Bab 4 — Sebelum Festival: Firasat Kekacauan
Setelah selesai ujian tengah
semester, acara selanjutnya yang menanti mereka adalah festival budaya, sebuah
perayaan besar yang hanya diadakan setahun sekali.
Sekolah yang dihadiri Amane
serta yang lainnya berupaya keras dalam acara yang diadakan secara berkelompok
oleh para siswa, sehingga setiap kelas memiliki anggaran yang cukup tinggi dan cenderung
menyelenggarakan pertunjukkan yang rumit setiap tahun.
“Dan itulah sebabnya kita akan
memutuskan apa yang harus dilakukan kelas kita!”
Secara alami, setiap kelas akan
memutuskan apa yang harus dilakukan, jadi sekarang saatnya, para siswa secara
alami menjadi bersemangat.
Orang yang berdiri di podium
dengan semangat tinggi adalah Itsuki. Amane tahu bahwa Itsuki yang menyukai
festival akan mencalonkan diri sebagai panitia penyelenggara festival budaya,
tetapi da hanya bisa menertawakan fakta bahwa Itsuki benar-benar memenangkan
posisi tersebut. Semeriah ikan yang keluar dari air, Itsuki menunjuk tulisan
yang ada di papan tulis menggunakan tongkat penunjuk yang ia ambil entah dari
mana.
“Ahem. Mengenai pilihan
festival, sangat penting untuk memikirkan jumlah kafe yang akan ada per tahun.
Sebagian besar kelas lain pasti akan memikirkan tema yang sama, jadi bersiaplah
untuk perang antar kelas yang sengit jika kita memutuskan sebuah kafe.”
Itu wajar saja, tetapi jumlah
restoran yang bisa dibuka oleh para siswa sudah ditetapkan.
Restoran yang menawarkan
pengalaman manajemen yang bermanfaat dan langsung sangat populer dan jika
mereka tidak berhati-hati, sebagian besar kelas juga akan mencoba melakukannya juga.
Jika itu yang terjadi, ada terlalu banyak kafe dan tidak banyak variasi,
sehingga ada batasannya. Selain itu, karena jadwal ruang tata boga dan
persyaratan kebersihan untuk pemeliharaan, pihak panitia tidak dapat memenuhi
keinginan semua orang.
“Selain itu, masalah anggaran
dan peralatan sekolah lainnya yang diberikan, sudah tertulis pada cetakan yang
dibagikan, jadi tolong periksa. Dan meskipun tidak tertulis, aku akan memeriksa
setiap kali kalian ingin membeli sesuatu. Untuk saat ini, sebutkan saja apa pun
yang menurut kalian bisa dilakukan sesuai anggaran… Nah, jika kalian memiliki
sesuatu yang ingin kalian lakukan, silakan angkat tangan.”
Teman-teman sekelasnya
mengangkat tangan sebagai jawaban atas pertanyaan Itsuki.
Festival budaya adalah acara
yang sangat penting dan ini ditunjukkan oleh api semangat yang terpancar di
mata semua orang. Itu adalah acara besar dan semua siswa menantikannya.
(Ya,
aku menghabiskan tahun lalu dengan melakukan hal-hal lain.)
Amane, yang tidak memiliki
sedikit pun kesegaran atau kepolosan seperti siswa, menghabiskan festival
budaya terakhir dengan melakukan apa saja. Mereka menjual barang buatan sendiri
tahun lalu, jadi ia hanya melakukan apa yang diperintahkan dan menjaga toko.
Oleh karena itu, mau tak mau
dirinya hanya melihat mereka yang bersemangat dari jauh.
“Baiklah, baiklah! Aku pikir
kita harus mendirikan kafe standar!”
“Oh-ho, itu sesuai harapan.
Ngomong-ngomong, hanya kafe biasa?”
“Bagaimana dengan kafe pelayan?”
“Lihat, Shiina-san ada di kelas
ini… dan aku yakin dia akan terlihat bagus di kelas ini.”
Kata-kata terakhir dibisikkan
di antara teman sekelas yang terus melirik Mahiru dan Amane merasa itu agak
tidak pantas, tapi itu bukan sesuatu yang akan ia katakan dengan lantang. Amane
memutuskan untuk duduk dan mengawasi mereka untuk saat ini, tidak ingin
mengeluh saat itu juga. Dirinya tahu itu hanya akan merusak suasana.
“Hahaha. Aku yakin kalian tidak
memikirkan anggaran sama sekali, tetapi kalian memiliki semangat. Untuk saat
ini, mari kita sertakan sebagai kandidat.”
Tatapan mata Amane bertemu
dengan mata Itsuki saat ia mengirim pandangan jengkel ke arah anak laki-laki,
yang menjadi bersemangat dengan penyebutan 'pakaian
pelayan' Mahiru.
Ketika diam-diam ditanya apakah
tidak apa-apa untuk dilihat, Amane memasang wajah masam padanya. Jika dirinya
harus mengatakan apakah itu baik atau buruk, maka itu buruk. Keberadaan Mahiru sendiri
sudah menonjol seolah-olah dia semacam barang pameran. Amane juga mendengar
bahwa keimutannya telah diasah baru-baru ini, dan jika dia membiarkan Mahiru
mengenakan pakaian pelayan sekarang sudah pasti para siswa akan
berbondong-bondong mendatanginya, membuat Mahiru sulit untuk berurusan dengan
mereka dengan benar.
Di sisi lain, penjualan yang
dia hasilkan akan menjadi keuntungan yang terjamin. Mahiru benar-benar bisa
menjadi bintang iklan yang sempurna dan anak laki-laki pasti akan menerobos
masuk hanya demi bisa melihatnya sekilas.
Mahiru yang dimaksud memiliki
senyum bermasalah yang tak terlukiskan di wajahnya ketika namanya diungkit.
Wajar saja dia berearksi begitu.
Rasanya tidak enak baginya untuk diperlakukan sebagai daya tarik. Namun, hal
tersebut baru sekedar usulan dan dia tidak bisa menolak mentah-mentah setelah
mendengarnya. Jika Mahiru benar-benar tidak ingin melakukannya, Amane akan
menolak menggantikannya.
“Yah, kafe pelayan mungkin
impian para pria, tapi tolong pertimbangkan anggaran kita dulu sebelum membuat
usulan. Kalau begitu, ada yang punya ide lain?”
Atas desakan Itsuki, mereka
membuat daftar stan standar seperti rumah berhantu, warung kari, dan udon, dan
papan tulisnya sudah penuh dengan berbagai saran.
Keluhan utama Amane adalah
bahwa minat utama kelas — atau lebih
tepatnya — anak cowok adalah di kafe pelayan, dan ia bisa mendengar mereka
berbisik di antara mereka sendiri.
“Pakaian pelayan Shiina-san
akan sangat…”
“Tapi Fujimiya ada di sini…”
“Tidak, ia juga anak cowok. Ia pasti
ingin melihatnya dengan pakaian pelayan, bukan?”
Apesnya bagi mereka, Amane
mendengarkan tapi tidak berniat untuk setuju. Bohong rasanya jika ia mengatakan
tidak ingin melihat Mahiru memakainya, tapi Amane tidak ingin memamerkannya
saat ada orang lain di sekitarnya. Ia tahu Mahiru akan bosan dengan percakapan
mereka, jadi ia tidak ingin mereka membicarakannya lebih jauh. Amane hanya
menatap tajam ke arah mereka sebelum melirik Mahiru, dan pacarnya itu buru-buru
mengalihkan pandangannya begitu dia menyadari tatapannya.
Menyadari anak laki-laki itu,
Mahiru menguatkan senyumnya dan Amane terus memelototi mereka, tapi tidak
terlalu tajam.
“Ngomong-ngomong, Amane-san, apa
kamu punya usulan lain?”
Tiba-tiba dipanggil oleh
Itsuki, Amane menatapnya dengan wajah masam.
“Kenapa kamu bertanya padaku?”
“Karena kamu terlihat seperti
ingin mengatakan sesuatu?”
Itsuki memanggil namanya untuk menarik
perhatian anak cowok di sekitarnya, tapi tidak mengatakan apapun akan membuat
suasana di kelas menjadi semakin buruk.
Sembari berpikir tentang apa
yang harus dikatakan, Amane menyuarakan usulan yang terdengar paling mudah.
“Jika aku harus memilih, maka aku
akan mengatakan lebih baik meneliti sejarah lokal di sini dan mengadakan
pameran.”
Seluruh kelas terdiam setelah mendengar
saran itu—rupanya usulan tersebut salah perhitungan. Rasanya tidak ada bedanya
dengan menuangkan air dingin ke kegembiraan semua orang. Suasana yang sangat
tidak nyaman berlama-lama di dalam kelas.
“Hei, tidak ada yang akan
mendapatkan apa pun dari itu!”
“Kamu menyarankan acara serius
dan hambar seperti itu saat kita sedang bersemangat begini?”
“Aku pikir itu cukup bagus. Kamu
hanya perlu meneliti tampilan dalam masa persiapan dan mengumpulkan beberapa
dokumen, bukan? Jika kita melakukan itu, kita akan bebas melakukan apa pun yang
kita inginkan selama festival selama ada beberapa siswa yang bertugas untuk
mengawasi pameran. Kamu takkan merasa seperti sedang mengadakan acara bersama
dengan seluruh kelas, tetapi bukannya kamu pikir kamu bisa menikmati festival
ini? Tidak perlu khawatir tentang waktu dan kamu dapat melihat semua warung
makan yang dilakukan oleh kelas lain”
Setelah selesai, Amane
mendengar suara-suara dari seluruh kelas berkata, “Oh, aku mengerti sekarang.”
Amane mengerti bahwa
menampilkan sejarah lokal di acara terbesar sekolah tahun ini tidak akan
menarik bagi kebanyakan siswa. Mereka tahu bahwa sejarah lokal mereka penting,
tetapi tidak diragukan lagi mereka akan merasa bimbang apakah itu pilihan yang
harus mereka ambil.
Amane pikir bukan hal yang
jarang bagi siswa yang sedikit gaduh dalam mempersiapkan festival budaya,
sebuah acara di mana siswa bisa menjadi sedikit liar dan tidak menyinggung
siapa pun, tapi tujuan Amane sebenarnya adalah waktu luang selama festival.
Restoran adalah pilihan yang
populer tetapi cenderung membutuhkan banyak sumber daya dan tenaga kerja, serta
butuh banyak waktu untuk mengelola dan menyiapkannya. Para siswa harus
berhati-hati di sekitar toko karena mereka berurusan dengan uang, dan keributan
akan terjadi di dalam dan di luar sekolah jika muncul masalah. Sudah pasti
mereka akan mengalami masa yang sangat sulit.
Jika mereka mengadakan semacam
pameran, setiap siswa akan bergiliran berjaga sekitar satu jam, karena festival
hanya berlangsung dua hari. Itu sangat efisien jika mempertimbangkan waktu dan
tenaga. Tidak seperti kafe dan warung dagangan, tidak akan ada pertukaran uang
dengan pameran, jadi poin pentingnya adalah para siswa dapat bersantai dan
berleha-leha. Di atas semua itu, jika kamu tidak percaya diri dengan
keterampilan layanan pelanggan, penampilan, maupun memasak, maka itu lebih baik
daripada memaksakan diri. Amane termasuk dalam kategori itu dan tahu persis
bagaimana rasanya.
“Bagaimana bilangnya ya?
Rasanya sangat menggambarkan dirimu.”
Itsuki tidak menyembunyikan
wajah tercengangnya, tapi Amane hanya memberi saran, jadi ia memalingkan
wajahnya dan menutup bibirnya.
Mahiru juga memberinya tatapan
yang mengatakan usulan itu persis seperti dirinya, jadi itu tidak nyaman, tapi
Amane tidak bisa menarik kembali apa yang sudah dikatakan, jadi ia hanya
menghela nafas pelan.
“Dannnn? Karena kafe pelayan
memiliki suara terbanyak, jadi sudah diputuskan bahwa kita akan mengadakan kafe
pelayan. Ada yang keberatan?”
Pada akhirnya, kelas mereka memutuskan
untuk mendirikan kafe pelayan dengan mayoritas suara laki-laki.
“Yah, aku akan memberi tahu
OSIS tentang keputusan itu, dan dari sana mungkin akan ada keberuntungan
undian, jadi jika kita tidak memenangkan lotere, kita harus membuat rumah
berhantu, yang menjadi pilihan terbanyak kedua. Selain itu, jika menyangkut
pakaian, itu pasti bukan sesuatu yang bisa kita siapkan sesuai anggaran, jadi
kita perlu mencari beberapa relasi. Jika ada sesuatu yang terlintas dalam
pikiran, jangan sungkan untuk memberitahuku terlebih dahulu. Jika tidak, itu
akan menjadi kafe biasa, jadi persiapkan dirimu.”
Itsuki bertanggung jawab atas
proses festival budaya karena sifatnya yang ceria dan tingkah laku yang baik,
dan ia dengan cepat memberi pengarahan kepada semua orang tentang beberapa
detail penting sebelum meninggalkan kelas untuk memberi tahu OSIS. Amane
menghela nafas kecil dan meletakkan tangannya di pipinya dalam suasana santai
saat melihat Mahiru mendekat.
“Apa yang akan kamu lakukan?”
“Tidak peduli apa yang kukatakan...
semuanya tidak ada gunanya karena itu
sudah menjadi keputusan bulat.”
Mahiru tersenyum kecut padanya,
dan meskipun mau bagaimana lagi, dia tidak bisa menahan rasa frustrasinya.
“Jika kamu tidak menyukainya, kamu
harus memberi tahu mereka.”
“Bukannya aku tidak menyukainya,
tapi… umm, apa kamu membenci seragam maid, Amane-kun?”
“Aku bukan menyukai atau
membenci mereka. Kupikir kamu terlihat bagus dalam segala macam tipe pakaian,
Mahiru, dan kamu juga selalu terlihat bagus dengan celemekmu.”
“Be-Begitu ya... Kalau begitu aku
akan melakukan yang terbaik.”
“Yah, kamu tidak perlu memaksakan
diri untuk memakainya.”
“Jika itu membuatmu bahagia,
aku akan memakainya.”
Melihat para cowok yang
diam-diam mengepalkan tinju mereka di belakang Mahiru, yang memiliki senyum
indah di wajahnya saat mengatakan itu, Amane hanya bisa menahan senyumnya agar
tidak berkedut.
✧ ✦ ✧
“…Fujimiya, suasana hatimu
sedang buruk?”
Kebetulan, Yuuta tidak ada
latihan klub hari ini dan memutuskan untuk menongkrong bersama Amane sepulang
sekolah. Baru pada saat itu Yuuta menunjukkan kepada Amane bahwa dia telah
menyembunyikan perasaannya.
“… Memangnya sejelas itu, ya?”
“Tidak, kurasa ekspresimu
hampir sama seperti biasanya. Aku hanya mendapatkan perasaan itu dari
atmosfirmu.”
Ketika hendak membeli buku di
toko dekat stasiun, Amane langsung menyentuh pipinya setelah mendengar perkataan
Yuuta. Wajahnya merasa sedikit lebih kaku dari biasanya, dan alisnya sedikit
berkerut. Untuk berjaga-jaga, ia mencoba untuk tidak terlalu menunjukkannya,
tetapi Amane tidak bisa mengendalikan dirinya sendiri. Ia hanya mendesah
sedikit malu dan cemas.
“Yah begitulah. Aku merasa
tidak terlalu senang tentang itu. Rasanya tidak menyenangkan melihat Mahiru
diperlakukan sebagai pajangan, dan aku ingin menyimpannya untuk diriku sendiri
jika aku bisa.”
Mana ada cowok yang senang ketika
pacarnya diekspos ke tatapan sejumlah orang asing. Mengesampingkan beberapa
pihak yang hanya merasa penasaran saja, tetapi memprihatinkan jika anak
laki-laki itu melepaskan nafsu mereka padanya.
“Tapi bukannya Mahiru membenci
ide tersebut, dan sangat kekanak-kanakan serta tidak adil baginya untuk menolak
keputusan kelas dan menuntut perlakuan khusus hanya dari pacarnya sendiri, jadi
dia tidak punya pilihan selain tetap diam. Aku tahu Mahiru akan berkontribusi
pada penjualan kita, tetapi aku tidak puas dengan kenyataan bahwa ada banyak
risiko yang menyertainya.”
“Aku minta maaf.”
“Itu bukan salahmu, Kadowaki.
Ini salahku karena tidak bisa menyatakan dengan jelas manfaat dari usulanku
sendiri.”
Yuuta tidak perlu meminta maaf
segala. Di sisi lain, Amane tidak bisa menyalahkan para cowok di kelas yang
menyarankannya, jadi perasaan yang tak terlukiskan ada di hatinya.
“Mau bagaimana lagi, karena ini
adalah satu hal yang telah kita putuskan.” Amane menghela nafas berat, dan
Yuuta juga memberinya senyum bermasalah.
“Aku memilih pameran. Aku pikir
itu adalah opsi pengembalian tinggi yang paling realistis dan berisiko rendah.
Lagipula, aku mungkin akan ditugaskan untuk melayani pelanggan…”
“Ya.”
Mahiru, yang terkenal sebagai
gadis tercantik di sekolah, juga akan dipaksa untuk melayani pelanggan, jadi
tentu saja Kadowaki, yang sama populernya dengan para gadis, akan dikirim untuk
melakukan hal yang sama. Ia sepertinya ingin bekerja di belakang layar, tetapi
hal itu mustahil terjadi. Mempunyai wajah rupawan yang langka tidak
menguntungkan baginya di saat seperti ini.
“...Cowok juga tidak mengenakan
seragam pelayan, ‘kan?” tanya Yuuta.
“Aku ingin percaya bukan itu
masalahnya… Jika para gadis mengenakan seragam pelayan, bukannya para cowok
akan mengenakan seragam butler? Jika
itu adalah kostum yang nyaman untuk didapatkan, itu saja.”
“Ah, begitu… Beberapa orang di
kelas kita mengenal seseorang yang menjalankan kafe seperti itu… Mereka pikir
mereka mungkin bisa menggabungkan pakaian pria dan wanita.”
“Hah?”
Informasi ini merupakan pukulan
fatal bagi Amane karena dia ingin mencegah Mahiru mengenakan pakaian pelayan. Jika
itu adalah kostum yang nyaman untuk didapatkan, Mahiru pasti akan mengenakan
pakaian pelayan untuk melayani pelanggan kelas.
Amane bisa dibilang beruntung, karena
sepertinya anak cowok akan disiapkan kostum cowok. Mereka takkan berakhir
dengan bencana seperti harus cross-dressing.
“Ini benar-benar seperti kelas
bersatu pada titik ini… Tetap saja, pasti sulit bagimu jika kamu akan
mengenakan kostum saat bertugas, Kadowaki.”
Amane yakin gadis-gadis itu
akan fokus pada Yuuta. Dia memiliki banyak pekerjaan yang cocok untuknya.
“Mengapa kamu bertingkah
seperti itu masalah orang lain? Kupikir kamu akan ditugaskan juga, Fujimiya.”
“Eh?”
“Apa kamu bisa memasak?”
“…Bukannya aku tidak bisa sama
sekali, tapi aku juga tidak pandai.”
Bukannya Amane tidak bisa
memasak, tapi ia tidak bisa membuat sesuatu yang berkualitas tinggi untuk ditawarkan
dengan imbalan uang. Ia tidak perlu khawatir tentang makan secara normal, dan
itu tidak seburuk jika makanannya ditolak oleh Mahiru.
Amane membuat lebih banyak kemajuan
dibandingkan sebelumnya, tapi ia masih merasa kalau kualitas masakannya tidak
layak untuk dijual.
“Kalau begitu, aku yakin kalau
kamu akan ditugaskan untuk melayani pelanggan atau membantu hal lain di
belakang, tapi… Jika itu masalahnya, kamu akan khawatir jika kamu tidak bisa
mengawasi Shiina-san dari jarak dekat. Hal tersebut akan menjadi masalah jika
dia mendapat tatapan aneh dari pelanggan.”
“Yah, itu benar, tapi… siapa
yang diuntungkan jika aku mengenakan pakaian itu?”
Mempertimbangkan bahwa mereka
akan memantau setiap orang kurang ajar yang mencoba menjangkau dan berpotensi
mengganggu Mahiru, berada di depan melayani pelanggan mungkin adalah pilihan yang
terbaik.
Jika Mahiru akan memakainya,
Amane tidak keberatan mengenakan pakaian semacam itu karena malu, tapi ia
merasa tidak ada gunanya memakai seragam ala butler.
“Ini sama-sama menguntungkan
bagimu dan Shiina-san. Aku yakin dia akan merasa sangat senang.”
“Yah begitulah.”
“Selain itu, Fujimiya, kamu
sudah lumayan menadapat banyak perhatian sejak kamu mengubah citramu.”
“Nah, aku tidak tahu tentang
itu.”
“Yah, kamu hanya menatap
Shiina-san.”
Amane merasa malu ketika
mendengar Yuuta mengatakan itu. Memang benar ia mengkhawatirkan Mahiru, jadi
dirinya tidak memperhatikan tatapan para siswi lainnya, dan Amane sama sekali
tidak menyangka mereka akan memandangnya seperti itu, jadi pada dasarnya ia
tidak menyadari hal itu.
Dirinya memandang Yuuta, bertanya-tanya
apa itu memang benar, tetapi ia mengangkat bahu dan berkata, “Kamu tidak menyadarinya, kan?” jadi
sepertinya Yuuta tidak berbohong.
“Kamu harus memperhatikan
orang-orang melihatmu sesekali, Fujimiya. Yah, menurutku tidak ada salahnya,
karena semua orang di kelas sudah melihatmu seolah-olah kamu adalah sesuatu
yang menghangatkan hati.”
“Tapi aku tidak suka itu dengan
hal tersebut.”
“Mending menyerah saja. Itu
salahmu sendiri karena bermesraan secara terbuka dengan Shiina-san, Fujimiya.”
“...Aku tidak melakukannya
secara terbuka.”
“Ahaha."
Yuuta tersenyum, tapi
sepertinya dia tidak percaya, jadi pipi Amane sedikit berkedut.
“Yah, apa masalahnya? Itu jauh
lebih sehat daripada dilecehkan. Secara pribadi, aku tidak ingin kamu menjadi
seperti Shirakawa-san dulu.”
“'... Saingan dalam cinta' kata mereka, ya?”
Amane menurunkan alisnya pada
kata-kata yang diucapkannya dengan suara yang sedikit serius. Amane sudah mendengar
bahwa Itsuki, yang takkan berani bilang kepada orang yang dimaksud tetapi bisa
dikatakan sebagai sahabatnya, dan Chitose, telah melewati banyak liku-liku
sebelum mereka mulai berpacaran.
Rasanya sulit membayangkannya sekarang,
tetapi ketika dia pertama kali bertemu Itsuki, Chitose tampaknya memperlakukan
Itsuki dengan acuh dan dikenal sebagai gadis dengan kepribadian dingin. Dia
adalah atlet yang sangat menjanjikan, tetapi dia tidak punya pilihan selain
berhenti karena konflik dengan seniornya di klub atas Itsuki.
Amane tidak ingin memahami
mengapa kakak kelas di klub yang iri dengan bakatnya melecehkannya, tapi ia juga
mengerti bahwa alasannya bisa mudah ditebak. Cowok yang disukainya mendekati
gadis yang membuatnya cemburu, namun gadis itu memperlakukannya dengan tidak
baik. Masuk akal bahwa perundungannya meningkat. Itu bukanlah sesuatu yang
seharusnya dilakukan.
“Jadi begitu ya. Pada akhirnya,
dia keluar dari klub lari karena pertengkaran itu. Aku benar-benar benci
perundungan semacam itu, jadi… aku merasa lega Fujimiya dan yang lainnya
menyetujuinya.”
Yuuta telah mengawasi masa-masa
sulit itu, yang mungkin menjadi alasan mengapa dia lebih mengkhawatirkan
hubungan Amane dan Mahiru.
“…Ya.”
“Itulah mengapa kamu harus
menunjukkan sisi ramahmu selama festival budaya seperti yang selalu kamu
lakukan. Sedemikian rupa sehingga tidak ada yang mau mengambilnya lagi.”
“Aku tidak mencoba untuk pamer,
oke.”
“Haha hanya bercanda.”
“Itu sama sekali tidak lucu.”
Amane mengangkat alisnya dan mengernyit
ke arah Yuuta, tapi ia tampak sedikit lega, dan kemudian ia tersenyum menggoda,
jadi Amane hanya mendengus pelan.
✧ ✦ ✧
“Selamat datang kembali di
rumah, Amane-kun.”
Amane berganti pakaian dan
menuju ruang tamu begitu kembali ke rumah, di mana dia menemukan Mahiru
menunggunya dengan senyuman dan menepuk-nepuk pahanya. Karena tidak memahami
situasinya, jadi Amane hanay menatap kosong ke wajah Mahiru. Dia menepuk
pahanya lagi dengan senyum lembut.
Ketika Amane menatapnya dengan
bingung, senyum Mahiru berubah sedikit masam.
“Aku merasa kamu sedang dalam
suasana hati yang buruk.”
Rupanya, Mahiru sudah menebak
isi batinnya. Karena Yuuta juga bisa menebaknya, wajar saja jika Mahiru bisa
melakukan hal yang sama.
Untuk berjaga-jaga, Amane ingin
menyembunyikannya di depannya, jadi ia menggaruk pipinya karena canggung karena
begitu mudah dibaca, dan Mahiru menyeringai lucu seolah berkata, 'Sudah kuduga'.
“Mengenal kepribadianmu,
Amane-kun, kamu takkan memaksa dirimu untuk menolak, tapi aku yakin kamu masih
tidak menyukainya di dalam hatimu. Apa aku salah?”
“… Kamu benar, tapi…”
“Oleh karena itu, kupikir aku
akan mencoba menghiburmu.”
“Kamu akan mengatakan itu tepat
di depanku?”
“Fufu. Kamu tidak ingin aku
melakukannya?”
“… Kamu sudah tahu jawabanku, tapi
kamu meniru siapa sih?”
“Amane-kun, ‘kan?”
Amane tidak bisa berdebat
dengannya begitu dia mengatakan itu, dan mulutnya berkedut.
Mahiru terkikik dan menepuk
pahanya lagi. Menghadapi godaan paha Mahiru yang terlihat lembut, yang ditutupi
oleh rok sederhana, Amane ragu-ragu dan duduk agak jauh darinya, dirinya lalu berbaring
dan dengan lembut menyandarkan kepalanya di pahanya. Amane menoleh untuk menatapnya,
dan Mahiru balas tersenyum padanya.
Kemudian, jari-jari Mahiru yang
ramping dan pucat menelusuri rambut hitam Amane.
“… Apa kamu mengkhawatirkanku
dan tidak menyukainya?”
“Memang adal alasan itu, tapi....
Aku hanya tidak ingin orang lain melihatnya.”
“Kamu cemburu?”
“Aku tidak tahu apa aku harus
menyebutnya cemburu atau posesif… Sejujurnya, aku tidak mau kamu melakukannya.”
Amane menyadari kalau
tingkahnya itu sangat egois dan tidak sedap dipandang serta sedikit malu dengan
ledakan emosinya, jadi ia menoleh ke arah perut Mahiru.
Mahiru tertawa kecil pada Amane
seraya menenangkannya, dan dengan lembut menyisir rambutnya dengan jari-jemarinya.
“Yah, bukannya aku akan
mengenakan pakaian pelayan di depan umum karena aku menginginkannya, tapi usulan
tersebut sudah diputuskan.”
“Mm.”
“Tapi aku membuat janji dengan
mereka terlebih dahulu.”
“Tentang apa?”
“Aku bilang kalau aku ingin
menunjukkannya padamu dulu.”
Amane secara naluriah memalingkan
wajahnya dan menatap Mahiru untuk melihat ekspresi malu-malu yang nakal di
wajahnya.
“Kamu akan menjadi orang
pertama yang melihatku memakainya, jadi, um… mungkin ada banyak pelanggan yang
datang untuk menyambutku, tapi, ku-kurasa kamu bisa mengatakan bahwa aku hanya
memiliki… satu master.”
Pada akhirnya, suara Mahiru
menjadi ragu-ragu karena rasa malunya, tapi begitu dia selesai, pipi Amane
secara alami terasa panas. Meski begitu, Amane menatap matanya tanpa berpaling,
dan Mahiru menekan bantal sofa ke wajah Amane seolah-olah dia sudah tidak tahan
lagi.
Dia cukup lembut untuk tidak
mencekiknya, tetapi dia tahu bahwa dia harus menutup matanya. Bersama dengan
Mahiru, Amane merasakan sensasi baru yang bisa dibandingkan dengan sesuatu yang
berbeda… kabut samar yang berputar-putar di dadanya, tidak akan pernah hilang. Tapi hal yang mengalir darinya pasti tidak lain adalah cinta yang mendalam.
“Kalau begitu aku akan
menanggungnya.”
"Ya.”
Mahiru menolak untuk
menunjukkan wajahnya padanya dan menutupi dirinya dengan bantal, tapi Amane
masih bisa membayangkan ekspresi wajahnya. Dirinya tersenyum dan berbalik ke
samping, membenamkan wajahnya di perut Mahiru.