PART 3
Setelah makan siang di dekat
kuil Kiyomizu, kami menaiki bus dan menuju Kinkakuji.
“Kinkaku keren banget! Semuanya
kelihatan mengkilap banget ya! Keren abis!”
“Apa mau aku foto, Luna?”
“Maria juga ikutan foto yuk!
Lah lagian, gimana kalau kita foto bareng-bareng?”
“Bukannya mustahil? Emangnya
semua bisa masuk? Oh ya, Akari, kamu membeli lensa sudut lebar untuk ponsel,
kan?”
“Ya, saat ini sedang dipasang!
Oke, semuanya masuk!"
“Ka-Kami juga?”
"Ya, Ryuuto dan yang
lainnya juga masuk!"
“Ren, ayo masuk sini!”
"...Tunggu sebentar! Kamu ‘kan
punya badan bongsor, bagaimana kalau kau membungkuk!?”
“Be-Begini...?”
“Tu-Tunggu, jangan
dorong-dorong gitu, sih! Itu, itu memang mengenai lututku!”
“Ma-Maaf...”
“Kamu benar-benar cowok
terburuk!”
Setelah kekacauan selama
kunjungan Kinkaku-ji, kami menaiki bus lagi untuk menuju Ginkaku-ji.
“Ginkaku-ji kelihatan polos
banget! Tidak sama sekali berwarna perak!”
“Ginkaku-ji tuh enggak berwarna
perak, bukannya kita pernah mempelajari itu sebelumnya, Luna...”
“Tapi tetap terlalu polos, ‘kan?
Apalagi setelah Kinkaku-ji yang kelihatan lebih menarik.”
“Kalau begitu, bagaimana jika
kita tambahkan filter untuk mempercantik?”
“Oh, ide bagus tuh, Nikorun! Mari
kita buat warna merah muda.”
“Itu sih bakalan menjadi
Kinkaku-ji Versi Merah Muda, konyol banget.”
“Ryuuto dan yang lainnya juga
mau ikutan foto?”
“Eng-Enggak, aku tadi sudah
difoto, jadi tidak usah, deh.”
“Aku tidak ingin berubah menjadi
merah muda ...”
“Aku juga tidak ingin dimarahi
lagi...”
Setelah selesai dengan
kunjungan hari ini, kami kembali ke hotel menggunakan bus, dan hari kedua
perjalanan studi pun berakhir.
◇◇◇◇
Hari ketiga adalah hari
terakhirkami di Kyoto, dan kami memiliki
kegiatan kelompok sepanjang hari. Setiap kelompok akan berkumpul dan mengunjungi
tempat-tempat yang telah kami pelajari sebelumnya terkait sejarah dan
asal-usulnya.
Kami berencana mengunjungi Kuil
Inari Fushimi di pagi hari, dan menjelajahi kuil-kuil di wilayah Sagano di sore
hari.
Kuil Inari Fushimi terletak di
lokasi yang mudah dijangkau, sekitar lima menit dengan kereta dari Stasiun
Kyoto.
“Wah~, menakjubkan!”
Setelah melewati bangunan utama,
kami disambut dengan torii seribu gerbang yang menjadi lambang kuil ini.
Jejeran torii berwarna merah cerah yang tak terhitung jumlahnya memberikan pemandangan
yang spektakuler. Tidak hanya Luna, tetapi semua orang bersorak kagum melihat
pemandangan yang lebih luar biasa dari yang mereka bayangkan..
“Ini bener-bener keren banget!”
“Nikorun, berdirilah di sana!
Marimero juga!”
“Baiklah~!”
“Eh, be-begini?”
“Okemaru!”
Para gadis segera sibuk
memotret dengan semangat.
Gerbang torii seribu terletak
di kaki gunung, dan semakin seseorang berjalan maju, semakin terasa kalau kita seperti
masuk ke dalam pegunungan.
Meskipun ini adalah pagi hari
yang cerah, langit biru terhalang oleh pepohonan gunung, dan pandangan menjadi
redup. Udara terasa sejuk dan segar, menciptakan perasaan aneh yang terasa
sakral seolah-olah terisolasi dari dunia luar. Aku tidak ingin membuat
keributan, jadi percakapanku dengan Icchi dan yang lainnya pun jarang terjadi,
aku lalu mendaki sendiri melalui jalan setapak di gunung dengan hening.
Pemandangan mulai terbuka
sedikit ketika kami tiba di sebuah tempat persembahan yang disebut “Oku no In”. Setelah melewati gerbang tori
seribu, ada sebuah area datar yang agak luas.
Kami berencana untuk mendaki
gunung lebih jauh dari sini sampai kami mencapai tempat yang disebut Yotsutsuji,
di mana terdapat tempat istirahat, dan kemudian turun gunung.
Meskipun sekarang masih pagi, sudah
ada banyak wisatawan yang terus naik dari arah gerbang torii seribu satu per
satu, dan terus berdatangan berbondong-bondong.
“Katanya ini disebut 'Batu
Ringan'! Apa ini?”
“Katanya, jika kamu
mengangkatnya sambil membuat permohonan, jika terasa lebih ringan dari yang
kamu pikirkan, permohonanmu akan dikabulkan. Tapi jika terasa berat, permohonanmu
tidak akan terwujud.”
“Serius!? Nikorun, ayo coba
deh!”
“Eh, enggak ah, takut!”
Para gadis bermain-main di
samping batu ramalan yang berada dekat dengan tempat persembahan.
“Gadis tuh memang suka dengan
ramalan dan sejenisnya, ya?”
“Ketika aku mendatangi tempat
yang berantakan seperti ini, rasanya ingin menghempaskan semuanya dengan ledakan
dinamit dari YorCraft.”
"Itu pemikiran yang
berbahaya, Icchi...”
Ketika para anak laki-laki pun
saling bercerita tentang pikiran mereka sendiri…
“Oh, halo, Senpai!?”
Yamana-san tiba-tiba
menempelkan ponselnya ke telinga dan bersuara ceria.
Dia
bilang Senpai… itu berarti panggilan dari Sekiya-san.
Jika Sekiya-san yang
menghubunginya sendiri padahal dirinya bilang ia takkan menghubungi, itu pasti
berarti hasil ujiannya telah keluar.
Aku memeriksa layar ponselku,
tapi belum ada kabar darinya. Kurasa itu wajar saja ia memberi tahu kekasihnya
terlebih dahulu.
“Eh, dari pacar Nikorun!?”
“Syukurlah untukmu, Nikoru!”
Di tengah pengawasan
Tanikita-san dan Luna, Yamana-san berbicara dengan wajah yang penuh
kebahagiaan.
“..........”
Aku tanpa sadar menengok ke
arah Nisshi, tapi Nisshi sedang melihat ke arah lain dengan pandangan jauh.
Karena percakapan Yamana-san
belum berakhir, sepertinya kami tidak bisa melanjutkan ke depan, jadi aku
berbincang-bincang dengan Icchi sebentar.
Tiba-tiba, ketika aku melihat
ke arah para gadis, aku menyadari ada sesuatu yang aneh.
Yamana-san berdiri sendirian di
tempat yang agak terpisah. Dengan membelakangi kami, dia menghadap ke arah
gunung dan membungkukkan kepala, sambil menempelkan ponsel ke telinganya.
Saat aku memperhatikannya,
Yamana-san tiba-tiba berjongkok dan
memeluk lututnya. Punggungnya naik turun seolah-olah dia sedang menangis.
“Nikoru...?”
Luna dan yang lainnya juga merasa
cemas sambil memperhatikan, tetapi mereka tampak menjaga jarak dari suasana
yang tidak biasa.
Yamana-san berdiri dan pergi ke
belakang kuil dengan menghindari tatapan kami.Luna yang khawatir mengikutinya,
tetapi dia kembali sambil menggelengkan kepala.
Kemudian kami menunggu, lima
menit, sepuluh menit. Luna pergi sekali lagi untuk melihat keadaan. Dan dia
kembali dengan wajah yang pucat.
“Apa yang harus kita lakukan?
Nikoru tiba-tiba menghilang!”
“Eh!?”
Kami para cowok juga berkumpul
di tempat para gadis.
“Menghilang? Apa maksudmu?”
“Tadi dia sedang menelepon di
belakang sana. Sekarang ketika aku melihatnya lagi, dia sudah tidak ada... Aku
sudah mencoba menelepon Nikoru, tapi ponselnya mati dan tidak bisa dihubungi.”
“Karena sehabis menelepon Sekiya-san,
jadi baterainya habis?”
“Ya mana mungkinlah. Sekarang
masih pagi, dia juga baru melakukan panggilan selama lima belas menit...”
“Mungkin dia pergi ke toilet?”
“Mengapa dia harus mematikan
ponsel saat pergi ke toilet?”
Saat aku sedang berbicara
dengan Luna, ponselku tiba-tiba menerima panggilan.
“...Ini dari Sekiya-san.”
Dengan tangan yang berkeringat,
aku menggenggam ponselku dan menekan tombol jawab, kemudian menempelkannya ke
telingaku
“Ahh,
Ryuuto? Apa Yamana ada di sana?”
Sekiya-san masih bertingkah
sama seperti biasanya, tapi aku bisa merasakan sedikit kegelisahan dalam
suaranya.
“Tidak... dia sedang tidak ada
di sini sekarang.”
“…………”
Aku juga bisa mendengar desahan
di seberang telepon.
“...Sebenarnya,
aku baru saja memberitahu hasil ujianku kepada Yamana...”
Dengan nada suara yang
tiba-tiba murung, aku sudah bisa membayangkan hasilnya sebelum mendengarnya.
“Tahun
ini tidak berhasil.”
“... Begitu ya...”
“Aku akan menjadi ronin satu
tahun lagi. Ayahku juga menyuruhku 'coba
saja'.”
“…Lantas, bagaimana hubunganmu
dengan Yamana-san?”
Luna dan yang lainnya menahan
napas dan mengawasiku, jadi ketegangan bisa dirasakan dalam suaraku.
“Aku
memberitahunya kalau dia bebas memutuskan apakah akan tetap melanjutkan hubungan
kita seperti ini atau putus.”
“Lalu, apa yang Yamana-san
katakan?”
“...Dia
menangis dan berkata, 'Aku tidak ingin membuat keputusan seperti itu'... Lalu
panggilan terputus. Setelah itu, tidak ada satu pun panggilan yang tersambung.”
Jadi itulah sebabnya Sekiya-san
meneleponku.
“Dia mungkin masih berada di
sekitar sini, jadi kami akan mencarinya. Jika aku menemukannya, aku akan segera
menghubungimu.”
“Aku
benar-benar minta maaf karena sudah merepotkanmu.”
Sekiya-san memiliki suara yang
sangat tenang.
“Kalian
sedang dalam perjalanan sekolah, ‘kan? Kamu sedang ada di mana sekarang?”
“Kami sedang berada di kuil
Fushimi Inari di Kyoto.”
“Aku tahu dia sedang dalam perjalanan
sekolah, tapi .... Yamana pasti khawatir sepanjang waktu. Hasilnya sudah keluar
dua hari yang lalu, dan rencananya sudah ditetapkan, tapi aku merasa tidak
enakan karena lama tidak menghubunginya...”
Aku juga mengerti itu, jadi aku
tidak ingin menyalahkan Sekiya-san.
Setelah menutup telepon, saya
memberitahu teman-teman dalam kelompok tentang situasinya, dan kami mulai
mencari Yamana-san dengan membagi tugas.
“Aku akan pergi ke bawah.
Kurasa dia takkan mungkin pergi ke atas tanpa berpapasan dengan kita.”
“Aku juga ikut!”
“Aku juga.”
Luna, Tanikita-san, dan Kurose-san
kembali ke gerbang tori seribu.
“Aku akan mencoba naik. Mungkin
dia mendaki ke atas saat tidak ada yang melihatnya.”
Nisshi pergi mendaki ke atas,
sementara aku dan Icchi mencari di sekitar Oku
no In, lalu setelah itu mengikuti Nisshi.
Jalan naik semakin curam dan
kadang-kadang tampak seperti jalan setapak yang tidak terawat. Meskipun awalnya
aku merasa dingin, tapi aku mulai menyadari bahwa punggungku berkeringat dan
napasku terengah-engah.
“...Kamu seriusan berpikir Oni
gyaru bisa mendaki jalan seperti ini?”
Ujar Icchi dengan ekspresi
sedikit lelah.
“Memangnya seorang gadis yang
patah hati berani mendaki jalur gunung sendirian?”
"Hmm... Jika dia benar-benar
terguncang, mungkin dia akan melakukan tindakan yang bahkan tidak dimengerti
dirinya sendiri...”
Itulah sebabnya aku terus
mencari dengan khawatir. Jika seorang siswa SMA memiliki ponsel dan sedikit
uang tunai, biasanya tidak perlu terlalu khawatir, meskipun mereka tersesat di
suatu tempat di dalam negeri.
“...Si Oni gyaru benar-benar
bodoh, ya. Hanya karena masalah cinta saja dia jadi begitu.”
Icchi mengatakan itu dengan
lirih. Pandangan matanya dipenuhi dengan kecemburuan daripada penghinaan.
“Nisshi juga bodoh. Padahal tidak
ada gunanya mengejar gadis yang menghilang saat sedang perjalanan sekolah
karena mendengar pacarnya tidak lulus ujian masuk universitas dua kali.”
Sambil melihat ke atas di jalan
gunung, Icchi bergumam seperti itu.
“...Ya, memang benar.”
Aku pun berpikir demikian.
Termasuk aku yang merasa senang
atau terguncang oleh setiap tindakan dan perkataan Luna.
Tapi kurasa itulah yang
dinamakan jatuh cinta.
Kami yang tidak berpengalaman
masih berada di tengah perjalanan dalam hal cinta.
Pemandangan yang terus-menerus
tampak suram dan murung, kadang-kadang terasa sangat sulit dan membuatku
khawatir apakah kami benar-benar bisa mencapainya.
Namun, aku ingin tahu apa yang
menanti di depan sana. Seperti apa pemandangan yang akan terlihat. Itulah sebabnya
aku ingin mendaki.
Rasa sakit itu juga bagian dari
cinta.