Otonari no Tenshi-sama Jilid 5.5 Bab 14 Bahasa Indonesia

Chapter 14 — Menginap dan Bercerita Tentang Masa Lalu

 

“Mahirun tuh memiliki kulit yang mulus, ya?”

Mahiru dalam keadaan linglung ketika dia mendengar suara kulitnya memantul di air. Saat itulah Chitose, yang berendam di depannya, bergumam pada Mahiru.

Bak mandinya cukup luas untuk satu orang tapi rasanya agak sempit untuk dua orang.

Namun demikian, karena sempitnya bak mandi juga terasa nyaman, kehadiran Chitose sudah dianggap biasa untuk Mahiru. Chitose datang untuk tinggal bersamanya selama liburan. Chitose ingin mandi bersamanya dan Mahiru mengizinkannya. Tapi, meskipun mereka berasal dari jenis kelamin sama, Mahiru masih merasa tidak nyaman kalau terus-terusan ditatap seperti itu.

Alasan mengapa dia tidak merasa tersinggung karena Chitose memujinya dengan kekaguman yang tidak campur aduk.

“Terima kasih, jika memang terlihat seperti itu, kurasa hasilnya sepadan dengan upaya yang sudah kulakukan.”

Dia mengangguk dengan jujur ​​karena tidak ada alasan baginya untuk bersikap merendah dengan Chitose.

Mahiru adalah tipe orang yang mau bekerja keras untuk mempertahankan standar yang tinggi untuk dirinya sendiri. Dan tentu saja, dia merawat kulitnya dengan sangat baik.

Dia mengenakan pakaian yang lembut saat disentuh dan lembut pada kulit, menyantap makanan dengan diet seimbang, dan berisitirahat yang cukup serta sangat berhati -hati untuk tidak mengekspos kulitnya yang tidak terlindungi ke sinar UV dengan menjaga kulitnya tetap kering dan menghindari sengatan langsung sinar matahari.

Dia selalu mencoba membersihkan dan membasuh tubuhnya dengan lembut serta berhati-hati untuk menghindari pencucian yang berlebihan dan merusak kulit. Dia akan melembabkan dirinya dengan lotion, krim, dan minyak setelah mandi.

Itulah sebabnya dia berhasil mempertahankan kulit yang halus dan bercahaya yang terasa enak saat disentuh.

Koyuki yang merupakan pembantu rumah tangganya, mengajarinya untuk tidak boleh berpuas diri hanya karena dia masih muda dan kecantikannya akan hancur seiring bertambahnya usia. Jika dia ingin mempertahankan kecantikannya, dia perlu melakukan upaya terus menerus.

Mahiru sadar akan upaya yang dia lakukan dan menerima pujian itu sebagai hal yang biasa. Hanya saja, Mahiru merasa geli karena tatapan Chitose meluas ke wajahnya, tulang selangka-nya, dan mengekspos bagian tubuhnya yang berada di atas air panas, tapi dia tidak berniat menyalahkan Chitose. Seperti yang diharapkan, dia tidak suka ketika orang menatapnya.

“... Kulitmu terasa halus dan sangat putih. Punyaku sedikit kecokelatan jadi aku agak iri padamu.”

“Kurasa itu kurang benar. Memang benar aku lebih putih darimu tapi itu karena kamu lebih aktif di luar, tapi menurutku itu warna kulit yang sehat dan terlihat bagus untukmu. Jika aku melangkah lebih jauh, aku mungkin bakalan pucat dan bukannya putih.”

Chitose memiliki warna putih darah yang sangat sehat, bukan warna putih transparan yang terlihat seperti Mahiru, karena dia benar-benar menghindari sengatan matahari.

Mahiru harus berhati-hati untuk tidak terbakar sinar matahari karena ketika kulitnya terbakar karena sinar matahari, kulitnya akan berubah menjadi merah dan harus siksaan yang menyakitkan sampai dia disembuhkan. Jadi, kulit sehat seperti Chitose sebenarnya diam-diam membuat Mahiru merasa iri.

Chitose mengatakan bahwa kulit Mahiru itu indah, tapi tubuh Chitose yang ramping dan lentur juga terlihat sama eloknya dari sudut pandang Mahiru.

Walaupun Chitose pemakan yang banyak dan tidak khawatir tentang kalori, tapi dia juga banyak berolahraga yang merupakan sesuatu yang Mahiru kagumi sebagai seorang wanita.

" Aku tahu aku meminta sesuatu yang tidak kumiliki, tapi aku benar-benar iri pada Mahiru. Tentu saja, aku tahu kalau kamu bekerja sangat keras, tapi ada juga yang namanya faktor genetik. Aku tidak bisa mengubah warna kulit asliku atau ukuran payudaraku bahkan jika aku berusaha keras, ‘kan?”

Ketika Chitose berkata dengan nada tragis, “Tidak peduli apapun yang aku lakukan, aku tidak bisa membuatnya lebih besar," yang bisa dilakukan Mahiru hanyalah menurunkan alisnya.

Mahiru mengerti dia tidak boleh mengomentari hal ini karena ada beberapa faktor genetik, dan itu bisa jadi menyindiri karena dia sangat menyadari bentuk tubuhnya sendiri.

Mahiru dengan ringan menekan tonjolan di area dadanya yang terasa lebih ringan dari biasanya karena dia berendam di dalam air panas. Dia dengan lembut menghela nafas.

Dia tidak bisa mengatakan banyak tentang payudaranya, karena payudaranya tumbuh sendiri daripada melalui upaya.

Dia juga mengalami kesulitankarena harus  menyesuaikan ukuran pakaian dalamnya sejak dia memasuki masa pubertas, dan dia bahkan merasa tidak nyaman ketika orang-orang menatapnya dengan tatapan tak senonoh secara terus menerus sejak sekolah SD dan SMP. Namun, ini bukan informasi atau referensi yang ingin didengar Chitose.

“Aku benar-benar merasa jengkel karena Ikkun sering meledekku. Saya tidak tahu harus berbuat apa karena punyaku masih saja tidak tumbuh besar padahal sudah diberi nutrisi atau digosok. Tidak ada yang bisa aku lakukan untuk membuatnya lebih besar, dan kupikir itu semua kesalahan Ikkun.”

“Kurasa itu bukan sesuatu yang harus kamu bicarakan!?”

“Karena cuma ada aku dan Mahirun saja di sini, jadi tidak masalah sama sekali. ... Mahirun, kebannyakan cowok pada umumnya lebih suka yang lebih besar, jadi kamu tidak perlu khawatir.”

“Itu bukan informasi yang meyakinkan dan Amane-kun mungkin saja tidak menyukai yang besar!”

“Aku tidak membicarakan tentang Amane, kok.”

“Ughh.”

“Oke, oke, aku yang salah. Jangan serang aku dengan gerombolan bebek karetmu.”

Bebek yang mengambang di bak mandi bergerak menuju Chitose seolah-olah membawanya keluar. Senyum di wajah Chitose menjadi lebih dalam.

Astaga, bahkan ketika Mahirumenatapnya, senyumnya sama sekali tidak goyah.

“Sudah kuduga, kamu juga merasa sensitif terhadap kesukaaan cowok yang kamu suka, bukan?”

“... Menurutku Amane-kun adalah tipe orang yang tidak peduli dengan penampilan fisik seseorang.”

“Yah, ya, Amane-kun tidak terlalu peduli tentang bentuk tubuh jika menyukaimu, tapi sekali lagi ada teori- yang mengatakan kalau semakin besar maka semakin baik. Tapi kurasa Mahirun tidak perlu mengkhawatirkannya, ya.”

“... Amane-kun bukanlah orang yang semesum itu.”

“Kupikir itu cuma ilusi Mahirun saja. Amane juga…. Setidaknya, Amane Juga anak cowok, loh.”

“Bukannya itu prasangka yang mengerikan?”

“Itu sudah menjadi rahasia umum.”

Jika berbicara tentang perilaku, tingkah laku Amane jauh lebih sopan dan ideal jika dilihat dari sudut pandang Mahiru, tetapi pada topik ini, ia mungkin juga tidak ideal.

Seolah -olah memperburuk keadaan, Chitose justru mengkategorikan Amane sebagai pria yang dua kali lebih buruk, yang tentu saja mengkhawatirkan dari sudut pandang Mahiru. Tapi dia tidak banyak mengeluh karena dia menyukai Amane. Terkadang dirinya juga sempat khawatir pakah dia tidak cukup menarik.

“... yah, kesampingkan dulu masalah payudara dan semuanya.”

“Chitose-san sendiri yang mulai membicarakannya.”

“Sudah sudah. Kurasa kulit Mahiru itu indah. Aku penasaran apa aku harus menyebutnya kulit telur? Aku menyukai kulitmu yang halus, lembab, dan berkilau.”

“Bukannya telur adalah zat seperti jeli?”

“Bukankah kulitmu sudah seperti jeli? Kulitmu terasa sangat halus. ... kamu menggunakan apa untuk melembabkannya?”

“Aku biasanya hanya menggunakan lotion, krim, dan minyak. Apa kamu ingin mencobanya, Chitose-san? Meskipun aku tidak tahu apakah itu akan sesuai dengan kulitmu.”

Mahiru adalah tipe orang yang menghabiskan banyak uang untuk produk perawatan kulit, tetapi tidak peduli seberapa bagusnya produk tersebut, produk tersebut tidak akan cocok untuk semua orang.

Tergantung pada jenis kulit seseorang, jadi apa yang berhasil untuk Mahiru mungkin belum tentu ampuh untuk Chitose, tetapi terserah Chitose untuk mencobanya dan membuat pilihan sendiri.

“Eh, apa boleh? Apa Salon Kecantikan ala Mahirun akan dibuka?”

“Ini bukan masalah besar kok. Aku hanya memijat dengan sedikit minyak di tubuhku, dan kamu bisa melakukannya sendiri. Kamu mungkin tidak ingin aku menyentuh tubuhmu, ‘kan?”

“Eh~ Aku sih tidak keberatan menyentuh atau disentuh oleh Mahirun. Malahan aku lebih suka menyentuhmu.”

“... memangnya di mana kamu akan menyentuhku?”

Tatapannya bergerak ke arah tubuhnya, jadi Mahiru segera menyembunyikannya dengan kedua lengannya. Tapi Chitose hanya tertawa dan melambaikan tangannya sambil mengatakan “Aku cuma bercanda doang kok, hanya bercanda.”

“Sudah kuduga, kalau masalah ingin disentuh, kamu pasti ingin disentuh oleh Amane, ‘kan~.”

“... Chitose-san."

"Fufu, aku tidak akan takut dengan wajah merah seperti itu. Yang ada kamu justru kelihatan imut ... baiklah, aku mengerti, jangan memelototiku."

“Memangnya salah siapa coba?”

“Sudah, sudah... tapi sungguh menakjubkan bahwa Amane melekat pada seseorang seperti ini dan dengan lembut menariknya tanpa ada yang tahu.”

“Bukannya berarti kami bisa bersatu karena sengaja.”

"Ya, itu wajar untuk Mahirun yang merupakan setan kecil yang alami.”

“Aku sama sekali tidak alami.”

“Ya ya, baiklah.”

Senyum hangat dan sorot matanya menusuk hati Mahiru, dan dia ingin berdebat dengannya, tetapi Chitose sepertinya tidak mau mendengarkannya.

Senyum di wajah Chitose semakin mengembang saat Mahiru menatapnya dengan rasa tidak puas.

Bagaimanapun, Chitose tidak bisa berkeliling dengan baik, jadi Mahiru menghela napas keras tanpa menyembunyikannya.

“Yah, Amane sama sekali takkan bertindak kecuali kamu mendorongnya, jadi kupikir Mahirun sudah benar dengan mendorongnya. Aku pikir kamu harus mendorongnya sampai dia berubah menjadi serigala.”

Dia begitu bersemangat sehingga Mahiru merasa tidak nyaman berbicara dengan Chitose seperti ini, jadi dia bangun dengan maksud untuk pergi, tapi Chitose memanggilnya dengan suara yang tenang dan itu tidak terdengar seperti dia menggoda.

(Kupikir Amane-kun takkan menjadi serigala)

Tentu saja, Mahiru merasa bahwa Amane adalah orang yang mirip seperti serigala tetapi ia bukanlah serigala seperti yang dipikirkan Chitose

Amane adalah orang yang berpikiran tunggal yang menghargai teman-teman dalam kawanannya. Begitu kamu mendapatkan kepercayaannya, maka ia sangat baik dan perhatian, itulah kesan Mahiru tentang Amane.

Sambil berpikir bahwa rasanya akan menyenangkan jika dirinya bisa menjadi kawanannya, Mahiru mengeluarkan lotion yang telah disiapkan, mengoleskannya ke telapak tangannya, dan membiarkannya meluncur ke seluruh tubuhnya.

Setelah mandi, atau lebih tepatnya sebelum keluar dari ruang ganti, perawatan kulit adalah proses menyegel kelembapan pada kulit yang terhidrasi dengan baik sebelum menyekanya dengan handuk, jadi Mahiru dengan hati-hati menerapkan produk perawatan ke atas kulitnya.

“... Bahkan jika ia berubah menjadi serigala seperti yang dikatakan Chitose-san, kupikir Amane-kun mungkin akan menjadi tipe orang yang berlutut nantinya.”

“Haha, itu sih tidak salah lagi. Ia pasti akan bertanggung jawab.”

“... Aku takkan terlalu senang dengan hal itu, karena itu bukan hal ideal yang kuinginkan.”

“Maksud dari 'takkan terlalu senang’ itu berarti kamu merasa sedikit senang kalau dimakan olehnya?”

“Aku tidak akan meminjamkan produk perawatan kulitku.”

“Maaf, maaf~.”

Ketika Mahiru mempertajam suaranya sedikit seolah-olah ingin mengancamnya, Chitose tersenyum dan keluar dari bak mandi, jadi Mahiru menghela nafas lagi dan memberinya sebotol lotion.

 

♢♢♢♢♢

 

Setelah melakukan perawatan kulit dan rambut secara menyeluruh dan berganti pakaian tidur, Mahiru dan Chitose akhirnya dapat bersantai di kamar tidur.

Alasan mengapa Mahiru tidak bisa bersantai di bak mandi ialah karena dia tidak merasa nyaman dengan sikap Chitose yang blak-blakan dan terbuka, tetapi Chitose tidak menyadari kelelahan mentalnya yang halus atau tidak berani memedulikannya, tapi dia hanya tersenyum dan berkata, “Kulitku lebih terasa lebih halus dari biasanya.”

Chitose yang mengenakan hoodie abu-abu dan celana pendek dengan warna yang sama, duduk bersila sambil tampak bahagia ketika dia menyentuh kakinya mengintip keluar dari celana pendeknya.

“Hyaaa, aku yang sekarang sudah pasti mendapay 120 poin hari ini.”

“Syukurlah kalau begitu, tapi kupikir kamu bisa mendapatkan 10 poin lagi jika kamu memperbaiki posturmu.”

“Duhh, galak banget sih, Mahirun sih takkan melakukan postur seperti ini, ‘kan.”

“Jika aku melakukannya, pakaian dalamku nanti bisa kelihatan.”

Chitose mengenakan tipe celana pendek, sementara Mahiru mengenakan daster dengan panjang sepanjang pergelangan kaki.

Walaupun dasternya cukup longgar, itu tidak cukup untuk duduk bersila, dan jika Mahiru mau, dia harus menariknya ke atas, jadi itu bahkan jauh dari kesan sederhana.

Chitose menatap kagum ke arah Mahiru yang duduk dalam posisi duduk bersimpuh, dan mengatakan bahwa dia tidak akan pernah melakukan itu.

“Mahirun punya banyak piyama model seperti itu, ya. Kurasa itu memang lucu, tapi kakakku menertawakanku sembari mengatakan kalau piyama model begini tidak sesuai dengan karakterku dan tidak cocok untukku.”

“Kupikir lebih baik tidak mendengarkan perkataan orang yang tidak punya sopan santun dan membiarkan mereka mengatakan apa yang mereka inginkan.”

“Oh, itu penilaian yang sangat keras. Mahirun sangat keras dengan kakakku, bukan? Yah, aku bisa mengerti bahwa kamu membencinya karena dia mengolok-olok Amane.”

Chitose tertawa getir seolah -olah mengatakan, “Mereka tidak memiliki niat buruk kepadaku dan mereka mencintaiku,” tetapi itu tidak membuat Mahiru merasa senang saat mengingatnya. Ketika Mahiru pergi mengunjungi rumah Chitose sebelumnya, dia mendengar kakaknya berbicara buruk tentang Chitose dan Amane, jadi Mahiru mulai tidak menyukai mereka.

Mana mungkin Mahiru bisa menyukai mereka karena mereka mengolok -olok dua temannya yang sangat penting baginya.

Kesampingkan Chitose yang merupakan adik mereka, tetapi mereka justru mengejek Amane karena mendengar melalui mulut orang lain tanpa mengetahui apa yang ada di dalam pikiran Mahiru.

Kelihaian kakak Chitose dalam mengarahkan kata-katanya kepada Chitose mungkin karena mereka adalah keluarga, tetapi tetap saja ada hal-hal yang benar dan salah untuk dikatakan. Chitose tertawa karena aia sudah terbiasa dengan hal tersebut, namun bukan berarti dia tidak sakit hati. Tidak masuk akal untuk mengharapkan dirinya bisa menyukai mereka yang salah menilai orang.

“... Hal yang membuatku jijik adalah cara cara mereka memperlakukan Chitose-san, tau? Mereka bahkan menertawakan Chitose-san setelah itu juga…”

“Eh ... yah, aku akan membela mereka untuk saat ini. Aku menyukai mereka dan mereka memiliki poin bagus juga, loh? Tapi, mereka adalah tipe orang yang tanpa berpikir panjang mengatakan hal-hal yang tidak ingin mereka katakan dan menyesalinya kemudian. Setelah Mahirun pergi, mereka merenungkan semuanya sendirian, loh?”

“Bahkan jika itu masalahnya, itu masih tidak baik karena Chitose-san terlihat sedih. Kurasa kakakmu cukup buta. Chitose-san itu lucu. Tidak peduli apa yang dikatakan orang. Aku bisa meyakinkanmu.”

Ketika Mahiru menatap langkung ke arah Chitose dan meyakinkannya bahwa hal itu tidak bisa ditawar-tawar lagi. Chitose tampak bermasalah namun dia tersenyum bahagia.

“... apa menurutmu aku akan terlihat lucu dengan piyama yang seperti ini?”

“Aku pikir kamu akan terlihat sangat imut. Biarkan aku mendandani Chitose-san sesekali. Aku yakin Akazawa-san akan kagum.”

“Begitu ya. Aku berharap Ikkun akan kagum."

Mahiru yakin bahwa penilaian Chitose tentang kakak Chitose masih salah ketika dia melihat senyumnya yang tampaknya telah kehilangan semua kekuatannya.

Chitose memeluk Mahiru dengan senyum lepas, “Ya ampun” ujar Mahiru dalam hati dan membiarkannya melakukan apa yang dia sukai, karena dirinya sadar kalau dia pun ikutan tertawa.

“Mahirun Mahirun, kapan-kapan ayo berbelanja piyama yang serasi, yuk.”

“Boleh saja, kok.”

Senyum Chitose semakin dalam ketika Mahiru setuju dengan tawarannya. Senyumnya terlihat cerah dan ceria seperti biasa, dan hal itu membuat Mahiru merasa lega, tetapi untuk beberapa alasan, dia memiliki perasaan buruk ketika melihat senyuman itu.

“Sekarang aku mendapat persetujuanmu, aku akan membuat Mahirun mengenakan piyama yang tembus pandang.”

“Ehh tunggu! Jika kita memakai piyama yang serasi, bukannya Chitose-san juga akan mengenakannya!”

“Eh, enggak masalah. Tentu saja, aku hanya akan memakainya di depan Ikkun.”

Kalau Mahirun bagaimana? Chitose tersenyum ketika dia menyiratkannya, dan Mahiru memukul pahanya tanpa berpikir panjang.

Karena mereka melekat satu sama lain, tidak mungkin untuk memisahkannya secara paksa, jadi dia tidak punya pilihan selain melakukan ini, tetapi Chitose tampaknya tidak terganggu sama sekali.

“Kurasa Mahirun akan terlihat bagus, kamu akan terlihat seperti iblis kecil yang imut.”

“Bukannya pernyataan itu terdengar kontradiksi?”

“Jika itu kontradiksi, maka seluruh keberadaan Mahirun pasti sudah menjadi kontradiksi.”

“Memangny kamu pikir aku ini apaan!?”

“Mahirun yang super duper imut, iya kan?”

“…Mou.”

Mahiru menampar paha Chitose lagi, yang sepertinya berpikir bahwa dia akan dimaafkan jika mengatakan bahwa Mahiru itu lucu. Dia lalu memaksa Chitose berbaring di tempat tidur untuk menyingkirkan adegan yang dia bayangkan sejenak saat mengenakan piyama tembus pandang di hadapan Amane.

 

♢♢♢♢♢

 

“... Ngomong-ngomong, bagaimana Chitose-san bisa menjalin hubungan dengan Akazawa-san?”

Mahiru mulai mematikan lampu kamar dan hanya lampu samping yang menyala, dan ketika berada di posisi tidur, dia mulai bertanya kepada Chitose yang berbaring di sampingnya.

Chitose yang selalu begitu antusias mengenai pembicaraan masalah cinta selama menginap, tidak menyangka kalau dirinya akan ditanya tentang dirinya sendiri. Chitose mengedipkan matanya dengan cepat berkali -kali saat diterangi oleh cahaya redup.

“Ehh, Aku? Kurasa tidak ada yang menarik tentang itu, atau lebih tepatnya, ceritaku mungkin mengandung bagian-bagian yang mungkin membuat Mahirun tidak nyaman.”

Ketika Mahiru bertemu Chitose, dia sudah menjalin hubungan dengan Itsuki, dan meskipun Chitose banyak berbicara tentang hubungan mereka saat ini, dia tidak banyak bicara tentang masa lalu mereka.

Mahiru bertanya kepadanya karena dirinya tidak pernah mendengar apa -apa tentang itu tetapi sepertinya Chitose tidak mau membicarakannya.

“Bukannya aku ingin menyembunyikannya darimu, tapi ... ummm. Yah, karena aku mengawasi kehidupan cinta Mahirun, jadi rasanya takkan adil jika aku tidak memberitahumu juga.”

Dia tampak agak tidak nyaman ketika pandangan matanya mengarah ke segala arah dan dia kesulitan menjelaskannya. Dia tampak seperti mencoba mengingat sesuatu.

“Kurasa ini bukan kisah manis yang Mahirun harapkan loh, meski begitu apa kamu tetap mau mendengarnya?”

“... jika Chitose-san tidak keberatan.”

“Begitu ya, hmmm mari kita lihat. Aku merasa malu hanya memikirkan kembali tentang masa laluku. Sebelum aku mulai berpacaran dengan Ikkun, aku bisa melihat diriku secara objektif sekarang, tapi aku dulunya adalah gadis yang cuek dan tidak ramah. Aku tidak tertarik pada apa pun selain atletik. Aku juga gadis yang memberontak dengan kakak-kakakku, jadi aku bukan gadis yang sangat baik.”

Chitose menurunkan bahunya seolah-olah ingin mengatakan 'Kamu pasti tidak bisa membayangkannya, ‘kan?.'

Chitose yang sekarang mempunyai kepribadian ramah dan ceria kepada semua orang. Dia selalu tersenyum dan dicintai oleh semua orang di sekitarnya. Chitose di masa lalu, seperti yang baru dijelaskan tadi, benar-benar bertolak belakang.

“Jadi yah, sejak awal, beberapa anggota klub yang lebih tua tidak menyukaiku. Terlebih lagi karena aku mengambil posisi anggota inti di dalam tim, jadi tidak dapat dihindari bahwa mereka iri padaku. Aku tidak bermaksud bersikap kasar atau merendahkan merea, tetapi sekolah tuh mirip seperti versi kecil dalan kehidupan bermasyarakat, iya ‘kan. Yah, semakin tinggi pohonnya, angin yang menerjang pun akan semakin kencang.”

Bahkan Mahiru memiliki pengalaman seperti itu.

Baik atau buruk, bakat alaminya dan kerja kerasnya telah membuatnya menonjol dari orang lain dalam banyak bidang. Sebagai seseorang yang pernah mengalami rasa iri dan kedengkian, hal ini adalah sesuatu yang bisa Mahiru pahami. Dalam kasus Chitose, mereka pasti merasa iri dengan kemampuan fisiknya.

“Selain itu, Ikkun menyatakan kalau ia menyukaiku dan menembakku. Sepertinya anggota klubku yang lebih tua yang sangat kritis kepadaku, menyukai Ikkun. Awalnya, aku tidak mengenal Ikkun dan tidak pernah berpikir untuk berpacaran dengannya, jadi aku menolak pengakuannya, tapi meskipun aku sudah menolak, perundungan yang dilakukan oleh senpai-ku menjadi lebih buruk sejak saat itu.”

Chitose tertawa ketika membicarakan itu sekarang, tetapi pada saat itu dia pasti sangat menderita.

“Kupikir berlari itu penting bagiku, dan jika aku menolak pengakuannya, itu akan menjadi akhirnya, tapi para Senpai tidak menyukai sikapku. Ikkun juga tidak menyerah, jadi perundungannya meningkat dengan berbagai cara.”

“Itu….”

“Aku masih bisa bertahan, tapi senpaiku akhirnya memutuskan untuk mengambil tindakan tegas. Sebelumnya, hal tersebut bersifat tidak langsung, namun kemudian menjadi langsung... mungkin dia tidak berniat melakukan sesuatu yang berlebihan. Tapi, mereka sengaja melukaiku selama latihan.”

Ketika Mahiru tanpa sadar bergumam bahwa “itu bukan lagi menjadi masalah antara individu,” dan kemudian melihat Chitose yang tersenyum pahit, “Yah, mereka melakukannya ketika pelatih tidak melihatnya.” Dan Mahiru merasa kalau dadanya menegang.

“Aku mengalami cedera pada kakiku, yang merupakan hal penting bagi atlet, dan dicoret dari tim inti sebelum kompetisi. Aku sangat frustrasi karena aku telah kehilangan alasan untuk hidup dan tempatku di dunia, sehingga aku tidak berkunjung ke rumah sakit dan hanya melihat-lihat di sekitar lapangan, dan Ikkun datang untuk meminta maaf kepada saya. Ia bilang kalau itu salahnya, padahal itu bukan salahnya. Itu karena niat jahat senpai yang melaksanakan niat jahatnya. Meskipun aku tahu itu, di suatu tempat di dalam hatiku, aku masih berpikir bahwa itu karena salah Ikkun yang sudah menyatakan cintanya kepadaku. Aku merasa sangat malu pada diriku sendiri karena memikirkan hal itu, sehingga au menangis di depannya. Setelah menangis sebentar, aku bertanya kepadanya mengapa ia menyukaiku. Ia lalu mengatakan kalau dirinya menyukai caraku berlari, tetapi aku mungkin tidak akan pernah bisa berlari lagi seperti dulu.”

Dalam olahraga, begitu cedera terjadi, sulit untuk kembali dalam kondisi prima.

Bahkan jika perawatannya sempurna, hilangnya kekuatan otot karena periode kosong membuatnya tidak mungkin untuk mengetahui apakah dirinya bisa  berlari lagi, dan bahkan jika dia bisa berlari, itu akan memakan waktu lebih lama.

Sementara itu, dikeluarkan dari anggota inti adalah pilihan yang realistis, tetapi dari sudut pandang Chitose, hal itu pasti sangat mengejutkan, sampai-sampai dia mengira bahwa dia telah kehilangan tempatnya.

Namun, ekspresi Chitose tidak dapat digambarkan suram ketika menceritakan semua itu

Sebaliknya, sorot matanya terlihat bernostalgia, bercampur dengan kebaikan yang bisa digambarkan agak lembut.

“Kemudian Ikkun berkata, ‘Tidak masalah. Aku menyukai apa yang aku suka.’ Ia sangat langsung dan jujur ​​sehingga aku tidak bisa menahan diri untuk tidak menangis.”

“… sungguh bergairah sekali, ya.”

“Yahh, jika ia tidak menyukaiku, ia takkan mendekatiku setelah aku mencampakkannya. Ikkun bukan orang yang mudah menyerah, orang yang lugas, serius, dan bersungguh-sungguh. … pada akhirnya, aku penasaran apa aku dibuat terpesona oleh kepribadiannya itu. Aku yakin itulah yang dimaksud ketika seseorang mengatakan bahwa ia benar-benar menyukaiku dan aku tidak merasa tidak enak karenanya.”

Chitose menggaruk pipinya dengan malu dan mengibaskan rambutnya yang menghalangi, dan perlahan-lahan menurunkan pandangan matanya.

“Itulah sebabnya, itu tidak dimulai sebagai cinta murni seperti cinta Mahirun untuk Amane-kun. Dalam skenario terburuk, aku hanya menerimanya karena aku terbawa suasana. Tentu saja, aku mencintainya dengan benar sekarang ... apa kamu membencinya?”

“Tidak,  proses berpacaran itu berbeda-beda pada setiap orang, dan bentuk cintanya juga berbeda pada setiap orang. Apapun alasannya, jika Chitose-san dan Akazawa-san saling mencintai dan menyayangi satu sama lain, kurasa itu akan baik-baik saja.”

Bagi Mahiru, berpacaran adalah hubungan antara dua orang yang saling menyukai, dan dia percaya bahwa hubungan itu tidak dapat dibentuk semata-mata berdasarkan kesukaan salah satu pihak saja.

Tapi Mahiru juga tahu kalau kisahnya tidak menceritakan semuanya. Rincian mengenai bagaimana Ituki dan Chitose disatukan menjadi kabur dalam narasi Chitose, tapi mungkin itu sedikit berbeda dari perspektif Mahiru tentang bagaimana mereka bisa menjadi pasangan.

Mahiru tidak akan menyangkalnya dan menerima apa adanya. Bahagia atau tidaknya Chitose sekarang lebih penting daripada apa yang terjadi di masa lalu. Chitose tampak lega ketika Mahiru menggelengkan kepalanya dengan longgar. Bibirnya sedikit rileks, dan kemudian dia dengan ceroboh mengulurkan tangannya ke arah langit-langit. Telapak tangannya perlahan-lahan menggenggam, seolah -olah ada sesuatu di sana.

“Setelah itu, aku memutuskan untuk keluar dari klub dan mencoba mengubah diriku sendiri. Aku ingin mengenal dunia yang lebih luas, bukan hanya atletik saja. Aku juga belajar bagaimana melangkah maju dalam hidup. Aku tahu kalau ini memang penuh perhitungan, tapi orang lain akan mendapatkan kesan yang lebih baik tentang diriku jika aku tersenyum, dan jika aku bersikap ramah pada mereka, mereka akan lebih bersahabat. Aku harus membayar harganya karena sudah mengabaikan hubunganku dengan orang -orang, dan sekarang aku menjadi lebih bersyukur.”

Tatapan Chitose yang seakan-akan sedang mengelus Mahiru, mungkin ingin mengatakan “Aku yakin Mahiru memahami ini dengan baik.”

“Yah, begitulah caraku dan Ikkun sampai ke tahap hubungan kita yang sekarang. Itu bukan cerita yang terlalu menyenangkan, kan?”

“Terlepas dari menyenagkan atau tidak, rasanya sedikit mengejutkan bahwa Akazawa-san ternyata orang yang sedikit memaksa.”

“Fufufu, tidak hanya aku yang berubah, tapi Ikkun juga ikutan berubah. Ikkun dulunya murid teladan yang serius dan berprestasi karena kebijakan pendidikan keluarganya. Karena ia jatuh cinta pada seseorang sepertiku, ia akhirnya berubah menjadi dirinya yang sekarang.”

“Jangan memandang rendah dirimu seperti itu ...”

“Aku tidak bisa menyerah pada bagian ini... wajar saja jika Daiki-san membenciku. Putra yang ia besarkan dengan sangat hati-hati dan penuh kasih sayang, telah berubah karena diriku.”

Kata-kata yang dia gumamkan dengan suara kecil mungkin mungkin tidak dimaksudkan untuk didengar Mahiru saat dia terdengar sedikit goyah dan rapuh.

Mahiru sudah samar-samar mendengar bahwa ada keretakan antara Chitose dan ayah Itsuki, tapi sepertinya masalahnya jauh lebih dalam dari yang dia asumsikan. Sebagai orang luar, Mahiru tidak dapat dengan mudah menjembatani kesenjangan itu, tapi setidaknya dia bisa merangkulnya.

Mahiru dengan lembut mencondongkan tubuh ke arahnya agar tidak melihat wajah Chitose dan menempelkan dahi Chitose ke lengannya.

“... Aku cukup menyukaimu loh, Chitose-san.”

Ketika dia berbisik lembut, tubuh Chitose sedikit bergetar.

“Hehehe, terima kasih. Aku juga menyukai Mahirun.”

Chitose menyelinap ke dadanya seolah-olah bergantung padanya, tapi untuk kali ini Mahiru tidak menolaknya dan membiarkan Chitose melakukan apa yang dia inginkan.

“Nfufufu, akulah yang pertama merasakan kelembutan Mahirun.”

“... kamu bukan yang pertama.”

“Ehh, apa maksudnya itu? Coba ceritakan detailnya."

“Itu sih rahasia.”

“Ehh, dasar pelit.”

Mereka saling bersenda gurau ringan, dan Mahiru perlahan-lahan memejamkan matanya, merasakan kehangatan tubuh Chitose.

 

 

Sebelumnya  |  Daftar isi  |  Selanjutnya

 

close

Posting Komentar

Budayakan berkomentar supaya yang ngerjain project-nya tambah semangat

Lebih baru Lebih lama