Bab 11 — Obrolan Di Pinggiran Kolam
Setelah Amane berhasil menenangkan
diri dalam artian yang berbeda, Ia kemudian mencoba masuk ke dalam air bersama
Mahiru.
Bagi Amane yang sudah bertubuh
dewasa, kedalaman air kolamnya cuma setinggi pinggangnya. Namun, kedalaman yang
sama mencapai dada Mahiru, jadi kolam itu tidak terlalu dangkal. Dia lalu menatap
Amane dengan tatapan yang sedikit terganggu.
“…Mahiru, jangan khawatir, kamu
takkan tenggelam, kok.”
“Amane-kun, jika seseorang tersedak
air, bahkan air setinggi 30 cm pun bisa menenggelamkan orang, tau.”
“Jangan cemas, aku takkan
membiarkanmu tenggelam. Bahkan jika kamu mulai tenggelam, aku akan memberimu pertolongan
mulut ke mulut.”
Demi menghibur Mahiru, Amane
membalasnya dengan bercanda, tapi Mahiru menyenggol lengan Amane dan
menatapnya. Di kedalaman mata Mahiru, beberapa perasaan menunjukkan dia sedikit
canggung, dan sepertinya dia justru menantikannya.
“… Jadi jika aku tidak
tenggelam, kamu takkan mau menciumku?”
Mendengar bisikan pacarnya yang
sedikit merajuk ini, Amane hanya bisa menatap Mahiru.
Bibir Mahiru cemberut dengan
ekspresi sedikit tidak puas… dan sepertinya itu permintaan, sekali lagi merayu
Amane.
Amane hanya bisa menelan ludahnya
dengan kecut ketika melihat bibir merah muda Mahiru yang tidak kehilangan kemilaunya
meski tanpa lipstik. Walau begitu, Amane masih mempertahankan kewarasannya di
tempat umum seperti ini, jadi Ia menggigit bibirnya sendiri dan mengalihkan
pandangannya ke samping.
“…A-Aku ingin menunggu sedikit
lebih lama…tapi umm, bukan di sini.”
“Aku tidak pernah mengatakan
kalau aku ingin melakukannya sekarang. Tapi, sebenarnya … aku sedikit cemas
jika Amane-kun tidak mau melakukannya.”
“Ma-Mana mungkin aku tidak
mau!? Aku sudah memikirkannya terus dari tadi!”
Mana ada cowok yang tidak ingin
mencium gadis yang disukainya. Bahkan Amane, yang mempunyai hawa nafsu sedikit,
masih ingin sepenuhnya menyentuh Mahiru dan menciumnya sepuasnya.
Tentu saja Amane merasa bahwa
hal semacam ini harus dilakukan secara bertahap, dan jika Ia memaksakan keinginannya
pada Mahiru, maka dia akan menjauh darinya. Oleh karena itu, Amane masih
bersabar, dan tidak berniat melakukan terlalu banyak sekaligus.
Setelah penyangkalan kuat
Amane, wajah Mahiru memerah. Kemudian, dia meletakkan dahinya di lengan Amane
seolah ingin menutupi wajahnya.
Ketika melihat wajah tersipu pacarnya
yang sampai ke ujung telinganya, Amane baru menyadari apa yang baru saja dikatakannya,
dan ikut tersipu malu juga.
“… Tidak, bukan begitu maksudku…”
“… Apanya yang bukan?”
“Aku bukannya menolaknya, tapi…
jika ini berlanjut sekarang, aku tidak bisa menahan diri, jadi tolong tunggu
sebentar lagi.”
Amane selalu diejek Itsuki
karena menjadi pengecut dan saat ini, Amane tidak bisa menyangkalnya.
Dari sudut pandang Mahiru,
Amane mungkin terlalu lamban. Karena Amane ingin menghargainya, jadi
perkembangan hubungan mereka berjalan sangat lamban seperti siput, Mahiru selalu
dibiarkan menunggu terus.
(…Apa
Mahiru ingin melangkah lebih jauh?)
Apa
Mahiru ingin melakukan tindakan seperti kekasih yang lebih intim?
Demi memastikan hal ini, Amane
menatap Mahiru dan menemukan bahwa wajahnya memerah, semburat merah menutupi
separuh wajahnya saat menengadah untuk menatap Amane.
“Aku sendiri tidak keberatan
untuk menunggumu, tapi Chitose juga memberitahu kalau itu tidak baik bagimu
untuk menahan diri terlalu lama... jadi tolong ingat itu baik-baik, oke?”
“Chitose?”
“Yah, dalam masalah pacaran,
Chitose-san jauh lebih berpengalaman…”
“Dia pasti memberitahumu
sesuatu yang aneh-aneh, ‘kan!? Mahiru, dengarkan baik-baik, aku akan
memberitahumu sekarang untuk memperjelasnya, kita bisa menjalani hubungan kita
dengan tempo kita sendiri. Aku tidak pernah berpikir untuk terburu-buru
melakukannya… dan, bila hubungan kita berkembang terlalu cepat, kamu mungkin
tidak bisa menahannya juga.”
Mahiru mungkin ingin membuat
beberapa kemajuan, tapi jika dia terlalu bersemangat dan melangkah terlalu
jauh, dia akan mencapai batasnya dan meluap, jadi Amane merasa bahwa
memperlambat bukanlah masalah.
Menurut Amane, jika dirinya
kehilangan kendali atas rasionalitasnya, Ia tidak tahu apa yang akan Ia lakukan
pada Mahiru nanti.
Setelah Amane berbicara dengan
tatapan serius, Mahiru menurunkan matanya dengan malu-malu dan menyandarkan
dahinya ke lengan Amane lagi.
“U-Uh. Um… ayo berenang.”
“Su-Sudah kubilang…”
“…Aku belum pernah ke tempat
seperti ini sebelumnya. Bolehkah aku meminta Amane-kun untuk mengajariku
segalanya?”
Dia berbisik lagi, “Aku tidak sering pergi keluar bersama orang
lain.” Usai mendengar ini, Amane segera menggandeng tangan Mahiru dan
berjalan menuju kolam renang yang lebih dangkal.
Mengingat keadaan keluarganya, pasti
tidak ada yang pernah membawanya beemain-main di fasilitas seperti ini
sebelumnya. Setelah memahami hal ini, Amane merasa sedih, tapi Ia akan
membiarkan Mahiru mengalami semuanya secara perlahan di masa depan sebagai
balasannya.
“Kalau begitu, selama liburan
musim panas ini, mari lakukan semua pengalaman
pertama kali Mahiru.”
“… Aku merasa malu jika kamu menggunakan
istilah itu… tapi, iya.”
Meskipun Mahiru merasa tersipu,
dia maish tersenyum bahagia. Amane juga tertawa seraya memegang tangannya dan
berjalan menuju tempat yang tidak terlalu ramai.
◇◇◇◇
Pada awalnya, Mahiru takut
tenggelam, tapi mungkin karena bersama Amane meredakan kekhawatirannya, dan dia
tidak memikirkannya lagi saat mulai bermain-main di dalam air.
Amane menyewa ban pelampung di
pusat layanan terdekat. Setelah menyerahkannya kepada Mahiru, dia bergumam
dengan sedikit canggung, “Aku merasa kamu
memperlakukanku seperti anak kecil...” Tapi dia tetap memakainya di
sekelilingnya demi keselamatannya.
Mahiru meregangkan tubuhnya
sambil mengapung di atas air, menatap Amane dengan ekspresi santai.
Untuk sementara waktu, Amane
tetap berada di sampingnya untuk mengamati situasinya. Dengan begitu, peluang Mahiru
untuk tenggelam hampir tidak ada.
“Rasanya nikmat sekali.”
Sembari tersenyum ke arah
Amane, kaki Mahiru menjuntai dari sisi ban pelampung. Amane yang sedang bersandar
di kolam, mengangguk setuju dengannya.
Meskipun Amane lebih suka
berenang daripada bersenang-senang di air, dirinya tidak keberatan asalkan bisa
menghabiskan waktu bersama Mahiru. Jika Chitose dan Itsuki ada di sini, mereka
mungkin akan pergi ke seluncuran air atau bermain voli pantai.
Tidak ada salahnya melakukan
kegiatan seperti itu, tapi Amane lebih memilih menikmati waktu santai yang
dimilikinya.
“Dengan memakai itu, kamu pasti
takkan tenggelam. Ayo bermain di air sebanyak yang kamu mau.”
“… Tapi aku merasa malu.
Padahal sudah sebesar ini, aku masih menggunakan ban pelampung.”
“Wanita dewasa juga bisa
menggunakannya, kok. Lihat ke sana, masih ada orang yang duduk bersantai di
atasnya.”
Amane lalu menunjuk seorang
wanita berbaju renang. Dia duduk di atas ban pelampung, dengan santai
mengambang di permukaan air.
Bagi orang dewasa, ketimbang menggunakan
ban pelampung untuk membantu berenang, kebanyakan dari mereka menggunakannya
untuk bersantai.
Mahiru yang sedang duduk di ban
pelampung, melihat ke arah yang ditunjuk Amane dan kemudian dengan cepat
mengembalikan perhatiannya kembali ke dirinya sendiri.
Setelah menggeser posisinya di
ban pelampung, Mahiru duduk dengan benar dengan kaki menjuntai lagi. Dia
berkedip dan tersenyum gembira seolah-olah dia sangat menyukainya.
Kakinya yang seputih susu
menonjol dari bagian bawah baju pelindung matahari Amane, menimbulkan gelombang
cipratan air.
Kaki Mahiru terlihat mulus dan
lembut. Saat Amane terpesona oleh lekuk kakinya, Mahiru mulai memercikkan air
padanya.
Setelah mengusah tetesan air yang
mengguyur wajahnya, Amane melihat ke arah Mahiru dan menemukan bahwa pacarnya
sedang menunjukkan senyum bahagia dan ceria.
Amane tidak tahu apakah Mahiru
mengetahui Ia melihat ke arah kakinya, atau dia hanya ingin memercikkan air
padanya. Amane dengan lembut membalas cipratannya dan hal itu membuat Mahiru
tersenyum lebih bahagia.
“Hei, apa-apaan cipratan tadi…”
Mungkin Mahiru berharap Amane
mau bermain dengannya.
Meski demikian, karena Mahiru
sedang duduk di ban pelampung dan tidak bisa bergerak dengan baik, Amane
berhati-hati agar tidak menimbulkan masalah.
Setelah Amane dengan ringan
menyipratkan air ke arahnya, Mahiru kembali membalasnya. Sepertinya semua cipratan
air yang dilempar Amane berakhir di perutnya.
Meski Amane sudah mulai
terbiasa dengan air kolam, Ia masih menyipitkan matanya karena sensasi dingin
yang dirasakan badannya, dan menyipratkan air ke arah Mahiru sekali lagi.
Mahiru mungkin akan terjungkal
jika Ia menggunakan terlalu banyak tenaga, jadi Amane menyipratkannya dengan
lemah. Di sisi lain, Mahiru terlalu bersmeangat menendang-nendang permukaan air
dengan kakinya.
Saat Mahiru melakukan ini, dia mulai
kehilangan keseimbangan.
“Mahiru—”
Akan gawat jika dia terbalik
dengan ban pelampungnya. Amane segera menopang Mahiru dan memintanya untuk
bersandar padanya. Mahiru lalu menempel erat pada Amane.
Dia hampir saja jatuh terbalik
ke dalam air, dan sepertinya dia tampak ketakutan.
“Jika kamu terlalu bersemangat,
kamu bisa jatuh terjungkal, tau.”
“Um ... aku minta maaf.”
“Untungnya, ada aku di sini.”
“… Jika bukan karena Amane-kun,
aku takkan segembira ini.”
Begitu mendengar bisikan manis
ini, Amane hanya bisa menatap Mahiru.
Mahiru kemudian melingkarkan
tangannya di punggung Amane. Dengan wajah yang masih terkubur di dadanya, dia lalu
melanjutkan.
“…Karena aku bersama Amane-kun,
semua yang kulihat mulai terasa bersinar. Karena aku bersama Amane-kun, aku
selalu merasa sangat bahagia… dan, kupikir Amane-kun pasti akan
menyelamatkanku.”
“… Aku jadi bermasalah setelah
mendengar kata-kata imut seperti itu.”
Ketika bisikan Mahiru
menyampaikan cintanya pada Amane dari awal hingga akhir, wajah Amane langsung
memerah.
Ia ingin berteriak keras
tentang keimutan pacarnya.
(...Aku
sangat mencintainya)
Tentu saja itu sudah jelas.
Namun, ketika merasakan banyak kebaikan yang terpancar darinya, Amane tidak
bisa menahan perasaan bahagianya yang dipenuhi dengan kasih sayang.
Jika mereka ada di rumah, Amane
pastti akan mengelus-elus kepalanya dengan penuh semangat dan tidak pernah
melepaskannya. Sayangnya, karena mereka berada di depan umum, Ia harus
berhati-hati agar tidak berlebihan.
Oleh karena itu, Amane hanya
memeluk Mahiru erat-erat seraya berbisik lembut “…Aku akan memanjakanmu sampai puas setelah kita pulang nanti,” dan
melepaskannya. Alhasil, Mahiru masih berendam di air tapi wajahnya memerah
seperti apel matang.
“… Aku harap begitu.”
Amane tenggelam setelah
mendengar bisikan Mahiru.
Amane memejamkan matanya sambil
memusatkan perhatian pada pernapasannya, untuk melepaskan kekhawatiran yang akan
muncul.
Mahiru yang masih tersipu,
mulai menunjukkan senyum puas untuk beberapa alasan, dan bergumam, “Aku juga ingin memanjakan Amane-kun.”
Amane tercengang dan menatap Mahiru, “Bukankah aku sedang dimanja sekarang?”
tapi Mahiru tertawa lagi.
“Aku juga ingin mendominasi.
Karena akhir-akhir ini, aku selalu dibully oleh Amane-kun.”
“… Kamu sering menyerangku
sebelum kita pacaran, aku tidak menginginkan itu. Sekarang giliranku.”
“Giliranku terlalu banyak
dilewati. Aku ingin melakukan sesuatu untuk membuat Amane-kun juga merasa
malu.”
"Itulah yang kumaksud ... baka.”
Mahiru ingin membuat Amane malu
dan tersipu lalu mengagumi penampilannya, jadi Ia harus tetap berpikir jernih
dan kemudian mengambil kesempatan saat itu datang.
Mahiru gampang malu saat digoda,
dan Amane ingin mempertahankan posisi dominannya disini. Melihat Mahiru yang
sepertinya sudah sedikit tenang, Amane mengangkat rambut di bawah telinga
Mahiru dan mencium pipinya. Dia mencoba menekan rasa malu yang mengalir keluar
dari hatinya dan menatap wajah imut Mahiru yang membeku dalam keadaan memerah.
“… Apa kamu masih ingin
membuatku malu setelah seperti ini?”
“Bu-Bukannya begini…”
“Tidak ada yang lucu tentang
diriku. Ayo istirahat sebentar, aku akan membelikanmu minuman.”
Amane mengusap rambut basah
Mahiru untuk melegakannya. Ia lalu membelai kepalanya sebentar, dan Mahiru
berbisik, “Aku ingin jus jeruk” masih sedikit terkejut dengan kejadian tadi.
Sepertinya Mahiru ingin
menyembunyikan rasa malunya. Amane tersenyum diam-diam dan membelai kepalanya lagi.
◇◇◇◇
“Meleng sebentar saja,
keadaannya sudah begitu.”
Amane kembali dengan membawa
minuman dan menemukan Mahiru sedang dihadang oleh dua cowok.
(Inilah
mengapa aku ingin tinggal bersamanya, walaupun akulah yang salah sih)
Meski sekarang adalah hari
kerja, masih ada banyak antrean di kios jajanan, jadi setelah ditinggal
sebentar, peristiwa ini tidak terlalu mengejutkan. Mahiru sedang dirayu oleh
cowok lain.
Setelah melihatnya dari jauh,
Mahiru sepertinya tidak memaksa mereka pergi karena dia bersikap sopan, tapi
Amane masih merasa tidak nyaman sebagai pacarnya. Ia bahkan tidak ingin ada orang
lain yang berbicara begitu sok akrab dengan Mahiru.
Mahiru sendiri sudah
menyiratkan dengan jelas ketidaksukaannya. Untuk cowok yang tidak dikenal, sepertinya
tidak perlu memamerkan senyum malaikat yang ditunjukkan kepada mereka. Dengan
masih mengenakan pakaian pelindung matahari yang ketat, Mahiru tidak memiliki
tersenyum sama sekali, dan sepertinya dia tidak bisa memanfaatkan senyum
malaikat yang begitu indah. Melihat pemandangan ini, Amane mendesah pelan.
(...Fakta
bahwa mereka bahkan tidak bisa menyadari kalau tindakan mereka itu sudah
mengganggunya merupakan salah satu alasan kenapa mereka tidak bisa menggaet
gadis-gadis.)
Lagi pula, seorang gadis yang
sepertinya sedang menunggu seseorang mengenakan jaket parka cowok, dan mereka
masih tidak menyadari kalau dia sudah punya pacar. Jika mereka melihatnya tapi
memilih untuk mengabaikannya berarti mereka mempunyai sifat yang busuk, tapi
jika mereka gagal menyadari hal tersebut berarti mereka orang yang acuh. Amane
punya pikiran jahat semacam itu, tapi sudah sewajarnya Ia berpikir jelek
seperti itu karena pacarnya sedang digoda.
Mahiru sedang duduk di bangku
menunggu Amane. Dia mungkin tidak bisa melarikan diri dari orang-orang ini
karena dia tidak bisa bangun. Amane memutuskan untuk meminta maaf nanti dan
dengan cepat berjalan menuju Mahiru.
“Maaf sudah membuatmu menunggu”
Setelah Amane mendekatinya dan
berbicara dengan Mahiru sambil memegang minuman di kedua tangannya, Mahiru kembali
menatap padanya dengan gembira. Sangat jelas sekali bahwa dia terjebak dalam
situasi ini sudah menyebabkan masalah baginya.
Melihat Mahiru tiba-tiba mengubah
ekspresinya, kedua cowok itu tertegun dan menatap Amane.
Mereka memeriksa penampilan
Amane, dan menunjukkan rasa superioritas mereka. Hal tersebut kemungkinan besar
karena Amane tidak berdandan dengan gaya ikemennya hari ini.
Lagi pula, Amane tidak bisa
menggunakan minyak rambut jika mereka berenang. Ia memangkas sedikit rambutnya
dengan gunting, tapi penampilannya masih tampak agak culun.
“Maaf, gadis ini sedang
bersamaku, jadi jangan coba-coba merayunya.”
Diremehkan merupakan sudah
menjadi kejadian umum bagi Amane, jadi Ia tidak mempermasalahkan tatapan
mengejek mereka. Kemudian, senyum kedua cowok itu semakin melebar.
“Cewek ini bareng elu? Yang
bener aja, kalian berdua enggak serasi banget~”
“Mana mungkin cowok muram kayak
elo bisa bareng cewek macam dia.”
Meskipun Amane sadar diri kalau
dirinya lumayan memberikan kesan muram, Ia memang tidak berdandan hari ini, dan
tidak bermaksud untuk menyangkalnya.
Hanya saja jika mereka berkata
begitu, kata-kata tersebut juga berlaku untuk mereka. Mahiru mempunyai
penampilan polos, anggun, dan menawan. Cowok-cowok berpenampilan mencolok yang
jalan-jalan sambil merayu gadis-gadis, sangat tidak cocok untuk Mahiru.
Demi tidak menimbulkan masalah,
Amane memutuskan mencari cara membalas untuk meredakan situasi. Namun,
tiba-tiba, Mahiru tertawa pelan.
Saat dia tiba-tiba tertawa,
Amane berbalik ke arahnya dan mendapati Mahiru dengan sopan menyembunyikan
mulutnya.
“Jika di pilih antara orang
yang ceria dan suram, Ia memang berada di sisi yang suram.”
“Jangan menertawakanku…”
“Aku tahu kalau dirinya tidak
terlalu ceria, tapi Ia merupakan orang yang sangat lembut dan perhatian.”
Amane tidak tahu apa yang ingin
Mahiru coba katakan, jadi dirinya tetap tutup mulut. Kemudian, Mahiru dengan
tegas menatap kedua cowok itu untuk pertama kalinya.
Tidak ada niat baik dalam tatapannya,
yang ada hanya hawa dingin yang terpancar dari tatapan tajamnya.
(...Apa
jangan-jangan dia marah?)
Mahiru paling benci melihat ada
orang lain yang meremehkan Amane. Dia sudah tidak memiliki penilaian yang baik
tentang orang-orang ini, dan ucapan mereka membuatnya semakin marah.
“Jadi, walaupun Ia muram,
memangnya ada masalah dengan itu?”
Kalimat yang dilontarkan Mahiru
tidak membuatnya terdengar marah. Suaranya seolah-olah dia serius menanyai
mereka, dan membuat keduia cowok itu terdiam.
“Aku menyukainya, tak peduli
bagaimana menurut pendapat kalian. Aku menyukai kepribadiannya, penampilannya,
dan temperamennya. Masalah suram atau ceria itu hanyalah masalah sepele.
Perasaan cintaku padanya tidak sedangkal itu.”
Setelah berbicara dengan tegas,
Mahiru tertawa manis pada Amane.
Ketika melihat senyum penuh
cinta yang takkan pernah dia tunjukkan pada orang lain, Amane merasa hatinya
terbakar. Amane tidak pernah menyangka bahwa Mahiru akan berbicara secara
terbuka tentang dirinya seperti ini, dan mau tak mau mengagumi kegembiraan yang
merayap di hatinya.
“Alangkah baiknya jika kalian
berdua bisa menemukan seorang gadis baik yang berpikir begitu juga di masa
depan.”
Mahiru menyimpulkan dengan
kalimat itu. Wajah dia tunjukkan bukanlah senyuman manis yang biasa ditunjukkan
pada Amane, tapi senyuman ala malaikat yang cukup kuat untuk membekukan orang.
Kedua cowok itu hanya bisa menatapnya dengan kelabakan.
Pipi mereka terlihat merah
merona, mungkin karena senyum mempesona Mahiru. Amane diam-diam merasa
penasaran bagaimana jadinya mereka jika menyaksikan ekspresi Mahiru yang hanya
ditunjukkan kepadanya.
“Ah, tidak, yah itu…”
“Onii-san yang keren, coba
lihat ke sana.”
Mereka berdua tergagap ketika mencoba
menanggapi ucapan Mahiru, tapi Amane melambaikan tangannya dengan santai dan
menunjuk ke suatu tempat.
Mereka lalu menoleh ke arah
yang ditunjuk Amane, dan menemukan ada pengawas kolam yang sedang mengawasi
mereka dari kejauhan.
Manajemen keselamatan di dalam
fasilitas tersebut pada dasarnya untuk mengingatkan orang-orang agar tidak
berkelahi di dekat air dan untuk mencegah kecelakaan. Tentu saja, mereka juga
memantau orang-orang yang mencurigakan.
Mereka berdua menyadari bahwa
petugas pengawas kolam sedang memelototi ke arah mereka, dan mereka pun pergi
dengan panik. Amane tidak bisa menahan tawa pada mereka berdua, yang cukup
berani untuk berbicara dengan gadis yang sudah punya pacar, tetapi bergegas
kabur ketika dicurigai petugas pengawas.
Setidaknya, Amane dan Mahiru
sekarang sendirian, dan Ia pun duduk di sebelahnya.
“Maaf, aku datang terlambat.”
Pertama-tama, dirinya harus
meminta maaf.
Lagi pula, itu semua karena
Amane meninggalkannya sendirian sehingga seseorang mencoba untuk merayunya.
“Aku baik-baik saja, di sana
cukup ramai, ‘kan? Dan ketika aku sendirian, hal semacam ini sering terjadi.”
“… Itulah sebabnya ini
kesalahanku, aku seharusnya tidak meninggalkanmu sendirian.”
“Orang-orang itu cuma bisa menggonggong
tanpa punya nyali, jadi aku sama sekali tidak takut dengan orang seperti
mereka.”
(Memang
benar kalau mereka langsung kabur setelah menyadari jika mereka sedang diawasi)
Jika tidak ada petugas kolam
yang mengawasi, situasinya mungkin akan menjadi-jadi. Amane awalnya berniat
meraih tangan Mahiru dan menyelonong pergi jika masalahnya semakin membesar,
tapi untungnya kedua orang itu justru melarikan diri lebih dulu.
Amane menyerahkan jus jeruk
yang dibelinya kepada Mahiru dan menggunakan sedotan untuk menyeruput soda yang
Ia pesan untuk dirinya sendiri.
“… Apa kamu merasa takut?”
“Daripada takut, rasanya
suasana hatiku berubah jadi kesal.”
“Maaf, ayo semangat lagi, ya?”
“Padahal itu bukan salah
Amane-kun, kok… tapi, kalau begitu aku mau mencicipi minumanmu.”
Mahiru menunjuk ke arah soda
yang baru saja diminum Amane, dan tersenyum nakal sembari menambahkan, “Setelah itu kita akan impas.” Amane
menyerahkan gelasnya dan berkata seraya tersenyum masam, “Aku memang bukan tandingan Mahiru.”
Mahiru sengaja meminta
minumannya untuk tidak membuat Amane merasa terlalu bersalah. Sedikit demi
sedikit, Amane merasakan rasa malunya muncul dari kebaikan Mahiru.
Mengenai masalah barusan,
Mahiru bahkan sudah tidak peduli lagi. Dia mengambil gelas soda dari Amane dan
meneguknya... tapi alisnya tiba-tiba berkerut dan matanya mulai berkaca-kaca.
Karbonasinya sedikit kuat,
tetapi tidak terlalu berlebihan sehingga membuat seseorang bereaksi. Amane bisa
meminumnya secara normal, tapi Mahiru sepertinya Mahiru tidak bisa.
“Eh, meang rasanya aneh, ya?”
“… Tidak, hanya saja aku belum
pernah mencoba minuman berkarbonasi sebelumnya… aku tidak pernanh menyangka
kalau itu minuman yang begitu kuat.”
Karena rangsangannya yang kuat,
mata Mahiru basah. Ngomong-ngomong, Mahiru biasanya meminum air putih, teh,
kopi, dan sesekali jus buah. Amane belum pernah melihatnya meminum minuman
bersoda sebelumnya.
Mahiru sama sekali tidak
membenci makanan pedas, tapi sepertinya dia tidak tahan dengan minuman bersoda.
“Kurasa karena kamu belum
pernah minum soda sebelumnya, kamu tidak boleh minum sesuatu yang sekuat ini…
kenapa kamu tetap ingin meminum ini?”
Amane lalu mengambil minuman soda
dari tangan Mahiru dan menepuk kepalanya. Mahiru kemudian balas menatapnya.
“…Karena aku ingin merasakan
hal yang sama dengan Amane-kun.”
Begitu mndengar gumaman yang
manis ini, Amane hampir menjatuhkan sodanya, tapi dirinya nyaris mencegah
peristiwa itu.
(…Pacarku
terlalu manis.)
Penampilan dan tingkah laku
Mahiru sudah cukup imut, jadi ketika dia mengatakan kalau dia ingin berbagi
minumannya, Amane mendapat pukulan telak.
Singkatnya, karena Mahiru
terlalu imut, Amane tidak berani menatap langsung ke arahnya. Amane hanya bisa
menggenggam tangannya, memutar tubuhnya menjauh untuk menghindari tatapannya.
Kemudian, Mahiru meraih lengan Amane dan bersandar padanya.
“… Aku juga ingin mencoba jus
jerukmu.”
“Fufu, ini silakan.”
Amane tidak melihat langsung ke
arah Mahiru, yang menunjukkan senyum lembut padanya. Ia justru meletakkan tangannya
di sandaran tangan bangku dan memalingkan muka.
Mungkin karena tindakan inilah
yang membuatnya tidak menyadari ada dua orang yang mendekari mereka.
“Halo, gadis cantik dan cowok
pengecut di sana, bagaimana kalau kalian ikut bermain dengan kami?”
Mereka berdua dibuat terkejut
ketika mendengar suara yang akrab dan sembrono, Mereka takkan pernah menyangka
mendengar suara itu di tempat seperti ini.
Amane menoleh ke sumber suara
tadi, dan menemukan dua wajah yang tak terduga.
Salah satu dari mereka ialah
cowok tampan dengan suara sembrono, sedangkan pasangannya merupakan gadis
tomboy yang cantik. Mereka berdua adalah wajah yang sering dilihat Amane di
sekolah.
Mau tak mau Amane merasa curiga
dengan kemunculan mereka.
“Kenapa kalian berdua bisa ada
di sini?”
“Pertama, kami tidak mengikutimu.
Ini murni cuma sebuah kebetulan.”
Itsuki melambaikan tangannya untuk
menyangkal kecurigaan Amane.
Lagi pula, jika mereka memang membuntutinya,
mereka pasti akan muncul untuk membantu ketika Mahiru didekati kedua cowok
perayu tadi. Dilihat dari waktunya, Itsuki dan Chitose baru menyadari
keberadaan mereka setelah Amane kembali ke Mahiru.
Dari ekspresi Chitose, Amane
juga bisa melihat bantahannya.
“Aku memang mendengar dari
Mahirun kalau kalian akan pergi ke kolam renang minggu ini, tapi aku tidak
menyangka akan bertemu kalian di fasilitas yang sama di hari yang sama pula.
Maaf karena sudah mengganggu dunia pribadi kalian~”
“… Ya ampun.”
Karena pertemuan itu
benar-benar kebetulan, Amane tidak bermaksud mengeluh, tapi Chitose tertawa
menggoda sambil menambahkan kalimat itu, yang mana membuat Amane menatapnya
dengan tatapan lelah.
Walau begitu, Chitose juga
memakai baju renang, dan terlalu lama menatap badannya merupakan tindakan tidak
sopan, jadi Amane beralih ke wajahnya.
Chitose mengenakan bikini
oranye dengan celana pendek. Begitu menyadari tatapan Amane, dia tertawa lagi
sembari berteriak genit “cabul ih~” dan
menggeliat-geliat tubuhnya.
Chitose tahu bahwa Amane tidak
bermaksud memandangnya, tapi dia tetap memutuskan untuk menjahilinya. Amane
menghela nafas dan menatap Itsuki, memberi isyarat padanya untuk menenangkan
pacarnya yang suka usil itu. Amane hanya mendapat jawaban “dia terlalu bersemangat selama musim panas ini~”, artinya Itsuki
sama sekali tidak berniat menghentikannya.
Astaga, seraya
menghela nafas lelah begitu, Amane menatap Mahiru dan melihat kalau dia sedang
membuka ritsleting bagian depat jaket pelindung, yang sedari tadi menutupi
dirinya. Meskipun itu adalah jaket pelindung matahari, menutup ritsleting
sepenuhnya di tengah musim panas masih membuatnya merasa gerah.
Ketika Mahiru membuka
ritsleting dadanya untuk memberinya sedikit udara segar, Chitose berkedip
terkejut ke arah Mahiru.
“Hah? Mahirun?”
“Ya?”
“… loh? Mahirun lebih memilih
pakai baju renang ini?”
“Baju renang ini?”
“Eh, habisnya baju renang yang
hit—”
Alasan mengapa suara Chitose tiba-tiba terputus karena Mahiru menutup mulutnya.
Badan Mahiru sedikit kaku dan
mengulurkan tangannya untuk menghentikan ucapan Chitose, dia lalu membeku saat
menyadari tatapan Amane.
“… Bukan apa-apa, kok.”
Mahiru menggelengkan kepalanya,
tapi wajahnya memerah saat dia mencoba menutupinya.
“Jadi masih ada satu lagi, ya.”
“Eh, ah, itu sih … aku tidak
akan pernah bisa memakai yang lain di depan umum.”
“Lagipula, ketat banget iya
‘kan. Mahirun bilang kalau dia Cuma baru memakainya jika berduaan dengan Aman—”
“Chitose, tolong diam dulu
sebentar.”
“Iyaa~”
Mulut Chitose kembali ditutup
oleh Mahiru, tapi dia sama sekali tidak pernah kapok.
Meskipun Amane terkejut bahwa
Mahiru membeli baju renang yang membuatnya malu untuk memakainya, dia
memberitahu kalau dia bersedia menunjukkannya kepada Amane ketika hanya ada
meeka berdua saja. Begitu mendengar informasi tersebut, wajah Amane sudah
memanas.
“… Memangnya sampai seberbahaya
itu?”
“Ketimbang dibilang berbahaya,
lebih tepatnya sosok Mahirun terlalu bagus, jadi baju renangnya tidak
menutupinya dengan baik.”
“Chitose-san.”
“Mahirun akan marah jika aku
melanjutkan lebih dari ini, jadi lebih baik harap nantikan saja untuk
melihatnya Amane~”
“A-Aku tidak akan membiarkanmu
melihatnya!”
Mahiru tersipu malu dan
berusaha untuk menggubrisnya. Amane menghormati keputusan Mahiru, tapi dia
masih merasa sedikit sedih.
Amane takkan memaksanya untuk
memakainya, tapi dia ingin melihatnya mengenakan baju renang semacam itu.
Seperti yang diberitahu
Chitose, baju renangnya mungkin tidak terlalu terbuka, tapi tetap menonjolkan
sosok langsingnya yang cantik.
Melihat tubuh Mahiru yang
memakai baju renang sekarang sudah menguji batin Amane. Dengan asumsi bahwa
baju renang lainnya lebih terbuka, mungkin dia seharusnya berterima kasih atas
penolakan Mahiru untuk menunjukkannya.
Amane masih tetap ingin
melihatnya terlepas dari apa yang dia pikirkan.
Amane mungkin secara tidak
sengaja menunjukkan penyesalannya, dan hal tersebut disadari oleh Chitose.
Sambil menyeringai, dia menyindir Mahiru lagi.
“Kamu yakin tidak mau
membiarkan pacarmu melihatnya?"
"…Mungkin bisa
kupertimbangkan lagi.”
Mahiru menjawab dengan suara
lemah, dan menarik kerudung jaket parkanya ke atas, seolah-olah ingin bersembunyi
dari tatapan Chitose dan Amane. Meski mereka tidak bisa melihat wajahnya secara
langsung, mereka berdua masih membayangkan wajah tersipunya yang semerah tomat.
“… Chitose, jangan terlalu
sering menggodanya. Mahiru tidak perlu memaksakan dirinya terlalu keras.”
“Tapi Mahirun tuh imut, ‘kan?”
“Kamu ngomongin apaan sih, itu
sih sudah pasti.”
“Ooh~ kamu mengatakannya dengan
sangat alami~”
Amane hanya menyatakan fakta,
tapi bahkan itu membuat Chitose terlihat tercengang.
Seharusnya tidak mengherankan
karena Amane selalu mengakui bahwa pacarnya memang imut, tetapi mereka masih
terkejut dengan melebarkan mata mereka ketika mendengar respon cepat Amane.
“Pada akhirnya, Amane juga
sangat memanjakan pacarnya … padahal dulu-dulu kamu pernah bilang enggak bakal
pacaran, apalagi mikirin cinta-cintaan~”
“Cerewet, kamu nyebelin
banget.”
“Oh~ jadi ini yang disebut 'cinta bisa mengubah seseorang' ya~”
“Kamu pasti sedang meledekku,
iya ‘kan? Sudah menjadi fakta yang tak bisa dibantah bahwa Mahiru itu imut. Sudah
sewajarnya jika aku memuji pacarku sendiri dengan sebutan imut. Bukankah Itsuki
selalu membual tentang betapa imutnya dirimu juga, ‘kan?”
Setelah hubungannya dengan
Itsuki membaik, Amane harus mendengarkan ocehan hariannya. Persetujuan singkat
Amane tidak seburuk aliran kekesalan yang terus-menerus diberikan Itsuki
padanya.
Amane berpikir, ‘Memangnya seaneh itu?’ dan menatap
mereka. Mereka berdua menghela nafas dan hanya mengangkat bahu.
Amane sedikit kesal dengan
tanggapan ketus mereka, dan Itsuki tersenyum kecut.
“Tapi, sebaiknya kamu berhenti
sampai di situ saja.”
“Kenapa emangnya?”
“Shiina-san hampir mati karena
menahan rasa malu.”
Bertanya-tanya mengapa Itsuki
tiba-tiba menyebut nama Mahiru, Amane berbalik menatapnya. Ia menemukan Mahiru
mencengkeram tudungnya dan gemetaran karena malu.
Mahiru tampak malu-malu saat
dipuji di depan orang lain. Saat Amane panik, Mahiru mengangkat kepalanya
sedikit untuk menatapnya dan tampak menangis karena malu.
“… Sifatmu yang begitu adalah
kelebihan sekaligus kelemahanmu, Amane-kun.”
Mahiru bergumam pelan dan
mengenakan tudung lagi. Amane hanya bisa menatap bingung sampai Mahiru bisa
kembali pulih.
◇◇◇◇
Setelah rasa malu Mahiru
memudar, mereka sekarang bersenang-senang dengan jumlah 4 orang. Kelebihan dari
memiliki grup seperti ini ialah semakin sedikit cowok yang mencoba memulai
percakapan dengan Mahiru.
Karena Itsuki dan Chitose
bersama mereka, Mahiru takkan ditinggal sendirian, dan Amane juga terus
mengawasinya.
Selain itu, karena sekilas
Itsuki terlihat seperti tipe cowok tampan, gampang akrab dan sosok ideal, jadi
cowokc-cowok yang mencoba mendekati mereka tampak ragu-ragu.
Namun, karena penampilan
Chitose, Mahiru, dan Itsuki semuanya sangat rupawan, Amane tidak bisa menahan
perasaan bahwa grup mereka cukup menarik perhatian.
“Mahirun~ Mahirun~ rasakan
ini~.”
“Kyaaa… duhh, dasar Chitose-san…”
Mahiru berbicara dengan tekanan
diam, dan semua orang pergi ke kolam dangkal untuk bermain. Amane duduk di
pinggir kolam, mengawasi Mahiru dan Chitose yang saling bermain dengan memercikkan
air.
Melihat betapa bahagianya
mereka berdua, Amane merasa lega.
Mereka berdua adalah dua gadis
dengan kepribadian yang berbeda dan terlihat sangat memikat saat bermain
bersama.
"Ah, rasanya memang enak
dilihat ketika melihat perempuan menjadi begitu intim."
Itsuki duduk di sebelah Amane
dan menatap keduanya dengan senyum cengengesan menghiasi wajahnya.
“Kesanmu kedengeran seperti
om-om paruh baya, tau.”
“Sembarangan saja kalau ngomong.
Kamu juga merasakan hal yang sama ketika melihat mereka terlihat dekat, iya
‘kan?”
“IYa sih, tapi tidak sampai
segitunya.”
“Tapi kamu pasti merasa damai
melihat mereka bersama, dasar cowok otak mesum”
“Kalimat itu juga berlaku sama untukmu.”
“Aku sih tidak menyangkalnya.”
Amane bergumam, “Dasar kampret”, dan menatap ke arah
Mahiru yang masih berada di kolam bersama Chitose.
“Jadi, mengapa kamu terlihat
begitu linglung?”
Itsuki bertanya pada Amane
sembari mencondongkan tubuhnya ke depan untuk melihat ekspresinya.
“Ah, bukan apa-apa sih, tapi
gimana bilangnya, ya? Rasanya seperti Mahiru terlihat lebih manis dari
sebelumnya.”
“Kamu juga mulai membual
tentang pacarmu.”
“Bukannya membual, tapi dia
terlihat lebih sering tertawa sekarang. Sebelumnya, dia jarang sekali tertawa
dengan segenap hatinya.”
“Aku sih tidak benar-benar
melihatnya, tapi dengar-dengar dia cukup jutek?”
“Ya, dia lebih menyendiri dan
berlidah tajam. Karena dia sama sekali tidak bisa mempercayai orang … tapi saat
melihatnya bisa tersenyum bahagia sekarang ikut membuatku merasa senang.”
Dibandingkan saat mereka
pertama kali bertemu, senyuman Mahiru terlihat jauh lebih alami.
Lidahnya yang tajam di masa
lalu membuat siapa saja merasa mustahil ketika melihat senyum riang dan
kejujuran yang dia tunjukkan sekarang.
Meskipun Amane percaya bahwa
perubahan Mahiru karena keterlibatan dirinya, tapi Chitose juga berpengaruh
besar. Ada beberapa hal yang hanya dibicarakan dan dipahami di antara para
gadis.
Ketika melihatnya begitu
bahagia, Amane juga ikut bahagia.
“Aku merasakan hal yang sama,
Shiina-san memang sudah berubah. Dia dulu sulit didekati seperti boneka, tapi
sekarang dia benar-benar sudah menjadi gadis yang sangat dicintai Amane.”
“Gadis yang sangat dicintai
apanya … yah itu sih tentu saja.”
“Ya ampun, kebaikannya itu
sangat polos dan mudah dimengerti. Jelas sekali kalau memberimu perlakuan
khusus, bahkan sebelum kalian berdua mulai berpacaran.”
“…ngomong-ngomong, Itsuki, kamu
barusan bilang kalau Mahiru memperlakukanku seperti ini untuk sementara waktu…”
“Maksudku, dia sudah jelas
memberimu kode. Rasanya bikin greget ketika melihatmu tidak menyadarinya.”
“Benarkah?”
Bahkan sebelum berkencan, Amane
samar-samar menyadari bahwa Mahiru menyukainya, tapi dirinya masih merasa ragu
karena belum sepenuhnya yakin.
“Sejak Shiina memercayaimu dan
tertarik padamu, dia mungkin sedikit berubah.”
“…Ya”
“Ditambah lagi, mungkin karena
ada Chi juga. Dalam artian baik atau buruk, dia selalu tertarik pada orang dan
mudah didekati, jadi dia membantu Shiina-san.”
“Tolong kendalikan pacarmu
napa.”
“Chii takkan mengorek terlalu
jauh, jadi tidak apa-apa. Terlebih lagi, coba lihat di sana, Shiina-san
tersenyum bahagia.”
Amane melihat ke arah yang
ditunjuk Itsuki dan menemukan bahwa Mahiru sedang dipeluk oleh Chitose,
menerima pelukan tersebut meski merasa tersipu.
Dari sorot matanya, Amane tahu
bahwa Itsuki memercayai Chitose, dan ekspresinya sangat lembut. Amane juga
berpikir itu adalah hal yang baik untuk Mahiru karena bisa memiliki teman yang
baik.
Meski begitu, Amane masih
berharap agar Mahiru paling memercayainya.
Itsuki menepuk punggung Amane
dan berkata, “Jangan khawatir.” Amane tersenyum kecut, lalu Chitose melambai ke
arah Mahiru, “Hei, mas-mas ganteng yang
bengong melulu di tepi kolam, ayo bermain di sini~”
Mahiru juga melambaikan
tangannya dengan ringan, seolah-olah berharap Amane untuk datang.
"Gadis-gadis manis itu
sudah memanggil kita tuh... ayo pergi.”
Itsuki turun dari tepi kolam,
dan air membasahi pinggangnya. Melihatnya berjalan ke arah keduanya sambil
menyeringai, Amane pun ikut tertawa dan berjalan menuju Mahiru dan yang
lainnya.
◇◇◇◇
“Fyuh~ rasanya puas banget
mainnya~”
Meskipun mereka pelajar SMA,
stamina mereka masih sedikit terkurashsetelah bermain selama beberapa jam, jadi
mereka berempat duduk di bangku untuk beristirahat.
Bermain voli pantai, dan
bermain seluncuran air sesuai permintaan Chitose, semuanya pasti sangat
menyenangkan bagi Mahiru.
Mahiru sedang duduk di sebelah
Amane dengan perasaan segar, tapi dia mungkin sedikit lelah karena dia sedikit
bersandar pada tubuh Amane.
“Aku sangat bahagia. Sudah lama
aku tidak bersenang-senang seperti ini.”
“Yah, aku juga sudah lama tidak
melakukan kegiatan fisik selelah ini.”
“Dulu di festival olahraga,
kamu tidak tampil ekstra, Amane. Kamu benar-benar berolahraga dengan baik di
sini.”
Meskipun Amane tidak buruk
dalam olahraga, tapi kemampuannya juga tidak sejago anggota klub olahraga. Ia
tidak terbiasa melatih seluruh tubuhnya seperti sekarang. Amane masih mengikuti
jam pelajaran olahraga dengan serius, tetapi kegiatan dalam pelajaran takkan
semenyenangkan ketika Ia melakukannya sendiri.
“Aku sudah berenang dengan
serius sejak pertengahan minggu.”
“Tempat Ini benar-benar tempat
yang bagus untuk berenang… Sesekali datang ke sini rasanya cukup menyenangkan
juga, bukan?”
“Saat kamu berenang, Mahirun
memperhatikanmu loh, Amane.”
“Eh, ah, ma-maafkan aku Mahiru”
Karena Mahiru dan Chitose
bermain bersama dengan gembira, Amane juga pergi untuk berenang sendiri tapi
mungkin itu membuat Mahiru menunggunya.
Namun, Mahiru menggelengkan
kepalanya berulang kali.
“Bu-Bukan itu yang kumaksud…
tapi kupikir pasti enak sekali ya.”
Amane berpikir sebentar dan
memahami apa yang dimaksudnya. Sepertinya Mahiru merasa iri dengan Amane yang
bisa berenang dengan baik.
Namun, Amane juga pernah menyebutkan
di depan Chitose dan Itsuki bahwa Mahiru tidak bisa berenang, jadi Ia hanya
tersenyum pahit dan menepuk kepala Mahiru.
Jika masih ada kesempatan, mungkin
ada baiknya pergi latihan renang lain kali.
“Lain kali kalau ada
kesempatan, ayo pergi datang ke kolam lagi”
“I-Iya”
“Ehh, apaan nih ~? Jangan
bilang kalau kamu ingin melihat bikini hitam Mahirun?”
“Memangnya kamu ini bodoh apa?
Aku tidak ingin penampilannya yang begitu dilihat oleh orang lain.”
“Padahal kalau berduaan, kamu
pasti ingin melihatnya, ‘kan.”
“Itu sih … hak istimewa seorang
pacar, kan?”
Amane bahkan takkan pernah
memikirkan ingin menunjukkan sosok bikini hitam Mahiru kepada orang lain. Bahkan
sekarang, Mahiru ditutupi jaket parka miliknya, dan Amane bahkan ingin membuat
Mahiru memakai celana pendek untuk berenang.
“Katanya sih begitu. Jadi
Mahirun, apa kamu akan menunjukkannya kepada pacarmu?”
“Sudah kubilang, kalau itu bisa
didiskusikan."
Amane menoleh ke arah Mahiru
dan tersenyum tipis, lalu mengelus kepalanya lagi.
◇◇◇◇
Setelah keluar dari fasilitas
renang bersama, mereka berempat kemudian pergi menuju restoran keluarga
terdekat.
Waktunya masih belum jam 6
sore, jadi mungkin jam makan malam masih sedikit lebih awal, tapi perut Amane
merasa keroncongan setelah berenang dan bermain di kolam renang tadi. Mungkin
waktunya tepat untuk mereka.
Mahiru tidak memiliki banyak
kesempatan untuk mengunjungi restoran keluarga, jadi dia tampak sedikit
bersemangat. Penampilannya sangat imut sehingga Amane tidak bisa menahan tawa,
tapi tawanya segera dibungkam karena Ia dipukuli dengan ringan dari sudut yang
tidak bisa dilihat oleh Chitose dan yang lainnya.
“Ngomong-ngomong selama liburan
musim panas, Mahirun akan mengunjungi kampung halaman Amane, ‘kan?” tanya
Chitose sambil memotong steak hamburger.
Untuk mengatur jadwal
jalan-jalan dengan Chitose, seharusnya Mahiru sudah memberitahunya bahwa dia
akan pergi ke kampung halaman Amane, tapi Chitose tetap menyeringai.
“Rasanya seperti Mahiru akan
memperkenalkan dirinya sebagai calon menantu.”
“Terlambat, Mahiru sudah
bertemu dengan orang tuaku.”
“Jadi begitu ya~ … Dia sudah seperti
seorang istri yang mengikuti suaminya kembali ke kampung halamannya.”
“Ya, ya, terserah kamu mau
ngomong apaan.”
Meskipun Amane berpikir, 'kamu ini bicara apa, kesampingkan dulu
menikah, kita bahkan belum bertunangan', tapi secara umum, pasangan SMA
biasanya tidak pergi menemui orang tua satu sama lain, jadi Amane tidak bisa
sepenuhnya menyangkalnya.
Mengabaikan celotehan Chitose,
Amane memakan telur dadar dari paket makanan ala Jepang. Chitose menunjukkan
penyesalan karena dia tidak bisa menggodanya.
Amane mengunyah telur dadarnya dengan
suka cita tapi Ia merasa ada yang kurang. Berbeda dengan masakan Mahiru, telur
dadar di sini rasanya biasa saja.
“Sudah
kuduga, masakan Mahiru memang yang terbaik.” Setelah Amane
menggumamkan itu, dia melirik ke arah Mahiru dan menemukan kalau pipinya
terlihat sedikit memerah.
Mungkin penyebutan 'istri' tadi membuatnya malu.
“Jadi Shiina-san akan pergi ke
kampung halaman Amane… kurasa ibu Amane pasti sangat senang tentang itu, ‘kan?”
“Apa Akazawa-san mengenal
Shihoko-san?”
“Tidak, aku hanya membayang dari
apa yang kudengar melalui Amane.”
“Karena ibuku memiliki
kepribadian yang mirip… jadi kamu akan merasakan keakraban dengannya.”
Itsuki hanya mendengarkan
kata-kata Amane, dan langsung menilai bahwa Shihoko merasa seperti Chitose.
Jika Chitose bertemu Shihoko, mereka pasti akan langsung klop.
“Ehh, apaan? Apaan?”
“Hmmm, aku hanya mengatakan kalau
Chi sangat imut”
Itsuki segera mengelabui dan
mengambil kesempatan untuk memujinya, Chitose menjawab dengan “Duhh dasar Ikkun~” dengan tatapan puas.
“Oh iya, Amane, setelah
memutuskan hari untuk pulang, beri tahu aku terlebih dahulu. Aku ingin bermain
dengan Mahirun sebelum kamu pergi.”
“Iya, iya, setidaknya kita takkan
pergi sebelum Agustus. Kamu bisa bermain dengannya sebelum itu… dan juga, jangan
lupa kerjakan PR musim panasmu.”
“Kenapa kamu terus mengomeliku
kayak ibuku~”
“Itu karena tahun lalu kamu
merengek berteriak, ‘Aku tidak bisa menyelesaikan PR-ku~!’…”
Chitose menelantarkan tugas PR-nya
sampai detik-detik terakhir dan harus mengerjakan semuanya sekaligus. Tahun
lalu, dia hanya memulainya dengan panik di akhir masa liburan.
Amane menyelesaikannya lebih
awal, dan kemudian mulai belajar sendiri dan mengulas; Itsuki merupakan tipe
yang melakukannya dengan menyicil sedikit demi sedikit. Alhasil, kedua orang
ini pergi membantu Chitose mengerjakan PR.
Tahun ini, Amane sudah selesai,
begitu juga dengan Mahiru, jadi mereka berdua biasanya belajar bersama.
“Habisnya, aku tidak ingin
melakukannya… Ngomong-ngomong, tahun ini aku bisa diajari langsung oleh
Tenshi-sama.”
“Aku tidak keberan dengan
mengajarimu, tetapi jika kamu memanggilku tenshi lagi, aku tidak akan
setuju."
“Oh, galak banget, tapi aku
juga suka Mahirun yang jutek.”
Karena Mahiru dan Chitose juga
mengobrol santai, Amane merasa lega dan makan sebelum makanannya menjadi
dingin.
“Mahiru, aku ingin makan telur
dadar besok.”
Setelah Amane berbisik ke telinga
Mahiru di sebelahnya, perhatian Mahiru beralih ke nampan di depan Amane.
“Bukannya kamu sedang
memakannya sekarang?”
“Yang ini tidak terlalu enak.
Aku selalu merasa bahwa makanan lain rasanya biasa-biasa saja. Karena makanan
Mahiru adalah yang terbaik.”
“Fufu, kalau begitu apa boleh
buat, deh. Aku akan membangunkanmu dan membuatkan sarapan.”
“Ya”
Karena sekarang sudah memasuki
liburan musim panas, jadi Amane tidak akan bangun pagi seperti biasanya.
Alangkah baiknya jika Mahiru membangunkannya.
Meskipun Amane tahu bahwa wajah
Mahiru tidak baik untuk jantungnya tepat setelah bangun tidur, tapi tak
diragukan lagi alau dia adalah jam alarm terbaik.
Amane menantikan sarapan besok
dengan penuh semangat. Itsuki lalu menatapnya dengan tercengang.
“Sudah menjadi pasangan yang
tinggal bersama…”
“Cerewet”
Amane tidak menyebutkan bahwa
mereka 'hanya setengah hidup bersama',
dan malah diam-diam meminum sup misonya yang sudah sedikit dingin.
Sebelumnya || Daftar isi || Selanjutnya