PART 5
Saat kami sampai di Sagano,
waktu sudah menunjukkan pukul tiga sore. Setelah selesai makan siang dengan
onigiri yang kami beli di toko sambil menunggu giliran naik kereta, kami mencapai
tujuan wisata terakhir hari itu.
Di Sagano, ada sekitar lima
kuil yang rencananya akan kami kunjungi, tetapi karena waktunya sudah terlalu
mepet, kamu memutuskan untuk berpisah dan melakukan tur sambil mencari-cari
keberadaan Yamana-san.
Aku dan Luna, Kurose-san dan
Tanikita-san, Icchi dan Nisshi, kami berpisah dalam tiga kelompok dan sepakat
untuk saling menghubungi satu sama lain.
Aku dan Luna menuju ke Tenryuji,
yang merupakan tempat utama dengan “Naga
yang Mengawasi Segala Arah”.
Setelah melewati gerbang megah
yang ditutupi genteng, kami berjalan di sepanjang jalan utama yang terbuat dari
batu. Di depan sana terdapat sebuah kuil kecil. Di sanalah aula yang terkenal
dengan lukisan naga di langit-langitnya.
“Ayo kita masuk dan
melihat-lihat dulu.”
Saat kami masuk bersama, aku
segera menyadari kalau Yamana-san tidak ada di sini. Di dalam ruangan, hanya
ada orang-orang yang sedang melihat ke langit-langit, dan tempat ini bukanlah
tempat di mana kami bisa tinggal lama karena tidak cukup luas untuk menampung
puluhan orang sekaligus.
Naga yang Mengawasi di Delapan
Arah adalah lukisan Jepang yang megah dengan gaya cat tinta, dan naga yang
terlihat menatap ke arah mana pun memberikan kesan yang kokoh dan mengagumkan.
Saat pertama kali aku berbicara
dengan Yamana-san, aku sedikit teringat tatapan tajamnya saat kami bertemu di
restoran cepat saji.
“...Ayo pergi melihat aula
utama.”
Luna tampak kecewa karena dia
tidak menemukan keberadaan sahabatnya.
Kami meninggalkan tempat
tersebut tanpa mengucapkan sepatah kata pun dan menuju ke lokasi wisata
berikutnya.
Dan kemudian di sana, kami
akhirnya bertemu dengan sosok yang kami cari.
Tempat yang kami masuki adalah
bangunan besar yang disebut Daihoujo. Daihoujo ini berdiri di depan taman
Jepang yang terdaftar sebagai Situs Pemandangan Alam yang Istimewa, dan
bangunan ini dirancang dengan konstruksi terbuka, mungkin agar bisa melihat
pemandangan taman dengan jelas. Ruang dalamnya terlihat luas dengan lantai
tatami yang sebagian besar dilarang masuk, sehingga pengunjung wisata harus
mengelilingi bangunan di sekitar beranda yang luas. Saat kami sampai di beranda
yang menghadap ke taman dengan merasakan sentuhan lantai kayu melalui kaus kaki,
langkah kami berdua terhenti.
Di sana ada gadis dari Sekolah SMA Seirin yang duduk dengan kaki terentang ke arah taman, tangan belakangnya menopang tubuh sambil melihat pemandangan taman. Dari warna rambut dan cara dia mengenakan seragam, bahkan dari belakang, aku bisa segera mengenalinya kalau dia adalah Yamana-san.
Di hadapannya terdapat
pemandangan menakjubkan Arashiyama yang dikelilingi pepohonan hijau dan danau
yang memberikan kesan ketenangan dengan berbagai jenis pohon dan bebatuan.
Taman Jepang, beranda kuil yang
luas, dan gyaru.
Sebuah kombinasi yang terasa
tidak lazim. Namun, kegembiraan menemukan orang yang kami cari lebih besar
daripada perasaan tidak sesuai, dan hampir saja aku teriak, “Ah!”.
“Ah!”
Luna yang benar-benar
berteriak, menoleh padaku dengan wajah yang tidak menyangka juga.
“Nikoru…dia ada disana…!”
Luna berseru sambil berlari
mendekat, dan Yamana-san yang menyadari keberadaannya, menoleh ke arah kami.
“…………”
Melihat kami berdua, Yamana-san
tersenyum sedikit. Senyumannya terlihat seperti senyuman yang pilu.
“Kamu sudah melihat naganya?
Tatapannya kelihatan tajam banget, ‘kan?”
“Nikoru...”
Luna mengambil tempat duduk di
sebelahnya seakan-akan kehilangan tenaganya.
“Syukurlah... Nikoru...”
Dengan mata berkaca-kaca, dia
berbisik dan memeluk Yamana-san. Yamana-san menutup mata dan memeluk teman
baiknya.
Aku berjongkok di dekat mereka
berdua dan memberi tahu semua orang di grup dan Sekiya-san melalui LINE. Aku
merasa sangat sungkan untuk menelepon dari kuil.
“... Aku benar-benar sangat
menantikan pertengahan Maret nanti.”
Setelah mereka berdua sudah
merasa tenang dan memisahkan diri, Yamana-san tiba-tiba berbicara demikian.
“Aku ingin menghabiskan
sepanjang hari bersama Senpai… Ada banyak tempat yang ingin aku kunjungi dalam
kencan dengan Senpai. Tapi semuanya harus ditunda hingga setahun lagi. Ketika
aku berpikir tentang itu, rasa putus asaku begitu besar...”
Luna mengangkat alisnya dan mendengarkan
dengan wajah yang tampak sedih.
“Sudah empat bulan sejak
November. Meskipun begitu, rasanya begitu berat... Walaupun masih ada satu
tahun lagi. Aku harus menahan hal seperti ini tiga kali lipat dari waktu
sebelumnya... Ketika aku berpikir begitu, rasanya benar-benar tidak sanggup...”
Yamana-san menggigit bibirnya
dan menundukkan kepalanya.
“Tapi lebih dari itu, aku tidak
ingin putus dengannya... Aku ingin menjadi pacar Senpai, tapi aku juga tidak
ingin hidup tanpa bisa bertemu dengannya... Perasaanku ini hanyalah keegoisan
semata, jadi aku tidak ingin mengungkapkannya kepada Senpai... Tapi, karena
hanya itulah yang ada dalam hatiku, aku tidak bisa mengatakan apa pun... Hanya
tersisa satu pilihan, yaitu memutuskan telepon.”
Aku baru menyadari bahwa itu
adalah pengakuan Yamana-san saat menerima kabar dari Sekiya-san.
“Meskipun kami tidak bisa
bersama, mendengar suara Senpai membuatku merasa kesakitan... Pesan-pesan dan
panggilan masuk juga membuatku merasa kesakitan, jadi aku mematikan ponselku...
Aku tidak tahu apa yang harus kulakukan, tapi aku ingin sendirian untuk
sementara waktu... Tapi, aku merasa tidak ingin merepotkan semua orang, jadi
aku datang ke tempat wisata terakhir hari ini... Aku pasti sudah menyusahkan kalian,
kan?”
Wajah Yamana-san menjadi
meringis dan ekspresinya hampir menangis kapan saja.
“Maafkan aku. Aku bodoh... Aku
tidak tahu harus bagaimana dalam situasi seperti ini... Aku melakukan hal yang
bodoh dan akhirnya membuat merepotkan semua orang...”
Air mata mengalir dari kedua
matanya.
“Kami sama sekali tidak
keberatan, kok.”
Dengan berlinangan air mata, Luna
mendekatkan dirinya untuk menyembunyikan temannya dari mata orang-orang yang
lewat, lalu mengusap punggungnya.
Yamana-san menghapus air mata
yang terus-menerus mengalir dengan jari-jarinya dan berbisik.
“Meskipun orang yang paling
kecewa adalah Senpai... Aku membenci diriku sendiri karena tidak bisa langsung
mengatakan, 'Aku akan menunggumu,
berjuanglah selama setahun lagi.' Aku ingin menjadi pacar yang baik di
hadapan Senpai.”
“Nikoru... Aku mengerti. Pasti
rasanya sulit, bukan?”
Pada saat Luna sedang menghibur
Yamana-san.
“Nikorun!”
Tanikita-san dan Kurose-san
datang menghampiri. Sepertinya mereka bergegas datang kemari setelah menerima
pesan dariku.
Beberapa saat kemudian, Nisshi
dan Icchi juga datang.
“Nikoru ... syukurlah kamu
baik-baik saja.”
Nisshi terlihat lega saat melihat keadaan Yamana-san.
“Semuanya maafkan aku.
Gara-gara aku, jadwal hari ini jadi kacau balau...”
Yamana-san sudah tenang dan
sepertinya telah menyesali atas tindakannya sendiri.
Kami berjalan mengikuti rute
kunjungan ke taman agar tidak mengganggu wisatawan lain, lalu duduk di bangku
yang memungkinkan kami melihat taman dari ujungnya. Tentu saja, semua orang
tidak bisa duduk, jadi Icchi dan Nishi yang datang terakhir, terpaksa harus
berdiri.
Karena sudah mendekati waktu
akhir penerimaan pengunjung, jumlah pengunjung yang datang jadi lumayan
sedikit. Berkat itu, kami bisa berkumpul tanpa terlalu memperhatikan perhatian
orang lain.
“Tenang saja! Setidaknya ada
orang yang pergi ke tempat yang seharusnya kami kunjungi di Sagano. Jadi, kami
bisa mengatur semuanya dengan baik.”
Tanikita-san menjawab dengan
riang. Dalam rangka kunjungan belajar seperti ini, setelah perjalanan belajar
selesai, tugas liburan musim semi kami ialah menyusun laporan impresi dan
temuan yang didapatkan saat mengunjungi tempat yang sudah dijadwalkan
sebelumnya ke dalam catatan yang telah dibuat. Walaupun aku pikir Sagano
bukanlah tujuan wisata yang menarik bagi semua orang, setidaknya kami sudah pergi
ke sana, jadi kami akan menyelesaikannya dengan baik.
“Lebih penting lagi, aku senang
Nikoru baik-baik saja.”
Ujar Nisshi, dan Luna serta yang
lainnya mengangguk setuju.
“Ren……”
Yamana-san memandang Nisshi dan
tersenyum lembut. Senyumannya dipenuhi dengan rasa minta maaf dan berterima
kasih.
Pada saat itu, aku secara tidak
sengaja melihat sesosok tubuh yang berhenti di sudut pandanganku, jadi aku
dengan santai memeriksanya.
Dan tatapan mataku terpaku
padanya.
Sungguh
tak bisa dipercaya.
Mengapa
ia bisa ada di sini?
Tapi, tidak peduli bagaimana
aku melihatnya…. Sosok tersebut benar-benar Sekiya-san.
Sekiya-san mengenakan pakaian
kasualnya yang biasa dengan tas selempang yang melintang, dan terlihat santai.
Saat tatapan matanya bertemu denganku, ia terlihat sedikit canggung dan meminta
maaf.
Melihat bahwa aku terpaku ke arah
yang salah, Luna dan anggota lainnya juga mengikuti pandanganku satu per satu.
“Eh!?”
Luna menutup mulutnya dan
mengeluarkan suara seperti jeritan. Kemudian, seseorang melihat ke arah yang
aku lihat dengan perasaan takut... tentu saja itu adalah Yamana-san.
“Senpai...?”
Yamana-san terlihat bingung. Ekspresinya menggambarkan kebingungan mengenai apa yang terjadi, apakah ini nyata atau tidak.
Sekiya-san juga balas menatapnya
dan tersenyum malu-malu. Sepertinya ia tidak tahu apa yang harus dikatakan.
“... Yo.”
Ia mengucapkan sapaan santai
seperti yang biasa diberikan kepada teman cowoknya.
Saat dia mendengar itu, Yamana-san
tampak terkejut dan segera berdiri.
Lalu, seperti peluru yang
dipantulkan, dia berlari menuju Sekiya-san... dan keduanya berpelukan.
“Senpai...! Tidak mungkin...
Apa ini kenyataan!?”
Meskipun berada dalam pelukan
kekasihnya, Yamana-san masih sulit mempercayai situasi ini.
“Maaf, Yamana.”
Sekiya-san memeluknya erat-erat,
seolah-olah ingin membenamkan wajahnya di leher Yamana-san.
“Kita belum bisa merayakan
White Day. Maafkan aku, hanya balasan seperti yang bisa kulakukan.”
Yamana-san menempelkan wajahnya
ke dada Sekiya-san dan menggelengkan kepalanya.
“Bisa bertemu dengan Senpai saja
sudah menjadi hadiah yang terbaik untukku...”
Dengan suara yang terdengar
samar-samar karena tertutupi oleh air mata, Yamana-san berbisik dengan bahagia.
Sekiya-san memeluknya dengan
lebih erat.
“Aku benar-benar minta maaf...
Nikoru.”
Usai mendengar itu, tetasan air
mata mengalir di pipi Yamana-san. Ekspresinya menunjukkan bahwa itu adalah air
mata kebahagiaan.
“…………”
Aku pelan-pelan menatap Nisshi.
Tanpa menggerakkan wajahku, berusaha agar tidak terlihat terlalu mencurigakan.
Nisshi menundukkan kepala dan
mengepalkan kedua tangannya erat-erat.
Tiba-tiba angin berhembus,
pohon-pohon di Arashiyama bergoyang bersamaan. Pohon-pohon di taman juga
bergoyang, menciptakan riak-riak di permukaan air kolam.
Pemandangan Yamana-san dan
Sekiya-san yang saling berpelukan di hadapan taman yang megah terlihat seperti
adegan drama, mungkin karena latar belakangnya.
Aku melihat sekelilingku.
Mata Luna tampak berkaca-kaca
ketika menyaksikan sahabatnya dengan wajah penuh emosi.
Kurose-san dan Tanikita-san
memandang Yamana-san dan Sekiya-san dengan pandangan yang penuh kerinduan dan
kesepian. Sedangkan Icchi terlihat acuh sambil menatap layar ponselnya.
Pada saat itu, Nisshi bergerak.
Ia sepertinya ingin segera menjauh dari tempat itu, dan berjalan cepat melewati
taman.
“Nisshi?”
Icchi berusaha memanggilnya,
tapi Nisshi terus berjalan menjauh tanpa menanggapinya.
Aku secara naluriah langsung
mengikutinya.
Nisshi terus berjalan tanpa
memperhatikan taman di sebelah kirinya. Ia melewati depan Daihoujo, melintasi
sebuah paviliun yang lebih kecil, dan berjalan melalui jalan sempit di dalam
taman, keluar melalui gerbang utara. Itu adalah pintu keluar kecil yang
berlawanan arah dengan pintu masuk.
Bahkan setelah meninggalkan Tenryu-ji,
Nisshi tidak melambatkan langkahnya. Di depannya, hutan bambu yang hijau lebat
muncul.
“Uwah...”
Ngomong-ngomong tentang hutan
bambu di Sagano, aku telah melihatnya dalam gambar dan foto sebelum datang ke
sini. Namun, ketika melihatnya dari dekat, aku merasa kagum dan takjub.
Cahaya matahari terakhir yang
menerangi permukaan bumi mengalir melalui celah-celah bambu yang tumbuh di
kedua sisi dan menyoroti tanah.
Sejauh mata memandang, aku
hanya bisa melihat hijaunya bambu.
Jalan yang tenang dan damai
sejauh mata memandang.
Di tengah suasana seperti itu,
Nisshi masih berjalan. Aku terus mengikutinya meski sedikit terlambat.
Meskipun ia sudah melewati
hutan bambu, Nisshi tidak berhenti berjalan.
Semua kuil dan kuil kecil sudah
menutup meja resepsionis mereka, dan hanya ada sedikit orang di jalan pedesaan
yang terlihat seperti jalan setapak.
Entah dia tahu jalannya atau
tidak, atau dirinya tahu kalau aku mengikutinya, Nisshi
berjalan dengan pasti tanpa ragu. Aku tak bisa berkata-kata kepadanya yang
berjalan di depan dengan punggung kecil yang sudah biasa kulihat, dan aku hanya
terus mengikutinya.
Sudah berapa lama kami
berjalan? Mungkin sekitar tiga puluh menit, atau mungkin sekitar satu jam.
Langit sudah menjelang senja dan warnanya mulai memudar dengan cepat.
Nisshi berhenti di sebuah jalan
kecil yang luas dan terbuka, yang menghadap ke ladang yang luas dan sunyi.
Beberapa meter di belakangnya, aku juga berhenti.
Di seberang ladang terdapat
pepohonan yang lebat, dan di baliknya terlihat gunung. Yang terlihat di
sepanjang jalan hanya ada beberapa rumah tradisional Jepang berlantai satu atau
dua, entah itu rumah tangga atau kuil kecil. Sejauh mata memandang, alam yang
tenang dan damai terhampar luas.
“...Kemarin, aku menulis di
ema, 'Semoga aku bisa berpacaran dengan
Nikoru.' Tapi sepertinya tidak ada pengaruh sama sekali.”
Nisshi mulai berbicara dengan
membelakangiku.
“Nikoru memberiku kue. Meski
bukan buatan sendiri, tapai katanya itu balasan untuk Hari Valentine kemarin.
Aku berharap begitu banyak dan jadi bersemangat gara-gara itu. Aku terlihat
seperti orang bodoh, bukan?”
Sudah
kuduga, ia menyadari aku mengikutinya. Sambil memikirkan hal itu, aku
mendengarkan perkataan Nisshi.
Tiba-tiba, aku teringat telepon
dari Sekiya-san. Aku baru menyadari bahwa suara kereta yang terdengar begitu
keras adalah dari kereta Shinkansen.
"Karena ia adalah pacarnya,
meskipun datang tanpa membawa apa-apa, hal itu bisa membuatnya begitu bahagia,”
imbuh Nisshi.
Aku ingin mengatakan sesuatu,
tapi sayangnya aku tidak bisa memikirkan kalimat yang pas. Sambil masih
berpikir begitu, Nisshi mulai berbicara lagi.
“Sampai beberapa waktu yang
lalu, aku tidak memilih-milih siapa pun. Aku ingin berhubungan dengan siapa pun
asalkan dia adalah seorang gadis yang manis dan imut.”
Setelah mengatakan itu, pundak Nisshi
tertunduk dengan lesu.
“Tapi, kenapa ya... Aku sudah
tak bisa menanggap begitu lagi. Jika bukan dengan Nikoru... hatiku takkan
bergerak untuk gadis lain.”
Nishi sedikit berbalik dan
wajahnya terlihat dari samping. Ekspresinya penuh dengan keputusasaan.
“Mungkin Nikoru juga merasakan
hal yang sama terhadap 'Senpai'-nya
itu...”
Nisshi berkata dengan senyuman
getir yang terlihat seperti kepasrahan dan olok-olok terhadap dirinya sendiri.
“Bukan karena 'Apa aku saja tidak cukup', ya. Pasti karena…
'hanya Senpai yang aku sukai’.”
Dalam monolog yang berbisik,
perasaannya terhadap Yamana-san meluap.
“Aku ingin kembali menjadi
diriku yang dulu. Menghapus kenangan dan kembali sebelum aku jatuh cinta pada
Nikoru.”
“...Apa kamu benar-benar tidak
keberatan dengan begitu?”
Ketika aku bertanya begitu, aku
baru sadar kalau itu merupakan pertanyaan yang tidak pantas.
Aku tidak ingin melupakan
perasaan cintaku pada Luna bahkan jika suatu hari terjadi sesuatu di antara
kami.
Aku tidak ingin melupakannya,
dan jika aku bisa melupakannya, maka aku tidak akan menderita.
Angin berhembus kencang,
pohon-pohon di gunung dan rumput di padang mulai berdesir bersamaan.
Tanpa sadar, suasana di sekitar
kami sudah mulai gelap, dan semua pemandangan kehilangan kontur yang jelas.
Pohon-pohon, rumah pedesaan, jalan, dan sosok manusia yang berjalan di
kejauhan, semuanya larut dalam kegelapan lebih cepat daripada langit.
Ini mungkin kali pertama aku
merasa cemas saat senja, dan baru kemudian aku sadar bahwa tidak ada lampu
jalan di sekitar.
Kata-kata “Waktu Keramat” muncul di pikiranku. Insting dalam diriku merasakan
ketakutan terhadap kegelapan.
Ini adalah senja primitif.
Mulai sekarang, malam sejati akan datang menghampiri tempat ini.
Aku tiba-tiba sangat ingin
bertemu dengan Luna
Namun, Nisshi tidak bergerak
dari tepian jalan yang gelap.
Nisshi membuka mulutnya saat
aku hendak berbicara dengannya.
“Aku yang tidak dibutuhkan oleh
siapa pun... Lebih baik aku tenggelam dalam malam dan menghilang,” bisiknya
dengan terdengar putus asa.
“Nisshi...”
Nisshi bukannya tidak pernah
tidak dibutuhkan. Ia adalah salah satu dari sedikit teman berharga bagiku,
keberadaan yang tak tergantikan di dunia ini.
Tapi bukan perkataan semacam itu
yang Nisshi inginkan saat ini.
Bagi Nisshi sekarang,
Yamana-san adalah segalanya di dunia, dan jika Yamana-san tidak menginginkan
yang lain, maka segala hal lainnya menjadi tidak penting.
Aku juga sama.
Jika Luna menghilang dari
hadapanku, dunia ini terasa seperti akan berakhir.
Oleh karena itu aku memahaminya.
Tidak ada yang bisa kukatakan kepada Nisshi saat ini.
“...Ia lumayan tinggi,” bisik
Nisshi lagi.
Aku pikir dirinya sedang
membicarakan tentang Sekiya-san.
“Katanya ia ingin menjadi
dokter? Orangtuanya juga dokter, kan?"
“...Ya, memang.”
“Apa ada satu hal yang bisa
kuhadapi dan menang darinya….?”
“…………”
Aku tidak bisa memutuskan
kemenangan atau kekalahannya, tetapi aku tahu banyak hal baik tentang Nisshi.
Nisshi adalah cowok yang peka
dan mudah terluka, yang mana hal itu membuatnya pemalu dan cenderung menarik
diri ke dalam cangkangnya sendiri. Namun, ia suka hal-hal yang menarik dan
mengamati dunia dengan mata yang penuh rasa ingin tahu dan waspada. Aku
mengerti karena ada sesuatu yang sama di antara kami. Itulah sebabnya kami
berteman
Sekiya-san dan Nisshi berbeda,
tapi aku suka keduanya. Aku yakin Yamana-san juga merasakan hal yang sama,
itulah sebabnya dia berteman dengan Nisshi.
Namun... entah dia menanggap
Nisshi dalam artian romantis, aku sendiri tidak tahu.
Dan bagi Nishi saat ini, itulah
hal yang penting, jadi aku tidak bisa memberikan penghiburan sembarangan.
“... Ayo segera kembali ke hotel
dan menonton video KEN sama-sama hari ini.”
Pada akhirnya, hanya itulah satu-satunya
kata-kata konyol yang bisa keluar dari mulutku.
Namun, mungkin saja perasaanku
berhasil tersampaikan kepada Nishi.
“...Kurasa benar juga.”
Nisshi pun berbalik dan
tersenyum saat melihatku.
Dengan begitu, Nisshi dan aku
mulai berjalan bersama seraya ditemani pemandangan senja pedesaan yang sepi tanpa
mengucapkan sepatah kata pun.