Kisah Pendek — “Kurasa Itu Benar?”
Tanggal 5 Mei, pukul 6 sore.
Waktu tersebut merupakan waktu
dalam setahun ketika sinar matahari tetap ada.
Meskipun hari ini adalah hari
terakhir liburan Golden Week,
kediaman Asamura tetap berjalan seperti biasa.
Ketika Ayase-san dan aku
mempersiapkan ujian masuk sebagai pelajar kelas 3 SMA, aku menghadiri sekolah
bimbel, dan Ayase-san belajar di rumah. Akiko-san libur hari ini dan pulang,
tapi ayahku harus bekerja.
Tak disangka, ayahku pulang
membawa oleh-oleh.
Dalam perjalanan pulang, ia
mampir ke toko manisan tradisional Jepang.
“Kalau dipikir-pikir, hari ini
adalah Hari Anak.”
“Memang.”
Akiko-san dengan hati-hati
mengeluarkan kertas pembungkus dari kotak permen dan memeriksa isinya.
“Oh, sangat tidak biasa sekali.”
“Apa itu... mochi? Tidak,
dango?” tanyaku sambil mengintip manisan di tangan Akiko-san.
Cemilan tersebut tampak seperti
kue beras yang ditusuk yang telah dipanggang dengan kecap.
“Hidangan ini disebut
Gohei-mochi. Itu adalah hidangan lokal dari wilayah Chubu, seperti Prefektur
Aichi,” ujar ayahku.
Menurutnya, itu adalah manisan
yang terbuat dari beras ketan yang dibentuk menjadi pangsit, ditusuk, dan
dipanggang dengan saus miso atau kecap. Meski tidak pernah memasak, ia sesekali
berbagi ilmu kuliner karena senang makan.
“Aku pikir kami bisa mencoba
sesuatu yang berbeda. Aichi terkenal dengan misonya, tapi yang ini dibuat dengan
kecap. Mungkin rasanya lebih dikenal bagi orang-orang di wilayah Kanto.”
“Aku ingin tahu apakah rasanya
seperti dango yang manis dan asin.”
Pertanyaanku mendapat tanggapan
yang masuk akal dari ayahku, “Kamu akan mengetahui rasanya begitu kamu
mencobanya.” Kurasa itu benar.
“Tapi jika kita memakan ini
sekarang, apakah kita masih sanggup untuk makan malam nanti?”
“Jika kita semua berbagi, satu
tusuk untuk satu orang. Lagian porsinya tidak sebanyak itu, jadi seharusnya
baik-baik saja.”
Kemudian, sambil melihat ke
sekeliling ruang tamu, Ayahku bertanya, “Saki-chan masih ada di kamarnya?”
“Tidak, dia sedang berbelanja
untuk makan malam.”
“Jika aku tahu, aku akan
menawarkan untuk membantu membawakan tas belanjaannya.”
Aku juga baru saja pulang dan
mengira Ayase-san sedang belajar di kamarnya.
“Dia hanya berbelanja di
supermarket terdekat, dan kami hanya membutuhkan sedikit kecap, jadi jangan
khawatir.”
Tepat setelah Akiko-san
berbicara, kami mendengar pintu terbuka dan seseorang berkata, “Aku kembali.”
Pintu ruang makan terbuka dan
Ayase-san melangkah masuk.
“Hah? Semua orang ada di sini?”
“Selamat datang kembali,
Ayase-san.”
“Selamat datang kembali Saki.
Taichi-san membawakan kita oleh-oleh. Mari kita semua minum teh bersama.”
Saat Akiko-san menyimpan kecap
yang diberikan ayahku di bawah kompor IH, dia berkata, “Mau teh?”
“Karena ini mochi, kupikir teh
Jepang akan menjadi cemilan serasi.”
Akiko-san mengangguk setuju,
jadi aku menyiapkan beberapa cangkir teh untuk semua orang.
Ayase-san menatap tajam pada mochi
yang dibawa oleh ayahku, mungkin bertanya-tanya apakah dia bisa membuatnya
sendiri atau tidak. Itu sepertinya kebiasaannya karena dia bertugas memasak
setiap hari.
“Oh, benar. Mereka menjual ini
dengan setengah harga sebagai barang pengganti, jadi aku membeli beberapa untuk
mu, Ayah tiri.”
Ayase-san mengeluarkan sesuatu
yang tampak seperti makanan ringan dari tas ramah lingkungan yang dia gunakan
untuk membawa kecap.
“Dendeng sapi, ya? Kamu baik
sekali, ” balas Ayahku sambil mengambil tas dengan stiker setengah harga di
atasnya.
“Bukannya bir lebih pas
daripada teh?”
“Tidak, kamu tidak diizinkan.
Kami belum makan malam.” Ucap Akiko-san untuk memperingatinya
“Sayang sekali,” kata Ayahku
sambil tertawa ketika dia duduk.
Ayase-san dan aku juga duduk di
kursi masing-masing, dan Akiko-san menuangkan teh dari teko untuk kami.
“Karena sudah terlanjur menerimanya,
aku akan mencicipinya sedikit ...”
Ayahku membuka bungkusan
dendeng usai mengatakan itu.
Kami semua minum teh dan makan
mochi, sambil seskali menikmati dendeng.
“Nyam! Rasanya enak.
Gohei-mochi... bukan? Terima kasih."
Saat kami berganti-ganti antara
makan manisan Jepang dan dendeng, Akiko-san menggumamkan sesuatu.
“Jadi, ini pada dasarnya
seperti gyudon, bukan?”
Kami bertiga—ayahku, Ayase-san,
dan diriku—semua memiringkan kepala, bertanya-tanya apa maksudnya.
“Yah, karena ini nasi dan
daging sapi, ‘kan? Dan rasanya manis dan asin, dengan kecap juga.”
“...Kurasa itu benar?”
“Begitulah rasanya bagiku! Kamu
benar Bu!”
Jadi, malam itu makan malam
keluarga Asamura adalah gyudon. Saat kami membandingkannya, kombinasi anehnya
memang terasa seperti gyudon.
Sebelumnya | Daftar isi | Selanjutnya