Gimai Seikatsu Jilid 8 Kisah Pendek

Kisah Pendek —  “Kurasa Itu Benar?”

 

Tanggal 5 Mei, pukul 6 sore.

Waktu tersebut merupakan waktu dalam setahun ketika sinar matahari tetap ada.

Meskipun hari ini adalah hari terakhir liburan Golden Week, kediaman Asamura tetap berjalan seperti biasa.

Ketika Ayase-san dan aku mempersiapkan ujian masuk sebagai pelajar kelas 3 SMA, aku menghadiri sekolah bimbel, dan Ayase-san belajar di rumah. Akiko-san libur hari ini dan pulang, tapi ayahku harus bekerja.

Tak disangka, ayahku pulang membawa oleh-oleh.

Dalam perjalanan pulang, ia mampir ke toko manisan tradisional Jepang.

“Kalau dipikir-pikir, hari ini adalah Hari Anak.”

“Memang.”

Akiko-san dengan hati-hati mengeluarkan kertas pembungkus dari kotak permen dan memeriksa isinya.

“Oh, sangat tidak biasa sekali.”

“Apa itu... mochi? Tidak, dango?” tanyaku sambil mengintip manisan di tangan Akiko-san.

Cemilan tersebut tampak seperti kue beras yang ditusuk yang telah dipanggang dengan kecap.

“Hidangan ini disebut Gohei-mochi. Itu adalah hidangan lokal dari wilayah Chubu, seperti Prefektur Aichi,” ujar ayahku.

Menurutnya, itu adalah manisan yang terbuat dari beras ketan yang dibentuk menjadi pangsit, ditusuk, dan dipanggang dengan saus miso atau kecap. Meski tidak pernah memasak, ia sesekali berbagi ilmu kuliner karena senang makan.

“Aku pikir kami bisa mencoba sesuatu yang berbeda. Aichi terkenal dengan misonya, tapi yang ini dibuat dengan kecap. Mungkin rasanya lebih dikenal bagi orang-orang di wilayah Kanto.”

“Aku ingin tahu apakah rasanya seperti dango yang manis dan asin.”

Pertanyaanku mendapat tanggapan yang masuk akal dari ayahku, “Kamu akan mengetahui rasanya begitu kamu mencobanya.” Kurasa itu benar.

“Tapi jika kita memakan ini sekarang, apakah kita masih sanggup untuk makan malam nanti?”

“Jika kita semua berbagi, satu tusuk untuk satu orang. Lagian porsinya tidak sebanyak itu, jadi seharusnya baik-baik saja.”

Kemudian, sambil melihat ke sekeliling ruang tamu, Ayahku bertanya, “Saki-chan masih ada di kamarnya?”

“Tidak, dia sedang berbelanja untuk makan malam.”

“Jika aku tahu, aku akan menawarkan untuk membantu membawakan tas belanjaannya.”

Aku juga baru saja pulang dan mengira Ayase-san sedang belajar di kamarnya.

“Dia hanya berbelanja di supermarket terdekat, dan kami hanya membutuhkan sedikit kecap, jadi jangan khawatir.”

Tepat setelah Akiko-san berbicara, kami mendengar pintu terbuka dan seseorang berkata, “Aku kembali.”

Pintu ruang makan terbuka dan Ayase-san melangkah masuk.

“Hah? Semua orang ada di sini?”

“Selamat datang kembali, Ayase-san.”

“Selamat datang kembali Saki. Taichi-san membawakan kita oleh-oleh. Mari kita semua minum teh bersama.”

Saat Akiko-san menyimpan kecap yang diberikan ayahku di bawah kompor IH, dia berkata, “Mau teh?”

“Karena ini mochi, kupikir teh Jepang akan menjadi cemilan serasi.”

Akiko-san mengangguk setuju, jadi aku menyiapkan beberapa cangkir teh untuk semua orang.

Ayase-san menatap tajam pada mochi yang dibawa oleh ayahku, mungkin bertanya-tanya apakah dia bisa membuatnya sendiri atau tidak. Itu sepertinya kebiasaannya karena dia bertugas memasak setiap hari.

“Oh, benar. Mereka menjual ini dengan setengah harga sebagai barang pengganti, jadi aku membeli beberapa untuk mu, Ayah tiri.”

Ayase-san mengeluarkan sesuatu yang tampak seperti makanan ringan dari tas ramah lingkungan yang dia gunakan untuk membawa kecap.

“Dendeng sapi, ya? Kamu baik sekali, ” balas Ayahku sambil mengambil tas dengan stiker setengah harga di atasnya.

“Bukannya bir lebih pas daripada teh?”

“Tidak, kamu tidak diizinkan. Kami belum makan malam.” Ucap Akiko-san untuk memperingatinya

“Sayang sekali,” kata Ayahku sambil tertawa ketika dia duduk.

Ayase-san dan aku juga duduk di kursi masing-masing, dan Akiko-san menuangkan teh dari teko untuk kami.

“Karena sudah terlanjur menerimanya, aku akan mencicipinya sedikit ...”

Ayahku membuka bungkusan dendeng usai mengatakan itu.

Kami semua minum teh dan makan mochi, sambil seskali menikmati dendeng.

“Nyam! Rasanya enak. Gohei-mochi... bukan? Terima kasih."

Saat kami berganti-ganti antara makan manisan Jepang dan dendeng, Akiko-san menggumamkan sesuatu.

“Jadi, ini pada dasarnya seperti gyudon, bukan?”

Kami bertiga—ayahku, Ayase-san, dan diriku—semua memiringkan kepala, bertanya-tanya apa maksudnya.

“Yah, karena ini nasi dan daging sapi, ‘kan? Dan rasanya manis dan asin, dengan kecap juga.”

“...Kurasa itu benar?”

“Begitulah rasanya bagiku! Kamu benar Bu!”

Jadi, malam itu makan malam keluarga Asamura adalah gyudon. Saat kami membandingkannya, kombinasi anehnya memang terasa seperti gyudon.

 

 

Sebelumnya  |  Daftar isi  |  Selanjutnya

 

close

Posting Komentar

Budayakan berkomentar supaya yang ngerjain project-nya tambah semangat

Lebih baru Lebih lama