Bab 3 — Apa Yang Ingin Kamu Lakukan Di Atas Telapak Tangan Seseorang
“Akhirnya, tugas matematika
juga sudah selesai ...”
Setelah menutup buku pelajaran
yang dibagikan untuk tugas liburan musim panas, Masachika meregangkan badannya
yang kaku. Bertempat di ruang tamu kediaman apartemen keluarga Kuze. Orang yang
ada di depannya adalah Alisa, yang diam-diam menggerakkan pena merah di atas
buku teksnya.
Seperti biasa, mereka berdua sedang
mengerjakan tugas musim panas bersama. Dan di sana, Alisa juga menutup buku
teksnya dan memindahkannya ke samping.
“Apa kamu sudah selesai?”
“Ya, dengan begini semua tugas
PR-ku sudah selesai.”
“Oh, benarkah? Kerja bagus.”
Rupanya, semua tugas PR-nya
sudah selesai selangkah lebih maju. Mungkin, dia terus mengerjakan tugasnya
dengan rajin di rumah. Di sisi lain, Masachika yang sama sekali tidak bisa
menyelesaikan tugas PR-nya saat sendirian di rumah, masih memiliki beberapa
tugas seperti bahasa Inggris dan fisika. Tapi tetap saja, pengerjaannya yang
sekarang jauh lebih cepat dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya.
“Hmm...”
“...”
Dengan santai dan kebetulan
melihat jam ruang tamu pada saat yang sama, mereka berdua menyadari kalau
sekarang masih lewat jam 3:30 sore. Alisa biasanya pulang sekitar pukul 6:00
sore, jadi sepertinya dia masih mempunyai banyak waktu luang.
(Ummm~~,
gimana nih...)
Untuk saat ini, Masachika
berpikir sambil menambahkan teh jelai ke cangkir masing-masing untuk mengulur
waktu. Jika dipikir secara normal, karena tujuan mereka berkumpul ialah untuk
mengerjakan tugas PR liburan musim panas, tujuannya sudah tercapai jika mereka
sudah selesai mengerjakan PR. Tapi bukannya berarti Ia bisa dengan santai
mengatakan, “Kerja bagus! Kalau begitu
ayo bubar!”, tanpa bisa membaca suasana sama sekali.
(Benar
sekali, suasana ... suasana yang terus dilirik-lirik Alya seolah-olah dia mengode
sesuatu!)
Gerak-gerik Alisa yang
memain-mainkan rambutnya seolah ingin menyiratkan, “Ah~ Aku masih punya banyak waktu, nih~ Kira-kira apa yang harus
kulakukan, ya~?” dan menatap
Masachika seolah-olah sedang mengharapkan sesuatu atau mendesaknya untuk
melakukan sesuatu. Waktunya bertepatan (atau
lagi apesnya) dengan Masachika yang sudah menyelesaikan PR-nya juga, jadi
Ia tidak bisa berpura-pura tidak menyadarinya. Satu-satunya yang bisa Ia
lakukan hanyalah menyesap teh dari cangkir dan berhenti sejenak.
(Yah,
habisnya….)
Semua itu karena Masachika
tidak punya nyali untuk mengatakan, “Baiklah,
kalau begitu ayo berkencan!”. Mungkin jika itu sebelum kamp pelatihan, Ia
bisa mengatakannya dengan nada bercanda.
Namun, sekarang setelah Masachika menyadari perasaan cinta Alisa kepadanya dan ketidakmampuannya
sendiri, Ia bahkan tidak bisa mengatakannya walaupun itu cuma sebatas candaan.
(Tapi……)
Masachika sudah memutuskan
untuk menghadapinya dengan benar. Selain itu, jika Ia melarikan diri dari
situasi ini, hal tersebut sama saja dengan mengkhianati keinginan tulus Maria.
(...
Yosh, baiklah!)
Setelah meletakkan kembali
cangkir tehnya di atas meja, Masachika mendongak dengan penuh tekad. Saat Ia
menatap lurus ke arah wajah Alisa yang sedang melirik ke arahnya, Alisa juga
sepertinya sudah menebak sesuatu dan berbalik menghadap Masachika.
Dua orang yang saling menatap
dari depan. Seharusnya hal tersebut bukanlah sesuatu yang aneh, tapi setelah
Masachika menyadari perasaan cinta Alisa, Ia merasa bahwa tatapan normal Alisa tampaknya
memendam semacam emosi. Masachika tersentak saat merasakan gairah luar biasa
yang berdiam di mata yang mirip safir itu.
“Umm, karena kita masih punya
banyak waktu luang ...”
Masachika meraba-raba ucapannya,
mati-matian menekan jantungnya yang berdegup kencang. Di dalam kepalanya, Maria
dalam wujud malaikat chibi dan Yuki dalam wujud iblis chibi melambai-lambaikan
pompom mereka bersama-sama. Didorong oleh dukungan tersebut, Masachika lalu
berkata dengan penuh tekad.
“Bagaimana kalau kita berbicara
tentang kampanye pemilihan?”
“…...”
Keheningan jatuh menyelimuti
ruang tamu. Tatapan mata Alisa tampaknya telah kehilangan kecemerlangannya. Wujud
chibi Maria dan Yuki yang ada di kepalanya menurunkan pompom dengan tatapan
mata dingin.
『Dasar
Kuze-kun payah』
『Cowok
brengsek』
(Hentikannn,
jangan melihatku dengan tatapan seperti itu)
Maria dalam wujud malaikat
chibi menatapnya dengan mata kecewa, sedangkan Yuki dalam wujud iblis chibi
menendangnya tanpa ampun, dan wujud chibi Masachika semakin mengecil di dalam
bayangannya. Melihat Masachika tertegun karena membenci diri sendiri, Alisa
sedikit menurunkan tatapan matanya dan menghela nafas ringan.
“Fiuh... Yah, persiapan kampanye pemilihan juga sama pentingnya,
‘kan?”
“Y-Yoi?”
“Kenapa pakai dialek Kansai?”
“Bukan apa-apa, hahaha...”
Setelah tertawa kering,
Masachika berdeham sekali dan mengubah ekspresinya. Dirinya sadar sudah
melakukan sesuatu yang sangat pengecut sebagai seorang pria, tapi ketika disaat
ingin melakukannya, Ia tidak punya pilihan selain mengubah pikirannya
sepenuhnya.
“Pertama-tama...Berbicara
tentang acara di semester kedua, ada festival sekolah yang biasa dilaksanakan
pada awal Oktober.”
“Ah, jika tidak salah, semua
pengurus OSIS diwajibkan untuk berpartisipasi dalam panitia persiapan festival
sekolah, ‘kan?”
“Iya, lalu dua perwakilan dari masing-masing
kelas. Selain pengurus OSIS angkatan ini, ada komite kedisiplinan, komite
kecantikan, komite kesehatan, dan mantan ketua serta wakil ketua OSIS angkatan
kemarin ….mungkin itu saja.”
Festival Sekolah Akademi Seirei,
atau biasa disebut Shuureisai (Festival
musim gugur). Sudah menjadi tradisi bagi mantan ketua OSIS dan wakil ketua
OSIS untuk menjabat sebagai ketua dan wakil ketua panitia persiapan festival.
Lalu anggota OSIS saat ini akan menempati posisi penting dalam panitia
persiapan di bawah komando mereka, dan akan memimpin anggota panitia lain yang
dipilih dari setiap kelas.
“Dengan kata lain, anggota
panitia lainnya bisa menentukan apakah kamu dapat diandalkan atau tidak saat
bekerja bersama. Kamu harus berhati-hati, oke? Anggota panitia yang dipilih di
setiap kelas biasanya adalah orang-orang yang paling berpengaruh di kelas,
kecuali tipe murid nakal. Jika mereka berpikir, 'Orang ini tidak berguna sama sekali~,' itu akan menimbulkan dampak
yang lumayan, loh?”
“Benar, juga...”
“Yah, karena Alya menjadi
bendahara, selama kamu melakukan pekerjaanmu dengan benar dan akurat, menurutku
hal tersebut tidak akan terjadi ..… tapi, yang sering dipertanyakan ialah
masalah selera dari bidang Humas seperti Yuki.”
Pengurus OSIS pada dasarnya
melakukan pekerjaan yang sesuai dengan jabatannya. Misalnya saja, sekretaris
membuat risalah, bendahara mengelola anggaran, dan humas menyiapkan panduan dan
pamflet. Manajemen anggaran adalah pekerjaan yang sepenuhnya di balik layar,
tapi bagian humas merupakan bagian yang hasilnya bisa terlihat jelas, tapi
bagian itu juga sulit untuk menyembunyikan kesalahan. Jika mereka memproduksi
selebaran yang desainnya norak atau pamflet yang sulit dibaca, maka
kredibilitas Yuki sebagai calon ketua OSIS akan mengalami penurunan.
Tapi itu bukanlah sesuatu yang
perlu dikhawatirkan Alisa sebagai kandidat lawan. Masachika mengangkat bahunya saat
memikirkan kembali hal itu.
“... Yah, kalau dia sih pasti
bisa melakukannya dengan mudah. Urusan bendahara pada dasarnya sama saja
seperti medan pertempuran, baik sebelum dan sesudah festival selesai, dan aku
juga akan membantumu dengan itu, jadi kamu tidak perlu terlalu khawatir.”
“Benar……”
“Sudah, sudah, kamu tidak perlu
terlalu khawatir tentang itu sekarang. Jika kamu melakukannya seperti yang
selalu kamu lakukan di OSIS, pasti takkan ada banyak masalah.”
Masachika dengan sengaja
memberi tahu Alisa yang sedikit khawatir dengan nada yang optimis. Namun, Alisa
terlihat merenung dengan ekspresi sulit di wajahnya.
(Yah,
bekerja sama dalam tim merupakan kelemahannya Alya ...terutama dalam hal
mengarahkan anggota lain sebagai ketua tim...)
Alisa adalah orang yang perfeksionis.
Dia juga sadar bahwa standar “kesempurnaan”-nya
terlalu tinggi di mata orang-orang di sekitarnya. Selain itu, dia tidak bisa
memberikan dukungan semangat dan memimpin orang-orang di sekitarnya. Akibatnya,
dia melakukan semuanya sendiri tanpa bergantung pada orang lain.
(Menjadi
perfeksionis dalam pekerjaan bendahara sih tidak terlalu buruk... tapi masalahnya
dia tidak pandai bekerja sama dalam tim. Karena di masa depan dia akan memimpin
OSIS sebagai ketua OSIS, itu sebabnya masalah ini harus segera diperbaiki……)
Namun, itu bukan masalah yang
bisa diatasi dalam semalam. Jika dia bisa mengatasi kelemahannya dengan
mengatakan ini dan itu melalui kata-kata, Masachika takkan mengalami kesulitan.
(Mungkin
sebaliknya, ini bisa menjadi pengalaman yang bagus baginya. Aku tidak punya
pilihan selain membuatnya membiasakan diri secara bertahap pada kesempatan
ini.)
Setelah menyimpulkan itu,
Masachika dengan ringan berdeham pada Alisa yang menatapnya dengan ekspresi
sulit.
“Be-Be-Benar juga ... mungkin
sekarang saat yang tepat untuk melakukan itu. Mari kita bangun metode
komunikasi kita sendiri.”
“? Kamu bicara tentang apa?”
Masachika menatap diam-diam
pada Alisa, yang menatapnya dengan ragu.
“Ap-Apa?”
Tatapan Alisa goyah dalam
kebingungan, tetapi Masachika terus menatap Alisa dalam keheningan.
“Eh, apa ada sesuatu di wajahku?
Hei, bilang sesuatu, dong.”
Alisa berkata dengan tidak
nyaman ketika dia menatap badannya sendiri dan meletakkan tangannya di wajahnya.
Sebagai tanggapan, Masachika memberitahunya dengan singkat.
“Apa kamu bisa membaca apa yang
ingin aku katakan?”
“Eh?”
Usai mendengar pertanyaan itu,
Alisa mengerutkan kening sambil menatap Masachika. Setelah menatap satu sama
lain selama sekitar 10 detik, pipi Alisa tampak merah merona dan tatapannya
mengarah kemana-mana.
【Eh? aku masih belum siap untuk itu ..... 】
“Tunggu sebentar, apa yang
barusan kamu baca tadi?”
Masachika secara tidak sengaja
membuat tsukkomi pada gumaman Rusia
yang membuatnya salah paham. Dan kemudian, sambil menghela nafas ringan, Ia
memberinya jawaban.
“Tadi itu aku ingin mengatakan,
‘Ambilkan aku kain.’ ”
“Hah? ... Tidak, mana mungkin
aku bisa mengetahui itu.”
“Benarkah? Ah, tidak, kamu tidak
perlu benar-benar mengambilnya. Maksudku bukan begitu ..... dari tadi aku terus
menunjuk ke arah kain serbet melalui tatapan mataku, dan mengatakan 'ambil' dengan gerakan mulut kecil,
loh?”
“Itu sih...”
“Hmm~ kalau gitu, ayo coba
lagi, ayo coba sekali lagi.”
Masachika mengatakan ini kepada
Alisa yang tidak puas dan mulai menatapnya lagi. Kemudian, Alisa menatap
matanya seolah-olah untuk merespon... setelah beberapa detik, dia memalingkan
mukanya lagi.
【Ketiak? Hal semacam itu ……】
“Jadi, apa, bagaimana kamu
membacanya?”
Memangnya
kamu ini gadis cabul, ya? Apa kamu benar-benar gadis cabul, ya?!
Masachika terus menatap Alisa,
yang malu-malu karena alasan misterius. Ia lalu menggaruk kepalanya, dan
menyandarkan tubuhnya pada sandaran sofa.
Meskipun Ia sudah mengetahuinya
secara samar-samar, tapi mereka berdua memang tidak bisa berkomunikasi melalui
kontak mata sebaik yang diharapkan. Jika bersama Yuki, Masachika bisa
menyampaikan sebagian besar niatnya dengan kontak mata dan gerakan terperinci.
(Cara
berkomunikasi begini memang membutuhkan keterampilan komunikasi, pengalaman, dan
lamanya hubungan ... mungkin ini masih terlalu sulit untuk Alya)
Takeshi dan Hikaru yang telah
berteman lama dengannya, mampu berkomunikasi dengan Masachika tanpa berbicara sampai
batas tertentu. Di dalam OSIS, selain Yuki, cuma Touya yang bisa berkomunikasi
begitu dengannya. Hal itu bisa dilakukan karena kompatibilitas, kemampuan
observasi dan kepedulian Touya yang tinggi. Chisaki bukan tipe orang yang dapat
melakukan komunikasi tangkas seperti ini, sedangkan Maria dan Ayano tidak
sefrekuensi dengannya karena mereka selalu dalam tempo mereka sendiri. Dan
Alisa benar-benar tidak memiliki pengalaman interpersonal.
“Hmm~...”
Kurangnya kepercayan begini
merupakan sedikit kerugian dalam memperjuangkan kampanye pemilu bersama. Dalam
keadaan darurat, ada perbedaan besar antara mampu berkomunikasi dengan cepat
dan tidak mampu melakukannya. Faktanya, sebagai seseorang yang sudah mengatasi
berbagai kesulitan bersama Yuki di masa lalu, Masachika cukup khawatir bahwa
pemikirannya tidak bisa tersampaikan sejauh ini.
“Jika kamu memasang wajah
kesulitan seperti itu, bagaimana kalau kamu saja yang mencoba membaca apa yang
ingin kukatakan?”
“Hmm?”
Saat Masachika mendengar suara
Alisa yang tidak puas, Ia menemukan kalau Alisa sedang menatapnya. Sebagai
tanggapan, Masachika juga berbalik menghadapnya dan meluruskan postur tubuhnya.
Kemudian Alisa──
【Ini adalah cerita ketika kamp pelatihan kemarin.】
“Tu-Tunggu dulu sebentar”
“Apaan sih? Jika kamu
mengatakan kalau kamu bisa berkomunikasi dengan sedikit isyarat, kamu pasti
bisa memahami nuansanya bahkan dalam bahasa Rusia, bukan?”
“Jangan minta yang
ngaco-ngaco!?”
【Pada waktu sarapan di hari terakhir──】
“Tidak, tidak, ayo lanjutkan
seperti biasa──”
【Di pertengahan, kamu menggunakan cangkirku, tau?】
(Hueeeeeeeeeeeeeeeeee!?)
【Tapi sepertinya kamu tidak menyadarinya sih...】
(Aku
sama sekali tidak menyadarinyaaaaaaaa!!)
Masachika hampir saja ingin berteriak
keras karena pengakuan yang tak terduga itu. Ia segera mengingat peristiwa waktu
itu, tapi Masachika masih tidak tahu apa yang dia bicarakan. Memang benar bahwa
mereka semua menggunakan gelas yang sama, jadi ada kemungkinan kalau ada yang
salah mengambil. Selain itu……
【Aku sudah meminumnya sebelum aku menunjukkannya,
jadi aku melewatkan waktu untuk mengatakannya juga... 】
Menilai dari penampilan Alisa
yang sedikit malu-malu, sepertinya dia tidak berbohong.
(Kejadian
di mana peristiwa ciuman tidak langsung terjadi tanpa kusadari)
Alisa terlihat malu namun
tersenyum nakal pada Masachika yang terlihat agak jauh tanpa menunjukkan
ekspresinya.
【Ini tuh ... sesuatu yang disebut ‘bertukar cangkir sake’ yang biasa
terjadi dalam pernikahan tradisional jepang, ‘kan? 】
(Enggak
juga, kok?)
【Kamu harus ... bertanggung jawab, oke? 】
(Menakutkan,
menakutkan)
Masachika mengangkat kedua
tangannya seolah-olah menyerah kepada Alisa, yang mengira kalau ucapannya tidak
dipahami dan mengatakan apapun sesukanya.
“Tunggu sebentar. Serius, aku beneran
tidak mengerti... lagian, apa gunanya
berbicara secara terbuka saat kita berusaha ingin berkomunikasi secara
diam-diam?”
“Eh, begitu ya.”
Mengangkat bahunya untuk
menunjukkan penghinaan, Alisa mengipasi wajahnya dengan tangannya seraya
memasang ekspresi sok tenang.
(Jika
kamu merasa malu, jangan mengungkit itu juga kali ...)
Alisa tampaknya tidak
memperhatikan tatapan cemooh Masachika, dan dia berpura-pura sedang berpikir
sebentar.
“Kalau begitu... ayo melakukan apa yang kamu lakukan tadi.”
Setelah mengatakan itu, Alisa
dengan cepat mengalihkan pandangannya ke arah jendela, menggerakkan mulutnya
dengan gerakan kecil, dan perlahan-lahan melipat tangannya. Kemudian, dia
dengan ringan memiringkan tangannya yang terlipat.
Seolah-olah dia memohon untuk
sesuatu.
Setelah melihat gerakan
isyaratnya, Masachika yang membaca niat Alisa mengartikannya sebagai ...
『Aku
ingin keluar dan pergi berkencan』
(Hmmmmmmmmmm~~~~~~!!)
Masachika menggertakkan giginya
dan mengerang geli atas jawaban yang didapatnya. Ia mencubit erat pahanya di
bawah meja dan berhasil menahan ekspresinya.
(~~~hmm
aku tidak tahu bagaimana harus menjawab ini!)
Jika Masachika memberitahu
jawaban benar, Ia pasti akan mendapatkan getaran aneh, dan jika memberi jawaban
salah, Ia akan menjadi cowok yang disalahpahami sepenuhnya dengan kesadaran
diri. Pokoknya, Masachika terjebak di dalam situasi yang membuatnya tak bisa
berkutik apa-apa.
“Jadi, bagaimana? Apa kamu bisa
memahami apa yang ingin kukatakan?”
“Hmm...”
Alisa menyilangkan tangannya
dan tersenyum provokatif, seolah-olah ingin mengatakan ‘Lagipula, kamu pasti takkan mengerti’. Dia begitu yakin akan
keunggulannya sendiri dan menyimpulkan bahwa Masachika tidak mungkin bisa
memahaminya. Sekilas, Masachika ingin menghancurkan ekspresi songongnya itu dengan
keterkejutan, keheranan, dan rasa malu... tapi Ia dengan tenang berpikir kalau resikonya
terlalu besar. Dengan enggan, Masachika memberikan jawaban hambar meskipun Ia
mengetahui kalau itu jawaban yang salah.
“Hmm, kamu ingin mengatakan... 'Hari ini cuacanya cerah, ya’,?”
“Fufun~”
(Nih
anak bikin jengkel☆)
Alisa dengan terang-terangan
menunjukkan ekspresi mengejek dan menyeringai padanya. Bahkan pipi Masachika
sedikit berkedut ketika mendengarnya, tapi Alisa kelihatannya tidak peduli dan
berkata dengan rasa superioritas.
“Sama sekali salah kaprah. Tuh
‘kan, bahkan kamu sendiri tidak tahu sama sekali.”
“… Ngomong-ngomong, jawaban yang
benarnya apa?”
“Aku ingin mengatakan, 'Liburan musim panas sudah hampir berakhir,
ya.'”
“Hmm~...”
Masachika menatap wajah licik
Alisa sambil menjawab dengan acuh tak acuh. Ia kemudian melanjutkan dengan yang
santai.
“Mungkin itu cuma imajinasiku
saja kalau aku merasa seperti sedang diajak untuk berkencan?”
“H-Hah! Ma-Mana mungkin, ‘kan?
Itu hanya imajinasimu saja kali...”
Seketika itu juga, Alisa dengan
cepat memalingkan wajahnya sambil menyentakkan bahunya dengan reaksi yang
sangat mencolok seolah-olah ada es batu yang menempel di punggungnya. Masachika
melanjutkan dengan acuh tak acuh, seraya menatap lembut pada reaksi yang
gampang sekali dimengerti itu.
“Begitu ya. Yah, kalau kamu sih
memang takkan pernah mengatakan hal semacam itu walaupun cuma bercanda.”
“...Tentu saja lah.”
“Nah ‘kan~”
Setelah menanggapi komentar
peda Masachika, bibir Alisa sedikit cemberut.
【Apaan sih ... memangnya seaneh itu ya kalau aku
duluan yang mengajakmu berkencan? 】
(Ugh……)
Merasa sedikit bersalah pada
gumaman merajuk Alisa, Masachika dengan cepat menindaklanjuti.
“Yah? Karena aku tidak pernah
mengalami kejadian seperti itu, jadi aku cuma tahu bahwa gadis-gadis yang mengajak
seorang cowok berkencan cuma bisa terjadi di dalam manga.”
Masachika berkata begitu cepat
seakan menyiratkan bahwa apa yang dirasa aneh bukanlah diundang 'oleh Alisa', tapi diajak 'oleh gadis-gadis'. Kemudian Alisa
tampak mendapatkan kembali kepercayaan dirinya dan tersenyum dengan rasa
superioritas.
“Oh, itu sih sangat disayangkan
sekali ya? Yah kalau aku sih? Aku sudah sering diajak berkencan lebih dari yang
bisa kuhitung.”
“Hee begitu ya … Ngomong-ngomong, sudah berapa banyak kamu
menerima ajakan itu?”
Begitu mendengar pertanyaan
Masachika, jari-jemari Alisa yang sedang memainkan rambutnya tiba-tiba
berhenti. Dia kemudian dengan cepat mengalihkan pandangannya ke samping, dan
menjawab dengan sedikit ketus.
“... Yah, aku sudah pergi
berkencan beberapa kali, sih.”
“Hmm~”
“.....”
Sambil melirik Masachika yang
mendengus dengan tatapan tidak tertarik, Alisa memilin-milin ujung rambutnya
dan bergumam pada dirinya sendiri.
【Yang kumaksud itu bersama denganmu】
(……
ugh)
Dengan kata lain, itu berarti
dia tidak pernah berkencan dengan orang lain selain Masachika. Walaupun Ia
sudah mengharapkannya, dampaknya masih tidak dapat dihindari ketika diungkapkan
dengan kata-kata. Masachika menggertakkan giginya, dan Alisa tiba-tiba berbalik
dengan ekspresi terkejut di wajahnya.
“As-Asal kamu tahu saja, aku
tidak tergoda oleh cowok perayu atau semacamnya, oke!?”
“Eh, ahhh... tapi aku tidak
meragukanmu mengenai itu, kok?”
Pertama-tama, bahkan di akademi,
ada banyak anak cowok dengan wajah tampan, otak yang encer, dan latar belakang
keluarga yang lumayan. Masachika berpikir kalau Alisa takkan pernah terlena
dengan cowok bodoh semacam itu ... tapi Alisa masih tetap bersikeras.
“Karena aku memilih pasanganku
dengan benar!”
“O-Ohh”
Masachika menerima dampak 20
poin kerusakan.
“Ak-Aku hanya… Um, memilih…
seseorang yang bisa kupercayai? Karena aku hanya melakukannya bersama seseorang
yang seperti itu.”
“I-Iya”
Masachika menerima dampak 40
poin kerusakan.
“De-Dengarkan aku, oke? Aku
sudah mengerti... jadi, sudah cukup hentikan sampai di situ...”
Masachika mati-matian
memintanya untuk berhenti. Tapi Alisa terus melanjutkan!!
“Aku takkan pernah berkencan
dengan seseorang yang bahkan tidak aku sukai!”
“…...”
90 poin dampak kerusakan pada
Masachika. Namun, Ia berhasil menahannya dengan sisa 1 HP.
“Ah, tapi bukannya berarti ini tentang
kamu. Aku cuma tidak membencimu saja...”
Alisa bertingkah malu-malu,
tapi Masachika sudah kehilangan kesadarannya.
◇◇◇
【Ehehe,
kita sampai dimarahi】
【Aku
bilang juga apa ‘kan, mana mungkin kita bisa menyelinap ke ruang musik sekolah
lain... 】
【Muu~n...
tapi, aku ingin mendengar permainan piano Saa-kun, sih】
【Uuu~mm
...kalau begitu, bagaimana kalau aku mengundangmu pada resital selanjutnya? 】
【Eh,
benarkah? 】
【Ya...lagipula,
aku sudah berjanji... 】
【Terima
kasih! Aku sangat menantikannya! 】
◇◇◇◇
“── chika-kun”
“Haa!”
Begitu mendapatkan kembali
kesadarannya, Masachika mendongak dan melihat Alisa sedikit mencondongkan tubuh
ke depan sambil menatapnya dengan ekspresi ragu.
“... Oh, maaf. Aku tadi sedikit
kehilangan kesadaran.”
“... Hmm, begitu ya.”
Alisa segera menyipitkan
matanya dan mulai memancarkan udara dingin di sekelilingnya.
“??”
Masachika mengangkat alisnya …,
merasa penasaran apa yang membuatnya marah. Lalu tiba-tiba, ada kejutan yang
menghantam tulang keringnya.
“Aduh!?”
Pukulan mendadak yang tak
terduga itu mengirimkan kilatan cahaya yang melintas di otak Masachika.
Rupanya, Alisa yang sedang duduk di kursi, menendang tulang kering Masachika di
saat yang bersamaan.
“Bagaimana? Apa kamu sudah
sepenuhnya sadar?”
“Bu-Bukannya aku sedang mengantuk
dan tidak sadarkan diri...!”
Masachika mencoba meminta maaf sambil
meringkuk dan menahan rasa sakit, tapi tatapan Alisa masih terlihat dingin.
Jika lawan bicaramu tertidur di tengah percakapan, wajar-wajar saja kalau kamu
merasa marah, tetapi...
(Tidak,
semua itu karena salahmu, tau!?)
Atau begitulah yang Masachika
pikirkan, tapi memprotes hanya akan membuat situasi menjadi semakin runyam.
Dengan enggan, Masachika berdeham ringan dan kembali ke topik utama pembicaraan.
“Ummm, jadi, bagaimana cara kita
berkomunikasi jika dalam keadaan darurat...”
Kemudian, bersamaan dengan
ekspresi Alisa yang masih menggerutu, dirinya dan Alisa melakukan kontak mata
beberapa kali. Untungnya atau sayangnya, latihan saling pandang berjalan dengan
tenang tanpa ada suasana komedi romantis.
“──Hmm, mungkin segitu dulu?
Ah, aku sudah mengubah pola dari sandi yang biasa aku gunakan dengan Yuki, tapi jika kita
melakukannya terlalu sering, ada kemungkinan kalau sandi tersebut akan
terurai... mungkin sebaiknya jangan melakukan itu di depan Yuki.”
“Begitu.”
“Selain itu ... yah mungkin
sekalian juga. Ada baiknya kalau kita memutuskan gerakan isyarat menggertak
bahkan dalam kebiasaan biasa.”
“Isyarat menggertak?"
“Begini... ketika sedang
bernegosiasi, ada kalanya kamu hanya menggertak saja, ‘kan? Misalnya, saat
bernegosiasi dengan klub, kamu bisa berkata,
‘Aku sudah mendapat izin dari penasihat klub kalian.’. Contoh lainnya
mungkin … saat ingin melarikan diri
dari lawan bicara yang merepotkan? Dengan berkata ‘Aku sudah dipanggil oleh Sensei setelah ini.’. Jika dalam keadaan
seperti itu, kalau salah satu dari kita keceplosan bilang ‘Eh, memang ada urusan yang seperti itu?’ hal itu justru akan
merusak situasi, bukan? Jadi lebih baik kita memastikan bahwa kita berdua
langsung tahu bahwa yang kita katakan itu cuma bohong.”
“Haa...”
Mengabaikan ekspresi Alisa yang
tampak tidak yakin, Masachika berpikir sejenak dan dengan ringan mengangkat
tangan kirinya.
“Hmm, bagaimana kalau menyentuh
rambutmu dengan tangan kiri? Kamu punya kebiasaan memainkan rambut dengan jari-jarinya,
bukan? Kamu tinggal melakukannya dengan tangan kirimu saja....”
“Kalau kamu sendiri?”
“Kalau aku sih ... mungkin
dengan menggaruk kepalaku? Pokoknya, mari kita putuskan bahwa apa yang kamu katakan
sambil menyentuh rambutmu dengan tangan kiri merupakan gertakan, dengan kata
lain, itu cuma bohong.”
“Baiklah, aku mengerti ...
meskipun aku mungkin akan melupakannya.”
“... Yah, kamu bisa menyimpannya
di sudut kepalamu.”
Setelah mengatakan itu dan
mengangkat bahunya, Masachika menyesuaikan postur tubuhnya sedikit. Hal yang
selanjutnya Ia katakan merupakan sesuatu yang cukup menegangkan, bahkan untuk
Masachika.
“Lalu ... dalam keadaan di mana
kita tidak bisa saling bertukar kontak mata. Dengan kata lain, ada cara untuk
berkomunikasi saat kita sedang bersebelahan... cara berkomunikasi yang disebut
jentikan telapak tangan.”
“? Apa itu?”
“Yah, sesuai dengan sebutan
harfiahnya, kamu harus mengetik huruf ke telapak tangan orang lain dengan input
jentikan. Entah itu di bawah meja, di belakang punggung, atau yang lainnya...
ummm dengan kata lain, memegang tangan pihak lain secara diam-diam, oke?”
“Ehh...?”
Ketika Masachika dengan ragu
mengatakan itu, Alisa dengan terang-terangan mengerutkan keningnya.
“Maksudnya memegang tangan tuh
... apa kamu akan membelai telapak tanganku dengan jari-jarimu?”
“Daripada dibilang membelai,
lebih tepatnya mirip seperti input ketikan. Sama seperti pada ketikan layar smartphone,
kiri belakang… atau mungkin lebih tepatnya, sisi pergelangan tangan. Misalnya
saja yang sebelah sini huruf ‘A’, lalu
pada bagian tengah sisi pergelangan tangan adalah huruf ‘Ka’, sisanya tinggal berurutan saja dengan huruf: Sa, Ta, Na, Ha, Ma, Ya, Ra....” (TN: FYI, input
ketikan huruf jepang sangat berbeda dengan huruf alphabet)
Masachika menunjuk ke telapak
tangan kirinya secara berurutan dari sisi pergelangan tangan hingga sisi ujung
jari, lalu menggenggam tangan kirinya dengan tangan kanannya.
“Perbedaannya dengan input ketikan
smartphone adalah bahwa jalur huruf ‘A’ sampai ke huruf ‘Ra’ bisa dilakukan dengan gerakan jentikan, sedangkan untuk huruf ‘Wa’, simbol dakuten*, handakuten*,
konversi huruf kecil, dan penghapusan dilakukan dengan urutan jari telunjuk,
jari tengah, jari manis, dan jari kelingking. Ketuk jari telunjuk satu kali
untuk huruf ‘Wa’, ketuk dua kali
untuk huruf ‘Wo’, dan ketuk tiga kali
untuk huruf ‘N’. Sedangkan jari
tengah, ketuk sekali untuk tanda dakuten,
dan ketuk dua kali untuk tanda handakuten.
Jari manis dan kelingking masing-masing memiliki satu ketukan untuk mengubah
huruf kecil dan menghapus satu huruf.” (TN: Dakuten (濁点) atau kadang disebut dengan ten-ten adalah tanda baca atau
diakritik yang berbentuk dua buah titik atau tanda kutip yang digunakan pada
huruf Jepang atau kana, Sedangkan handakuten (半濁点) adalah tanda baca atau diakritik yang berbentuk lingkaran kecil
yang disebut dengan maru (丸) yang digunakan pada huruf Jepang atau kana. Fungsinya adalah untuk
mengubah konsonan-konsonan huruf kana. Contohnya huruf: は (ha) -> ば (ba) ->ぱ pa)
Sambil menepuk punggung tangan
kirinya dengan jari tangan kanannya, Masachika mulai menjelaskan. Setelah
mendengar semuanya dengan ekspresi sulit di wajahnya, Alisa membuka mulutnya
bahkan tanpa berusaha menyembunyikan perasaan skeptisnya.
“Yah, aku memahami teorinya,
tapi... bukannya itu sulit diterapkan? Mengesampingkan orang yang
menjetikkannya, kupikir orang yang membacanya pun akan kesulitan untuk
mengimbangi.”
“Kalau itu sih cuma masalah
membiasakan diri. Jika kamu sudah terbiasa, kamu nanti bisa berbicara dengan
jarimu secara bersamaan saat melakukan percakapan dengan orang lain, tau?”
Alisa lalu mengatakan sesuatu dengan
ekspresi yang lebih enggan di wajahnya saat Masachika dengan santai mengatakan
sesuatu yang luar biasa.
“Selain itu … aku benar-benar
tidak suka cara tanganmu yang membelai telapak tanganku.”
“... Jika kamu bilang begitu,
tidak ada yang bisa kulakukan, tau?”
Masachika sedikit terluka
ketika Alisa berkata begitu jelas dengan rasa jijik yang keluar dari sudut
mulutnya. ‘Hah? Orang ini menyukaiku,
‘kan?’ untuk sesaat, pertanyaan tersebut muncul di benaknya, tapi Ia dengan
cepat mempertimbangkannya kembali, ‘Tidak,
kurasa bukan itu masalahnya.’
“Ummm, Alya?”
“Apa?”
“Apa jangan-jangan ... kamu
mengidap germaphobia?” (TN: Germaphobia adalah sebutan seseorang yang phobia atau ketakutan
berlebihan terhadap kuman, bakteri, mikroba, kontaminasi, dan infeksi. Istilah
lainnya adalah Misofobia)
Jika diingat-ingat kembali, dia
sudah menunjukkan tanda-tanda seperti itu sebelumnya. Masachika ingat kalau dia
sangat tidak suka ada orang lain yang menyentuh tubuhnya ......, terutama
kulitnya, bahkan di jam pelajaran olahraga. Tapi balasan yang didapat justru
bantahan yang lebih kuat dari yang diharapkan.
“Se-Sembarangan! Aku tidak
mengidap germaphobia atau semacamnya!”
“Eh~... tapi saat ketua dari
klub memintamu untuk berjabat tangan dengannya, bukannya kamu hanya menjabat
tangannya sebentar dan kemudian langsung melepaskannya?”
“Itu sih, karena ... dia adalah seseorang yang tidak kukenal.”
“Nah ‘kan, bukannya itu germafobia?”
“Sudah kubilang bukan! Aku, umm...
ya! Tidak ada seorang pun yang mau jika ada orang lain menyentuh sesuatu yang
mereka hargai, ‘kan?”
“Ehh?”
Menanggapi pertanyaan yang
tiba-tiba itu, Masachika merenung sejenak saat pandangan matanya melayang ke
udara.
“… Ah, jika yang cowok,
misalnya saja jam tangan dan mobil… kalau yang gadis, tas dan aksesoris? Yah,
memang ada tipe orang yang tidak ingin ada sidik jari orang lain atau sesuatu
yang mengotori benda kesayangan mereka.”
“Ya! Mirip yang begitu!”
Alisa mengangguk penuh semangat
pada persetujuan samar Masachika, Alisa lalu membalikkan badannya dan
meletakkan tangannya di dadanya.
“Karena tubuhku adalah hal terpenting
bagiku! Itu sebabnya aku tidak ingin ada orang lain yang sembarangan
menyentuhku!”
“… Jadi begitu rupanya?”
Entah kenapa, Masachika merasa
ambigu dengan maksdunya. Terlebih lagi……
“Lantas, apa bedanya antara itu
dengan germafobia?”
“Sama sekali beda! Aku tidak
mencuci tanganku setelah selesai berjabatan tangan!”
“Kamu tidak perlu sengotot itu
untuk membantahnya kali ...”
“Tentu saja harus begitu! Jika
kamu mengatakan kalau aku germafobia, rasanya seolah-olah aku ini gadis yang
gampang sekali gugup!”
“Memangnya beda, ya?” Masachika menelan kata-kata tersebut, dan
mempertimbangkan sejenak argumen Alisa.
(Hmmm~
... Yah, kalau bukan sesuatu yang patologis, tapi karena harga dirinya yang
tinggi ..... mungkin memang berbeda dengan germafobia?)
Masachika sedikit yakin sambil
membayangkan seorang putri bangsawan yang muncul dalam karya-karya genre Isekai
dan mengatakan sesuatu seperti, “Satu-satunya
pria yang boleh menyentuh kulit daku hanyalah seseorang yang bersumpah untuk
menikahiku di masa depan!”
(Gagasan
kesucian seorang putri sejati, ya ...)
Masachika mengangguk setengah
hati dengan kesan yang tidak bisa digambarkan sebagai kekaguman maupun
kekecewaan.
“Hmm~ yah, jika kamu mengatakan
kalau kamu tidak menyukainya, kurasa apa boleh buat, ya…”
Masachika dengan patuh mencoba mundur,
berpikir bahwa itu bukanlah sesuatu yang bisa Ia paksakan pada seseorang yang
tidak ingin melakukannya. Akan tetapi….
“Enggak juga! Aku tidak
mengatakan kalau aku tidak mau melakukannya....”
Setelah meninggikan suaranya karena
terdengar panik sesaat, Alisa lalu mengecilkan nada suaranya. Dan kemudian,
seraya memain-mainkan ujung rambutnya, dia bertanya ragu-ragu sambil curi-curi
pandang ke arah Masachika .
“Apa kamu …. sangat ingin
menyentuhnya?”
“Hah?”
“Maksudku, tanganku...”
“Eh, ahh~...”
Entah bagaimana kedengarannya
ada sedikit kesalahpahaman. Tapi jika ditanya apa Ia ingin menyentuh atau tidak
...
“Yah, begitulah.”
“… apa pun yang terjadi?”
“… apa pun yang terjadi.”
“Hmph, gitu ya....”
Begitu mendengar penegasan
Masachika, Alisa berhenti memain-mainkan rambutnya dan mengarahkan tangannya ke
arah Masachika sambil memalingkan muka.
“Kalau begitu, baiklah, aku
mau, kok?”
(Gampangan
banget, woi. Buat apaan alasan-alasan tadi? Kembalikan waktuku)
Otak Masachika dengan marah
menegur Alisa, yang mengulurkan tangan kanannya dengan wajah cemberut. Dan
kemudian, berlawanan dengan pikirannya, Ia dengan tenang melakukan tsukkomi.
“Bukan dengan tangan kananmu,
tapi dengan tangan kirimu.”
“Eh... hmph, nih!”
Setelah terkejut sesaat, ekspresi
wajahnya berubah karena malu, dan dia berbalik dengan cemberut dan menjulurkan
tangan kirinya. Sambil tersenyum kecut pada reaksi Alisa, Masachika mencoba
menyentuh tangan kiri yang terulur padanya......tapi tiba-tiba, Ia merasa ragu
sejenak.
Tangan putih Alisa yang
terlihat ramping dan mulus. Setelah dilihat-lihat lagi, itu adalah tangan yang
begitu indah dan sangat cocok untuk ungkapan “tangan yang sehalus kain sutra dan seputih susu”. Kali ini bukan
pertama kalinya mereka berpegangan tangan, tapi entah kenapa Masachika merasa
lebih sulit untuk menyentuhnya dari biasanya karena gerakan aneh.
“... Apa? Kenapa kamu mendadak
berhenti?”
“Ah, tidak... kalau begitu,
permisi.”
Karena dilihat dengan tatapan
curiga, Masachika dengan hati-hati meraih tangan Alisa. Tangan yang sedikit
dingin dan lembut. Meski Ia sedikit terguncang oleh perasaan itu, Masachika
dengan lembut menyentuh telapak tangan Alisa dengan ibu jarinya.
“Umm, seperti ini….”
Lalu, Ia dengan hati-hati
menggeser ibu jarinya sambil berpikir dalam hati, “Aku seharusnya memotong kukuku sedikit lebih baik...”, lalu….
“Ahnn……”
Karena mendengar desahan samar
dari arah depannya, Masachika dengan cepat mendongakkan kepalanya. Kemudian Alisa
menatap tangan yang saling terhubung dengan ekspresi yang agak cemberut dan
alis berkerut di wajahnya.
“…Apa.”
“Tidak, bukan apa-apa……”
Berpikir bahwa itu cuma
imajinasinya saja, Masachika mengembalikan perhatiannya ke arah tangannya lagi,
dan Ia menjentikkan ibu jarinya secara bergantian.
“Yang begini adalah huruf ‘E’, jika kamu mengetuk tanpa menggeser
seperti ini, maka itu akan menjadi huruf ‘Na’,
lalu kalau mengetuk jari tengah seperti ini, itu adalah huruf ‘Bo'.”
Setelah menunjukkan serangkaian
contoh, Masachika mendongak untuk melihat wajah Alisa yang masih terlihat
sedikit marah. Satu-satunya hal yang sedikit mengganggunya ialah Alisa sedang menggigit
bibir bawahnya dengan erat seolah-olah dia sedang mencoba menahan sesuatu.
“….. apa kamu sudah memahaminya?”
“……Ya, kurang lebih.”
“Begitu, ya. Kalau begitu mari
kita coba dengan kalimat sederhana.”
Ketika memberitahu hal itu,
Masachika menggerakkan jarinya dengan cukup lambat.
(Yah,
kalau kalimat yang sederhana... I-i--)
“Hmm~……”
(Te,
n, ki──)
“Ahnn ...n”
(de,
su──) (TN: Ii tenki desu, artinya cuaca yang cerah, ya)
“Ahnn...”
(Mmm~~!!
Jangan mengeluarkan desahan yang aneh-aneh napa~~~!!)
Masachika sudah tidak sanggup
lagi untuk berpura-pura tidak menyadarinya. Desahan aneh yang seksi bisa
terdengar dari arah depannya. Setiap kali Ia menggerakan jarinya, tangan Alisa
menggeliat dengan gelisah. Meskipun mereka
tidak melakukan sesuatu yang aneh-aneh, tapi Masachika merasa seperti sedang
melakukan sesuatu yang nakal.
『Seks
tangan! Mereka sedang melakukan seks tangan! 』(TN: dari raw-nya ‘手ックス’versi romaji ‘teksu’, yang mana itu adalah penggabungan dua kata
tangan dan seks’,)
(Cerewet)
Untuk saat ini, Masachika
berpura-pura tenang dan mendongak sambil membungkam iblis kecil Yuki yang
membuat keributan di kepalanya.
“Apa kamu bisa tahu kalimat apa
yang baru saja kutulis tadi——”
Dan Masachika segera terdiam
dan tak bisa berkata apa-apa. Wajar-wajar saja reaksinya menjadi begitu. Hal
itu dikarenakan pipi putih Alisa terlihat merah merona dan tatapan matanya yang
berlinang air mata, melotot tajam ke arahnya.
【Dasar hentai……】
(Kenapa
aku sampai dihina segalaaa!?)
Sekali lagi, Masachika tidak
melakukan kesalahan apa-apa. Tapi apa-apaan dengan reaksinya itu. Apa jangan-jangan dia membaca sesuatu yang
aneh?... tapi gagasan itu dengan cepat disingkirkan.
“... Apa itu ditulis 'cuaca yang bagus'?”
“O-Oh, benar. Meskipun ini
pengalaman pertamamu, tapi kamu hebat sekali bisa menebaknya dengan benar”
“.....”
Bahkan setelah mendengar pujian
Masachika, Alisa hanya memalingkan muka dengan muram.
“Ahhh~... Apa jangan-jangan
rasanya sedikit geli?”
“… Sedikit.”
“Be-Begitu ya. Kalau begitu,
mungkin lebih baik kita jangan menggunakan metode ini. Jika itu bisa terlihat
di wajahmu, tidak ada gunanya melakukan komunikasi secara diam-diam...”
Sambil menatap Masachika yang
mengatakan itu dalam upaya menenangkannya, Alisa menggumamkan sesuatu.
【Daripada terasa geli, rasanya seperti──】
“Yah, mau bagaimana lagi!
Bahkan Yuki pada awalnya——”
Entah bagaimana, Masachika
memiliki firasat bahwa kata-kata Rusia yang seharusnya tidak didengar akan
keluar, jadi Ia meninggikan suaranya untuk menyela kata-kata Alisa. Lalu tangan
Alisa tersentak saat nama 'Yuki'
tiba-tiba disebut, dan Masachika langsung berpikir, 'Achaa, lagi-lagi aku keceplosan'.
“Aku akan melakukannya.”
“Eh, tapi ... kamu tidak perlu
memaksakan dirimu, loh?”
“Bahkan Yuki-san mulai terbiasa
setelah melakukannya berkali-kali, ‘kan? Lalu, aku akan melakukannya juga.”
Ekspresi Alisa berubah dalam
sekejap dan mata birunya menyala dengan rasa persaingan yang membara. Ketika
melihat tatapan matanya, Masachika menyadari bahwa tidak ada gunanya mengatakan
apapun.
“Yah, kalau begitu... ayo kita
lanjutkan?”
Selama satu jam berikutnya,
Alisa berhasil meningkatkan kecepatan membacanya hingga setara dengan
percakapan normal.
“Luar biasa sekali... Tak
kusangka kalau kamu bisa mempelajarinya begitu cepat...”
“Te-Tentu saja lah...”
Ekspresi Alisa terlihat
berseri-seri saat mengatakan itu dengan senyum bangga menghiasi wajahnya. Dahinya
dipenuhi keringat dan poninya menempel di dahinya. Selain itu, napasnya juga terlihat
sedikit ngos-ngosan.
(Erotis
banget)
Penampilannya terlihat sangat
seksi sampai-sampai kesan seperti itu muncul di benaknya secara tidak sengaja. Setelah
satu jam wajah seperti ini dan hembusan nafas yang sehat, Masachika merasa
pengendalian dirinya sedang diuji.
(Yah,
sekarang sudah berakhir ... ya, aku menahannya. Kamu berhasil menahannya dengan
baik, wahai diriku!)
Sambil memuji dirinya sendiri di
dalam hati, Masachika melepaskan tangan Alisa.
“Kalau gitu——”
Lalu, tangan yang hendak dilepaskan
langsung dicengkeram dengan erat. Ketika menoleh ke arah wajahnya, Masachika
bisa melihat wajah Alisa dipenuhi dengan senyum berbahaya dan tatapan mata
menyala-nyala yang menyiratkan ingin melakukan pembalasan.
“Selanjutnya, cara menulisnya,
iya ‘kan?”
“Umm, itu sih…”
“Iya, ‘kan?”
“... Be-Bener banget~”
Setelah itu, mereka
menghabiskan waktu satu jam lagi. Masachika membiarkan Alisa untuk berlatih
menjentikkan telapak tangan sampai dia merasa puas ... atau lebih tepatnya, Ia
dipaksa membiarkannya berlatih di telapak tangannya.
Sebelumnya
|| Daftar isi || Selanjutnya