Bab 4 Bagian 2
Aku mencoba mengatur napasku
yang ngos-ngosan di depan apartemen si penyihir.
Aku bisa saja ke sini dengan
santai daripada mengayuh sepedaku seperti orang gila, tapi yah nasi sudah
menjadi bubur.
Pokoknya…
Aku perlu berbicara dengan si penyihir.
Aku menekan interkom di depan
apartemen. Tapi, hanya keheningan yang menyambutku untuk waktu yang cukup lama.
Tepat sebelum penjaga keamanan
akan mengusirku, si penyihir akhirnya menjawab.
{Untuk
apa kamu kemari?}
“Aku perlu berbicara denganmu.”
{Aku
tidak ingin berbicara denganmu.}
“Aku tidak peduli. Cepalah
keluar dan dengarkan aku.”
Suaraku terdengar lebih keras
dari yang kubayangkan. Si penyihir kelihatannya terkejut ketika mendengarnya.
{...
Tumben sekali. Baru pertama kalinya aku mendengarmu terdengar memaksa begitu.}
“Jika tidak begitu, kamu takkan
mendengarkanku.”
Ketika aku mengatakan ini, aku
mendengarnya menghela nafas.
{Pahlawan,
kamu…}
“Berhenti memanggilku begitu. Aku
bukan pahlawan lagi. Bukannya kamu sendiri yang mengatakannya?”
{...
jadi kamu sudah mengakuinya?}
“Tentu saja. Sudah waktunya
bagiku untuk tumbuh dewasa. Aku tidak bisa menjadi chuunibyou terus.”
Ada periode keheningan yang
singkat setelah aku mengatakan itu.
{...
yah terserahlah, masuk.}
Dia kemudian memberiku izin.
Aku lalu pergi menuju lantai
tempat si penyihir tinggal.
Sementara itu, aku berhasil
mengatur napasku.
Sayangnya, aku tidak punya
cukup waktu untuk memilah-milah pikiranku, jadi aku masih tidak tahu apa yang
harus kukatakan kepadanya.
Aku tahu apa yang ingin kubicarakan
dengannya. Jadi seharusnya aku bisa mengerjakan sesuatu dari sana.
Pintu ke kamarnya terbuka.
Aku masuk dan melepas sepatuku.
Ruangan apartemennya masih
belum berubah sejak terakhir kali aku datang ke sini. Rak bukunya masih
menempati setiap sudut ruangan.
Aroma khas kertas tua
menggelitik lubang hidungku.
“…Yo.”
Si penyihir sedang duduk
bersila di sofa di belakang ruangan ketika aku menyadapanya.
Saat dia menyeruput tehnya, dia
mengalihkan pandangannya kepadaku.
“Jadi, apa yang kamu— tu-tunggu,
apa kamu baik-baik saja?!”
Tatapannya yang tenang berubah
menjadi penuh dengan kecemasan setelah melihat keadaanku.
“Apa? Kamu mengkhawatirkanku?
Sungguh baik sekali.”
“Apa yang terjadi? Kenapa kamu
sampai berkeringat begitu? Wajahmu juga terlihat pucat ...”
“Haha, ini bukan apa-apa ...”
Aku goyah sedikit di tengah
kalimat.
“Tu-Tunggu, mana mungkin kamu akan
baik-baik saja!”
“Aku baik-baik saja, kok. Aku
hanya memaksa diriku sedikit ketika mengayuh sepeda untuk sampai ke sini. Aku
perlu mematikan limiterku dan itu saja.”
“Mana mungkin kamu baik-baik
saja setelah itu!”
“Kamu tidak perlu khawatir,
paling banter aku hanya akan muntah di sini. Itu akan membuatku merasa jauh
lebih baik.”
“Jangan beran-beraninya kamu
melakukan itu!”
Aku menenangkan si penyihir yang
gelisah dan duduk di sofa.
“Ah ... kepalaku terasa sakit
...”
“Apa kamu terkena sengatan
panas? Memangnya berapa suhu di luar? ”
Mungkin sekitaran tiga puluh
delapan atau lebih.
Entahlah, siapa yang peduli.
Sulit untuk berpikir dengan sakit kepala semacam ini.
“Kenapa kamu sampai memaksakan
diri segala…?”
Si penyihir mengambil remote AC
dan mendinginkan suhu ruangan.
“Pokoknya, aku akan memberimu
sesuatu untuk diminum. Mungkin aku masih memiliki minuman olahraga atau sesuatu
di kulkas ...”
Sudah kuduga, dia memang gadis
yang sangat baik hati.
Dia selalu berpura-pura bersikap
judes dan cuek, tapi setiap kali dia panik seperti ini, kepribadiannya yang
sebenarnya akan keluar.
“Kamu tahu, penyihir…”
“Apa?”
“Sekarang kamu tidak bisa
melarikan diri lagi! Hahahahaha!”
“E-Eh?!”
Aku tertawa dengan sepenuh
hati. Sepertinya dia menanggapi leluconku dengan terlalu serius saat mengambil
langkah mundur untuk menjauh dariku.
Aku menarik napas dalam-dalam.
“Maaf, tadi itu karakter yang
salah untuk dimainkan.”
“Sikapmu yang tadi sedikit
menyeramkan, tau?”
“Oke, yang itu cukup nyelekit
untuk didengar.”
“Serius, apa yang salah
denganmu sih?” Kata si penyihir saat menyerahkan sebotol minuman olahraga
kepadaku.
“Terima kasih. Aku lebih
cenderung berada di kubu aquari daripada Pucari, sih.” (TN: Aquarius dan Pocari, dua merek besar
minuman olahraga di Jepang.)
“Cerewet.”
Dia memotong perkataanku.
“Cepat minum, kamu nanti akan
mengalami dehidrasi ...”
Aku menuruti perkataannya dan
menengguk pucari. Ahh, rasanya segar sekali…
Setelah beberapa saat, sakit
kepala yang kualami akhirnya menghilang.
Aku lalu mengalihkan perhatianku
ke arah penyihir.
“Jadi begitulah caramu
berpakaian di dalam rumah, ya?”
“… Memangnya kamu punya masalah
dengan itu?”
Dia mengenakan kaos dan celana
pendek. Gayanya cukup kasar, tapi itu lumayan cocok untuk musim panas.
Jika aku bisa menggambarkan
bagaimana penampilannya saat ini, dia terlihat...
“Kamu terlihat manis, kok.
Kesenjangan antara penampilanmu yang sekarang dan di sekolah benar-benar membuatku
gembira.”
Ups, aku tidak bermaksud
mengatakan itu dengan keras. Kurasa kesadaranku masih kabur karena biasanya aku
takkan pernah mengatakan sesuatu seperti itu. Aku bisa merasakan wajahku
mulai memanas. Astaga.
“Ha-Haaaaaa?! Ke-Kenapa kamu
mendadak mengatakan itu?!”
Wajahnya berubah merah cerah
saat berteriak padaku.
“A-Abaikan apa yang kubilang
tadi, itu tidak penting. Ada sesuatu yang ingin kukatakan padamu.”
“Ap-Apa…?”
Dengan wajah yang masih
tersipu, si penyihir bertanya.
Aku memandangnya lekat-lekat.
Apa yang harus kukatakan padanya?
Aku mulai menjelajahi ingatanku
dengannya. Kenangan di mana kami menghabiskan hidup kami bersama.
“Cerys ... kamu itu gadis yang
sangat merepotkan, apa kamu tahu itu?”
Hal pertama yang keluar dari
mulutku adalah penghinaan.
Setelah mendengar itu, si
penyihir mengerutkan alisnya dan membalas ucapanku dengan keluhan.
“Memangnya kamu tidak pernah
mencoba untuk berkaca, hah?!”
“Aku tahu kalau aku tidak ada
bedanya, meskipun aku benci mengakuinya. Tapi tetap saja, kamu itu jauh lebih
parah dariku, tau? Aku tahu kalau kamu adalah si penyihir, tapi tetap saja kamu
itu masih super nyebelin.”
“Hahh?! Kamu ini bicara apa?! Kamu
bahkan lebih parah dariku! Kamu tidak pernah mendengarkan apa pun yang
dikatakan orang lain! Selalu mengabaikan dirimu dan berlari menuju masalah
dengan ceroboh seperti ayam tanpa kepala! Kamu itu jauh lebih parah! Lebih
parah, tau!”
“Ngaca dong! Kamu juga sama! Cuma
aku satu-satunya yang tahu tentang sifat aslimu! Pengabaian diri secara harfiah
adalah nama tengahmu! Lagian juga, kenapa sih kamu terlalu parno dengan orang
lain? Tidak ada seorang pun di dunia ini yang tahu kalau kamu adalah penyihir.
Tidak ada yang akan membencimu tanpa alasan yang jelas. Jadi, berhentilah
berjuang dalam kegelapan sendiri! Minta bantuan, cari bantuan dari orang lain!
Semua orang akan membantumu jika kamu meminta kepada mereka! Cukup bergantung
kepada seseorang saat kamu dalam kesulitan, itu sama sekali tidak sulit!”
“Terus?! Aku itu masih
penyihir, semua dosa-dosaku tidak hilang begitu saja bahkan jika tidak ada yang
tahu identitas asliku! Faktanya, keberadaanku saja sudah menempatkan dunia
dalam bahaya! Kamu sudah tahu itu, bukan?! Sejak awal aku seharusnya tidak
boleh dibiarkan hidup! Bagaimana mungkin seseorang sepertiku memiliki hak
untuk bergantung pada orang lain? Aku seorang monster yang harus dibenci! Aku
pantas dibakar di neraka! Aku tidak pantas diselamatkan! Jadi, berhentilah
mengkhawatirkanku dan khawatirkan dirimu sendiri!”
“Persetan dengan semua itu!
Mana mungkin itu benar! Seseorang sebaik dirimu tidak pantas dibenci, apalagi
dibakar di dalam neraka! Aku akan memastikan itu! Aku akan menyelamatkanmu!”
“Hah?!”
Si Penyihir menahan napas
sejenak sebelum menunjukkan senyum lelah.
“Ternyata kamu masih terjebak dalam
kutukan, ya? Itu sebabnya kamu bertingkah seperti ini. Kamu berbohong kepadaku
sebelumnya ketika mengakui kalau kamu bukan pahlawan lagi, iya ‘kan? Yah, sudah
kuduga bakalan begitu, mana mungkin masalahmu bisa diselesaikan dengan mudah.
Haah ... bodohnya aku yang sudah mempercayaimu.”
“Tidak, kutukan itu tidak
memengaruhiku lagi. Hina sudah cukup memberitahuku kalau aku hanyalah anak
sekolahan biasa.”
“Lantas kenapa….?”
Ekspresi wajahnya terlihat
meringis.
“Kenapa kamu mencoba menyelamatkanku?!
Kamu itu bukan pahlawan lagi! Kamu tidak punya alasan untuk menyelamatkanku!
Kita berdua ini musuh! Akulah alasan mengapa kamu hidup seperti itu di dunia
sebelumnya! Akulah alasan mengapa kamu terbunuh! Kamu berhak membenciku! Kamu
berhak menyimpan dendam padaku ! Itulah perasaan yang seharusnya kamu miliki
terhadapku!”
“Kamu itu benar-benar gadis
yang super ngeselin, ya ...”
Aku kemudian berdiri dan
menatap wajahnya.
“Apa? Memangnya apa yang
kuucapkan tadi salah? Aku ini penyihir! Orang yang paling merepotkan, jahat,
menjijikkan, orang terburuk yang pernah kamu temui di dunia ini! Memang
begitulah seharusnya!”
“Jika kamu benar-benar orang
yang seperti itu, Hina dan yang lainnya takkan pernah berusaha keras untuk
membantu mu. Mereka peduli padamu karena mereka memperhatikan kebaikanmu. Kamu adalah
gadis yang baik, apapun yang kamu katakana takkan mengubah kenyataan itu!”
“Berisik! Berisik! Kamu takkan bisa
mengelabuhiku dengan kebohongan buruk seperti itu!”
Si Penyihir mencoba mengatur napas
setelah ledakan itu. Butiran air mata terbentuk di sudut matanya.
“... Tentunya kamu tidak datang
ke sini untuk membicarakan hal semacam ini, ‘kan? Cepat katakan saja apa
urusanmu.”
“Baiklah.”
Aku melangkah maju dan menutup
jarakku dengan si penyihir.
“Ap-Apa, Apa maumu?! Ja-Jangan
dekat-dekat!”
Dia memanggil tongkat sihirnya
dan menahannya di tenggorokanku.
“Aku menolak.”
Tapi aku mengabaikannya dan
mengambil langkah maju lagi. Dia panik dan memindahkan tongkat sihirnya.
“Apa yang ingin kamu lakukan?!”
Dia mundur beberapa langkah
saat aku melangkah maju ke depan.
Pada akhirnya, punggungnya
menabrak dinding. Aku segera membanting tanganku ke dinding yang dekat dengan
kepalanya dan bersandar lebih dekat padanya.
Aku menunjukkannya senyum yang
berani.
“Lihat? Bahkan sekarang, kamu
masih menunjukkan kebaikanmu.”
“Serius, apa yang kamu
inginkan?!”
“Cerys ... tidak, kurasa aku
harus berhenti memanggilmu dengan nama itu. Shiina Mai.”
Aku mengubah cara memanggilku.
Shiina tampak terkejut ketika
tongkatnya bergetar sedikit.
Jika kutukan dari kehidupan
sebelumnya masih mengikatnya, maka aku akan menjadi orang yang akan
membebaskan itu darinya. Aku menemukan seluruh situasi ini cukup menggelikan. Dia
mengatakan semua hal mengenai aku yang dikutuk ketika dia sendiri yang
menderita kutukan.
Tentu saja, aku tidak bermaksud
secara harfiah. Ya, jiwanya memang terikat oleh kutukan keji itu, tapi bukan
itu yang seharusnya kukatakan.
Shiina merasa takut.
Dia takut didekati oleh orang-orang,
takut disentuh oleh orang-orang. Pada waktu di dunia itu juga dia bertingkah
seperti ini dan tidak menjadi lebih baik sejak itu. Bahkan ketika kami
bergandengan tangan untuk perawatannya, ketakutannya bisa terlihat jelas dari
tingkah lakunya.
Ketika berkomunikasi dengan
orang lain, dia cenderung mengambil langkah mundur bahkan sebelum melakukan apa
pun. Itu karena dia takut terluka.
Alasannya melakukan itu ialah
karena dia selalu berpikir bahwa dia pantas dibenci.
Lagi pula, sepanjang hidupnya,
dia selalu mengalami permusuhan dari orang lain.
Itulah sebabnya.
Demi menyelamatkan orang idiot
ini yang berusaha menahan air matanya.
Aku akan mengatakan ini tanpa
ragu-ragu,
“Jadilah temanku.”
Wajahku terasa panas.
Mungkin mukaku mulai memerah saat
kami berbicara. Kira-kira apa dia menyadari itu?
“Hah….?”
Shiina menatapku dengan mulut
sedikit terbuka.
Segera setelah itu, wajahnya
berubah menjadi semerah tomat.
“Ka-Kamu?! Ke-Kenapa kamu
tiba-tiba mengatakan itu?!”
Dia mengucapkan kalimat itu
sambil panik.
Yah, kurasa itu tanggapan yang
wajar.
Jika dia mengatakan hal yang
sama kepadaku, aku akan bereaksi dengan cara yang sama pula.
Pokoknya, aku harus menjelaskan
dengan baik padanya.
“Aku ingin membantumu. Aku
ingin melihatmu tersenyum ... Kamu benar, ini bukan bagaimana perasaanku
terhadap musuh dari kehidupanku sebelumnya, tapi ...”
Wajahnya memerah sampai ke
telinganya saat mendengarkan lebih banyak perkataanku.
Kenapa sih dia tidak memasang reaksi
yang lebih serius? Rasanya sulit untuk merangkai kata-kata itu, tau?
Bagaimanapun juga, aku terus melanjutkan.
“Menjadi musuh atau semacamnya
... mari kita mengubur hubungan itu di masa lalu dan jadilah temanku. Jika kita
menjadi teman, maka aku tidak perlu memikirkan alasan untuk membantumu. Memang karena
begitulah adanya teman, ‘kan? Untuk saling membantu saat dibutuhkan. ”
Mungkin, aku salah tentang
sesuatu.
Teman normal takkan memiliki
ikatan yang lebih mendalam dari yang kami miliki saat ini.
Perasaan yang kurasakan
terhadap dirinya jauh lebih berat daripada perasaan yang aku miliki terhadap teman-temanku
yang lain.
Meski demikian, tidak ada yang
akan berubah jika aku tidak mengubah sifat hubungan kami. Itu memang masalah
yang merepotkan, kuakui itu.
“Menjadi teman…? Demi
membantuku…?”
Shiina mencengkeram ujung
pakaiannya. Ada rasa kerinduan di matanya.
“Pada akhirnya, kamu masih belum
berubah sama sekali, ya…? ”
“Harus berapa kali aku perlu
memberitahumu supaya kamu bisa mengerti?”
Demi menghilangkan kutukan yang
telah menggerogoti hati gadis ini selama bertahun-tahun, aku tidak punya
pilihan lain selain mengulangi kata-kata yang memalukan itu berulang kali.
Yah, bisa dibilang, melenyapkan
kutukan itu adalah bagian dari tugasku. Bukan sebagai pahlawan, tetapi sebagai
eksorsis.
“Aku tidak membantumu karena aku
seorang pahlawan atau semacamnya. Aku tidak memiliki kewajiban untuk melakukan
itu karena sejak awal aku bukanlah pahlawan. Kamu benar. Untuk waktu yang
paling lama, aku terikat oleh masa laluku sebagai pahlawan. Hanya ketika aku
memutuskan untuk melepaskannya, aku menyadari bahwa masih ada banyak hal yang
ingin kulakukan di dunia ini. Dan hal pertama yang ingin kulakukan adalah
membantumu.”
Aku akhirnya menyadarinya.
Aku akhirnya menyadari perasaanku
sendiri.
“Itu menunjukkan seberapa besar
aku menyukaimu! Aku mencintaimu! Aku mencintai kecanggunganmu! Aku mencintai
kebodohanmu! Aku mencintai semua tentang dirimu! Semuanya! Kamu adalah orang
yang sangat penting bagiku! Bagiku, kamulah orang yang paling aku pedulikan! Aku
akan melakukan apapun untukmu! Itu sebabnya, jadilah temanku!”
Dalam keputusasaanku…
Aku mengucapkan kalimat-kalimat
konyol itu sebelum memalingkan wajahku.
Aku tidak mempunyai keberanian
untuk melihat wajahnya sekarang.
“…Jadi bagaimana menurutmu? Apa
kamu sudah mempercayaiku sekarang? Aku tidak mencoba membantumu karena
kewajibanku atau semacamnya.”
Keheningan menyelimuti ruangan
setelah aku mengatakan itu.
Tak lama kemudian, Shiina
membuka mulutnya untuk berbicara,
“Bohong. Mana mungkin ada orang
di dunia ini yang bisa menyukaiku.”
“Kalau begitu, bahkan jika
semua orang di dunia ini membencimu ...”
Perkataan itu mengalir keluar
secara alami dari mulutku. Begitulah perasaanku terhadap dirinya.
“Aku akan tetap berada di
sisimu. Aku akan menjadi satu-satunya orang yang mencintaimu di dunia ini. Itu
sebabnya, aku akan menghilangkan kutukan itu dari hati dan jiwamu.”
“Ak-Aku ini Penyihir, tau?
Walaupun kamu bisa menyelamatkanku, sedari awal aku tidak boleh diselamatkan! Aku
tidak pantas mendapatkannya! Penyihir seperti diriku tidak berhak untuk merasa bahagia!”
Dia hanya berbicara
berputar-putar sekarang dan matanya tampak lebih murung dari sebelumnya. Itu
mulai membuatku jengkel. Jadi, aku berteriak padanya untuk membuatnya diam.
“Tutup mulutmu! Apanya yang penyihir?
Siapa yang tidak berhak untuk bahagia? Itu semua sudah menjadi masa lalu, dasar
bodoh!”
Dia tersentak ketika
mendengarku berteriak. Berkat itu, tatapan matanya mulai mendapatkan kembali
kejernihannya.
“Ta-Tapi ...”
“Pokoknya, tidak ada orang yang
melarangmu untuk tidak bahagia. Aku takkan membiarkanmu tidak bahagia.”
“H-Haahhh?!”
“Berbahagialah. Aku akan
membuatmu bahagia, aku berjanji kepadamu.”
Aku menarik badannya untuk
lebih dekat padaku, lalu memeluk tubuhnya yang kecil dan tampak lemah di
lenganku.
“Dengarkan baik-baik, kamu
bukanlah orang yang berdosa lagi. Kamu adalah orang baru, kamu tidak memikul
dosa dari kehidupan sebelumnya. Setiap orang yang mengenalmu dalam kehidupan ini
menyukaimu. Sial, bahkan diriku, orang yang mengenalmu dari kehidupan
sebelumnya, masih menyukaimu. Kamu disukai oleh semua orang. Kamu tidak
sendirian lagi. Bahkan orang-orang dari dunia sebelumnya akan menyukaimu jika
mereka tahu kebenarannya tentang dirimu. Kamu hanyalah seorang korban, bukan
penjahat. Jadi, berhentilah mencoba menyalahkan semuanya pada dirimu sendiri.
Memangnya kamu pikir kamu itu siapa? Kamu itu cuma seorang gadis normal!”
“!!”
Aku menekan wajahnya ke dadaku
sehingga dia takkan bisa mengatakan apa pun untuk membantah ucapanku.
Aroma yang lembut dan harum
menggelitik lubang hidungku, mengingatkanku pada fakta bahwa orang yang kudekap
sekarang adalah seorang gadis.
Tapi itu tidak masalah dalam
situasi saat ini.
“Aku akan menyelamatkanmu! Aku
akan membuatmu bahagia! Oleh karena itu, jadilah temanku dan biarkan dirimu
diselamatkan olehku! Aku ini pahlawan yang pernah menyelamatkan dunia lain, tau?
Aku cukup dapat diandalkan untuk menyelamatkanmu. Jadi, kamu bisa
mengandalkanku. Jangan pendam semuanya untuk dirimu sendiri. Bicaralah denganku
jika kamu membutuhkan bantuan. Untuk itulah gunanya teman, setidaknya itulah
yang dikatakan Hina.”
Aku harus menceritakan segala
sesuatu yang ingin kukatakan padanya.
Tak peduli seberapa
memalukannya kalimat itu.
“Terlebih lagi, jika kamu menjadi temanku ... aku bisa menjadi satu-satunya pahlawanmu.”
Sebelumnya
|| Daftar isi || Selanjutnya