Keiken-zumi Jilid 5 Bab 3 Bagian 2 Bahasa Indonesia

PART 2

 

Pada hari berikutnya, kami masih melakukan kegiatan kelompok. Kami berangkat dengan bus dari hotel, mengunjungi daerah Higashiyama seperti Sanjusangendo dan kuil Kiyomizu, kemudian melakukan kunjungan singkat ke kuil Kinkaku dan Ginkaku di sore hari.

Di tempat wisata, kami berkumpul dalam kelompok dan mengunjungi objek wisata sambil memastikan apa yang telah kami pelajari sebelumnya di buku pelajaran.

Seperti biasa, Nisshi juga ikut menyelinap ke dalam kelompok kami hari ini.

Pertama-tama kami mampir di Sanjusangendo, yang merupakan rekonstruksi bangunan utama kuil milik Kaisar Goshirakawa, dan di dalamnya terdapat seribu patung Kannon dengan seribu tangan, sesuai dengan ringkasan yang pernah kami pelajari sebelumnya.

Setelah masuk ke dalam ruangan yang panjang dan sempit, kami melihat ada banyak patung Kannon yang berjajar dengan seribu tangan. Patung-patung kayu ini semuanya dikerjakan oleh tangan manusia, dan setiap patung memiliki rupa wajah yang berbeda-beda.

“Di dalam sini, pasti ada patung yang mirip dengan orang yang ingin kita temui, kan? Mungkin ada juga patung yang mirip dengan kita?”

Luna mengatakan itu sambil berkeliling melihat-lihat patung seolah sedang mencari seseorang.

“Mungkin patung itu yang menyerupai Ryuuto? Wajahnya terlihat ramah.”

“Be-Benarkah?”

Meskipun aku tidak terlalu yakin, tapi aku senang mendengar Luna mengatakan itu.

“Lalu, patung yang menyerupai aku yang mana ya?”

“Hmm...”

Aku menggeram sambil melihat-lihat patung di sekitar. Patung-patung yang disusun berbaris, semakin tinggi seperti tangga saat bergerak ke belakang, tapi cahaya di belakang patung-patung sebelumnya menghalangi dan di dalam ruangan yang gelap serta redup, jadi sulit melihat detail patung yang ada di bagian belakang.

“Bukannya yang itu?”

Lalu, Kurose-san mendekati Luna dan menunjuk ke arah suatu patung.

“Patung itu sangat mirip dengan wajah tidurmu ketika kamu masih kecil, Luna.”

“Ah, setelah dibilang begitu, kurasa memang benar!”

Aku tidak tahu patung mana yang mereka bicarakan, tapi Luna terlihat senang sambil melihat patung-patung itu.

“Jadi, patung yang disebelahnya adalah Maria.”

“Ehh~, memangnya aku memiliki wajah yang bulat seperti itu?"

Kurose-san menanggapinya sambil tertawa.

Kedekatan antara kedua saudara perempuan yang akrab itu membuat hatiku tersentuh.

“Eh, patung mana yang mirip denganku, ya~?”

Tanikita-san berkeliling mencari-cari. Icchi yang berada di dekatku, menunjuk ke arah suatu patung sambil melihatnya.

“...Bukannya yang itu?”

Icchi berkata begitu dengan suara yang hanya bisa didengar olehku.

Ketika aku mencoba menemukan patung ke arah yang dimaksud Icchi, aku tidak bisa menahan tawa ketika melihat patung Raja Asura yang berdiri di hadapanku dengan ekspresi marah di wajahnya.

“Si-Siapa yang bilang aku mirip Asura~~!?”

Tanikita-san yang memiliki pendengaran tajam, menunjukkan taringnya ke arah kami.

“Ti-Tidak, maksudku patung Buddha di belakangnya...”

Icchi berusaha membela diri dengan panik, tapi Tanikita-san tidak mau mendengarkannya.

“Memangnya kamu pikir kamu itu siapa? Hanya karena kamu sedikit lebih tinggi dan keren!”

“Sudah kubilang bukan begitu...”

“Jangan ribut, Tanikita! Ijichi!”

Mereka ditegur oleh seorang guru pria yang berada di dekat mereka.

“Kenapa aku malah ikutan kena juga...”

Icchi yang tidak tahan teguran terlihat sangat murung, itu sedikit memilukan.

Di sampingnya, Yamana-san sedang berbicara dengan Nisshi.

“Apa kamu sudah menemukannya, Ren? Patung yang terlihat mirip seperti seseorang.”

“Tidak. Sejujurnya, semuanya terlihat sama bagiku...”

Nisshi menjawab tanpa ada rasa tegang, dan ada suasana alami di antara mereka berdua.

Aku sedikit terkejut ketika melihat mereka begitu akrab satu sama lain.

“Kalau aku mirip yang mana ya?”

Yamana-san mengucapkan pertanyaan seolah dalam keheningan, dan Nisshi tiba-tiba menundukkan kepala.

“...Tidak ada.”

Nisshi berbisik dengan lirih, sedikit menatap Yamana-san.

“Karena Nikoru jauh lebih cantik.”

Nisshi lalu berkata dengan malu-malu.

“... Ah, gitu ya.... makasih.”

Yamana-san juga ikut tersipu dan menjawab dengan blak-blakan.

“Ah, mari kita lihat di sebelah sana, Icchi.”

Entah bagaimana aku merasa seperti telah melihat pemandangan yang seharusnya tidak boleh aku lihat, jadi aku mendesak Icchi untuk pindah dari tempat itu.

 

Setelah Sanjusangendo, kami melakukan kunjungan wisata ke Kuil Kiyomizu.

“Wah, tinggi banget~!”

Luna berseru dari tempat yang sedikit jauh dari panggung Kiyomizu.

“Tinggi banget~! Ayo, Maria, kamu harus melihatnya juga!”

Luna tampak bersemangat dan menarik Kurose-san ke depan.

“Aku bisa melihatnya tanpa perlu kamu memberitahuku, kok.”

Ketika Luna bertingkah begitu girang seperti anak kecil, Kurose-san sedikit terkejut sambil tersenyum.

“Keren banget! Kayaknya kita bisa bungee jumping dari sini, bungee~!”

“Tapi ini pegangan kayu, ‘kan? Apa enggak takut patah?”

Bungee jumping satu arah dengan keberanian, dong.”

Tanikita-san dan Yamana-san berkata menimpalinya, dan Luna pun tersenyum.

“Ahh, mendingan enggak usah deh.”

Di sebelah gadis-gadis yang sedang mengobrol ramah, kami para pria berdiri berdampingan dalam urutan tinggi, meletakkan tangan kami di pagar kayu, dan melihat panggung.

“Apa Icchi bisa membuat kuil seperti ini dengan YourCraft?”

“Tentu bisa dong? Mungkin nanti aku akan mencoba membangunnya dengan gaya Jepang.”

Icchi menjawab Nishi.

“Pecinta arsitektur sejati memang beda.”

Aku berkomentar dengan rasa hormat.

Lalu, Nisshi di sebelahku bergumam.

“Namun, tempatnya lebih tinggi dari yang kusangka. Saat melihat ke bawah, rasanya sedikit berbahaya….”

Sementara itu, pada saat Nisshi melihat ke bawah, Yamana-san diam-diam menyelinap mendekatinya dan mengedipkan mata ke arahku untuk memberi isyarat diam, lalu dia tiba-tiba mendorong punggung Nisshi dengan kuat.

“Hwahh!”

“Uwaahhhhh!”

Nisshi berteriak keras dan bereaksi hampir jatuh terduduk. Melihat Nisshi seperti itu, Yamana-san tertawa.

“Kenapa kamu malah ketakutan begitu?”

“Bu-Bukannya begitu!”

“Apa jangan-jangan, kamu tidak suka tempat tinggi ya?”

Ditanya oleh Yamana-san, Nisshi tetap berjongkok dan menundukkan kepalanya.

“Saat masih SD, aku pernah pergi ke taman bermain bersama keluargaku dan naik roller coaster. Tapi ada kerusakan dan kami terjebak di puncak selama tiga puluh menit...”

Aku baru pertama kali mendengarnya.

“Hmm”

Yamana-san sedikit sungkan dan sebal, dia kemudian membuka mulutnya.

“Yah, setiap orang memiliki sesuatu yang tidak disukai. Aku sendiri sangat benci serangga.”

Setelah mendengarnya, Nisshi kembali bersemangat dan berdiri.

“Serius? Enggak nyangka! Nanti ayo kita beli mainan serangga di toko serba seratus yen dan letakkan di atas mejamu.”

“Hah? Kamu mau cari gara-gara ya, dasar bodoh!”

Nisshi tersenyum polos kepada wajah kesal Yamana-san.

Aku masih belum terlalu mengenal tentang Yamana-san, tetapi caranya mendekati orang dan memberikan dukungan seperti ini, membuatku merasa kalau dia mirip dengan Sekiya-san. Meskipun mereka berpacaran tidak begitu lama, mungkin karena kemiripan sifat dasar inilah yang membuat mereka terlihat serupa. Jadi, rasanya wajar saja bahwa keduanya tertarik satu sama lain.

Saat memikirkan tentang Sekiya-san, pikiranku jadi melayang. Rasanya sudah waktunya untuk pengumuman hasil akhir ujian masuk. Ia bilang akan memberitahuku segera jika dirinya diterima, tapi aku merasa sedikit khawatir karena belum ada kabar darinya.

Ketika melihat kedekatan Nisshi dan Yamana-san yang terlihat akrab dan membuat keributan, aku jadi teringat pada interaksi mereka berdua di Sanjusangendo dan perasaanku menjadi sedikit tidak nyaman.

 

Kemudian, setelah selesai berkeliling di Kuil Kiyomizu, saat kami sedang kembali ke tempat parkir bus sebagai titik kumpul, ada sesuatu yang terjadi.

“Nee, nee, katanya di sana 'Dewa Pernikahan'~!”

Luna menunjuk ke arah tangga batu yang terus berlanjut. Di sana, ada sebuah torii batu dengan tulisan merah yang dengan jelas tertulis seperti itu.

“Kuil Jishu? Aku belum pernah memeriksanya.”

“Gimana kalau kita melihatnya dulu sebentar~?”

Yamana-san berkata kepada Luna yang memanggil semua orang.

“Kalau kamu sih tidak lagi membutuhkan yang namanya pertemuan nasib, ‘kan?”

“Tapi, memangnya kamu tidak ingin mempunyai jimatnya? Jimat yang sepasang dengan pacarmu.”

Setelah mendengar itu, tampaknya hati Yamana-san juga tersentuh.

“Kalau gitu, mari kita pergi sebentar. Jimat dari Kyoto sepertinya memiliki efek yang luar biasa.”

“Eh, tunggu sebentar, memangnya kita boleh singgah ke tempat lain seperti itu?”

Nisshi berkata dengan kebingungan.

“Yah, asal kita bisa kembali sebelum waktu habis, kurasa tidak ada masalah.”

Yamana-san menjawab dengan optimis dan mengambil inisiatif untuk melanjutkan, lalu kami memutuskan untuk mengambil jalan memutar ke Kuil Jishu.

“Itu dia, jimatnya!”

Setelah selesai beribadah dengan semua orang, Luna mampir ke tempat penjualan terdekat.

“Wah, sepasang jimat ini bertuliskan 'cinta akan tumbuh'! Aku akan mengambil yang ini~.”

“Kalau aku sih mungkin memilih yang ini. Katanya ‘Ini adalah jimat lonceng lonceng yang menghubungkan hati dua orang yang sering terpisah karena urusan rumah, belajar, dan pekerjaan.”

Ucap Yamana-san sambil melihat-lihat jimat yang dipajang.

“Cocok banget, tuh! Tapi, bukannya sebentar lagi kalian bisa bersama-sama?”

“Iya sih, tapi sepertinya Senpai akan sibuk dengan jadwal kuliahnya di universitas nanti.”

Karena mereka berdua sedang memegang jimat, jadi aku memanggil Luna.

“Kamu akan membelinya? ...Mau aku yang membayarnya?”

“Ah, enggak usah! Karena aku yang mau membelinya.”

 “Tapi... Kamu akan memberikan satu bagian kepadaku, ‘kan?”

Jika tidak seperti itu, rasanya akan sangat mengecewakan.

 “Ya... Baiklah, apa mau bayar separuh-separuh?”

“Benar juga. Karena harganya seribu yen, jadi masing-masing lima ratus yen?”

Setelah Luna dan Yamana-san berhasil mendapatkan jimat mereka dengan selamat, aku melihat sekeliling dan menemukan Icchi sedang duduk sendirian di meja dan menulis sesuatu.

“Kamu lagi ngapain, Icchi?”

“Aku sedang menulis di jimat pengusiran. Aku berencana mengusir kesialanku.”

Ekspresinya terlihat sangat serius. Di atas selembar kertas putih yang tipis dan berbentuk manusia, Icchi sedang menulis nama dan usia dengan tulisannya di sana.

Icchi lalu menghembuskan napasnya tiga kali ke arah kertas tersebut, lalu meletakkannya di atas air yang sudah diisi di dalam ember yang ada di sampingnya.

Boneka tersebut dengan cepat larut dari anggota badan dan menghilang ke dalam air.

Tanpa mengawasi peristiwa itu, Icchi menyatukan kedua tangannya dan menutup matanya. Ekspresinya terlihat sangat serius.

“... Jadi, kesialan macam apa yang sedang kamu singkirkan?”

Karena merasa takut dengan penampilannya yang mengerikan, aku pun bertanya, dan Icchi membuka matanya saat masih dalam posisi berdoa.

“Aku berharap aku bisa memutuskan hubungan buruk dengan gadis aneh dan bisa mendapatkan pacar yang manis.”

Aku melirik sekilas ke arah Tanikita-san yang sedang asyik mengobrol dengan Pak Kurose-san.

“... Be-Begitu ya.”

Tanikita-san akhirnya dipanggil sebagai “gadis aneh”...!

Yah, dia sebenarnya memang gadis yang aneh, sih.

Mengingat kejadian di Shibuya dan Sanjusangendo, mau tak mau aku juga merasa setuju dengan Icchi.

Tapi, Icchi, padahal sebelumnya kamu pernah bilang “cinta itu bagus, ya”, aku senang bahwa ternyata kamu masih menginginkan pacar.

Sebenarnya, sejak Icchi menjadi lebih kurus, ada kalanya aku tak sengaja menguping pembicaraan para gadis di dalam kelas yang mengatakan, “Ngomong-ngomong, ternyata Ijichi-kun tidak terlalu buruk juga ya...”. Namun, karena Icchi orangnya sangat pendiam dan tekanan dari Tanikita-san begitu kuat, jadi tidak ada gadis yang berani mendekatinya. Sekedar info, mungkin semua teman sekelas tahu bahwa Tanikita-san adalah penggemar Icchi kecuali Icchi sendiri. Aku heran mengapa informasi ini tidak pernah sampai ke telinga Icchi.

“Lunacchi, apa kamu sudah selesai? Ayo segera kembali ke tempat pertemuan.”

Saat Tanikita-san memanggil Luna dan Yamana-san, dan para gadis mulai berkumpul untuk kembali ke tempat pertemuan,

“Katanya ini batu ramalan cinta.”

Luna melihat batu yang ada di sebelahnya. Itu adalah batu berukuran sekitar setinggi lutut dengan permukaan yang kasar, dan ada plakat yang jelas bertuliskan “Batu Ramalan Cinta” tergantung di atasnya. Ketika diperhatikan baik-baik, ada batu serupa yang berjarak sedikit jauh dari lokasi tersebut.

“Katanya, jika kamu bisa menutup mata dan berjalan dari batu ini hingga sampai ke batu itu, maka cintamu bakalan terwujud.”

Ujar Yamana-san setelah membaca penjelasan di plakat tersebut.

“Jadi begitu ya. Akari, ayo coba lakukan!”

“Eh, mengapa malah aku!?”

Ditanya oleh Tanikita-san, Luna dan Yamana-san saling bertatapan.

“Habisnya ...”

“Cinta kami sebenarnya sudah terwujud, tau.”

“Ehh~~~~!? Kalau gitu, Marimero juga harus ikutan!?”

Kurose-san tersenyum lembut ketika diajak oleh Tanikita-san.

“Aku sih enggak usah. Lagipula, aku tidak mempunyai cinta yang ingin aku ramalkan.”

Setelah Kurose-san selesai berbicara, mata kami bertemu sesaat dan aku merasa sedikit berdebar.

Namun, senyumannya tidak terasa kesepian atau sinis. Seolah-olah dia sedang mengatakan padaku, “Jangan khawatir, semuanya baik-baik saja.”

...Meskipun mungkin itu hanya penafsiran yang sepihak dariku.

Kurose-san juga sudah mulai melangkah maju.

Memikirkan itu membuatku sedikit tersenyum juga.

Sementara itu, sepertinya Tanikita-san telah memutuskan untuk melakukan ramalan cinta sendirian dan dia mulai berjalan sambil memejamkan matanya.

Namun,

“...Akari, kamu tidak takut?”

“Kok bisa enggak jalan lurus gitu ya?”

Seperti yang dikatakan Luna dan Yamana-san, Tanikita-san sama sekali tidak bisa berjalan lurus. Sangat jelas sekali kalau dia berjalan melenceng dari tujuannya.

“Hei, Akari, ke kanan! Sedikit ke kanan!”

“Ah, terlalu jauh! Sedikit ke kiri!”

“Eh~!? Duhh─apa yang terjadi sih!?”

“Tidak, seharusnya aku yang bilang begitu.”

Yamana-san dengan cepat menertawakan Tanikita-san yang terdengar kebingungan.

Sebuah batu yang hanya sepuluh meter jauhnya entah bagaimana jauh.

Batu yang hanya berjarak sekitar sepuluh meter terasa sangat jauh.

Sembari mendengarkan instruksi dari Luna, Tanikita-san berjalan ke kanan dan ke kiri dengan goyah, akhirnya mendekatiku dan Icchi yang berdiri di depan batu tujuan.

“Akari, ke kanan!”

Saat itulah Luna berteriak pada Tanikita-san, yang sedang berjalan dengan sudut yang sepertinya akan menabrak kami.

“Eh?”

Tanikita-san tiba-tiba mencoba mengubah arah, tetapi ujung kakinya tersangkut pada tonjolan batu di tanah.

“!?”

“Awas berbahaya, Akari...!”

Ketika tubuh Tanikita-san terhuyung maju dan hampir terjatuh.

Icchi yang berada tepat di depan, secara refleks mengulurkan tangannya.

“Ah!”

Karena ditopang oleh Icchi, Tanikita-san untungnya tidak terjatuh.

“...Ka-Kamu baik-baik saja?”

Icchi bertanya dengan hati-hati seolah-olah sedang menyentuh sesuatu yang rapuh.

Setelah mendengar suaranya, Tanikita-san membuka matanya. Ketika dia melihat muka Icchi di depannya, wajahnya terlihat sangat terkejut hingga matanya hampir melompat keluar....

“~~~~~~~~!?”

Wajahnya menjadi merah padam dan dengan kasar menjauh dari Icchi.

“Ka-Kamu ngapain sih!? Aku jadinya membuka mataku, ‘kan! Padahal aku masih belum selesai!”

“Eh, ta-tapi...”

Icchi tampak bermasalah. Wajar saja reaksinya begitu.

Jika seseorang jatuh di depan matanya seperti itu, siapa pun pasti secara refleks akan mengulurkan tangannya. Entah itu aku, Nisshi, yang berada di depan Tanikita-san, atau bahkan salah satu dari gadis-gadis lainnya, aku yakin mereka juga akan melakukan hal yang sama. Malah, kupikir rasanya tidak manusiawi jika kita menghindar tanpa menolong.

Namun, sepertinya hal itu tidak terlalu mempan bagi Tanikita-san.

“Ka-Kamu tuh apa-apaan sih!? Kamu tuh udah tinggi, keren, jago main game, ditambah lagi, baik sama gadis-gadis!? Kamu tuh bener-bener cowok terburuk!”

“Kalimat itu, sebelah mananya yang membuatnya jadi cowok terburuk?”

“Kata-katanya sama sekali tidak menyinggung.”

Luna dan Yamana-san saling bertatapan dengan wajah tercengang.

“Padahal sudah dikasih pujian segitu banyak, kenapa Ijichi-kun masih enggak sadar ya...”

Sementara itu, Icchi justru menunjukkan ekspresi depresi di wajahnya.

“Pengusiran kesialan, itu tidak berhasil sama sekali... Aku menyia-nyiakan uang dua ratus yen...”

Icchi bergumam dengan suara kesal.

Dengan segala keadaan yang ada, meski tidak diketahui hasil ramalan cinta Tanikita-san, suasananya menjadi kembali seperti semula, aku lalu pergi mendekati Nisshi yang berada di tempat terpisah, dan berbicara dengannya.

“Apa yang sedang kamu lakukan, Nisshi?”

“Uwaahhh!”

Dengan punggung menghadap ke arahku, Nisshi sangat terkejut sampai tubuhnya terangkat.

“Bikin orang kaget saja, ternyata Kasshi, toh.”

Nisshi berada di depan gantungan yang penuh dengan ema yang ditulis oleh pengunjung kuil. Sepertinya ia mengikatkan ema* miliknya sendiri. (TN: Ema adalah plakat kayu kecil yang umum di Jepang, di mana umat Shinto dan Buddha menulis doa, harapan, atau keinginan)

“Ema? Kamu yang menulisnya?”

Ketika aku bertanya, Nisshi mundur dengan menyembunyikan ema yang baru saja diikatnya di belakang punggungnya.

“Jangan lihat!? Jangan coba-coba dilihat!?”

“Orang yang bilang begitu pasti ingin dilihat!”

“Aku benar-benar tidak ingin kamu melihatnya~~~!”

“Aku tahu kok.”

Kurasa itu mungkin ada hubungannya dengan Yamana-san, tapi karena Nisshi terlihat sangat putus asa, aku memutuskan untuk tidak bertanya lebih lanjut.

Kami kemudian kembali ke tempat berkumpul bersama-sama.




Sebelumnya  |    |  Selanjutnya

close

Posting Komentar

Budayakan berkomentar supaya yang ngerjain project-nya tambah semangat

Lebih baru Lebih lama