dieksekusi, ya?”

Akhir hidupnya terlalu menyedihkan.

“Aku memang pantas mendapatkannya, jadi aku tidak terlalu peduli.”

Penyihir itu menghela napas dalam-dalam.

“… Aku terlalu banyak bicara. Kita harus kembali, semua orang pasti merasa khawatir.”

“Tunggu, pembicaraan kita masih belum selesai! Apa yang bisa kulakukan untuk membantumu—”

“Aku tidak punya kewajiban untuk menjawabnya.”

Dia memotong pembicaraanku.

“… Seriusan, khawatirkan dirimu dulu sebelum mengkhawatirkan orang lain. Hentikan tindakanmu yang digerakkan oleh kutukan itu. Aku akan mengatakannya sekali lagi, Kamu bukan lagi seorang pahlawan dan aku adalah musuhmu, jadi berhentilah mencoba membantuku… Tinggalkan aku sendiri… ”

“Aku—”

“Apa kamu bisa menyatakannya dengan yakin kalau tindakanmu tidak dipengaruhi oleh kutukan dari kehidupanmu sebelumnya?”

Aku tidak bisa menjawabnya.

“Jika kamu tidak bisa menjawabnya, maka kamu tahu apa yang harus dilakukan.”

Aku bahkan tidak bisa menggerakkan bibirku untuk menjawabnya.

“Kamu pernah memberitahuku kalau kamu akan menunjukkan kepadaku seperti apa yang namanya kebahagiaan sejati itu. Aku tahu kamu bermaksud baik dan mungkin masih berpikir untuk melakukannya, tetapi, jangan main-main denganku, Kamu bahkan tidak tahu seperti rasanya kebahagiaan sejati itu sendiri.”

“Apa maksudmu aku tidak tahu? Aku telah melihat kebahagiaan sejati sebelumnya.”

“Tapi, apa kamu pernah mengalaminya sendiri?”

Dia benar.

Tapi apa bedanya?

Aku tidak pernah mengalaminya karena aku tidak pernah memikirkan kebahagiaanku sendiri sejak awal.

“…Sudah cukup, ayo kembali.”

Si Penyihir kemudian menghela nafas dan berbalik.

Merasakan bkalau kakiku masih tidak bergerak, dia mengalihkan pandangannya ke arahku sekali lagi.

“Mereka akan curiga jika kita tidak segera kembali sekarang.”

“…Bisa aku bertanya sesuatu?”

Aku bertanya.

Penyihir dan aku adalah musuh, jadi tidak ada alasan bagiku untuk membantunya.

Tapi, jika itu masalahnya, mengapa dia terus menegurku?

Kenapa dia sangat mengkhawatirkanku?

“Cerys, kenapa kamu memilih bereinkarnasi ke dunia ini?”

Aku bertanya.

Aku memanggil namanya dan bertanya dengan nada serius.

“Aku memahami mengapa kamu mereinkarnasi jiwa kita ke dunia itu, tapi, mengapa di sini? Mengapa kamu mereinkarnasi kita berdua di negara yang damai ini? Tolong, jawablah aku”

Aku tahu mengetahui itu karena kebaikannya.

Dia melakukan segalanya demi diriku.

“Aku… aku…”

Sekali lagi, air mata menggenang di matanya.

“Aku… hanya ingin membuatmu bahagia…”

Setelah mengatakan itu, dia berlari ke dalam restoran.

Itu benar-benar tidak adil.

Aku terpaku di tempatku berdiri beberapa saat sebelum mengikutinya.

Langit di atas terlihat kelabu, sangat mirip dengan keadaan pikiranku yang sedang suram ini.

 

◇◇◇◇

 

Setelah itu, sesi belajar terus dilanjutkan dan diakhiri dengan suasana canggung.

Yah, tentu saja akan berakhir seperti itu. Si Penyihir kembali dengan kedua matanya bengkak karena air mata. Dia tidak memberi tahu siapa pun mengapa dia menangis dan aku juga tidak punya alasan untuk memberi tahu mereka, jadi semua orang hanya bisa mengungkapkan kekhawatiran mereka dalam diam.

Terus terang saja, aku menyesal sudah bertanya padanya.

Seharusnya aku tidak mengangkat topik itu.

Sambil meminta maaf di dalam hati kepada si penyihir, aku mengayuh sepedaku bersama Hina di sisiku.

Cuacanya lumayan dingin untuk musim panas. Sepertinya sebentar lagi akan turun hujan.

“… Apa yang terjadi dengan Mai-chan?” tanya Hina padaku.

Aku tidak bisa membedakan emosinya saat ini dari nada suaranya.

“Bagaimana jika aku bilang kalau tidak ada yang benar-benar terjadi?”

“Menurutmu sudah berapa lama aku mengenalmu? Sudah terlihat jelas dari wajah Mai-chan bahwa sesuatu memang terjadi saat itu. Jangan coba-coba membohongiku.” Ujar Hina tanpa basa-basi.

Aku sangat ingin memberitahunya, tapi isi percakapanku dengan si penyihir bukanlah sesuatu yang bisa kuberitahukan pada orang lain.

Jadi, apa yang harus kukatakan padanya?

“…Bagaimana menurutmu?”

Pada akhirnya, aku menjawab pertanyaannya dengan pertanyaan yang ambigu.

Alis Hina berkerut curiga ketika mendengar itu.

“Apanya?”

“Menurutmu membantu orang lain yang membutuhkan itu normal?”

“Ah, begitu rupanya.”

Aku pikir kalau pemikiran seperti ini sangatlah wajar.

Kecuali jika sifat mereka memang sudah gila sejak awal, tidak ada yang ingin ada orang yang tidak bahagia. Meskipun itu merupakan seseorang yang mereka benci. Mereka mungkin tidak menginginkan seseorang yang mereka benci ada di dalam hidup mereka, tetapi pada saat yang sama, mereka akan mengharapkan kebahagiaan di suatu tempat yang tidak dapat mereka lihat.

Jika itu adalah seseorang yang mereka sukai, sudah sewajarnya bagi mereka untuk membantu.

Aku hanya ingin semua orang bahagia.

Aku hanya ingin melihat senyuman semua orang.

Apa aku sudah gila jika memikirkan hal seperti itu?

Apa itu memang semacam kutukan?

Keinginanku untuk membantu si penyihir, apakitu benar-benar datang dari lubuk hatiku?

Hina berhenti mengayuh sepedanya dan menatapku dalam diam beberapa saat.

“Kamu tahu, keseimbanganmu itu sedikit aneh.”

“Keseimbangan?”

“Antara merawat diri sendiri dan membantu orang lain, keseimbanganmu dalam hal itu sudah hilang.”

Hina turun dari sepedanya dan mulai berjalan perlahan sambil menuntun sepedanya.

Aku melakukan hal yang sama dan mengikuti di belakangnya.

“Orang normal akan mencoba mencari kebahagiaan mereka sendiri terlebih dahulu sebelum mulai mengurus orang lain, tapi itu hanya jika mereka mampu melakukannya sejak awal. Tentu saja, itu tergantung pada konteksnya. Misalnya seperti, jika aku melihat seseorang tersesat di antah berantah, setidaknya aku akan mencoba memanggil mereka. Tapi dalam kasusmu, kamu selalu berusaha membantu orang lain tanpa memikirkan keselamatanmu sendiri. Bukannya berarti kamu tidak mampu melakukannya juga, hanya saja kamu malah mengabaikan kebahagiaanmu sendiri. Itu sebabnya kamu selalu berakhir dengan menyakiti dirimu sendiri.”

“… Maksudku, kebahagiaan orang adalah kebahagiaanku.”

“Asal kamu tahu saja…”

Dia memelototiku dengan amarah yang bisa terlihat jelas di dalam matanya.

“Apa yang akan kamu rasakan jika aku menyerahkan hidupku demi bisa menyelamatkanmu?”

“… Tidak, jangan berani-berani memikirkannya.”

Aku menjawabnya dengan susah payah.

Begitu mendengar jawabanku, Hina langsung mendengus dan memalingkan wajahnya.

“Sungguh jawaban yang egois sekali. Jika kamu ingin aku menerima pemikiranmu, maka Kamu tidak berhak mengeluh jika aku melakukan hal yang sama sepertimu.”

Tidak, masalah bukan seperti itu. Aku dan Hina berbeda. Aku berbeda dari orang-orang di dunia ini.

… Tapi, apa memang begitu?

Maksudku, meski aku benci mengakuinya, aku bukan lagi seorang pahlawan.

Kepalaku mulai terasa sakit.

“Kamu selalu saja seperti ini, tapi sejak setahun yang lalu, kamu menjadi semakin aneh, tau?”

Suaranya terdengar tajam saat dia menegurku.

“Kamu mulai berhenti tersenyum, kamu juga terus memaksakan dirimu sendiri untuk membantu orang lain dan terus bersikeras bahwa kamu merasa bahagia menjalani cara hidup yang seperti itu. Hei, apa menurutmu orang akan senang jika kamu terus ikut campur dalam hidup mereka?

Dia mendadak mendekatiku.

“Serius, apa sih yang ingin kamu coba lakukan?”

Jaraknya begitu dekat hingga membuat hidung kami hampir bersentuhan, dia menatap lurus ke arah mataku.

“Apa kamu tidak menyadari kalau hidupmu adalah milikmu sendiri? Itu bukan milikku maupun milik orang lain.”

Dia memelototiku dan terus berbicara.

“Lagian sedari awal, caramu melakukan sesuatu itu bodoh. Ya, memang ada banyak orang yang mungkin membutuhkan bantuanmu, tetapi tidak semua orang akan menerimanya. Kita ini tinggal di negara Jepang dan tidak sedang berperang atau semacamnya. Bahkan jika kamu membiarkan orang-orang itu, mereka akan dapat menjaga diri mereka sendiri. Bantuanmu tidak diperlukan, jadi berhentilah mengendus di tempat yang bukan tempatnya.”

Aku mencoba berusaha  membantahnya, tapi tidak ada satu pun kata yang keluar dari mulutku.

“…Sejujurnya, aku jadi semakin kesal saat berbicara. Hei, memangnya kamu pikir kamu itu siapa? Emangnya kamu pikir kamu orang yang hebat sehingga boleh ikut campur ke dalam urusan semua orang? Kesombongan seperti itu. Sejak kapan kamu menjadi orang yang congkak semacam itu, huh? Apa? Kamu  berpikir kalau dirimu itu semacam pahlawan atau semacamnya? Kembalilah ke kenyataan, kamu itu bukanlah siapa-siapa.”

‘Tidak ada yang mengharapkan apa pun darimu.’

“Hei, dasar chuunibyou-kun yang songong, biarkan aku memberitahumu sesuatu. Entah kamu ada maupun tidak, dunia terus berjalan. Keberadaanmu takkan mengubah apapun. Apa kamu paham?”

Rasanya seperti dia telah melampiaskan semua perasaannya yang terpendam.

Kata-katanya kendengarannya menghina. Dia menolak cara hidupku, hal-hal yang selama ini aku perjuangkan, semuanya. Nada suaranya terdengar seperti  mengutukku sebagai pribadi. Dia memperlakukanku seperti anak kecil yang salah mengira bahwa aku terlahir istimewa.

Tapi anehnya, kata-katanya tidak menyakitiku.

“…Begitu rupanya.”

Kupikir aku sudah mengerti semua yang dia katakan. Tapi setelah dia menunjukkannya lagi, itu membuatku sadar bahwa aku masih tidak mengerti apa-apa.

“…Apa aku boleh … menjalani kehidupan normal?”

Ketika aku melihatnya, Hina mendengus frustrasi.

“Kamu ini bicara apa? Kamu tinggal menjalani hidupmu seperti yang kamu inginkan. Ingatlah bahwa tidak ada yang mengharapkan apa pun darimu. Keberadaanmu dapat tergantikan, dan dunia akan terus berjalan meskipun kamu tidak ada.”

Hina menutup jarak di antara kami lagi dan dengan lembut menjentikkan dahiku.

“…Aku tahu itu, tapi…”

Aku melirik telapak tanganku.

Aku masih bisa mengingat dengan jelas sensasi pedang berlumuran darah yang selalu kubawa. Tapi pedang itu sudah tidak ada lagi.

“…Apa itu benar? Apa sudah tidak ada yang mengharapkan apa pun dariku? Keberadaanku sebenarnya tidak terlalu penting? …Kurasa begitu, ya? Tentu saja, memang begitulah, ya?”

“Ya iyalah, dasar bodoh! Dasar cowok chuunibyou akut! Memangnya kamu pikir kamu itu seorang pahlawan atau semacamnya? Kamu itu sudah anak SMA tau, astaga, sadar diri kek! Aku bersumpah, akulah yang selalu merasa malu setiap kali aku melihatmu.”

“Oke, itu sih udah termasuk kejam!”

Penghinaan Hina membuatku bingung.

Begitu... Aku adalah pria seperti itu ya?

Menyadari perasaanku, Hina menatapku dengan prihatin.

“M-Maaf, aku berlebihan… Ta-Tapi apa boleh buat, oke? Melihatmu seperti itu membuatku frustrasi…”

Usai mendengar itu, aku tertawa terbahak-bahak.

“Tidak, tidak apa-apa. Terima kasih banyak, Hina.”

Aku menatap matanya dan berterima kasih padanya. Semua perkataannya itu benar, tidak ada alasan baginya untuk meminta maaf.

“Kata-katamu sudah menyelamatkanku, Hina.”

“…Kamu…  Apa kamu masokis?”

“Enggaklah?! Apa-apaan?! Bagaimana kamu bisa sampai pada kesimpulan itu ?!”

Memang benar kata-katanya menyelamatkanku.

Mungkin karena itu berasal darinya, gadis yang telah mengawasiku sejak aku masih kecil.

“Aku senang kamulah teman masa kecilku.”

Ketika aku mengatakan itu, dia mengalihkan pandangannya saat wajahnya memerah.

“Y-Ya, kamu seharusnya lebih berterima kasih padaku… K-Kamu memang sulit diurus, tau?”

Aku bukan seorang pahlawan lagi, hanya siswa SMA biasa yang bisa ditemukan di mana saja.

Aku tahu fakta itu sejak lama, tapi akhirnya aku makna yang sebenarnya.

Aku selalu berpikir bahwa membantu orang adalah sesuatu yang harus aku lakukan.

Entah aku seorang pahlawan atau tidak, orang selalu mengharapkanku untuk membantu mereka.

Selalu terasa seperti orang mengharapkan sesuatu dariku, sama seperti di kehidupanku sebelumnya.

Kata-kata Hina mengingatkanku bahwa tidak ada hal yang semacam itu.

“…Aku hanya siswa SMA biasa, ya?”

“Tidak? Mana mungkin kamu cowok SMA normal.”

“Eh?! Apa maksudmu?! BukanNYA kamu baru saja mengatakan—”

“Emangnya kamu tidak menyadari kalau kamu itu orang yang aneh?”

“A-Apa?! Aku? Orang aneh?”

Tapi, aku hanya mencoba meniru diriku dari kehidupan sebelumnya.

Ketika melihat ekspresi ngeriku, Hina tertawa terbahak-bahak.

“…Kurasa aku harus berterima kasih sekali lagi. Untuk selalu berada di sisiku, meskipun aku seperti ini…”

“Eh?…”

Hina tersentak. Sepertinya kata-kataku membuatnya lengah.

“Ni-Nih cowokk selalu ...”

Wajahnya mulai memerah lagi. Apa dia baik-baik saja? Dia tidak sedang masuk angin atau semacamnya, kan?

“Apa kamu baik-baik saja?”

“…Ya aku baik-baik saja. Aku tidak tahu kenapa, tapi aku merasa lelah. Aku ingin mampir ke sana.”

Dia kemudian mendorong sepedanya ke tempat parkir di depan minimarket.

Aku mengikutinya dan kami memasuki minimarket bersama-sama. Kami memutuskan untuk membeli es krim dan memakannya di bawah naungan di sebelah gedung.

Mungkin karena kami telah berbicara di bawah matahari untuk sementara waktu, kami basah kuyup oleh keringat dan baru menyadarinya ketika kami sedang beristirahat seperti ini.

“Kamu tahu…”

Aku bergumam.

“Aku ingin mencari tujuan baru dalam hidupku.”

“Hah?”

“Aku ingin mencoba menemukan sesuatu yang benar-benar aku nikmati…”

Ketika aku berbicara dengan penyihir, langit terlihat mendung, tapi semua awan sudah hilang sebelum aku menyadarinya.

“…Aku tahu akan sulit untuk mengubah diriku saat ini, tapi tetap saja…”

Kupikir itu adalah kewajibanku supaya harus hidup seperti yang aku lakukan di kehidupanku sebelumnya.

Tapi, Hina dan si penyihir memberitahuku bahwa bukan itu masalahnya.

“Mulai sekarang, aku akan hidup untuk diriku sendiri.”

Aku ingin membuat kenangan yang menyenangkan, melakukan apa pun yang ingin kulakukan, menikmati diriku sepenuhnya dan mencari kebahagiaanku sendiri.

Itu adalah sesuatu yang selalu aku impikan sebagai seorang anak, tapi ketika aku mulai mendapatkan kembali ingatan dari kehidupanku sebelumnya, aku mulai melupakan mimpi itu.

“Begitu ya.” Kata Hina sambil menunjukkan senyum cerah padaku.

“Jika kamu bahagia, semua orang juga akan bahagia untukmu, tahu?”

Imbuhnya dengan senyum secerah matahari.

“Kamu benar ... aku bertanya-tanya mengapa aku tidak menyadari hal segampang itu?”

“Karena kamu idiot, jadi itulah sebabnya.”

Dia terlihat sangat bahagia sekarang. Dan aku merasa senang saat melihatnya seperti ini.

“Ngomong-ngomong, Hina.”

“Hm?”

“Aku bisa melihat bramu, loh.”

Baju tipisnya basah oleh keringat.

Karena bajunya yang tipis, itu menempel erat di kulitnya dan aku bisa melihat bra merah mudanya melalui bajunya yang basah. Harus kuakui, ini adalah pemandangan yang menyenangkan untuk dilihat.

“Hmph!”

“Mataku?!”

Gadis ini langsung menusukkan jarinya ke mataku tanpa ragu, wow.

Bahkan di kehidupanku sebelumnya, gadis pemberani seperti dirinya sangat jarang terjadi. Mungkin dia memiliki bakat untuk menjadi seorang pejuang.

“Aku benar-benar tidak bisa lengah di dekatmu …”

Dia menjauh dariku sambil melindungi dadanya dengan tangannya.

“…Pokoknya, mari kembali ke topik sebelumnya. Apa yang kamu bicarakan dengan Mai-chan?”

“Mirip dengan apa yang kita bicarakan tadi. Dia memarahiku dengan sangat keras…”

“Hah? Gadis itu benar-benar bisa memarahi orang lain?” Seru Hina, yang tidak tahu sifat asli si penyihir. “Ngomong-ngomong, gadis itu mirip denganmu. Selalu berusaha memaksakan dirinya terlalu keras.”

Kemudian, dia terus mencoba menganalisis kepribadian si penyihir.

“Meski aku bilang begitu, tapi dia berbeda darimu. Bagaimana cara menggambarkannya ya ... Rasanya dia takut pada orang. Tepatnya, dia takut dibenci orang. Kalau dipikir-pikir lagi sih cukup menggelikan. Dia sangat imut, jadi mana mungkin dia hanya mendapatkan satu atau dua ditembak seumur hidupnya, dia merasa tidak aman tentang dirinya sendiri. Dia selalu bertingkah seolah-olah dia orang buangan atau semacamnya juga.”

Itu adalah analisis yang bagus, seperti yang diharapkan darinya. Aku tahu bahwa Hina adalah gadis yang peka. Di antara kita semua, dia adalah orang yang paling memperhatikan orang lain di sekitarnya.

“Setiap kali kami berbicara dengannya, meski dia takut dan gampang sekali gelisah, aku dapat mengatakan bahwa dia benar-benar bahagia. Kami hanya berbicara secara normal, tetapi dia bertindak seolah-olah dia tidak bisa lebih bahagia dari itu.”

Aku setuju.

Tidak diragukan lagi bahwa si penyihir merasa benar-benar bahagia ketika Hina dan yang lainnya berbicara dengannya.

“Itu sebabnya aku menyukainya. Tak peduli seberapa lemah atau mencurigakan dia bertindak, aku akan selalu menyukai gadis itu. Aku yakin Yuuka juga berpikiran sama denganku. Itu sebabnya, aku ingin bertanya kepada mu. Kamu sudah lama mengenalnya, kan? Bagaimana dia bisa menjadi seperti itu?”

Aku tersentak saat mendengar pertanyaannya. Haruskah aku memberi tahu Hina tentang masa lalu si penyihir atau tidak?

Setelah merenung sebentar, aku memutuskan untuk memberi tahu dia tentang hal itu. Tentu saja, aku akan mengecualikan perihal dunia lain keluar dari cerita.

Aku memberitahunya secara singkat tentang masa lalu si penyihir. Bagaimana dia secara tidak sengaja menyakiti orang lain tanpa maksud dan karena itu, mereka tumbuh membencinya. Itulah penyebab mengapa dia menjadi takut pada orang lain.

“… Jadi itulah yang terjadi. Itu sebabnya kamu mencoba merawatnya. ”

Hina lalu terus melanjutkan.

“Tapi tetap saja, tidak ada alasan bagimu untuk menyimpan semua ini untuk dirimu sendiri. Aku juga teman Mai-chan. Bukan hanya aku, Yuuka dan… Meskipun aku benci mengakuinya, Shinji juga… Kami adalah temannya juga. Kamu tidak sendirian, kami juga menginginkan hal yang sama. Kami ingin dia dapat memiliki kehidupan yang normal juga.”

Kata-kata Hina membuatku merasa aneh.

…Tentu, aku bukan lagi seorang pahlawan.

Tapi bukannya berarti sifat hubunganku dengan si penyihir itu berubah.

Tak peduli kami berubah menjadi apa, kami akan selalu menjadi musuh.

Itu artinya, kami akan saling membenci.

Atas dasar alasan apa aku harus membantu si penyihir sekarang?

Hanya setelah beberapa saat aku baru memikirkan pertanyaan itu.

 

 

Sebelumnya || Daftar isi || Selanjutnya


close

Posting Komentar

Budayakan berkomentar supaya yang ngerjain project-nya tambah semangat

Lebih baru Lebih lama