Chapter 4 — Siapa Juga Yang Diuntungkan Dari Melihat Wajah Tersipu Laki-Laki?
Pada suatu pagi dengan hanya
satu minggu tersisa dari liburan musim panas, Masachika menerima pesan singkat
dari Takeshi yang meminta bantuannya.
Masachika segera menelepon Takeshi
karena mendapat pesan yang tidak biasa darinya, tapi ... rupanya itu bukan
urusan yang terlalu mendesak, tapi sepertinya Takeshi mengalami kesulitan untuk
menjelaskan situasinya melalui telepon. Meski begitu, Ia bisa tahu dari nada
suaranya bahwa Takeshi terdengar sangat kelelahan, jadi Masachika segera
mengganti bajunya dengan seragam sekolah dan menuju ke ruang musik kedua tempat
di mana Takeshi dan Hikaru berada.
“... O-Ohh”
Kemudian, ketika mengintip
melalui jendela di sisi koridor untuk melihat apa yang terjadi di dalam,
Masachika tanpa sadar mengeluarkan suara berkedut. Karena di dalam ruangan
tersebut ... Hikaru sedang duduk di sudut ruangan seraya menggumamkan sesuatu
dengan suasana suram dan gelap menyelimuti punggungnya Walaupun Ia sudah menduganya
sampai batas tertentu dari panggilan telepon Takeshi, tapi jelas-jelas kalau Yamiru-san*
telah turun. Dan juga tampaknya pada tingkat kedalaman yang cukup tinggi. (TN: Salah satu
kanji dari nama Hikaru [å…‰ç‘ ] memiliki arti cerah, ceria
atau berbau positif, dan nama Yamiru [é—‡ç‘ ] merupakan julukan Masachika dan Takeshi dalam menggambarkan keadaan
terbalik Hikaru yang biasanya, entah itu lagi depresi atau keadaan negatif
lainnya)
(Rasanya
langsung pengen pulang saja~... tapi mana mungkin bisa begitu, ya~.)
Setelah sampai sejauh ini, mana
mungkin Ia bisa menyelonong pulang begitu saja. Jadi, Masachika menghela nafas
berat dan membuka pintu dengan penuh tekad.
“Ah, Masachika~… aku sudah lama
menunggumu, tau…”
Kemudian Takeshi, yang sedari tadi
mengatakan sesuatu pada Hikaru, segera menghampirinya dengan ekspresi
menyedihkan di wajahnya.
“Oh... ada apa? Apa yang
sebenarnya terjadi sampai-sampai bisa begini?”
Pertama-tama, mengapa cuma ada
dua orang di sini? Hari ini, Takeshi dan Hikaru seharusnya berlatih bersama
dengan tiga anggota band lainnya untuk pertunjukan langsung di festival sekolah
nanti. Karena pihak OSIS lah yang mengelola penyewaan tempat latihan, jadi hal
itu tidak diragukan lagi.
“Coba dengerin, masalahnya...”
Takeshi kemudian mulai
menceritakan tentang apa yang sudah terjadi.
◇◇◇◇
“Aku benar-benar minta maaf”
Orang yang menundukkan
kepalanya ketika mengatakan itu adalah seorang gadis yang terlihat berkemauan
keras dengan rambut hitam sebahu ditarik ke dua sisi. Dia adalah Shiratori Nao,
vokalis band “Luminous” yang dipimpin
oleh Takeshi. Anggota band lainnya dibuat bingung dengan tingkah lakunya yang
selalu menawan dan penuh kepercayaan diri, dia tipe orang yang tidak gampang
menundukkan kepalanya kepada orang lain. Di tengah-tengah kebingungan mereka,
Nao terus menunduk ke bawah dan berbicara dengan suara yang terdengar seperti
sedang menekan emosinya.
Dia lalu menjelaskan mengenai
dirinya yang pindah sekolah karena alasan keluarga dan tidak bisa menghadiri
festival sekolah bersama mereka. Ketika anggota band lain bertanya lebih
lanjut, ternyata penyebabnya karena perusahaan yang dijalankan oleh ayahnya berada
diambang kebangkrutan. Nao tidak menjelaskan lebih lanjut, tapi kelihatannya
ada banyak hal yang terjadi dalam keluarganya karena masalah ini.
“Kupikir ini akan menjadi yang
terakhir kalinya aku datang ke akademi ini. Oleh karena itu … aku benar-benar
minta maaf. Aku tahu kalau ini permintaan yang terlalu mendadak, tapi bisakah
aku keluar dari band?”
Kata-kata perpisahan yang
tiba-tiba darinya membuat mereka berempat langsung terdiam. Sementara itu,
seorang gadis perlahan mendekati Nao.
“Kenapa ... kenapa kamu tidak
memberitahuku lebih dulu?”
Orang yang meninggikan suaranya
dalam keadaan tertekan adalah seorang gadis mungil dengan rambut pendek yang
memantul di ujungnya, memberinya nuansa seperti binatang kecil. Dia adalah
Minase Riho, teman masa kecil Nao sekaligus pemain keyboard di dalam band. Nao
memalingkan muka dan menjawab dengan singkat kepada teman masa kecilnya, yang matanya
bergetar karena merasa syok.
“Bahkan jika aku mengatakannya...
tak ada yang bisa kamu lakukan, bukan?”
“Mungkin saja memang begitu...
tapi aku berharap kalau kamu bisa menceritakannya denganku...”
Riho mengatakan kepadanya bahwa
meskipun dia tidak dapat melakukan sesuatu tentang perusahaan, setidaknya dia
ingin meringankan beban masalahnya. Nao semakin membuang muka pada teman masa
kecilnya, yang tampak agak terkejut karena dia tidak diajak berkonsultasi.
“Tenanglah dulu, Riho-chan, terkadang
ada hal-hal yang sulit untuk dibicarakan meski kalian berdua bersahabat, loh?”
Hikaru yang merasa kalau
situasinya akan semakin memburuk, dengan lembut menghentikan Riho, yang mendekati
Nao dengan berlinangan air mata. Setelah itu, Riho tampak agak tenang dan
meminta maaf kepada Nao.
“Maafin aku, Nao-chan. Aku
tidak bermaksud menyalahkanmu...”
“Ah, ya...”
Keheningan yang canggung dan
tak terlukiskan terjadi di antara mereka berdua. Seolah ingin menyingkirkan
suasana canggung itu, Takeshi memberanikan diri untuk meninggikan suaranya yang
ceria.
“E-Eh, tapi! Bukannya berarti
kita tidak tampil dalam konser festival sekolah, iya ‘kan? Lihat, tidak ada
aturan yang mengatakan kalau orang dari luar akademi tidak boleh berpartisipasi
dalam konser festival sekolah ...... Eh, tidak ada aturan yang begitu, ‘kan?”
“Setidaknya katakan dengan
tegas dong ... tidak, tapi... sepertinya memang tidak ada aturan yang begitu.”
“Tuh, ‘kan!? Bahkan jika kamu
harus pindah ke sekolah lain, kamu masih bisa ikut berpartisipasi dalam konser
seperti biasa, ‘kan!”
“Be-Benar juga! Nao-chan, ayo jangan
menyerah dan tetap tampil bersama kami!”
Riho dengan suara ceria
langsung setuju dengan saran Takeshi, seolah-olah untuk menebus kesalahan yang
dia buat dengan sahabatnya.
“Orang luar, bisa ikut berpartisipasi...?
Tapi, jika memang bisa begitu...”
Nao pasti merasa enggan untuk
tidak bisa berpartisipasi dalam konser yang dia tuju selama ini. Tatapan
matanya yang selalu memiliki cahaya yang kuat di dalamnya, kini bergetar tak
menentu saat menatap wajah teman-temannya secara bergantian. Kemudian seorang
cowok bertubuh gembul, yang sedari tadi diam sampai saat itu, berkata sambil
meletakkan tangannya di bahu Nao.
“Jangan khawatir, Nao. Aku akan
melakukan sesuatu untuk perusahaan ayahmu.”
“Ehh?”
Itulah yang dikatakan Kasugano
Ryuichi, sang bassis sekaligus pacarnya Nao. Nao mengernyitkan alisnya dengan
ragu pada ucapan tak sopan kekasihnya. Tidak hanya dia saja yang bereaksi
begitu, ketiga orang lainnya juga melihat ke arah Ryuichi untuk menanyai
maksudnya. Melihat ekspresi curiga mereka semua, Ryuuichi menunjuk dirinya
sendiri dengan ibu jarinya sambil mengangkat sudut mulutnya.
“Soalnya, kakekku adalah
presiden Bank Eimei.”
“Yang benar!?”
Takeshi melebarkan matanya dan
berseru pada nama bank besar yang diketahui semua orang di Jepang. Hikaru dan
Riho juga melebarkan mata mereka karena terkejut.
“Oleh karena itu, yah… jangan
khawatir, Nao. Aku akan berbicara dengan kakekku dan memintanya untuk mengurus
perusahaan ayahmu.
“Ryuichi...”
Begitu mendengar tawaran
menghibur kekasihnya, pandangan Nao sedikit gentar ... dia lalu menggigit erat
bibirnya dan dengan cepat menundukkan wajahnya. Kemudian, dia berkata dengan
suara kaku tanpa melihat ke arah Ryuichi.
“... Tidak perlu. Lagipula,
semuanya sudah terlambat. Selain itu .... kamu tidak terlalu rukun dengan
kakekmu, ‘kan?”
“Eh, ah... yah begitulah. Tapi
yah, jangan khawatir. Jika itu permintaan seumur hidup cucunya, bahkan kakek
tua yang kolot itu takkan bisa menolakku!”
“Tidak, jangan mengatakan
hal-hal keren dan malah mengandalkan kerabatmu!?”
“Apa boleh buat, ‘kan~?
Memangnya kamu pikir bahwa pria kecil gendut yang tidak ada lagi yang bisa
ditawarkan selain kepintaran, penampilan, kepribadian yang baik dan kemampuan
bermain bass, bisa mengelola satu perusahaan?”
Ryuichi segera menimpali
sindiran Takeshi dan menepuk-nepuk perutnya yang buncit.
“Tidak, dari mana datangnya
harga dirimu yang tinggi itu!!”
Saat Takeshi membuat membalasnya
dengan tsukkomi lagi, empat orang lainnya tertawa, kecuali Nao. Suasana gelap
dan serius yang telah ada sampai saat itu terhapus, dan suasana ceria dan
santai yang biasa mulai kembali. Sambil menurunkan alisnya dengan lega, Ryuichi
dengan lembut berbicara kepada pacarnya yang masih menunduk.
“Itu sebabnya. Kurasa mungkin semuanya
tidak akan segera terselesaikan... Tapi jangan sampai bilang kamu ingin keluar
dari band. Aku akan mencoba memohon pada kakekku entah bagaimana caranya.”
Mendengar kata-kata Ryuichi,
ketiga orang lainnya mengangguk sambil menatap Nao. Namun, di bawah pandangan
simpatik dari keempat anggota band lainnya, Nao justru …
“Sudah kubilang tidak usah
lakukan itu... itu bantuan yang tidak perlu.”
Dengan wajah tertunduk, dia
kembali menolah mentah-mentah tawaran Ryuichi dengan suara keras. Mulut Ryuichi
berkedut melihat sikap keras kepala pacarnya, tapi Ia tersenyum dengan sikap bercanda.
“Enggak, enggak, kamu tidak
perlu menahan diri kok. Jika demi pacarku, bersujud pada kakekku hanyalah
masalah sepele. Lagi pula, aku biasanya menundukkan kepalaku kepada Sensei—”
“Sudah kubilang tidak usah!”
Seperti biasa, Ryuichi mencoba
meringankan suasana dengan candaan yang mencela diri sendiri, tapi Ia menerima
penolakan keras yang tak terduga. Saat senyum Ryuichi mengeras, Nao mengangkat
kepalanya dan menatap tajam ke arahnya.
“Sudah kubilang itu bukan
urusanmu! Aku tidak ingin kamu melakukan itu padaku!!”
“O-Oi, Nao, tenanglah sedikit.”
Meskipun dia mengkhawatirkan pacarnya,
kata-katanya masih terlalu berlebihan, jadi Takeshi mencoba untuk ikut campur
tangan. Tapi ternyata itu semua sia-sia.
“Aku … tidak bermaksud begitu
... ak-aku hanya... sebagai pacarmu, aku ingin melakukan sesuatu yang kubisa
untuk membantumu...”
“Kalau gitu mendingan kita
putus saja! Lagipula, hubungan LDR takkan bisa bertahan lama, kalau begitu
tidak ada masalah, ‘kan!”
“Hei! Nao!”
“E-Ehhh!?”
“Nao-chan!?”
Kata-kata tegas Nao mengejutkan
ketiga orang lainnya kecuali Ryuichi. Di sisi lain, Ryuichi yang dihadapkan
pada putusnya hubungan mereka, membuka matanya lebar-lebar karena terkejut ….
Dan menggumamkan beberapa kata saat menundukkan kepalanya.
“Begitu ya... Kurasa Nao memang
tidak terlalu menyukaiku, ya.”
“Ha-Hah? Kenapa malah
mengungkit hal itu—”
Nao meninggikan suaranya karena
merasa jengkel. Namun, keempat orang di sini tidak melewatkan fakta bahwa
tatapan matanya mengarah kesana-kemari dengan gelisah. Seolah-olah merasa yakin
dengan tebakannya, Ryuichi melanjutkan dengan tawa mencibir.
“Tidak, aku sudah tahu itu. Kamu
sepertinya tidak terlalu bersenang-senang bersama denganku, dan sejujurnya, aku
masih penasaran mengapa kamu membalas oke pada pengakuanku ... Meski begitu,
kupikir kamu masih memiliki semacam kasih sayang tertentu untukku karena kamu memilih
tetap bersamaku untuk beberapa alasan…..”
Begitu mendengar kata-kata
Ryuichi, Takeshi dan Hikaru tidak tahu harus berkata apa. Sementara itu, Riho lah
yang meninggikan suaranya.
“Nao-chan ... kamu bohong, ‘kan?
Karena Nao-chan, waktu kamu bergabung dengan band, kamu bilang kalau kamu
menyukai seseorang di Luminous...”
“!!”
Di depan Riho yang mengambil
beberapa langkah lebih dekat dan menatapnya, Nao terlihat sangat kesal.
Tatapannya bergerak sekeliling ruangan seolah mencari bantuan, dan pada
akhirnya, tatapannya tertuju pada Hikaru. Dan kemudian, Nao berkata keras
seolah ingin meluapkan semuanya.
“Benar, aku dulu menyukai Hikaru!
Tapi Hikaru bilang kalau Ia tidak terlalu mempercayai wanita, jadi …. Ryuichi
dan aku hanya berhubungan biasa saja! Jadi itu sudah cukup!”
Setelah mengatakan semua itu,
Nao mengambil barang bawaannya dan bergegas keluar dari ruang musik. Karena
perkembangannya sangat mengejutkan, sehingga tidak ada yang berbicara sepatah
kata pun dan keheningan pun terjadi. Di tengah-tengah semua itu, suara
keceplosan seseorang anehnya terdengar sangat keras.
“Tidak mungkin... padahal aku
juga...”
Pemilik suara itu adalah Riho. Itu
mungkin suara yang tidak disengaja di pihaknya.
“Ah, umm, aku...”
Melihat tatapan yang berkumpul
padanya, Riho mengungkapkan kegelisahannya dengan ekspresi kaget dan meninggalkan
ruang musik seolah ingin melarikan diri. Yang tersisa hanyalah tiga anak cowok
yang hatinya hancur berkeping-keping.
“Ryu-Ryuichi... umm...”
Meski Takeshi sendiri merasa
kesal, tapi Ia tetap mencoba mengatakan sesuatu kepada kawannya yang sedang
mengalami patah hati. Namun, Ryuichi perlahan menggelengkan kepalanya sambil
menangis dan tersenyum lemah.
“Maaf ... tolong tinggalkan aku
sendiri.”
Dan Ryuichi juga meninggalkan
ruang musik dengan bahu terkulai. Baik Takeshi maupun Hikaru tidak bisa berbuat
apa-apa ketika melihat punggungnya mengikutinya.
◇◇◇◇
“Bukannya itu kacau balau
banget...”
Ketika Masachika mendengar keseluruhan
cerita dari mulut Takeshi, matu tak mau Ia hanya bisa mengerang. Sebuah
pertengkaran besar, dan terlebih lagi itu adalah ladang ranjau terbesar bagi
Hikaru, sebuah pertengkaran yang disebabkan oleh masalah percintaan.
(Kalau
masalahnya begitu sih, wajar saja Hikaru jadi begini...)
Masachika bersimpati dengan
Hikaru, yang benar-benar sudah jatuh ke dalam kegelapan. Pertama-tama, Hikaru
mempunyai trauma dengan gadis yang secara romantic tertarik padanya. Pola
terburuk dari semuanya adalah “Gadis yang
Ia anggap sebagai temannya, sebenarnya justru menyukainya”. Akibatnya, Ia
tidak hanya kehilangan teman perempuan, tapi juga teman laki-laki di masa lalu.
Dan peristiwa kali ini sangat
dekat dengan kasus tersebut. Akan sulit bagi Ryuichi untuk memperlakukan
Hikaru dengan cara yang sama seperti sebelumnya ketika diberitahu bahwa orang
yang benar-benar disukai pacarnya adalah Hikaru. Karena itulah Masachika
berpikir bahwa wajar-wajar saja jika Hikaru jatuh ke dalam kegelapan seperti
ini. Atau itulah yang dipikirkannya, tapi...
“(Dasar sialan, dasar
cewek-cewek lonte keparat, sangat menjijikkan, benar-benar menjijikan,
memangnya cuma cowok saja yang berpikir tentang bagian selangkangan mereka?
Ceweklah yang berpikir dengan tubuh bagian bawah mereka, hanya diberi perhatian
sedikit saja sudah langsung klepek-klepek dan gampang jatuh cinta, ditambah
lagi, otaknya cuma bisa menghayal tanpa memikirkan orang-orang disekitarnya, seenaknya
saja mengacaukan hubungan sesama teman, dan berpikir mereka diizinkan melakukan
apapun yang mereka inginkan demi alasan cinta, ahhh mendingan mereka semua matu
saja sana!!!)”
“Hentikan Hikaru, ayo berhenti sampai
di situ saja.”
Seperti yang diharapkan,
Masachika tidak tahan melihat Hikaru yang mengutuk gadis-gadis dengan kalimat-kalimat
kotor yang menghancurkan karakternya. Kemudian, Hikaru pelan-pelan mengangkat
wajahnya dan menatap Masachika dengan tatapan kosong.
“... Masachika? Kenapa kamu ada
di sini?”
“Aku dipanggil kemari oleh Takeshi…
Um, itu pasti sulit buatmu.”
Setelah mengatakan itu, Masachika
berjongkok di samping Hikaru dan merangkul bahunya. Takeshi juga berjongkok di
sisi lain dan merangkul bahu Hikaru dengan cara yang sama.
“Seriusan, Hikaru selalu apes
kalau berurusan dengan wanita~……Yah, jangan khawatir. Selama masih ada kita di
sini, masalah pria beracun sih cuma masalah sepele. Aku tidak tahu sih apa ada
yang namanya istilah pria beracun!”
“Oi, oi, Takeshi. Cara bicaramu
itu seolah-olah membuatmu terdengar seperti cowok yang baik saja.”
“Eh?”
“Eh?”
Mereka berdua saling memandang
dengan wajah melongo di atas kepala Hikaru. Keheningan pun terjadi, tapi itu
segera dibuyarkan oleh suara tertawa kecil Hikaru.
“Pufu, astaga ... Terima kasih,
kalian berdua.”
“Ooh... syukurlah, sepertinya
kamu sudah pulih entah bagaimana."
“Hah? Aku ini orang yang baik, ‘kan?
Iya, ‘kan?”
“Takeshi, peka lah sedikit
dengan suasananya”
“Betul sekali.”
“Apanya!?”
Masachika dan Hikaru sama-sama
menatap Takeshi dengan tatapan lembut, dan suasana kembali sedikit santai
seperti biasanya. Pada saat itu, terdengar ketukan dari pintu, dan pintu ruang
musik pun terbuka.
“Permisi, kalau tidak salah mulai
saat ini dan seterusnya, sudah waktunya klub piano kami berlatih, …. Jadi
bisakah kalian mengosongkan ruangan untuk kami?”
Orang yang memasuki ruangan
sambil mengatakan itu adalah seorang pemuda dengan tampang bishounen. Apa itu yang disebut estetika? Ia memiliki tubuh yang
tinggi dan ramping, dengan penampilan yang agak melankolis dan elegan. Ia adalah
bishounen dengan sandiwara ringan yang
dikombinasikan dengan sikapnya yang seperti bangsawan, membuatnya bisa menjadi
lukisan yang sangat menarik. Namanya adalah Kiryuuin Yuusho.
Ia dikatakan sebagai salah satu
dari tiga cowok tertampan di akademi ini, dan merupakan putra dari ketua Grup
Kiryuuin, sebuah grup perusahaan besar. Selain itu, Ia juga dikenal sebagai “Pangeran Piano” karena hasil
gemilangnya dalam kompetisi piano baik domestik maupun internasional. Melihat
wajah cantik yang mempesona itu, Takeshi mengeluarkan suara “Ughe” kecil.
“Ah, Kiryuuin ya... maaf, kami
akan segera membereskannya.”
Sambil berpura-pura tidak
memperhatikan suara itu, Masachika mengatakan hal itu dan mendesak Takeshi
serta Hikaru dengan tatapannya. Kemudian, mereka berdua buru-buru mulai
membereskan barang bawaan mereka. Masachika juga ingin membantu, tapi Ia
mengurungkan niatnya karena menilai kalau dirinya hanya akan menjadi penghalang
saja karena tidak tahu apa yang perlu dibereskan, jadi Masachika memutuskan
untuk meladeni pengunjung dan mengulur waktu.
“Maaf ya, kami sedikit ada
masalah dan keadaannya menjadi sedikit berantakan.”
“Oh, tidak apa-apa, kok. Aku
juga terkadang sampai lupa waktu ketika sedang bersemangat memainkan piano.”
“... Aku sangat menghargainya
jika kamu berkata begitu.”
Ya, Ia sangat tertolong. Tapi
Masachika juga penasaran bahwa anggota wanita dari klub piano di belakangnya
kelihatannya tidak berpikir demikian sama sekali. Bahkkan dari sorot mata
mereka, Ia bisa dengan jelas merasakan niat mereka yang seolah-olah menyiratkan
“Jangan membuat Yuusho-kun membuang-buang
waktunya.”
“Ngomong-ngomong ...
tumben-tumbennya kamu berada di ruang musik, Kuze. Apa kamu bergabung dengan klub
musik ringan?”
“Hmm? Enggak juga? Kali ini aku
hanya dipanggil oleh Takeshi sebentar. Saat ini, tanganku sudah penuh dengan urusan
OSIS.”
“Begitukah? Apa Kuze tidak
pandai memainkan alat musik?”
Itu hanyalah pertanyaan biasa.
Namun, tatapan Yuusho sepertinya sedang menyelidiki sesuatu, dan Masachika menjawab
sambil memiringkan kepalanya.
“Enggak juga kok? Ketika masih
kecil, aku biasa bermain biola dan ... piano untuk sementara waktu.”
““(Pfft, ngaku-ngaku bisa main
piano di hadapan Yuusho-kun)””
Sebuah suara kecil berisi
ejekan muncul dari antara para siswi di belakang Yuusho, dan segera setelah
itu, ejekan itu menyebar seperti riak. Masachika tentu saja memperhatikan itu
juga, tapi karena tidak ada gunanya meladeni cibiran murahan itu, jadi Ia
mengabaikannya tanpa menoleh ke arah sumber ejekan. Namun, orang yang bereaksi
justru Yuusho sendiri.
“Hei, hei, kalian tidak boleh
mengatakan itu, oke?”
“... Iya~”
“Tapi, ngaku-ngaku bisa bermain
piano di hadapan Yuusho-sama, yang bahkan mempermalukan para professional, mau
tak mau aku jadi tidak bisa menahan tawaku~”
“Hahaha, mempermalukan para professional
apanya ... Bagiku, piano hanyalah sekedar hobi. Aku tidak berniat bersaing
dengan para profesional.”
“Level setinggi itu sebagai
hobi… Sudah kuduga, Yuusho-san memang luar biasa!”
Ketika salah satu gadis
menyuarakan ini, gadis-gadis lainnya ikut mengangguk setuju dan menatap Yusho
dengan penuh gairah.
“Okee, semuanya sudah selesai
dibereskan”
Kemudian, Takeshi datang
menghampiri dengan sikap agak cemberut, tampak seperti akan mendecakkan
lidahnya.
“Benarkah? Kalau begitu
semuanya, mari kita mulai.”
“ “ “ “ “Ya!” ” ” ” ”
Bersama dengan anggota gadis
yang tampaknya benar-benar kehilangan minat pada Masachika, Yuusho memasuki
ruang musik menggantikan Takeshi dan Hikaru. Takeshi menatap punggungnya itu
seolah ingin mengatakan “Kek!”.
Dengan senyum masam di wajahnya, Masachika membawa mereka berdua ke lorong
sekolah, dan setelah berjalan sedikit jauh, Ia lalu memanggil Takeshi.
“Kamu … bukannya kamu terlalu
membenci Kiryuuin?”
“Ketimbang dibilang membenci
sih ... kamu tahu sendiri, ‘kan?”
Takeshi tergagap oleh
pertanyaan blak-blakan Masachika. Faktanya, Takeshi mungkin juga tidak terlalu
membencinya. Atau lebih tepatnya, Takeshi bukanlah tipe orang yang bisa sangat
membenci seseorang. Sebagai buktinya, Takeshi memalingkan matanya dengan
canggung dan bibirnya cemberut seperti anak kecil.
“Entah kenapa~ rasanya tuh
orang berlagak sok keren banget, tau. Barusan saja Ia bilang ‘Lagipula, piano cuma sekedar hobiku saja~'.
Bukannya itu jelas-jelas pamer dengan gaya merendah saja!”
“Tidak, Ia tidak mengatakannya dengan
cara seperti itu, kok?”
Meskipun Ia membalas dengan
mimikri yang agak jahat, Takeshi memanas tanpa terlalu memedulikan balasan
Masachika.
“Pertama-tama! Apa-apaan dengan
situasi harem itu! Semua anggota klubnya adalah gadis kecuali dirinya, itu sih
bukan klub piano lagi, tapi sudah berubah nama menjadi klub harem!”
“Yah, begitulah...”
“Dan tahu enggak! Aku pernah
bertanya padanya! 'Apa kamu berpacaran
dengan seseorang?'! Dan kamu tahu apa yang Ia katakan?”
“...Biasanya sih, 'Aku tidak berpacaran dengan siapa pun',
mungkin?”
“Betul banget!”
“Ternyata betul, toh!”
Ketika Masachika membalas
dengan setengah tersenyum pada jawaban benar yang tak terduga, Takeshi mengibaskan
jarinya dengan frustrasi.
“Jawabannya memang benar, tapi
rasanya ada yang berbeda, gitu! Cara mengatakannya tuh seperti mengandung makna
tertentu dan sugestif!”
“Aah~... maksudnya yang begini?
'Aku tidak
berpacaran dengan siapa pun', mirip seperti itu?”
“Nah betul, yang begitu!”
Takeshi mengarahkan jari
telunjuknya ke arah Masachika dan berkata dengan wajah serius.
“Ia pasti sudah memakan semua gadis di klub piano.”
“Fitnahmu terlalu kejam!!
Dengan kata lain, kamu cuma merasa cemburu saja!!”
“Iya aku cemburu, memangnya
masalah?”
“Begitu ya, rupanya Takeshi
berada di kubu itu, ya...?”
“Ahh, Hikaru! Itu tidak benar!
Tadi itu cuma bercanda doang ...”
Takeshi bergegas untuk
meluruskan kesalahpahaman Hikaru, yang hampir berubah menjadi Yamiru-san lagi.
“... Untuk saat ini, ayo pergi
ke restoran keluarga dulu, oke?”
Masachika berkata demikian
sambil menyaksikan adegan itu seraya mendesah lelah.
◇◇◇◇
“Jadi, pada akhirnya … apa yang
akan kita dilakukan dengan band ini?”
Dua puluh menit setelah
memasuki restoran keluarga. Takeshi tiba-tiba melontarkan pertanyaan itu ketika
keadaan Hikaru sudah menjadi sedikit lebih tenang.
“Kamu ini……”
Setelah Takeshi mengangkat
topik itu lagi sebelum lidahnya mengering, Masachika menatap Hikaru dengan rasa
krisis. Tapi karena tidak ada reaksi khusus, jadi Ia menghela nafas lega dan
mulai membahas masalah tersebut.
“Mau dilihat bagaimana pun
juga ... kalian tidak punya pilihan lain
selain menambah anggota baru, ‘kan? Setidaknya, posisi vokalis band kalian
sedang kosong.”
“Sudah pasti begitu, iya ‘kan
... Ah~ kira-kira masih bisa sempat enggak ya buat festival sekolah nanti~?”
“Eh, kamu masih berniat ingin
tetap tampil?”
Festival sekolah diadakan pada
awal bulan Oktober. Hanya tersisa lebih dari sebulan lagi.
Jika mereka mencari vokal baru
mulai sekarang dan meminta Ryuichi serta Riho untuk kembali... Jika mereka mulai
berlatih dari awal, sangat diragukan bahwa mereka bisa melakukan penyesuaian
tepat waktu. Pertama-tama, Masachika merasa tidak banyak orang yang bisa
mengatakan “Ya” ketika diminta, “Aku yang jadi vokalisnya! Pertunjukan sebenarnya
tinggal sebulan lagi!” Bagaimanapun juga, peran vokalis merupakan wajah
dari suatu band.
“Kupikir itu bakalan sangat
sulit ...”
“Yah, memang sih... tapi aku
sudah berjanji pada Kanau. Aku akan menunjukkan hal paling keren di konser festival
sekolah nanti.”
“Ah, adik laki-lakimu, ya.
Kalau tidak salah sudah kelas 4 SD, ‘kan?”
“Betul! Ia lagi imut-imutnya!
Ia sangat lengket denganku~”
Begitu membicarakan tentang
adik laki-lakinya, ekspresi Takeshi dipenuhi kebanggaan dan kegembiraan. Namun,
ekspresinya langsung berubah suram, dam Ia memegangi kepalanya dengan erat.
“Itu sebabnya aku tidak bisa
mengingkari janjiku padanya~~~”
Setelah mendengar kata-kata
itu, Masachika sedikit mengguncangkan bahunya. Kemudian, usai berpikir sejenak,
Ia dengan hati-hati membuka mulutnya.
“Bukannya aku tidak tahu siapa
yang bisa menjadi vokalis pengganti, tapi...”
“Eh, kamu seriusan?”
“... Seseorang yang kita
kenal?”
“Iya,tapi aku perlu bertanya
padanya dulu...”
◇◇◇◇
“Ah, Alya~ seeblah sini~
sebelah sini~”
Ketika Masachika sedikit
mengangkat pinggulnya dan melambaikan tangannya, wajah Alisa segera bersinar dan
tersenyum sejenak saat dia memasuki restoran keluarga. Tapi dia dengan cepat
mengembalikan ekspresi tenangnya, dan mendekat sambil menarik perhatian
orang-orang di sekitarnya.
“Maafin ya, karena mendadak
memanggilmu ke sini.”
“Tidak masalah, kok? Yah, kebetulan
saja aku punya waktu luang, jadi ...”
Sambil mengatakan itu, Alisa
berjalan mendekati meja dan ……
“Ah, halo.”
“Umm, selamat siang?”
Begitu dia melihat kedua
bajingan yang duduk di seberang Masachika, ekspresinya langsung berubah kaku
dan menjadi datar.
◇◇◇◇
“… Jadi, kamu ingin aku
mengambil alih menjadi vokalis?”
“Ah, yah begitulah, bagaimana
menurutmu?”
Setelah menghabiskan sekitar
sepuluh menit untuk menjelaskan situasinya, Masachika menatap wajah Alisa, tapi
Alisa hanya meminum es soda melon dengan muka ketus. Sikap cemberutnya yang
terang-terangan menyebabkan Masachika dan Hikaru, yang duduk di depannya,
mengedutkan pipi mereka.
『O-Oi,
bukannya suasana hati Kujou-san sedang buruk banget? 』
『Yah,
gitu... 』
Ketika Alisa dengan enggan
menjawab, Masachika dan Hikaru melakukan kontak mata dan berbicara satu sama
lain. Takeshi? Ia terlalu sibuk cengengesan dengan muka cabulnya karena melihat
penampilan Alisa yang memakai baju kasual, dan tidak menyadari apa-apa.
【Kupikir
ada apaan... karena dipanggil mendadak begitu... 】
Di sana, tiba-tiba, gumaman
bahasa Rusia bisa terdengar dengan nada kesal. Usai mendengar hal tersebut,
Masachika bisa menebak apa yang membuat suasana hati Alisa menjadi buruk.
(Eh,
ahh ... kurasa akulah yang salah karena sudah memanggilnya, ya)
Karena sulit untuk menjelaskan
situasinya melalui telepon, jadi Masachika hanya meneleponnya dengan
mengatakan, “Jika kamu punya waktu luang,
aku ingin kamu datang ke restoran keluarga”, …. tapi sepertinya Alisa salah
mengartikannya sebagai ajakan untuk bermain atau semacamnya. Jadi, ketika
dirinya datang ke sini dan melihat keberadaan Takeshi serta Hikaru, dia menduga
kalau itu bukan ajakan bermain dan suasana hatinya langsung memburuk.
【Jadi,
jika kamu tidak punya urusan denganku, kamu takkan mengundangku...? 】
“Umm, Alya-san? Jadi, bagaimana
menurutmu?”
Masachika sekali lagi bertanya
pada Alisa yang akhirnya mulai menggigit-gigit sedotannya. Alisa melirik
Masachika, lalu dengan cepat mengalihkan pandangannya.
“Kenapa harus aku? Aku tidak
pernah menjadi vokalis di sebuah band... Masih banyak orang lain yang lebih
cocok, ‘kan?”
“Kamu malah tanya kenapa... itu
sih tentu saja, karena kamu adalah penyanyi terbaik yang aku tahu, loh?”
Alisa yang tampaknya tidak
terlalu antusias dengan pernyataan Masachika, mengernyitkan alisnya.
“... Yah? Nyanyianku memang
sering dipuji oleh keluargaku, tapi... hanya itu saja, kok?”
“Hanya itu saja? ... bisa
bernyanyi dengan baik merupakan bakat yang hebat, tau? Coba pikirkan. Satu-satunya
momen yang bisa membuat seseorang meneteskan air mata kebahagiaan adalah ketika
mereka menulis surat kepada orang tua mereka di pesta pernikahan sekali seumur
hidup, loh? Orang yang pandai bernyanyi bisa membuat ribuan orang menangis
hanya dengan suaranya. Dengan kata lain, itu adalah bakat yang luar biasa.”
“Bukannya itu sedikit
berlebihan?”
“Berlebihan apanya? Terus
terang saja, menurutku, bakat menyanyi adalah salah satu bakat yang paling
langka dan luar biasa di antara bakat yang diberikan Tuhan kepada umat
manusia.”
“H-Hmm~?”
Ke mana perginya sikap yang
ketus dan jutek beberapa saat yang lalu? Alisa memain-mainkan ujung rambutnya
dengan jari-jarinya, mulutnya mengendur dengan ekspresi sedikit gembira. Hikaru
dan Takeshi saling bertukar pandang, dengan ekspresi mengejutkan di wajah
mereka saat melihat pemandangan itu.
『Loh?
Apa jangan-jangan Putri Alya tuh gampang banget dibujuk daripada yang kita kira...?
』
『Mungkin
sebenarnya dia cukup mudah terpengaruh suasana? 』
Ketika mereka berdua berbagi
keterkejutan mereka melalui kontak mata, Masachika terus melanjutkan.
“Dan tentu saja, ada
keuntungannya juga untuk Alya, loh? Aku bisa menjaminnya, jika kamu berhasil
membawakan suara nyanyianmu di panggung festival sekolah, jumlah pendukungmu pasti
akan meningkat drastis. Selain itu, kesempatan ini bisa menjadi pengalaman
bagus untuk melatih kemampuanmu dalam kerja sama tim.”
Mendengar ucapan Masachika yang
penuh perhitungan, Alisa mengangkat alisnya sedikit dan menatap Takeshi dan
Hikaru dengan tatapan khawatir. Dia kemudian menyolek tangan kiri Masachika di
bawah meja dan menjentikkan huruf-huruf itu ke telapak tangannya.
[Memangnya
kamu boleh untuk mengatakan itu?]
Sambil merasa terharu oleh
fakta bahwa Alisa segera menggunakan jentikan telapak tangan yang baru-baru ini
dia kuasai dan melihat Alisa mencoba yang terbaik untuk mengetik, Masachika
berani menjawab dengan keras.
“Asal kamu tahu saja, kamu
tidak perlu sungkan terhadap Takeshi dan Hikaru, oke? Karena mereka berdua juga
sudah menyadari hal itu. Ini bukan bantuan gratis untuk teman sekelas,
melainkan kesepakatan yang menguntungkan untuk kedua belah pihak.”
Begitu mendengar ucapan
Masachika, Alisa mengalihkan pandangannya sedikit dan berpikir. Setelah
memikirkannya sekitar sepuluh detik, dia berbalik menghadap Takeshi dan Hikaru.
“Baiklah, aku mengerti. Jika
kalian berdua tidak keberatan denganku, aku akan bekerja sama dengan kalian.”
“O-Ohh! Seriusan nih! Tidak,
Al—…. Jika Kujou-san bersedia bergabung, kami sangat menyambutnya.”
“Oi, oi, Takeshi, kamu ‘kan belum
pernah mendengar nyanyian Alya, jadi sebaiknya jangan asal menerimnya dulu.”
“Ah, bukannya begitu, tapi... kalau itu Kujou-san, bukannya dia jago
dalam hal apa saja? Hahaha...”
Masachika dan Hikaru
mengarahkan tatapan hangat ke arah Takeshi yang menggaruk-garuk kepalanya
karena Ia tidak bisa melihat langsung ke wajah Alisa.
“Yah, aku tidak terlalu
mengeluh jika itu Kujou-san, tapi… dia memang perlu menunjukkan kemampuannya
dulu. Hal itu berlaku sama untuk kami juga, sih.”.
“Betul juga, kalian perlu ….
menyesuaikan satu sama lain, ‘kan? Ada baiknya kalian mencobanya satu sesi
dulu, dan kemudian kalian bisa membuat keputusan formal. Alya juga tidak
keberatan dengan itu, ‘kan?”
“Iya.”
“Kalau begitu... apa yang harus
kita lakukan? Mau pergi ke karaoke di suatu tempat?”
“Mana bisa lah, kita ‘kan
sedang memakai seragam sekolah. Terlebih lagi, karaoke bukanlah tempat yang
tepat untuk memamerkan kemampuan kalian.”
“Lagipula, peralatan music kita
disimpan di sekolah. Jika kita ingin mengadakan sesi percobaan, bukannya lebih
baik di sekolah saja?”
“Be-Benar juga. Yah, memang
betul sih. Hmmm ... Dalam kasus terburuk, kita mungkin bisa menyewa studio di
suatu tempat... tapi kapan tanggal latihan berikutnya?”
Masachika sedang berdiskusi dengan
Takeshi dan Hikaru mengenai langkah selanjutnya. Tangan kirinya yang masih
terhubung dengan Alisa. Alisa kemudian mulai menelusuri telapak tangan
Masachika dengan jari-jarinya lagi.
(Hmm?
Ada apa……?)
Bagi Masachika, membaca
jentikan tangan sambil berbicara dengan orang lain merupakan hal yang mudah. Ia
lalu memfokuskan separuh perhatiannya pada percakapan dan separuh lainnya di
tangan kirinya. Dan kemudian……
(Ke,
si, ni... “Lihat ke sini”?)
Seperti yang dibacanya,
Masachika menoleh ke arah Alisa. Tapi hal yang didapatnya justru tatapan
bertanya.
“… Apa?”
“Eh, bukan apa-apa...”
Masachika sejenak bingung
dengan apa yang sedang terjadi, meskipun di dalam hati Ia berpikir ‘Bukannya kamu sendiri yang memanggilku?’.
Ketika dirinya mengingat-ngingat lagi apakah Ia salah membacanya ...
“? Masachika?”
“Oi, oi, ada apa? Tiba-tiba
menatap ke wajah Kujou-san. Apa kamu terpesona padanya?”
Masachika berbalik dengan cepat
menghadap ke depan ketika mendengar suara mengejek dari sampingnya. Kemudian
suara Alisa yang berisi penuh sindiran mencapai telinganya.
“Hee~, benarkah?”
Alisa mengibaskan rambutnya
seraya menunjukkan senyum provokatif di wajahnya. Pipi Masachika berkedut saat
Ia melihat seringai di kedalaman matanya
(Orang
ini…!)
Sambil bersumpah dalam hati
kalau dirinya telah dijebak, Masachika menanggapi dengan berpura-pura tenang.
“Enggak juga, kok? Kupikir Alya
ingin mengatakan sesuatu, jadi aku menoleh ke arahnya.”
“Hmm, begitu ya.”
Alisa mundur dengan gampang, tapi
kilatan nakal di tatapan matanya tetap tidak berubah. Seolah-olah ingin
membuktikannya, jari-jemari Alisa sekali lagi mulai menelusuri tangan kiri
Masachika.
[Fufufu
kamu sampai panik begitu, imut banget]
“Maksudku, aku tahu ini sedikit
terlambat, tapi apa kita perlu membuat Kujou-san bergabung dengan klub musik
ringan?”
“Hmm? Ahh … entahlah? Yah,
mungkin itulah yang paling membingungkan….”
“Tapi waktunya tinggal sebulan lagi
sampai festival sekolah, tau? Bukannya itu agak aneh jika meninggalkan klub
begitu cepat setelah acara berakhir…”
“Ada benarnya juga.”
[Kali
ini beneran kok, jadi ayo menengok ke sini lagi dong?]
“Hmm, yah, kurasa aku harus
berbicara dengan ketua klub dulu perihal itu... Kurasa bukannya mustahil untuk
berpartisipasi dalam konser jika dia bukan anggota klub musik ringan, tapi situasinya
lumayan rumit bagi anggota OSIS untuk berpartisipasi sebagai orang luar.”
“Yah, memang benar sih... biar
aku yang mengurus masalah itu.”
[Kamu
kenapa? Kamu ngambek, ya?]
“Tunggu. Bukannya itu baru bisa
diputuskan setelah Kujou-san secara resmi bergabung?”
“Mungkin lebih baik begitu.
Latihan selanjutnya adalah dua hari sebelum upacara pembukaan, ‘kan? Lalu kita
bisa meresmikannya, dan jika dia bergabung dengan klub, dia bisa bergabung
dengan klub mulai dari semester kedua...”
[Kamu
imut banget kayak anak kecil]
(Jangan
seenaknya menyalahgunakan jentikan telapak tangan yang sudah kuajarkan padamuuu!!)
Masachika berteriak di dalam
hatinya saat berbicara dengan Takeshi dan Hikaru.
Sambil mencoba yang terbaik
untuk tidak bereaksi, Masachika juga memusatkan perhatiannya pada jari-jari
Alisa, karena Ia berpikir mungkin ada sesuatu yang sangat ingin disampaikan
padanya secara diam-diam, tapi... ternyata itu benar-benar cuma lelucon belaka.
Dia terus-menerus menggoda Masachika yang terpaksa tidak bereaksi.
Jika sudah begini, mendingan
berhenti membacanya saja. Setelah memutuskan itu, Masachika berkonsentrasi pada
percakapan. Akan tetapi,
(Uh...
entah kenapa, yang begini pun...)
Akibat dari berhenti mengikuti
gerakan jari-jarinya, Masachika menjadi lebih sensitif dengan sentuhan jari-jari
Alisa. Ujung jari halus Alisa menggelitik telapak tangannya. Setiap ketukan
jari-jemarinya diiringi tawa kecil.
(Ga-Gawat
... karena perkembangan tadi, rasanya jadi sangat geli!)
Masachika merasakan bahaya saat
sensasi kesemutan perlahan-lahan merayapi tulang punggungnya. Tapi rasanya
tidak sopan juga menepak tangannya di sini, dan dirinya merasa seperti akan
kalah. Di sisi lain, Ia tidak bisa memikirkan alasan apapun untuk tiba-tiba
meninggalkan tempat duduknya di tengah percakapan.
(Tidak,
tapi,... ini beneran gawat. Maksudku, aku mulai merasa seperti sedang melakukan
sesuatu yang nakal ketika diam-diam melakukannya di bawah meja...!)
Menyadari bahwa bagian dalam
tubuhnya perlahan menghangat, Masachika memutuskan untuk mengakhiri pembicaraan
secepatnya. Tapi kenyataannya tidak semudah itu. Terutama karena pemikiran dan
topik acak Takeshi yang terbang kesana kemari, jadi Masachika kesulitan untuk menemukan
jeda. Meski begitu, Ia berhasil mengerahkan semua akal sehatnya dan
mempertahankan sikap tenang.
“Kalau begitu, mungkin lebih
baik memberinya terlebih dahulu contoh dan lirik lagu yang akan Kujou-san
nyanyikan pada konser nanti.”
“Ya, setuju banget ...
ngomong-ngomong.”
“Hmm?”
“Masachika, bukannya wajahmu
kelihatan memerah?”
“Ehh?”
Tubuh Masachika menegang saat
hal tersebut diungkit Hikaru.
“Lah iya juga, wajahmu
kelihatan sedikit memerah. Apa kamu baik-baik saja?”
Kemudia ada perhatian biasa
dari Takeshi. Melihat tatapan murni yang diarahkan padanya oleh kedua temannya ...
membuat Masachika merasakan keinginan kuat untuk menghilang.
Rasa bersalah yang kuat
membuncah di dalam dadanya, karena rasa kekhawatirkan temannya sekaligus saling
melakukan rayuan terlarang di hadapan mereka. Selain itu, penghinaan, rasa malu,
dan kebencian pada dirinya sendiri karena telah menyerah pada godaan Alisa dan
tersipu hanya karena tangannya dipermainkan.
(Ahhhhhhhh~!!
Aku ingin menghilang dan mati saja, seseorang tolong bunuh aku!! Bunuh aku
sekarang juga~~!!)
Bahu Masachika tersentak tanpa
bisa memberikan alasan. Seketika itu juga, suara Alisa mencapai telinganya.
“Ara~, ada apa? Apa kamu
mengalami demam?”
Masachika memelototi Alisa dengan
pandangan ke samping pada ucapan yang terlalu blak-blakan. Tapi, Alisa
berpura-pura tidak menyadarinya. Sebaliknya, ekspresi wajahnya terlihat puas
dan membiarkan jari-jemarinya menari lagi di telapak tangan Masachika.
[Aku
akan berhenti sampai di sini dulu untuk hari ini]
Pada akhirnya, Alisa mau
melepaskan tangannya dan mengambil es soda melon. Kemudian, dengan senyum lebar
yang menghiasi wajahnya, dia dimabukkan oleh nikmatnya rasa kemenangan.
Sebelumnya || Daftar isi || Selanjutnya