Chapter 1 — Reuni dan Perpiasahan
“Maa-chan?”
Nama yang kembali muncul dari kedalaman
ingatannya, secara spontan keluar dari mulut Masachika. Kemudian Maria mengangguk
perlahan dengan senyum penuh kerinduan yang menghiasi wajahnya.
“Benar ... Ini aku. Saa-kun”
Setelah mendengar jawaban
tersebut, bayangan “gadis itu” yang
telah lama bersembunyi di balik kabut, dan penampilan Maria yang ada di
hadapannya saling tumpang tindih......tumpang tindih …..
(Tidak,
jelas-jelas penampilannya sangat berubah drastis?!)
Gadis itu … walaupun akhirnya
Masachika bisa mengingat sosok Maa-chan dengan jelas, tapi penampilannya sangat
jauh berbeda dari Senpai yang ada di hadapannya. Tidak hanya tinggi dan bentuk
tubuhnya saja yang benar-benar berbeda, tapi bahkan warna rambut serta warna
matanya juga sudah berubah. Suasana yang dipancarkannya juga berubah secara
dramatis karena warna rambut pirang dan mata birunya telah berubah menjadi
rambut kecoklatan dan mata coklat. Citra gadis yang dulunya terlihat seperti
bidadari, dan Onee-san yang kalem nan penyayang di hadapan Masachika, sama
sekali tidak sama persis.
(Yah,
wajar saja selama ini aku tidak menyadarinya ... meski begitu, pasti ada yang
aneh dengan diriku karena tidak menyadarinya selama lebih dari dua bulan!)
Sambil terus merenungkannya,
Masachika bertanya dengan perasaan setengah hati kepada Maria.
“Ummm ... Maa-chan, iya ‘kan? Gadis yang selalu
bermain bersamaku di taman ini sekitar enam tahun yang lalu ...?”
“Ya, itu benar.”
“Ah, eh, ummm ...”
Selain reuni yang benar-benar
tidak terduga, fakta bahwa orang yang dulu pernah Ia sukai adalah seseorang
yang sudah dikenalnya membuat Masachika tidak tahu harus berbuat apa.
Maria hanya tersenyum kecil dan
dengan lembut meraih tangan Masachika yang tatapan matanya mengembara
kemana-mana sambil bergumam dengan tidak jelas.
“Untuk saat ini, mari pergi ke
tempat yang teduh dulu, yuk?”
“Ah, iya.”
“Duhh~ ... bahasa formalmu
kedengarannya aneh, tau.”
“Ah~ ...”
Memang benar kalau dulu cara
bicaranya agak kasar. Sambil mengingat hal tersebut, Masachika berjalan menuju
bangku di bawah naungan pohon saat dirinya dituntun oleh tangan. Setelah duduk
berdampingan di bangku, Masachika akhirnya sempat memilah-milah pikirannya dan
mengajukan pertanyaan.
“Umm ... sejak kapan kamu
menyadarinya?”
Pertanyaan yang keluar dari
mulutnya merupakan cara berbicara yang berada di antara bahasa formal dan
informal. Namun, Maria tidak terlalu terganggu dengan hal itu dan menjawabnya
dengan enteng seraya melihat ke depan.
“Hmm~ tepat setelah kita
bertemu di ruang OSIS?”
“Bukannya itu sejak awal
pertama kali kita bertemu!?”
“Ya. Aku sempat meragukannya
karena nama margamu berbeda, jadi aku mencoba memastikannya dengan berbicara
dalam bahasa Rusia, tapi kamu sama sekali tidak menanggapinya, jadi aku
berpikir kalau aku mungkin salah orang, tau?”
Setelah mengatakan itu dengan
sedikit lucu, Maria menoleh ke arah Masachika. Dia lalu berkata sambil
menyipitkan matanya dengan tatapan yang penuh kasih sayang.
“Tapi kupikir Saa-kun masih
tetaplah Saa-kun .... sudah pasti begitu. Ditambah lagi, ada ini ...”
“Eh, apa ...?”
Terlepas dari Masachika yang
kebingungan, Maria menyentuh bahu kanan Masachika dan membelainya dengan
lembut.. Tidak, bukan bahunya yang dibelai Maria ….. melainkan bekas luka lama
yang ada di sana.
“Jejak Saa-kun yang sudah
melindungiku ... Mana mungkin aku bisa salah orang, iya ‘kan?”
“Ahh, itu sih, memang benar.”
“Fufufu, sudah kubilang, bahasa
formalmu.”
“Ah, tidak, ya ...”
Meski diberitahu begitu, bagi
Masachika, gadis yang ada dihadapannya itu adalah Masha-san, bukan Maa-chan.
Mana mungkin Ia bisa mengubah perspektifnya dengan mudah, dan sudah terlalu banyak
waktu berlalu untuk bersikap santai dengannya seperti dulu.
“Umm, walau begitu, ini masih kebetulan
yang hebat, ‘kan? Rasanya terlalu banyak kebetulan bahwa kita bisa bertemu lagi
di sini dari semua tempat......”
“Ini sama sekali bukan kebetulan,
kok”
“Ehh?”
Maria diam-diam memberi tahu dengan
wajah serius kepada Masachika yang berusaha mengalihkan pembicaraan karena tak
tahu harus berkata apa.
“Aku sempat berpikir untuk
menyerah jika aku tidak bisa bertemu denganmu selama masa liburan ini. Itu
sebabnya... ini adalah takdir.”
“Ta-Takdir ... tidak, menurutku
ini memang terlihat seperti drama, tapi bukannya itu masih terlalu
berlebihan…..”
Meskipun Masachika berusaha membantah
dengan tersenyum kecut, tapi sikap Maria sama sekali tidak berubah. Suara
Masachika memudar secara alami saat melihat tatapan matanya yang lurus itu.
Kemudian, Ia diam-diam bertanya kembali dengan wajah serius.
“Apa maksudmu dengan ….
takdir?”
Itu akan menjadi pertanyaan
yang kasar dan terlalu blak-blakan. Tapi Maria langsung menjawabnya tanpa
ragu-ragu.
“... aku sudah pernah
mengatakannya selama kamp pelatihan, bukan? Jodoh*, itulah yang kumaksud, loh?”
.” (TN: Di raw,
Maria bilangnya Unmei no Aite (運命の相手), atau kalau diterjemahkan secara
harfiah artinya Pasangan yang ditakdirkan, mimin nerjemahinnya jadi kata Jodoh
karena sudah cocok buat menggambarkan maksudnya ini.)
Tak diragukan lagi kalau itu
adalah pengakuan cinta. Jantung Masachika berdetak tidak karuan, dan kata
penyangkalan secara refleks keluar dari bibirnya.
“Enggak, enggak, enggak,
enggak, ini aneh, ini sangat aneh.”
“Kenapa?”
“Malah tanya kenapa ... tidak,
kamu tidak mempunyai alasan untuk menyukaiku. Aku bukan Suou Masachika, aku
bukan Saa-kun lagi, dan aku tidak ingat melakukan apapun untuk membuat
Masha-san menyukaiku. Justru sebaliknya, aku terus menunjukkan sisi
menyedihkanku...”
Maria tertawa sedikit kesepian
sebelum berkata pada Masachika, yang menyusun kata-kata penyangkalan terhadap
dirinya sendiri satu demi satu.
“Ya ... itu benar sih. Kuze-kun
memang berbeda dari Saa-kun dalam banyak hal.”
“Nah, ‘kan? Lagipula, setelah
kupikir-pikir lagi sekarang, aku juga dulunya lumayan nakal ... bukannya dulu aku cuma bocah nyebelin yang
selalu menyombongkan diri?”
“Fufu, yah itu benar sih~ meski
aku tidak berpikir kalau kamu menyebalkan, tapi memang ada banyak cerita yang
menyombongkan diri.”
“Ugh, tuh ‘kan ...”
Meskipun sudah mengetahuinya,
Ia masih merasa tidak tahan mendengarnya jika ditegaskan begitu. Di depan
Masachika yang meringkuk malu sampai-samapi membuatnya ingin menghilang, Maria
memalingkan pandangannya ke kejauhan seolah bernostalgia dengan masa lalu.
“Kamu dengan bangga tertawa
seperti, [Bagaimana! Hebat sekali,
bukan!]......”
“Ugh……”
“Saat aku memujimu, kamu selalu
tertawa dan terlihat sangat bahagia ... Fufufu, waktu itu kamu imut sekali.”
“Im-Imut ...”
Bahu Masachika terjatuh dengan
lesu ketika menyadari kalau dirinya benar-benar diperlakukan seperti anak
kecil. Dalam keadaan seperti itu, Maria lalu tiba-tiba menunjukkan senyum yang
berbeda.
“Walaupun kamu sedang
menderita, kamu berpikir [Aku tidak
berhak untuk menderita], dan selalu memaksakan senyummu ...”
“...Hah?”
Alur pembicaraan tiba-tiba berubah
dan Masachika mengedipkan matanya. Seraya menatap lurus ke arah Masachika, Maria
memberitahunya dengan suara yang begitu lembut.
“….. akan tetapi, aku sangat
menyukai senyummu lebih dari apapun.”
“!!!”
“Kamu sebenarnya orang yang
sangat baik hati dan peduli daripada siapa pun, tapi kamu tidak bisa mengakuinya
pada dirimu sendiri, dan justru melukai dirimu sendiri di balik senyumanmu ... melihatmu
yang seperti itu membuatku ingin memelukmu sekuat tenaga. Aku ingin memelukmu
erat-erat, membelai kepalamu, mencium pipimu dan memberitahumu... [Kamu sudah melakukan yang terbaik] atau
[Kamu tidak perlu membenci dirimu
sendirimu lagi], Aku hanya ingin memberitahumu lagi dan lagi.”
Pandangan Maria dipenuhi dengan
kasih sayang dan gairah saat mengatakan itu. Melihat ekspresinya yang begitu,
Masachika berpikir seraya ingin melarikan diri dari kenyataan.
(Eh,
dengan kata lain, dia menyukai cowok nakal?)
Tapi Masachika segera menyingkirkan
pemikiran konyol itu.
(Hmm,
apa ini ... tentang yang itu? Dia berpikir kalau cowok yang berusaha keras dibalik
layar itu imut...Sesuatu yang mirip seperti itu?)
Setelah berhasil menguraikan
kata-kata Maria menjadi interpretasi yang tidak bisa dipahami, Masachika
menutup ujung mulutnya untuk menghindari tatapan penuh gairah dari Maria.
“Sesuatu yang mirip seperti
pahlawan kegelapan yang mengemban beban berat seperti itu di punggungnya. .....
Aku bukan orang yang sekeren itu, kok.”
Dirinya sama sekali tidak
memiliki masa lalu yang begitu tragis. Yang ada hanyalah amukan anak kecil dan
lari dari rumah, lalu tidak bisa pulang kembali. Dan masalah tersebut hanya
terus diulur-ulur hingga saat ini. Masalah yang dialaminya sama sekali tidak
penting jika diungkapkan melalui kata-kata.
Di hadapan Masachika yang
mengejek dirinya sendiri seperti itu ... Maria menggeliatkan tubuhnya sedikit seolah-olah
sedang menahan sesuatu.
“Jika kamu terus menunjukkan wajah
imut seperti itu ...”
“Ehh?”
Kemudian, seakan-akan sedang
membisikkan sesuatu, Maria tiba-tiba membuka lebar tangannya dan memeluk
Masachika.
“Gyuuuu~!”
“Wahh, apa!? Kenapa!?”
“Habisnya semua itu salah
Kuze-kun, sih! Karena kamu terus merayuku dengan wajah imut seperti itu!”
“Hah?! Salahku!?”
Ekspresi Masachika segera
menjadi linglung saat dirinya tiba-tiba dipeluk dan pipinya ditekan pada pipi
Maria dengan seluruh tenaganya. Bahasa fisik yang luar biasa dari seorang
Onee-san mampu menerbangkan semua pikirannya dalam sekali rangkulan. Gelombang
informasi super penting, seperti sensasi kenyal anggota tubuh feminin Maria dan
aroma harum yang merangsang rongga hidungnya, memenuhi otak Masachika dan membuatnya
kepanasan dalam sekejap.
(Le-Lembut
sekali~ Baunya juga wangi~)
Bersamaan dengan otaknya yang
sudah overheat, Masachika merasa
seperti menjadi bocah SD lagi. Bisikan samar yang keluar dari mulur Maria,
membelai daun telinganya.
“(Ini benar-benar... Saa-kun
...)”
Pada saat itu, Masachika dengan
cepat mendapatkan kembali pemikiran normalnya sembari merasakan sensasi sesak
di dadanya.
(Kalau
dipikir-pikir, lagi……)
Menurut penuturan Maria, bukan sebuah
kebetulan mereka bisa bertemu lagi di sini hari ini. Dengan kata lain …. Maria
sering mengunjungi tempat ini dari waktu ke waktu, dengan harapan bisa bertemu
teman lamanya lagi. Meskipun dia tidak punya satu pun bukti bisa bertemu
kembali.
(Apa-apaan,
itu ... kenapa dia sampai ...)
Masachika tiba-tiba merasa
seperti akan menangis karena sedikit getaran yang menjalar di sekujur tubuhnya.
Perasaan panas membuncah di dadanya, dan secara impulsif ingin memeluk kembali gadis yang
ada di depannya.
“Masha-sa…”
Masachika mengangkat tangannya
bersamaan dengan emosi yang melekat di dadanya ... namun, pada saat itu.
“Ahh~! Maria Onee-chan sedang
berkencan~!”
Masachika tanpa sadar berbalik saat
mendengar suara teriakan bernada tinggi khas anak kecil. Kemudian, ada
tujuh anak sekolah dasar yang kelihatannya berusia sekitar sepuluh tahun. Tampaknya
Maria juga sudah menyadari keberadaaan mereka, dan dia menjauhkan badannya dari
Masachika sambil menggaruk pipinya karena merasa malu. Akibatnya, kedua lengan
Masachika mengembara di udara dan segera dikembalikan ke arah lututnya.
“A-Ahh~ ... sepertinya kita
sudah memperlihatkan sesuatu yang memalukan~”
“... apa kamu mengenal mereka?”
“Ahahaha ya, mereka adalah
teman yang kadang-kadang bermain bersamaku ...”
Ketika sedang membicarakan hal
itu, tiga gadis di antara mereka bergegas mendekati Masachika dan Maria dengan
mata berbinar. Empat anak laki-laki dengan ekspresi penuh kecurigaan mengikuti
di belakang mereka.
“Nee~Nee~ Apa jangan-jangan
orang ini yang sering dibicarakan Maria Onee-chan?”
Gadis yang paling depan
bertanya kepada Maria dengan wajah penasaran. Maria kemudian mengangguk jelas,
meski dengan sedikit malu-malu.
“Ya ... Ia adalah orang yang kusukai.”
“““Kyaaaaaaa~~~~!”””
Pengakuan Maria menyebabkan ketiga
gadis itu berteriak memekik. Dan pada saat yang sama….
(Eh,
tadi itu apaan? Rasanya aku baru saja mendengar suara patah hati cinta pertama
seorang anak laki-laki yang dihancurkan dengan kejam... Terlebih lagi, empat orang secara bersamaan!)
Terlihat jelas dari wajah empat
laki-laki yang berdiri di belakang para gadis bahwa ini bukanlah kesalahan
Masachika. Lagipula, mereka semua membeku seolah-olah lupa untuk mengedipkan
mata.
“Nee~ Nee~ Onee-chan~! Bagian
mana yang membuatmu menyukainya!?”
“Eh, lebih baik kita jangan
mengganggu mereka, deh.”
“Benar tuh~ benar~. Ummm,
silakan nikmati waktu kalian berdua~?”
“Ahaha, apa-apaan itu~?”
Ketiga gadis itu pergi begitu
saja layaknya angin puyuh sambil membuat keributan. Mereka juga tidak lupa
untuk menyeret anak laki-laki yang tertegun. Itu adalah pembersihan yang luar
biasa.
“... Gadis SD jaman sekarang
tuh sudah punya sifat dewasa-dewasa semua, ya.”
“Fufu, ya begitulah~”
Kata-kata tersebut keluar dari
mulut Masachika karena terkejut dengan trio gadis yang seperti badai. Masachika
kembali tersadar saat ucapannya dijawab setuju oleh Maria. Ia kemudian teringat
dengan perkataan Maria tadi dan langsung merasa gelisah.
“Umm, mengenai perkataan tadi
...”
“Ya?”
“Ap-Ap-Ap-Apa maksudnya
dengan... orang yang kamu sukai ...?”
Ketika Ia bertanya dengan
malu-malu, Maria mengangguk dengan senyum tenang di wajahnya. Jantung Masachika
berdetak kencang pada senyumannya yang terlihat seperti orang dewasa.
“Ya ... aku menyukaimu, kok? Aku
selalu menyukaimu. Cuma kamu satu-satunya orang yang selalu aku cintai.”
Itu adalah pengakuan cinta yang
jujur dan
tulus. Usai menerima itu …. Apa yang dipikirkan Masachika hanyalah kesedihan
semata.
“Lantas, kenapa ...”
“Ehh?”
“Kenapa kamu meninggalkanku ….
pada hari itu?”
“E-Ehh?”
Ketika Maria berkedip beberapa
kali dalam kebingungan, Masachika melontarkan kata-kata di hari perpisahan
mereka yang bangkit kembali dari kedalaman ingatannya, seolah-olah ingin melampiaskan
perasaan pahitnya.
“Bukannya kamu sendiri yang
memberitahuku pada hari itu? Sudah waktunya kita mengucapkan selamat tinggal.
Aku bukanlah orang yang ditakdirkan, jadi kamu takkan menemuiku lagi!”
“E-Ehh, tunggu, tunggu dulu
sebentar, ehh….. !”
Begitu mendengar tuduhan
Masachika, Maria membuka lebar-lebar matanya dan sedikit tersentak, dan pada
saat berikutnya dia menggelengkan kepalanya.
“Ak-Aku tidak mengatakan itu!
Aku sama sekali tidak pernah mengatakan itu, kok!?”
“Tapi, kamu jelas-jelas
mengatakan itu...”
“Memang benar aku mengucapkan
selamat tinggal! Tapi apa yang terjadi setelah itu berbeda! [Jika kamu memang bukan jodohku, aku takkan
pernah menemuimu lagi. Tapi jika kamu memang belahan jiwaku, kita pasti akan
bertemu lagi] itulah yang kukatakan!?”
“... Eehh?”
Dalam pembelaan Maria,
Masachika menelusuri kembali ingatannya sambil terdengar skeptis. Sembari
berusaha mengingat-ngingat kembali, dirinya memang merasa bahwa Maria mengatakan
sesuatu setelah pernyataan “Aku takkan
menemuimu lagi”. Hanya saja ... perkataan awal Maria terlalu mengejutkan sehingga
Masachika melewatkan apa yang terjadi selanjutnya.
Benar sekali, Masachika
melewatkannya. Ketika dirinya kembali tersadar, Maria sudah pergi ... setelah
itu, Ia mengunjungi taman berkali-kali untuk melihat apakah ada semacam kesalahan,
tapi Ia masih tidak bisa menemuinya.
Masachika menutup matanya dari
kenyataan. Tanpa memikirkannya secara mendalam, Ia melarikan diri pada
kesimpulan sembarangan dan dimabukkan dengan tragedi bahwa “Gadis itu sama seperti ibu, dia sudah mengkhianatiku”. Dirinya
lalu melabelinya sebagai [kenangan yang
tidak menyenangkan] bersamaan dengan kenangan ibunya dan menyegelnya jauh-jauh
di dalam ingatannya. Seandainya saja Ia memikirkannya dengan lebih hati-hati
daripada melarikan diri, Masachika mungkin telah sampai pada kebenaran.
“Ha-Hahaha ...”
Masachika mengeluarkan tawa
kering setelah dihantam oleh perasaan kecewa. Mau tak mau Ia merasa konyol saat
berpikir kalau dirinya begitu terluka oleh kesalahpahaman kecil semacam itu.
Setelah melihat keadaan Masachika yang seperti itu, Maria menurunkan alisnya
dengan permintaan maaf yang tulus.
“Umm …. Maafkan aku, ya? Aku
ingin mengucapkan kalimat perpisahan pentingku dalam bahasa Jepang ... tapi aku
justru membuatmu salah paham karena aku menggunakan bahasa Jepang yang belum
mahir ...”
“Ahh ... tidak, semua itu
salahku sendiri karena terlalu cepat mengambil kesimpulan, jadi Masha-san tidak
perlu mengkhawatirkan hal itu...”
Mungkin persis seperti yang
Maria katakan, kemampuan bahasa jepangnya yang belum begitu mahir pada waktu
itu, bisa menyebabkan kesalahpahaman. Tapi yang tak kalah pentingnya, ada
kemungkinan bahwa kenangan masa lalu telah diubah dalam pikiran Masachika. Terutama
kenangan masa kecil, yang dapat diubah sesuai dengan keinginan sendiri, entah
dalam artian yang baik maupun buruk.
Bagaimanapun juga, mana yang
benar? Tidak ada cara untuk mengetahui dengan pasti sekarang, jadi tidak ada
gunanya memikirkannya.
“Aku sungguh minta maaf……”
Tapi Maria meminta maaf sekali lagi
dengan suara sedih dan dengan lembut memeluk Masachika. Masachika hampir
menyerah pada sensasi yang sangat menenangkan hati tersebut...... tapi pengakuan
cinta Maria kembali teringat dalam benaknya dan Ia dengan cepat menjadi tidak
nyaman.
“Umm, aku ...”
Maria mengangguk pada Masachika
yang kelihatan bimbang untuk berbicara, seolah-olah dia sudah memahami
segalanya.
“Tidak apa-apa ... jangan
khawatir, aku tidak mencari jawaban atas pengakuanku yang tadi.”
“Ehh……”
“Habisnya Kuze-kun tidak
menganggapku sebagai target seperti itu, iya ‘kan?”
“Ugh……”
Sepertinya dia benar-benar
mengetahui semuanya, dan Masachika merasa tidak nyaman dengan cara yang berbeda
dari sebelumnya. Melihat Masachika mematung dengan ekspresi canggung, Maria
melepaskan tubuhnya sambil terkekeh, dan melanjutkan dengan suara yang tenang.
“Ditambah lagi ... kamu pasti
sudah menyadarinya, ‘kan? Perasaannya Alya-chan.”
“!!!”
Masachika tersentak, tidak menyangka
Maria akan menyebutkan hal itu. Maria tersenyum sedikit lucu pada Masachika,
yang tidak yakin bagaimana harus bereaksi.
“Fufu, yah, walaupun Alya-chan
belum menyadari perasaannya sendiri, sih ….. tapi aku penasaran apa kita
menyukai orang yang sama karena kita berdua memang kakak beradik.”
“.....”
Maria berbicara tanpa terlalu
peduli mengenai bagaimana kakak beradik bisa jatuh cinta pada orang yang sama,
sesuatu yang hanya akan menimbulkan kekacauan bagi sudut pandang orang luar. Masachika
merasakan ketidaknyamanan yang kuat ketika melihat pemandangan ini.
“Kenapa……”
Kenapa
kamu terlihat begitu tenang? Maria yang menangkap bagian
tak terucapkan dari pesan itu, melanjutkan dengan tenang seperti biasa.
“Karena itu hal yang
menggembirakan. Alya-chan yang jutek begitu akhirnya jatuh cinta pada
seseorang. Dan orang tersebut adalah cowok sehebat Kuze-kun.”
“…...”
“Aku benar-benar sangat senang.
Baik Alya-chan maupun Kuze-kun, aku sama-sama menyayangi kalian …. Jadi, itu
sebabnya…”
Seraya tiba-tiba mendongak ke
atas langit, Maria bergumam dengan suara merenung.
“…. Aku masih tidak ingin
bersaing dengan Alya-chan.”
Itulah pemikiran yang pernah
Maria bicarakan kepadanya tempo hari di lorong sekolah, tempat dimana sinar
temaram senja bersinar. Kata-kata yang sama seperti dulu bergema dengan makna
yang berbeda sekarang.
“Apa itu berarti……”
Apa
itu berarti kamu ingin menyerah demi adikmu ...?
Maria tersenyum pelan saat
menanggapi tatapan terkejut Masachika.
“Oleh karena itu, aku ingin
Kuze-kun menghadapi pikiran dan perasaan Alya-chan.”
“Eh?”
“Jika kamu bersedia menghadapi
perasaan Alya-chan dengan benar ...... dan seandainya kamu masih tetap
memilihku .....”
Di tengah kalimat, Maria
memotong kata-katanya dan tersenyum begitu indah sehingga membuat Masachika
terpesona olehnya.
“Jika itu yang terjadi, apakah
Kuze-kun bersedia ... untuk mengakui perasaanmu dulu padaku?”
Dada Masachika mengencang
karena kelembutan dan perhatian yang tak ada habisnya di dalam kata-katanya.
“Apa Masha-san …. tidak merasa
keberatan dengan itu?”
Setelah benar-benar memahami
perasaan Masachika dan Alisa, dia masih bersedia untuk mengambil langkah mundur
dan mengutamakan perasaan mereka berdua. Masachika menganggap usulan tersebut
terlalu mengorbankan dirinya, tapi Maria menurunkan alisnya dan terlihat
sedikit bermasalah.
“Tolong jangan memasang
ekspresi seperti itu. Ini semua hanya keegoisanku sendiri, aku cuma tidak ingin
menyakiti Alya-chan maupun Kuze-kun”
Dan kemudian ada sedikit
penyesalan di dalam raut wajahnya.
“... Maafin aku, ya? Aku tahu
jika aku menyatakan perasaanku sekarang, aku hanya akan merepotkan Kuze-kun.
Meski sudah memahami itu, aku tetap tidak bisa mengendalikan perasaanku ...
tapi aku benar-benar tidak ingin menyakiti perasaan kalian berdua. Aku ingin
kalian berdua membuat pilihan yang takkan kamu sesali ...”
Setelah mengatakan itu dengan
sedikit perasaan getir, Maria mengangkat jari telunjuknya di depan bibirnya.
“Oleh karena itu ... apa yang
terjadi di sini, dan mengenai masa lalu kita, tolong rahasiakan dari Alya-chan,
ya? Jika dia mengetahui kalau Kuze-kun adalah Saa-kun …. Aku takut kalau
Alya-chan akan bersikap sungkan padaku dan akan memendam perasaannya sendiri.”
Seketika itu juga, rasa
kesepian yang tak terlukiskan melanda hati Masachika. Meskipun bingung oleh
emosi yang bahkan tidak bisa dia pahami, Masachika menganggukkan kepalanya.
“… baiklah, aku mengerti.”
“Ya”
Maria mengangguk kecil saat menanggapi
jawaban Masachika dan berbalik menghadap ke depan. Keheningan terus berlanjut
untuk sementara waktu. Tapi anehnya, Masachika merasa nyaman dengan kesunyian
ini. Hanya saja, terdapat rasa kesepian tak dikenal yang bersemayam di dalam
hatinya. Maria juga sedang melihat taman dengan ekspresi sedih di wajahnya.
“……Mungkin sekarang sudah
saatnya…”
Sudah berapa lama waktu
berlalu? Pada akhirnya, Maria berdiri untuk mengatakan itu dengan lantang dan
menatap Masachika dengan senyum kecil di wajahnya.
“Karena pembicaraan kita sudah
selesai ... bagaimana kalau kita pulang sekarang?”
“Ah ... ya, benar juga. Umm,
apa mau kuantar pulang sampai ke rumah?”
“Makasih banyak, tapi tidak
usah. Aku yakin Kuze-kun juga ingin memikirkan banyak hal ... jadi, cukup
sampai di sini saja.”
“Ah ya, baiklah.”
Masachika berdiri sambil merasa
sedikit kecewa karena Maria berpisah dengan begitu mudahnyaKemudian Maria
dengan ringan mengulurkan tangannya ke arah Masachika.
“Hmm? ada apa?”
Masachika sedikit gugup,
bertanya-tanya apa dirinya akan dipeluk lagi. Lalu Maria berkata sembari
tersenyum masam.
“Terakhir, boleh aku mencium
pipimu seperti dulu?”
“Eh? ... Ahh.”
Kalau dipikir-pikir, Ia biasanya
mendapat cipika-cipiki setiap hari
ketika hendak mengucapkan selamat tinggal. Seraya mengingat itu, Masachika
diliputi oleh perasaan nostalgia dan mengangguk tanpa berpikir panjang.
“Iya, boleh kok.”
“Hmm”
Begitu Masachika menoleh ke
arahnya, Maria langsung mendekati sembar mengulurkan tangannya dan merangkul
bahunya. Kemudian, pipi kanannya menempel dengan pipi kiri Maria, dan disusul
pipi kirinya.
(Ah,
rasanya nostalgia sekali...)
Masachika menyipitkan matanya
tanpa sadar pada salam yang sudah dia berikan berkali-kali sebelumnya. Dan pipi
Maria yang menempel di pipi kirinya bergerak ke samping ...
“Ehh?”
Tubuh Masachika menegang saat
merasakan sensasi lembut di pipinya. Maria tersenyum jahil pada Masachika yang
tertegun dengan mata terbuka lebar.
“Aku yakin Alya-chan akan
memaafkanku jika cuma sebatas ini, iya ‘kan?”
“Ah, iya...?”
“Fufu, kalau gitu sampai jumpa
lagi, Kuze -kun. Lain kali jika kita bertemu lagi, mari bertingkah seperti
biasanya, ya!”
Dengan senyum yang sedikit
malu-malu, Maria melambaikan tangannya dan berjalan menuju pintu masuk taman.
“Ah iya …”
Masachika juga balas melambai
dengan keadaan setengah linglung. Dan setelah Maria menghilang di luar taman,......
Masachika akhirnya menyadari alasan perasaan kesepian yang bersemayam di
hatinya
(Jadi,
begitu rupanya ...)
Ini adalah perasaan kesepian
pada akhir suatu cerita. Kisah cinta antara Saa-kun dan Maa-chan, yang
tertinggal di benak Masachika karena perpisahan setengah hati mereka pada hari
itu, benar-benar diselesaikan hari ini.
Sudah tidak ada lagi Saa-kun
yang kuat dengan bekas luka, dan Maa-chan yang lugu nan polos pada hari itu. Bahkan
jika Masachika dan Maria jatuh cinta lagi di masa depan, ….. kisah itu tidak
bisa menjadi kelanjutan dari cerita tersebut. Kisah kedua orang itu baru saja
selesai di dalam hati Masachika dan Maria sebagai kenangan masa lalu.
“…..”
Masachika kembali menatap arean
taman dalam diam. Dengan begitu, Ia bisa melihat pemandangan yang dulu ada di
sana. Dua bayangan anak kecil yang tidak pernah bosan berbicara satu sama di atas
peralatan bermain. Mereka berdua berlarian dengan senyum yang menghiasi wajah
mereka sambil berpegangan tangan. Dan kemudian ….. mereka berpisah dalam
keadaan penuh kesalahpahaman. Kisah cinta pertama samar yang berakhir dengan
kesedihan …
“Selamat tinggal.”
Setelah mengucapkan salam
perpisahan pada dua bayangan anak kecil itu, Masachika melangkahkan kaki meninggalkan taman
sendirian.
Sebelumnya
|| Daftar isi || Selanjutnya