Bab 3 — Tenshi-sama Memohon
Pada minggu berikutnya, hasil
ujian pasca liburan musim panas pun diumumkan.
Seperti yang sudah diharapkan,
nama Mahiru masih berada di daftar teratas. Mahiru, yang diam-diam menatapnya
tanpa sedikit pun kesombongan, melihat Amane menatapnya dan tersenyum tipis.
Senyuman bidadarinya itu terlihat jauh, tapi Amane bisa tahu hanya dari
tatapannya bahwa dia memiliki rasa percaya yang kuat padanya.
“Mm, selamat berhasil
mempertahankan peringkat pertama.”
“Terima kasih banyak.”
“Itu karena kamu selalu bekerja
sangat keras sehingga kamu terus mendapatkan hasil yang lebih baik. Kamu
melakukannya dengan baik.”
Walaupun dirinya sibuk merawat
Amane setiap hari, Mahiru masih menempati posisi pertama dan tetap percaya
diri, kemungkinan besar karena pengetahuan dan usaha tanpa henti yang telah dia
kembangkan sampai sekarang. Mahiru sering membuka buku referensinya atau
menatap kartu hafalannya ketika dia menghabiskan waktu bersama Amane, jadi
hanya dengan menonton, Amane tahu bahwa dia tidak meremehkan belajarnya.
“Kamu juga sama, Amane-kun. Kamu
berada di peringkat kelima kali ini.”
"Aku bersyukur. Ini semua
berkat gaya mengajarmu yang bagus, Mahiru.”
“Hehe, suatu kehormatan
menerima pujianmu. Kamu sangat cepat belajar, jadi menyenangkan mengajarimu.”
“Heh, terima kasih untuk itu…
Bagaimana dengan siswa normal?”
“Mereka dapat memiliki
konsentrasi yang luar biasa ketika mereka termotivasi, tetapi kadang-kadang,
mereka sepertinya mengalami sedikit masalah.”
“Sangat menggambarkan Chitose
banget.”
Kebetulan, peringkat Chitose
ada di tengah-tengah daftar, jadi catatan buatan tangan yang Mahiru berikan
sepertinya berguna.
Peringkat Itsuki juga lebih
baik dari biasanya, dan sekitar dua puluh tingkat lebih tinggi dari biasanya,
jadi Amane bisa melihat upayanya. Ia adalah tipe pria yang biasanya menyendiri
tetapi bisa melakukan banyak hal jika dirinya mencoba, jadi dia pasti
termotivasi untuk meraih peringkat tinggi kali ini.
“Ngomong-ngomong, rasanya cukup
melegakan untuk saat ini.”
“Saat pulang nanti, kita akan
membawa hasil tes dan mengadakan sesi meninjau ulang. Sepertinya aku membuat
kesalahan di suatu tempat, jadi aku ingin meninjaunya sebelum menjadi
kebiasaan.”
“Kamu benar. Aku senang kamu
begitu rajin.”
"Yah, aku ingin bisa berdiri
di sampingmu dan tidak mempermalukanmu.”
Pada dasarnya, Amane bukanlah tandingan
teman-teman habatnya di sekitarnya. Secara alami, dirinya lebih rendah dari
Mahiru dalam hal kemampuan akademik, dan dirinya juga tidak seatletis seperti
Yuuta, ia juga bukan pembuat suasana alami seperti Itsuki. Aada beberapa yang mengatakan
dirinya memiliki wajah yang tampan, tetapi jika harus mengatakan apa dirinya
serasi dengan Mahiru yang cantik, dipoles oleh usahanya yang tak henti-hentinya
dipasangkan dengan genetika bawaannya, Amane akan mengatakan tidak.
Amane dan Mahiru saling
mencintai, itulah sebabnya mereka berpacaran, tapi dari sudut pandang orang
lain, alasan tersebut masih kurang meyakinkan. Itu sebabnya Amane melakukan
yang terbaik untuk membungkam setiap penonton yang berisik, dan membiarkan
dirinya berdiri di sampingnya dan bangga pada dirinya sendiri. Belajar adalah
salah satu bidangnya.
“Selain itu, memiliki nilai
bagus memberi peluang yang lebih baik.”
“Misalnya?”
“Hm? Kita bisa memiliki
kesempatan yang lebih baik untuk mendapatkan pekerjaan yang kita inginkan di
masa depan.”
Nilai memang bukanlah
segalanya, tetapi jika nilaimu bagus, kamu akan memiliki lebih banyak
kesempatan untuk berada di lingkungan di mana kamu bisa mendapatkan pengetahuan
dan pengalaman yang dibutuhkan.
Persetujuan orang tuanya agar
Amane belajar dan mendapat nilai bagus adalah cara mereka mendorongnya untuk
memiliki lebih banyak pilihan di masa depan. Jika dirinya bisa mencapai apa
yang ingin ia lakukan ketika di masa depan nanti, atau jika ia meningkatkan
keahliannya sebelumnya, dirinya tidak perlu melalui banyak kesulitan atau
penyesalan di kemudian hari.
Orang tua Amane mengerti bahwa
dia belajar dengan sukarela dan bahwa nilainya akan memberinya peluang bagus,
jadi mereka tidak terlalu mengingatkannya pada hal itu, meski begitu, mereka
pernah mengatakan kepadanya, “Untuk
mendapatkan kesempatan yang lebih lebar, lebih baik belajar dengan rajin sehingga
kamu tidak menyesalinya.”
Ketika masih di SMP, Amane
merasa itu lumayan menjengkelkan, tetapi ketika dirinya sudah menjadi anak SMA
dan meninggalkan orang tuanya, dan kemudian menemukan dirinya seseorang yang
penting baginya, dia menjadi sangat sadar akan perlunya berusaha keras.
"Jadi begitu. kamu sangat realistis
dan terorganisir dengan baik.”
“Yah, itu juga berlaku untukmu,
Mahiru. Selain itu, aku ingin menjadi pria yang bisa kamu andalkan.”
“Y-Ya?”
“Aku tidak ingin didukung
secara emosional atau finansial oleh seseorang yang ingin aku dukung. Kita
tidak bisa hanya bergantung satu sama lain sepanjang waktu.”
Amane tidak berniat didukung
dalam hal hidup, tetapi jika Mahiru mendukungnya secara finansial maka harga
dirinya akan hancur, tidak sedap dipandang. Jika memungkinkan, Amane ingin menghasilkan
cukup uang untuk mendukungnya.
Mahiru, yang sepertinya
mengerti apa yang ingin dikatakan Amane, sedikit tersipu dan dengan canggung
menjawab, “A-Aku mengerti.” Amane tidak bisa menahan tawa.
“Rintangan yang aku tetapkan
cukup tinggi, jadi itu sepadan dengan usahaku.”
“Uh, a-aku minta maaf...?”
“Ah, tidak, jangan khawatir
selama kamu tetap seperti ini, Mahiru. Ini adalah sesuatu yang akan aku lakukan
sendiri.”
“… Kalau begitu, aku juga akan
mendukungmu sendiri.”
Dengan senyum kecil, Amane
mengangguk ke arah Mahiru, yang dengan ringan mencubit ujung lengan bajunya dan
berkata, “Ayo kita adakan sesi ulasan
dulu,” dan kembali ke kelas bersama-sama.
✧ ✦ ✧
“Kalau dipikir-pikir, hadiahmu
adalah bantal, kan?”
Setelah kembali ke rumah dan
mengadakan sesi ulasan setelah makan malam, Mahiru berdiri di sampingnya menjelaskan
pertanyaan yang dijawab salah. Saat itulah Amane memutuskan untuk bertanya
padanya.
Mahiru mendongak dari buku
catatannya dan tatapannya menatap ke sekeliling dengan samar pada kata 'bantal'.
“… U-um, aku ingin bantal itu,
ya.”
“Ya. Jika itu yang kamu
inginkan, silakan saja.”
“Bu-Bukan begitu maksudku, um…”
“Apa ada hal lain yang kamu
inginkan?”
“Bu-Bukannya aku
menginginkannya… Um…”
Mahiru tampak sangat ragu untuk
mengatakannya, jadi Amane dengan lembut menepuk kepalanya, mengisyaratkan
padanya untuk tenang untuk saat ini. Mahiru, yang tidak menuntut atau memohon
apapun, menginginkan sesuatu darinya. Wajar jika Amane ingin melakukan apa yang
ia bisa untuk mengabulkan keinginannya.
Mahiru mulai tersenyum malu
pada Amane yang membelai rambutnya, tapi dia segera menundukkan kepalanya
karena malu, wajahnya benar-benar memerah.
“U-um. A-Aku ingin kamu
menciumku.”
“Ciuman?”
Itu bukan sesuatu yang sering
mereka lakukan, tapi bukan berarti mereka tidak melakukannya sama sekali,
kadang-kadang mereka dihanyutkan oleh suasana hati dan terbawa suasana.
Sejujurnya, itu semacam hadiah, tapi Amane merasa aneh karena itu bukan sesuatu
yang harus dia minta, dan itu bukan hal baru bagi mereka.
Amane bertanya-tanya apakah
hanya itu yang dia butuhkan, tetapi jika Mahiru menginginkannya, dirinya ingin
memenuhi keinginan apa pun yang dia miliki.
“… Lalu, sesuai keinginanmu.”
Sambil berbisik selembut
mungkin, Amane tersenyum tipis dan memperhatikan napasnya, perlahan menekan
wajahnya ke bibirnya yang tertutup, berhati-hati untuk tidak mengejutkannya.
Dalam segala hal, badan Mahiru terasa
lentur dan menyegarkan. Hal yang sama juga berlaku untuk bibirnya, dan Amane
merasa ujung mulutnya lembut dan licin, lebih dari miliknya. Setelah mencicipi
bibirnya yang ranum, Amane menikmati rasa manis seperti madu yang keluar dari
tubuh Mahiru. Ia dengan lembut mematuk bibir merah mudanya saat dia perlahan dan
mantap menikmati kelembutannya.
Tubuh Mahiru berkedut setiap
kali bibir Amane menyentuh dan menggigit bibirnya, tapi dia tidak membencinya
atau melarikan diri, dan hanya menerima semua yang dilakukan Amane.
(...
Dia sangat imut.)
Ketika Amane melihat wajah
Mahiru saat mereka berciuman, ia memperhatikan reaksi manisnya, terlihat
seperti geli tapi juga nyaman. Meski malu-malu, dia terlihat menikmati ciuman,
jadi Amane bisa melanjutkannya tanpa rasa khawatir.
Tidak mengherankan, tubuhnya
bergetar setiap kali bibir mereka bersentuhan, tetapi saat mereka semakin
sering berciuman, tenaga di tubuhnya segera terkuras.
“Hyah~”
Mahiru, tubuh dan ekspresinya
lembap, sangat imut hingga Amane mengecup bibirnya lagi. Itu adalah pertukaran
ciuman yang kikuk. Tapi selama itu, Amane dipenuhi dengan begitu banyak cinta
dan hasrat untuknya yang hampir menyakitkan. Nafsu birahinya hampir terlepas
dari cengkeraman penalarannya, yang mulai mengendur sedikit demi sedikit, dan
bibirnya mengecap bibir Mahiru dalam upaya memenuhi desakan itu. Saat sedang
menikmati keseluruhan bibir Mahiru, dia menepuk dadanya dengan lembut seolah
memohon sesuatu.
Dia tidak menunjukkan tanda-tanda
tidak menyukainya, dan Amane tidak melihat tanda-tanda dia sudah mencapai
batasnya, tapi dia perlahan membuka bibirnya, bertanya-tanya apakah itu hanya tkamu
bahwa dia ingin menyelesaikannya, dan Mahiru menengadah dengan pipinya yang
memerah utuh.
“… um. A-Aku tidak ingin kamu
berhenti di tengah jalan.”
“Bukannya itu seharusnya
menjadi sinyal untuk berhenti?”
“T-Tidak. Bukan itu yang
kumaksud… Um, seperti yang kubilang, jenis ciuman* yang lain.” (TN: Tebakan mimin
sih Mahiru minta French Kiss alias ciuman yang pakai lidah, tapi who know~)
Kalimatnya berlanjut dengan
suara lemah yang ragu-ragu dan dipenuhi rasa malu, dan Amane mengerang pelan,
sedikit terlambat memahami apa yang dia inginkan.
Keinginan Mahiru untuk mencium
lebih dari sekedar sentuhan singkat. Itu adalah ciuman yang dicari oleh kekasih
dengan hubungan yang dalam. Itu sebabnya dia tidak keberatan bibirnya digigit
sepanjang jalan, dan itu benar-benar melonggarkannya sedikit.
Mahiru,
apa dia jangan-jangan… pikir Amane, tapi dia tersipu dan menurunkan
matanya seolah-olah Mahiru menyadari realisasinya juga.
“A-Aku tahu itu vulgar. Tapi
aku juga… ingin membalasnya denganmu, dan aku ingin… tahu lebih banyak
tentangmu, Amane-kun.” (TN: Wkwkwk ternyata bener)
“Y-Ya… Um, sampai sekarang,
kupikir kamu tidak pandai dalam hal semacam itu…”
“… Memalukan mendengarmu
mengatakan itu, tapi… kalau begitu, Amane-kun…”
Bagian belakang kepala Amane
terasa seperti terbakar karena diberitahu kata-kata yang begitu indah dan
berani.
Pipi Mahiru hampir sama memerahnya
karena apa yang dia katakan. Mungkin karena dia menyuarakan niatnya yang
sebenarnya dengan jujur, dia gemetar karena tegang dan malu, tapi sorot matanya
saat diam-diam menghadapi Amane terlihat samar tapi jelas menunjukkan
harapannya. Melihat bibirnya yang berkilau menawan sekali lagi, yang telah dia
nikmati sampai sekarang, Amane secara alami mendekatkan bibirnya, yang untuk
sementara terpisah darinya, lebih dekat lagi. Mahiru menelan ludah sedikit,
mengungkapkan kebingungannya, tapi itu segera mencair seperti dirinya.
Hanya
sedikit saja, ucap Amane pada dirinya sendiri sambil perlahan
dan mantap menyamai kecepatan Mahiru, menikmati kehangatan Mahiru karena ia
yakin dirinya cukup tenang untuk melakukannya. Jika Amane melepaskan
kewarasannya sekarang, dirinya akan terus mencari lebih dan lebih jauh lagi,
jadi Amane dengan bijak berhenti setelah setiap interaksi. Jantungnya berdetak
sangat keras bahkan dirinya bisa mendengarnya dengan jelas. Amane tidak
menyangka ciuman yang hanya berlangsung beberapa menit akan sangat mengganggu
jiwa dan raganya.
Mahiru menatapnya dengan mata
sedikit kecewa karena bibir mereka telah berpisah... dan Amane, yang tidak bisa
menatap langsung ke arahnya, memeluk Mahiru dan membenamkan wajahnya di
lehernya.
“… Jangan terlihat berharap
begitu. Aku akan mati.”
“I-Itu tidak mungkin…”
“Seriusan ... Apakah
keinginanmu menjadi kenyataan?”
Tubuhnya mudah bergetar saat
Amane berbisik di telinganya, tapi Mahiru langsung memeluknya kembali dan
dengan lembut menjawab, “Ya.”
Amane bertanya-tanya apa yang
akan dirinya lakukan jika Mahiru memberitahunya untuk terus melanjutkan,
kemungkinan besar dirinya akan melewati batas.
(Tadi
itu hampir saja…)
Dan itu masih berbahaya karena
mereka belum selesai. Saat Amane memeluknya dan mendekatkan bibirnya ke
lehernya, ia tidak bisa menahan perasaan bahwa ia telah melangkah jauh dan
menginjak pedalnya sendiri lagi. Di hadapannya ada leher putih, ramping, dan
berbau harum di depannya, dan mana mungkin Amane tidak bereaksi.
Amane perlahan mengintip ke
atas, membayangkan kebodohan mengayunkan umpannya sendiri di depan dirinya, dan
menyadari bahwa wajah Mahiru bahkan lebih merah dari sebelumnya.
“Ah, jangan di sana… ra-rasanya
geli.”
“… Lagipula, leher dan
telingamu adalah kelemahanmu, Mahiru.”
Reaksi Mahiru sangat lucu
sehingga Amane mengira keadaan menjadi sedikit buruk dan membenamkan wajahnya
di lehernya lagi, sebelum dengan pelan menelusurinya dengan bibirnya. Tubuh
Mahiru bergetar dengan cara yang mudah dimengerti, dan mengeluarkan desahan “Hyah!”
Mungkin karena Mahiru telah pindah,
suara manisnya yang legit sepertinya keluar, dan aroma susu lembut yang kenyal
tapi tidak terlalu manis menggelitik ujung hidungnya. Aromanya, yang sepertinya
bisa melelehkan penalarannya, membuat Amane tidak bisa meninggalkannya, dan ia
hanya menikmati aroma, kehangatan, dan kehalusannya.
“Aromamu wangi sekali.”
“Itu… aku mengoleskan body milk ke tubuhku sebagai pelembab
setelah mandi. Itu saja?”
Amane pikir dia sudah mandi
sebelum datang ke sini hari ini dan wangi, tapi sepertinya itu adalah aromapelembab
kulit. Namun selain itu, dirinya merasa bahwa yang tercampur juga merupakan
aroma asli Mahiru.
Mahiru memancarkan aroma lembut
dan manis bahkan tanpa melakukan apa-apa, tetapi karena dia tampaknya melakukan
yang terbaik untuk mempertahankannya, hanya melembabkan kulitnya sepertinya
sudah sangat menakjubkan.
“Bisakah ini lebih mulus dari
ini?”
“Aku telah berhati-hati tentang
banyak hal selain menerapkannya, jadi aku berhasil membuatnya tetap halus dan
kenyal.”
“Menjadi seorang gadis
kelihatannya cukup merepotkan, ya ... Kamu benar-benar sudah berusaha keras.”
“… Itu, um, demi diriku sendiri.”
“Ya kamu benar. Aku suka
memoles diriku sendiri. Kebanyakan gadis suka berdandan.”
Mahiru sepertinya selalu suka
berdandan, bahkan tanpa pacaran dengan Amane, ketertarikannya pada kecantikan
tidak akan hilang.
Pertama-tama, Amane tidak
berada di bawah ilusi bahwa seorang gadis akan berdandan hanya demi seorang
pria. Dirinya paham bahwa Mahiru melakukannya untuk dirinya sendiri, jadi ia
bisa mengerti apa yang dikatakan Mahiru. Namun, Mahiru tampaknya memiliki lebih
banyak hal untuk dikatakan, dan menjawab dengan lembut, “… ada itu juga.”
“Maksudmu ada sesuatu yang
lain?”
“… Jadi, um… Lebih baik merasa
nyaman saat disentuh, bukan?”
“Yah, karena itu adalah tubuhmu
sendiri.”
Dialah yang paling sering
menyentuh tubuhnya sendiri, jadi tidak ada yang lebih baik daripada merasa
nyaman untuk disentuh.
“Bu-Bukan itu yang kumaksud…
Itu untuk saat kamu menyentuhku…”
Menanggapi gagasan itu, Amane
keceplosan “Heh” dengan konyol pada kata-kata Mahiru.
“Aku tidak ingin kamu kecewa
jika terasa kasar saat kamu menyentuhnya… Rasanya akan lebih baik jika terasa halus
dan kenyal, bukan?”
“Y-Ya, kamu benar.”
Amane tidak menyangka Mahiru
melakukan itu dengan alasan untuk disentuh olehnya, jadi wajar saja kalau
dirinya jadi tersipu.
Wajah Mahiru tampak merah padam,
tapi dia gemetar saat dia mengencangkan cengkeramannya pada Amane, menunjukkan
bahwa dia tidak berniat menarik kembali kata-katanya.
“T-Tolong jangan salah paham. Ini
demi Amane-kun, ketimbang demi diriku sendiri... Um, ini keinginanku sendiri agar
kamu sering menyentuhku.”
“… Kamu ingin aku menyentuhmu?”
“…Rasanya menyenangkan
disentuh, dan aku senang. Wajar jika aku melakukan yang terbaik untuk membuatmu
menyentuhku dan memintamu untuk sering melakukannya.”
Kata-katanya, diucapkan dengan
suara bernada tinggi, melemparkan rasa malu ke dalam keraguan, sudah lebih dari
cukup untuk mengendurkan alasan yang coba ditekan oleh Amane.
Aku
tidak bisa menahannya lagi, pikirnya ketika dia mendengar suara statis
di kejauhan, tetapi dia sendiri lebih mengerti daripada siapa pun betapa tidak
berdayanya suara itu. Jika tidak, mana mungkin dirinya menyentuh Mahiru seperti
ini. Mahiru tersenyum malu-malu sambil menutupi bibirnya, dan suara seperti menelan
bisa terdengar di antara mereka berdua.
Begitu Amane membuka bibirnya
dan menciumnya lagi, kali ini menyelipkan lidahnya ke dalam, suara Mahiru
menjadi parau, rapuh, dan manis. Ini adalah pertama kalinya mereka berciuman
sedemikian rupa, tapi seolah mencari satu sama lain, keduanya sangat menikmati
dan secara alami menikmati pengalaman tersebut.
Samar-samar dan pusing, jalan pemikiran
Amane mulai goyah. Mungkin karena terlalu tenggelam dalam Mahiru sehingga dirinya
tidak punya waktu untuk bernafas, atau karena instingnya yang mencoba
memperkuat keinginannya untuk melarutkan segala sesuatu yang menahannya.
Pokoknya, pikirannya sekarang telah meleleh tanpa alasan dan mendesaknya untuk
mendorong Mahiru dari dalam pelukannya ke bawah tubuhnya dalam upaya untuk
menikmatinya lebih jauh.
Mahiru, yang berbaring di sofa
seolah-olah dia tidak tahu apa yang sedang terjadi, dengan putus asa menatap
Amane, matanya tampak basah. Alih-alih menjawab tatapannya, Amane malah
menghisap bibirnya yang lembut sekali lagi. Mungkin dia tidak memiliki kemauan
untuk melawannya, atau mungkin dia tidak berniat untuk melawan sejak awal, atau
mungkin dia hanya tidak tahu harus berbuat apa. Mahiru menyesuaikan tangannya
untuk menemukan sesuatu yang bisa dia pegang. Amane menyatukan kedua telapak
tangan mereka dan mencengkeramnya saat Mahiru menggeliat dan tubuhnya menegang
karena lega.
Mahiru tidak tahu apa yang
terjadi lagi saat dia terus dipermainkan oleh Amane dan pikirannya menjadi
berkabut. Dengan kepercayaan penuh pada Amane, Mahiru sepertinya memaafkannya.
Dari dalam tubuhnya, Amane menuangkan banyak cinta dan kehangatannya kepada
Mahiru sebelum menelan semua yang meluap darinya, menikmati kemanisannya. Amane
lalu perlahan melepaskan bibirnya darinya.
“Huff, huff.” Tertegun, Amane terengah-engah
sebentar dan menenangkan nafasnya sebelum menatap Mahiru, yang menatapnya
dengan tatapan manis dan mempesona.
“… Apa menurutmu idak masalah
untuk melangkah lebih jauh?”
Sambil bertanya dengan lembut,
Amane menelusuri bagian belakang lehernya, dan tubuh Mahiru bergetar dengan
jelas, lalu pandangannya beralih. Sepertinya, Amane menemukan kebutuhan untuk
bertanya padanya karena dia secara tidak sadar mencoba untuk berpaling. Setelah
kembali dengan akal sehatnya di saat-saat terakhir, Amane menatap Mahiru dari
depan, masih menekan desakan dan panas yang mengalir di dalam dirinya.
Dirinya dengan lembut
melepaskan salah satu tangan Mahiru yang masih terjalin dan duduk. Jika Amane
terus menekannya, bahkan Amane tidak akan bisa bertahan lebih lama lagi.
“… Aku jauh lebih tidak tahan
dari yang kamu pikirkan, Mahiru. Aku melakukan yang terbaik untuk menahannya,
tetapi beginilah hasilnya.”
Amane ingin menghargainya,
tetapi didorong oleh keinginan dan nafsunya, kali ini tidak berakhir dengan
baik. Amane sekarang sangat menyadari kejantanannya, dan sedikit saja, merasa
jijik pada dirinya sendiri.
“Mahiru, kurasa ini bukan yang
kamu inginkan, ‘kan? Aku pikir kamu ingin aku menyentuhmu, untuk berkubang
dalam kebahagiaan. Akulah yang kehilangan kendali dan mencari kontak fisik.”
Amane mencintai Mahiru dari
lubuk hatinya, dan ingin menyayanginya serta membuatnya bahagia sebaik mungkin.
Itulah yang Amane pikirkan, jadi dirinya terus menahan diri meskipun ia sadar
bahwa Mahiru tidak akan membencinya jika dia menyentuhnya. Bahkan jika mereka
memiliki suasana hati yang baik di atas tempat tidurnya, Amane tidak ingin
mendorongnya ke bawah.
Namun, hanya dengan satu kata
dari Mahiru, Amane hampir melupakan segalanya dan memanjakannya tanpa
peringatan apapun.
“Maafkan aku karena mendadak memaksakan
ini padamu.”
“Mengapa kamu menganggap kalau aku
tidak menyukainya…?”
Suara gemetarnya mencapai
Amane, yang meminta maaf mengalihkan pandangannya sejenak.
“U-um. Aku tidak membencinya
sedikit pun. Jantungku berdetak kencang dan aku terkejut, tapi… aku tidak marah
padamu, menolakmu, ataupun membencimu, Amane-kun.”
“Kamu tidak takut?”
“Bukannya aku merasa takut. Aku
hanya terkejut karena begitu tiba-tiba. Lagi pula, ini pertama kalinya kamu
bersikap tegas seperti ini.”
Saat Amane melihat kembali
wajahnya, raut muka Mahiru kelihatan tersipu sampai ke telinganya, tapi dia
sepertinya tidak membenci atau menolaknya. Dia menghadapinya dengan sedikit
rasa malu dan antisipasi.
“Siapa pun akan malu setengah
mati jika seseorang tiba-tiba mencium mereka seperti itu.”
“…Ya.”
“Jadi tolong, jangan terlihat
begitu menyesal… Um, aku senang kamu bersikeras untuk sangat menyayangiku. La-Lain
kali, um, tolong… biarkan aku mempersiapkan diri sedikit lagi. Juga, tolong
lakukan dengan arah yang tidak terlalu intens.”
Wajah Amane berkerut saat
Mahiru tidak mengatakan dia tidak mau, tapi sepertinya dia justru berniat untuk
menerima yang berikutnya.
“Mahiru, maaf…”
“Aku akan marah jika kamu
meminta maaf.”
“…Terima kasih.”
“Sangat baik.”
Ketika Amane dengan jujur
berterima kasih padanya, Mahiru memberinya senyuman yang sepertinya
menyiratkan, “Kurasa apa boleh buat,”
dan Amane mengatupkan bibirnya dengan erat sebagai tanggapan. Pada akhirnya,
Mahiru toleran, jadi tidak berakhir buruk, tapi jika bukan Mahiru, ia mungkin
dibenci atas apa yang dia lakukan. Merasa sedikit kecewa pada dirinya sendiri
karena tidak bisa menahan diri, tapi juga merasa lega dengan kebaikan dan kasih
sayang Mahiru, Amane membelainya dengan lembut dan sepertinya dia sudah tenang.
Mata Mahiru menyipit dalam
kenikmatan, dan Amane merasakan cinta yang tak dapat dijelaskan untuknya, tapi
memikirkan tentang apa yang sudah ia lakukan, ia tidak bisa menciumnya begitu
saja, jadi sebaliknya, dia hanya membelainya dengan lembut dan hati-hati.
“Kamu sangat mudah dibaca,
Amane-kun.”
“Eh?”
“Sudah jelas bahwa kamu
berusaha untuk tidak berlebihan kali ini.”
“Mau bagaimana lagi. … Jika aku
bertindak terlalu jauh, aku akan menerkammu.”
“Amane-kun. Jika kamu
benar-benar tidak memiliki keinginan untuk melakukannya, aku akan menghancurkanmu.
Dengan keras. Tanpa ada belas kasihan, oke?”
“…Sungguh kalimat yang sangat nostalgia.”
Mahiru tersenyum main-main pada
Amane, yang tidak bisa menahan tawa, mengingat percakapan yang dia lakukan
ketika Mahiru memutuskan untuk memasak di tempatnya beberapa bulan yang lalu.
"Hehe. Jadi tolong jangan
khawatir.”
“Aku ingin tahu apakah tidak
apa-apa… Mahiru, kamu tidak keberatan dengan apa yang aku lakukan, kan?”
“Eh, kamu sudah tahu? Tapi itu
semua berkat kamu yang menyesuaikan diri denganku, bukan? Kamu takkan
memprioritaskan dirimu sendiri, kan, Amane-kun?”
Seraya tertawa dengan anggun,
Mahiru duduk dan menyentuh pipi Amane tanpa suara, dia tersenyum padanya dengan
damai, tanpa sedikit pun kebingungan sebelumnya.
“…Um, bagiku… aku ingin
melakukannya lagi.”
Mungkin merasa malu karena
memohonnya sendiri, suara Mahiru semakin tegang dan malu. Amane dengan cepat
tersipu mendengar kata itu lagi, tapi Mahiru memberinya tatapan penuh harap,
jadi dia secara alami mencuri bibirnya, bahkan mengejutkan dirinya sendiri.
Kali ini, Mahiru sepenuhnya menerima serangannya, dan memeluk punggung Amane.
Sebelumnya, Amane telah
menciumnya dalam-dalam murni karena dorongan hati, tapi kali ini ia dengan
lembut menyentuh Mahiru, yang meringkuk karena malu, untuk menenangkannya. Cara
Amane menciumnya dengan cinta yang begitu besar membuat Mahiru meleleh lebih
dari sebelumnya. Suaranya yang manis dan menawan yang samar-samar keluar hanya
milik Amane.
Berpikir demikian membuat Amane
semakin mencintainya, dan dirinya mencoba yang terbaik untuk tidak menjadi
serigala saat mereka perlahan berbagi kehangatan.
“Rasanya seperti kita melebur
bersama,” jawab Mahiru dengan rendah hati, dan penuh kebahagiaan, Amane terus
menciumnya, tapi setelah beberapa saat, Mahiru dengan ringan menepuk
punggungnya mengatakan bahwa dia sudah mencapai batasnya.
Merasa kecewa, Amane dengan
enggan melepaskan bibirnya dari Mahiru, berpikir akan menjadi masalah jika ia
melakukannya terlalu lama, dan Mahiru menurunkan pandangannya untuk menghindari
Amane, air mata mengalir di sudut matanya karena nafasnya yang tersengal-sengal.
“A-Aku tidak bisa melangkah
lebih jauh dari ini, um, karena aku sudah mencapai batasku, jadi jangan hari
ini.”
“Mm.”
“… um. Aku sangat senang dan
gembira. Aku mendapat terlalu banyak hadiah, bukan?
Saat Mahiru dengan malu-malu
bergumam, Amane bergerak untuk memeluk tubuh rampingnya sekali lagi, agar dia
tidak menarik diri. Dengan segenap cinta dan rasa hormatnya padanya, Amane
tidak mencuri bibirnya untuk yang terakhir kalinya.