Roshi-dere Jilid 5 Bab 3

Bab 3 — Apa Yang Ingin Kamu Lakukan Di Atas Telapak Tangan Seseorang 

 

“Akhirnya, tugas matematika juga sudah selesai ...”

Setelah menutup buku pelajaran yang dibagikan untuk tugas liburan musim panas, Masachika meregangkan badannya yang kaku. Bertempat di ruang tamu kediaman apartemen keluarga Kuze. Orang yang ada di depannya adalah Alisa, yang diam-diam menggerakkan pena merah di atas buku teksnya.

Seperti biasa, mereka berdua sedang mengerjakan tugas musim panas bersama. Dan di sana, Alisa juga menutup buku teksnya dan memindahkannya ke samping.

“Apa kamu sudah selesai?”

“Ya, dengan begini semua tugas PR-ku sudah selesai.”

“Oh, benarkah? Kerja bagus.”

Rupanya, semua tugas PR-nya sudah selesai selangkah lebih maju. Mungkin, dia terus mengerjakan tugasnya dengan rajin di rumah. Di sisi lain, Masachika yang sama sekali tidak bisa menyelesaikan tugas PR-nya saat sendirian di rumah, masih memiliki beberapa tugas seperti bahasa Inggris dan fisika. Tapi tetap saja, pengerjaannya yang sekarang jauh lebih cepat dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya.

“Hmm...”

“...”

Dengan santai dan kebetulan melihat jam ruang tamu pada saat yang sama, mereka berdua menyadari kalau sekarang masih lewat jam 3:30 sore. Alisa biasanya pulang sekitar pukul 6:00 sore, jadi sepertinya dia masih mempunyai banyak waktu luang.

(Ummm~~, gimana nih...)

Untuk saat ini, Masachika berpikir sambil menambahkan teh jelai ke cangkir masing-masing untuk mengulur waktu. Jika dipikir secara normal, karena tujuan mereka berkumpul ialah untuk mengerjakan tugas PR liburan musim panas, tujuannya sudah tercapai jika mereka sudah selesai mengerjakan PR. Tapi bukannya berarti Ia bisa dengan santai mengatakan, “Kerja bagus! Kalau begitu ayo bubar!”, tanpa bisa membaca suasana sama sekali.

(Benar sekali, suasana ... suasana yang terus dilirik-lirik Alya seolah-olah dia mengode sesuatu!)

Gerak-gerik Alisa yang memain-mainkan rambutnya seolah ingin menyiratkan, “Ah~ Aku masih punya banyak waktu, nih~ Kira-kira apa yang harus kulakukan, ya~?”  dan menatap Masachika seolah-olah sedang mengharapkan sesuatu atau mendesaknya untuk melakukan sesuatu. Waktunya bertepatan (atau lagi apesnya) dengan Masachika yang sudah menyelesaikan PR-nya juga, jadi Ia tidak bisa berpura-pura tidak menyadarinya. Satu-satunya yang bisa Ia lakukan hanyalah menyesap teh dari cangkir dan berhenti sejenak.

(Yah, habisnya….)

Semua itu karena Masachika tidak punya nyali untuk mengatakan, “Baiklah, kalau begitu ayo berkencan!”. Mungkin jika itu sebelum kamp pelatihan, Ia bisa  mengatakannya dengan nada bercanda. Namun, sekarang setelah Masachika menyadari perasaan cinta Alisa kepadanya dan ketidakmampuannya sendiri, Ia bahkan tidak bisa mengatakannya walaupun itu cuma sebatas candaan.

(Tapi……)

Masachika sudah memutuskan untuk menghadapinya dengan benar. Selain itu, jika Ia melarikan diri dari situasi ini, hal tersebut sama saja dengan mengkhianati keinginan tulus Maria.

(... Yosh, baiklah!)

Setelah meletakkan kembali cangkir tehnya di atas meja, Masachika mendongak dengan penuh tekad. Saat Ia menatap lurus ke arah wajah Alisa yang sedang melirik ke arahnya, Alisa juga sepertinya sudah menebak sesuatu dan berbalik menghadap Masachika.

Dua orang yang saling menatap dari depan. Seharusnya hal tersebut bukanlah sesuatu yang aneh, tapi setelah Masachika menyadari perasaan cinta Alisa, Ia merasa bahwa tatapan normal Alisa tampaknya memendam semacam emosi. Masachika tersentak saat merasakan gairah luar biasa yang berdiam di mata yang mirip safir itu.

“Umm, karena kita masih punya banyak waktu luang ...”

Masachika meraba-raba ucapannya, mati-matian menekan jantungnya yang berdegup kencang. Di dalam kepalanya, Maria dalam wujud malaikat chibi dan Yuki dalam wujud iblis chibi melambai-lambaikan pompom mereka bersama-sama. Didorong oleh dukungan tersebut, Masachika lalu berkata dengan penuh tekad.

“Bagaimana kalau kita berbicara tentang kampanye pemilihan?”

“…...”

Keheningan jatuh menyelimuti ruang tamu. Tatapan mata Alisa tampaknya telah kehilangan kecemerlangannya. Wujud chibi Maria dan Yuki yang ada di kepalanya menurunkan pompom dengan tatapan mata dingin.

Dasar Kuze-kun payah

Cowok brengsek

(Hentikannn, jangan melihatku dengan tatapan seperti itu)

Maria dalam wujud malaikat chibi menatapnya dengan mata kecewa, sedangkan Yuki dalam wujud iblis chibi menendangnya tanpa ampun, dan wujud chibi Masachika semakin mengecil di dalam bayangannya. Melihat Masachika tertegun karena membenci diri sendiri, Alisa sedikit menurunkan tatapan matanya dan menghela nafas ringan.

Fiuh... Yah, persiapan kampanye pemilihan juga sama pentingnya, ‘kan?”

“Y-Yoi?”

“Kenapa pakai dialek Kansai?”

“Bukan apa-apa, hahaha...”

Setelah tertawa kering, Masachika berdeham sekali dan mengubah ekspresinya. Dirinya sadar sudah melakukan sesuatu yang sangat pengecut sebagai seorang pria, tapi ketika disaat ingin melakukannya, Ia tidak punya pilihan selain mengubah pikirannya sepenuhnya.

“Pertama-tama...Berbicara tentang acara di semester kedua, ada festival sekolah yang biasa dilaksanakan pada awal Oktober.”

“Ah, jika tidak salah, semua pengurus OSIS diwajibkan untuk berpartisipasi dalam panitia persiapan festival sekolah, ‘kan?”

“Iya, lalu dua perwakilan dari masing-masing kelas. Selain pengurus OSIS angkatan ini, ada komite kedisiplinan, komite kecantikan, komite kesehatan, dan mantan ketua serta wakil ketua OSIS angkatan kemarin ….mungkin itu saja.”

Festival Sekolah Akademi Seirei, atau biasa disebut Shuureisai (Festival musim gugur). Sudah menjadi tradisi bagi mantan ketua OSIS dan wakil ketua OSIS untuk menjabat sebagai ketua dan wakil ketua panitia persiapan festival. Lalu anggota OSIS saat ini akan menempati posisi penting dalam panitia persiapan di bawah komando mereka, dan akan memimpin anggota panitia lain yang dipilih dari setiap kelas.

“Dengan kata lain, anggota panitia lainnya bisa menentukan apakah kamu dapat diandalkan atau tidak saat bekerja bersama. Kamu harus berhati-hati, oke? Anggota panitia yang dipilih di setiap kelas biasanya adalah orang-orang yang paling berpengaruh di kelas, kecuali tipe murid nakal. Jika mereka berpikir, 'Orang ini tidak berguna sama sekali~,' itu akan menimbulkan dampak yang lumayan, loh?”

“Benar, juga...”

“Yah, karena Alya menjadi bendahara, selama kamu melakukan pekerjaanmu dengan benar dan akurat, menurutku hal tersebut tidak akan terjadi ..… tapi, yang sering dipertanyakan ialah masalah selera dari bidang Humas seperti Yuki.”

Pengurus OSIS pada dasarnya melakukan pekerjaan yang sesuai dengan jabatannya. Misalnya saja, sekretaris membuat risalah, bendahara mengelola anggaran, dan humas menyiapkan panduan dan pamflet. Manajemen anggaran adalah pekerjaan yang sepenuhnya di balik layar, tapi bagian humas merupakan bagian yang hasilnya bisa terlihat jelas, tapi bagian itu juga sulit untuk menyembunyikan kesalahan. Jika mereka memproduksi selebaran yang desainnya norak atau pamflet yang sulit dibaca, maka kredibilitas Yuki sebagai calon ketua OSIS akan mengalami penurunan.

Tapi itu bukanlah sesuatu yang perlu dikhawatirkan Alisa sebagai kandidat lawan. Masachika mengangkat bahunya saat memikirkan kembali hal itu.

“... Yah, kalau dia sih pasti bisa melakukannya dengan mudah. Urusan bendahara pada dasarnya sama saja seperti medan pertempuran, baik sebelum dan sesudah festival selesai, dan aku juga akan membantumu dengan itu, jadi kamu tidak perlu terlalu khawatir.”

“Benar……”

“Sudah, sudah, kamu tidak perlu terlalu khawatir tentang itu sekarang. Jika kamu melakukannya seperti yang selalu kamu lakukan di OSIS, pasti takkan ada banyak masalah.”

Masachika dengan sengaja memberi tahu Alisa yang sedikit khawatir dengan nada yang optimis. Namun, Alisa terlihat merenung dengan ekspresi sulit di wajahnya.

(Yah, bekerja sama dalam tim merupakan kelemahannya Alya ...terutama dalam hal mengarahkan anggota lain sebagai ketua tim...)

Alisa adalah orang yang perfeksionis. Dia juga sadar bahwa standar “kesempurnaan”-nya terlalu tinggi di mata orang-orang di sekitarnya. Selain itu, dia tidak bisa memberikan dukungan semangat dan memimpin orang-orang di sekitarnya. Akibatnya, dia melakukan semuanya sendiri tanpa bergantung pada orang lain.

(Menjadi perfeksionis dalam pekerjaan bendahara sih tidak terlalu buruk... tapi masalahnya dia tidak pandai bekerja sama dalam tim. Karena di masa depan dia akan memimpin OSIS sebagai ketua OSIS, itu sebabnya masalah ini harus segera diperbaiki……)

Namun, itu bukan masalah yang bisa diatasi dalam semalam. Jika dia bisa mengatasi kelemahannya dengan mengatakan ini dan itu melalui kata-kata, Masachika takkan mengalami kesulitan.

(Mungkin sebaliknya, ini bisa menjadi pengalaman yang bagus baginya. Aku tidak punya pilihan selain membuatnya membiasakan diri secara bertahap pada kesempatan ini.)

Setelah menyimpulkan itu, Masachika dengan ringan berdeham pada Alisa yang menatapnya dengan ekspresi sulit.

“Be-Be-Benar juga ... mungkin sekarang saat yang tepat untuk melakukan itu. Mari kita bangun metode komunikasi kita sendiri.”

“? Kamu bicara tentang apa?”

Masachika menatap diam-diam pada Alisa, yang menatapnya dengan ragu.

“Ap-Apa?”

Tatapan Alisa goyah dalam kebingungan, tetapi Masachika terus menatap Alisa dalam keheningan.

“Eh, apa ada sesuatu di wajahku? Hei, bilang sesuatu, dong.”

Alisa berkata dengan tidak nyaman ketika dia menatap badannya sendiri dan meletakkan tangannya di wajahnya. Sebagai tanggapan, Masachika memberitahunya dengan singkat.

“Apa kamu bisa membaca apa yang ingin aku katakan?”

“Eh?”

Usai mendengar pertanyaan itu, Alisa mengerutkan kening sambil menatap Masachika. Setelah menatap satu sama lain selama sekitar 10 detik, pipi Alisa tampak merah merona dan tatapannya mengarah kemana-mana.

Eh? aku masih belum siap untuk itu .....

“Tunggu sebentar, apa yang barusan kamu baca tadi?”

Masachika secara tidak sengaja membuat tsukkomi pada gumaman Rusia yang membuatnya salah paham. Dan kemudian, sambil menghela nafas ringan, Ia memberinya jawaban.

“Tadi itu aku ingin mengatakan, ‘Ambilkan aku kain.’

“Hah? ... Tidak, mana mungkin aku bisa mengetahui itu.”

“Benarkah? Ah, tidak, kamu tidak perlu benar-benar mengambilnya. Maksudku bukan begitu ..... dari tadi aku terus menunjuk ke arah kain serbet melalui tatapan mataku, dan mengatakan 'ambil' dengan gerakan mulut kecil, loh?”

“Itu sih...”

“Hmm~ kalau gitu, ayo coba lagi, ayo coba sekali lagi.”

Masachika mengatakan ini kepada Alisa yang tidak puas dan mulai menatapnya lagi. Kemudian, Alisa menatap matanya seolah-olah untuk merespon... setelah beberapa detik, dia memalingkan mukanya lagi.

Ketiak? Hal semacam itu ……

“Jadi, apa, bagaimana kamu membacanya?”

Memangnya kamu ini gadis cabul, ya? Apa kamu benar-benar gadis cabul, ya?!

Masachika terus menatap Alisa, yang malu-malu karena alasan misterius. Ia lalu menggaruk kepalanya, dan menyandarkan tubuhnya pada sandaran sofa.

Meskipun Ia sudah mengetahuinya secara samar-samar, tapi mereka berdua memang tidak bisa berkomunikasi melalui kontak mata sebaik yang diharapkan. Jika bersama Yuki, Masachika bisa menyampaikan sebagian besar niatnya dengan kontak mata dan gerakan terperinci.

(Cara berkomunikasi begini memang membutuhkan keterampilan komunikasi, pengalaman, dan lamanya hubungan ... mungkin ini masih terlalu sulit untuk Alya)

Takeshi dan Hikaru yang telah berteman lama dengannya, mampu berkomunikasi dengan Masachika tanpa berbicara sampai batas tertentu. Di dalam OSIS, selain Yuki, cuma Touya yang bisa berkomunikasi begitu dengannya. Hal itu bisa dilakukan karena kompatibilitas, kemampuan observasi dan kepedulian Touya yang tinggi. Chisaki bukan tipe orang yang dapat melakukan komunikasi tangkas seperti ini, sedangkan Maria dan Ayano tidak sefrekuensi dengannya karena mereka selalu dalam tempo mereka sendiri. Dan Alisa benar-benar tidak memiliki pengalaman interpersonal.

“Hmm~...”

Kurangnya kepercayan begini merupakan sedikit kerugian dalam memperjuangkan kampanye pemilu bersama. Dalam keadaan darurat, ada perbedaan besar antara mampu berkomunikasi dengan cepat dan tidak mampu melakukannya. Faktanya, sebagai seseorang yang sudah mengatasi berbagai kesulitan bersama Yuki di masa lalu, Masachika cukup khawatir bahwa pemikirannya tidak bisa tersampaikan sejauh ini.

“Jika kamu memasang wajah kesulitan seperti itu, bagaimana kalau kamu saja yang mencoba membaca apa yang ingin kukatakan?”

“Hmm?”

Saat Masachika mendengar suara Alisa yang tidak puas, Ia menemukan kalau Alisa sedang menatapnya. Sebagai tanggapan, Masachika juga berbalik menghadapnya dan meluruskan postur tubuhnya. Kemudian Alisa──

Ini adalah cerita ketika kamp pelatihan kemarin.

“Tu-Tunggu dulu sebentar”

“Apaan sih? Jika kamu mengatakan kalau kamu bisa berkomunikasi dengan sedikit isyarat, kamu pasti bisa memahami nuansanya bahkan dalam bahasa Rusia, bukan?”

“Jangan minta yang ngaco-ngaco!?”

Pada waktu sarapan di hari terakhir──

“Tidak, tidak, ayo lanjutkan seperti biasa──”

Di pertengahan, kamu menggunakan cangkirku, tau?

(Hueeeeeeeeeeeeeeeeee!?)

Tapi sepertinya kamu tidak menyadarinya sih...

(Aku sama sekali tidak menyadarinyaaaaaaaa!!)

Masachika hampir saja ingin berteriak keras karena pengakuan yang tak terduga itu. Ia segera mengingat peristiwa waktu itu, tapi Masachika masih tidak tahu apa yang dia bicarakan. Memang benar bahwa mereka semua menggunakan gelas yang sama, jadi ada kemungkinan kalau ada yang salah mengambil. Selain itu……

Aku sudah meminumnya sebelum aku menunjukkannya, jadi aku melewatkan waktu untuk mengatakannya juga...

Menilai dari penampilan Alisa yang sedikit malu-malu, sepertinya dia tidak berbohong.

(Kejadian di mana peristiwa ciuman tidak langsung terjadi tanpa kusadari)

Alisa terlihat malu namun tersenyum nakal pada Masachika yang terlihat agak jauh tanpa menunjukkan ekspresinya.

Ini tuh ... sesuatu yang disebut ‘bertukar cangkir sake’ yang biasa terjadi dalam pernikahan tradisional jepang, ‘kan?

(Enggak juga, kok?)

Kamu harus ... bertanggung jawab, oke?

(Menakutkan, menakutkan)

Masachika mengangkat kedua tangannya seolah-olah menyerah kepada Alisa, yang mengira kalau ucapannya tidak dipahami dan mengatakan apapun sesukanya.

“Tunggu sebentar. Serius, aku beneran tidak mengerti...  lagian, apa gunanya berbicara secara terbuka saat kita berusaha ingin berkomunikasi secara diam-diam?”

“Eh, begitu ya.”

Mengangkat bahunya untuk menunjukkan penghinaan, Alisa mengipasi wajahnya dengan tangannya seraya memasang ekspresi sok tenang.

(Jika kamu merasa malu, jangan mengungkit itu juga kali ...)

Alisa tampaknya tidak memperhatikan tatapan cemooh Masachika, dan dia berpura-pura sedang berpikir sebentar.

“Kalau begitu...  ayo melakukan apa yang kamu lakukan tadi.”

Setelah mengatakan itu, Alisa dengan cepat mengalihkan pandangannya ke arah jendela, menggerakkan mulutnya dengan gerakan kecil, dan perlahan-lahan melipat tangannya. Kemudian, dia dengan ringan memiringkan tangannya yang terlipat.

Seolah-olah dia memohon untuk sesuatu.

Setelah melihat gerakan isyaratnya, Masachika yang membaca niat Alisa mengartikannya sebagai ...

Aku ingin keluar dan pergi berkencan

(Hmmmmmmmmmm~~~~~~!!)

Masachika menggertakkan giginya dan mengerang geli atas jawaban yang didapatnya. Ia mencubit erat pahanya di bawah meja dan berhasil menahan ekspresinya.

(~~~hmm aku tidak tahu bagaimana harus menjawab ini!)

Jika Masachika memberitahu jawaban benar, Ia pasti akan mendapatkan getaran aneh, dan jika memberi jawaban salah, Ia akan menjadi cowok yang disalahpahami sepenuhnya dengan kesadaran diri. Pokoknya, Masachika terjebak di dalam situasi yang membuatnya tak bisa berkutik apa-apa.

“Jadi, bagaimana? Apa kamu bisa memahami apa yang ingin kukatakan?”

“Hmm...”

Alisa menyilangkan tangannya dan tersenyum provokatif, seolah-olah ingin mengatakan ‘Lagipula, kamu pasti takkan mengerti’. Dia begitu yakin akan keunggulannya sendiri dan menyimpulkan bahwa Masachika tidak mungkin bisa memahaminya. Sekilas, Masachika ingin menghancurkan ekspresi songongnya itu dengan keterkejutan, keheranan, dan rasa malu... tapi Ia dengan tenang berpikir kalau resikonya terlalu besar. Dengan enggan, Masachika memberikan jawaban hambar meskipun Ia mengetahui kalau itu jawaban yang salah.

“Hmm, kamu ingin mengatakan... 'Hari ini cuacanya cerah, ya’,?”

Fufun~

(Nih anak bikin jengkel)

Alisa dengan terang-terangan menunjukkan ekspresi mengejek dan menyeringai padanya. Bahkan pipi Masachika sedikit berkedut ketika mendengarnya, tapi Alisa kelihatannya tidak peduli dan berkata dengan rasa superioritas.

“Sama sekali salah kaprah. Tuh ‘kan, bahkan kamu sendiri tidak tahu sama sekali.”

“… Ngomong-ngomong, jawaban yang benarnya apa?”

“Aku ingin mengatakan, 'Liburan musim panas sudah hampir berakhir, ya.'”

“Hmm~...”

Masachika menatap wajah licik Alisa sambil menjawab dengan acuh tak acuh. Ia kemudian melanjutkan dengan yang santai.

“Mungkin itu cuma imajinasiku saja kalau aku merasa seperti sedang diajak untuk berkencan?”

“H-Hah! Ma-Mana mungkin, ‘kan? Itu hanya imajinasimu saja kali...”

Seketika itu juga, Alisa dengan cepat memalingkan wajahnya sambil menyentakkan bahunya dengan reaksi yang sangat mencolok seolah-olah ada es batu yang menempel di punggungnya. Masachika melanjutkan dengan acuh tak acuh, seraya menatap lembut pada reaksi yang gampang sekali dimengerti itu.

“Begitu ya. Yah, kalau kamu sih memang takkan pernah mengatakan hal semacam itu walaupun cuma bercanda.”

“...Tentu saja lah.”

“Nah ‘kan~”

Setelah menanggapi komentar peda Masachika, bibir Alisa sedikit cemberut.

Apaan sih ... memangnya seaneh itu ya kalau aku duluan yang mengajakmu berkencan?

(Ugh……)

Merasa sedikit bersalah pada gumaman merajuk Alisa, Masachika dengan cepat menindaklanjuti.

“Yah? Karena aku tidak pernah mengalami kejadian seperti itu, jadi aku cuma tahu bahwa gadis-gadis yang mengajak seorang cowok berkencan cuma bisa terjadi di dalam manga.”

Masachika berkata begitu cepat seakan menyiratkan bahwa apa yang dirasa aneh bukanlah diundang 'oleh Alisa', tapi diajak 'oleh gadis-gadis'. Kemudian Alisa tampak mendapatkan kembali kepercayaan dirinya dan tersenyum dengan rasa superioritas.

“Oh, itu sih sangat disayangkan sekali ya? Yah kalau aku sih? Aku sudah sering diajak berkencan lebih dari yang bisa kuhitung.”

“Hee begitu ya  … Ngomong-ngomong, sudah berapa banyak kamu menerima ajakan itu?”

Begitu mendengar pertanyaan Masachika, jari-jemari Alisa yang sedang memainkan rambutnya tiba-tiba berhenti. Dia kemudian dengan cepat mengalihkan pandangannya ke samping, dan menjawab dengan sedikit ketus.

“... Yah, aku sudah pergi berkencan beberapa kali, sih.”

“Hmm~”

“.....”

Sambil melirik Masachika yang mendengus dengan tatapan tidak tertarik, Alisa memilin-milin ujung rambutnya dan bergumam pada dirinya sendiri.

Yang kumaksud itu bersama denganmu

(…… ugh)

Dengan kata lain, itu berarti dia tidak pernah berkencan dengan orang lain selain Masachika. Walaupun Ia sudah mengharapkannya, dampaknya masih tidak dapat dihindari ketika diungkapkan dengan kata-kata. Masachika menggertakkan giginya, dan Alisa tiba-tiba berbalik dengan ekspresi terkejut di wajahnya.

“As-Asal kamu tahu saja, aku tidak tergoda oleh cowok perayu atau semacamnya, oke!?”

“Eh, ahhh... tapi aku tidak meragukanmu mengenai itu, kok?”

Pertama-tama, bahkan di akademi, ada banyak anak cowok dengan wajah tampan, otak yang encer, dan latar belakang keluarga yang lumayan. Masachika berpikir kalau Alisa takkan pernah terlena dengan cowok bodoh semacam itu ... tapi Alisa masih tetap bersikeras.

“Karena aku memilih pasanganku dengan benar!”

“O-Ohh”

Masachika menerima dampak 20 poin kerusakan.

“Ak-Aku hanya… Um, memilih… seseorang yang bisa kupercayai? Karena aku hanya melakukannya bersama seseorang yang seperti itu.”

“I-Iya”

Masachika menerima dampak 40 poin kerusakan.

“De-Dengarkan aku, oke? Aku sudah mengerti... jadi, sudah cukup hentikan sampai di situ...”

Masachika mati-matian memintanya untuk berhenti. Tapi Alisa terus melanjutkan!!

“Aku takkan pernah berkencan dengan seseorang yang bahkan tidak aku sukai!”

“…...”

90 poin dampak kerusakan pada Masachika. Namun, Ia berhasil menahannya dengan sisa 1 HP.

“Ah, tapi bukannya berarti ini tentang kamu. Aku cuma tidak membencimu saja...”

Alisa bertingkah malu-malu, tapi Masachika sudah kehilangan kesadarannya.

 

◇◇◇

 

Ehehe, kita sampai dimarahi

Aku bilang juga apa ‘kan, mana mungkin kita bisa menyelinap ke ruang musik sekolah lain...

Muu~n... tapi, aku ingin mendengar permainan piano Saa-kun, sih

Uuu~mm ...kalau begitu, bagaimana kalau aku mengundangmu pada resital selanjutnya?

Eh, benarkah?

Ya...lagipula, aku sudah berjanji...

Terima kasih! Aku sangat menantikannya!

 

◇◇◇◇

 

“── chika-kun”

“Haa!”

Begitu mendapatkan kembali kesadarannya, Masachika mendongak dan melihat Alisa sedikit mencondongkan tubuh ke depan sambil menatapnya dengan ekspresi ragu.

“... Oh, maaf. Aku tadi sedikit kehilangan kesadaran.”

“... Hmm, begitu ya.”

Alisa segera menyipitkan matanya dan mulai memancarkan udara dingin di sekelilingnya.

“??”

Masachika mengangkat alisnya …, merasa penasaran apa yang membuatnya marah. Lalu tiba-tiba, ada kejutan yang menghantam tulang keringnya.

“Aduh!?”

Pukulan mendadak yang tak terduga itu mengirimkan kilatan cahaya yang melintas di otak Masachika. Rupanya, Alisa yang sedang duduk di kursi, menendang tulang kering Masachika di saat yang bersamaan.

“Bagaimana? Apa kamu sudah sepenuhnya sadar?”

“Bu-Bukannya aku sedang mengantuk dan tidak sadarkan diri...!”

Masachika mencoba meminta maaf sambil meringkuk dan menahan rasa sakit, tapi tatapan Alisa masih terlihat dingin. Jika lawan bicaramu tertidur di tengah percakapan, wajar-wajar saja kalau kamu merasa marah, tetapi...

(Tidak, semua itu karena salahmu, tau!?)

Atau begitulah yang Masachika pikirkan, tapi memprotes hanya akan membuat situasi menjadi semakin runyam. Dengan enggan, Masachika berdeham ringan dan kembali ke topik utama pembicaraan.

“Ummm, jadi, bagaimana cara kita berkomunikasi jika dalam keadaan darurat...”

Kemudian, bersamaan dengan ekspresi Alisa yang masih menggerutu, dirinya dan Alisa melakukan kontak mata beberapa kali. Untungnya atau sayangnya, latihan saling pandang berjalan dengan tenang tanpa ada suasana komedi romantis.

“──Hmm, mungkin segitu dulu? Ah, aku sudah mengubah pola dari sandi yang biasa aku  gunakan dengan Yuki, tapi jika kita melakukannya terlalu sering, ada kemungkinan kalau sandi tersebut akan terurai... mungkin sebaiknya jangan melakukan itu di depan Yuki.”

“Begitu.”

“Selain itu ... yah mungkin sekalian juga. Ada baiknya kalau kita memutuskan gerakan isyarat menggertak bahkan dalam kebiasaan biasa.”

“Isyarat menggertak?"

“Begini... ketika sedang bernegosiasi, ada kalanya kamu hanya menggertak saja, ‘kan? Misalnya, saat bernegosiasi dengan klub, kamu bisa berkata, ‘Aku sudah mendapat izin dari penasihat klub kalian.’. Contoh lainnya mungkin saat ingin melarikan diri dari lawan bicara yang merepotkan? Dengan berkata ‘Aku sudah dipanggil oleh Sensei setelah ini.’. Jika dalam keadaan seperti itu, kalau salah satu dari kita keceplosan bilang ‘Eh, memang ada urusan yang seperti itu?’ hal itu justru akan merusak situasi, bukan? Jadi lebih baik kita memastikan bahwa kita berdua langsung tahu bahwa yang kita katakan itu cuma bohong.”

“Haa...”

Mengabaikan ekspresi Alisa yang tampak tidak yakin, Masachika berpikir sejenak dan dengan ringan mengangkat tangan kirinya.

“Hmm, bagaimana kalau menyentuh rambutmu dengan tangan kiri? Kamu punya kebiasaan memainkan rambut dengan jari-jarinya, bukan? Kamu tinggal melakukannya dengan tangan kirimu saja....”

“Kalau kamu sendiri?”

“Kalau aku sih ... mungkin dengan menggaruk kepalaku? Pokoknya, mari kita putuskan bahwa apa yang kamu katakan sambil menyentuh rambutmu dengan tangan kiri merupakan gertakan, dengan kata lain, itu cuma bohong.”

“Baiklah, aku mengerti ... meskipun aku mungkin akan melupakannya.”

“... Yah, kamu bisa menyimpannya di sudut kepalamu.”

Setelah mengatakan itu dan mengangkat bahunya, Masachika menyesuaikan postur tubuhnya sedikit. Hal yang selanjutnya Ia katakan merupakan sesuatu yang cukup menegangkan, bahkan untuk Masachika.

“Lalu ... dalam keadaan di mana kita tidak bisa saling bertukar kontak mata. Dengan kata lain, ada cara untuk berkomunikasi saat kita sedang bersebelahan... cara berkomunikasi yang disebut jentikan telapak tangan.”

“? Apa itu?”

“Yah, sesuai dengan sebutan harfiahnya, kamu harus mengetik huruf ke telapak tangan orang lain dengan input jentikan. Entah itu di bawah meja, di belakang punggung, atau yang lainnya... ummm dengan kata lain, memegang tangan pihak lain secara diam-diam, oke?”

“Ehh...?”

Ketika Masachika dengan ragu mengatakan itu, Alisa dengan terang-terangan mengerutkan keningnya.

“Maksudnya memegang tangan tuh ... apa kamu akan membelai telapak tanganku dengan jari-jarimu?”

“Daripada dibilang membelai, lebih tepatnya mirip seperti input ketikan. Sama seperti pada ketikan layar smartphone, kiri belakang… atau mungkin lebih tepatnya, sisi pergelangan tangan. Misalnya saja yang sebelah sini huruf ‘A’, lalu pada bagian tengah sisi pergelangan tangan adalah huruf ‘Ka’, sisanya tinggal berurutan saja dengan huruf:  Sa, Ta, Na, Ha, Ma, Ya, Ra....” (TN: FYI, input ketikan huruf jepang sangat berbeda dengan huruf alphabet)

Masachika menunjuk ke telapak tangan kirinya secara berurutan dari sisi pergelangan tangan hingga sisi ujung jari, lalu menggenggam tangan kirinya dengan tangan kanannya.

“Perbedaannya dengan input ketikan smartphone adalah bahwa jalur huruf  ‘A’ sampai ke huruf ‘Ra’ bisa dilakukan dengan gerakan jentikan, sedangkan untuk huruf ‘Wa’, simbol dakuten*, handakuten*, konversi huruf kecil, dan penghapusan dilakukan dengan urutan jari telunjuk, jari tengah, jari manis, dan jari kelingking. Ketuk jari telunjuk satu kali untuk huruf ‘Wa’, ketuk dua kali untuk huruf ‘Wo’, dan ketuk tiga kali untuk huruf ‘N’. Sedangkan jari tengah, ketuk sekali untuk tanda dakuten, dan ketuk dua kali untuk tanda handakuten. Jari manis dan kelingking masing-masing memiliki satu ketukan untuk mengubah huruf kecil dan menghapus satu huruf.” (TN: Dakuten (濁点) atau kadang disebut dengan ten-ten adalah tanda baca atau diakritik yang berbentuk dua buah titik atau tanda kutip yang digunakan pada huruf Jepang atau kana, Sedangkan handakuten (半濁点) adalah tanda baca atau diakritik yang berbentuk lingkaran kecil yang disebut dengan maru () yang digunakan pada huruf Jepang atau kana. Fungsinya adalah untuk mengubah konsonan-konsonan huruf kana. Contohnya huruf: (ha) -> (ba) -> pa)

Sambil menepuk punggung tangan kirinya dengan jari tangan kanannya, Masachika mulai menjelaskan. Setelah mendengar semuanya dengan ekspresi sulit di wajahnya, Alisa membuka mulutnya bahkan tanpa berusaha menyembunyikan perasaan skeptisnya.

“Yah, aku memahami teorinya, tapi... bukannya itu sulit diterapkan? Mengesampingkan orang yang menjetikkannya, kupikir orang yang membacanya pun akan kesulitan untuk mengimbangi.”

“Kalau itu sih cuma masalah membiasakan diri. Jika kamu sudah terbiasa, kamu nanti bisa berbicara dengan jarimu secara bersamaan saat melakukan percakapan dengan orang lain, tau?”

Alisa lalu mengatakan sesuatu dengan ekspresi yang lebih enggan di wajahnya saat Masachika dengan santai mengatakan sesuatu yang luar biasa.

“Selain itu … aku benar-benar tidak suka cara tanganmu yang membelai telapak tanganku.”

“... Jika kamu bilang begitu, tidak ada yang bisa kulakukan, tau?”

Masachika sedikit terluka ketika Alisa berkata begitu jelas dengan rasa jijik yang keluar dari sudut mulutnya. ‘Hah? Orang ini menyukaiku, ‘kan?’ untuk sesaat, pertanyaan tersebut muncul di benaknya, tapi Ia dengan cepat mempertimbangkannya kembali, ‘Tidak, kurasa bukan itu masalahnya.’

“Ummm, Alya?”

“Apa?”

“Apa jangan-jangan ... kamu mengidap germaphobia?” (TN: Germaphobia adalah sebutan seseorang yang phobia atau ketakutan berlebihan terhadap kuman, bakteri, mikroba, kontaminasi, dan infeksi. Istilah lainnya adalah Misofobia)

Jika diingat-ingat kembali, dia sudah menunjukkan tanda-tanda seperti itu sebelumnya. Masachika ingat kalau dia sangat tidak suka ada orang lain yang menyentuh tubuhnya ......, terutama kulitnya, bahkan di jam pelajaran olahraga. Tapi balasan yang didapat justru bantahan yang lebih kuat dari yang diharapkan.

“Se-Sembarangan! Aku tidak mengidap germaphobia atau semacamnya!”

“Eh~... tapi saat ketua dari klub memintamu untuk berjabat tangan dengannya, bukannya kamu hanya menjabat tangannya sebentar dan kemudian langsung melepaskannya?”

“Itu sih, karena ...  dia adalah seseorang yang tidak kukenal.”

“Nah ‘kan, bukannya itu germafobia?”

“Sudah kubilang bukan! Aku, umm... ya! Tidak ada seorang pun yang mau jika ada orang lain menyentuh sesuatu yang mereka hargai, ‘kan?”

“Ehh?”

Menanggapi pertanyaan yang tiba-tiba itu, Masachika merenung sejenak saat pandangan matanya melayang ke udara.

“… Ah, jika yang cowok, misalnya saja jam tangan dan mobil… kalau yang gadis, tas dan aksesoris? Yah, memang ada tipe orang yang tidak ingin ada sidik jari orang lain atau sesuatu yang mengotori benda kesayangan mereka.”

“Ya! Mirip yang begitu!”

Alisa mengangguk penuh semangat pada persetujuan samar Masachika, Alisa lalu membalikkan badannya dan meletakkan tangannya di dadanya.

“Karena tubuhku adalah hal terpenting bagiku! Itu sebabnya aku tidak ingin ada orang lain yang sembarangan menyentuhku!”

“… Jadi begitu rupanya?”

Entah kenapa, Masachika merasa ambigu dengan maksdunya. Terlebih lagi……

“Lantas, apa bedanya antara itu dengan germafobia?”

“Sama sekali beda! Aku tidak mencuci tanganku setelah selesai berjabatan tangan!”

“Kamu tidak perlu sengotot itu untuk membantahnya kali ...”

“Tentu saja harus begitu! Jika kamu mengatakan kalau aku germafobia, rasanya seolah-olah aku ini gadis yang gampang sekali gugup!”

Memangnya beda, ya?” Masachika menelan kata-kata tersebut, dan mempertimbangkan sejenak argumen Alisa.

(Hmmm~ ... Yah, kalau bukan sesuatu yang patologis, tapi karena harga dirinya yang tinggi ..... mungkin memang berbeda dengan germafobia?)

Masachika sedikit yakin sambil membayangkan seorang putri bangsawan yang muncul dalam karya-karya genre Isekai dan mengatakan sesuatu seperti, “Satu-satunya pria yang boleh menyentuh kulit daku hanyalah seseorang yang bersumpah untuk menikahiku di masa depan!”

(Gagasan kesucian seorang putri sejati, ya ...)

Masachika mengangguk setengah hati dengan kesan yang tidak bisa digambarkan sebagai kekaguman maupun kekecewaan.

“Hmm~ yah, jika kamu mengatakan kalau kamu tidak menyukainya, kurasa apa boleh buat, ya…”

Masachika dengan patuh mencoba mundur, berpikir bahwa itu bukanlah sesuatu yang bisa Ia paksakan pada seseorang yang tidak ingin melakukannya. Akan tetapi….

“Enggak juga! Aku tidak mengatakan kalau aku tidak mau melakukannya....”

Setelah meninggikan suaranya karena terdengar panik sesaat, Alisa lalu mengecilkan nada suaranya. Dan kemudian, seraya memain-mainkan ujung rambutnya, dia bertanya ragu-ragu sambil curi-curi pandang ke arah Masachika .

“Apa kamu …. sangat ingin menyentuhnya?”

“Hah?”

“Maksudku, tanganku...”

“Eh, ahh~...”

Entah bagaimana kedengarannya ada sedikit kesalahpahaman. Tapi jika ditanya apa Ia ingin menyentuh atau tidak ...

“Yah, begitulah.”

“… apa pun yang terjadi?”

“… apa pun yang terjadi.”

“Hmph, gitu ya....”

Begitu mendengar penegasan Masachika, Alisa berhenti memain-mainkan rambutnya dan mengarahkan tangannya ke arah Masachika sambil memalingkan muka.

“Kalau begitu, baiklah, aku mau, kok?”

(Gampangan banget, woi. Buat apaan alasan-alasan tadi? Kembalikan waktuku)

Otak Masachika dengan marah menegur Alisa, yang mengulurkan tangan kanannya dengan wajah cemberut. Dan kemudian, berlawanan dengan pikirannya, Ia dengan tenang melakukan tsukkomi.

“Bukan dengan tangan kananmu, tapi dengan tangan kirimu.”

“Eh... hmph, nih!”

Setelah terkejut sesaat, ekspresi wajahnya berubah karena malu, dan dia berbalik dengan cemberut dan menjulurkan tangan kirinya. Sambil tersenyum kecut pada reaksi Alisa, Masachika mencoba menyentuh tangan kiri yang terulur padanya......tapi tiba-tiba, Ia merasa ragu sejenak.

Tangan putih Alisa yang terlihat ramping dan mulus. Setelah dilihat-lihat lagi, itu adalah tangan yang begitu indah dan sangat cocok untuk ungkapan “tangan yang sehalus kain sutra dan seputih susu”. Kali ini bukan pertama kalinya mereka berpegangan tangan, tapi entah kenapa Masachika merasa lebih sulit untuk menyentuhnya dari biasanya karena gerakan aneh.

“... Apa? Kenapa kamu mendadak berhenti?”

“Ah, tidak... kalau begitu, permisi.”

Karena dilihat dengan tatapan curiga, Masachika dengan hati-hati meraih tangan Alisa. Tangan yang sedikit dingin dan lembut. Meski Ia sedikit terguncang oleh perasaan itu, Masachika dengan lembut menyentuh telapak tangan Alisa dengan ibu jarinya.

“Umm, seperti ini….” 

Lalu, Ia dengan hati-hati menggeser ibu jarinya sambil berpikir dalam hati, “Aku seharusnya memotong kukuku sedikit lebih baik...”, lalu….

“Ahnn……”

Karena mendengar desahan samar dari arah depannya, Masachika dengan cepat mendongakkan kepalanya. Kemudian Alisa menatap tangan yang saling terhubung dengan ekspresi yang agak cemberut dan alis berkerut di wajahnya.

“…Apa.”

“Tidak, bukan apa-apa……”

Berpikir bahwa itu cuma imajinasinya saja, Masachika mengembalikan perhatiannya ke arah tangannya lagi, dan Ia menjentikkan ibu jarinya secara bergantian.

“Yang begini adalah huruf ‘E’, jika kamu mengetuk tanpa menggeser seperti ini, maka itu akan menjadi huruf ‘Na’, lalu kalau mengetuk jari tengah seperti ini, itu adalah huruf ‘Bo'.

Setelah menunjukkan serangkaian contoh, Masachika mendongak untuk melihat wajah Alisa yang masih terlihat sedikit marah. Satu-satunya hal yang sedikit mengganggunya ialah Alisa sedang menggigit bibir bawahnya dengan erat seolah-olah dia sedang mencoba menahan sesuatu.

“….. apa kamu sudah memahaminya?”

“……Ya, kurang lebih.”

“Begitu, ya. Kalau begitu mari kita coba dengan kalimat sederhana.”

Ketika memberitahu hal itu, Masachika menggerakkan jarinya dengan cukup lambat.

(Yah, kalau kalimat yang sederhana... I-i--)

“Hmm~……”

(Te, n, ki──)

“Ahnn ...n”

(de, su──) (TN: Ii tenki desu, artinya cuaca yang cerah, ya)

“Ahnn...”

(Mmm~~!! Jangan mengeluarkan desahan yang aneh-aneh napa~~~!!)

Masachika sudah tidak sanggup lagi untuk berpura-pura tidak menyadarinya. Desahan aneh yang seksi bisa terdengar dari arah depannya. Setiap kali Ia menggerakan jarinya, tangan Alisa menggeliat dengan gelisah. Meskipun mereka  tidak melakukan sesuatu yang aneh-aneh, tapi Masachika merasa seperti sedang melakukan sesuatu yang nakal.

Seks tangan! Mereka sedang melakukan seks tangan! (TN: dari raw-nya ‘手ックス’versi romaji ‘teksu’, yang mana itu adalah penggabungan dua kata tangan dan seks’,)

(Cerewet)

Untuk saat ini, Masachika berpura-pura tenang dan mendongak sambil membungkam iblis kecil Yuki yang membuat keributan di kepalanya.

“Apa kamu bisa tahu kalimat apa yang baru saja kutulis tadi——” 

Dan Masachika segera terdiam dan tak bisa berkata apa-apa. Wajar-wajar saja reaksinya menjadi begitu. Hal itu dikarenakan pipi putih Alisa terlihat merah merona dan tatapan matanya yang berlinang air mata, melotot tajam ke arahnya.

Dasar hentai……

(Kenapa aku sampai dihina segalaaa!?)

Sekali lagi, Masachika tidak melakukan kesalahan apa-apa. Tapi apa-apaan dengan reaksinya itu. Apa jangan-jangan dia membaca sesuatu yang aneh?... tapi gagasan itu dengan cepat disingkirkan.

“... Apa itu ditulis 'cuaca yang bagus'?”

“O-Oh, benar. Meskipun ini pengalaman pertamamu, tapi kamu hebat sekali bisa menebaknya dengan benar”

“.....”

Bahkan setelah mendengar pujian Masachika, Alisa hanya memalingkan muka dengan muram.

“Ahhh~... Apa jangan-jangan rasanya sedikit geli?”

“… Sedikit.”

“Be-Begitu ya. Kalau begitu, mungkin lebih baik kita jangan menggunakan metode ini. Jika itu bisa terlihat di wajahmu, tidak ada gunanya melakukan komunikasi secara diam-diam...”

Sambil menatap Masachika yang mengatakan itu dalam upaya menenangkannya, Alisa menggumamkan sesuatu.

Daripada terasa geli, rasanya seperti──

“Yah, mau bagaimana lagi! Bahkan Yuki pada awalnya——”

Entah bagaimana, Masachika memiliki firasat bahwa kata-kata Rusia yang seharusnya tidak didengar akan keluar, jadi Ia meninggikan suaranya untuk menyela kata-kata Alisa. Lalu tangan Alisa tersentak saat nama 'Yuki' tiba-tiba disebut, dan Masachika langsung berpikir, 'Achaa, lagi-lagi aku keceplosan'.

“Aku akan melakukannya.”

“Eh, tapi ... kamu tidak perlu memaksakan dirimu, loh?”

“Bahkan Yuki-san mulai terbiasa setelah melakukannya berkali-kali, ‘kan? Lalu, aku akan melakukannya juga.”

Ekspresi Alisa berubah dalam sekejap dan mata birunya menyala dengan rasa persaingan yang membara. Ketika melihat tatapan matanya, Masachika menyadari bahwa tidak ada gunanya mengatakan apapun.

“Yah, kalau begitu... ayo kita lanjutkan?”

Selama satu jam berikutnya, Alisa berhasil meningkatkan kecepatan membacanya hingga setara dengan percakapan normal.

“Luar biasa sekali... Tak kusangka kalau kamu bisa mempelajarinya begitu cepat...”

“Te-Tentu saja lah...”

Ekspresi Alisa terlihat berseri-seri saat mengatakan itu dengan senyum bangga menghiasi wajahnya. Dahinya dipenuhi keringat dan poninya menempel di dahinya. Selain itu, napasnya juga terlihat sedikit ngos-ngosan.

(Erotis banget)

Penampilannya terlihat sangat seksi sampai-sampai kesan seperti itu muncul di benaknya secara tidak sengaja. Setelah satu jam wajah seperti ini dan hembusan nafas yang sehat, Masachika merasa pengendalian dirinya sedang diuji.

(Yah, sekarang sudah berakhir ... ya, aku menahannya. Kamu berhasil menahannya dengan baik, wahai diriku!)

Sambil memuji dirinya sendiri di dalam hati, Masachika melepaskan tangan Alisa.

“Kalau gitu——” 

Lalu, tangan yang hendak dilepaskan langsung dicengkeram dengan erat. Ketika menoleh ke arah wajahnya, Masachika bisa melihat wajah Alisa dipenuhi dengan senyum berbahaya dan tatapan mata menyala-nyala yang menyiratkan ingin melakukan pembalasan.

“Selanjutnya, cara menulisnya, iya ‘kan?”

“Umm, itu sih…”

“Iya, ‘kan?”

“... Be-Bener banget~”

Setelah itu, mereka menghabiskan waktu satu jam lagi. Masachika membiarkan Alisa untuk berlatih menjentikkan telapak tangan sampai dia merasa puas ... atau lebih tepatnya, Ia dipaksa membiarkannya berlatih di telapak tangannya.

 

 

Sebelumnya || Daftar isi || Selanjutnya

 

close

Posting Komentar

Budayakan berkomentar supaya yang ngerjain project-nya tambah semangat

Lebih baru Lebih lama