Roshi-dere Jilid 5 Bab 4

Chapter 4 — Siapa Juga Yang Diuntungkan Dari Melihat Wajah Tersipu Laki-Laki?

 

Pada suatu pagi dengan hanya satu minggu tersisa dari liburan musim panas, Masachika menerima pesan singkat dari Takeshi yang meminta bantuannya.

Masachika segera menelepon Takeshi karena mendapat pesan yang tidak biasa darinya, tapi ... rupanya itu bukan urusan yang terlalu mendesak, tapi sepertinya Takeshi mengalami kesulitan untuk menjelaskan situasinya melalui telepon. Meski begitu, Ia bisa tahu dari nada suaranya bahwa Takeshi terdengar sangat kelelahan, jadi Masachika segera mengganti bajunya dengan seragam sekolah dan menuju ke ruang musik kedua tempat di mana Takeshi dan Hikaru berada.

“... O-Ohh”

Kemudian, ketika mengintip melalui jendela di sisi koridor untuk melihat apa yang terjadi di dalam, Masachika tanpa sadar mengeluarkan suara berkedut. Karena di dalam ruangan tersebut ... Hikaru sedang duduk di sudut ruangan seraya menggumamkan sesuatu dengan suasana suram dan gelap menyelimuti punggungnya Walaupun Ia sudah menduganya sampai batas tertentu dari panggilan telepon Takeshi, tapi jelas-jelas kalau Yamiru-san* telah turun. Dan juga tampaknya pada tingkat kedalaman yang cukup tinggi. (TN: Salah satu kanji dari nama Hikaru [光瑠]  memiliki arti cerah, ceria atau berbau positif, dan nama Yamiru [闇瑠] merupakan julukan Masachika dan Takeshi dalam menggambarkan keadaan terbalik Hikaru yang biasanya, entah itu lagi depresi atau keadaan negatif lainnya)

(Rasanya langsung pengen pulang saja~... tapi mana mungkin bisa begitu, ya~.)

Setelah sampai sejauh ini, mana mungkin Ia bisa menyelonong pulang begitu saja. Jadi, Masachika menghela nafas berat dan membuka pintu dengan penuh tekad.

“Ah, Masachika~… aku sudah lama menunggumu, tau…”

Kemudian Takeshi, yang sedari tadi mengatakan sesuatu pada Hikaru, segera menghampirinya dengan ekspresi menyedihkan di wajahnya.

“Oh... ada apa? Apa yang sebenarnya terjadi sampai-sampai bisa begini?”

Pertama-tama, mengapa cuma ada dua orang di sini? Hari ini, Takeshi dan Hikaru seharusnya berlatih bersama dengan tiga anggota band lainnya untuk pertunjukan langsung di festival sekolah nanti. Karena pihak OSIS lah yang mengelola penyewaan tempat latihan, jadi hal itu tidak diragukan lagi.

“Coba dengerin, masalahnya...”

Takeshi kemudian mulai menceritakan tentang apa yang sudah terjadi.

 

◇◇◇◇

 

“Aku benar-benar minta maaf”

Orang yang menundukkan kepalanya ketika mengatakan itu adalah seorang gadis yang terlihat berkemauan keras dengan rambut hitam sebahu ditarik ke dua sisi. Dia adalah Shiratori Nao, vokalis band “Luminous” yang dipimpin oleh Takeshi. Anggota band lainnya dibuat bingung dengan tingkah lakunya yang selalu menawan dan penuh kepercayaan diri, dia tipe orang yang tidak gampang menundukkan kepalanya kepada orang lain. Di tengah-tengah kebingungan mereka, Nao terus menunduk ke bawah dan berbicara dengan suara yang terdengar seperti sedang menekan emosinya.

Dia lalu menjelaskan mengenai dirinya yang pindah sekolah karena alasan keluarga dan tidak bisa menghadiri festival sekolah bersama mereka. Ketika anggota band lain bertanya lebih lanjut, ternyata penyebabnya karena perusahaan yang dijalankan oleh ayahnya berada diambang kebangkrutan. Nao tidak menjelaskan lebih lanjut, tapi kelihatannya ada banyak hal yang terjadi dalam keluarganya karena masalah ini.

“Kupikir ini akan menjadi yang terakhir kalinya aku datang ke akademi ini. Oleh karena itu … aku benar-benar minta maaf. Aku tahu kalau ini permintaan yang terlalu mendadak, tapi bisakah aku keluar dari band?”

Kata-kata perpisahan yang tiba-tiba darinya membuat mereka berempat langsung terdiam. Sementara itu, seorang gadis perlahan mendekati Nao.

“Kenapa ... kenapa kamu tidak memberitahuku lebih dulu?”

Orang yang meninggikan suaranya dalam keadaan tertekan adalah seorang gadis mungil dengan rambut pendek yang memantul di ujungnya, memberinya nuansa seperti binatang kecil. Dia adalah Minase Riho, teman masa kecil Nao sekaligus pemain keyboard di dalam band. Nao memalingkan muka dan menjawab dengan singkat kepada teman masa kecilnya, yang matanya bergetar karena merasa syok.

“Bahkan jika aku mengatakannya... tak ada yang bisa kamu lakukan, bukan?”

“Mungkin saja memang begitu... tapi aku berharap kalau kamu bisa menceritakannya denganku...”

Riho mengatakan kepadanya bahwa meskipun dia tidak dapat melakukan sesuatu tentang perusahaan, setidaknya dia ingin meringankan beban masalahnya. Nao semakin membuang muka pada teman masa kecilnya, yang tampak agak terkejut karena dia tidak diajak berkonsultasi.

“Tenanglah dulu, Riho-chan, terkadang ada hal-hal yang sulit untuk dibicarakan meski kalian berdua bersahabat, loh?”

Hikaru yang merasa kalau situasinya akan semakin memburuk, dengan lembut menghentikan Riho, yang mendekati Nao dengan berlinangan air mata. Setelah itu, Riho tampak agak tenang dan meminta maaf kepada Nao.

“Maafin aku, Nao-chan. Aku tidak bermaksud menyalahkanmu...”

“Ah, ya...”

Keheningan yang canggung dan tak terlukiskan terjadi di antara mereka berdua. Seolah ingin menyingkirkan suasana canggung itu, Takeshi memberanikan diri untuk meninggikan suaranya yang ceria.

“E-Eh, tapi! Bukannya berarti kita tidak tampil dalam konser festival sekolah, iya ‘kan? Lihat, tidak ada aturan yang mengatakan kalau orang dari luar akademi tidak boleh berpartisipasi dalam konser festival sekolah ...... Eh, tidak ada aturan yang begitu, ‘kan?”

“Setidaknya katakan dengan tegas dong ... tidak, tapi... sepertinya memang tidak ada aturan yang begitu.”

“Tuh, ‘kan!? Bahkan jika kamu harus pindah ke sekolah lain, kamu masih bisa ikut berpartisipasi dalam konser seperti biasa, ‘kan!”

“Be-Benar juga! Nao-chan, ayo jangan menyerah dan tetap tampil bersama kami!”

Riho dengan suara ceria langsung setuju dengan saran Takeshi, seolah-olah untuk menebus kesalahan yang dia buat dengan sahabatnya.

“Orang luar, bisa ikut berpartisipasi...? Tapi, jika memang bisa begitu...”

Nao pasti merasa enggan untuk tidak bisa berpartisipasi dalam konser yang dia tuju selama ini. Tatapan matanya yang selalu memiliki cahaya yang kuat di dalamnya, kini bergetar tak menentu saat menatap wajah teman-temannya secara bergantian. Kemudian seorang cowok bertubuh gembul, yang sedari tadi diam sampai saat itu, berkata sambil meletakkan tangannya di bahu Nao.

“Jangan khawatir, Nao. Aku akan melakukan sesuatu untuk perusahaan ayahmu.”

“Ehh?”

Itulah yang dikatakan Kasugano Ryuichi, sang bassis sekaligus pacarnya Nao. Nao mengernyitkan alisnya dengan ragu pada ucapan tak sopan kekasihnya. Tidak hanya dia saja yang bereaksi begitu, ketiga orang lainnya juga melihat ke arah Ryuichi untuk menanyai maksudnya. Melihat ekspresi curiga mereka semua, Ryuuichi menunjuk dirinya sendiri dengan ibu jarinya sambil mengangkat sudut mulutnya.

“Soalnya, kakekku adalah presiden Bank Eimei.”

“Yang benar!?”

Takeshi melebarkan matanya dan berseru pada nama bank besar yang diketahui semua orang di Jepang. Hikaru dan Riho juga melebarkan mata mereka karena terkejut.

“Oleh karena itu, yah… jangan khawatir, Nao. Aku akan berbicara dengan kakekku dan memintanya untuk mengurus perusahaan ayahmu.

“Ryuichi...”

Begitu mendengar tawaran menghibur kekasihnya, pandangan Nao sedikit gentar ... dia lalu menggigit erat bibirnya dan dengan cepat menundukkan wajahnya. Kemudian, dia berkata dengan suara kaku tanpa melihat ke arah Ryuichi.

“... Tidak perlu. Lagipula, semuanya sudah terlambat. Selain itu .... kamu tidak terlalu rukun dengan kakekmu, ‘kan?”

“Eh, ah... yah begitulah. Tapi yah, jangan khawatir. Jika itu permintaan seumur hidup cucunya, bahkan kakek tua yang kolot itu takkan bisa menolakku!”

“Tidak, jangan mengatakan hal-hal keren dan malah mengandalkan kerabatmu!?”

“Apa boleh buat, ‘kan~? Memangnya kamu pikir bahwa pria kecil gendut yang tidak ada lagi yang bisa ditawarkan selain kepintaran, penampilan, kepribadian yang baik dan kemampuan bermain bass, bisa mengelola satu perusahaan?”

Ryuichi segera menimpali sindiran Takeshi dan menepuk-nepuk perutnya yang buncit.

“Tidak, dari mana datangnya harga dirimu yang tinggi itu!!”

Saat Takeshi membuat membalasnya dengan tsukkomi lagi, empat orang lainnya tertawa, kecuali Nao. Suasana gelap dan serius yang telah ada sampai saat itu terhapus, dan suasana ceria dan santai yang biasa mulai kembali. Sambil menurunkan alisnya dengan lega, Ryuichi dengan lembut berbicara kepada pacarnya yang masih menunduk.

“Itu sebabnya. Kurasa mungkin semuanya tidak akan segera terselesaikan... Tapi jangan sampai bilang kamu ingin keluar dari band. Aku akan mencoba memohon pada kakekku entah bagaimana caranya.”

Mendengar kata-kata Ryuichi, ketiga orang lainnya mengangguk sambil menatap Nao. Namun, di bawah pandangan simpatik dari keempat anggota band lainnya, Nao justru …

“Sudah kubilang tidak usah lakukan itu... itu bantuan yang tidak perlu.”

Dengan wajah tertunduk, dia kembali menolah mentah-mentah tawaran Ryuichi dengan suara keras. Mulut Ryuichi berkedut melihat sikap keras kepala pacarnya, tapi Ia tersenyum dengan sikap bercanda.

“Enggak, enggak, kamu tidak perlu menahan diri kok. Jika demi pacarku, bersujud pada kakekku hanyalah masalah sepele. Lagi pula, aku biasanya menundukkan kepalaku kepada Sensei—”

“Sudah kubilang tidak usah!”

Seperti biasa, Ryuichi mencoba meringankan suasana dengan candaan yang mencela diri sendiri, tapi Ia menerima penolakan keras yang tak terduga. Saat senyum Ryuichi mengeras, Nao mengangkat kepalanya dan menatap tajam ke arahnya.

“Sudah kubilang itu bukan urusanmu! Aku tidak ingin kamu melakukan itu padaku!!”

“O-Oi, Nao, tenanglah sedikit.”

Meskipun dia mengkhawatirkan pacarnya, kata-katanya masih terlalu berlebihan, jadi Takeshi mencoba untuk ikut campur tangan. Tapi ternyata itu semua sia-sia.

“Aku … tidak bermaksud begitu ... ak-aku hanya... sebagai pacarmu, aku ingin melakukan sesuatu yang kubisa untuk membantumu...”

“Kalau gitu mendingan kita putus saja! Lagipula, hubungan LDR takkan bisa bertahan lama, kalau begitu tidak ada masalah, ‘kan!”

“Hei! Nao!”

“E-Ehhh!?”

“Nao-chan!?”

Kata-kata tegas Nao mengejutkan ketiga orang lainnya kecuali Ryuichi. Di sisi lain, Ryuichi yang dihadapkan pada putusnya hubungan mereka, membuka matanya lebar-lebar karena terkejut …. Dan menggumamkan beberapa kata saat menundukkan kepalanya.

“Begitu ya... Kurasa Nao memang tidak terlalu menyukaiku, ya.”

“Ha-Hah? Kenapa malah mengungkit hal itu—”

Nao meninggikan suaranya karena merasa jengkel. Namun, keempat orang di sini tidak melewatkan fakta bahwa tatapan matanya mengarah kesana-kemari dengan gelisah. Seolah-olah merasa yakin dengan tebakannya, Ryuichi melanjutkan dengan tawa mencibir.

“Tidak, aku sudah tahu itu. Kamu sepertinya tidak terlalu bersenang-senang bersama denganku, dan sejujurnya, aku masih penasaran mengapa kamu membalas oke pada pengakuanku ... Meski begitu, kupikir kamu masih memiliki semacam kasih sayang tertentu untukku karena kamu memilih tetap bersamaku untuk beberapa alasan…..”

Begitu mendengar kata-kata Ryuichi, Takeshi dan Hikaru tidak tahu harus berkata apa. Sementara itu, Riho lah yang meninggikan suaranya.

“Nao-chan ... kamu bohong, ‘kan? Karena Nao-chan, waktu kamu bergabung dengan band, kamu bilang kalau kamu menyukai seseorang di Luminous...”

“!!”

Di depan Riho yang mengambil beberapa langkah lebih dekat dan menatapnya, Nao terlihat sangat kesal. Tatapannya bergerak sekeliling ruangan seolah mencari bantuan, dan pada akhirnya, tatapannya tertuju pada Hikaru. Dan kemudian, Nao berkata keras seolah ingin meluapkan semuanya.

“Benar, aku dulu menyukai Hikaru! Tapi Hikaru bilang kalau Ia tidak terlalu mempercayai wanita, jadi …. Ryuichi dan aku hanya berhubungan biasa saja! Jadi itu sudah cukup!”

Setelah mengatakan semua itu, Nao mengambil barang bawaannya dan bergegas keluar dari ruang musik. Karena perkembangannya sangat mengejutkan, sehingga tidak ada yang berbicara sepatah kata pun dan keheningan pun terjadi. Di tengah-tengah semua itu, suara keceplosan seseorang anehnya terdengar sangat keras.

“Tidak mungkin... padahal aku juga...”

Pemilik suara itu adalah Riho. Itu mungkin suara yang tidak disengaja di pihaknya.

“Ah, umm, aku...”

Melihat tatapan yang berkumpul padanya, Riho mengungkapkan kegelisahannya dengan ekspresi kaget dan meninggalkan ruang musik seolah ingin melarikan diri. Yang tersisa hanyalah tiga anak cowok yang hatinya hancur berkeping-keping.

“Ryu-Ryuichi... umm...”

Meski Takeshi sendiri merasa kesal, tapi Ia tetap mencoba mengatakan sesuatu kepada kawannya yang sedang mengalami patah hati. Namun, Ryuichi perlahan menggelengkan kepalanya sambil menangis dan tersenyum lemah.

“Maaf ... tolong tinggalkan aku sendiri.”

Dan Ryuichi juga meninggalkan ruang musik dengan bahu terkulai. Baik Takeshi maupun Hikaru tidak bisa berbuat apa-apa ketika melihat punggungnya mengikutinya.

 

◇◇◇◇

 

“Bukannya itu kacau balau banget...”

Ketika Masachika mendengar keseluruhan cerita dari mulut Takeshi, matu tak mau Ia hanya bisa mengerang. Sebuah pertengkaran besar, dan terlebih lagi itu adalah ladang ranjau terbesar bagi Hikaru, sebuah pertengkaran yang disebabkan oleh masalah percintaan.

(Kalau masalahnya begitu sih, wajar saja Hikaru jadi begini...)

Masachika bersimpati dengan Hikaru, yang benar-benar sudah jatuh ke dalam kegelapan. Pertama-tama, Hikaru mempunyai trauma dengan gadis yang secara romantic tertarik padanya. Pola terburuk dari semuanya adalah “Gadis yang Ia anggap sebagai temannya, sebenarnya justru menyukainya”. Akibatnya, Ia tidak hanya kehilangan teman perempuan, tapi juga teman laki-laki di masa lalu.

Dan peristiwa kali ini sangat dekat dengan kasus tersebut. Akan sulit bagi Ryuichi untuk memperlakukan Hikaru dengan cara yang sama seperti sebelumnya ketika diberitahu bahwa orang yang benar-benar disukai pacarnya adalah Hikaru. Karena itulah Masachika berpikir bahwa wajar-wajar saja jika Hikaru jatuh ke dalam kegelapan seperti ini. Atau itulah yang dipikirkannya, tapi...

“(Dasar sialan, dasar cewek-cewek lonte keparat, sangat menjijikkan, benar-benar menjijikan, memangnya cuma cowok saja yang berpikir tentang bagian selangkangan mereka? Ceweklah yang berpikir dengan tubuh bagian bawah mereka, hanya diberi perhatian sedikit saja sudah langsung klepek-klepek dan gampang jatuh cinta, ditambah lagi, otaknya cuma bisa menghayal tanpa memikirkan orang-orang disekitarnya, seenaknya saja mengacaukan hubungan sesama teman, dan berpikir mereka diizinkan melakukan apapun yang mereka inginkan demi alasan cinta, ahhh mendingan mereka semua matu saja sana!!!)”

“Hentikan Hikaru, ayo berhenti sampai di situ saja.”

Seperti yang diharapkan, Masachika tidak tahan melihat Hikaru yang mengutuk gadis-gadis dengan kalimat-kalimat kotor yang menghancurkan karakternya. Kemudian, Hikaru pelan-pelan mengangkat wajahnya dan menatap Masachika dengan tatapan kosong.

“... Masachika? Kenapa kamu ada di sini?”

“Aku dipanggil kemari oleh Takeshi… Um, itu pasti sulit buatmu.”

Setelah mengatakan itu, Masachika berjongkok di samping Hikaru dan merangkul bahunya. Takeshi juga berjongkok di sisi lain dan merangkul bahu Hikaru dengan cara yang sama.

“Seriusan, Hikaru selalu apes kalau berurusan dengan wanita~……Yah, jangan khawatir. Selama masih ada kita di sini, masalah pria beracun sih cuma masalah sepele. Aku tidak tahu sih apa ada yang namanya istilah pria beracun!”

“Oi, oi, Takeshi. Cara bicaramu itu seolah-olah membuatmu terdengar seperti cowok yang baik saja.”

“Eh?”

“Eh?”

Mereka berdua saling memandang dengan wajah melongo di atas kepala Hikaru. Keheningan pun terjadi, tapi itu segera dibuyarkan oleh suara tertawa kecil Hikaru.

“Pufu, astaga ... Terima kasih, kalian berdua.”

“Ooh... syukurlah, sepertinya kamu sudah pulih entah bagaimana."

“Hah? Aku ini orang yang baik, ‘kan? Iya, ‘kan?”

“Takeshi, peka lah sedikit dengan suasananya”

“Betul sekali.”

“Apanya!?”

Masachika dan Hikaru sama-sama menatap Takeshi dengan tatapan lembut, dan suasana kembali sedikit santai seperti biasanya. Pada saat itu, terdengar ketukan dari pintu, dan pintu ruang musik pun terbuka.

“Permisi, kalau tidak salah mulai saat ini dan seterusnya, sudah waktunya klub piano kami berlatih, …. Jadi bisakah kalian mengosongkan ruangan untuk kami?”

Orang yang memasuki ruangan sambil mengatakan itu adalah seorang pemuda dengan tampang bishounen. Apa itu yang disebut estetika? Ia memiliki tubuh yang tinggi dan ramping, dengan penampilan yang agak melankolis dan elegan. Ia adalah bishounen dengan sandiwara ringan yang dikombinasikan dengan sikapnya yang seperti bangsawan, membuatnya bisa menjadi lukisan yang sangat menarik. Namanya adalah Kiryuuin Yuusho.

Ia dikatakan sebagai salah satu dari tiga cowok tertampan di akademi ini, dan merupakan putra dari ketua Grup Kiryuuin, sebuah grup perusahaan besar. Selain itu, Ia juga dikenal sebagai “Pangeran Piano” karena hasil gemilangnya dalam kompetisi piano baik domestik maupun internasional. Melihat wajah cantik yang mempesona itu, Takeshi mengeluarkan suara “Ughe” kecil.

“Ah, Kiryuuin ya... maaf, kami akan segera membereskannya.”

Sambil berpura-pura tidak memperhatikan suara itu, Masachika mengatakan hal itu dan mendesak Takeshi serta Hikaru dengan tatapannya. Kemudian, mereka berdua buru-buru mulai membereskan barang bawaan mereka. Masachika juga ingin membantu, tapi Ia mengurungkan niatnya karena menilai kalau dirinya hanya akan menjadi penghalang saja karena tidak tahu apa yang perlu dibereskan, jadi Masachika memutuskan untuk meladeni pengunjung dan mengulur waktu.

“Maaf ya, kami sedikit ada masalah dan keadaannya menjadi sedikit berantakan.”

“Oh, tidak apa-apa, kok. Aku juga terkadang sampai lupa waktu ketika sedang bersemangat memainkan piano.”

“... Aku sangat menghargainya jika kamu berkata begitu.”

Ya, Ia sangat tertolong. Tapi Masachika juga penasaran bahwa anggota wanita dari klub piano di belakangnya kelihatannya tidak berpikir demikian sama sekali. Bahkkan dari sorot mata mereka, Ia bisa dengan jelas merasakan niat mereka yang seolah-olah menyiratkan “Jangan membuat Yuusho-kun membuang-buang waktunya.”

“Ngomong-ngomong ... tumben-tumbennya kamu berada di ruang musik, Kuze. Apa kamu bergabung dengan klub musik ringan?”

“Hmm? Enggak juga? Kali ini aku hanya dipanggil oleh Takeshi sebentar. Saat ini, tanganku sudah penuh dengan urusan OSIS.”

“Begitukah? Apa Kuze tidak pandai memainkan alat musik?”

Itu hanyalah pertanyaan biasa. Namun, tatapan Yuusho sepertinya sedang menyelidiki sesuatu, dan Masachika menjawab sambil memiringkan kepalanya.

“Enggak juga kok? Ketika masih kecil, aku biasa bermain biola dan ... piano untuk sementara waktu.”

““(Pfft, ngaku-ngaku bisa main piano di hadapan Yuusho-kun)””

Sebuah suara kecil berisi ejekan muncul dari antara para siswi di belakang Yuusho, dan segera setelah itu, ejekan itu menyebar seperti riak. Masachika tentu saja memperhatikan itu juga, tapi karena tidak ada gunanya meladeni cibiran murahan itu, jadi Ia mengabaikannya tanpa menoleh ke arah sumber ejekan. Namun, orang yang bereaksi justru Yuusho sendiri.

“Hei, hei, kalian tidak boleh mengatakan itu, oke?”

“... Iya~”

“Tapi, ngaku-ngaku bisa bermain piano di hadapan Yuusho-sama, yang bahkan mempermalukan para professional, mau tak mau aku jadi tidak bisa menahan tawaku~”

“Hahaha, mempermalukan para professional apanya ... Bagiku, piano hanyalah sekedar hobi. Aku tidak berniat bersaing dengan para profesional.”

“Level setinggi itu sebagai hobi… Sudah kuduga, Yuusho-san memang luar biasa!”

Ketika salah satu gadis menyuarakan ini, gadis-gadis lainnya ikut mengangguk setuju dan menatap Yusho dengan penuh gairah.

“Okee, semuanya sudah selesai dibereskan”

Kemudian, Takeshi datang menghampiri dengan sikap agak cemberut, tampak seperti akan mendecakkan lidahnya.

“Benarkah? Kalau begitu semuanya, mari kita mulai.”

“ “ “ “ “Ya!” ” ” ” ”

Bersama dengan anggota gadis yang tampaknya benar-benar kehilangan minat pada Masachika, Yuusho memasuki ruang musik menggantikan Takeshi dan Hikaru. Takeshi menatap punggungnya itu seolah ingin mengatakan “Kek!”. Dengan senyum masam di wajahnya, Masachika membawa mereka berdua ke lorong sekolah, dan setelah berjalan sedikit jauh, Ia lalu memanggil Takeshi.

“Kamu … bukannya kamu terlalu membenci Kiryuuin?”

“Ketimbang dibilang membenci sih ... kamu tahu sendiri, ‘kan?”

Takeshi tergagap oleh pertanyaan blak-blakan Masachika. Faktanya, Takeshi mungkin juga tidak terlalu membencinya. Atau lebih tepatnya, Takeshi bukanlah tipe orang yang bisa sangat membenci seseorang. Sebagai buktinya, Takeshi memalingkan matanya dengan canggung dan bibirnya cemberut seperti anak kecil.

“Entah kenapa~ rasanya tuh orang berlagak sok keren banget, tau. Barusan saja Ia bilang ‘Lagipula, piano cuma sekedar hobiku saja~'. Bukannya itu jelas-jelas pamer dengan gaya merendah saja!”

“Tidak, Ia tidak mengatakannya dengan cara seperti itu, kok?”

Meskipun Ia membalas dengan mimikri yang agak jahat, Takeshi memanas tanpa terlalu memedulikan balasan Masachika.

“Pertama-tama! Apa-apaan dengan situasi harem itu! Semua anggota klubnya adalah gadis kecuali dirinya, itu sih bukan klub piano lagi, tapi sudah berubah nama menjadi klub harem!”

“Yah, begitulah...”

“Dan tahu enggak! Aku pernah bertanya padanya! 'Apa kamu berpacaran dengan seseorang?'! Dan kamu tahu apa yang Ia katakan?”

“...Biasanya sih, 'Aku tidak berpacaran dengan siapa pun', mungkin?”

“Betul banget!”

“Ternyata betul, toh!”

Ketika Masachika membalas dengan setengah tersenyum pada jawaban benar yang tak terduga, Takeshi mengibaskan jarinya dengan frustrasi.

“Jawabannya memang benar, tapi rasanya ada yang berbeda, gitu! Cara mengatakannya tuh seperti mengandung makna tertentu dan sugestif!”

“Aah~... maksudnya yang begini? 'Aku tidak berpacaran dengan siapa pun', mirip seperti itu?”

“Nah betul, yang begitu!”

Takeshi mengarahkan jari telunjuknya ke arah Masachika dan berkata dengan wajah serius.

“Ia pasti sudah memakan semua gadis di klub piano.”

“Fitnahmu terlalu kejam!! Dengan kata lain, kamu cuma merasa cemburu saja!!”

“Iya aku cemburu, memangnya masalah?”

“Begitu ya, rupanya Takeshi berada di kubu itu, ya...?”

“Ahh, Hikaru! Itu tidak benar! Tadi itu cuma bercanda doang ...”

Takeshi bergegas untuk meluruskan kesalahpahaman Hikaru, yang hampir berubah menjadi Yamiru-san lagi.

“... Untuk saat ini, ayo pergi ke restoran keluarga dulu, oke?”

Masachika berkata demikian sambil menyaksikan adegan itu seraya mendesah lelah.

 

◇◇◇◇

 

“Jadi, pada akhirnya … apa yang akan kita dilakukan dengan band ini?”

Dua puluh menit setelah memasuki restoran keluarga. Takeshi tiba-tiba melontarkan pertanyaan itu ketika keadaan Hikaru sudah menjadi sedikit lebih tenang.

“Kamu ini……”

Setelah Takeshi mengangkat topik itu lagi sebelum lidahnya mengering, Masachika menatap Hikaru dengan rasa krisis. Tapi karena tidak ada reaksi khusus, jadi Ia menghela nafas lega dan mulai membahas masalah tersebut.

“Mau dilihat bagaimana pun juga  ... kalian tidak punya pilihan lain selain menambah anggota baru, ‘kan? Setidaknya, posisi vokalis band kalian sedang kosong.”

“Sudah pasti begitu, iya ‘kan ... Ah~ kira-kira masih bisa sempat enggak ya buat festival sekolah nanti~?”

“Eh, kamu masih berniat ingin tetap tampil?”

Festival sekolah diadakan pada awal bulan Oktober. Hanya tersisa lebih dari sebulan lagi.

Jika mereka mencari vokal baru mulai sekarang dan meminta Ryuichi serta Riho untuk kembali... Jika mereka mulai berlatih dari awal, sangat diragukan bahwa mereka bisa melakukan penyesuaian tepat waktu. Pertama-tama, Masachika merasa tidak banyak orang yang bisa mengatakan “Ya” ketika diminta, “Aku yang jadi vokalisnya! Pertunjukan sebenarnya tinggal sebulan lagi!” Bagaimanapun juga, peran vokalis merupakan wajah dari suatu band.

“Kupikir itu bakalan sangat sulit ...”

“Yah, memang sih... tapi aku sudah berjanji pada Kanau. Aku akan menunjukkan hal paling keren di konser festival sekolah nanti.”

“Ah, adik laki-lakimu, ya. Kalau tidak salah sudah kelas 4 SD, ‘kan?”

“Betul! Ia lagi imut-imutnya! Ia sangat lengket denganku~”

Begitu membicarakan tentang adik laki-lakinya, ekspresi Takeshi dipenuhi kebanggaan dan kegembiraan. Namun, ekspresinya langsung berubah suram, dam Ia memegangi kepalanya dengan erat.

“Itu sebabnya aku tidak bisa mengingkari janjiku padanya~~~”

Setelah mendengar kata-kata itu, Masachika sedikit mengguncangkan bahunya. Kemudian, usai berpikir sejenak, Ia dengan hati-hati membuka mulutnya.

“Bukannya aku tidak tahu siapa yang bisa menjadi vokalis pengganti, tapi...”

“Eh, kamu seriusan?”

“... Seseorang yang kita kenal?”

“Iya,tapi aku perlu bertanya padanya dulu...”

 

◇◇◇◇

 

“Ah, Alya~ seeblah sini~ sebelah sini~”

Ketika Masachika sedikit mengangkat pinggulnya dan melambaikan tangannya, wajah Alisa segera bersinar dan tersenyum sejenak saat dia memasuki restoran keluarga. Tapi dia dengan cepat mengembalikan ekspresi tenangnya, dan mendekat sambil menarik perhatian orang-orang di sekitarnya.

“Maafin ya, karena mendadak memanggilmu ke sini.”

“Tidak masalah, kok? Yah, kebetulan saja aku punya waktu luang, jadi ...”

Sambil mengatakan itu, Alisa berjalan mendekati meja dan ……

“Ah, halo.”

“Umm, selamat siang?”

Begitu dia melihat kedua bajingan yang duduk di seberang Masachika, ekspresinya langsung berubah kaku dan menjadi datar.

 

◇◇◇◇

 

“… Jadi, kamu ingin aku mengambil alih menjadi vokalis?”

“Ah, yah begitulah, bagaimana menurutmu?”

Setelah menghabiskan sekitar sepuluh menit untuk menjelaskan situasinya, Masachika menatap wajah Alisa, tapi Alisa hanya meminum es soda melon dengan muka ketus. Sikap cemberutnya yang terang-terangan menyebabkan Masachika dan Hikaru, yang duduk di depannya, mengedutkan pipi mereka.

O-Oi, bukannya suasana hati Kujou-san sedang buruk banget?

Yah, gitu...

Ketika Alisa dengan enggan menjawab, Masachika dan Hikaru melakukan kontak mata dan berbicara satu sama lain. Takeshi? Ia terlalu sibuk cengengesan dengan muka cabulnya karena melihat penampilan Alisa yang memakai baju kasual, dan tidak menyadari apa-apa.

Kupikir ada apaan... karena dipanggil mendadak begitu...

Di sana, tiba-tiba, gumaman bahasa Rusia bisa terdengar dengan nada kesal. Usai mendengar hal tersebut, Masachika bisa menebak apa yang membuat suasana hati Alisa menjadi buruk.

(Eh, ahh ... kurasa akulah yang salah karena sudah memanggilnya, ya)

Karena sulit untuk menjelaskan situasinya melalui telepon, jadi Masachika hanya meneleponnya dengan mengatakan, “Jika kamu punya waktu luang, aku ingin kamu datang ke restoran keluarga”, …. tapi sepertinya Alisa salah mengartikannya sebagai ajakan untuk bermain atau semacamnya. Jadi, ketika dirinya datang ke sini dan melihat keberadaan Takeshi serta Hikaru, dia menduga kalau itu bukan ajakan bermain dan suasana hatinya langsung memburuk.

Jadi, jika kamu tidak punya urusan denganku, kamu takkan mengundangku...?

“Umm, Alya-san? Jadi, bagaimana menurutmu?”

Masachika sekali lagi bertanya pada Alisa yang akhirnya mulai menggigit-gigit sedotannya. Alisa melirik Masachika, lalu dengan cepat mengalihkan pandangannya.

“Kenapa harus aku? Aku tidak pernah menjadi vokalis di sebuah band... Masih banyak orang lain yang lebih cocok, ‘kan?”

“Kamu malah tanya kenapa... itu sih tentu saja, karena kamu adalah penyanyi terbaik yang aku tahu, loh?”

Alisa yang tampaknya tidak terlalu antusias dengan pernyataan Masachika, mengernyitkan alisnya.

“... Yah? Nyanyianku memang sering dipuji oleh keluargaku, tapi... hanya itu saja, kok?”

“Hanya itu saja? ... bisa bernyanyi dengan baik merupakan bakat yang hebat, tau? Coba pikirkan. Satu-satunya momen yang bisa membuat seseorang meneteskan air mata kebahagiaan adalah ketika mereka menulis surat kepada orang tua mereka di pesta pernikahan sekali seumur hidup, loh? Orang yang pandai bernyanyi bisa membuat ribuan orang menangis hanya dengan suaranya. Dengan kata lain, itu adalah bakat yang luar biasa.”

“Bukannya itu sedikit berlebihan?”

“Berlebihan apanya? Terus terang saja, menurutku, bakat menyanyi adalah salah satu bakat yang paling langka dan luar biasa di antara bakat yang diberikan Tuhan kepada umat manusia.”

“H-Hmm~?”

Ke mana perginya sikap yang ketus dan jutek beberapa saat yang lalu? Alisa memain-mainkan ujung rambutnya dengan jari-jarinya, mulutnya mengendur dengan ekspresi sedikit gembira. Hikaru dan Takeshi saling bertukar pandang, dengan ekspresi mengejutkan di wajah mereka saat melihat pemandangan itu.

Loh? Apa jangan-jangan Putri Alya tuh gampang banget dibujuk daripada yang kita kira...?

Mungkin sebenarnya dia cukup mudah terpengaruh suasana?

Ketika mereka berdua berbagi keterkejutan mereka melalui kontak mata, Masachika terus melanjutkan.

“Dan tentu saja, ada keuntungannya juga untuk Alya, loh? Aku bisa menjaminnya, jika kamu berhasil membawakan suara nyanyianmu di panggung festival sekolah, jumlah pendukungmu pasti akan meningkat drastis. Selain itu, kesempatan ini bisa menjadi pengalaman bagus untuk melatih kemampuanmu dalam kerja sama tim.”

Mendengar ucapan Masachika yang penuh perhitungan, Alisa mengangkat alisnya sedikit dan menatap Takeshi dan Hikaru dengan tatapan khawatir. Dia kemudian menyolek tangan kiri Masachika di bawah meja dan menjentikkan huruf-huruf itu ke telapak tangannya.

[Memangnya kamu boleh untuk mengatakan itu?]

Sambil merasa terharu oleh fakta bahwa Alisa segera menggunakan jentikan telapak tangan yang baru-baru ini dia kuasai dan melihat Alisa mencoba yang terbaik untuk mengetik, Masachika berani menjawab dengan keras.

“Asal kamu tahu saja, kamu tidak perlu sungkan terhadap Takeshi dan Hikaru, oke? Karena mereka berdua juga sudah menyadari hal itu. Ini bukan bantuan gratis untuk teman sekelas, melainkan kesepakatan yang menguntungkan untuk kedua belah pihak.”

Begitu mendengar ucapan Masachika, Alisa mengalihkan pandangannya sedikit dan berpikir. Setelah memikirkannya sekitar sepuluh detik, dia berbalik menghadap Takeshi dan Hikaru.

“Baiklah, aku mengerti. Jika kalian berdua tidak keberatan denganku, aku akan bekerja sama dengan kalian.”

“O-Ohh! Seriusan nih! Tidak, Al—…. Jika Kujou-san bersedia bergabung, kami sangat menyambutnya.”

“Oi, oi, Takeshi, kamu ‘kan belum pernah mendengar nyanyian Alya, jadi sebaiknya jangan asal menerimnya dulu.”

“Ah, bukannya begitu,  tapi... kalau itu Kujou-san, bukannya dia jago dalam hal apa saja? Hahaha...”

Masachika dan Hikaru mengarahkan tatapan hangat ke arah Takeshi yang menggaruk-garuk kepalanya karena Ia tidak bisa melihat langsung ke wajah Alisa.

“Yah, aku tidak terlalu mengeluh jika itu Kujou-san, tapi… dia memang perlu menunjukkan kemampuannya dulu. Hal itu berlaku sama untuk kami juga, sih.”.

“Betul juga, kalian perlu …. menyesuaikan satu sama lain, ‘kan? Ada baiknya kalian mencobanya satu sesi dulu, dan kemudian kalian bisa membuat keputusan formal. Alya juga tidak keberatan dengan itu, ‘kan?”

“Iya.”

“Kalau begitu... apa yang harus kita lakukan? Mau pergi ke karaoke di suatu tempat?”

“Mana bisa lah, kita ‘kan sedang memakai seragam sekolah. Terlebih lagi, karaoke bukanlah tempat yang tepat untuk memamerkan kemampuan kalian.”

“Lagipula, peralatan music kita disimpan di sekolah. Jika kita ingin mengadakan sesi percobaan, bukannya lebih baik di sekolah saja?”

“Be-Benar juga. Yah, memang betul sih. Hmmm ... Dalam kasus terburuk, kita mungkin bisa menyewa studio di suatu tempat... tapi kapan tanggal latihan berikutnya?”

Masachika sedang berdiskusi dengan Takeshi dan Hikaru mengenai langkah selanjutnya. Tangan kirinya yang masih terhubung dengan Alisa. Alisa kemudian mulai menelusuri telapak tangan Masachika dengan jari-jarinya lagi.

(Hmm? Ada apa……?)

Bagi Masachika, membaca jentikan tangan sambil berbicara dengan orang lain merupakan hal yang mudah. Ia lalu memfokuskan separuh perhatiannya pada percakapan dan separuh lainnya di tangan kirinya. Dan kemudian……

(Ke, si, ni... “Lihat ke sini”?)

Seperti yang dibacanya, Masachika menoleh ke arah Alisa. Tapi hal yang didapatnya justru tatapan bertanya.

“… Apa?”

“Eh, bukan apa-apa...”

Masachika sejenak bingung dengan apa yang sedang terjadi, meskipun di dalam hati Ia berpikir ‘Bukannya kamu sendiri yang memanggilku?’. Ketika dirinya mengingat-ngingat lagi apakah Ia salah membacanya ...

“? Masachika?”

“Oi, oi, ada apa? Tiba-tiba menatap ke wajah Kujou-san. Apa kamu terpesona padanya?”

Masachika berbalik dengan cepat menghadap ke depan ketika mendengar suara mengejek dari sampingnya. Kemudian suara Alisa yang berisi penuh sindiran mencapai telinganya.

“Hee~, benarkah?”

Alisa mengibaskan rambutnya seraya menunjukkan senyum provokatif di wajahnya. Pipi Masachika berkedut saat Ia melihat seringai di kedalaman matanya

(Orang ini…!)

Sambil bersumpah dalam hati kalau dirinya telah dijebak, Masachika menanggapi dengan berpura-pura tenang.

“Enggak juga, kok? Kupikir Alya ingin mengatakan sesuatu, jadi aku menoleh ke arahnya.”

“Hmm, begitu ya.”

Alisa mundur dengan gampang, tapi kilatan nakal di tatapan matanya tetap tidak berubah. Seolah-olah ingin membuktikannya, jari-jemari Alisa sekali lagi mulai menelusuri tangan kiri Masachika.

[Fufufu kamu sampai panik begitu, imut banget]

“Maksudku, aku tahu ini sedikit terlambat, tapi apa kita perlu membuat Kujou-san bergabung dengan klub musik ringan?”

“Hmm? Ahh … entahlah? Yah, mungkin itulah yang paling membingungkan….”

“Tapi waktunya tinggal sebulan lagi sampai festival sekolah, tau? Bukannya itu agak aneh jika meninggalkan klub begitu cepat setelah acara berakhir…”

“Ada benarnya juga.”

[Kali ini beneran kok, jadi ayo menengok ke sini lagi dong?]

“Hmm, yah, kurasa aku harus berbicara dengan ketua klub dulu perihal itu... Kurasa bukannya mustahil untuk berpartisipasi dalam konser jika dia bukan anggota klub musik ringan, tapi situasinya lumayan rumit bagi anggota OSIS untuk berpartisipasi sebagai orang luar.”

“Yah, memang benar sih... biar aku yang mengurus masalah itu.”

[Kamu kenapa? Kamu ngambek, ya?]

“Tunggu. Bukannya itu baru bisa diputuskan setelah Kujou-san secara resmi bergabung?”

“Mungkin lebih baik begitu. Latihan selanjutnya adalah dua hari sebelum upacara pembukaan, ‘kan? Lalu kita bisa meresmikannya, dan jika dia bergabung dengan klub, dia bisa bergabung dengan klub mulai dari semester kedua...”

[Kamu imut banget kayak anak kecil]

(Jangan seenaknya menyalahgunakan jentikan telapak tangan yang sudah kuajarkan padamuuu!!)

Masachika berteriak di dalam hatinya saat berbicara dengan Takeshi dan Hikaru.

Sambil mencoba yang terbaik untuk tidak bereaksi, Masachika juga memusatkan perhatiannya pada jari-jari Alisa, karena Ia berpikir mungkin ada sesuatu yang sangat ingin disampaikan padanya secara diam-diam, tapi... ternyata itu benar-benar cuma lelucon belaka. Dia terus-menerus menggoda Masachika yang terpaksa tidak bereaksi.

Jika sudah begini, mendingan berhenti membacanya saja. Setelah memutuskan itu, Masachika berkonsentrasi pada percakapan. Akan tetapi,

(Uh... entah kenapa, yang begini pun...)

Akibat dari berhenti mengikuti gerakan jari-jarinya, Masachika menjadi lebih sensitif dengan sentuhan jari-jari Alisa. Ujung jari halus Alisa menggelitik telapak tangannya. Setiap ketukan jari-jemarinya diiringi tawa kecil.

(Ga-Gawat ... karena perkembangan tadi, rasanya jadi sangat geli!)

Masachika merasakan bahaya saat sensasi kesemutan perlahan-lahan merayapi tulang punggungnya. Tapi rasanya tidak sopan juga menepak tangannya di sini, dan dirinya merasa seperti akan kalah. Di sisi lain, Ia tidak bisa memikirkan alasan apapun untuk tiba-tiba meninggalkan tempat duduknya di tengah percakapan.

(Tidak, tapi,... ini beneran gawat. Maksudku, aku mulai merasa seperti sedang melakukan sesuatu yang nakal ketika diam-diam melakukannya di bawah meja...!)

Menyadari bahwa bagian dalam tubuhnya perlahan menghangat, Masachika memutuskan untuk mengakhiri pembicaraan secepatnya. Tapi kenyataannya tidak semudah itu. Terutama karena pemikiran dan topik acak Takeshi yang terbang kesana kemari, jadi Masachika kesulitan untuk menemukan jeda. Meski begitu, Ia berhasil mengerahkan semua akal sehatnya dan mempertahankan sikap tenang.

“Kalau begitu, mungkin lebih baik memberinya terlebih dahulu contoh dan lirik lagu yang akan Kujou-san nyanyikan pada konser nanti.”

“Ya, setuju banget ... ngomong-ngomong.”

“Hmm?”

“Masachika, bukannya wajahmu kelihatan memerah?”

“Ehh?”

Tubuh Masachika menegang saat hal tersebut diungkit Hikaru.

“Lah iya juga, wajahmu kelihatan sedikit memerah. Apa kamu baik-baik saja?”

Kemudia ada perhatian biasa dari Takeshi. Melihat tatapan murni yang diarahkan padanya oleh kedua temannya ... membuat Masachika merasakan keinginan kuat untuk menghilang.

Rasa bersalah yang kuat membuncah di dalam dadanya, karena rasa kekhawatirkan temannya sekaligus saling melakukan rayuan terlarang di hadapan mereka. Selain itu, penghinaan, rasa malu, dan kebencian pada dirinya sendiri karena telah menyerah pada godaan Alisa dan tersipu hanya karena tangannya dipermainkan.

(Ahhhhhhhh~!! Aku ingin menghilang dan mati saja, seseorang tolong bunuh aku!! Bunuh aku sekarang juga~~!!)

Bahu Masachika tersentak tanpa bisa memberikan alasan. Seketika itu juga, suara Alisa mencapai telinganya.

“Ara~, ada apa? Apa kamu mengalami demam?”

Masachika memelototi Alisa dengan pandangan ke samping pada ucapan yang terlalu blak-blakan. Tapi, Alisa berpura-pura tidak menyadarinya. Sebaliknya, ekspresi wajahnya terlihat puas dan membiarkan jari-jemarinya menari lagi di telapak tangan Masachika.

[Aku akan berhenti sampai di sini dulu untuk hari ini]

Pada akhirnya, Alisa mau melepaskan tangannya dan mengambil es soda melon. Kemudian, dengan senyum lebar yang menghiasi wajahnya, dia dimabukkan oleh nikmatnya rasa kemenangan.

 

 

Sebelumnya || Daftar isi || Selanjutnya

close

Posting Komentar

Budayakan berkomentar supaya yang ngerjain project-nya tambah semangat

Lebih baru Lebih lama