PART 2
Pada hari berikutnya, kami
masih melakukan kegiatan kelompok. Kami berangkat dengan bus dari hotel,
mengunjungi daerah Higashiyama seperti Sanjusangendo dan kuil Kiyomizu,
kemudian melakukan kunjungan singkat ke kuil Kinkaku dan Ginkaku di sore hari.
Di tempat wisata, kami berkumpul
dalam kelompok dan mengunjungi objek wisata sambil memastikan apa yang telah
kami pelajari sebelumnya di buku pelajaran.
Seperti biasa, Nisshi juga ikut
menyelinap ke dalam kelompok kami hari ini.
Pertama-tama kami mampir di
Sanjusangendo, yang merupakan rekonstruksi bangunan utama kuil milik Kaisar Goshirakawa,
dan di dalamnya terdapat seribu patung Kannon dengan seribu tangan, sesuai dengan
ringkasan yang pernah kami pelajari sebelumnya.
Setelah masuk ke dalam ruangan
yang panjang dan sempit, kami melihat ada banyak patung Kannon yang berjajar
dengan seribu tangan. Patung-patung kayu ini semuanya dikerjakan oleh tangan
manusia, dan setiap patung memiliki rupa wajah yang berbeda-beda.
“Di dalam sini, pasti ada
patung yang mirip dengan orang yang ingin kita temui, kan? Mungkin ada juga patung
yang mirip dengan kita?”
Luna mengatakan itu sambil
berkeliling melihat-lihat patung seolah sedang mencari seseorang.
“Mungkin patung itu yang menyerupai
Ryuuto? Wajahnya terlihat ramah.”
“Be-Benarkah?”
Meskipun aku tidak terlalu
yakin, tapi aku senang mendengar Luna mengatakan itu.
“Lalu, patung yang menyerupai
aku yang mana ya?”
“Hmm...”
Aku menggeram sambil
melihat-lihat patung di sekitar. Patung-patung yang disusun berbaris, semakin
tinggi seperti tangga saat bergerak ke belakang, tapi cahaya di belakang
patung-patung sebelumnya menghalangi dan di dalam ruangan yang gelap serta redup,
jadi sulit melihat detail patung yang ada di bagian belakang.
“Bukannya yang itu?”
Lalu, Kurose-san mendekati Luna
dan menunjuk ke arah suatu patung.
“Patung itu sangat mirip dengan
wajah tidurmu ketika kamu masih kecil, Luna.”
“Ah, setelah dibilang begitu,
kurasa memang benar!”
Aku tidak tahu patung mana yang
mereka bicarakan, tapi Luna terlihat senang sambil melihat patung-patung itu.
“Jadi, patung yang disebelahnya
adalah Maria.”
“Ehh~, memangnya aku memiliki
wajah yang bulat seperti itu?"
Kurose-san menanggapinya sambil
tertawa.
Kedekatan antara kedua saudara
perempuan yang akrab itu membuat hatiku tersentuh.
“Eh, patung mana yang mirip
denganku, ya~?”
Tanikita-san berkeliling
mencari-cari. Icchi yang berada di dekatku, menunjuk ke arah suatu patung
sambil melihatnya.
“...Bukannya yang itu?”
Icchi berkata begitu dengan
suara yang hanya bisa didengar olehku.
Ketika aku mencoba menemukan
patung ke arah yang dimaksud Icchi, aku tidak bisa menahan tawa ketika melihat
patung Raja Asura yang berdiri di hadapanku dengan ekspresi marah di wajahnya.
“Si-Siapa yang bilang aku mirip
Asura~~!?”
Tanikita-san yang memiliki
pendengaran tajam, menunjukkan taringnya ke arah kami.
“Ti-Tidak, maksudku patung
Buddha di belakangnya...”
Icchi berusaha membela diri
dengan panik, tapi Tanikita-san tidak mau mendengarkannya.
“Memangnya kamu pikir kamu itu
siapa? Hanya karena kamu sedikit lebih tinggi dan keren!”
“Sudah kubilang bukan
begitu...”
“Jangan ribut, Tanikita!
Ijichi!”
Mereka ditegur oleh seorang
guru pria yang berada di dekat mereka.
“Kenapa aku malah ikutan kena
juga...”
Icchi yang tidak tahan teguran
terlihat sangat murung, itu sedikit memilukan.
Di sampingnya, Yamana-san
sedang berbicara dengan Nisshi.
“Apa kamu sudah menemukannya,
Ren? Patung yang terlihat mirip seperti seseorang.”
“Tidak. Sejujurnya, semuanya
terlihat sama bagiku...”
Nisshi menjawab tanpa ada rasa
tegang, dan ada suasana alami di antara mereka berdua.
Aku sedikit terkejut ketika melihat
mereka begitu akrab satu sama lain.
“Kalau aku mirip yang mana ya?”
Yamana-san mengucapkan
pertanyaan seolah dalam keheningan, dan Nisshi tiba-tiba menundukkan kepala.
“...Tidak ada.”
Nisshi berbisik dengan lirih,
sedikit menatap Yamana-san.
“Karena Nikoru jauh lebih
cantik.”
Nisshi lalu berkata dengan
malu-malu.
“... Ah, gitu ya.... makasih.”
Yamana-san juga ikut tersipu
dan menjawab dengan blak-blakan.
“Ah, mari kita lihat di sebelah
sana, Icchi.”
Entah bagaimana aku merasa
seperti telah melihat pemandangan yang seharusnya tidak boleh aku lihat, jadi
aku mendesak Icchi untuk pindah dari tempat itu.
Setelah Sanjusangendo, kami
melakukan kunjungan wisata ke Kuil Kiyomizu.
“Wah, tinggi banget~!”
Luna berseru dari tempat yang
sedikit jauh dari panggung Kiyomizu.
“Tinggi banget~! Ayo, Maria,
kamu harus melihatnya juga!”
Luna tampak bersemangat dan
menarik Kurose-san ke depan.
“Aku bisa melihatnya tanpa
perlu kamu memberitahuku, kok.”
Ketika Luna bertingkah begitu
girang seperti anak kecil, Kurose-san sedikit terkejut sambil tersenyum.
“Keren banget! Kayaknya kita
bisa bungee jumping dari sini, bungee~!”
“Tapi ini pegangan kayu, ‘kan?
Apa enggak takut patah?”
“Bungee jumping satu arah dengan keberanian, dong.”
Tanikita-san dan Yamana-san
berkata menimpalinya, dan Luna pun tersenyum.
“Ahh, mendingan enggak usah
deh.”
Di sebelah gadis-gadis yang
sedang mengobrol ramah, kami para pria berdiri berdampingan dalam urutan
tinggi, meletakkan tangan kami di pagar kayu, dan melihat panggung.
“Apa Icchi bisa membuat kuil
seperti ini dengan YourCraft?”
“Tentu bisa dong? Mungkin nanti
aku akan mencoba membangunnya dengan gaya Jepang.”
Icchi menjawab Nishi.
“Pecinta arsitektur sejati
memang beda.”
Aku berkomentar dengan rasa
hormat.
Lalu, Nisshi di sebelahku
bergumam.
“Namun, tempatnya lebih tinggi
dari yang kusangka. Saat melihat ke bawah, rasanya sedikit berbahaya….”
Sementara itu, pada saat Nisshi
melihat ke bawah, Yamana-san diam-diam menyelinap mendekatinya dan mengedipkan
mata ke arahku untuk memberi isyarat diam, lalu dia tiba-tiba mendorong
punggung Nisshi dengan kuat.
“Hwahh!”
“Uwaahhhhh!”
Nisshi berteriak keras dan
bereaksi hampir jatuh terduduk. Melihat Nisshi seperti itu, Yamana-san tertawa.
“Kenapa kamu malah ketakutan
begitu?”
“Bu-Bukannya begitu!”
“Apa jangan-jangan, kamu tidak
suka tempat tinggi ya?”
Ditanya oleh Yamana-san, Nisshi
tetap berjongkok dan menundukkan kepalanya.
“Saat masih SD, aku pernah
pergi ke taman bermain bersama keluargaku dan naik roller coaster. Tapi ada
kerusakan dan kami terjebak di puncak selama tiga puluh menit...”
Aku baru pertama kali
mendengarnya.
“Hmm”
Yamana-san sedikit sungkan dan
sebal, dia kemudian membuka mulutnya.
“Yah, setiap orang memiliki
sesuatu yang tidak disukai. Aku sendiri sangat benci serangga.”
Setelah mendengarnya, Nisshi
kembali bersemangat dan berdiri.
“Serius? Enggak nyangka! Nanti ayo
kita beli mainan serangga di toko serba seratus yen dan letakkan di atas mejamu.”
“Hah? Kamu mau cari gara-gara
ya, dasar bodoh!”
Nisshi tersenyum polos kepada
wajah kesal Yamana-san.
Aku masih belum terlalu
mengenal tentang Yamana-san, tetapi caranya mendekati orang dan memberikan dukungan
seperti ini, membuatku merasa kalau dia mirip dengan Sekiya-san. Meskipun
mereka berpacaran tidak begitu lama, mungkin karena kemiripan sifat dasar inilah
yang membuat mereka terlihat serupa. Jadi, rasanya wajar saja bahwa keduanya
tertarik satu sama lain.
Saat memikirkan tentang
Sekiya-san, pikiranku jadi melayang. Rasanya sudah waktunya untuk pengumuman
hasil akhir ujian masuk. Ia bilang akan memberitahuku segera jika dirinya
diterima, tapi aku merasa sedikit khawatir karena belum ada kabar darinya.
Ketika melihat kedekatan Nisshi
dan Yamana-san yang terlihat akrab dan membuat keributan, aku jadi teringat
pada interaksi mereka berdua di Sanjusangendo dan perasaanku menjadi sedikit tidak
nyaman.
Kemudian, setelah selesai
berkeliling di Kuil Kiyomizu, saat kami sedang kembali ke tempat parkir bus
sebagai titik kumpul, ada sesuatu yang terjadi.
“Nee, nee, katanya di sana
'Dewa Pernikahan'~!”
Luna menunjuk ke arah tangga
batu yang terus berlanjut. Di sana, ada sebuah torii batu dengan tulisan merah
yang dengan jelas tertulis seperti itu.
“Kuil Jishu? Aku belum pernah
memeriksanya.”
“Gimana kalau kita melihatnya
dulu sebentar~?”
Yamana-san berkata kepada Luna
yang memanggil semua orang.
“Kalau kamu sih tidak lagi
membutuhkan yang namanya pertemuan nasib, ‘kan?”
“Tapi, memangnya kamu tidak
ingin mempunyai jimatnya? Jimat yang sepasang dengan pacarmu.”
Setelah mendengar itu,
tampaknya hati Yamana-san juga tersentuh.
“Kalau gitu, mari kita pergi
sebentar. Jimat dari Kyoto sepertinya memiliki efek yang luar biasa.”
“Eh, tunggu sebentar, memangnya
kita boleh singgah ke tempat lain seperti itu?”
Nisshi berkata dengan kebingungan.
“Yah, asal kita bisa kembali
sebelum waktu habis, kurasa tidak ada masalah.”
Yamana-san menjawab dengan
optimis dan mengambil inisiatif untuk melanjutkan, lalu kami memutuskan untuk
mengambil jalan memutar ke Kuil Jishu.
“Itu dia, jimatnya!”
Setelah selesai beribadah
dengan semua orang, Luna mampir ke tempat penjualan terdekat.
“Wah, sepasang jimat ini bertuliskan
'cinta akan tumbuh'! Aku akan
mengambil yang ini~.”
“Kalau aku sih mungkin memilih
yang ini. Katanya ‘Ini adalah jimat
lonceng lonceng yang menghubungkan hati dua orang yang sering terpisah karena
urusan rumah, belajar, dan pekerjaan.”
Ucap Yamana-san sambil
melihat-lihat jimat yang dipajang.
“Cocok banget, tuh! Tapi, bukannya
sebentar lagi kalian bisa bersama-sama?”
“Iya sih, tapi sepertinya
Senpai akan sibuk dengan jadwal kuliahnya di universitas nanti.”
Karena mereka berdua sedang
memegang jimat, jadi aku memanggil Luna.
“Kamu akan membelinya? ...Mau
aku yang membayarnya?”
“Ah, enggak usah! Karena aku
yang mau membelinya.”
“Tapi... Kamu akan memberikan satu bagian
kepadaku, ‘kan?”
Jika tidak seperti itu, rasanya
akan sangat mengecewakan.
“Ya... Baiklah, apa mau bayar
separuh-separuh?”
“Benar juga. Karena harganya
seribu yen, jadi masing-masing lima ratus yen?”
Setelah Luna dan Yamana-san
berhasil mendapatkan jimat mereka dengan selamat, aku melihat sekeliling dan
menemukan Icchi sedang duduk sendirian di meja dan menulis sesuatu.
“Kamu lagi ngapain, Icchi?”
“Aku sedang menulis di jimat
pengusiran. Aku berencana mengusir kesialanku.”
Ekspresinya terlihat sangat
serius. Di atas selembar kertas putih yang tipis dan berbentuk manusia, Icchi
sedang menulis nama dan usia dengan tulisannya di sana.
Icchi lalu menghembuskan
napasnya tiga kali ke arah kertas tersebut, lalu meletakkannya di atas air yang
sudah diisi di dalam ember yang ada di sampingnya.
Boneka tersebut dengan cepat
larut dari anggota badan dan menghilang ke dalam air.
Tanpa mengawasi peristiwa itu,
Icchi menyatukan kedua tangannya dan menutup matanya. Ekspresinya terlihat
sangat serius.
“... Jadi, kesialan macam apa
yang sedang kamu singkirkan?”
Karena merasa takut dengan penampilannya
yang mengerikan, aku pun bertanya, dan Icchi membuka matanya saat masih dalam
posisi berdoa.
“Aku berharap aku bisa
memutuskan hubungan buruk dengan gadis aneh dan bisa mendapatkan pacar yang
manis.”
Aku melirik sekilas ke arah
Tanikita-san yang sedang asyik mengobrol dengan Pak Kurose-san.
“... Be-Begitu ya.”
Tanikita-san akhirnya dipanggil
sebagai “gadis aneh”...!
Yah, dia sebenarnya memang
gadis yang aneh, sih.
Mengingat kejadian di Shibuya
dan Sanjusangendo, mau tak mau aku juga merasa setuju dengan Icchi.
Tapi, Icchi, padahal sebelumnya
kamu pernah bilang “cinta itu bagus, ya”,
aku senang bahwa ternyata kamu masih menginginkan pacar.
Sebenarnya, sejak Icchi menjadi
lebih kurus, ada kalanya aku tak sengaja menguping pembicaraan para gadis di dalam
kelas yang mengatakan, “Ngomong-ngomong,
ternyata Ijichi-kun tidak terlalu buruk juga ya...”. Namun, karena Icchi orangnya
sangat pendiam dan tekanan dari Tanikita-san begitu kuat, jadi tidak ada gadis
yang berani mendekatinya. Sekedar info, mungkin semua teman sekelas tahu bahwa
Tanikita-san adalah penggemar Icchi kecuali Icchi sendiri. Aku heran mengapa
informasi ini tidak pernah sampai ke telinga Icchi.
“Lunacchi, apa kamu sudah
selesai? Ayo segera kembali ke tempat pertemuan.”
Saat Tanikita-san memanggil
Luna dan Yamana-san, dan para gadis mulai berkumpul untuk kembali ke tempat
pertemuan,
“Katanya ini batu ramalan
cinta.”
Luna melihat batu yang ada di
sebelahnya. Itu adalah batu berukuran sekitar setinggi lutut dengan permukaan
yang kasar, dan ada plakat yang jelas bertuliskan “Batu Ramalan Cinta” tergantung di atasnya. Ketika diperhatikan
baik-baik, ada batu serupa yang berjarak sedikit jauh dari lokasi tersebut.
“Katanya, jika kamu bisa
menutup mata dan berjalan dari batu ini hingga sampai ke batu itu, maka cintamu
bakalan terwujud.”
Ujar Yamana-san setelah membaca
penjelasan di plakat tersebut.
“Jadi begitu ya. Akari, ayo
coba lakukan!”
“Eh, mengapa malah aku!?”
Ditanya oleh Tanikita-san, Luna
dan Yamana-san saling bertatapan.
“Habisnya ...”
“Cinta kami sebenarnya sudah
terwujud, tau.”
“Ehh~~~~!? Kalau gitu, Marimero
juga harus ikutan!?”
Kurose-san tersenyum lembut
ketika diajak oleh Tanikita-san.
“Aku sih enggak usah. Lagipula,
aku tidak mempunyai cinta yang ingin aku ramalkan.”
Setelah Kurose-san selesai berbicara,
mata kami bertemu sesaat dan aku merasa sedikit berdebar.
Namun, senyumannya tidak terasa
kesepian atau sinis. Seolah-olah dia sedang mengatakan padaku, “Jangan khawatir, semuanya baik-baik saja.”
...Meskipun
mungkin itu hanya penafsiran yang sepihak dariku.
Kurose-san
juga sudah mulai melangkah maju.
Memikirkan itu membuatku
sedikit tersenyum juga.
Sementara itu, sepertinya
Tanikita-san telah memutuskan untuk melakukan ramalan cinta sendirian dan dia
mulai berjalan sambil memejamkan matanya.
Namun,
“...Akari, kamu tidak takut?”
“Kok bisa enggak jalan lurus
gitu ya?”
Seperti yang dikatakan Luna dan
Yamana-san, Tanikita-san sama sekali tidak bisa berjalan lurus. Sangat jelas
sekali kalau dia berjalan melenceng dari tujuannya.
“Hei, Akari, ke kanan! Sedikit
ke kanan!”
“Ah, terlalu jauh! Sedikit ke
kiri!”
“Eh~!? Duhh─apa yang terjadi
sih!?”
“Tidak, seharusnya aku yang
bilang begitu.”
Yamana-san dengan cepat
menertawakan Tanikita-san yang terdengar kebingungan.
Sebuah batu yang hanya sepuluh
meter jauhnya entah bagaimana jauh.
Batu yang hanya berjarak
sekitar sepuluh meter terasa sangat jauh.
Sembari mendengarkan instruksi
dari Luna, Tanikita-san berjalan ke kanan dan ke kiri dengan goyah, akhirnya
mendekatiku dan Icchi yang berdiri di depan batu tujuan.
“Akari, ke kanan!”
Saat itulah Luna berteriak pada
Tanikita-san, yang sedang berjalan dengan sudut yang sepertinya akan menabrak
kami.
“Eh?”
Tanikita-san tiba-tiba mencoba
mengubah arah, tetapi ujung kakinya tersangkut pada tonjolan batu di tanah.
“!?”
“Awas berbahaya, Akari...!”
Ketika tubuh Tanikita-san
terhuyung maju dan hampir terjatuh.
Icchi yang berada tepat di
depan, secara refleks mengulurkan tangannya.
“Ah!”
Karena ditopang oleh Icchi,
Tanikita-san untungnya tidak terjatuh.
“...Ka-Kamu baik-baik saja?”
Icchi bertanya dengan hati-hati
seolah-olah sedang menyentuh sesuatu yang rapuh.
Setelah mendengar suaranya,
Tanikita-san membuka matanya. Ketika dia melihat muka Icchi di depannya,
wajahnya terlihat sangat terkejut hingga matanya hampir melompat keluar....
“~~~~~~~~!?”
Wajahnya menjadi merah padam
dan dengan kasar menjauh dari Icchi.
“Ka-Kamu ngapain sih!? Aku
jadinya membuka mataku, ‘kan! Padahal aku masih belum selesai!”
“Eh, ta-tapi...”
Icchi tampak bermasalah. Wajar
saja reaksinya begitu.
Jika seseorang jatuh di depan
matanya seperti itu, siapa pun pasti secara refleks akan mengulurkan tangannya.
Entah itu aku, Nisshi, yang berada di depan Tanikita-san, atau bahkan salah
satu dari gadis-gadis lainnya, aku yakin mereka juga akan melakukan hal yang
sama. Malah, kupikir rasanya tidak manusiawi jika kita menghindar tanpa
menolong.
Namun, sepertinya hal itu tidak
terlalu mempan bagi Tanikita-san.
“Ka-Kamu tuh apa-apaan sih!?
Kamu tuh udah tinggi, keren, jago main game, ditambah lagi, baik sama
gadis-gadis!? Kamu tuh bener-bener cowok terburuk!”
“Kalimat itu, sebelah mananya
yang membuatnya jadi cowok terburuk?”
“Kata-katanya sama sekali tidak
menyinggung.”
Luna dan Yamana-san saling
bertatapan dengan wajah tercengang.
“Padahal sudah dikasih pujian
segitu banyak, kenapa Ijichi-kun masih enggak sadar ya...”
Sementara itu, Icchi justru
menunjukkan ekspresi depresi di wajahnya.
“Pengusiran kesialan, itu tidak
berhasil sama sekali... Aku menyia-nyiakan uang dua ratus yen...”
Icchi bergumam dengan suara
kesal.
Dengan segala keadaan yang ada,
meski tidak diketahui hasil ramalan cinta Tanikita-san, suasananya menjadi
kembali seperti semula, aku lalu pergi mendekati Nisshi yang berada di tempat
terpisah, dan berbicara dengannya.
“Apa yang sedang kamu lakukan,
Nisshi?”
“Uwaahhh!”
Dengan punggung menghadap ke
arahku, Nisshi sangat terkejut sampai tubuhnya terangkat.
“Bikin orang kaget saja,
ternyata Kasshi, toh.”
Nisshi berada di depan
gantungan yang penuh dengan ema yang ditulis oleh pengunjung kuil. Sepertinya ia
mengikatkan ema* miliknya sendiri. (TN: Ema adalah plakat kayu kecil yang umum di Jepang, di
mana umat Shinto dan Buddha menulis doa, harapan, atau keinginan)
“Ema? Kamu yang menulisnya?”
Ketika aku bertanya, Nisshi
mundur dengan menyembunyikan ema yang baru saja diikatnya di belakang
punggungnya.
“Jangan lihat!? Jangan coba-coba dilihat!?”
“Orang yang bilang begitu pasti
ingin dilihat!”
“Aku benar-benar tidak ingin
kamu melihatnya~~~!”
“Aku tahu kok.”
Kurasa itu mungkin ada
hubungannya dengan Yamana-san, tapi karena Nisshi terlihat sangat putus asa,
aku memutuskan untuk tidak bertanya lebih lanjut.
Kami kemudian kembali ke tempat
berkumpul bersama-sama.