PART 4
Sekitar dua jam kemudian, kami
saling menghubungi dengan para gadis dan bertemu di Yotsutsuji di tengah
gunung.
Yotsutsuji berada di bukit
terbuka, dan ada kedai teh tempat dimana kamu bisa menikmati makanan manis. Ada
banyak wisatawan yang duduk beristirahat di bangku di depan toko.
“Nikoru, dia tidak ada di bawah
...”
“Kami mencarinya secara
terpisah di kuil utama, persimpangan jalan, dan kedai teh. Kami bahkan pergi
sampai ke arah stasiun.”
Luna dan Kurose-san memberikan
laporan. Mereka baru saja naik dari bawah, jadi napas mereka belum sepenuhnya
pulih.
“Dia juga tidak ada di atas...
Kami bahkan pergi sampai ke arah air terjun, tapi kami tidak menemukannya sama
sekali.”
Nisshi mengatakan dengan
ekspresi kelelahan yang jelas.
“Kami juga pergi sampai ke
persimpangan tiga jalan, tapi tetap nihil...”
Kami semua tidak mendapatkan
hasil yang positif.
“Nikorun, dia pergi kemana sih
...”
Tanikita-san berbisik dengan
sedih. Kemudian, Luna tiba-tiba menyadari sesuatu dan mengeluarkan ponselnya.
“Mungkin lebih baik menghubungi
guru. Meskipun kita mungkin akan dimarahi nanti...”
“Yeah, kamu benar. Mungkin itu
lebih baik daripada menunggu sampai ada sesuatu yang terjadi.”
Dengan dukungan dariku, Luna
mengeluarkan buku panduan perjalanan. Ada kemungkinan besar kalau pihak sekolah
memasukkan nomor ponsel guru yang tertulis di halaman terakhir.
“Kalau begitu, ayo coba panggil
Nikorun sekali lagi.”
Tanikita-san juga mengatakan
hal yang sama dan mengeluarkan smartphone-nya.
“Lah, di sini sih di luar
jangkauan sinyal! Ini sih cuma sampah elektronik kalau enggak bisa nangkep
sinyal!”
Saat melihat layar, dia
menggeretakkan gigi dengan keras.
“Mau kupinjamkan ponselku
padamu?”
“Terima kasih, Marimero... tapi
percuma saja. Aku biasanya cuma berhubungan melalui LINE, jadi aku tidak tahu
nomor ponsel Nikorun.”
Tanikita-san merasa
menghentakkan kakinya dengan sebal.
“090-xxxx-xxxx.”
Kemudian, Nisshi tiba-tiba
menyebutkan beberapa angka dengan lancar.
“Eh, luar biasa, Nishina-kun.
Itu nomor ponselnya Nikoru, ‘kan?”
Luna yang sedang membolak-balik
buku panduan, mendongak dengan terkejut.
“Eh, Seriusan!? Lah tunggu,
kamu juga menghafal nomernya, Lunacchi?”
“Ahaha. Selama liburan musim
panas, aku sering menelepon setiap malam dari telepon rumah nenek buyutku.”
“Ah, sewaktu smartphone-mu
rusak, ya?”
Aku jadi teringat saat kami
tinggal di rumah Sayo-san di Chiba dan bekerja bersama Luna di rumah pantai
Mao-san. Rasanya jadi penuh kenangan meskipun keadaan kami sedang begini.
“Apa Nisshi juga menelepon Oni
gyaru dari telepon rumah?”
Kemudian, Icchi bertanya dengan
rasa penasaran.
Nisshi mengangguk pelan
seolah-olah ia sedang cemberut.
“...Setiap malam, ketika aku
melihat nomor yang diberitahukan padaku, aku berpikir, 'Mungkin malam ini aku akan meneleponnya'.”
Nisshi benar-benar menyukai
Yamana-san.
Ketika aku mengetahui kalau
perasaannya mungkin takkan bisa tersampaikan, rasanya begitu menyakitkan.
“Ah percuma saja, ini tidak
berhasil.”
Meskipun Tanikita-san mencoba
menelepon Yamana-san menggunakan ponsel Kurose-san, ternyata panggilannya tetap
tidak aktif.
Kemudian pada saat itu, ponselku
kembali menerima panggilan telepon.
Ternyata itu dari Sekiya-san.
“Apa
Yamana sudah ketemu?”
“Tidak... masih belum.”
Setelah memastikan bahwa panggilan
Luna ke guru telah selesai, aku mengubah mode teleponku menjadi mode speaker.
Aku ingin mendengar laporan langsung dari mereka semua..
Sekiya-san terdengar sedang
dalam perjalanan, ia sepertinya sedang melakukan perjalanan kereta. Menghubungi
dari dalam kereta, sepertinya ia sangat khawatir.
“Begitu
ya... Jadi apa rencana waktu bebas kalian hari ini?”
Setelah mendengar laporan
tentang situasi saat ini, Sekiya-san bertanya.
“Uhmm, setelah selesai
mengunjungi Fushimi Inari, kami akan pergi ke Sagano, lalu makan siang di sana,
dan mengunjungi kuil...”
Pada bagian atas layar ponsel,
waktu menunjukkan pukul 12:03. Ternyata waktunya sudah sesiang ini.
“Kalau
gitu, kupikir Yamana sudah berada di Sagano,” kata
Sekiya-san.
“Orang
itu, pada dasarnya dia adalah gadis yang serius. Dia bukan tipe orang yang
meninggalkan semua rencana hari ini hanya karena ingin sendiri sebentar,”
tambahnya.
“Eh, tapi...”
“Oh iya, ngomong-ngomong...”
Nisshi tiba-tiba menyela
pembicaraanku.
“Nikoru pernah bilang saat di
Sagano nanti, 'Aku menantikan untuk melihat
patung naga yang menatap dalam semua arah.'”
Nisshi berbicara cukup jelas
untuk didengar orang yang ada di ujung telepon.
“Dia tertawa, 'Patung itu menatap tajam ke segala arah,
kan? Sama seperti ketika aku di sekolah SMP dulu.'”
“Ah, dia memang mengatakannya!
Nikoru sangat menantikan Sagano juga.”
Luna menyatukan kedua tangannya
seolah-olah dia telah menemukan harapan.
“Baiklah, mari kita pergi ke
Sagano sekarang! Sebaiknya kita bergerak cepat!”
Setelah Tanikita-san mengakhiri
pembicaraan tersebut, aku menutup panggilan dengan Sekiya-san.
“Baiklah...”
Ketika kami bersiap-siap untuk
turun bersama, aku mendapatkan panggilan masuk dari Sekiya-san lagi.
“Ya, halo?”
Kali ini aku mendekatkan ponsel
ke telinga tanpa menggunakan speaker, dan aku bisa mendengar suara heran
Sekiya-san.
“Tadi
itu siapa?”
“Eh?”
“Cowok
yang menyebutkan sesuatu tentang Naga.”
“Ohh, tadi itu Nisshi...
Nishina Ren. Ia adalah temanku.”
“Cowok
itu dekat dengan Yamana?”
Sekiya-san terus mengajukan
pertanyaan dengan tenang.
“Eh? ...Ke-Ketimbang dekat,
lebih tepatnya... Ia hanya ingin berteman dengannya...”
Mana mungkin aku bisa berbohong
karena aku sudah mengetahui perasaan Nisshi, jadi jawabanku menjadi sedikit
tidak jelas.
“Apa
cowok itu tahu kalau Yamana sudah punya pacar?”
“I-Iya...”
“...
Hmm...”
Walaupun intonasi suaranya
tidak terlalu berbeda dari biasanya, aku merasa bahwa Sekiya-san mungkin tidak
senang di dalam hatinya, dan aku merasa canggung sendiri.
“Ak-Aku minta maaf... untuk
temanku...”
“Kalian mau pergi ke Sagano
sekarang, ‘kan? Jika kamu menemukannya, beritahu aku lokasinya.”
“Ya. Mengerti.”
Walaupun Sekiya-san tidak
terlihat sangat marah, tapi aku merasa canggung sendiri seraya menjawab singkat
dan segera menutup teleponnya.
Kelompok kami kemudian mulai
turun dari gunung.
Aku bisa mendengar jelas suara air
jernih yang mengalir dan saat menoleh, aku melihat air mengalir di dinding batu
seakan merayap. Dengan kilauan bercahaya seperti permata yang membawa cahaya
siang, itu terlihat seperti pemandangan surgawi.
Meskipun aku belum pernah
merasakan keajaiban spiritual, kata-kata seperti itu tidak pernah mengilhamiku
sejauh ini. Namun, saat berjalan di pegunungan ini, aku benar-benar merasakan
sensasi bahwa roh-roh suci bersemayam di mana-mana.
Saat memasuki jalur pendakian
lagi, angin yang membawa kesejukan membuat punggungku merinding, daun-daun
pepohonan di sekitar bergetar seperti gelombang kecil, dan hatiku merasa cemas.
Jika bukan karena ada orang-orang
di gunung seperti ini, aku bahkan akan berpikir kalau aku melangkah ke alam gaib.
“...Apa yang harus kita lakukan?
Apa Nikoru baik-baik saja?”
Sambil berjalan hati-hati di
jalan menurun yang penuh dengan pepohonan yang lebat, Luna datang ke sampingku.
“Aku sedikit khawatir...”
gumamnya dengan wajah yang terlihat sedikit pucat.
“Meskipun dia terlihat begitu,
Nikoru sebenarnya tidak memiliki mental yang kuat. Ketika dia masih di SMP, dia
mengalami stres karena perceraian orang tuanya, dan kabarnya dia pernah
menindik sepuluh lubang di telinganya dalam satu hari. Meski sekarang sepertinya
dia menutupinya sebagian, sih.”
“Sepuluh lubang...”
Kalau dihitung secara
sederhana, itu berarti lima lubang di setiap telinga. Hanya dengan
membayangkannya saja sudah membuat daun telingaku terasa sakit.
“Dia bahkan mematikan ponselnya…
Jangan bilang, dia enggak memikirkan hal yang aneh-aneh, ‘kan… Ah!”
Pada saat itu, Luna tersandung
sesuatu. Mungkin karena dia terlalu khawatir tentang keadaan teman baiknya,
perhatiannya teralih dan kurang berhati-hati terhadap langkahnya.
Aku tanpa sadar meraih
lengannya dan langsung menggenggam tangan Luna.
“...!”
Luna sedikit menegang, tapi dia
tidak berteriak maupun lari.
Aku menuruni jalur gunung
sambil berpegangan erat dengan Luna.
Sudah lama sekali aku tidak
merasakan kehangatan telapak tangan Luna, dan bahkan di saat situasi seperti
ini, hatiku terasa panas.
“Jangan khawatir.”
Aku mengatakannya dengan
sepenuh hati.
“Yamana-san berada di Sagano.
Perkataan tersebut berasal dari Sekiya-san yang sangat mencintai Yamana-san.”
Sambil hampir tercekat, aku
dengan gigih mengutarakan kata-kata yang ada di dalam hatiku.
“Jadi, kamu tidak perlu
khawatir.”
Aku mengucapkan kata-kata itu
sekali lagi dan dengan lembut memberikan kekuatan pada tangan Luna yang
kugenggam erat-erat.
“Ryuuto……”
Ada air mata yang menggenang di
matanya yang menatap ke arahku. Luna melihat ke depan, dengan bulu mata yang
dipenuhi dengan buliran air mata yang akan tumpah kapan saja jika dia menunduk
ke bawah.
“Ya, benar juga. Aku percaya
begitu.”
Dia menatapku lagi sambil bergumam. Senyum tipis muncul di wajahnya.
“Terima kasih, Ryuuto.”
Kali ini Luna menguatkan
genggaman tangannya.
Tanpa disadari, hatiku terasa
penuh.
Hanya sejenak, aku melupakan
masalah Yamana-san dan perjalanan wisata sekolah...
Hanya merasakan kehangatan di
dalam genggaman tanganku, aku melanjutkan perjalananku menuruni gunung.