Otonari no Tenshi-sama Jilid 5 Bab 7

Bab 7 —  Tidak Boleh Terlalu Seksi

 

“Amane-kun, hari ini aku ada urusan sesuatu, jadi aku akan pulang secara terpisah kali ini.”

Setelah jam pelajaran di sekolah berakhir, Amane berencana untuk pulang bersama Mahiru seperti biasa, tapi dia tiba-tiba memberitahunya begitu.

Biasanya mereka akan pulang bersama karena unit apartemen mereka bersebelahan. Amane tidak menyangka kalau Mahiru akan membuat permintaan seperti itu dan akhirnya menatapnya sembari termenung dalam pikirannya.

Meski ada sesuatu yang harus dilakukan Mahiru, dia biasanya sering pergi bersama Amane. Karena dia dengan penuh perhatian tidak mengajaknya kali ini, pasti ada sesuatu yang dia tidak ingin Amane ketahui.

Menilai dari ekspresinya, Amane mengerti bahwa itu bukanlah hal yang buruk, jadi Amane sama sekali tidak khawatir.

Waktu malam selama musim panas tiba terlambat. Selama Mahiru tidak membutuhkan waktu terlalu lama untuk menyelesaikan urusannya, itu sama sekali tidak masalah, tapi Amane masih merasa sedih karena tidak bisa menemaninya.

“Yah, baiklah, sampai jumpa nanti.”

Amane tahu bahwa Mahiru masih akan menghabiskan waktu bersamanya di rumah, jadi Ia menghormati keinginan Mahiru.

Ekspresi Mahiru terlihat santai sekarang setelah Amane menerimanya. Tapi kemudian seakan-akan baru menyadari sesuatu, ekspresi wajahnya langsung berubah khawatir.

“…Tolong jangan pulang bersama gadis lain.”

“Emangnya aku terlihat seperti tipe orang yang melakukan hal seperti itu?”

“Kurasa tidak, tapi mungkin saja ada gadis yang akan mendekati Amane-kun sendiri… kemungkinan itu bukan mustahil, jadi aku tidak menyukainya. Apalagi ada beberapa gadis beberapa waktu lalu yang meminta untuk berbicara denganmu…”

Amane tetap diam sambil mendengar ocehan Mahiru.

(...A-Apa dia cemburu?)

Siapa pun yang melihat sikap Amane terhadap Mahiru pasti akan merasa mustahil bisa mengajaknya jalan-jalan selagi tidak ada Mahiru, tapi dia masih terlihat sangat khawatir.

Terlebih lagi, gadis-gadis yang meminta untuk berbicara dengannya sebelumnya mendukung hubungan mereka, dan hanya ingin memberikan ucapan selamat serta menghibur mereka. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan.

Mahiru terlihat sedikit tidak nyaman ketika menatap Amane dengan cemas. Amane yang menganggap kalau ekspresi cemasnya itu terlalu lucu, memiliki keinginan mengelus-ngelus kepalanya untuk menghiburnya. Tapi, karena di sekeliling mereka masih ada banyak orang, Ia mengabaikan pada gagasan itu.

Terakhir kali Ia melakukan hal seperti itu, ada banyak korban yang berjatuhan karena terpukau oleh senyuman Mahiru. Amane mencoba berhati-hati untuk tidak mengulangi kesalahan yang sama.

“Jangan cemas, hatiku hanya untukmu. Aku takkan menerima ajakan orang lain. Paling banter sih cuma Chitose yang menyeretku ke suatu tempat.”

“…Kalau itu tidak masalah.”

Chitose tampaknya berada dalam ruang lingkup yang diizinkan. Lagi pula, dia adalah pacarnya Itsuki, jadi dia takkan memandang Amane seperti itu.

Seteah mendengar Amane mengatakan ini, ekspresi Mahiru terlihat santai lagi dan menatapnya, kali ini dia memasang ekspresi malu-malu di wajahnya.

“Selain itu, akan buruk jika kamu salah paham denganku, jadi aku akan memberitahumu kemana aku pergi.”

“Kamu tidak mau merahasiakannya?”

“…Uh huh.”

Meskipun dia bilang itu bukan rahasia, Amane bisa merasakan keraguannya. Namun, sepertinya dia masih ingin memberitahunya jadi Amane tetap menunggu dengan sabar.

“Se-Sebenarnya … aku mau berbelanja.”

“Benarkah? Lalu kenapa kamu terlihat malu-malu begitu?”

“It-Itu sih… aku dan Chitose-san ... berencana membeli baju renang.”

“Baju renang?”

Memang, pada Juli kebanyakan mall sudah mulai menjual baju renang.

Ada area khusus baju renang di mal yang sering dikunjungi Amane. Ia masih mengingat dengan jelas bahwa beberapa gadis di kelasnya sedang berbincang-bincang akan membeli beberapa baju renang di sana.

Namun, Amane tidak pernah menyangka kalau Mahiru akan membeli baju renangnya sendiri.

Lagipula, Mahiru tidak tahu bagaimana caranya berenang.

Dia pernah memberitahu Amane bahwa karena dia tidak ingin berenang, jadi dia memilih sekolah yang tidak menjadikan pelajaran renang sebagai mata pelajaran wajib.

Meski demikian, Mahiru tetap ingin membeli baju renang yang baru.

“… Apa kamu tidak ingin pergi ke kolam renang bersama…?”

Pundak Mahiru gemetaran dan menyusut malu-malu. Amane membeku saat mendengarnya, lalu menutupi wajahnya.

(...Jangan mengatakannya dengan ekspresi imut begitu)

Teman sekelas yang masih berasa di kelas semuanya melihat ke sisi Amane.

Dari tatapan lembut hingga senyuman hangat, berbagai ekspresi terhadap Amane membuatnya merasa malu dan tersipu. Jantung Amane berdegup kencang saat melihat ekspresi malu-malu Mahiru yang begitu imut, dan karena Ia ditatap dalam atmosfer ini, Amane ingin menggali lubang untuk dirinya sendiri dan merangkak masuk ke dalamnya.

“…Te-Tentu saja mau. Kalau begitu … kamu boleh pergi.”

“Ba-Baiklah, lalu … bagusnya baju renang jenis apa?”

“Jenis baju renang yang tidak berbahaya.”

Amane langsung menjawab seketika.

Dengan proporsi badan seperti Mahiru, tidak peduli baju renang jenis apa yang dia kenakan, dia akan terlihat mempesona. Tapi sebaiknya dia harus memilih baju renang yang tidak terlalu banyak memperlihatkan kulitnya.

Lagi pula, Amane sudah berpacaran dengan Mahiru selama beberapa minggu, dan Ia sendiri masih jarang melihat kulit Mahiru yang terbuka.

Di sekolah, Mahiru mengenakan seragam dengan rapi dan menutup semua bagian badannya sesuai aturan sekolah. Berpakaian terlalu ketat sering membuat orang khawatir jika dia kepanasan.

Sedangkan kalau di rumahnya, Mahiru selalu mengenakan baju yang menutupi area lehernya, dan sebagian besar rok yang dia kenakannya terlihat panjang. Saat mengenakan celana pendek, ia juga mengenakan pantyhose atau legging.

Dengan kata lain, Amane hampir tidak pernah melihat kulit tubuh Mahiru. Lagi pula, tidak ada kesempatan untuk bisa melihatnya.

Dalam situasi tersebut, jika Mahiru memilih baju renang yang terlalu seksi, Amane pasti akan pingsan.

Begitu mendengar Amane mengatakannya dengan tegas, pada awalnya tatapan mata Mahiru melebar, tapi kemudian dia tersenyum lembut.

“Itu memang sifat Amane-kun banget.”

“Aku akan mati. Baju renang yang terlalu mencolok itu tidak terlalu bagus.”

“Hmph, kira-kira gimana ya~?”

“Mahiru…”

“Aku akan membicarakannya dengan Chitose-san dan memilih salah satu yang akan membuat Amane-kun paling bahagia.”

Melihat Mahiru yang mengatakannya dengan malu-malu tapi juga menggodanya, Amane mengerutkan bibirnya.

(Aku perlu mengirim pesan ke Chitose, mungkin leibh baik kalau aku memperingatinya supaya tidak merekomendasikannya baju renang yang terlalu ekstrim)

Masalah ini bukan hanya masalah hidup dan mati bagi Amane; Ia juga perlu menghentikan tindakan aneh Chitose di masa depan.

Chitose sepertinya bersama dengan beberapa temannya dari kelas lain, jadi dia sedang tidak ada di kelas. Amane memutuskan untuk mengiriminya pesan, lalu menyolek pipi Mahiru yang sepertinya sedang merencanakan kejahilan.

 

◇◇◇◇

 

Pada akhirnya, Mahiru tetap tidak memberitahu Amane baju renang jenis apa yang dibelinya. Sebaliknya, dia mengubah topik pembicaraan dan menghindari pertanyaan dengan mengatakan, “Harap nantikan saat aku memakainya nanti.”

Meskipun Amane sudah berusaha memperingati Chitose, Ia tidak tahu apakah  Chitose akan mengindahkannya atau tidak. Sebaliknya, Amane punya firasat kalau dia akan dengan senang hati merekomendasikan sesuatu yang mengatakan “Aku yakin Amane akan menyukai ini” dan kemudian memberikan baju renang yang sangat terbuka kepada Mahiru.

“Semoga saja bukan yang terlalu mencolok.”

Gumaman Amane bergema di kamar mandi, tapi cuma dirinya saja yang bisa mendengarnya.

Saat Mahiru berinisiatif untuk mengurus hidangan, Amane menyerahkannya untuk mencuci piring setelah makan. Ia sedang mandi untuk membasuh keringat yang menempel di tubuhnya, tapi bayangan Mahiru dalam balutan pakaian renang masih melekat di benak Amane.

Amane juga seorang remaja puber yang sehat, tentu saja Ia merasa penasaran dengan baju renang macam apa yang akan dipakai pacarnya nanti.

Cara dia memamerkan tubuhnya langsingnya tanpa malu pasti sangat menarik tanpa diragukan lagi. Mahiru awalnya memiliki badan yang cukup seksi, jika dia mengenakan bikini, Amane pasti tidak berani melihat langsung ke arahnya.

Bayangan Mahiru dalam balutan bikini membuat jantung Amane berdegup kencang dan tubuhnya terasa panas. Walaupun itu adalah gejala yang berhubungan dengan berendam di bak mandi, badannya menjadi lebih panas dalam artian lain.

(...Baju renang apapun pasti akan terlihat sangat cocok untuk Mahiru, tapi aku terlalu malu untuk melihatnya. Selain itu, apa aku pantas berdiri di sampingnya?)

Amane berhak memandang Mahiru, dan dia berhak berada di sisinya, tapi berdiri di samping Mahiru akan membuatnya terlihat rendah diri dalam segala hal.

Melihat tubuhnya yang masih letoy, Amane merasa kalau tubuhnya masih jauh dari bentuk idealnya. Walau dirinya tidak memiliki lemak berlebih dan kebuncitan di otot perutnya, Amane masih belum mencapai bentuk tubuh idealnya. Dari sudut pandang orang lain, kesan yang ditinggalkan oleh tubuhnya pasti akan dilihat sebagai 'kurus', dan dirinya takkan dianggap sebagai pria berpenampilan andal atau bergaya.

Amane berpikir akan lebih baik jika dirinya memiliki tulang yang lebih kuat, tapi mengingat kedua orang tuanya cukup kurus, itu mungkin karena faktor keturunan, jadi Ia tak bisa berbuat banyak. Namun, badan Amane cukup tinggi, jadi Ia sangat berterima kasih kepada orang tuanya.

“… Kurasa aku perlu meminta saran lagi kepada Kadowaki, aku akan melakukan lebih banyak latihan otot.”

Fondasinya sudah ditentukan, tetapi ternyata, latihan ototnya baru-baru ini sedikit tidak mencukupi. Ia perlu  meningkatkan intensitas latihannya dalam kisaran yang bisa ditolerir. Pada saat Ia memakai pakaian renangnya, bentuk tubuhnya seharusnya sudah lebih baik dari sekarang.

Sekarang dirinya sudah memantapkan diri untuk berdiri di samping Mahiru, Ia harus menambahkan usahanya. Bahkan jika itu hanya demi meningkatkan rasa percaya dirinya, Amane harus bekerja lebih keras lagi.

Ia menghela nafas dan merendam setengah wajahnya di air.

Amane mulai membayangkan penampilan Mahiru dalam baju renangnya lagi dan membayangkan dirinya berdiri di sampingnya, sekarang Ia semakin dibuat khawatir, dan akhirnya mandi lebih lama.

Biasanya Amane hanya berendam sekitar 10 menit, tapi kali ini lebih dari setengah jam. Hal itu menunjukkan seberapa besar tekanan batin yang dirasakannya.

Butuh waktu tiga kali lebih lama baginya untuk mandi, dan itu sedikit lebih dari jam setengah 10 malam. Amane mengkonfirmasi melalui jam tahan air di kamar mandi untuk memastikan waktunya. Mahiru biasanya sudah kembali ke apartemennya sendiri pada pukul 10, jadi dia seharusnya sudah kembali sekarang.

‘Kurasa dia sudah pulang’, Amane menyimpulkan. Ia lalu menyeka kelebihan air yang menetes dari tubuhnya dan dengan cepat mengenakan beberapa pakaian. Karena terlalu lama berendam, tubuhnya terasa sangat panas, jadi Amane tidak memakai bajunya dan berencana mengandalkan AC untuk mendinginkan dirinya.

Sambil mengenakan celana olahraga serta handuk mandi yang melilit kepalanya, Amane meninggalkan ruang ganti dan berjalan kembali ke ruang tamu. Jika dilihat oleh orang tuanya, mereka mungkin akan mengatakan Amane sedang 'ceroboh' dan kemudian memperingatkannya dengan 'hati-hati jangan membuat perutmu sakit.'

Amane berjalan ke ruang tamu sembari penasaran apakah ada program bagus di TV. Ketika hendak melangkah masuk, Ia bisa melihat rambut berwarna rami yang sudah dikenalnya terkulai di bagian belakang sofa.

(Jadi dia masih belum kembali)

Biasanya Mahiru sudah pulang ke apartemennya sendiri, tapi kali ini sepertinya kejadian langka.

Mahiru sedang menundukkan kepalanya sedikit, dan menggerakkan tangannya. Dia mungkin sedang mempelajari materi yang akan dia revisi di rumahnya sendiri. Melihat upaya lanjutan Mahiru, Amane mendekatinya dengan kagum.

“Rupanya kamu masih di sini. Tumben sekali melihatmu di jam segini.”

Amane mengambil remote control di atas meja dan berbicara kepada Mahiru yang sedang berkonsentrasi saat mengganti saluran TV. Kemudian, dia sepertinya memperhatikan keberadaan Amane dan mengangkat kepalanya, tapi kemudian pipinya langsung berubah merah merona.

“Ah, um, um …”

“Apa ada yang salah?”

“Ke-Kenapa kamu bertelanjang dada begitu…”

Setelah mandi di musim panas, Amane sering berpenampilan seperti ini, dan menurutnya itu tidaklah aneh. Sedangkan di sisi lain, Mahiru tampak panik, dia berusaha menutupi wajahnya dengan telapak tangannya, dan pipinya yang memerah bisa terlihat di antara jari-jarinya.

“Karena badanku terasa panas, jadi apa boleh buat, ‘kan?”

“A-Aku ‘kan masih di sini, tolong jangan berpakaian seperti itu.”

“Tadinya kupikir kamu sudah pulang… sekarang sudah jam setengah 11 malam, loh”

“Aku berencana untuk berbicara dengan Amane-kun lalu kembali.”

Amane mengerti alasan mengapa Mahiru masih di sini, dan duduk di sebelahnya.

Segera setelah itu, bahunya tiba-tiba bergetar dan Amane hanya bisa tertawa.

“… Apa kamu masih merasa malu?”

“Itu sudah pasti!”

“Tapi karena kamu sudah membeli baju renang, kamu akan berencana untuk melihat baju renangku juga, ‘kan? Kupikir penampilanku tidak terlalu terbuka seperti memakai baju renang, jadi tidak masalah, ‘kan?”

“Yah itu sih…”

Mahiru memberitahunya kalau dia membeli baju renang baru supaya bisa berenang bersama Amane.

Dalam hal ini, dia seharusnya sudah menduga kalau mereka berdua sama-sama akan mengenakan baju renang.

Dengan kata lain, melihat Amane bertelanjang dada merupakan prasyarat. Namun demikian, dia sekarang merasa malu saat melihat tubuh Amane yang setengah telanjang, hal itu membuat Amane khawatir apakah dia bisa pergi ke kolam renang nanti.

Melihat ekspresi Mahiru semalu ini ketika melihatnya bertelanjang dada, Amane mulai mempertanyakan apakah Mahiru bisa tahan dengan baju renang semua pria di sekitarnya atau tidak.

Bahkan sebelum mereka menjadi sepasang kekasih, Mahiru sempat malu melihat Amane setengah telanjang, menandakan bahwa dia enggan melihat cowok memperlihatkan kulitnya sendiri. Sulit membayangkan apakah dia bisa pergi ke tempat-tempat seperti kolam renang atau pantai.

“…Aku sudah menyiapkan baju renangku, tapi kita mungkin tidak bisa pergi ke kolam renang.”

“Aku masih ingin pergi.” balas Mahiru dengan bersikeras.

"Kalau begitu biasakanlah mulai sekarang, oke?”

Penampilan Amane saat ini kurang terekspos dibandingkan baju renangnya nanti. Hal ini bisa menjadi kesempatan bagi Mahiru untuk membiasakan diri, tapi Mahiru masih terus menggelengkan kepalanya.

“Ak-Aku tidak bisa melakukannya. Kalau Amane-kun terlihat seperti ini, aku tidak bisa melakukannya.”

“Memangnya kenapa?”

“… Ha-Habisnya, Amane-kun, kamu terlihat sangat seksi.”

“Seksi?”

“Amane-kun, kamu baru saja selesai mandi, jadi aku tidak berani melihatmu.”

Sedari awal, Mahiru tidak berani bertatapan langsung dengan mata Amane, dan sepertinya itu bukan hanya karena dia melihat tubuhnya.

Bahkan jika Mahiru mengatakan kalau dirinya seksi, Amane sendiri justru menganggap jika dirinya tidak memiliki pesona. Namun, Mahiru sepertinya tidak berpikir demikian.

Memang, Amane terlihat sangat memikat ketika baru saja mandi. Orang yang dia suka setelah keluar dari kamar mandi akan terlihat seperti itu di mata Mahiru.

Biasanya, Amane lah yang dipermalukan oleh Mahiru. Barusan, ketika melihat ekspresi malu-malu Mahiru, sisi sadis Amane sedikit tergelitik, dan itu membuatnya sedikit senang. Namun, jika dirinya bertindak terlalu jauh, Mahiru akan menjadi terlalu malu untuk menanggungnya.

"Jika kamu benar-benar tidak menyukainya, aku bisa berganti dulu untuk memakai baju.”

“Tidak, bukannya aku tidak menyukainya sih… Tolong, tolong tunggu sebentar, aku akan berusaha lebih keras.”

“Jika kamu masih tidak tahan setelah sudah mencobanya lagi, maka aku akan tetap memakai bajuku—”

“Ak-Aku ingin membiasakan diri sekarang! Karena aku ingin pergi berenang di kolam bersama Amane-kun nanti.”

Setelah berkata demikian, Mahiru melirik ke arah sisi Amane dan wajahnya seketika itu juga langsung memerah, tatapan matanya melayang tanpa tujuan. Mendengar tekad Mahiru yang menyedihkan, Amane menenangkan diri dan melihatnya mencoba lagi.

Amane tidak mengolok-olok reaksi Mahiru lagi, karena jika orang yang berada di posisi Mahiru adalah dirinya, Amane pasti tidak tahu harus mengarahkan ke mana pandangannya, dan bahkan Ia mungkin akan kabur begitu saja.

“Aku sudah mengawasi upaya Amane-kun baru-baru ini. Aku bisa melihat hasil kerja keras Amane-kun. Aku juga sangat senang karena selalu mendukung Amane-kun.”

“Umm…”

“Ta-Tapi… umm… Akhir-akhir ini, Amane-kun terlihat terlalu tampan. Sejak kamu mendapatkan kepercayaan diri, Amane-kun mulai terlihat sangat tampan jadi aku tidak tahan, Amane-kun juga selalu saja bertingkah jahat!”

“Jahat apanya—”

“Kamu selalu membuat hatiku berdetak kencang, Amane-kun.”

“… Ini tidak benar.”

Amane tahu bahwa dirinya membuat hati Mahiru berdetak lebih kencang, tapi Mahiru berpikir kalau Amane selalu bersikap tenang, yang membuatnya terkejut. Sekarang giliran jantung Amane bertingkah seperti Mahiru, berdetak lebih cepat dari biasanya.

Terlebih lagi, Amane harus duduk tepat di sebelah Mahiru, dan Ia harus mengkhawatirkan tentang 'menahannya', sesuatu yang tidak perlu dipikirkan Mahiru. Bagi Amane, yang jahat itu jelas Mahiru.

Amane berpikir bahwa Mahiru pada akhirnya akan memahami perasaannya sendiri, jadi Ia mengulurkan tangannya ke arah Mahiru dan memeluk tubuh rampingnya dengan kedua tangannya.

Mungkin karena dia tidak melihat Amane dengan cukup hati-hati, untuk sesaat Mahiru membiarkan Amane dengan mudah memeluknya, dan bahkan wajahnya sekarang menempel di tubuh Amane.

Tubuh kecil di lengannya bergetar hebat.

“A-A-A-Amane-kun!”

“…Kamu bisa memarahiku nanti karena pelecehan seksual atau kamu bisa kabur sekarang, tapi aku hanya ingin kamu mengalami apa yang kurasakan sekarang.”

Saling berpelukan sambil bertelanjang dada adalah sesuatu yang tidak biasa dilakukan Amane. Sebaliknya, Amane takkan pernah sengaja berpenampilan tanpa baju di hadapan Mahiru, tapi hari ini hanyalah kejadian langka.

“Dengan kata lain, jantungku juga berdetak tanpa henti sekarang… Karena bagaimanapun juga, aku juga laki-laki, jadi tidak ada yang salah dengan Mahiru.”

Tentu saja, Amane tahu betul bahwa dirinya bertanggung jawab atas situasi saat ini, jadi Amane tidak menyalahkannya. Selain itu, berduaan dengan pacarnya di malam hari saja sudah cukup membuat hati Amane tidak bisa tenang. (TN: Ehemm, gasss :v)

Oleh karena itu, mana mungkin cuma Mahiru saja yang merasa gugup dan detak jantungnya berdetak cepat.

Dalam pelukannya, pipi Mahiru menempel di dada Amane dengan wajah yang memerah. Dia sepertinya mendengar detak jantung Amane dan berkedip berulang kali karena terkejut.

Merasa Mahiru sudah mengerti maksudnya, Amane melepaskan tangannya dari tubuh Mahiru. Tapi pacar imutnya itu masih terus bersandar di tubuh Amane dan tidak berniat untuk bangun.

“… Maaf karena sudah membuatmu merasa tidak nyaman.”

“Tidak juga, aku bukannya tidak merasa nyaman… Hanya saja, it-itu … bersandar di dada Amane-kun seperti ini membuatku berpikir kalau Amane-kun benar-benar maskulin.”

“Lalu apa pendapatmu tentang aku yang sebelumnya?”

Amane merasa bahwa Mahiru baru saja mengatakan sesuatu yang agak kasar, dan sedikit mengernyit. Tapi saat melihat matanya panik dan tubuhnya gemetar, Amane meredakan ekspresi wajahnya.

“Tidak, bukannya aku tidak memikirkan itu sebelumnya. Hanya saja… menyentuh Amane-kun secara langsung seperti ini… membuatku merasa bahwa Amane-kun sangat maskulin.”

Meski agak sulit untuk diungkapkan, Mahiru mengungkapkan perasaannya kepada Amane. Saat berbicara begitu, dia mengulurkan tangannya dan membelai tubuh Amane. Meski sedikit ragu, gerakannya sangat hati-hati dan lemah lembut, seolah-olah dia sedang menyentuk benda yang rapuh. Bukannya malu, Amane justru merasa gelisah. (TN: Ingat, Amane masih belum pakai baju saat ini, alias lagi telanjang dada. Bayangin lagi dipeluk pacarmu dalam keadaan begitu dan dibelai-belai :v Sialannn)

“… Amane-kun, kamu kurus sekali…”

“Maaf, aku terlihat sangat tidak bisa diandalkan, iya ‘kan?”

“Mana ada. Justru sebaliknya, badanmu terasa lebih kekar dan kuat dari yang kuharapkan, jadi aku sedikit terkejut… ”

Mahiru perlahan-lahan menelusuri bagian tengah tubuh Amane dengan jari-jemarinya.

Meski Amane tidak memiliki otot yang menonjol, badannya tetap tegap dan kencang berkat olahraga yang rutin. Jari-jemari Mahiru membelai lembut otot perut Amane seakan-akan inign mencari tahu bagaimana rasanya.

Walaupun Amane mengatakan itu supaya Mahiru terbiasa melihat kulitnya, sekarang rasa gatal, malu, dan gugupnya muncul secara bersamaan, memaksa Amane menggertakkan giginya untuk menghentikan dirinya membuat suara aneh.

“Aku belum pernah menyentuh tubuh laki-laki sebelumnya. Rasanya sangat kencang dan mengejutkan...”

“… Jangan ragu untuk terus menyentuh jika kamu mau, tapi jika kamu terlalu sering menyentuhku maka sesuatu yang menyusahkan akan terjadi.”

Mahiru mengangkat kepalanya dan berkedip saat menatap Amane. Terlepas dari rasa malu yang terlihat jelas di matanya, tatapannya begitu polos dan sangat murni. Ketika melihat tatapan mata Mahiru yang sempurna, Amane menyadari bahwa cuma dirinya yang sedang menahan diri dan sedikit kesal.

Namun, sensasi ujung jari Mahiru yang menyentuh kulitnya membuat tubuh Amane bereaksi sangat buruk. Pada titik ini, Ia masih punya waktu untuk menghentikannya. Ia tidak ingin membuat Mahiru ketakutan.

“Karena dari tadi kamu terus menyentuhku, jadi mungkin sekarang giliranku untuk menyentuhmu juga.”

Amane dengan bercanda menyentuh pinggangnya dengan ringan, tapi Mahiru kemudian menggoyangkan tubuhnya dengan “...Ya”. Tubuh Mahiru memang gampang geli, dan bahkan sentuhan ringan pun akan membuatnya gemetar. Amane tidak mengerahkan banyak tenaga, tapi dia membuat reaksi yang sangat sensitif terhadap gerakannya.

Awalnya Amane berencana untuk menyentuh Mahiru sebentar dan kemudian berhenti jika dia marah, dalam hal ini Ia akan segera melepaskannya dan meminta maaf. Tapi Mahiru justru memperbolehkannya daripada marah. Dia menyipitkan mata dengan ringan dan kemudian menempelkan dahinya ke dada Amane.

“Aku…, aku suka disentuh oleh Amane-kun, jadi aku tidak keberatan tapi um… tolong jangan menggelitikku.”

Seluruh tubuh Mahiru benar-benar dipeluk, dan dia mengangkat kepalanya untuk menengadah ke arah Amane. Sepertinya dia tidak menyadari dengan daya tariknya sendiri.

Semua ucapan, ekspresi, tatapan mata, gerakan tubuh, dan napas manis Mahiru pelan-pelan mengikis rasionalitas Amane, dan hanya ada satu pukulan terakhir yang bisa ditahan sebelum Amane berakhir ambruk.

Amane menggigit bibir bawahnya demi menahan dorongan yang muncul di dalam dirinya, dan melihat ke arah pipi Mahiru. Tidak ada keraguan maupun kewaspadaan di matanya, hanya ekspresi murni dan polos.

“… Apa aku boleh menyentuhmu?”

“Kenapa tidak? Aku sudah mengatakan kalau aku ingin kamu menyentuhku, Amane-kun. Karena aku menyentuhmu lebih dulu, kamu juga boleh menyentuhku kembali.”

“Tidak, tidak, memang benar kalau aku yang membuat kesalahan terlebih dahulu, tapi situasi kita yang sekarang benar-benar tidak baik... kamu memahami maksudku, ‘kan?”

Amane merasa bahwa Mahiru tidak menyadari situasi mereka saat ini, dan tidak ada jalan untuk mundur begitu mereka akan melangkah maju, jadi Amane bertanya dengan nada tegas. Setelah mendengar ucapan itu, Mahiru berkedip beberapa kali, lalu semburat merah muncul di wajahnya.

Mulut kecil Mahiru terbuka dan tertutup seolah-olah hendak mengatakan sesuatu, tetapi dia mundur dalam diam dan menundukkan kepalanya.

Dia tampaknya tidak melarikan diri, tetapi telinganya yang mengintip dari rambutnya terlihat memerah, mungkin karena malu.

“Umm, it-itu… nanti, mari kita bicarakan tentang itu nanti…”

Mahiru menyuarakan kalimat itu sebiasanya, dan memohon pada Amane untuk bernafas. Amane berbalik dan mengangguk ketika mendengarnya.

“....Aku memohon begini juga demi dirimu... Aku mungkin akan melangkah lebih jauh jika tidak berhati-hati... Aku takut kalau aku akan bertindak berdasarkan dorongan hati.”

Rasionalitas anak cowok puber sangat tidak bisa diandalkan, jadi ketika melihat sikap Mahiru yang tidak curigaan, Amane mungkin akan membawanya langsung ke dalam kamar tidurnya.

Amane sudah memutuskan untuk menghargai Mahiru. Di masa depan, Ia juga ingin secara bertahap menghargai setiap waktu dan pengalaman yang mereka alami bersama. Amane tidak mau membiarkan instingnya menjadi liar dan langsung maju ke base terakhir bersama Mahiru. Apalagi jika itu yang terjadi, Mahiru lah yang lebih merasa kesakitan dana lebih terpengaruh daripada dirinya.

Amane juga mencoba yang terbaik untuk mengeluarkan kalimat berikutnya. Saat Mahiru mendengarnya, dia gemetaran dan diam-diam menatapnya. Amane berusaha menahan rasa malu yang tidak bisa disembunyikannya, dan dengan lembut menyentuh kepala pacar kesayangannya.

“Kumohon. Aku ingin menghargaimu, jadi tolong beri perhatian lebih dengan tingkahmu.”

Amane memberitahunya dengan nada yang begitu lembut.

“A-Aku akan mencoba yang terbaik...” seraya dielus-elus Amane, Mahiru menjawab malu-malu dengan suara yang kurang percaya diri.

 

 

Sebelumnya || Daftar isi || Selanjutnya

 

close

Posting Komentar

Budayakan berkomentar supaya yang ngerjain project-nya tambah semangat

Lebih baru Lebih lama