Bab 7 — Tidak Boleh Terlalu Seksi
“Amane-kun, hari ini aku ada
urusan sesuatu, jadi aku akan pulang secara terpisah kali ini.”
Setelah jam pelajaran di sekolah
berakhir, Amane berencana untuk pulang bersama Mahiru seperti biasa, tapi dia
tiba-tiba memberitahunya begitu.
Biasanya mereka akan pulang
bersama karena unit apartemen mereka bersebelahan. Amane tidak menyangka kalau
Mahiru akan membuat permintaan seperti itu dan akhirnya menatapnya sembari
termenung dalam pikirannya.
Meski ada sesuatu yang harus
dilakukan Mahiru, dia biasanya sering pergi bersama Amane. Karena dia dengan
penuh perhatian tidak mengajaknya kali ini, pasti ada sesuatu yang dia tidak
ingin Amane ketahui.
Menilai dari ekspresinya, Amane
mengerti bahwa itu bukanlah hal yang buruk, jadi Amane sama sekali tidak
khawatir.
Waktu malam selama musim panas
tiba terlambat. Selama Mahiru tidak membutuhkan waktu terlalu lama untuk
menyelesaikan urusannya, itu sama sekali tidak masalah, tapi Amane masih merasa
sedih karena tidak bisa menemaninya.
“Yah, baiklah, sampai jumpa
nanti.”
Amane tahu bahwa Mahiru masih
akan menghabiskan waktu bersamanya di rumah, jadi Ia menghormati keinginan
Mahiru.
Ekspresi Mahiru terlihat santai
sekarang setelah Amane menerimanya. Tapi kemudian seakan-akan baru menyadari
sesuatu, ekspresi wajahnya langsung berubah khawatir.
“…Tolong jangan pulang bersama
gadis lain.”
“Emangnya aku terlihat seperti
tipe orang yang melakukan hal seperti itu?”
“Kurasa tidak, tapi mungkin saja
ada gadis yang akan mendekati Amane-kun sendiri… kemungkinan itu bukan mustahil,
jadi aku tidak menyukainya. Apalagi ada beberapa gadis beberapa waktu lalu yang
meminta untuk berbicara denganmu…”
Amane tetap diam sambil
mendengar ocehan Mahiru.
(...A-Apa
dia cemburu?)
Siapa pun yang melihat sikap Amane
terhadap Mahiru pasti akan merasa mustahil bisa mengajaknya jalan-jalan selagi
tidak ada Mahiru, tapi dia masih terlihat sangat khawatir.
Terlebih lagi, gadis-gadis yang
meminta untuk berbicara dengannya sebelumnya mendukung hubungan mereka, dan
hanya ingin memberikan ucapan selamat serta menghibur mereka. Tidak ada yang
perlu dikhawatirkan.
Mahiru terlihat sedikit tidak
nyaman ketika menatap Amane dengan cemas. Amane yang menganggap kalau ekspresi
cemasnya itu terlalu lucu, memiliki keinginan mengelus-ngelus kepalanya untuk
menghiburnya. Tapi, karena di sekeliling mereka masih ada banyak orang, Ia
mengabaikan pada gagasan itu.
Terakhir kali Ia melakukan hal
seperti itu, ada banyak korban yang berjatuhan karena terpukau oleh senyuman
Mahiru. Amane mencoba berhati-hati untuk tidak mengulangi kesalahan yang sama.
“Jangan cemas, hatiku hanya
untukmu. Aku takkan menerima ajakan orang lain. Paling banter sih cuma Chitose yang
menyeretku ke suatu tempat.”
“…Kalau itu tidak masalah.”
Chitose tampaknya berada dalam
ruang lingkup yang diizinkan. Lagi pula, dia adalah pacarnya Itsuki, jadi dia
takkan memandang Amane seperti itu.
Seteah mendengar Amane
mengatakan ini, ekspresi Mahiru terlihat santai lagi dan menatapnya, kali ini dia
memasang ekspresi malu-malu di wajahnya.
“Selain itu, akan buruk jika
kamu salah paham denganku, jadi aku akan memberitahumu kemana aku pergi.”
“Kamu tidak mau
merahasiakannya?”
“…Uh huh.”
Meskipun dia bilang itu bukan
rahasia, Amane bisa merasakan keraguannya. Namun, sepertinya dia masih ingin
memberitahunya jadi Amane tetap menunggu dengan sabar.
“Se-Sebenarnya … aku mau
berbelanja.”
“Benarkah? Lalu kenapa kamu
terlihat malu-malu begitu?”
“It-Itu sih… aku dan
Chitose-san ... berencana membeli baju renang.”
“Baju renang?”
Memang, pada Juli kebanyakan
mall sudah mulai menjual baju renang.
Ada area khusus baju renang di
mal yang sering dikunjungi Amane. Ia masih mengingat dengan jelas bahwa beberapa
gadis di kelasnya sedang berbincang-bincang akan membeli beberapa baju renang
di sana.
Namun, Amane tidak pernah
menyangka kalau Mahiru akan membeli baju renangnya sendiri.
Lagipula, Mahiru tidak tahu
bagaimana caranya berenang.
Dia pernah memberitahu Amane bahwa
karena dia tidak ingin berenang, jadi dia memilih sekolah yang tidak menjadikan
pelajaran renang sebagai mata pelajaran wajib.
Meski demikian, Mahiru tetap
ingin membeli baju renang yang baru.
“… Apa kamu tidak ingin pergi
ke kolam renang bersama…?”
Pundak Mahiru gemetaran dan
menyusut malu-malu. Amane membeku saat mendengarnya, lalu menutupi wajahnya.
(...Jangan
mengatakannya dengan ekspresi imut begitu)
Teman sekelas yang masih berasa
di kelas semuanya melihat ke sisi Amane.
Dari tatapan lembut hingga
senyuman hangat, berbagai ekspresi terhadap Amane membuatnya merasa malu dan
tersipu. Jantung Amane berdegup kencang saat melihat ekspresi malu-malu Mahiru
yang begitu imut, dan karena Ia ditatap dalam atmosfer ini, Amane ingin
menggali lubang untuk dirinya sendiri dan merangkak masuk ke dalamnya.
“…Te-Tentu saja mau. Kalau
begitu … kamu boleh pergi.”
“Ba-Baiklah, lalu … bagusnya baju
renang jenis apa?”
“Jenis baju renang yang tidak
berbahaya.”
Amane langsung menjawab
seketika.
Dengan proporsi badan seperti
Mahiru, tidak peduli baju renang jenis apa yang dia kenakan, dia akan terlihat mempesona.
Tapi sebaiknya dia harus memilih baju renang yang tidak terlalu banyak
memperlihatkan kulitnya.
Lagi pula, Amane sudah
berpacaran dengan Mahiru selama beberapa minggu, dan Ia sendiri masih jarang
melihat kulit Mahiru yang terbuka.
Di sekolah, Mahiru mengenakan
seragam dengan rapi dan menutup semua bagian badannya sesuai aturan sekolah.
Berpakaian terlalu ketat sering membuat orang khawatir jika dia kepanasan.
Sedangkan kalau di rumahnya,
Mahiru selalu mengenakan baju yang menutupi area lehernya, dan sebagian besar
rok yang dia kenakannya terlihat panjang. Saat mengenakan celana pendek, ia
juga mengenakan pantyhose atau legging.
Dengan kata lain, Amane hampir
tidak pernah melihat kulit tubuh Mahiru. Lagi pula, tidak ada kesempatan untuk
bisa melihatnya.
Dalam situasi tersebut, jika
Mahiru memilih baju renang yang terlalu seksi, Amane pasti akan pingsan.
Begitu mendengar Amane mengatakannya
dengan tegas, pada awalnya tatapan mata Mahiru melebar, tapi kemudian dia
tersenyum lembut.
“Itu memang sifat Amane-kun
banget.”
“Aku akan mati. Baju renang
yang terlalu mencolok itu tidak terlalu bagus.”
“Hmph, kira-kira gimana ya~?”
“Mahiru…”
“Aku akan membicarakannya
dengan Chitose-san dan memilih salah satu yang akan membuat Amane-kun paling
bahagia.”
Melihat Mahiru yang
mengatakannya dengan malu-malu tapi juga menggodanya, Amane mengerutkan
bibirnya.
(Aku
perlu mengirim pesan ke Chitose, mungkin leibh baik kalau aku memperingatinya
supaya tidak merekomendasikannya baju renang yang terlalu ekstrim)
Masalah ini bukan hanya masalah
hidup dan mati bagi Amane; Ia juga perlu menghentikan tindakan aneh Chitose di
masa depan.
Chitose sepertinya bersama dengan
beberapa temannya dari kelas lain, jadi dia sedang tidak ada di kelas. Amane
memutuskan untuk mengiriminya pesan, lalu menyolek pipi Mahiru yang sepertinya
sedang merencanakan kejahilan.
◇◇◇◇
Pada akhirnya, Mahiru tetap
tidak memberitahu Amane baju renang jenis apa yang dibelinya. Sebaliknya, dia
mengubah topik pembicaraan dan menghindari pertanyaan dengan mengatakan, “Harap nantikan saat aku memakainya nanti.”
Meskipun Amane sudah berusaha
memperingati Chitose, Ia tidak tahu apakah
Chitose akan mengindahkannya atau tidak. Sebaliknya, Amane punya firasat
kalau dia akan dengan senang hati merekomendasikan sesuatu yang mengatakan “Aku yakin Amane akan menyukai ini” dan
kemudian memberikan baju renang yang sangat terbuka kepada Mahiru.
“Semoga saja bukan yang terlalu
mencolok.”
Gumaman Amane bergema di kamar
mandi, tapi cuma dirinya saja yang bisa mendengarnya.
Saat Mahiru berinisiatif untuk
mengurus hidangan, Amane menyerahkannya untuk mencuci piring setelah makan. Ia
sedang mandi untuk membasuh keringat yang menempel di tubuhnya, tapi bayangan
Mahiru dalam balutan pakaian renang masih melekat di benak Amane.
Amane juga seorang remaja puber
yang sehat, tentu saja Ia merasa penasaran dengan baju renang macam apa yang
akan dipakai pacarnya nanti.
Cara dia memamerkan tubuhnya
langsingnya tanpa malu pasti sangat menarik tanpa diragukan lagi. Mahiru awalnya
memiliki badan yang cukup seksi, jika dia mengenakan bikini, Amane pasti tidak
berani melihat langsung ke arahnya.
Bayangan Mahiru dalam balutan
bikini membuat jantung Amane berdegup kencang dan tubuhnya terasa panas.
Walaupun itu adalah gejala yang berhubungan dengan berendam di bak mandi,
badannya menjadi lebih panas dalam artian lain.
(...Baju
renang apapun pasti akan terlihat sangat cocok untuk Mahiru, tapi aku terlalu
malu untuk melihatnya. Selain itu, apa aku pantas berdiri di sampingnya?)
Amane berhak memandang Mahiru,
dan dia berhak berada di sisinya, tapi berdiri di samping Mahiru akan
membuatnya terlihat rendah diri dalam segala hal.
Melihat tubuhnya yang masih
letoy, Amane merasa kalau tubuhnya masih jauh dari bentuk idealnya. Walau
dirinya tidak memiliki lemak berlebih dan kebuncitan di otot perutnya, Amane
masih belum mencapai bentuk tubuh idealnya. Dari sudut pandang orang lain,
kesan yang ditinggalkan oleh tubuhnya pasti akan dilihat sebagai 'kurus', dan dirinya takkan dianggap
sebagai pria berpenampilan andal atau bergaya.
Amane berpikir akan lebih baik
jika dirinya memiliki tulang yang lebih kuat, tapi mengingat kedua orang tuanya
cukup kurus, itu mungkin karena faktor keturunan, jadi Ia tak bisa berbuat
banyak. Namun, badan Amane cukup tinggi, jadi Ia sangat berterima kasih kepada
orang tuanya.
“… Kurasa aku perlu meminta
saran lagi kepada Kadowaki, aku akan melakukan lebih banyak latihan otot.”
Fondasinya sudah ditentukan,
tetapi ternyata, latihan ototnya baru-baru ini sedikit tidak mencukupi. Ia
perlu meningkatkan intensitas latihannya
dalam kisaran yang bisa ditolerir. Pada saat Ia memakai pakaian renangnya,
bentuk tubuhnya seharusnya sudah lebih baik dari sekarang.
Sekarang dirinya sudah
memantapkan diri untuk berdiri di samping Mahiru, Ia harus menambahkan
usahanya. Bahkan jika itu hanya demi meningkatkan rasa percaya dirinya, Amane
harus bekerja lebih keras lagi.
Ia menghela nafas dan merendam
setengah wajahnya di air.
Amane mulai membayangkan
penampilan Mahiru dalam baju renangnya lagi dan membayangkan dirinya berdiri di
sampingnya, sekarang Ia semakin dibuat khawatir, dan akhirnya mandi lebih lama.
Biasanya Amane hanya berendam
sekitar 10 menit, tapi kali ini lebih dari setengah jam. Hal itu menunjukkan
seberapa besar tekanan batin yang dirasakannya.
Butuh waktu tiga kali lebih
lama baginya untuk mandi, dan itu sedikit lebih dari jam setengah 10 malam.
Amane mengkonfirmasi melalui jam tahan air di kamar mandi untuk memastikan
waktunya. Mahiru biasanya sudah kembali ke apartemennya sendiri pada pukul 10,
jadi dia seharusnya sudah kembali sekarang.
‘Kurasa
dia sudah pulang’, Amane menyimpulkan. Ia lalu menyeka kelebihan
air yang menetes dari tubuhnya dan dengan cepat mengenakan beberapa pakaian.
Karena terlalu lama berendam, tubuhnya terasa sangat panas, jadi Amane tidak
memakai bajunya dan berencana mengandalkan AC untuk mendinginkan dirinya.
Sambil mengenakan celana
olahraga serta handuk mandi yang melilit kepalanya, Amane meninggalkan ruang
ganti dan berjalan kembali ke ruang tamu. Jika dilihat oleh orang tuanya, mereka
mungkin akan mengatakan Amane sedang 'ceroboh'
dan kemudian memperingatkannya dengan 'hati-hati
jangan membuat perutmu sakit.'
Amane berjalan ke ruang tamu
sembari penasaran apakah ada program bagus di TV. Ketika hendak melangkah
masuk, Ia bisa melihat rambut berwarna rami yang sudah dikenalnya terkulai di
bagian belakang sofa.
(Jadi
dia masih belum kembali)
Biasanya Mahiru sudah pulang ke
apartemennya sendiri, tapi kali ini sepertinya kejadian langka.
Mahiru sedang menundukkan
kepalanya sedikit, dan menggerakkan tangannya. Dia mungkin sedang mempelajari
materi yang akan dia revisi di rumahnya sendiri. Melihat upaya lanjutan Mahiru,
Amane mendekatinya dengan kagum.
“Rupanya kamu masih di sini.
Tumben sekali melihatmu di jam segini.”
Amane mengambil remote control
di atas meja dan berbicara kepada Mahiru yang sedang berkonsentrasi saat mengganti
saluran TV. Kemudian, dia sepertinya memperhatikan keberadaan Amane dan
mengangkat kepalanya, tapi kemudian pipinya langsung berubah merah merona.
“Ah, um, um …”
“Apa ada yang salah?”
“Ke-Kenapa kamu bertelanjang
dada begitu…”
Setelah mandi di musim panas,
Amane sering berpenampilan seperti ini, dan menurutnya itu tidaklah aneh.
Sedangkan di sisi lain, Mahiru tampak panik, dia berusaha menutupi wajahnya
dengan telapak tangannya, dan pipinya yang memerah bisa terlihat di antara
jari-jarinya.
“Karena badanku terasa panas,
jadi apa boleh buat, ‘kan?”
“A-Aku ‘kan masih di sini,
tolong jangan berpakaian seperti itu.”
“Tadinya kupikir kamu sudah
pulang… sekarang sudah jam setengah 11 malam, loh”
“Aku berencana untuk berbicara
dengan Amane-kun lalu kembali.”
Amane mengerti alasan mengapa
Mahiru masih di sini, dan duduk di sebelahnya.
Segera setelah itu, bahunya
tiba-tiba bergetar dan Amane hanya bisa tertawa.
“… Apa kamu masih merasa malu?”
“Itu sudah pasti!”
“Tapi karena kamu sudah membeli
baju renang, kamu akan berencana untuk melihat baju renangku juga, ‘kan? Kupikir
penampilanku tidak terlalu terbuka seperti memakai baju renang, jadi tidak
masalah, ‘kan?”
“Yah itu sih…”
Mahiru memberitahunya kalau dia
membeli baju renang baru supaya bisa berenang bersama Amane.
Dalam hal ini, dia seharusnya
sudah menduga kalau mereka berdua sama-sama akan mengenakan baju renang.
Dengan kata lain, melihat Amane
bertelanjang dada merupakan prasyarat. Namun demikian, dia sekarang merasa malu
saat melihat tubuh Amane yang setengah telanjang, hal itu membuat Amane
khawatir apakah dia bisa pergi ke kolam renang nanti.
Melihat ekspresi Mahiru semalu
ini ketika melihatnya bertelanjang dada, Amane mulai mempertanyakan apakah
Mahiru bisa tahan dengan baju renang semua pria di sekitarnya atau tidak.
Bahkan sebelum mereka menjadi
sepasang kekasih, Mahiru sempat malu melihat Amane setengah telanjang, menandakan
bahwa dia enggan melihat cowok memperlihatkan kulitnya sendiri. Sulit
membayangkan apakah dia bisa pergi ke tempat-tempat seperti kolam renang atau
pantai.
“…Aku sudah menyiapkan baju
renangku, tapi kita mungkin tidak bisa pergi ke kolam renang.”
“Aku masih ingin pergi.” balas
Mahiru dengan bersikeras.
"Kalau begitu biasakanlah
mulai sekarang, oke?”
Penampilan Amane saat ini kurang
terekspos dibandingkan baju renangnya nanti. Hal ini bisa menjadi kesempatan
bagi Mahiru untuk membiasakan diri, tapi Mahiru masih terus menggelengkan
kepalanya.
“Ak-Aku tidak bisa
melakukannya. Kalau Amane-kun terlihat seperti ini, aku tidak bisa
melakukannya.”
“Memangnya kenapa?”
“… Ha-Habisnya, Amane-kun, kamu
terlihat sangat seksi.”
“Seksi?”
“Amane-kun, kamu baru saja selesai
mandi, jadi aku tidak berani melihatmu.”
Sedari awal, Mahiru tidak
berani bertatapan langsung dengan mata Amane, dan sepertinya itu bukan hanya
karena dia melihat tubuhnya.
Bahkan jika Mahiru mengatakan
kalau dirinya seksi, Amane sendiri justru menganggap jika dirinya tidak
memiliki pesona. Namun, Mahiru sepertinya tidak berpikir demikian.
Memang, Amane terlihat sangat
memikat ketika baru saja mandi. Orang yang dia suka setelah keluar dari kamar
mandi akan terlihat seperti itu di mata Mahiru.
Biasanya, Amane lah yang dipermalukan
oleh Mahiru. Barusan, ketika melihat ekspresi malu-malu Mahiru, sisi sadis
Amane sedikit tergelitik, dan itu membuatnya sedikit senang. Namun, jika
dirinya bertindak terlalu jauh, Mahiru akan menjadi terlalu malu untuk
menanggungnya.
"Jika kamu benar-benar
tidak menyukainya, aku bisa berganti dulu untuk memakai baju.”
“Tidak, bukannya aku tidak
menyukainya sih… Tolong, tolong tunggu sebentar, aku akan berusaha lebih
keras.”
“Jika kamu masih tidak tahan
setelah sudah mencobanya lagi, maka aku akan tetap memakai bajuku—”
“Ak-Aku ingin membiasakan diri
sekarang! Karena aku ingin pergi berenang di kolam bersama Amane-kun nanti.”
Setelah berkata demikian,
Mahiru melirik ke arah sisi Amane dan wajahnya seketika itu juga langsung memerah,
tatapan matanya melayang tanpa tujuan. Mendengar tekad Mahiru yang menyedihkan,
Amane menenangkan diri dan melihatnya mencoba lagi.
Amane tidak mengolok-olok
reaksi Mahiru lagi, karena jika orang yang berada di posisi Mahiru adalah dirinya,
Amane pasti tidak tahu harus mengarahkan ke mana pandangannya, dan bahkan Ia
mungkin akan kabur begitu saja.
“Aku sudah mengawasi upaya
Amane-kun baru-baru ini. Aku bisa melihat hasil kerja keras Amane-kun. Aku juga
sangat senang karena selalu mendukung Amane-kun.”
“Umm…”
“Ta-Tapi… umm… Akhir-akhir ini,
Amane-kun terlihat terlalu tampan. Sejak kamu mendapatkan kepercayaan diri,
Amane-kun mulai terlihat sangat tampan jadi aku tidak tahan, Amane-kun juga
selalu saja bertingkah jahat!”
“Jahat apanya—”
“Kamu selalu membuat hatiku
berdetak kencang, Amane-kun.”
“… Ini tidak benar.”
Amane tahu bahwa dirinya
membuat hati Mahiru berdetak lebih kencang, tapi Mahiru berpikir kalau Amane
selalu bersikap tenang, yang membuatnya terkejut. Sekarang giliran jantung
Amane bertingkah seperti Mahiru, berdetak lebih cepat dari biasanya.
Terlebih lagi, Amane harus
duduk tepat di sebelah Mahiru, dan Ia harus mengkhawatirkan tentang 'menahannya', sesuatu yang tidak perlu
dipikirkan Mahiru. Bagi Amane, yang jahat itu jelas Mahiru.
Amane berpikir bahwa Mahiru
pada akhirnya akan memahami perasaannya sendiri, jadi Ia mengulurkan tangannya
ke arah Mahiru dan memeluk tubuh rampingnya dengan kedua tangannya.
Mungkin karena dia tidak
melihat Amane dengan cukup hati-hati, untuk sesaat Mahiru membiarkan Amane
dengan mudah memeluknya, dan bahkan wajahnya sekarang menempel di tubuh Amane.
Tubuh kecil di lengannya bergetar
hebat.
“A-A-A-Amane-kun!”
“…Kamu bisa memarahiku nanti
karena pelecehan seksual atau kamu bisa kabur sekarang, tapi aku hanya ingin
kamu mengalami apa yang kurasakan sekarang.”
Saling berpelukan sambil
bertelanjang dada adalah sesuatu yang tidak biasa dilakukan Amane. Sebaliknya,
Amane takkan pernah sengaja berpenampilan tanpa baju di hadapan Mahiru, tapi
hari ini hanyalah kejadian langka.
“Dengan kata lain, jantungku
juga berdetak tanpa henti sekarang… Karena bagaimanapun juga, aku juga
laki-laki, jadi tidak ada yang salah dengan Mahiru.”
Tentu saja, Amane tahu betul
bahwa dirinya bertanggung jawab atas situasi saat ini, jadi Amane tidak
menyalahkannya. Selain itu, berduaan dengan pacarnya di malam hari saja sudah
cukup membuat hati Amane tidak bisa tenang. (TN: Ehemm, gasss :v)
Oleh karena itu, mana mungkin
cuma Mahiru saja yang merasa gugup dan detak jantungnya berdetak cepat.
Dalam pelukannya, pipi Mahiru
menempel di dada Amane dengan wajah yang memerah. Dia sepertinya mendengar
detak jantung Amane dan berkedip berulang kali karena terkejut.
Merasa Mahiru sudah mengerti
maksudnya, Amane melepaskan tangannya dari tubuh Mahiru. Tapi pacar imutnya itu
masih terus bersandar di tubuh Amane dan tidak berniat untuk bangun.
“… Maaf karena sudah membuatmu
merasa tidak nyaman.”
“Tidak juga, aku bukannya tidak
merasa nyaman… Hanya saja, it-itu … bersandar di dada Amane-kun seperti ini
membuatku berpikir kalau Amane-kun benar-benar maskulin.”
“Lalu apa pendapatmu tentang
aku yang sebelumnya?”
Amane merasa bahwa Mahiru baru
saja mengatakan sesuatu yang agak kasar, dan sedikit mengernyit. Tapi saat melihat
matanya panik dan tubuhnya gemetar, Amane meredakan ekspresi wajahnya.
“Tidak, bukannya aku tidak
memikirkan itu sebelumnya. Hanya saja… menyentuh Amane-kun secara langsung
seperti ini… membuatku merasa bahwa Amane-kun sangat maskulin.”
Meski agak sulit untuk
diungkapkan, Mahiru mengungkapkan perasaannya kepada Amane. Saat berbicara
begitu, dia mengulurkan tangannya dan membelai tubuh Amane. Meski sedikit ragu,
gerakannya sangat hati-hati dan lemah lembut, seolah-olah dia sedang menyentuk
benda yang rapuh. Bukannya malu, Amane justru merasa gelisah. (TN: Ingat, Amane
masih belum pakai baju saat ini, alias lagi telanjang dada. Bayangin lagi
dipeluk pacarmu dalam keadaan begitu dan dibelai-belai :v Sialannn)
“… Amane-kun, kamu kurus
sekali…”
“Maaf, aku terlihat sangat
tidak bisa diandalkan, iya ‘kan?”
“Mana ada. Justru sebaliknya, badanmu
terasa lebih kekar dan kuat dari yang kuharapkan, jadi aku sedikit terkejut… ”
Mahiru perlahan-lahan
menelusuri bagian tengah tubuh Amane dengan jari-jemarinya.
Meski Amane tidak memiliki otot
yang menonjol, badannya tetap tegap dan kencang berkat olahraga yang rutin. Jari-jemari
Mahiru membelai lembut otot perut Amane seakan-akan inign mencari tahu
bagaimana rasanya.
Walaupun Amane mengatakan itu
supaya Mahiru terbiasa melihat kulitnya, sekarang rasa gatal, malu, dan
gugupnya muncul secara bersamaan, memaksa Amane menggertakkan giginya untuk
menghentikan dirinya membuat suara aneh.
“Aku belum pernah menyentuh
tubuh laki-laki sebelumnya. Rasanya sangat kencang dan mengejutkan...”
“… Jangan ragu untuk terus
menyentuh jika kamu mau, tapi jika kamu terlalu sering menyentuhku maka sesuatu
yang menyusahkan akan terjadi.”
Mahiru mengangkat kepalanya dan
berkedip saat menatap Amane. Terlepas dari rasa malu yang terlihat jelas di
matanya, tatapannya begitu polos dan sangat murni. Ketika melihat tatapan mata
Mahiru yang sempurna, Amane menyadari bahwa cuma dirinya yang sedang menahan
diri dan sedikit kesal.
Namun, sensasi ujung jari
Mahiru yang menyentuh kulitnya membuat tubuh Amane bereaksi sangat buruk. Pada
titik ini, Ia masih punya waktu untuk menghentikannya. Ia tidak ingin membuat
Mahiru ketakutan.
“Karena dari tadi kamu terus menyentuhku,
jadi mungkin sekarang giliranku untuk menyentuhmu juga.”
Amane dengan bercanda menyentuh
pinggangnya dengan ringan, tapi Mahiru kemudian menggoyangkan tubuhnya dengan “...Ya”. Tubuh Mahiru memang gampang
geli, dan bahkan sentuhan ringan pun akan membuatnya gemetar. Amane tidak
mengerahkan banyak tenaga, tapi dia membuat reaksi yang sangat sensitif
terhadap gerakannya.
Awalnya Amane berencana untuk
menyentuh Mahiru sebentar dan kemudian berhenti jika dia marah, dalam hal ini
Ia akan segera melepaskannya dan meminta maaf. Tapi Mahiru justru
memperbolehkannya daripada marah. Dia menyipitkan mata dengan ringan dan
kemudian menempelkan dahinya ke dada Amane.
“Aku…, aku suka disentuh oleh
Amane-kun, jadi aku tidak keberatan tapi um… tolong jangan menggelitikku.”
Seluruh tubuh Mahiru
benar-benar dipeluk, dan dia mengangkat kepalanya untuk menengadah ke arah
Amane. Sepertinya dia tidak menyadari dengan daya tariknya sendiri.
Semua ucapan, ekspresi, tatapan
mata, gerakan tubuh, dan napas manis Mahiru pelan-pelan mengikis rasionalitas
Amane, dan hanya ada satu pukulan terakhir yang bisa ditahan sebelum Amane
berakhir ambruk.
Amane menggigit bibir bawahnya
demi menahan dorongan yang muncul di dalam dirinya, dan melihat ke arah pipi
Mahiru. Tidak ada keraguan maupun kewaspadaan di matanya, hanya ekspresi murni
dan polos.
“… Apa aku boleh menyentuhmu?”
“Kenapa tidak? Aku sudah
mengatakan kalau aku ingin kamu menyentuhku, Amane-kun. Karena aku menyentuhmu
lebih dulu, kamu juga boleh menyentuhku kembali.”
“Tidak, tidak, memang benar kalau
aku yang membuat kesalahan terlebih dahulu, tapi situasi kita yang sekarang
benar-benar tidak baik... kamu memahami maksudku, ‘kan?”
Amane merasa bahwa Mahiru tidak
menyadari situasi mereka saat ini, dan tidak ada jalan untuk mundur begitu mereka
akan melangkah maju, jadi Amane bertanya dengan nada tegas. Setelah mendengar ucapan
itu, Mahiru berkedip beberapa kali, lalu semburat merah muncul di wajahnya.
Mulut kecil Mahiru terbuka dan
tertutup seolah-olah hendak mengatakan sesuatu, tetapi dia mundur dalam diam
dan menundukkan kepalanya.
Dia tampaknya tidak melarikan
diri, tetapi telinganya yang mengintip dari rambutnya terlihat memerah, mungkin
karena malu.
“Umm, it-itu… nanti, mari kita
bicarakan tentang itu nanti…”
Mahiru menyuarakan kalimat itu
sebiasanya, dan memohon pada Amane untuk bernafas. Amane berbalik dan mengangguk
ketika mendengarnya.
“....Aku memohon begini juga demi dirimu...
Aku mungkin akan melangkah lebih jauh jika tidak berhati-hati... Aku takut
kalau aku akan bertindak berdasarkan dorongan hati.”
Rasionalitas anak cowok puber
sangat tidak bisa diandalkan, jadi ketika melihat sikap Mahiru yang tidak
curigaan, Amane mungkin akan membawanya langsung ke dalam kamar tidurnya.
Amane sudah memutuskan untuk
menghargai Mahiru. Di masa depan, Ia juga ingin secara bertahap menghargai
setiap waktu dan pengalaman yang mereka alami bersama. Amane tidak mau
membiarkan instingnya menjadi liar dan langsung maju ke base terakhir bersama
Mahiru. Apalagi jika itu yang terjadi, Mahiru lah yang lebih merasa kesakitan
dana lebih terpengaruh daripada dirinya.
Amane juga mencoba yang terbaik
untuk mengeluarkan kalimat berikutnya. Saat Mahiru mendengarnya, dia gemetaran
dan diam-diam menatapnya. Amane berusaha menahan rasa malu yang tidak bisa disembunyikannya,
dan dengan lembut menyentuh kepala pacar kesayangannya.
“Kumohon. Aku ingin menghargaimu,
jadi tolong beri perhatian lebih dengan tingkahmu.”
Amane memberitahunya dengan nada
yang begitu lembut.
“A-Aku akan mencoba yang terbaik...”
seraya dielus-elus Amane, Mahiru menjawab malu-malu dengan suara yang kurang
percaya diri.
Sebelumnya
|| Daftar isi || Selanjutnya