Chapter 4
Di ujung penghujung tahun,
tahun baru pun sudah dimulai.
Pada siang hari tahun baru, aku
pergi dengan Luna untuk melakukan Hatsumode bersama.
“Pemandangannya indah sekali,
ya?”
Sesampainya di kuil yang
terletak di atas bukit, aku berbalik ketika menaiki tangga dan tanpa sadar
berkomentar begitu.
Meskipun yang terlihat di dekat
adalah daerah perumahan dan jalur kereta yang sibuk, panorama yang terbentang
jauh dan langit biru yang cerah di musim dingin terasa menyenangkan.
Kuil yang terletak di dekat
stasiun A, tempat Luna dibawa oleh ayah dan neneknya sejak lama, tampaknya
populer di kalangan penduduk setempat sebagai tujuan kunjungan tahun baru.
Meskipun waktunya sudah siang, antrean orang yang ingin berdoa terus mengular
panjang.
“Hmm... benar juga.”
Luna yang menanggapiku dengan
kata-kata yang sedikit, menyembunyikan kepalanya di dalam syal putih yang
lembut dan memasukkan tangannya yang terhubung ke saku mantelku dengan rasa
dingin.
Luna mengenakan pakaian resmi
seperti yang sesuai dengan tahun baru. Kimono berwarna dingin yang cerah sangat
cocok baginya dan memiliki keanggunan yang ingin terus kulihat selamanya.
Namun, bertentangan dengan
pakaiannya, ekspresi wajahnya tidak berseri-seri.
“…………”
Sejak hari Natal, keadaan Luna
terlihat tidak bertenaga. Karena seharusnya dia sudah sembuh total dari
demamnya, jadi kemungkinan itu bukan solah kesehatan fisik.
“...Besok, katanya Fukusato-san
akan datang ke rumahku.”
Fukusato adalah nama tunangan
ayahnya. Dia bekerja sebagai petugas administrasi di sebuah rumah
sakit di Osaka, dan tampaknya mereka berdua berkenalan melalui aplikasi kencan
dan telah berpacaran sejak musim panas ini.
Tampaknya mereka bertemu satu
sama lain beberapa kali dalam sebulan, bolak-balik antara Tokyo dan Osaka
selama beberapa bulan, tetapi dia menemukan pekerjaan baru di Tokyo dan
baru-baru ini pindah ke daerah ini.
Mereka sepertinya saling
bertemu beberapa kali dalam sebulan, bolak-balik antara Tokyo dan Osaka, tapi
katanya dia menemukan pekerjaan baru di Tokyo dan baru-baru ini pindah ke
daerah ini.
“Kamu masih ingat saat aku
pernah bilang kalau ayahku tiba-tiba enggak bisa datang pas hari sebelum
festival olahraga, kan? Katanya, dia pergi lihat-lihat apartemen bulanan tempat
tinggal pacarnya sekarang. Dia dikontak sama agen properti yang bilang, 'Ada unit kosong di tempat yang kamu
inginkan. Karena ada orang lain yang juga mencari, segera putuskan ya.'
Jadi dia diminta pergi ke Tokyo untuk melihat bersama. Jadi sepertinya itu
bukan perjalanan bisnis.”
“....Jadi begitu ya...”
Aku tidak tahu harus berkata
apa, jadi aku hanya bisa menanggapinya dengan jawaban ambigu begitu.
Aku tidak ingin mengkritik
beliau karena ia adalah ayah Luna, tapi aku tetap merasa marah kepadanya.
Padahal ia memiliki seorang putri.
Meskipun ia merupakan seorang
duda dan memiliki kebebasan untuk memiliki pacar dan bertemu dengannya, apa hal
itu lebih diutamakan daripada acara yang sudah dinanti-nantikan oleh putrinya?
“…Besok tuh enggak banget. Aku
sudah berjanji akan pergi bermain dengan Nikoru, tapi sebelum itu aku disuruh untuk
menyapanya. Fukusato-san tampak kaget dengan sikapku saat malam Natal. Jadi aku
harus meminta maaf padanya.”
“… begitu.”
Apa Luna benar-benar perlu
meminta maaf? Mungkin itu yang diinginkan dari posisi ayahnya, tetapi aku
benar-benar tidak yakin.
“Benar-benar enggak mau banget...
Hal-hal yang tidak menyenangkan datang satu demi satu. Ketika bulan Maret tiba,
ternyata Fukusato-san akan pindah ke sini. Dia akan menggunakan kamar di sebelahku.....tempat
itu dulunya adalah ruang kerja kakekku, dan sekarang akan menjadi ruangannya
orang itu."
“…Begitu ya.”
“Aku benar-benar tidak mau ... sebelum
itu terjadi, aku ingin keluar dari rumah itu. Nikoru malah menawarkan, 'Kamu bisa tinggal di rumahku,' tapi
rumah Nikoru hanya memiliki dua kamar dan itu akan merepotkan ibunya, jadi mana
mungkin aku tinggal di sana selama beberapa bulan, kan?”
Luna menghela nafas saat
berkata demikian.
“Sungguh tidak mau...... Apa
yang harus kulakukan selanjutnya? Mungkin aku harus mulai bekerja paruh waktu?
Tapi, memangnya seorang pelajar SMA bisa menyewa apartemen untuk tinggal
sendiri?”
“Hmm.....”
Aku tidak tahu karena aku belum
pernah mencarinya, tapi mungkin itu bakalan sulit tanpa ada izin orang tua.
Melihatku yang kebingungan
untuk menjawabnya, Luna tiba-tiba tersenyum lembut.
“Seandainya saja aku bisa
tinggal bersama Ryuuto.”
Perkataannya terdengar seperti
lelucon, tapi aku tahu dia setengah-serius dengan pemikiran itu.
“...Ayo lakukan itu.”
“Eh...?”
Mendengar jawabanku, Luna
menunjukkan kilauan di matanya.
“Lah, tapi bagaimana caranya?”
“Kita berdua pergi ke kota yang
jauh ...”
“Lalu kita akan tinggal di
mana?”
“... tinggal di hotel ... kalau
itu sih terlalu mahal, ya.”
Jika begitu, sama seperti saat
liburan musim panas, mungkin kami bisa saja tinggal di rumah nenek Luna atau
rumah kakek-nenekku... Namun, jika kami terus bermalas-malasan di sana dan membolos
sekolah, orang tua kami akan segera dihubungi. Jadi mustahil untuk tinggal dalam
waktu yang lama.
Jadi, sepertinya satu-satunya
pilihan adalah fasilitas penginapan. Karena kami mana bisa mengontrak di
rumah.Tapi sebelum itu, kami harus mencari cara untuk mendapatkan uang.
“... Aku akan bekerja. Entah
bagaimana caranya, entah itu melalui pekerjaan paruh waktu atau buruh harian.”
“Eh, tapi bagaimana dengan
sekolah? Ryuuto, kamu ‘kan sudah berusaha keras belajar di sekolah bimbel.....”
Memang benar, jika hal itu
terjadi, kehidupan SMA dan ujian masuk universitas bukanlah menjadi prioritas utama.
Selain itu, aku tidak bisa
membayangkan jenis pekerjaan sehari-hari seperti apa yang tersedia atau
bagaimana cara menemukannya. Meskipun aku berhasil mendapatkan pekerjaan dengan
keberuntungan, itu mungkin menjadi pekerjaan fisik yang berat, dan aku tidak
memiliki kepercayaan diri dalam hal kebugaran. Dalam kondisi seperti itu,
apakah aku bisa membuat Luna bahagia, dia yang menginginkan tiga anak setelah
menikah...?
Semakin lama aku memikirkannya,
aku hanya bisa membayangkan kegagalan terus, dan aku hanya bisa terdiam.
“....Maaf....itu sama sekali
tidak realistis, ya.”
“Tidak apa-apa, kok. Aku sudah
merasa senang hanya dengan perasaanmu saja.”
Luna tersenyum lembut.
“Sekarang memang tidak mungkin,
‘ kan? Jadi perumpamaan 'jika kita bisa
hidup bersama' tadi cuma bercanda saja kok, fufu.”
Melihat wajahku yang kacau,
Luna berkata sambil tersenyum. Suaranya riang dan ceria. Aku merasa putus asa
karena kelemahanku sendiri. Melihat Luna kembali bersemangat adalah penyelamat
bagiku.
Sementara kami berdua terus
berbicara, antrian untuk berdoa tiba-tiba bergerak, dan mendorong kami ke depan kotak sumbangan.
Meniru orang-orang dewasa di
sekitar kami, kami melakukan dua kali membungkuk dan tepuk tangan, lalu berdiri
berdampingan dengan menyatukan kedua tangan.
Setelah aku selesai berdoa dan
membuka mata, Luna yang berada di sampingku masih menutup mata.
“Apa yang kamu doakan tadi?”
Saat aku berjalan di dalam kuil
dengan perasaan lega setelah keluar dari antrean, Luna bertanya kepadaku.
“Hmm ...”
Aku merasa ragu apa aku harus
mengatakannya atau tidak.
“... Aku berharap kalau tahun
ini menjadi tahun yang membahagiakan bagi Luna.”
Ketika aku melihatnya tadi, aku
tidak bisa menahan diri untuk berdoa begitu.
“Jadi, jangan khawatir. Ini adalah
doa untuk dua orang, pasti itu akan tersampaikan kepada Tuhan.”
Doaku dan doa Luna sendiri.
Karena setiap orang pasti berdoa untuk dirinya sendiri terlebih dahulu, dampak
yang disampaikan kepada Tuhan harusnya pasti lebih besar.
Semoga
tidak akan ada peristiwa yang mengambil senyum indah gadis ini, sekali lagi.
Sebagai bentuk tindakan
terakhir, aku berdoa dalam hati.
“Ryuuto...”
Mata Luna tampak mulai
berkaca-kaca dan menatapku.
Dan kemudian, dengan ekspresi
mirip seperti orang yang menangis sekaligus tertawa, dia membuka mulutnya.
“... Fufu, maaf. Kalau begitu,
mungkin aku sudah melakukan sesuatu yang tidak perlu.”
“Ehh?”
Apa
maksudnya? Pikirku, dan Luna tersenyum padaku.
“‘Tolong,
buat Ryuuto bahagia juga untukku,' aku berdoa begitu.”
“...Luna...”
Hatiku menjadi hangat dan segera merasakan perasaan yang menyentuh.
Dia memang gadis yang begitu
baik. Meskipun dirinya berada dalam kondisi yang sulit dan menyedihkan seperti
sekarang, dia masih mampu berdoa untuk kebahagiaan orang lain.
“Hei, apa yang akan terjadi
dalam situasi begitu?”
Luna bertanya padaku dengan
rasa penasaran.
“Apa itu berarti kita berdua
bisa bahagia?”
Aku tersenyum melihatnya yang
seperti itu.
“Ya, mungkin saja begitu.”
Kami bergandengan tangan dan
berjalan menuruni tangga kuil.
Seharusnya saat ini matahari
sedang panas-panasnya, tapi angin yang menerpa wajahku begitu dingin hingga
membuat hidungku sakit.
Saat kami berjalan berdekapan
bersama untuk mencari kehangatan satu sama lain, aku merasa kalau Tuhan dengan
cepat mengabulkan keinginan Luna.
“Hei, gimana kalau kita minum
teh dulu?”
Luna berkata sambil berjalan
menuruni bukit tempat kuil itu berada dan entah bagaimana menuju ke rumah Luna.
“Aku tidak masalah sih, tapi
... kamu yakin? Ayah dan nenekmu ada di rumah hari ini, ‘kan?”
“Iya... makanya.”
Luna menunduk dengan ekspresi
murung di wajahnya.
“Aku tidak ingin bersama ayahku
sekarang ... karena mungkin ia akan mengatakan sesuatu tentang besok.”
“Begitu ya…”
Aku berempati dengan perasaan
Luna, jadi kami menuju ke depan stasiun dan memasuki ritel kafe yang sedang buka.
“Haaa... aku benar-benar tidak
mau pulang.”
Saat kami mengambil tempat duduk
dan menyesap minuman, Luna tiba-tiba menghela napas.
“Mulai Maret ... apa aku harus
merasakan perasaan seperti ini setiap hari .... padahal itu rumahku sendiri.”
“Tapi kamu belum pernah
berbicara dengan Fukusato-san, ‘kan? Mungkin saja dia orang yang baik ...”
“Mustahil.”
Luna membantah kata-kataku yang
berusaha mencoba untuk mengatasi situasinya.
“Habisnya, jika dia menjadi pasangan
pernikahan Ayah, itu berarti dia akan menjadi 'Ibu baru' bagiku, ‘kan? Bagiku, ibu hanyalah Ibu kandungku...”
Luna mengguncang cangkir dengan
kedua tangan, seakan-akan ingin melelehkan krim kocok macchiato karamel di
dalam cangkirnya.
Walaupun ruangan dengan pemanas
terasa hangat dan menenangkan, tetapi ekspresi Luna masih tetap kaku.
“Aku masih belum bisa
menerimanya. Di bawah satu atap, ayahku tidur dengan seorang wanita yang tidak
ada hubungannya denganku ...”
Ucap Luna seraya menghentikan guncangan
cangkirnya.
“Aku tidak ingin
memikirkannya... rasanya sangat menjijikkan.”
Dia mengatakan itu dengan rasa
muak.
“…………”
Belakangan ini aku mulai
sedikit memahami. Luna bukanlah sekedar gadis baik yang pengertian dan dewasa.
Apa yang dia terima dengan
senyum setiap hari mungkin sebenarnya adalah 'salah satu dari keduanya' bagi Luna.
Seperti halnya dengan Operasi
Dua Lotte, Luna sangat keras kepala, kolot dan egois dalam hal hal-hal yang
tidak mau dia tinggalkan.
Dia tidak hanya secerah
matahari.
Dia juga memiliki bayangan
seperti bulan. Karena dia adalah [Luna].(TN:
Nama Luna ‘月愛 terdiri dari dua kanji, yaitu kanji 月 memiliki arti bulan, sedangkan yang satunyaæ„› mempunyai arti cinta/kasih
sayang)
Dia bukanlah gadis yang baik
maupun dewasa.
Dia hanyalah gadis berusia 17
tahun, gadis biasa yang bisa ditemukan di mana saja.
“Haaa...”
Dan Luna yang seperti itu sedang
menghela nafas di depanku.
——
Seandainya saja aku bisa tinggal bersama Ryuuto.
Di dalam kepalaku, perkataan
Luna yang pernah dia sebutkan tadi terus terngiang-ngiang.
Secara bersamaan, perasaan tak
berdaya yang baru saja kurasakan kembali menyerang.
Meskipun dia sangat bersedih,
apa aku hanya bisa mengandalkan Tuhan untuk membantunya?
Jika saja aku sudah dewasa.
Jika aku punya penghasilan
sendiri dan bisa mandiri... aku bisa dengan percaya diri dengan mengatakan, “Datanglah ke rumahku. Ayo kita tinggal
bersama.”
Dengan keadaanku sekarang, aku
tidak bisa melakukan apa pun. Sudah terlihat jelas bahwa jika ada dua remaja
SMA yang melarikan diri karena emosi semata, cepat atau lambat mereka tidak
bisa bertahan lama.
Jadi, apa yang bisa aku
lakukan?
Aku harus berpikir.
Jika aku tidak bisa menciptakan
tempat baru untuk Luna, satu-satunya yang bisa kulakukan adalah melindungi
tempat di mana dia berada sekarang.
Tapi bagaimana caranya?
“...Luna, apa aku boleh mampir
ke rumahmu sekarang?”
“Eh?”
Luna terlihat sedikit terkejut.
“Tapi Ayah dan nenekku masih
ada di sana, tau?”
“Ya. Aku minta maaf karena mengganggu
keluargamu sejak Tahun Baru... Tapi aku ingin sedikit berbicara dengan ayahmu.”
Aku tidak tahu apakah aku bisa
meyakinkan ayahnya.
Tapi hanya itu satu-satunya
pilihan yang ada.
Aku tidak pernah merasa ingin
segera dewasa sebanyak ini.
Tapi...
Aku bukan orang dewasa.
Meskipun aku kesal mengakuinya, tapi aku masih belum sampai pada tahap itu.
Anak-anak hanya bisa
mengandalkan perlindungan dari orang dewasa. Itu adalah hal yang tidak bisa
dihindari.
Oleh karena itu, daripada
melarikan diri dengan nekat bersama Luna, aku akan meminta ayah Luna untuk melindungi
tempat tinggal Luna.
Mungkin hanya itu satu-satunya
yang bisa aku lakukan.
◇◇◇◇
Di ruang tamu keluarga
Shirakawa, acara komedi khusus tahun baru sedang diputar.
“...Jadi, apa yang ingin kamu
bicarakan?”
Melihatku duduk bersila tanpa
duduk di kotatsu yang ditawarkan, ayah Luna merasa ada sesuatu yang aneh dan
menunjukkan ekspresi kebingungan.
Ayah Luna mengenakan pakaian
santai seperti kaus kaki dan rambutnya yang berantakan, terlihat sangat berbeda
dengan penampilan sebelumnya dan terlihat santai.
Di atas kotatsu, ada beberapa
piring dengan hidangan mirip osechi dan beberapa kaleng bir. Serasa seperti
menginvasi privasi rumah orang lain, rasa penyesalan membuat tubuhku terasa
kaku.
Nenek Luna, meskipun terkejut
dengan kedatanganku yang tiba-tiba di hari pertama tahun baru, berkata, “Apa kamu mau makan sup mochi juga? Aku
akan memasaknya sekarang!” lalu pergi ke dapur. Dia adalah orang yang modis
dan ceria seperti yang Luna ceritakan, dengan rambut abu-abu yang diwarnai
sedikit keunguan yang cantik.
“Yah, sebenarnya ...”
Dengan susah payah, suara yang
gemetar terdengar dari tenggorokanku saat aku berkata.
“... ada permohonan yang ingin
aku sampaikan...”
“Permohonan?”
“U-Umm... Luna-san merasa sangat
terkejut ketika mendengar kalau dirinya akan tinggal dengan pasangan pernikahan
ayahnya mulai bulan Maret ... umm jadi, bisakah anda menunggu sebentar...?”
Aku mengatakannya sambil
menundukkan kepala dengan gugup, dan ayah Luna menggelengkan kepala seolah-olah
berkata 'Astaga'.
“Jika itu yang ingin kamu
bicarakan, aku sudah memberitahu Luna mengenai hal itu.”
Aku merasakan pandangan yang
terkejut dan kesal seolah-olah ia bertanya, ‘Kamu
datang kemari hanya untuk mengatakan itu?’
Luna yang duduk dengan tegak di
belakangku, juga merasakan pandangan itu. Setelah melihat sekilas ke arah putrinya,
ayah Luna membuka mulutnya.
“Aku juga mempunyai kehidupanku
sendiri. Bahkan sebagai keluarga, kami semua adalah individu yang berdiri
sendiri. Meskipun tinggal bersama, kami perlu menghormati kebebasan satu sama
lain... Itulah mengapa aku pikir, aku sudah memberi cukup kebebasan pada Luna.
Dia sudah berusia tujuh belas tahun dan sudah dewasa, dia seharusnya sudah
memahami hal-hal seperti itu.”
Ketika aku mendengar ucapan
tersebut, rasanya ada sesuatu yang menusuk di hatiku.
Aku merasakan penyesalan dan penghinaan
yang kurasakan di kuil barusan meningkat jadi tiga kali lipat.
“Anak SMA bukanlah orang dewasa
...”
Aku ingin segera menjadi dewa
dan mengejar Luna. Baik aku maupun Luna sama sekali bukanlah orang dewasa. Anak
SMA adalah entitas yang terdistorsi.
Walau penampilanku tampak
seperti orang dewasa, memiliki minat dan preferensi yang jelas, serta memiliki
pemikiran sendiri, dan bisa melakukan hal-hal yang biasanya dilakukan orang
dewasa, jadi kadang-kadang aku merasa seperti sudah menjadi orang dewasa
sendiri.
Tapi, aku tidak bisa hidup
sendiri. Aku masih belum memiliki cara untuk mencari mata pencaharian.
Aku merasa begitu frustrasi dan
gelisah, tapi apa boleh buat. Karena anak SMA, masih dianggap sebagai “anak-anak”.
Dan orang dewasa memiliki
kewajiban untuk melindungi anak-anak.
“Menyediakan tempat di mana
anak-anak dapat hidup dengan damai adalah tanggung jawab orang dewasa.”
Jika tidak, kita tidak akan
bisa hidup.
“Tolong ... jangan ambil tempat
Luna-san dari rumah ini ...”
Dengan kepala tertunduk di
belakangku, aku bisa tahu bahwa Luna juga sedang menundukkan kepalanya dari
suara gemerisik pakaiannya.
“Meski kamu mengatakan seperti
itu...”
Setelah beberapa saat
keheningan, ayah Luna mulai berkata.
“Aku juga memiliki situasiku
sendiri di sini. Aku merasa enggan mengatakannya kepada putriku, jadi aku diam
saja...”
Ketika aku mengangkat kepalaku,
ayah Luna terlihat canggung.
“Calon istriku, dia memiliki masalah
kesehatan di bidang ginekologi... dia memiliki penyakit pada rahim. Dia sudah
berusia 37 tahun, dan karena dia akan menikah untuk pertama kalinya, dia
menginginkan anak. Mungkin kelihatannya sulit untuk hamil secara alami, jadi
dia bermaksud memulai perawatan infertilitas.”
Sambil menggaruk leher dengan
santai, ayah Luna mulai menjelaskan dengan lirih.
“Kami sudah berkonsultasi
dengan dokter, tapi perawatan infertilitas yang proaktif sepertinya hanya dapat
dilakukan antara suami dan istri. Oleh karena itu, kami perlu menikah
secepatnya.”
Ayah Luna cenderung memalingkan
muka, jadi aku merasa seharusnya aku tidak boleh menatap lurus ke arahnya, jadi
aku mengalihkan pandanganku ke lantai dan dinding.
“Aku tidak sepenuhnya menyerah
pada harapan kehamilan alami ... Itu sebabnya aku ingin segera tinggal bersama.”
Sebagai seorang perjaka, aku
terus memandang dengan tatapan yang terus mengembara ke berbagai arah tanpa
sepenuhnya mengerti maksudnya. Dan dengan adanya ketegangan karena ayah Luna
bercerita seperti itu padaku, jantungku jadi berdetak tidak normal.
Aku merasa tidak diundang sama sekali
dan ingin segera pulang.
Tapi….
Jika aku mundur sekarang dengan
mengatakan, “Haah, begitu ya,” situasi
Luna tidak akan membaik.
“…………”
Situasi ayah Luna adalah
masalah ayah Luna sendiri.
Hal yang aku pikirkan adalah kebahagiaan
Luna.
Karena aku memprioritaskan Luna
terlebih dahulu, jadi ada sesuatu yang harus kutinggalkan juga.
Di dalam kepalaku, aku
memikirkan sosok Kurose-san.
Meskipun aku melakukan begitu,
mengapa Ayah Luna yang seharusnya paling menyayangi Luna, tidak melakukannya
juga?.
Setelah mengambil napas
dalam-dalam, aku membuka mulutku lagi.
“... U-Ummm ... kupikir ada
yang namanya urutan dalam segala hal.”
Mungkin sekarang aku akan
mengatakan sesuatu yang sangat kasar kepada ayah Luna. Tapi karena akulah yang
mengakhiri pertemananku dengan Kurose-san, jadi mau tak mau aku harus
mengatakannya.
“M-Maaf, tapi ... ayah, tidak,
ayah Luna-san ... apakah anda bercerai dengan ibu Luna demi menikahi orang itu?”
Ayah Luna terlihat sangat
terkejut.
“Mana mungkin lah. Aku baru
saja mengenalnya baru-baru ini.”
Memanfaatkan kesempatan itu,
aku mendesak lebih lanjut.
“Jika memang begitu masalahnya
... hubungan dengan orang itu takkan mungkin terjadi jika anda...ti-tidak
selingkuh, bukan?”
Aku merasa seperti melihat ekspresi
kebingungan di wajah orang dewasa di hadapan saya untuk pertama kalinya dalam hidupku.
Sebelum diserang balik, aku
memutar kepalaku sepenuhnya dan mencari kata-kata untuk meyakinkannya.
“Selain itu… daripada
memikirkan anak yang mungkin belum lahir, bisakah Anda mengutamakan kebahagiaan
putri yang sudah berada di depan mata anda?”
Aku merasa seperti mengatakan
sesuatu yang kejam. Itu pasti akan menyakiti perasaan Fukusato-san jika dia
mendengarnya.
Tapi ayah Luna duluan yang
melakukan hal-hal buruk.
“Karena dia sudah banyak
menderita.”
Meski tidak ditanya siapa yang
dimaksud, tapi Ayah Luna pasti bisa memahami ucapanku. Dengan begini, kesan
ayah Luna terhadap diriku pasti akan menjadi yang terburuk.
Tapi aku tidak peduli. Meskipun
aku tidak suka dibenci oleh orang lain. Asalkan itu demi melindungi Luna, aku
sama sekali tidak keberatan.
Namun, melihat ayah Luna masih
terdiam, aku jadi semakin gelisah dan membuka mulut untuk mencoba meredakan
situasi.
“Ah, umm, bukannya berarti
Luna-san menginginkan anda untuk menikah. Kupikir dia sama sekali tidak
keberatan jika hanya sekedar pendaftaran pernikahan dulu. Aku hanya ingin Anda
menunggu sebentar untuk tinggal bersama pasangan Anda. Setidaknya sekitar setahun
lagi… sampai Luna lulus SMA.”
Aku tidak tahu apakah
perkataanku didengarnya atau tidak, karena ayah Luna terus menundukkan kepalanya
dan tetap diam.
Dari arah dapur, aku bisa
mendengar senandung nenek Luna diiringi dengan suara pisau dapur. Beliau pasti
tidak menyadari sama sekali dengan situasi di ruang tamu ini.
Para komedian populer yang
bercanda di dalam televisi terlihat seperti penduduk dari planet lain.
“..........”
Aku tidak punya kata-kata lagi
yang harus kukatakan.
Saat aku bertahan dalam
keheningan yang mengerikan, ayah Luna tiba-tiba berdiri.
“Tolong angkat kakimu sekarang
juga dari sini.”
Wajahnya menunjukkan kemarahan
yang begitu jelas. Kurasa itu reaksi yang wajar.
“Y-Ya... aku minta maaf karena
sudah mengganggu anda.”
Aku bangkit dari posisi duduk
bersimpuh dengan gemetar. Aku merasa malu dengan diriku sendiri karena hanya
membuatnya marah tanpa bisa meyakinkannya.
Namun, saat pandangan mataku
bertemu dengan Luna, tatapan matanya memancarkan kilau lembut.