Bab 12 — Kampung Halaman dan Pengungkapan Hubungan
“Apa semua pintu dan jendelanya sudah dikunci?”
“Bukannya kamu sendiri sudah
melihatku menguncinya?”
Di koridor dekat pintu rumah,
Amane mendengar Mahiru mengingatkannya, dan tersenyum lembut.
Biasanya, Mahiru tidak
mengomelinya sebanyak ini. Mungkin karena mereka akan pergi untuk waktu yang
lama, jadi dia sedikit khawatir.
Mulai hari ini, dia akan
mengunjungi kampung halaman Amane selama dua minggu, dan Mahiru sangat
berhati-hati dalam menjaga keamanan semuanya.
“Aku sudah melihatnya, tapi aku
akan tetap bertanya untuk jaga-jaga.”
“Iya deh, iya. kamu sendiri
tidak lupa membawa apa pun, bukan?”
“Tidak. Aku sudah mengirim
barang bawaan yang diperlukan dan memeriksa barang-barang yang aku bawa pagi
ini. Pintu dan jendelaku sudah terkunci, dan aku sudah memeriksa dengan
hati-hati semua yang ada di rumah Amane-kun, dari tempat sampah hingga kulkas.
Jadi kamu tidak perlu khawatir.”
“Itu sih terima kasih banyak.”
Lagi pula, tidak mudah membawa
barang bawaan yang cukup untuk bertahan selama dua minggu. Jadi mereka
mengirimkan dulu barang-barang bawaan yang dibutuhkan melalui pengiriman ekspres, dan tidak ada kekeliruan.
Amane berterima kasih atas
ketelitiannya sampai serinci itu sambil mengambil tas Mahiru, lalu memegang
tangannya.
Setelah berkedip pelan, Mahiru
dengan lembut berkata, “Aku menyukai
sifat Amane-kun yang begitu”, dan membalas dengan memegang erat kembali tangannya.
◇◇◇◇
Butuh waktu lebih dari satu jam
menaiki Shinkansen untuk bisa sampai di kampung halaman Amane.
Amane duduk di kursi yang telah
dipesan dan mengobrol dengan Mahiru sambil menikmati pemandangan. Dengan
demikian, mereka berdua merasa waktu berlalu tidak begitu lama sebelum
Shinkansen mencapai tujuannya.
Pemandangan stasiun - meskipun baru setahun sejak terakhir kali Amane
melihatnya - membuatnya merasa sangat bernostalgia. Ia menggandeng tangan
Mahiru sekali lagi dan membawanya menuju area pertemuan yang telah dijadwalkan.
“Jadi ini kampung halamannya
Amane-kun, ya”
“Ya, tapi kita masih perlu
mengendarai mobil sedikit lagi untuk sampai ke rumah.”
Shinkansen hanya berhenti di
stasiun besar, jadi mereka harus turun di sini. Masih ada jarak yang perlu
ditempuh untuk mencapai rumahnya.
Kali ini Shihoko yang mempunyai
waktu luang, datang untuk menyambut mereka di stasiun, jadi Amane menerima
kebaikannya meski ada juga alasan sederhana karena Shihoko ingin melihat
Mahiru.
Amane berjalan menuju pilar
besar di samping loket tiket dan melihat ibunya.
Ia merasa kalau berpegangan
tangan di depan ibunya masih akan memalukan, jadi Amane melepaskannya. Namun,
ada sedikit ketidakpuasan yang terpancar dari ekspresi Mahiru, jadi Amane
buru-buru menepuk punggungnya.
(Aku
belum memberi tahu mereka bahwa kita sudah berpacaran, tolong maafkan aku kali
ini)
Sudah menjadi kebiasaan bagi
keduanya untuk berpegangan tangan, dan terkadang mereka melakukannya secara
tidak sadar. Amane ingin memperhatikan hal ini selama perjalanan mereka.
Mahiru sedikit enggan, tapi
setelah melihat sosok Shihoko dia sepertinya memahami maksudnya dan kembali
dengan ekspresi biasanya.
Shihoko sepertinya
memperhatikan mereka berdua dan berjalan mendekati dengan senyuman yang penuh
kegembiraan.
“Sudah lama tidak bertemu,
Shihoko-san.”
“Wah, wah, selamat datang
Mahiru-chan! Kamu beneran datang ke sini!”
Seperti yang diharapkan Amame,
hal pertama yang dilakukan ibunya sendiri adalah menyapa Mahiru.
Meski agak terkejut, Mahiru
menundukkan kepalanya dengan senyum lembut.
“Terima kasih atas undangannya.
Padahal inimerupakan reuni keluarga yang langka, dan membiarkanku mengganggu…”
“Jangan terlalu dipikirkan, itu
karena aku ingin melihat Mahiru-chan! Masalahnya, aku juga ingin bertemu
denganmu selama liburan musim semi, tapi aku tidak bisa mengatur waktunya… ah,
ada apa, Amane?”
“Memangnya ibu tidak punya
beberapa kata untuk putramu sendiri?”
“Aduduh, selamat datang di
rumah Amane. Terima kasih sudah membawa Mahiru-chan ke sini.”
“Ya, ya.”
Amane tahu kalau ibunya hanya
bercanda, dan Ia tidak benar-benar marah. Tapi mungkin Shihoko bisa merasakan
sedikit ketidaknyamanannya dan berkata, “Duh dasar tukang ngambek. Tentu saja
aku senang melihatmu kembali, Amane.” dan menyoleknya.
Amane menepis tangan Shihoko
dan melihat sekeliling.
Mereka tahu Shihoko akan datang
menjemput mereka, tapi agak mengejutkan bahwa ayahnya tidak ada di sana.
Ayahnya juga harus mengambil cuti hari ini, dan Amane mengira kalau kedua orang
tuanya akan datang.
“Kalau ayah di mana?”
“Shuuto-san sedang memasak di
rumah sekarang~.”
“Begitu ya…”
Hal tersebut tidak mengherankan.
Shuuto suka memasak dan menjamu
tamu, jadi Ia akan membuat berbagai persiapan dulu di rumah.
“Beruntung sekali Mahiru,
makanan ayahku enak sekali, tau.”
Amane memberi tahu Mahiru
dengan cara begitu tanpa mengatakan
'Walaupun tidak seenak milikmu'. Kemudian, Mahiru juga menunjukkan senyum
tipis.
“Kalau begitu, aku
menantikannya.”
“Ufufu, tolong nantikan cita
rasa keluarga kami.”
“Bisa-bisanya Ibu bilang begitu
padahal bukan ibu yang memasaknya … yah, memang tak bisa dipungkiri kalau
masakan Ayah rasanya jauh lebih enak.”
“Tidak usah dibilang begitu
juga kali, dasar kamu ini.”
Shihoko cemberut seraya
menggembungkan wajahnya. Namun, faktanya keterampilan memasak Shuuto memang
jauh lebih baik.
Shihoko memasak di hari kerja,
sedangkan Shuuto memasak di akhir pekan. Meski yang pertama memiliki lebih
banyak pengalaman, masakan Shuuto masih terasa lebih enak.
Bukan karena masakan Shihoko
yang tidak enak, hanya saja Amane lebih menyukai selera masakan Shuuto. Tentu
saja, Amane berterima kasih kepada mereka berdua saat waktunya tiba.
“Yah, bukan kali pertama Amane
bertingkah seperti tsundere. Kesampingkan itu, bagaimana kalau kita pulang
dulu? Waktunya sudah hampir siang. Mobilnya ada di sini, ayo.”
Shihoko memberi isyarat kepada
mereka dan berkata, “Enggak bagus untuk
banyak bicara di stasiun,” dan mulai berjalan ke pintu keluar, sementara
Amane melirik ke arah Mahiru.
“Kalau begitu, ayo pergi?”
“Mm”
Setelah Mahiru sedikit
mengangguk, Amane dengan lembut memegang pergelangan tangannya.
Meskipun mereka tidak saling
bergandengan tangan di depan Shihoko, setidaknya mereka bisa mengatakan bahwa
itu untuk mencegah Mahiru menjauh karena kerumunan.
Mata Mahiru melebar karena
terkejut, lalu dia menunjukkan senyum malu-malu seraya mendekati Amane. Amane
juga sedikit malu dan berjalan sedikit lebih lambat di belakang Shihoko.
◇◇◇◇
Butuh waktu sekitar setengah
jam dengan mobil untuk sampai ke rumahnya, tapi bagi Amane dan Mahiru, rasanya
seperti total 2 jam perjalanan untuk bisa sampai di tempat tujuan.
Di depan Amane ada sebuah rumah
besar. Alasan kenapa rumahnya bisa sebesar ini karena di dalamnya terdapat
ruang belajar, dapur luas, dan kamar tidur kosong. Mahiru sepertinya berpikir
itu lebih besar dari kelihatannya, matanya terbuka lebar.
“Besar sekali…”
“Ara, terima kasih. Rumah kami memang
cukup besar. Sebenarnya, aku berharap memiliki anak perempuan yang akan
menggunakan lebih banyak kamar, tapi sepertinya takdir berkata lain … Kurasa
Mahiru-chan bisa mengisi peran itu mungkin?”
“Uhmm, it-itu sih...”
“Bu, jangan menggoda Mahiru
terus. Dia kesulitan untuk menanggapinya, ‘kan?”
“Ara~ ara~”
Shihoko tersenyum cerah tapi
juga menyeringai lebar saat melihat reaksi Mahiru.
Mahiru menundukkan kepalanya
dengan malu-malu, membuat Shihoko semakin bahagia.
“Karena di luar panas, jadi ayo
cepat masuk.”
“Iya, iya, apa boleh buat deh…”
“Apanya yang boleh buat ….”
Senyum Shihoko tidak
menunjukkan tanda-tanda akan berhenti, jadi Amane menyerah dan mendorong
punggung Ibunya, Shihoko terus tersenyum dan membuka kunci pintu depan.
Mungkin karena langkah kaki
mereka, sepertinya Shuuto menyadari bahwa mereka sudah kembali.
“Selamat datang kembali di
rumah.”
Setelah memasuki rumah, seperti
yang diduga, Shuuto sedang menunggu kedatangan mereka.
“Aku pulang Shuuto-san, dan aku
juga membawa Mahiru-chan, loh~”
“Sudah lama tidak bertemu,
Shiina-san.”
“Ya.”
Mahiru dan Shuuto sudah tidak
bertemu selama lebih dari setengah tahun, jadi dia masih sedikit gugup. Shihoko
selalu berterus terang dan ramah terhadap Mahiru—— tidak, dia terus maju di setiap langkahnya,
jadi mungkin tidak ada jarak di antara mereka, tapi Mahiru masih merasa asing
dengan Shuuto.
Shuuto memperhatikan bahwa
Mahiru terlihat sedikit kaku dan menunjukkan senyuman ramah.
“Kamu tidak perlu begitu gugup
dengan bapak tua sepertiku.”
“Tidak, itu…”
“Masalahnya, Ayah tidak
terlihat seperti bapak-bapak tua.”
“Perkataanmu baik sekali,
Amane.”
Ayah Amane memang memiliki
penampilan yang tidak sesuai dengan usianya.
Dia tampak terlalu muda untuk
seseorang yang hampir berusia 40 tahun. Bisa dibilang kalau tidak ada yang bisa
langsung menebak usianya.
“Amane, aku juga sudah lama
tidak melihatmu. Kamu terlihat lebih baik.”
“Padahal baru setengah tahun,
memangnya benar-benar ada perubahan?”
“Ya. Kamu tampak jantan seperti
pria, terlihat percaya diri dan berpenampilan bagus.”
Karena dirinya akan pergi bersama
Mahiru, Amane mengenakan pakaian luar yang bagus. Sebelumnya Ia juga kurang
percaya diri, yang mana itu merupakan perubahan yang diperhatikan Shuuto.
Amane sedikit malu karena
ayahnya seolah-olah bisa melihat perubahan batinnya, dan Shuuto menunjukkan
senyum kecil.
“Kalau begitu Shihoko-san,
tolong beri mereka tur rumah, aku akan menyiapkan makanan.”
“Okee~, kalau begitu ayo masuk.
Tempatnya tidak terlalu besar, jadi kuharap kamu bisa hidup dengan nyaman.”
“Ti-Tidak, hal semacam itu…
permisi…”
Mahiru menundukkan kepalanya
dan melepas sepatunya. Amane juga mengganti sandal dalam ruangannya.
Amane sangat mengenal rumahnya
dengan baik dan tidak memerlukan tur, tapi untuk mengawasi apakah Ibunya akan
mengatakan sesuatu yang tidak perlu, jadi Ia berencana untuk mengikuti mereka.
Setelah melihat Shuuto kembali
ke dapur, Shihoko melambai ke arah tangga dan berkata, “Sebelah sini~”
Lantai kedua pada dasarnya
adalah kamar tidur dan kamar tamu. Shihoko memandu mereka untuk sampai di sana.
Amane sebenarnya ingin pergi ke
kamarnya dan membuka barang bawaan yang mereka kirim, tapi Ia mengingat lokasi
kamar tamu dan menunjukkan ekspresi yang tak terlukiskan.
(Kalau
tidak salah, cuma ada satu ruangan yang tidak digunakan sebagai ruang
penyimpanan...)
Dua kamar, kamar Amane dan
kamar tamu, dihubungkan oleh balkon. Awalnya disediakan untuk anak kedua, dan
meskipun anak tersebut belum lahir, kamarnya didekorasi dengan rapi dan bisa
ditinggali.
Sepupu Amane sering menggunakan
kamar ini ketika mereka datang berkunjung selama liburan panjang, meskipun hal
itu jarang terjadi akhir-akhir ini.
Meskipun Amane tidak mengatakan
apa-apa, Ia merasa tidak nyaman saat memikirkan apa boleh membiarkan lawan jenis
tinggal di kamar yang terhubung dengannya.
“Kalau begitu Mahiru-chan, kamu
bisa menggunakan kamar ini.”
Seperti yang Amane duga,
Shihoko membawa mereka menuju kamar di sebelah kamar Amane, yang membuatnya
menghela nafas lelah.
“Terima kasih sudah menyiapkan
kamar ini untukku.”
“Tidak perlu berterima kasih
segala~. Kamar mandinya ada di sana, dan di sebelahnya ada kamar Amane. Maaf ya
kalau balkonnya terhubung.”
Begitu endengar kata-kata 'balkonnya terhubung', Mahiru berkedip
karena terkejut.
“Jangan khawatir, kamu bisa
mengunci kedua sisi, kok.”
“A-Aku tidak khawatir tentang
itu…”
“Tidak, harusnya kamu
mengkhawatikan itu kali…”
“Fufufu, sungguh polos sekali.
Sekarang, aku akan membantu Shuuto menyiapkan makan siang, jadi kalian berdua
bisa mengambil barang bawaan kalian. Punya Mahiru-chan juga sudah ada di dalam
kamar ini.”
“Terima kasih banyak.”
“Tidak masalah, sampai jumpa
lagi ya.”
Shihoko tersenyum dan berjalan
menuruni tangga. Setelah memastikan bahwa dia sudah pergi, Amane menghela nafas
berat.
“Maaf, cuma kamar ini
satu-satunya yang tersedia.”
“Eng-Enggak apa-apa, aku tidak
keberatan sama sekali, kok?”
“Itu sih karena kita sudah
pacaran, jadi tidak masalah sama sekali. Tapi kalau kita tidak pacaran, itu
bakalan gawat, ‘kan. Seharusnya Ibu masih belum tahu hubungan kita ‘kan… ya ampun.”
“Aku baik-baik saja, kok.
Selain itu umm … karena balkonnya terhubung, jadi kita bisa melihat bintang
bersama-sama.”
Melihat senyum malu-malu
Mahiru, Amane berpikir “Dia sepertinya
tidak khawatir tentang serangan malam hari”, dan karena Mahiru berharap
untuk menghabiskan malam bersama, kegembiraan perlahan membuncah di dalam hati
Amane.
“…Yah, kita akan melihatnya
jika kita bisa. Oke, ayo pergi dan buka koper kita dulu.”
“Iya.”
Amane tidak yakin apakah Mahiru
menyadari rasa malunya sendiri, karena dia hanya tersenyum bahagia dan masuk ke
dalam kamar barunya.
Saat ini, Amane sekali lagi
menyadari bahwa mereka akan tinggal bersama di ruang yang sama selama dua
minggu. Ia menutupi wajahnya yang memerah dengan tangannya dan melangkah ke kamarnya
sendiri.
◇◇◇◇
Untuk memberikan sambutan
hangat kepada Mahiru, makan siang disajikan oleh Shuuto.
Sama seperti Mahiru, Shuuto
bisa memasak berbagai hidangan. Atas permintaan Shihoko, makanan pokok hari ini
adalah hidangan bergaya Spanyol.
Terbentang di atas meja tidak hanya
ada paella, tapi juga sup kental, salad yang dipenuhi seafood, serta berbagai
hidangan lainnya.
Semuanya terlihat menggugah
selera, dan Mahiru sangat senang. Sepertinya dia juga menganggap keterampilan memasak
Shuuto sangat bagus.
“Putraku tidak merepotkanmu,
‘kan?”
Setelah istirahat sebentar
setelah makan siang, Shuuto bertanya pada Mahiru.
Shihoko bertanggung jawab untuk
membersihkan peralatan setelah makan, jadi dia tidak hadir. Suara pembersih
membuat mereka tahu keberadaan Shihoko yang ada di dapur.
Saat Mahiru mendengar
pertanyaan Shuuto, dia berkedip, dan menggelengkan kepalanya sebagai
penyangkalan.
“Ti-Tidak ... Ia tidak
merepotkan masalah sama sekali.”
“Harusnya kamu tinggal bilang
jujur saja kalau kamu selalu merawatku.”
“… Aku selalu merasa bersenang-senang
melakukan itu. Jadi aku tidak pernah merasa bahwa bersama Amane-kun itu
merepotkan.”
“Gitu ya.”
Mendengar Mahiru selesai
berbicara dengan lancar, Amane tidak mengatakan apa-apa.
“Kamu tidak perlu malu-malu
segala, Amane. Berterimakasihlah padanya dengan benar.”
“Aku selalu berterima kasih
padanya.”
“Iya, aku tahu, kok.”
Mahiru juga sepertinya
menyadari kalau Amane menyembunyikan rasa malunya, dan tertawa seperti bel khas
musim panas.
Senyumnya membuat Amane goyah,
dan bibirnya berkedut. Akibatnya, Mahiru tertawa lagi, membuat Amane tak
berdaya.
Awas
saja nanti… Amane memelototi Mahiru, tapi dia masih
tersenyum. Sepertinya tatapan ancaman Amane tidak terlalu berpengaruh.
Amane tidak tahan dengan
suasananya dan memalingkan wajahnya, tapi kali ini Shuuto tertawa.
“Kamu itu benar-benar tidak
jujur ya, Amane. Meskipun itu bagian lucu dari dirimu.”
“Memuji cowok dengan panggilan
imut, apa Ayah sedang meledekku?”
“Tapi Amane-kun benar-benar
imut, kok.”
“Mahiru, kita akan mengobrol
dengan baik setelah ini nanti.”
“Iya, kita bisa membicarakannya
nanti…”
Ketika Mahiru mengatakan itu
sambil tersenyum, Amane kembali terdiam. Mahiru sangat sulit dihadapi hari ini.
Amane mengira kalau Mahiru akan merasa gugup, tapi sepertinya dia baik-baik
saja.
Meski ada juga kemungkinan kalau
Mahiru sengaja menunjukkan kalau dirinya biasa berbicara seperti ini dengan
Amane.
Shuuto memperhatikan percakapan
mereka berdua dengan penuh ketertarikan, lalu mengedipkan mata dengan penuh
semangat seolah-olah baru mengingat sesuatu.
“Oh iya, omong-omong,
Shiina-san, jika kamu tidak keberatan, apa kamu ingin berbelanja bersama? Ada
sesuatu yang ingin Shihoko-san minta dibelikan.”
“Mengapa kamu berencana untuk
membawanya keluar?”
Karena Mahiru dicuri darinya,
dia bertanya dengan ketidakpuasan, sementara Shuuto tersenyum seperti
sebelumnya.
“Aku takkan membawanya berjalan-jalan
atau bersenang-senang seperti Shihoko-san, kok?”
“Itu sih aku sudah tahu, tapi
…”
“Awasi saja rumah dulu sebentar,
Amane.”
“Mengapa!?”
“Yah, karena aku ingin
berbicara sedikit tentang masa lalu, dan kamu pasti akan menghalangiku.”
“Ayah pasti berencana mengatakan
sesuatu yang tidak-tidak, iya ‘kan ….”
“Ya begitulah.”
Shuuto mengangguk dengan
gembira dan mengabaikan Amane yang terdiam, dia kemudian menatap Mahiru.
“Apa kamu tak keberatan perge
berbelanja dengan bapak tua semacam diriku?”
“T-Tidak, hal semacam itu.
Selama Shuuto-san tak keberatan, ijinkan aku ikut menemani.”
“Kalau begitu, ikutlah. Selain
itu, kita bisa memilih hadiah untuk Shihoko-san bersama-sama.”
Shuuto berkata ceria sambil
tersenyum setelah mendapat izin. Begitu mendengar hal tersebut, Mahiru tampak
kebingungan.
“Hadiah? Apa hari ini ada hari
perayaan…?”
“Ayah sering memberi ibu
hadiah, meski tidak terjadi apa-apa. Jadi kamu tidak perlu mengkhawatirkan
tentang itu, Mahiru.”
Shuuto sangat baik pada wanita
dan sangat perhatian, terutama pada istri tercintanya, Shihoko. Oleh karena
itu, meskipun tidak ada peristiwa penting, Ia akan memberikan hadiah dengan
gampangnya.
Menurut Shuuto, tindakan ini
merupakan wujud rasa syukur, bukti cinta, dan juga karena ingin melihat Shihoko
bahagia. Saat Amane masih disini, Ia sering menemaninya untuk membeli oleh-oleh
semacam itu.
Kali ini, Shuuto mengajak
Mahiru untuk mendapatkan nasehat dari sudut pandang perempuan, meski tujuan
utamanya adalah membicarakan masa lalu Amane.
“… Amane-kun mirip banget
seperti Shuuto-san.”
“Aku tidak melakukan sebanyak
itu, tau.”
“Ketika kamu melihat boneka
atau liontin kecil yang lucu, bukannya Amane-kun akan membelinya untukku?”
Amane sering secara tidak sadar
membeli barang-barang yang disukai dan menurutnya cocok untuk Mahiru, tapi itu
karena dia suka melakukannya, dan juga sebagai ucapan terima kasih karena telah
merawatnya sepanjang waktu.
Setelah diberitahu kalau dirinya
mirp seperti Ayahnya, meski agak benar, Amane merasa Ia tidak sering
melakukannya.
“Yah, lagipula, Mahiru sudah
sering mengurusku.”
“…. Makanya aku bilang kamu
mirip di bagian itu.”
Setelah Amane menjawab dengan
nada seperti cari-cari alasan, Mahiru tertawa. Suaranya tampak tidak berdaya,
tetapi pada saat yang sama sangat bahagia dan nakal.
Shuuto juga menatapnya dengan
puas. Amane yang merasa sudah tidak tahan lagi mendengarnya, tiba-tiba mulai
berdiri dan berlari menuju ke arah dapur dengan dalih ingin membantu Ibunya
bersih-bersih.
“Ara Amane, kamu yakin tidak
ingin berbicara dengan Mahiru-chan?”
“Yah, Ayah akan mengajak Mahiru
keluar untuk membeli sesuatu.”
Amane melirik ke ruang tamu.
Mereka berdua tersenyum dan bersiap untuk pergi.
Alasan mereka bergerak begitu
cepat mungkin karena Shuuto menyadari bahwa Amane sedikit canggung dan
berencana memberinya waktu untuk menenangkan diri. Ayahnya sangat peka terhadap
perubahan kecil di hati orang-orang, dan Amane terkadang merasa takut.
“Ah, jadi mereka pergi
berbelanja, ya. Kurasa Shuuto-san memiliki sesuatu untuk ditanyakan kepada
Mahiru, bukan?
“Apa yang ingin Ayah tanyakan…”
“Mungkin cuma
pertanyaan-pertanyaan biasa? Lagipula, aku tidak tahu segalanya tentang Shuuto-san.”
Shihoko menyerahkan pot khusus
kepada Amane yang telah dicuci dan dikeringkan, dan Amane dengan patuh
menerimanya dan mengembalikan pot itu ke lemari dapur.
Sementara itu, Mahiru dan
Shuuto sudah meninggalkan ruang tamu. Amane melihat ke pintu tempat mereka
keluar dengan sedikit khawatir, lalu kembali ke tempat Shihoko yang sedang
mencuci piring, mengeringkannya, dan meletakkannya kembali di dalam rak.
Karena Amane sering membantu
Mahiru dalam bersih-bersih, dirinya menjadi terbiasa dengan tugas-tugas semacam
ini, tetapi mata Shihoko terbelalak saat melihat tindakan Amane.
“Gerakan Amane juga sudah
terlihat sangat mahir.”
“Terima kasih atas pujiannya.”
“Ibu merasa lega karena
sepertinya kamu tidak mengandalkan Mahiru-chan untuk melakukan semuanya.”
“Memangnya ibu pikir aku ini
cowok keparat macam apa ...”
Bagaimanapun juga, Amane
bukannya orang yang tidak tahu malu untuk membuat Mahiru melakukan semuanya
sendiri.
Jika Ia sampai tega
membiarkannya begitu, batin Amane akan merasa sangat bersalah.
Dia sudah bekerja keras untuk
memasak, dan Amane harus melakukan sesuatu untuknya sebagai timbal balik.
“Kenapa Ibu bahkan menyebutkan
itu?” Amane menyipitkan matanya untuk melihat Shihoko. Shihoko mempertahankan
ekspresi kagum itu dan bergumam, “...Nee, Amane.”
“Apa lagi, bu?”
“Jadi, sudah seberapa jauh
hubunganmu dengan Mahiru-chan?”
“Brrb-”
Shihoko dengan santai selesai
membersihkan piring ketika Amane menyembur kaget karena tidak menyangka kalau
pertanyaan seperti itu akan muncul sekarang.
Meskipun Amane secara refleks
mengambil piring dan menyeka air yang masih menempel dengan lap, Ia tidak bisa
menyembunyikan keterkejutannya, dan alisnya berkerut.
“Kenapa kamu kelihatan kaget
begitu? Suasana di antara kalian berdua sangat jelas kalau kalian berdua sedang
menjalin hubungan, memangnya kamu pikir bisa menyembunyikannya dari ibu?”
Setelah diberitahu sampai
sejauh itu, Amane tidak bisa menyangkalnya.
Sekarang, suasana di antara
Amane dan Mahiru berbeda dari kunjungan mereka saat Tahun Baru tempo hari. Hal
tersebut tentu saja karena status hubungan mereka sudah berubah, tetapi Amane
awalnya bermaksud menyembunyikannya dari orang tuanya.
Pada akhirnya, hubungan mereka
sangat terlihat jelas.
“… Emangnya salah?”
“Enggak juga, kok? Aku ingin
menginginkannya menjadi anak perempuanku, jadi dia sangat disambut.”
“… begitu ya”
“Ketika melihat pandangan mata dan suasana penuh kasih yang
kalian berdua pancarkan, kupikir hubungan kalian sudah pergi jauh.”
“H-Hah! Mana mungkinlah!”
Amane mengangkat alisnya karena
tebakan ini, tapi Shihoko tidak menunjukkan tanda-tanda penyesalan.
“… Bu, jangan beri tahu Mahiru
tentang hal semacam ini.”
“Tentu saja Ibu takkan membicarakan
hal semacam ini dengan Mahiru-chan. Tapi Ibu menginginkan anak perempuan, jadi
ibu sangat menantikannya.”
Karena alasan fisik, Shihoko
tidak bisa lagi mengandung anak lagi. Amane mengerti bagaimana dia menginginkan
seorang anak perempuan, jadi Ia tidak bisa menyalahkannya lagi, dan hanya bisa
cemberut.
“… Jangan terlalu memaksa
Mahiru.”
“Ibu tahu kok, jadi Amane, kamu
harus menjaganya dengan baik.”
“Memangnya menurut Ibu aku akan
melepaskan seseorang seperti dirinya?”
Di masa lalu, Amane merasa selama
Mahiru bisa bahagia, Ia rela memendam perasaannya jika pasangan Mahiru bukan
dirinya. Tapi sekarang Amane tidak bisa mengatakan hal seperti itu lagi.
Amane tidak bisa membantah
kalau dirinya jadi berpikiran sempit, tapi bisa juga dikatakan bahwa gagasan
dirinya ingin menyayangi Mahiru dan tidak melepaskannya jauh lebih kuat. Amane
benar-benar berharap agar Mahiru bisa bahagia, dan berharap supaya Mahiru
menyukainya sampai pada titik di mana dia takkan memandang cowok lain.
Oleh karena itu, Amane tidak bermaksud
memberi Mahiru kesempatan untuk mengalihkan perhatiannya darinya.
Setelah mendengar pernyataan
tegas Amane, Shihoko tertegun sejenak lalu tertawa cekikikan.
“Fufu, sifatmu yang begitu sangat
mirip dengan Shuuto-san, Amane. Shuuto-san juga masih sangat mencintaiku baik
itu dulu maupun sekarang.”
“Aku tidak mewarisi bakat alami
Ayah.”
“Hmm~ entahlah. Mungkin aku
perlu bertanya pada Mahiru-chan kali ya?”
“Bu, tolong jangan lakukan
itu.”
Jika Ibunya pergi untuk
berbicara dengan Mahiru, dia mungkin mengungkapkan beberapa informasi yang
memalukan, jadi Amane mencoba yang terbaik untuk menghentikannya.
Amane memelototinya dan meminta
Shihoko untuk berhenti, tapi sepertinya ancamannya tidak berpengaruh. Shihoko
dengan gembira berkata dengan nada agak santai, “Aku tidak sabar menunggu Mahiru-chan pulang,” yang membuat Amane
mengerutkan keningnya lebih dalam.
◇◇◇◇
Beberapa jam setelah Mahiru dan
Shuuto keluar, saat Shihoko mulai menyiapkan makan malam, mereka berdua kembali
pulang.
Karena Ia pasti akan diejek
oleh ayahnya, Amane pergi ke dalam kamarnya sendiri untuk membongkar barang
bawaannya, dan kemudian menghabiskan waktu untuk membaca buku pelajaran
sekolahnya. Saat ini Mahiru yang baru saja pulang datang menemuinya.
Hampir semua perabotannya telah
dipindahkan ke apartemen Amane saat ini, jadi hampir tidak ada apa-apa di
ruangan ini, dan karena Shihoko akan membersihkannya secara teratur, jadi
keadaan kamarnya tidak terlihat memalukan. Oleh karena itu, Amane
mengizinkannya masuk tapi Mahiru masih tampak sedikit ragu dan gelisah.
Amane tidak tahu apakah itu
karena mereka akhirnya berduaan, atau karena itu kamarnya, atau karena
jalan-jalannya dengan Shuuto, tapi Mahiru terlihat gelisah. Amane meletakkan
bantal di lantai dan membiarkannya duduk.
“Selamat datang kembali,
Mahiru. Apa kamu merasa lelah?”
Amane pergi ke dapur untuk
mengambil dua porsi teh jelai dan bertanya padanya sambil meletakkan teh di
atas meja lipatnya. Mahiru berkedip beberapa kali mengingat sesuatu, sebelum
merilekskan ekspresinya.
“Ya. Karena aku banyak duduk
saat kita bepergian ke sini, jadi aku ingin pergi keluar dan menggerakkan
kakiku.”
“Begitu ya… Jadi, karena kamu
terlihat sangat gugup karena mendengar sesuatu dari ayahku, ‘kan?”
Sepertinya tebakannya tepat
sasaran karena Mahiru memalingkan muka darinya, dan secara tidak sengaja mengakuinya.
Amane tidak menyalahkan Mahiru,
tapi Ia harus berbicara dengan Shuuto. Namun, bahkan jika Amane mengeluh,
Ayahnya hanya akan menghindari membicarakannya atau malah mulai menggodanya,
jadi Amane tidak bisa berbuat apa-apa.
“Hahhh ya ampun, ayah memang
enggak bisa diajak tutup mulut… jadi, apa yang ayah katakan?”
“Kami hanya membicarakan hal
yang sepele kok, Ia bertanya padaku bagaimana kabar Amane-kun sekarang, dan
kemudian memberitahuku betapa lucunya Amane-kun ketika dia masih kecil.”
“…Apa sih yang kamu dengar?”
Amane tidak memahami apanya
yang menarik dengan perilakunya ketika masih kecil, dan Ia bahkan tidak tahu
mana yang tidak boleh untuk dikatakan.
Hanya saja, karena Shuuto
secara khusus memberi tahu Mahiru, itu pasti kejadian yang sangat memalukan
bagi Amane. Dari sudut pandang orang tua, itu mungkin lelucon yang lucu, tapi
dalam pikiran Amane itu bisa menjadi sesuatu yang sangat memalukan, jadi Ia
tidak bisa menertawakannya jika orang tuanya menceritakan kegagalan masa
kecilnya.
“Ayo ceritakan lebih detail.” Amane menyipitkan matanya untuk
menatap Mahiru, lalu dibalas Mahiru dengan memalingkan pandangannya dengan
terang-terangan.
“Um, itu ... sih?”
“Kenapa kamu tidak mau menghadapku?”
“Setidaknya aku tahu kalau kamu
sangat imut, Amane-kun.”
Mendengar dia mengelak dari
pertanyaannya, Amane mendesah dengan sengaja.
“Ap-Apa?”
“Anak nakal yang tidak mau
berbicara akan dihukum, tau.”
Amane menarik Mahiru yang ada
di sampingnya dan membuatnya duduk di antara kedua kakinya. Setelah mengangkatnya
dari belakang, Amane memeluknya dan menyentuh perut Mahiru.
Tindakannya membuat Mahiru
terkejut. Dia menolehkan kepalanya sambil menatap Amane.
“Umm, Amane-kun?”
“Kalau tidak salah, Mahiru tuh
gampang geli, kan?”
“… To-Tolong tunggu dulu
sebentar. Ayo bicarakan dulu— ”
“Jika kamu mengatakannya dari
tadi, aku juga tidak perlu melakukan ini.”
Ketika Amane perlahan
menelusuri sisi tubuhnya, tubuh Mahiru terlihat bergetar.
Sambil merasakan tubuh
langsingnya tanpa lemak berlebih, Amane dengan lembut mengelus pinggangnya yang
melengkung halus dengan jari-jarinya, dan desahan kecil “Hii” terdegar dari mulut Mahiru.
Karena reaksi Mahiru sangat
menggemaskan, Amane tidak bisa menahan diri untuk menggelitiknya dengan
jari-jarinya.
Mahiru menggeliatkan badannya
dalam pelukannya, membuat Amane membayangkan pikiran nakal, tapi dirinya tidak
bisa berhenti begitu saja sekarang.
“Hah, tu-tunggu dulu … hahaha,
Amane-kun…”
“Seriusan, bukannya kamu
gampang sekali merasa geli, Mahiru?”
Amane memulai dengan sangat
ringan, tapi Mahiru tampaknya sangat sensitif. Lututnya gemetar dan suara
nafasnya juga terdengar sedikit terengah-engah.
Dia tertegun melihat
tindakannya yang begitu imut dan mengagumi kekeraskepalaannya.
Amane terus menggelitiknya
sambil berhati-hati untuk menghindari area yang akan menguji kewarasannya.
Mungkin karena sudah tidak tahan lagi, Mahiru tiba-tiba berbalik menghadap
Amane.
Wajah Mahiru terlihat memerah
dan matanya tampak lembab karena kejahilannya. Saat dia melotot ke arahnya,
Amane merasakan detak jantungnya menjadi liar.
“A-Amane-kun no baka. Kamu
nakal.”
“Jika kamu mengakui apa yang
ayahku katakan, semua ini tidak akan terjadi.”
“Ay-Ayahmu tidak membicarakan
banyak, kok. Shuuto-san hanya bercerita tentang kamu saat masih kecil, tentang
bagaimana kamu menangis setelah menabrak tiang telepon ketika menggunakan
sepedamu. Kemudian pada Hari Ibu, kamu pernah memeluk ibumu dan berkata 'Aku sangat menyayangi Ibu!’ atau kamu
yang mengoceh ingin berubah menjadi setampan ayahmu, kemudian menggunakan
minyak rambut untuk mengubah gaya rambutmu menjadi mohawk.”
“Bagaimana Ayah tega
membocorkan itu!?”
Sementara Shuuto membocorkan
cerita memalukan itu, Amane sendiri bahkan tidak mengingatnya. Begitu Mahiru
membagikannya, mau tidak mau Amane secara naluriah menyembunyikan wajahnya dari
Mahiru.
Amane sudah tahu bahwa Shuuto
akan berbicara tentang masa kecilnya, tapi dirinya tidak menyangka kalau
ayahnya hanya akan berbicara tentang hal-hal yang memalukan. Amane ingin
bertanya apa yang sudah Ia perbuat hingga pantas mendapatkan ini.
Dari sudut pandang orang tua,
cerita hal semacam itu mungkiin terasa lucu, tapi dalam perspektif Amane, itu
hanyalah sejarah hitam.
“Me-Menurutku itu lucu, kok?”
“Kamu pasti tidak memujiku. Ayo
lupakan saja pembicaraan itu”
“… karena Amane-kun terus
menggelitikku, aku jadi takkan melupakannya.”
Amane merasa meskipun dia tidak
menggelitiknya, Mahiru akan tetap mengingatnya. Namun, dia terdengar cemberut
sehingga Amane merenungkan tindakannya, dan dengan lembut meletakkan tangannya
di punggung Mahiru.
“Iya deh iya, aku benar-benar
minta maaf”
“…Lain kali kalau Amane-kun
menggelitikku lagi, aku akan membisikkan langsung di telinganmu mengenau apa
yang Shuuto-san katakan padaku.”
“Berhentilah merencanakan untuk
menyerangku secara mental… Aku paham, aku nyerah. Aku sungguh minta maaf.”
Amane mengangkat dan membelai
Mahiru untuk menenangkannya, dia tetap berada di pelukan Amane dan membenamkan
wajahnya jauh ke dalam bahunya.
◇◇◇◇
“Mahiru-chan, kamu boleh mandi
duluan.”
Setelah mereka makan malam
bersama, sudah hampir waktunya untuk mandi. Mahiru duduk di sebelah Amane yang
menonton TV, dan Shihoko angkat bicara.
“Aku juga bisa melakukannya
nanti…”
“Kamu adalah tamu kami, jadi
jangan khawatir. Jika kamu tidak ingin mandi sendirian, kamu bisa meminta Amane
untuk bergabung denganmu.”
"Omong kosong macam apa
yang Ibu bicarakan, sih?”
Shihoko mengatakannya sambil
tersenyum, dan Amane secara alami mengernyit.
Meminjamkan Amane ke Mahiru
sekarang berarti membuat mereka mandi bersama, dan Amane yakin dia akan
menolak. Dirinya sudah mengalami kesulitan dengan baju renangnya beberapa saat
yang lalu, jadi dia pasti takkan kepikiran untuk telanjang bulat.
Benar saja, wajah Mahiru langsung
merah merona karena tersipu malu.
Dia melirik ke arah Amane, lalu
mukanya semakin tersipu. Dia sepertinya semakin malu setelah membayangkan
tubuhnya.
Amane pun tidak jauh berbeda, dirinya juga akan merasa malu jika terus
memikirkannya.
“Kalau itu … agak sulit …
apalagi kalau telanjang…”
“Ohh~, apa kamu ingin aku menyiapkan
lebih banyak handuk?”
“Ti-Tidak perlu….”
“Ara ara~ kamu benar-benar
tidak perlu malu, loh? Shuuto-san dan aku sering mandi bersama.”
“U-um, itu…”
“Mahiru, jangan menganggapnya
terlalu serius. Ibu dan Ayah memang sering mandi bersama, tapi kita berdua
tidak perlu melakukannya juga.”
Usulan Shihoko bukan hanya
untuk menjahili mereka saja.
Kedua orang tua Amane selalu bertngkah
mesra. Saat pergi bersama, mereka tidak pernah lupa untuk berpegangan tangan
dan selalu tersenyum satu sama lain; ketika mereka tidur, mereka selalu tidur
bersama di ranjang yang sama.
Mau dilihat dari sudut pandang
mana pun, merea berdua sangat mencintai satu sama lain. Meski sedikit memalukan
dari sudut pandang putra mereka, mereka adalah sepasang love birds yang terkenal di lingkungan sekitar.
Mereka hampir selalu mandi
bersama, dan mengatakan bahwa menghabiskan waktu bersama sangat penting untuk
kebahagiaan pernikahan mereka. Oleh karena itu, usulannya mungkin tidak hanya sekedar
menggoda saja, tapi lebih seperti saran untuk hubungan yang lebih dekat antara
Amane dan Mahiru.
(Mau
bagaimana pun juga, dia masih terlalu usil)
Jika mereka mandi bersama,
Amane mungkin akan menodai air mandi menjadi merah, yang membuat segalanya
menjadi sulit.
“Ara, anak muda apa kamu
baik-baik saja tidak melakukan itu?”
“Apanya yang baik-baik saja?
Mana mungkin aku bisa melakukan itu di kampung halamanku.”
“Sepertinya pihak lain di sini
tidak sepenuhnya menentangnya tuh.”
“… Kalau itu sih, aku akan
bernegosiasi dengan Mahiru.”
Amane sangat menyadari bahwa “negosiasi”
adalah kata yang praktik, seperti yang dikatakan Mahiru di kolam beberapa hari
yang lalu.
Pandangan mata Mahiru
berkeliaran dengan malu-malu, tapi bisa jadi dia hanya tidak ingin mandi dengan
Amane, jadi dia hanya bisa mencoba menolak usulan Shihoko.
Sejujurnya, sebagai seorang
remaja, Amane tahu bahwa mereka berdua akan mati karena malu karena alasan yang
berbeda. Namun, Ia mengagumi kegiatan itu sendiri. Meskipun dirinya mungkin
takkan berani melakukannya.
Shuuto yang mendengarkan
percakapan mereka sambil tersenyum, dan begitu dia melihat wajah Amane yang
kaku, senyum masam muncul di antara bibirnya.
“Shihoko-san, jangan terlalu
menggoda mereka.”
“Iya deh~”
Shihoko segera menjadi tenang
begitu Shuuto turun tangan. Amane selalu berterima kasih kepada ayahnya.
“Oke, tinggalkan saja ibuku
sendiri dan pergilah mandi.”
“I-Iya. Kalau begitu, aku akan
mandi dulu sekarang.”
“Amane benar-benar membosankan
banget, ya. Kalau begitu pergilah, Mahiru-chan”
Untuk menjaga agar Shihoko
tetap terkendali, Amane menyuruh Mahiru pergi dan kembali ke ruang tamu.
Wajah Amane tiba-tiba menjadi
lelah, dan Shuuto tersenyum damai.
◇◇◇◇
Karena Mahiru selesai mandi,
jadi sekarang giliran Amane.
Urutan tersebut berdasarakan
orang tuanya yang ingin mandi bersama, jadi Amane segera pergi mandi.
Setelah melewati Mahiru yang
baru saja mandi, jantungnya mulai berdetak tak terkendali, dan Amane bergerak
untuk mandi secepat mungkin.
Amane tidak berendam terlalu
lama. Alasan kenapa dirinya begitu karena Ia hampir saja pingkarena setelah
berpikir tentang bagaimana dirinya saat ini sedang berendam di air mandi yang
dipakai Mahiru.
Setelah Amane selesai, orang tuanya
pergi mandi, jadi hanya ada Amane dan Mahiru saja yang ada di ruang tamu.
“Hu-Hubungan mereka sangat
dekat sekali, ya.”
Setelah melihat Shuuto menuju
kamar mandi sambil merangkul pinggang Shihoko-nya, Mahiru hanya bisa berbisik.
“Sejak aku kecil mereka sudah
seperti itu. Jadi aku sudah terbiasa.”
“… Menurutku kamu memiliki
keluarga yang sangat bagus.”
“Terima kasih, tapi terkadang
itu membuatku sakit hati.”
“Fufu.”
Amane meletakkan tangannya di
dadanya dan menjulurkan lidahnya. Mahiru menutup mulutnya dan terkikik pelan.
“… Hanya untuk memastikan, apa
kamu bersenang-senang di sini? Kamu tidak lelah atau semacamnya?”
“Aku cukup bersenang-senang,
kok. Kedua orangtuamu memperlakukanku dengan sangat baik… Umm, rasanya diperlakukan
seperti putri kandung mereka sendiri… ”
“Ya, mungkin karena orang tuaku
menginginkan anak perempuan. Karena aku membawa gadis yang imut, mereka pasti
akan memanjakanmu.”
“Y-Ya”
Orang tuanya sangat menerima
Mahiru.
Tentu saja, sifat baik Mahiru
adalah alasan terpenting. Karena dia adalah Mahiru, Shihoko sangat menghargainya
dan sangat peduli padanya.
Mungkin Mahiru malu setelah dia
mendengar Amane memanggilnya imut, dan rona merah mulai muncul di wajahnya.
“Kalau mau, kamu boleh bersikap
manja kepada orang tuaku. Orang tuaku sepertinya haus memanjakan seseorang
setelah aku tumbuh dewasa. Jika ada sesuatu yang kamu inginkan atau tempat yang
ingin kamu datangi, kamu tinggal bilang saja, oke?”
Jika Mahiru menginginkan
sesuatu, maka orang tuanya - terutama
Shihoko - akan melakukan yang terbaik untuk mewujudkannya.
“Ak-Aku tidak sampai ngelunjak
seperti itu, tapi ...”
“Tapi apa?”
“Aku ingin pergi keluar dengan
semua orang …”
Mahiru menambahkan, “karena aku mengagumi keluarga yang pergi
bersama” suaranya kecil dan lemah, hampir dibayangi oleh suara nafasnya.
Setelah mendengar keinginannya itu, Amane langsung merasakan kalau dadanya
terasa sesak.
Hubungan Mahiru dengan
keluarganya sama sekali tidak rukun. Baginya, kontak yang dia miliki dengan Shihoko
dan Shuuto sudah lebih kuat dibandingkan dengan keluarga aslinya.
Amane memikirkan betapa
bagusnya bagi mereka untuk membentuk ikatan keluarga, tapi masalah ini tidak
bisa diputuskan hanya oleh Amane, jadi Ia memutuskan untuk tidak mengatakannya
dulu.
“Begitukah? Aku akan memberi
tahu ibuku nanti, tapi jika kamu tidak memiliki tempat yang ingin kamu kunjungi,
aku mungkin membiarkan ibu memutuskan sesuatu yang dia sukai.”
Amane tidak menyebutkan ini,
tapi dirinya sekarang memutuskan untuk menghabiskan waktu bersama Mahiru
sebagai sebuah keluarga.
“Kita mungkin akan pergi ke
fasilitas hiburan atau pusat perbelanjaan. Jika ada tempat yang ingin kamu
kunjungi, kamu harus memberitahunya terlebih dahulu, atau dia akan menyeret
kita ke tempat-tempat yang aneh.”
“Fufufu, selama aku bersama
Amane-kun, aku akan mengikutimu kemana saja.”
"Jika kamu mengatakan itu
padanya, ibu pasti akan membawa kita ke tempat yang aneh, tau...”
Amane diam-diam merasa lega
ketika Mahiru tersenyum bahagia setelah mendengar ucapannya, dan senyum Mahiru semakin
lebar ketika Amane menyebutkan tempat-tempat aneh yang pernah dikunjunginya.
Sebelumnya
|| Daftar isi || Selanjutnya