Keiken-zumi Jilid 5 Bab 3 Bagian 4 Bahasa Indonesia

PART 4

 

Sekitar dua jam kemudian, kami saling menghubungi dengan para gadis dan bertemu di Yotsutsuji di tengah gunung.

Yotsutsuji berada di bukit terbuka, dan ada kedai teh tempat dimana kamu bisa menikmati makanan manis. Ada banyak wisatawan yang duduk beristirahat di bangku di depan toko.

“Nikoru, dia tidak ada di bawah ...”

“Kami mencarinya secara terpisah di kuil utama, persimpangan jalan, dan kedai teh. Kami bahkan pergi sampai ke arah stasiun.”

Luna dan Kurose-san memberikan laporan. Mereka baru saja naik dari bawah, jadi napas mereka belum sepenuhnya pulih.

“Dia juga tidak ada di atas... Kami bahkan pergi sampai ke arah air terjun, tapi kami tidak menemukannya sama sekali.”

Nisshi mengatakan dengan ekspresi kelelahan yang jelas.

“Kami juga pergi sampai ke persimpangan tiga jalan, tapi tetap nihil...”

Kami semua tidak mendapatkan hasil yang positif.

“Nikorun, dia pergi kemana sih ...”

Tanikita-san berbisik dengan sedih. Kemudian, Luna tiba-tiba menyadari sesuatu dan mengeluarkan ponselnya.

“Mungkin lebih baik menghubungi guru. Meskipun kita mungkin akan dimarahi nanti...”

“Yeah, kamu benar. Mungkin itu lebih baik daripada menunggu sampai ada sesuatu yang terjadi.”

Dengan dukungan dariku, Luna mengeluarkan buku panduan perjalanan. Ada kemungkinan besar kalau pihak sekolah memasukkan nomor ponsel guru yang tertulis di halaman terakhir.

“Kalau begitu, ayo coba panggil Nikorun sekali lagi.”

Tanikita-san juga mengatakan hal yang sama dan mengeluarkan smartphone-nya.

“Lah, di sini sih di luar jangkauan sinyal! Ini sih cuma sampah elektronik kalau enggak bisa nangkep sinyal!”

Saat melihat layar, dia menggeretakkan gigi dengan keras.

“Mau kupinjamkan ponselku padamu?”

“Terima kasih, Marimero... tapi percuma saja. Aku biasanya cuma berhubungan melalui LINE, jadi aku tidak tahu nomor ponsel Nikorun.”

Tanikita-san merasa menghentakkan kakinya dengan sebal.

“090-xxxx-xxxx.”

Kemudian, Nisshi tiba-tiba menyebutkan beberapa angka dengan lancar.

“Eh, luar biasa, Nishina-kun. Itu nomor ponselnya Nikoru, ‘kan?”

Luna yang sedang membolak-balik buku panduan, mendongak dengan terkejut.

“Eh, Seriusan!? Lah tunggu, kamu juga menghafal nomernya, Lunacchi?”

“Ahaha. Selama liburan musim panas, aku sering menelepon setiap malam dari telepon rumah nenek buyutku.”

“Ah, sewaktu smartphone-mu rusak, ya?”

Aku jadi teringat saat kami tinggal di rumah Sayo-san di Chiba dan bekerja bersama Luna di rumah pantai Mao-san. Rasanya jadi penuh kenangan meskipun keadaan kami sedang begini.

“Apa Nisshi juga menelepon Oni gyaru dari telepon rumah?”

Kemudian, Icchi bertanya dengan rasa penasaran.

Nisshi mengangguk pelan seolah-olah ia sedang cemberut.

“...Setiap malam, ketika aku melihat nomor yang diberitahukan padaku, aku berpikir, 'Mungkin malam ini aku akan meneleponnya'.”

Nisshi benar-benar menyukai Yamana-san.

Ketika aku mengetahui kalau perasaannya mungkin takkan bisa tersampaikan, rasanya begitu menyakitkan.

“Ah percuma saja, ini tidak berhasil.”

Meskipun Tanikita-san mencoba menelepon Yamana-san menggunakan ponsel Kurose-san, ternyata panggilannya tetap tidak aktif.

Kemudian pada saat itu, ponselku kembali menerima panggilan telepon.

Ternyata itu dari Sekiya-san.

“Apa Yamana sudah ketemu?”

“Tidak... masih belum.”

Setelah memastikan bahwa panggilan Luna ke guru telah selesai, aku mengubah mode teleponku menjadi mode speaker. Aku ingin mendengar laporan langsung dari mereka semua..

Sekiya-san terdengar sedang dalam perjalanan, ia sepertinya sedang melakukan perjalanan kereta. Menghubungi dari dalam kereta, sepertinya ia sangat khawatir.

“Begitu ya... Jadi apa rencana waktu bebas kalian hari ini?”

Setelah mendengar laporan tentang situasi saat ini, Sekiya-san bertanya.

“Uhmm, setelah selesai mengunjungi Fushimi Inari, kami akan pergi ke Sagano, lalu makan siang di sana, dan mengunjungi kuil...”

Pada bagian atas layar ponsel, waktu menunjukkan pukul 12:03. Ternyata waktunya sudah sesiang ini.

“Kalau gitu, kupikir Yamana sudah berada di Sagano,” kata Sekiya-san.

“Orang itu, pada dasarnya dia adalah gadis yang serius. Dia bukan tipe orang yang meninggalkan semua rencana hari ini hanya karena ingin sendiri sebentar,” tambahnya.

“Eh, tapi...”

“Oh iya, ngomong-ngomong...”

Nisshi tiba-tiba menyela pembicaraanku.

“Nikoru pernah bilang saat di Sagano nanti, 'Aku menantikan untuk melihat patung naga yang menatap dalam semua arah.'

Nisshi berbicara cukup jelas untuk didengar orang yang ada di ujung telepon.

“Dia tertawa, 'Patung itu menatap tajam ke segala arah, kan? Sama seperti ketika aku di sekolah SMP dulu.'

“Ah, dia memang mengatakannya! Nikoru sangat menantikan Sagano juga.”

Luna menyatukan kedua tangannya seolah-olah dia telah menemukan harapan.

“Baiklah, mari kita pergi ke Sagano sekarang! Sebaiknya kita bergerak cepat!”

Setelah Tanikita-san mengakhiri pembicaraan tersebut, aku menutup panggilan dengan Sekiya-san.

“Baiklah...”

Ketika kami bersiap-siap untuk turun bersama, aku mendapatkan panggilan masuk dari Sekiya-san lagi.

“Ya, halo?”

Kali ini aku mendekatkan ponsel ke telinga tanpa menggunakan speaker, dan aku bisa mendengar suara heran Sekiya-san.

“Tadi itu siapa?”

“Eh?”

“Cowok yang menyebutkan sesuatu tentang Naga.”

“Ohh, tadi itu Nisshi... Nishina Ren. Ia adalah temanku.”

“Cowok itu dekat dengan Yamana?”

Sekiya-san terus mengajukan pertanyaan dengan tenang.

“Eh? ...Ke-Ketimbang dekat, lebih tepatnya... Ia hanya ingin berteman dengannya...”

Mana mungkin aku bisa berbohong karena aku sudah mengetahui perasaan Nisshi, jadi jawabanku menjadi sedikit tidak jelas.

“Apa cowok itu tahu kalau Yamana sudah punya pacar?”

“I-Iya...”

“... Hmm...”

Walaupun intonasi suaranya tidak terlalu berbeda dari biasanya, aku merasa bahwa Sekiya-san mungkin tidak senang di dalam hatinya, dan aku merasa canggung sendiri.

“Ak-Aku minta maaf... untuk temanku...”

“Kalian mau pergi ke Sagano sekarang, ‘kan? Jika kamu menemukannya, beritahu aku lokasinya.”

“Ya. Mengerti.”

Walaupun Sekiya-san tidak terlihat sangat marah, tapi aku merasa canggung sendiri seraya menjawab singkat dan segera menutup teleponnya.

Kelompok kami kemudian mulai turun dari gunung.

Aku bisa mendengar jelas suara air jernih yang mengalir dan saat menoleh, aku melihat air mengalir di dinding batu seakan merayap. Dengan kilauan bercahaya seperti permata yang membawa cahaya siang, itu terlihat seperti pemandangan surgawi.

Meskipun aku belum pernah merasakan keajaiban spiritual, kata-kata seperti itu tidak pernah mengilhamiku sejauh ini. Namun, saat berjalan di pegunungan ini, aku benar-benar merasakan sensasi bahwa roh-roh suci bersemayam di mana-mana.

Saat memasuki jalur pendakian lagi, angin yang membawa kesejukan membuat punggungku merinding, daun-daun pepohonan di sekitar bergetar seperti gelombang kecil, dan hatiku merasa cemas.

Jika bukan karena ada orang-orang di gunung seperti ini, aku bahkan akan berpikir kalau aku melangkah ke alam gaib.

“...Apa yang harus kita lakukan? Apa Nikoru baik-baik saja?”

Sambil berjalan hati-hati di jalan menurun yang penuh dengan pepohonan yang lebat, Luna datang ke sampingku.

“Aku sedikit khawatir...” gumamnya dengan wajah yang terlihat sedikit pucat.

“Meskipun dia terlihat begitu, Nikoru sebenarnya tidak memiliki mental yang kuat. Ketika dia masih di SMP, dia mengalami stres karena perceraian orang tuanya, dan kabarnya dia pernah menindik sepuluh lubang di telinganya dalam satu hari. Meski sekarang sepertinya dia menutupinya sebagian, sih.”

“Sepuluh lubang...”

Kalau dihitung secara sederhana, itu berarti lima lubang di setiap telinga. Hanya dengan membayangkannya saja sudah membuat daun telingaku terasa sakit.

“Dia bahkan mematikan ponselnya… Jangan bilang, dia enggak memikirkan hal yang aneh-aneh, ‘kan… Ah!”

Pada saat itu, Luna tersandung sesuatu. Mungkin karena dia terlalu khawatir tentang keadaan teman baiknya, perhatiannya teralih dan kurang berhati-hati terhadap langkahnya.

Aku tanpa sadar meraih lengannya dan langsung menggenggam tangan Luna.

“...!”

Luna sedikit menegang, tapi dia tidak berteriak maupun lari.

Aku menuruni jalur gunung sambil berpegangan erat dengan Luna.

Sudah lama sekali aku tidak merasakan kehangatan telapak tangan Luna, dan bahkan di saat situasi seperti ini, hatiku terasa panas.

“Jangan khawatir.”

Aku mengatakannya dengan sepenuh hati.

“Yamana-san berada di Sagano. Perkataan tersebut berasal dari Sekiya-san yang sangat mencintai Yamana-san.”

Sambil hampir tercekat, aku dengan gigih mengutarakan kata-kata yang ada di dalam hatiku.

“Jadi, kamu tidak perlu khawatir.”

Aku mengucapkan kata-kata itu sekali lagi dan dengan lembut memberikan kekuatan pada tangan Luna yang kugenggam erat-erat.

“Ryuuto……”

Ada air mata yang menggenang di matanya yang menatap ke arahku. Luna melihat ke depan, dengan bulu mata yang dipenuhi dengan buliran air mata yang akan tumpah kapan saja jika dia menunduk ke bawah.

“Ya, benar juga. Aku percaya begitu.”

Dia menatapku lagi sambil bergumam. Senyum tipis muncul di wajahnya.

“Terima kasih, Ryuuto.”

Kali ini Luna menguatkan genggaman tangannya.

Tanpa disadari, hatiku terasa penuh.

Hanya sejenak, aku melupakan masalah Yamana-san dan perjalanan wisata sekolah...

Hanya merasakan kehangatan di dalam genggaman tanganku, aku melanjutkan perjalananku menuruni gunung.

 


Sebelumnya  |    |  Selanjutnya

close

Posting Komentar

Budayakan berkomentar supaya yang ngerjain project-nya tambah semangat

Lebih baru Lebih lama