Eiyuu to Majo Jilid 1 Bab 4 Bagian 1

Bab 4 — Walaupun Seluruh Dunia Menjadi Musuhmu

Bagian 1

 

Hari Senin, hari di mana minggu baru dimulai.

Begitu pula dengan masa ujian akhir yang diadakan selama 3 hari.

Selama periode ini, semua aktivitas klub dihentikan karena semua orang harus berkonsentrasi penuh pada ujian. Yah, itulah yang seharusnya terjadi. Tapi pada kenyataannya, berkat penangguhan aktivitas klub, semua orang jadi punya banyak waktu luang untuk bermain-main.

“Fiuh…”

Aku menghela nafas lelah. Entah kenapa aku merasa tidak begitu enak badan.

Ada perasaan samar yang tak terlukiskan memenuhi dadaku.

Shinji yang sedang berjalan di sampingku, menyadari hal ini dan bertanya,

“Ada apa, Godou? Kamu gagal ujian?”

“Kamu, dari semua orang, menanyakan itu padaku?”

“Haha, kamu ini bicara apa? Tentu saja aku bakalan berhasil dengan gampang!”

“Yah, itu jawaban yang mengejutkan…”

Yuuka akan tercengang jika dia mendengarnya.

Ia mengangkat bahu sebelum melanjutkan.

“Yah, selain matematika, itu. Aku yakin kalau aku pasti mendapat nilai jelek. Sial, itu bahkan takkan mendekati nilai KKM.”

“Aku mengerti perasaanmu. Dalam kasusku, ujian fisikaku tampaknya juga mengerikan… ”

Mata pelajaran ujian untuk hari pertama adalah matematika, fisika dan bahasa jepang modern.

Sejujurnya, aku sendiri merasa ragu kalau aku bisa mendapat nilai di bawah KKM untuk salah satu mata pelajaran itu meski aku hampir tidak belajar, tetapi justru karena alasan itulah aku ragu bahwa aku akan mendapatkan nilai yang lebih tinggi dari rata-rata.

“Jadi, mengapa kamu menghela nafas?”

Shinji berhenti berjalan dan berbalik menghadapku.

“Biar kutebak. Apa itu ada hubungannya dengan Shiina Mai?”

“…”

“Tepat sasaran, ya.”

Sebenarnya, aku bahkan tidak yakin apakah aku merasa bermasalah karena dia atau bukan.

Ya, mungkin aku sedikit mengkhawatirkannya, tapi, aku sendiri tidak tahu…

'…Kamu ini bicara apa? Tentu saja tubuhku hancur. Bukannya itu sudah jelas?’

Aku tiba-tiba teringat ucapan si penyihir.

Fakta bahwa tubuhnya perlahan-lahan hancur.

Tapi, aku tidak berpikir kalau itulah yang menjadi penyebab dari perasaan tak terlukiskan ini.

Maksudku, aku tidak punya alasan untuk mengkhawatirkan si penyihir lagi. Aku bukan lagi seorang pahlawan dan tidak memiliki kewajiban untuk memedulikan siapa pun yang bukan temanku, terlebih lagi si penyihir merupakan mantan musuh bebuyutanku.

Jadi, secara logis, si penyihir tidak ada hubungannya dengan perasaan tak terlukiskan yang kurasakan ini.

Selagi aku mencoba meyakinkan diriku akan hal itu, Shinji bergumam,

“Yah, bagaimanapun juga, baik Yuuka maupun aku tidak bisa melakukan sesuatu tentang dia.”

“Apa maksudmu?”

“Dia sepertinya menderita sesuatu. Dia sepertinya hampir bunuh diri, tau? Meski itu cuma perasaanku saja, sih. Aku tidak tahu mengapa dia melakukan itu.”

Setelah mendengar kata-kata itu, kepalaku menjadi kosong.

“Ngomong-ngomong, bukan hanya aku satu-satunya yang menyadarinya.”

Shinji terus melanjutkan,

“Itulah alasan mengapa Yuuka mengadakan kelompok belajar itu sejak awal. Awalnya, kami mengira dia seperti itu karena beberapa masalah di sekolah sebelumnya, tapi sepertinya tebakan kami salah.”

“Shinji…”

“Kamu tahu penyebabnya, iya ‘kan?”

Kemudian, Ia melanjutkan kata-katanya dengan nada meremehkan.

“Tidak banyak yang bisa dilakukan orang asing seperti kita padanya, tau? Kita tidak bisa membuatnya membuka hatinya untuk kita.”

Setelah itu, Ia berhenti mengatakan apapun.

Sebelum aku menyadarinya, kami telah tiba di tempat parkiran.

Atap tempat parkir menghalangi sinar matahari, jadi areanya relatif lebih sejuk tapi, entah kenapa, itu tidak menghentikan keringatku mengalir di pipiku.

“Um... Shiraishi... kun?”

Ada suara familiar memanggilku dari belakang.

Aku berbalik dan melihat si penyihir berdiri di sana. Dia mungkin memanggilku 'Shiraishi-kun' karena Shinji bersamaku.

Kalau dipikir-pikir, hari ini adalah hari perawatannya.

“Baiklah, sampai jumpa besok. Jangan bermalas-malasan dan belajarlah dengan benar, oke?”

“… Ya, sampai jumpa.”

Membaca suasana halus antara aku dan si penyihir, Shinji dengan cepat mengucapkan selamat tinggal, mengendarai sepedanya dan pergi.

Angin hangat membelai pipiku dengan lembut.

Aku menoleh untuk melihat si penyihir menatapku.

“…”

Keheningan menyelimuti sekeliling kami. Berkat pertengkaran kami kemarin, ada suasana canggung di antara kami.

Aku bisa saja tetap menutup mulutku tapi, jika kita terus membuang-buang waktu di sini, kita takkan menyelesaikan urusan kita untuk hari ini.

“…Ayo pergi.”

Saat aku mendesaknya, dia mengangguk dan berjalan di belakangku.

“?”

Tapi, ada yang aneh dengan caranya berjalan.

Dia terlihat tertatih-tatih.

Bahkan jika bukan aku yang melihatnya, jika orang itu cukup perhatian, mereka akan menyadarinya.

Tidak peduli bagaimana aku melihatnya, draut wajahnya terlihat tidak sehat. Jelas sekali kalau dia berusaha keras untuk menahan rasa sakit.

Beberapa hari yang lalu, kondisinya bahkan tidak mendekati yang sekarang. Aku tidak bisa bilang kalau dia tidak sehat kecuali aku mencoba mengamatinya sedikit lebih dekat. Namun, kondisinya berubah menjadi parah seperti ini dalam semalam. Apa yang terjadi dengannya?

“… Oi, ada apa?”

Aku meminjamkan bahunya, lalu aku menyadari sesuatu.

Bagaimana jika dia tidak menjadi seperti ini dalam semalam? Bagaimana jika kondisinya awalnya memang seburuk ini dan dia hanya menyembunyikannya dengan sangat baik sehingga aku tidak menyadarinya?

Saat memikirkan itu, semuanya menjadi masuk akal.

“Apa maksudmu?”

Dia bertanya balik. Dia tahu apa yang aku bicarakan, namun dia tetap bertindak seperti ini.

“Jangan berpura-pura melulu! Mau dilihat bagaimanapun juga, kamu—”

“Memangnya apa pedulimu? Ini tak ada kaitannya denganmu.”

Ketika dia mengatakan itu, aku tidak dapat menemukan kalimat yang pas untuk membantahnya.

Bagaimanapun juga, kami hanya bekerja sama karena kami memiliki tujuan yang sama. Bukannya kami berteman atau semacamnya.

Aku tidak punya alasan untuk peduli dengan urusan pribadinya.

Ya. Aku tidak punya alasan sama sekali.

“… Tidak, itu masih ada hubungannya denganku. Jika kondisimu disebabkan oleh kutukan, maka aku berhak mengetahuinya. Lagipula ini berkaitan dengan perawatanmu.”

Setelah ragu-ragu, aku berhasil menemukan alasan itu.

Sejujurnya, aku bahkan tidak yakin apa aku bisa meyakinkannya dengan itu atau tidak, tapi aku tetap memutuskan untuk melakukannya.

“… Kurasa kata-katamu masuk akal. Tapi tetap saja, itu tidak ada hubungannya dengan perawatan. Sudah kubilang tempo hari bahwa tubuhku semakin lama semakin hancur, bukan? Hanya itu saja.”

Setelah itu, dia tidak mengatakan apa-apa lagi.

Kami berjalan sepanjang jalan ke rumahnya tanpa berkata apa-apa satu sama lain.

Aku juga tidak bisa mengatakan apapun padanya.

Hanya rentetan pertanyaan, ‘apa ini beneran baik-baik saja?’, terus bergema di kepalaku.

 

◇◇◇◇

[Sudut Pandang Cerys]

 

Kupikir…

Orang itu selalu saja seperti itu. Ia selalu bertindak layaknya seorang pahlawan.

Bagi orang lain, orang itu, Grey Handlet, selalu menjadi pahlawan dan tidak lebih.

Ia terus memberitahuku kalau dirinya masih belum membantuku, tapi di sinilah dirinya, membantuku tanpa membuat keributan.

Bahkan pada saat itu, keputusannya untuk tidak membantuku sebenarnya adalah caranya membantuku.

Walaupun Ia masih tidak menyadarinya.

Namun tindakan itu menjadi pembenaran bagi gereja untuk mengeksekusinya.

Tindakan itu menyebabkan seluruh dunia menghakiminya sebagai pendosa yang sudah bersengkongkol dengan si penyihir.

“… Serius, sungguh pahlawan yang bodoh.”

Mencoba membantu musuh dunia jelas merupakan hal yang bodoh untuk dilakukan.

Ia terlalu mendalami perannya dan akhirnya membayar harganya dengan nyawanya.

Aku bisa saja meledeknya kalau dirinya pantas mendapatkannya. Kalau saja Ia tidak memaksakan diri untuk membantuku, semua ini takkan terjadi. Selain itu, aku tidak pernah menginginkan bantuannya sejak awal. Itu sebabnya, tidak ada alasan bagiku untuk meratapi kematiannya.

Memang tidak ada alasan sama sekali.

Daripada meratapinya, aku harus menyinyirinya karena kebodohannya sendiri.

Akan tetapi, aku mendapati diriku menangis.

Aku bahkan tidak tahu kenapa aku menangis.

Aku dikejar oleh para pasukan elit gereja dan aku mengetahui kematian Grey melalui mereka. Dan aku tahu bahwa mereka tidak berbohong.

Bagaimanapun juga, mereka adalah rekan-rekannya, para eksorsisme yang diciptakan melalui  'Proyek Penciptaan Pahlawan'. Bagi mereka, Gray adalah orang yang mereka harapkan, pahlawan mereka.

Itulah sbebanya kenapa aku tahu mereka tidak berbohong.

Meskipun aku tidak punya alasan untuk peduli, berita kematiannya membuatku bingung.

Dan mereka menggunakan kesempatan itu untuk mendaratkan luka yang mematikan. Aku menyadari bahwa aku tidak akan dapat bertahan saat itu.

Jadi, dengan kekuatan terakhirku, aku mereinkarnasi diriku dan sang pahlawan ke dunia lain.

Aku menghancurkan mayat pahlawan tanpa kepala dan mengubahnya menjadi genangan darah sebelum mati di sebelahnya.

Rasanya sungguh mengerikan.

Padahal pria ini merupakan orang yang terus menggangguku sampai akhir.

Hingga akhir hayatnya, Ia terus mengabaikan keinginanku dan melakukan apapun seenaknya.

Tapi, aku tidak ingin orang bodoh ini berakhir seperti ini.

Jadi aku berdoa supaya dirinya tidak dibebani kewajiban sebagai pahlawan lagi di kehidupan selanjutnya dan bisa hidup bahagia hingga hari kematiannya lagi.

Tentu saja, salah satu alasan mengapa aku memilih untuk bereinkarnasi di dunia lain adalah untuk mencegah kutukanku menjadi kacau di dunia lain. Tapi, alasan utama mengapa aku melakukannya ialah karena aku tidak bisa membiarkan Grey mati seperti ini.

Namun, saat kami akhirnya bisa bertemu lagi, si bodoh itu masih bertingkah seolah-olah Ia adalah seorang pahlawan. Bahkan di dunia yang tidak membutuhkan keberadaan pahlawan, Ia tetap berusaha sekuat tenaga untuk menjangkau orang-orang yang membutuhkan.

Walaupun dirinya tidak dapat menemukan siapa pun untuk dihubungi, Ia akan berusaha sekuat tenaga untuk mencari mereka.

“… Jika ini terus berlanjut, kamu takkan bisa menemukan kebahagiaanmu sendiri, tau?”

Ia masih seorang pria bodoh, bukannya mencari kebahagiaannya sendiri, Ia justru terus membuat dirinya tidak bahagia karena suatu alasan.

Itu sebabnya aku bersumpah. Kali ini pasti, aku akan membuatnya bahagia.

Namun, aku tidak bisa hidup di dunia ini tanpa bantuannya.

Demi menutupi fakta itu, aku membuat alasan padanya. Aku memaksanya untuk membantuku karena Ia tidak mampu membunuhku di dunia lain. Karena perbuatannya, aku berubah menjadi seperti ini. Karena secara teknis memang benar, alasan itu bisa bekerja dengan sempurna.

Padahal, aku tidak mengharapkan lebih dari itu darinya. Masalah tubuhku yang hancur berada di luar jangkauan kerja sama kami.

Kehancuran jiwaku ini benar-benar tidak ada hubungannya dengan kutukan. Aku sudah menduga hal itu akan terjadi sejak awal karena tubuh ini berbeda dari tubuhku sebelumnya. Tubuhku sebelumnya memiliki ketahanan yang sangat tinggi terhadap kutukan, sementara tubuh ini tidak memiliki kemampuan semacam itu.

Di dunia itu,walaupun aku melemparkan kutukan yang mengerikan  ke dunia, aku tidak bisa merasakan sakit apapun dari efek samping kutukan .

Rasa sakit ini merupakan sesuatu yang seharusnya kurasakan sejak awal. Itu adalah hukuman yang pantas aku terima.

Rasa sakit yang harus aku tanggung… Aku bahkan tidak bisa menggambarkannya dengan kata-kata. Sejak aku masih kecil, ketika ingatan mengenai kehidupanku sebelumnya belum terbangun, aku harus mengatasi rasa sakit ini. Kesadaranku selalu kabur. Aku terus-menerus dirawat di rumah sakit karena penyebab yang tidak diketahui sampai-sampai orang tuaku selalu mengkhawatirkanku. Hidup dalam rasa sakit yang terus-menerus, bahkan sebelum aku tahu apa itu rasa sakit, menjadi kehidupan baruku sehari-hari.

Kemudian, aku memimpikan kehidupanku yang dulu. Lambat laun, aku mengingat segala sesuatu tentang kehidupanku sebelumnya.

Pada awalnya, aku mengira kenangan itu hanyalah sebatas mimpi buruk.

Siapa yang menyangka bahwa akulah 'karakter utama' dari mimpi itu.

Tapi, seiring bertambahnya usia, aku terpaksa harus mempercayainya. Ketika ingatan tentang sihir dan ilmu ghaib yang telah kupelajari kembali kepadaku, aku merapalkannya ke tubuhku untuk sedikit mengurangi rasa sakit yang kurasakan.

Kemudian, pada saat aku menginjak kelas 3 SMP, aku akhirnya mengingat segalanya tentang kehidupanku sebelumnya dan yang terpenting, tentang sang pahlawan. Jadi, aku menggunakan sihirku untuk mencarinya.

... Pada saat itu, aku sangat tidak sabaran.

Karena kemampuan ketahananku di kehidupan sebelumnya, aku meremehkan kekuatan kutukan.

Aku menyadari bahwa jika aku tidak melakukan apa-apa, kutukan tersebut akan menghancurkan hatiku. Meskipun hasil itu sendiri bukan masalah besar karena itulah yang pantas aku dapatkan, tapi dunia ini akan mengalami dampaknya jika itu benar-benar terjadi. Itulah sebabnya aku memutuskan untuk mencarinya sehingga Ia dapat sepenuhnya menghilangkan kutukan di jiwaku.

Jadi, aku pindah ke sekolahnya.

Aku harus mengambil tindakan drastis karena aku sudah mencapai batasku.

Lambat laun, seiring berjalannya tahun, kutukan itu mulai mengikis lebih banyak bagian dari jiwaku.

Ketika efek erosi itu semakin parah, rasa sakit  yang kurasakan menjadi lebih sulit untuk ditahan.

Sampai-sampai sulit untuk menyembunyikannya. Bahkan Gray sampai bisa menyadari kondisiku.

Namun demikian, selama aku dapat menerima perawatannya sesekali, itu akan sedikit mengurangi rasa sakitnya.

Aku bisa mengandalkannya untuk bertahan hidup untuk saat ini.

Sejujurnya, aku sudah tidak kuat lagi, tapi aku tidak terlalu peduli jika ada yang mengetahui tentang kondisiku. Lagipula aku akan segera mati, jadi itu semua tidak terlalu penting. Selama Gray bisa hidup bahagia di dunia ini, aku tidak peduli dengan hal lain.

Aku adalah si Penyihir Malapetaka, seseorang yang menjerumuskan dunia ke dalam bencana.

Sudah menjadi takdir penyihir untuk tidak bahagia, hanya itu saja.

Dibandingkan dengan diriku…

Gray adalah pahlawan yang sudah menyelamatkan dunia.

Itu sudah menjadi takdirnya untuk bahagia.

Demi seseorang yang bekerja paling keras untuk menyelamatkan dunia namun tidak dihargai, aku tidak bisa membiarkan hal itu terjadi.

Jadi, aku pasti akan membuatnya bahagia.

Jika peran pahlawan membuatnya tidak bahagia, maka aku akan membebaskannya dari peran itu.

Aku bersumpah untuk membuatnya bahagia.

Itu sebabnya.

Aku tidak bisa membiarkannya membantuku.

 

◇◇◇◇

 

“Sakit sekali…”

Aku menggumamkan kata-kata itu tanpa sadar.

Apa boleh aku mengeluh saat sendirian seperti ini?

Bahkan sekarang, rasa sakit dari kutukan itu menyiksa jiwaku. Bangun dari tempat tidurku saja sudah sangat menyulitkan. Untungnya, ini kamarku sendiri dan tidak ada orang lain. Aku tidak perlu berpura-pura. Aku bisa berbaring sepanjang hari jika aku mau.

“Rasanya menyakitkan…”

Aku masih bisa mengingat wajahnya ketika memarahinya dengan kasar beberapa hari yang lalu.

Sejujurnya, aku tidak punya hak untuk memarahinya seperti itu. Ia bisa saja mendorongku pergi dan menampar wajahku jika Ia mau dan aku takkan mengeluh. Tapi, Ia malah mendengarkanku dengan baik. Walaupun tidak ada yang akan menyalahkannya jika Ia mengabaikanku, Ia tetap mendengarkan ceritaku.

Semua orang di dunia itu menyebut ceritaku hanyalah omong kosong belaka. Aku bisa mengerti itu, karena itulah hal yang benar untuk dilakukan. Lagipula aku tidak menginginkan simpati siapa pun. Bagiku, kata-kata hanyalah bentuk senjata lain untuk menjatuhkan lawanku, tidak ada yang lebih dari itu.

Namun, berkat pria itu, aku menemukan kegembiraan berbicara dengan orang lain.

Dialah satu-satunya orang yang akan mendengarkanku dengan sungguh-sungguh.

“Rasanya menyedihkan…”

Di dunia ini, Hanya dirinya satu-satunya orang yang mengetahui identitasku sebagai penyihir.

Itu sebabnya ada orang yang maju dan berbicara denganku. Itu membuatku bahagia. Tapi, pada saat yang sama, itu membuatku merasa bersalah. Bagaimanapun juga, aku adalah seseorang yang menjerumuskan dunia ke dalam bencana. Aku tidak punya hak untuk berbicara dengan orang-orang baik itu. Sejak awal, aku bukanlah makhluk yang seharusnya hidup.

Aku menyadari bahwa aku takut dibenci.

Bagaimana jika mereka mencari tahu tentang identitasku yang sebenarnya?

Sebagai makhluk yang harus dibenci.

“Rasanya menyakitkan…”

Aku tahu bahwa aku pantas mendapatkannya, hidup dalam rasa sakit seperti ini.

Lagipula, aku adalah seseorang yang harus dibenci, si penyihir.

Itu sebabnya.

Aku tidak bisa meminta bantuan, walaupun aku sangat memerlukan uluran tangan orang lain.

 

◇◇◇◇

 

“…Kamu tahu…”

Pada hari kedua masa ujian. Aku mengerjakan ujian hari ini dengan lebih baik dibandingkan dengan ujian kemarin.

Waktu saat ini sudah menunjukkan pukul 1 siang.

Karena sedang masa ujian, kami hanya perlu bersekolah selama tiga jam. Saat ini aku sedang dalam perjalanan pulang.

Sebenarnya tidak, aku seharusnya sedang dalam perjalanan pulang, tapi entah kenapa, aku berada di dalam pusat perbelanjaan di dekat area sekolah.

Sebelum kalian berasumsi yang aneh-anh, tidak, aku tidak datang ke sini atas kemauan aku sendiri.

“Bukannya kamu harus belajar?”

Aku bertanya kepada Hina yang berjalan di depanku. Begitu mendengar pertanyaan tersebut, dia berbalik menghadapku.

Dia meletakkan tangannya di belakang punggungnya sambil tersenyum.

“Aku akan belajar dengan baik saat aku tiba di rumah~”

“Baiklah, jadi untuk apa kita di sini?”

“Tentu saja untuk makan siang. Belajar memang penting, tapi istirahat juga sama pentingnya. Karena sekolah selesai lebih cepat, kita harus memanfaatkan waktu sebaik-baiknya!”

Dia kemudian berlarian di jalan-jalan yang dipenuhi restoran.

“Kamu membawaku ke sini hanya untuk alasan itu?”

“…Kenapa emangnya? Kamu punya masalah dengan itu? Rasanya sangat kesepian untuk pergi ke sini sendirian, tau?”

Dia mengalihkan pandangannya sedikit saat cemberut. Pipinya tampak sedikit memerah.

“Jika kamu terlalu santai, kamu akan berakhir seperti Shinji, tahu?”

“Shinji siapa?”

“Uwahhh, itu sih kejam sekali…”

“Ngomong-ngomong, kenapa kamu mengkhawatirkanku? Aku mendapat nilai yang jauh lebih baik darimu. Mending pikirkan dirimu sendiri dulu.”

“Maksudku, ya, tapi… Sejujurnya, kurasa aku takkan mendapat nilai jelek meskipun aku beleha-leha sedikit.”

“Nah, iya ‘kan~?”

Anehnya dia dalam suasana hati yang baik, kira-kira apa yang sedang terjadi padanya?

Apa dia melakukannya dengan baik dalam ujian atau semacamnya?

“Kamu ingin makan apa?”

“Omurice.”

“Tentu saja, apa yang aku harapkan darimu?”

“Ada restoran bergaya barat di sana.”

“Aku tidak ingin pergi ke sana.”

“Kenapa?”

“Aku mau ramen!”

“Lalu, mengapa kamu bertanya padaku ingin memakan apa?”

“Jadi aku tahu apa yang harus kubuat untukmu nanti.”

“Ah, benarkah? Aku akan menantikannya, kalau begitu.”

“… Ya, silakan nantikan itu, tapi bisakah kamu mundur sedikit? Orang-orang akan berpikir kalau kita ini orang pacaran, tau.”

Kata Hina dengan berbisik sebelum dia memalingkan muka.

“Apa masalahnya dengan itu?”

Ketika aku menanyakan pertanyaan itu, wajah Hina memerah saat dia berhenti berjalan.

“… Kamu tuh emang tidak terlalu peduli tentang apa yang orang lain pikirkan tentangmu, ya?”

Maksudku, aku pernah menjadi pahlawan di kehidupanku sebelumnya. Orang-orang menganggap banyak hal tentangku saat itu, jadi aku sudah cukup terbiasa sekarang.

“…Hina?”

Hina berpura-pura berdehem. Dia kemudian memarahiku untuk beberapa alasan.

“Kamu harus lebih memperhatikan bagaimana orang berpikir tentangmu. Itu sebabnya kamu tidak pernah memperhatikan mengenai apa yang aku atau orang lain pikirkan tentangmu.”

Yah, kurasa apa yang dia katakan ada benarnya juga. Aku dieksekusi oleh gereja karena aku tidak memperhatikan apa yang mereka pikirkan tentangku saat itu. Padahal, aku tidak menyesalinya karena aku melakukan tugasku sebagai pahlawan dengan baik sebelum aku mati.

Sambil memikirkan ini, aku mengikuti Hina memasuki toko ramen tertentu.

Aku duduk di sampingnya di depan konter dan memesan ramen tonkotsu ukuran besar. Mereka hanya menjual tonkotsu di sini dan Hina juga mengetahuinya karena kami sering datang ke sini ketika kami masih muda karena harga di sini sangat murah bagi pelajar seperti kami dan rasa makanannya juga enak. Aku tidak datang sesering saat ini. Sebagian besar karena aku sibuk.

Kami menyeruput ramen kami tanpa memedulikan area sekitar kami.

Bahkan dengan keringat yang menetes dari dahi, kami menikmati perasaan bahagia sesaat ini.

“Fiuh~ kenyang banget~.”

Aku bergumam sambil menepuk-nepuk perutku. Aku menyadari bahwa Hina sedang menatapku.

Tatapan matanya terlihat serius.

“Jadi…”

Dia mengguncang gelas di tangannya saat bertanya.

“Apa yang mengganggumu belakangan ini?”

“… Kamu menyadarinya?”

“Tentu saja. Memangnya kamu pikir aku ini siapa? Aku itu teman masa kecilmu.”

Dia mendengus dan menyilangkan tangannya. Sikap sombongnya tampak menggemaskan.

Serius, aku tidak bisa mengalahkan gadis ini. Dia mungkin lebih mengetahui diriku ketimbang diriku sendiri.

“Kamu tahu…”

Itu sebabnya, tidak masalah untuk menanyakan ini padanya.

“Ya?”

“Ada sesuatu yang tidak kupahami…”

Dia mendengarkanku dalam diam. Setelah itu, aku berpikir tentang si penyihir.

“… Ada satu orang yang kubenci. Musuh bebuyutanku.”

Pandangan matanya membelalak saat aku mengatakan itu.

“Nah, itu sih tumben sekali. Kupikir kamu menyukai semua orang.”

“Orang itu adalah kasus khusus.”

Sejujurnya, bahkan aku sendiri merasa aneh.

“Aku benci orang itu. Aku tidak ingin terlibat dengannya. Seperti yang sudah kubilang, kami adalah musuh, kami tidak rukun. Kami terkadang bekerja sama, tapi bahkan selama itu, kami akan saling menghina satu sama lain.”

Begitulah hubungan kami berjalan.

“… Terhadap seseorang seperti itu, seharusnya tidak ada alasan untuk bersimpati dengannya, ‘kan? Selama dia tidak meminta kepadaku, aku seharusnya tidak peduli dengannya, bukan? Maksudku, tidak ada alasan bagiku untuk membantunya…”

“…”

“Tapi…”

Aku…

“Kenapa aku…”

Sementara aku menatap tanganku sendiri, Hina mengajukan pertanyaan kepadaku.

“Jadi, kamu ingin membantu orang itu…”

“…”

“Tapi, kamu tidak tahu apakah perasaan itu datang dari dalam hatimu sendiri atau bukan, apa aku benar?”

"…Ya."

Aku tidak tahu kenapa.

Tapi aku sudah kesulitan dengan perasaan ini. Aku tidak tahu dari mana perasaan ini berasal. Apa itu karena obsesiku? Atau perasaanku yang sebenarnya?

“…Kamu tahu.”

Hina memegang dahinya dengan tangannya dan mendesah putus asa.

“Kamu itu memang idiot sekali.”

Aku tidak menyangka dia tiba-tiba menghinaku seperti itu.

Ketika aku menatapnya dengan wajah keheranan, dia mengerutkan kening sambil menggosok alisnya.

“Kamu terlihat sangat murung akhir-akhir ini, jadi aku penasaran ada apa denganmu… Tapi ternyata cuma masalah bodoh ini… yah, memangnya apa yang bisa kuharapkan darimu? … Astaga, sungguh, bego sekali.”

Dia menggumamkan kata-kata itu.

“…Hina? Kamu tahu, aku benar-benar lagi bimbang di sini–”

“Dengarkan ini baik-baik, dasar idiot.”

“Berhenti memanggilku idiot terus.”

“Tutup mulutmu dan dengarkan. Sejak awal asumsimu saja sudah salah.”

“Apa maksudmu?”

“Kebencianmu itu. Apanya yang musuh ? Jika kamu benar-benar membenci orang itu, kamu takkan mengkhawatirkannya seperti ini. Kamu berpikir bahwa kamu membencinya, tetapi sebenarnya tidak. Hanya itu saja.”

“Hah?”

“Kamu sangat memedulikan orang itu. Kamu bahkan mungkin menyukai orang itu.”

Aku ingin segera menyangkal kata-katanya.

Tapi mulutku tak mampu mengeluarkan sepatah kata pun. Mungkin, di suatu tempat di dalam lubuk hatiku, aku sudah menyadarinya.

“Kamu ingin membantunya karena kamu menyukainya. Karena perasaan itu, kamu menyadari bahawa saat dia dalam kesulitan, kamu ingin membantunya. Gampang, ‘kan?”

Kenanganku bersama dengan si penyihir terlintas di benakku.

Hampir tidak ada kenangan indah yang kami lalui. Sebagian besar kami hanya bertengkar atau menghina satu sama lain.

Sedari awal, kami adalah musuh. Karena itu masalahnya, aku menolak untuk membantunya dan dia menyatakan dengan jelas bahwa dia membenciku dan memaki-makiku.

Berdasarkan pengetahuan yang kupelajari, aku selalu berasumsi bahwa aku membencinya.

Mustahil untuk tidak membenci musuhmu.

Aku pikir cara berpikir seperti itu adalah yang benar.

Jika dipikir-pikir lagi, aku tidak pernah benar-benar belajar tentang bagaimana caranya menjalin hubungan dengan orang lain.

Ketika aku memikirkan tentang waktu yang kuhabiskan bersama si penyihir.

Aku tidak pernah merasa buruk di dekatnya.

Aku tidak pernah merasa tidak nyaman di dekatnya.

Gurauan konyol kami, pertengkaran bodoh kami … Saat-saat ketika kami melakukannya, terasa sangat menyenangkan.

Pada waktu itu, aku tidak menyadari perasaan ini.

Lagipula, hanya penyihir yang menjadi orang pertama yang memiliki hubungan nyata denganku.

“… Aku tidak membenci orang itu?”

Hanya ketika Hina mengungkapkannya dengan kata-kata untukku, aku bisa menerima perasaanku.

“Ya. Aku tidak tahu siapa orang itu… Tapi kamu sebenarnya menyukai orang itu. Kamu cuma tidak menyadarinya saja.”

Rasanya seperti akal sehatku dibuat terbalik

Apa yang kami bicarakan terasa begitu jelas sehingga memalukan karena aku merasa terganggu karenanya.

“Ketika kamu sangat ingin membantu seseorang meskipun dia menolak bantuanmu, itu berarti kamu menyukai orang itu dan kamu tidak ingin kehilangannya.”

Ucap Hina dengan nada lembut.

“Hal itu juga sama denganku, tau?”

“…Apa maksudmu?”

“Meskipun kamu tidak menginginkan bantuanku, aku tetap di sini untuk membantumu. Kamu adalah seseorang yang kupedulikan. Kita sudah berteman sejak kita masih kecil. Aku selalu mengkhawatirkanmu setiap hari, tau?”

“Teman, ya….?” (TN: MC BEGOOO ITU UDAH NGODEEE JELASS  EDANNN!!)

Teman, sebuah hubungan.

Koneksi.

Sebuah kata yang melambangkan saling mendukung.

Apa yang membuatku enggan berteman dengan si penyihir?

“Begitu ya.”

Kalimat itu keluar dari mulutku tanpa sadar.

Aku melihat ke luar jendela. Langit terlihat sangat cerah.

Aku tahu apa yang harus kulakukan sekarang.

“Maafkan aku, Hina.”

Aku segera berdiri.

Saat aku memeras otak mencari alasan untuk memberitahunya, Hina melambaikan tangannya dengan acuh dan berkata,

“Pergilah. Orang itu sedang menunggumu, bukan?”

Dia benar-benar bisa membaca batinku, ya?

Atau mungkin aku terlalu mudah untuk dimengerti.

Aku meletakkan uang untuk membayar ramen di atas meja dan berlari menuju pintu keluar.

“Kalau begitu, aku pergi dulu.”

“Selamatkanlah orang itu, jagoan.”

“Siap!”

Aku langsung menaiki sepeda dan mengayuhnya ke rumah penyihir.

Mungkin aku tidak benar-benar perlu melakukannya sekarang, tapi…

Aku ingin menyelamatkannya secepat mungkin.

Bagaimanapun juga, aku sudah menemukan alasan yang selama ini aku cari.

Namun…

Padahal itu hal yang sederhana, ta pernah kusangka kalau aku sudah mengabaikannya begitu lama.

Hina benar, aku memang orang yang sangat idiot

Keringat mulai bercucuran di wajahku seperti gelombang yang mengamuk.

Paparan suhu musim panas perlahan merenggut tenagaku.

Tapi, aku tidak berniat memperlambat laju sepedaku.

Aku tidak punya alasan untuk ragu-ragu lagi.

Kali ini, aku pasti akan menyelamatkannya.

 

 

Sebelumnya || Daftar isi || Selanjutnya

 

close

Posting Komentar

Budayakan berkomentar supaya yang ngerjain project-nya tambah semangat

Lebih baru Lebih lama