Otonari no Tenshi-sama Jilid 5.5 Bab 8 Bahasa Indonesia

Chapter 8 — Begadang, Melakukan Sesuatu yang Nakal

 

“Hujan meteor Lyrids akan terlihat dari tengah malam hingga fajar hari ini——”

Berita seperti itu muncul di TV ketika menjelang waktu makan malam, dan Amane menelan apa yang sedang Ia kunyah dan berkata “Hee~” dengan keras.

Amane bukanlah tipe orang yang banyak menonton televisi, dan ketika ia menyalakan TV, ia hanya bermain game atau hanya menonton acara variety show atau program berita yang melaporkan kejadian sehari-hari secara singkat.

Situs jejaring sosial yang paling banyak menimbulkan keributan, juga hanya dilihat sekilas pada acara-acara terbaru, jadi Amane tidak menyadarinya sampai hari ini.

“Hujan meteor, ya”

“Padahal topik itu sudah lama jadi bahan perbincangan, loh.”

Amane meminum sup miso dengan wajah acuh tak acuh saat Mahiru menatapnya dengan agak tercengang.

Ia menatap Mahiru sambil menyerap kelezatan makanan, dan berkata “Hari ini juga masakanmu rasanya enak” sembari melihat bahwa Mahiru masih menatapnya dengan sedikit ekspresi tercengan di matanya. Dia menghela nafas pelan, tidak berniat untuk mengatakan apa-apa lagi.

“Selain itu, jumlah meteor di hujan meteor ini sedikit lebih rendah dari tiga hujan meteor besar, tetapi lebih mudah untuk mengamatinya di luar ruangan dalam iklim sedang, jadi kelihatannya para anggota klub astronomi akan mengamati hujan meteor sebagai bagian dari kegiatan klub mereka.”

“Kalau dipikir-pikir, kurasa aku mendengar salah satu orang dari klub astronomi di kelasku pernah membicarakannya.”

Itu merupakan tingkah tidak baik untuk mendengarkan percakapan orang lain yang tidak perlu, dan teman sekelas yang tidak dekat dengannya hampir seperti orang asing baginya, jadi bahkan jika Amane mendengarnya, ia hanya akan menganggapnya sebagai angina lalu belaka.

Akibatnya, Amane jdai kehilangan kesempatan untuk berinteraksi dengan orang lain. Dirinya menyadari bahwa itu tidak baik untuknya, tapi Amane tidak punya niat untuk memperbaikinya.

“Amane-kun, kamu benar-benar tidak tertarik dengan hal-hal yang tidak kamu minati dari pikiranmu. Ketika kamu berbicara dengan orang lain, kamu dapat berkomunikasi dengan lancar jika kamu memulai dengan apa yang mereka minati.”

“Aku tidak begitu tertarik pada orang lain selain Mahiru, Itsuki, Chitose, dan Kadowaki. Itu saja sudah cukup bagiku.”

Jika Mahiru, Itsuki, atau Chitose yang memberitahunya tentang hal itu, dia akan mengingatnya dengan tepat. Tapi jika ia mendengarnya dari pihak yang tidak ia kenal, Amane akan melupakan percakapan itu setelah mendengarnya dengan ringan.

“Yah, kedengarannya seperti Amane-kun banget.”

“Aku tidak terlalu ingin terlibat dengan orang lain. Aku bukan tipe orang yang punya banyak teman. Aku lebih ke tipe orang yang suka menjaga lingkaran pertemananku tetap kecil tapi dalam.”

“Karena Amane-kun memiliki lingkara pertemanan yang sempit. Kalau aku sih pada dasarnya dangkal tetapi lebar dengan parit di tengah.”

“Parit?”

“Artinya kamu adalah tipe orang yang memperdalam persahabatannya sampai pada taraf istimewa.”

Mahiru tertawa nakal ketika Amane bertanya-tanya apakah ia termasuk dalam kategori khusus itu, tetapi dia kira dia tidak perlu bertanya.

Jika Amane tidak sombong, dirinya yakin bahwa dia termasuk salah satu teman terdekatnya. Dirinya masih ragu bahwa ia memiliki hubungan paling dekat dengannya karena Mahiru juga waspada terhadapnya tapi dia kadang-kadang memanjakannya juga. Jadi bisa diasumsikan kalau dirinya termasuk ke dalam kategori khusus.

Setelah memikirkannya lagi membuatnya merasa agak malu, jadi Amane menyeruput sup miso lagi untuk menutupi rasa malunya.

Acara TV masih menyiarkan informasi tentang kapan waktu terbaik untuk melihatnya, dan di area mana ia dapat diamati dengan baik. Menurut acara TV tersebut, daerah tempat tinggal Amane dan Mahiru termasuk dalam kategori tempat menonton terbaik. Cuacanya diperkirakan  tidak berawan menurut ramalan cuaca sehingga itu menjadi tempat sempurna untuk observasi.

Dengan kondisi yang sangat mendukung, Amane mulai berpikir bahwa tidak ada salahnya untuk melakukan sedikit pengamatan.

“Kadang-kadang bisa melihat fenomena hujan meteor kelihatannya menyenangkan.”

“Fufu, lagipula karena ini merupakan kesempatan langka, sih. Cuaca selalu buruk ketika ada fenomena hujan meteor.”

“Karena cuacanya tidak selalu cerah sih.”

“Itu benar, itu sebabnya hari ini merupakan kesempatan yang sempurna.”

“… Tapi, waktu yang bagus untuk menontonnya itu larut malam, ‘kan? Yah, kurasa aku baik-baik saja meskipun bakal bikin ngantuk, tapi aku khawatir itu akan mempengaruhiku besok pagi. Mumpung besok tidak ada jam pelajaran olahraga, jadi kurasa aku bisa melihat keluar jendela sebentar.”

Amane tidak ingin begadang semalaman jika ada jam pelajaran olahraga keesokan harinya, terutama kalau di suruh lari marathon, itu sama saja dengan tindakan bunuh diri. Tapi kalau hanya pemanasan dan olahraga ringan, ia berpikir itu takkan terlalu berdampak untuk hari ini. Amane adalah tipe orang yang tidak keberatan untuk tidur dalam waktu yang singkat.

Amane biasanya bukan orang yang suka begadang, tapi ia tidak punya masalah begadang lebih larut dari biasanya di saat-saat seperti ini. Jika memungkinkan, rasanya akan lebih baik untuk mengamati di tempat yang luas seperti taman, tapi akan berbahaya untuk keluar pada malam hari da nada kemungkinan kalau dirinya ditangkap karena menjadi orang mencurigakan yang keluyuran malam-malam

Paling banter, ia bisa melihatnya dari balkon apartemen. Meskpiun begitu, hal itu tidak akan mengganggu penglihatannya untuk melihat langit malam. Jadi Amane berencana melakukannya kali ini. Saat ia berpikir untuk segera menyelesaikan tugas PR-nya secepat mungkin dan membuat pengaturan mengenai tugas-tugas yang akan datang, Amane kebetulan melihat Mahiru yang terlihat gelisah, bercampur dengan beberapa kecanggungan.

“… apa ada yang salah?”

“Tidak, akujuga ingin melihatnya, tapi aku bertanya-tanya apa yang harus kulakukan.”

“Apa karena begadang adalah musuh terburuk kulitmu?”

Mahiru memiliki ritme yang konstan dalam hidupnya dan sikapnya terhadap kecantikan lebih tulus daripada yang lain. Dia mengatakan bahwa dia perlu memastikan untuk tidur nyenyak karena kulitnya akan beregenerasi saat dia tidur.

“Yah, ada juga alasan itu... tapi bukannya hujan meteor akan lebih menarik untuk diamati ketika tidak ada cahaya di sekitar, bukan?”

“Yah, memang sih.”

Amane berpikir bahwa langit berbintang akan terlihat lebih indah di pedesaan daripada di kota. Selain karena masalah emisi gas mobil, kurangnya penerangan cahaya yang tidak perlu akan memungkinkan mereka untuk berkonsentrasi pada bintang-bintang yang berkelap-kelip.

Cahaya di kegelapan malam adalah bukti aktivitas manusia, tetapi cahaya itu akan mengganggu kecermelangan bintang-bintang yang lahir dari pembakaran bintang-bintang. Tentu saja, jika penonton hujan meteor menyalakan lampu, kecerahan bintang-bintang akan terlihat kurang mempesona bagi mata manusia.

“… Aku tahu ini mungkin terdengar kekanak-kanakan, tapi aku takut sendirian dalam situasi gelap gulita.”

Ucap Mahiru ketika dia kesulitan memilih kata-katanya, dia memiliki senyum bermasalah di wajahnya.

“Kalau waktu tidur sih, aku merasa baik-baik saja, tapi... Umm, kalau Cuma duduk menunggu dalam diam, rasanya membuatku jadi tidak nyaman dan gelisah.”

Mahiru menunduk dengan murung dan menurunkan pinggulnya saat dia semakin menurunkan suaranya. Dia lalu mendongak seakan-akan menyadari tatapan Amane, dan kemudian tersenyum canggung seolah ingin menutupi kepanikannya. Amane telah menghabiskan waktu beberapa bulan dengan Mahiru dan tahu bahwa itu bukan kelebihannya.

“Oleh karena itu, kupikir pihak observatorium akan meninggalkan arsip siaran langsung di situs video, jadi kupikir aku akan menontonnya.”

“... Apa kamu tidak merasa kesepian?”

“Itu sih, umm... rasanya terkadang kesepian.”

Walaupun dia tidak menggunakan kata “takut” tetapi Mahiru bertindak seolah-olah tidak menunjukkan kecemasan di wajahnya dan terlihat agak ketakutan. Amane tidak bisa mengabaikannya begitu saja setelah melihatnya dalam keadaan seperti itu.

“… Apa kamu ingin datang ke rumahku untuk melihatnya?”

“Eh?”

“Aku berniat begadang malam ini untuk menontonnya, jadi jika kamu ingin mampir ke sini dan menontonnya bersamaku, aku sama sekali tidak keberatan.”

Karena mereka berdua memiliki tujuan yang sama, tidak akan menjadi masalah jika mereka melihatnya bersama-sama. Bagaimanapun juga, mereka selalu bersama di ruangan ini dan mereka sudah terbiasa berduaan, jadi Amane yakin tidak ada yang perlu dikhawatirkan.

Tapi, ketika Amane melihat ke arahnya, Mahiru justru mengedipkan kelopak matanya berkali-kali seolah tercengang dengan apa yang dia dengar. Amane mulai bertanya-tanya mengapa dia begitu terkejut tapi saat berikutnya ia menyadari bahwa dia telah mengatakan sesuatu yang sangat tidak masuk akal dan tak sengaja keceplosan bilang, “Ah!”.

(Kalau dipikir-pikir lagi, tidak baik bagi seorang gadis untuk tinggal berduaan dengan seorang pria sampai larut malam!?)

Amane membuat usulan tersebut karena sudah menjadi hal yang wajar karena Mahiru merupakan tetangga sebelahnya, tapi itu bukan hal yang wajar bagi seorang pria dan wanita yang tidak menjalin hubungan untuk berada di kamar yang sama sampai larut malam.

Tentu saja, Amane tidak bermaksud seperti itu, tapi memang benar dia mengatakan sesuatu yang mungkin dipertanyakan tergantung bagaimana Mahiru menanggapinya. Jadi tidak mengherankan jika Mahiru terkejut.

“Ti-Tidak, aku tidak bermaksud yang aneh-aneh!? Hanya saja... aku berpikir kalau aku bisa menontonnya bersama seseorang di sebelahku, maka kita bisa menontonnya bersama-sam.”

“... Aku boleh tinggal di sini?”

Sorot matanya seolah-olah dia telah menemukan harapan, dan meskipun Amane sendiri yang menyarankan, tapi ia justru merasa lebih terancam.

“Eh, se-seharusnya aku yang bilang begitu ... tapi kenapa kamu tidak menganggap kalau ajakan itu berbahaya?”

“Jika kamu benar-benar akan melakukan sesuatu, maka kamu takkan mengatakan hal-hal semacam itu sebelumnya.”

“… Memang sih. Tapi setidaknya waspada sedikit, kek.”

“Aku masih waspada, kok?”

Itu pasti bohong, begitulah yang dipikirkan Amane, tapi yang penting adalah Mahiru memiliki ekspresi cerah di wajahnya. Bohong rasanya ia mengatakan bahwa tidak ada pikiran buruk yang muncul di benaknya.

Walaupun Amane sendiri yang mengajaknya, dirinya tidak ada niatan melakukan sesiatu yang aneh-aneh kepada Mahiru, oleh karena itu pemikiran buruk yang sempat terlitas di benaknya takkan menjadi masalah asalkan ia simpan sendiri di dalam batinnya. Jadi, ia memutuskan untuk berpikir demikian.

“... Kalau begitu, aku akan pulang dulu setelah makan malam... Aku akan pulang dan kembali setelah mandi dan berganti pakaian...”

“Ok-Oke. Aku akan bersiap-siap untuk tempat tidurmu juga.”

Jadi Mahiru memutuskan untuk tinggal. Senyum lembut yang memancarkan rasa nyaman dan kebahagiaan terpancar di wajahnya menyebabkan tatapan Amane menngalihkan pandangannya.

“Aku sangat menantikan pemandangan bintang jatuh nanti.”

Amane berhasil menjawab “ya” dengan nada suaranya yang sedikit melenting dan manis. Ia lalu kembali menyesap sup miso yang hampir habis untuk menutupi perasaannya.

 

♢♢♢♢

 

“Permisi, maaf sudah merepotkanmu.”

Seperti yang dia katakan, Mahiru pulang ke unit apartemennya dan kembali dengan wajah malu-malu sebelum tanggal berubah.

Mahiru kembali dengan pakaian kasual karena tahu itu akan menjadi masalah besar jika dia datang dengan memakai piyamanya. Rambutnya dikepang longgar menjadi sanggul tunggal dan mengenakan gaun one-piece berwarna krem ​​yang longgar.

Amane sadar kalau itu mustahil, tapi ia sempat berpikir untuk menyuruh Mahiru berganti baju jika dia datang dengan piyama tidurnya, jadi Amane merasa lega dalam hati karena dia tidak melakukan begitu.

Amane khawatir kalau dia mungkin menatapnya dengan curiga karena baru saja menyapanya, tetapi Mahiru hanya tersenyum lembut. Amane tidak tahu apakah dia menyadari kegelisahan batinnya atau tidak.

“…Ummm, kamu tahu, pemandangan terbaik hanya bisa dilihat saat larut malam. Jadi kupikir akan sulit untuk begadang sampai selama itu… apa kamu seriusan tidak masalah?”

“Ya, terima kasih atas perhatianmu.”

Setelah Amane mempersilakannya masuk, Mahiru membungkuk dengan sopan dan melangkah ke ruang tamu bersama Amane.

Sementara itu, Amane memindahkan meja rendah dari jendela agar lebih mudah untuk diamati. Ia juga meletakkan bantal favorit Mahiru di dekat jendela.

Amane sempat berpikir untuk mengeluarkan bantal malas kesukaan Mahiru dari kamar tidurnya. Akan tetapi, ia tidak jadi mengeluarkannya karena berpikir bahwa dia mungkin akan dibuat terlalu nyaman dan akhirnya malah tertidur.

Ia juga menyiapkan selimut kecil sebagai selimut pangkuan. Tapi karena Mahiru berpakaian ringan, Amane jadi mengeluarkan jaket besar yang sudah ia persiapkan, dan meletakkannya di atas bahu Mahiru, lalu pergi untuk duduk di sebelahnya.

“Kamu sangat perhatian sekali, ya.”

“...Biasanya kamu lah yang lebih perhatian. Setidaknya aku akan bersiap untuk saat-saat seperti ini.”

Amane bertanya-tanya apakah persiapannya nasih dianggap kurang sembari mengambil remote control dan mematikan lampu yang membuat Mahiru sedikit bergidik.

“Maaf, seharusnya aku memberitahumu dulu sebelum mematikannya.”

“Tidak... aku hanya sedikit kaget saja, kok.”

Meskipun Mahiru mengatakan itu, dia berpikir bahwa dia seharusnya tidak menunjukkan bahwa dia meraih ujung kaus yang dikenakan Amane.

Tanpa mengucapkan sepatah kata pun, Amane mencondongkan tubuhnya sedikit lebih dekat ke arah Mahiru sehingga tidak terlihat tidak wajar baginya, ia kemudian dengan lembut mengalihkan pandangannya untuk melihat ke luar jendela.

Meski biasanya Amane tidak menyadarinya, tapi ketika ia menatap ke atas langit, ia bisa melihat kegelapan malam yang dihiasi titik-titik cahaya kecil. Warnanya biru tua dan nyaris hitam dengan sedikit campuran biru dan ungu di dalamnya, sehingga membuatnya tampak transparan dan tidak terlihat.

Warna-warnanya begitu tenang sehingga Amane bertanya-tanya apakah bintang-bintang mencoba menunjukkan kecemerlangan mereka yang tersebar. Mungkin karena udara hari ini lebih bersih dari biasanya, tetapi kerlap-kerlip cahaya kecil yang mewarnai langit tampak lebih kuat.

‘Indah sekali,’ Amane menggumamkan kata-kata itu tanpa bersuara dan melirik ke arah Mahiru, yang diam-diam menatap ke langit melalui jendela.

Cahaya rembulan dengan sempurna menerangi lekukan tubuhnya yang terlihat elok.

Mungkin itu hanya imajinasinya saja tapi bulu mata Mahiru yang panjang tampak bersinar lembut dalam cahaya pucat, atau apakah mata Amane terpengaruh oleh orang yang dia cintai?

Namun, yang pasti, Mahiru yang duduk di sebelahnya terlihat sangat berbeda dari biasanya. Sosoknya tampak lembut, rapuh, namun entah bagaimana terlihat misterius sekaligus menawan.

“… Indah sekali, ya. Aku belum pernah melihat satu pun bintang jatuh, tapi menurutku pemandangan langit mala mini masih terlihat menakjubkan.”

Ketika Mahiru menyadari tatapannya, dia berbalik untuk menatapnya dan tersenyum sedikit. Amane menyadari bahwa dirinya hampir  melupakan dirinya sejenak dan kemudian buru-buru menganggukkan kepalanya.

“Benar juga, aku belum pernah melihat bintang dengan tenang di tengah malam seperti ini, jadi menurutku ini pengalaman sangat menyegarkan.”

“Tampaknya sangat mudah untuk menenangkan diri dan melihat bintang-bintang, tapi hal itu jarang terjadi di masyarakat modern yang penuh tekanan saat ini.”

“Kurasa begitu. Yah, sayangnya, agak sulit untuk melihat pemandangan langit malam dari sini. Jika berada di rumah orang tuakku, aku mungkin bisa berbaring di atas selembar kain piknikdi halaman dan menontonnya. Di sana jauh lebih mudah untuk melihat bintang-bintang daripada di sini.”

Daerah di mana rumah orang tuanya berada minim polusi cahaya karena di sana masih jarang sekali aktivitas manusia. Oleh karena itu,  bintang-bintang di sana tampak indah.

Halaman rumah orang tuanya juga cukup besar dan terawat dengan baik, sehingga memungkinkan untuk meletakkan selembar kain dan melihat bintang-bintang. Amane sedikit bernostalgia karena pernah melihat bintang dengan orang tuanya ketika masih kecil, meskipun itu bukan hujan meteor.

“Fufu, membayangkannya saja sudah luar biasa.”

“Yah, karena tempatnya lebih mirip seperti pedesaan daripada di sini. Pemandangannya juga terlihat indah.”

“Kayaknya enak, ya. Rumahku berada di lantai atas sebuah gedung apartemen, jadi aku bisa melihat langit malam dengan indah, tapi… Aku yakin kalau pemandangannya akan jauh lebih inda jika melihatnya dari rumah orang tua Amane-kun.”

Sementara Amane dibuat bingung dengan bagaimana menanggapi kata-katanya, Mahiru memberinya senyum lembut dan diam-diam mengalihkan pandangannya ke arah luar. Tatapannya seolah-olah melihat tempat yang sangat jauh.

“Sekarang itu terlihat jauh lebih indah dari sebelumnya.”

“… Begitu ya.”

Setelah berhasil mengatakan itu, Amane tidak membuka mulutnya lebih jauh dan menatap langit dengan cara yang sama. Ia berpikir untuk pergi ke balkon, tetapi ia tidak mau pergi dalam situasi seperti ini dengan Mahiru yang berada di sampingnya, jadi Amane hanya diam-diam memandangi langit berbintang.

Langit berbintang yang membawa kecemerlangan zaman kuno ke masa kini, tidak memberi tahu mereka berdua apa pun, tetapi hanya membawa cahaya redup untuk menerangi kegelapan malam yang lembut. Keheningan misterius dan nyaman memenuhi ruangan.

Satu-satunya suara yang bisa mereka dengar hanyalah napas satu sama lain dan gemerisik pakaian. Di suatu tempat di kejauhan, klakson mobil bisa terdengar. Kira-kira sudah berapa lama waktu berlalu sejak itu?

Mahiru mengeluarkan kata “ahh” kecil dengan suara yang kekanak-kanakan dan kehabisan kata-kata.

Amane secara refleks menatap ke arah Mahiru dan melihat matanya yang jernih mengarahkan pandangannya ke langit, seolah-olah dia sedang mengikuti sesuatu dan membelainya. Amane melihat mata indahnya tampak berkilau seindah bintang-bintang, dan melihat sosoknya dengan linglung. Dan kemudian, setelah tertunda, ia akhirnya baru menyadari kalau Mahiru baru saja menemukan bintang jatuh.

Amane bergegas dan melihat ke luar tetapi umur bintang jatuh itu pendek dan sudah lama terbakar. Ia berpikir dalam hati, “Aku terlambat melihatnya”tapi itu mungkin sepadan karena dirinya baru saja melihat sesuatu yang lebih indah daripada bintang jatuh.

“... apa kamu mengajukan permintaan pada bintang jatuh tadi?”

“Bukannya hal-hal semacam itu tidak boleh diberitahu supaya permintaan bisa menjadi kenyataan?”

“Apa memang begitu masalahnya?”

“Pertama-tama, permintaanku saat ini lebih seperti harapan atau sumpah daripada keinginan...”

‘Itu sebabnya ini rahasia,’ ujar Mahiru dengan makna tersirat dan tersenyum berseri-seri seraya menatap Amane.

“Jadi, Amane-kun sendiri membuat permintaan seperti apa?”

“Ehh, enggak, ... aku tidak membuat permintaan apapun, kok.”

Mana mungkin Amane bisa mengatakan kalau dirinya terlalu mengagumi sosok Mahiru ketimbang melihat bintang jatuh, jadi ia mencoba untuk menutupinya secara samar dan ambigu, tapi sepertinya niat Amane sudah jelas. “Kamu tidak melihatnya dengan benar, kan?” Mahiru tertawa mengejeknya.

“Ugh ... aku akan melihatnya dengan benar lain kali.”

“Fufu, tolong lakukan.”

Mahiru tertawa dengan tangan menutupi mulutnya dan kembali menatap keluar jendela. Kali ini, Amane juga mencoba melihat bintang jatuh tanpa disuruh oleh Midday, dan menyadari bahwa tubuh Mahiru sedikit gemetar.

Meskipun sekarang sudah memasuki musim semi, suhu di malam hari masih terasa dingin ditambah lagi AC ruang tamu dinyalakan, tetapi persepsi suhu Amane berbeda dengan Mahiru. Pada dasarnya, Mahiru bukanlah tipe orang yang suhu tubuhnya setinggi itu, jadi mungkin jaket dan selimut yang sudah dia kenakan tidak cukup untuk membuatnya tetap hangat.

Amane dengan lembut melihat wajahnya seraya berpikir kalau dirinya masih kurang perhatian. Tapi kemudian melebarkan matanya karena terkejut.

“… Apa kamu merasa kedinginan?”

“Tidak, aku baik-baik saja karena kamu sudah meminjamkanku jaketmu, Amane-kun... jaketmu besar dan hangat.”

“… Syukurlah kalau begitu.”

Mahiru yang dengan kuat menarik lengat hoodie-nya ke dalam lengan bajunya sambil tersenum, Amane merasa malu dan menahan pipinya agar tidak mengendur saat tersenyum pada Mahiru. Ketika Mahiru yang memakainya, jaket hoodie-nya jadi terlihat kebesaran.

Amane tidak tahu apa itu hanya berlaku pada dirinya saja atau pria lain juga merasakan hal yang sama, tapi ia suka melihat hal semacam ini yang membuat perbedaan ukuran tubuh terlihat, dan itu membuatnya merasa malu.

Jari-jari kecil Mahiru yang mencuat dari lengan baju dan mencengkeram ujung jaket Amane terlihat sangat menggemaskan. Ia mencoba untuk bangun dengan perasaan senang dan canggung yang tak terlukiskan.

“… Umm, aku akan membuatkan minuman hangat, jadi tetaplah di sini.”

“Ah…”

Namun, hanya suara kecil dan sedikit perlawanan yang membuat pinggulnya kembali terduduk di atas sofa. Tangan Mahiru yang tadinya memegang ujung jaket, kini menggenggam tangan Amane, seakan-akan ingin mengatakan untuk jangan pergi meninggalkannya.

Jari-jarinya yang ramping itu terasa jauh lebih dingin, masih sedikit lebih dingin dari biasanya dan juga menggigil yang tampaknya bukan disebabkan oleh kedinginan.

“Ma-Maafkan aku akrena sudah menahanmu.”

“… Tidak, aku tidak apa-apa, kok.... tapi tangan Mahiru terasa agak dingin.”

Mahiru tertegun saat ujung jarinya yang kurus mencoba menjauh seolah-olah dia panik, tetapi Amane menggenggam tangannya seolah-olah ingin membungkusnya dengan tangannya.

Amane menduga bahwa dia takut ditinggalkan sendirian tetapi tidak mengatakannya dengan keras. Mahiru yang dengan lembut mengandalkan cengkeramannya, tidak mencoba melepaskan Amane lagi walaupun dia tampak malu-malu seraya sedikit mengalihkan pandangannya.

“Itu karena tangan Amane-kun terasa begitu hangat. Tangan Amane-kun begitu hangat dalam artian banyak hal. Aku jadi merasa sangat nyaman berada di sisimu.”

“… Begitukah?”

Amane tidak bisa bertanya apa yang dia maksud dengan nyaman tetapi setidaknya dirinya tahu bahwa Mahiru melihatnya dengan baik. Itu saja sudah cukup bagi Amane untuk saat ini.

Mahiru melirik jam sambil berpegangan tangan dengan lembut. Dia menyipitkan matanya untuk memeriksa angka-angka dan melihat bahwa sudah hampir dua jam sejak mereka mulai mengamati bintang jatuh.

“Baru pertama kalinya aku begadang sampai selarut ini. Aku biasanya begadang selarut ini kalau tidak bisa tidur. Kelihatannya aku sudah menjadi gadis nakal, ya.”

“Gimana kalau sesekali menjadi gadis nakal? Karena aku akan menjadi anak nakal denganmu.”

“...fufu, kamu tidak keberatan kalau aku menjadi gadis nakal?”

“Semua orang pernah melakukan hal baik dan hal yang nakal, bukan? Karena kita adalah manusia, jadi kita tidak harus melakukan semuanya dengan benar. Setidaknya untuk hari ini, tidak ada salahnya melakukan sesuatu yang nakal. Hanya ada aku dan Mahiru di sini, jadi tidak ada yang akan menyalahkan kita atau mengeluh.”

Ketika Amane tertawa dan mengatakan bahwa itu tidak masalah selama mereka merahasiakannya, Mahiru pun ikutan tertawa seolah-olah dia telah tertangkap basah oleh tindakan itu.

Setelah memegang kembali tangan Amane dengan senyuman yang memancarkan perasaan lega dan kebahagiaan seolah-olah dia sudah dimaafkan, Mahiru mencondongkan tubuhnya lebih dekat ke arah Amane.

Walaupun Amane membeku sejenak, tapi Ia pura-pura tidak tahu karena dia tidak ingin itu dianggap sebagai penolakan. Tapi, Mahiru dengan lembut mendekatkan wajahnya ke samping telinga Amane.

“... Apa aku boleh menjadi gadis yang sedikit lebih nakal lagi?”

“Tentu, ada apa memangnya?”

“… Aku merasa lapar. Jadi ayo makan malam.”

Suara pelan Mahiru dengan campuran rasa bersalah yang halus seakan-akan menyiratkan kalau dia sudah melakukan sesuatu yang buruk. Sepertinya Mahiru membutuhkan banyak keberanian untuk melakukan 'kenakalan' yang sepele seperti itu.

Amane mengangguk sambil tersenyum lembut pada kenakalan yang sangat menggemaskan ini..

“Aku sangat setuju. Mari kita lakukan kenakalan ini bersama-sama.”

Menyantap semangkok mie instan dengan banyak topping di tengah malam akan menjadi hal yang buruk untuk dilakukan.

Kali ini Amane dan Mahiru berdiri bergandengan tangan sambil tertawa ringan.

“Kurasa ada telur yang sudah dibumbui, daging babi rebus, dan keju di dalam kulkas. Ayo kita gunakan semuanya juga.”

“... sepertinya makanan yang begitu akan sulit dicerna di tengah malam.”

“Apa boleh buat ‘kan, karena itu adalah hal yang nakal.”

Ketika Amane memberitahunya dengan nakal, Mahiru tersenyum bahagia, seolah-olah dia merasa sedikit bersenang-senang.

Mereka berdua saling tertawa dan menuju dapur. Kali ini tangan Mahiru yang menggenggam tangan Amane sama sekali tidak gemetar.

 

 

Sebelumnya  ||  Daftar isi  ||  Selanjutnya

 

close

Posting Komentar

Budayakan berkomentar supaya yang ngerjain project-nya tambah semangat

Lebih baru Lebih lama