Gimai Seikatsu Jilid 9 Bab 3 Bahasa Indonesia

Bab 3 — 13 Juni (Minggu) Asamura Yuuta

 

Pagi hari di hari Minggu, pukul 7 pagi.

Aku melihat diriku sendiri dengan perasaan aneh sambil bergerak di sekitar dapur pada waktu yang biasanya aku masih di tempat tidur.

Aku menguap dan menahan rasa kantuk yang masih bersemayam di mataku.

Alasan kenapa aku berada di dapur meskipun sekarang hari libur adalah karena aku tidak hanya membuatkan sarapan, tapi aku juga membuatkan bekal makan siang untuk Ayase-san.

Pertama-tama, mari kita mulai dengan sup miso dulu.

Meskipun resepnya menunjukkan bahwa proses pembuatannya hanya memakan waktu 10 menit, tapi aku tidak mempercayainya begitu saja. Aku yakin jika dilakukan oleh orang yang terbiasa, hidangannya memang bisa selesai dalam waktu secepat itu.

“Memasak tuh mirip seperti pelajaran kimia, ya ...”

Menurut pribadi, aku merasa kalau memasak sama seperti percobaan kimia.

Kalau dipikir-pikir, ini adalah sesuatu yang mudah dipahami. Namun, bahkan jika kamu memahaminya, bukan berarti kamu bisa melakukannya dengan baik.

Misalnya saja, ketika diminta untuk menaruh miso di atas sendok dan merendamnya sedikit, kamu tidak tahu berapa banyak numlah ‘sedikit’ yang pas. Ada kalanya miso terendam seluruhnya dan larut ke dalam panci. Mengetahui dan mampu melakukannya adalah dua hal yang berbeda.

Kali ini, aku berhasil melewati langkah pertama. Sekarang saatnya untuk mencicipi rasanya.

“Yup. Seperti yang kuduga. ... Mungkin aku perlu menambahkannya sedikit lagi.”

Aku tahu kalau Ayase-san menyukai sup miso yang sedikit lebih kental dari resep yang aku gunakan. Namun, aku masih kesulitan untuk menambahkan miso secara langsung. Oleh karena itu, aku membuatnya sesuai dengan resep, kemudian mencicipinya dan menambahkan sedikit miso setelahnya.

Bahan dasar dalam sup miso hari ini adalah tahu. Aku mengambilnya dari dalam kulkas dan memotongnya menjadi dadu sebelum menambahkannya ke dalam panci..

Aku mematikan kompor setelah pemanasan yang cukup.

Sekarang, mari kita mulai membuat bekal makan siang. Aku membuka kulkas dan mengeluarkan bahan makanan yang aku beli setelah bekerja paruh waktu kemarin. Sosis dalam kemasan. Aku menyalakan ponselku dan mencari resep yang pas.

Aku memeriksa resep yang muncul di bagian atas hasil pencarian untuk ‘bento’ dan ‘microwave’. Aku tidak terlalu ingin menggunakan microwave, tetapi jika aku memasukkan kata kunci ‘mudah’ dalam pencarian, aku seringkali mendapat resep yang ‘mudah bagi koki ahli’.

Resep yang aku telusuri kemarin adalah resep “Nikujaga”.

“Pertama-tama, mulai dari kentang dulu, ya.”

Aku mengambil beberapa kentang dari tempat dingin setelah membungkusnya dengan koran.

Aku mencuci dan mengupas kulitnya, lalu bilas lagi dengan air dan potong dadu sekitar 1 sentimeter. Jika dilihat dari gambar resep, bentuk dadunya tampak rapi, tetapi jika aku memotong kentang yang bulat, ujungnya akan terlihat bulat.

Namun, aku tidak perlu khawatir tentang hal itu.

Hanya karena sebuah resep meminta dadu berukuran 1 sentimeter, bukan berarti kentang yang panjang dan lebarnya kurang dari satu sentimeter bisa diterima. Meski itu mungkin terasa jelas, tapi para pemula sering merasa kesulitan dalam hal ini. Namun, lebih baik memastikan ukuran atau volume seimbang. Karena waktu yang dibutuhkan untuk memasak di dalam akan berbeda jika ukurannya tidak sama.

Masukkan ke dalam wadah tahan panas dan panaskan di microwave. Karena aku menggunakan microwave di sini, itulah mengapa resep ini ditulis sebagai resep “microwave”.

Selagi menghangatkan, kali ini aku memotong sosis. Ukurannya harus sama dengan kentang. Jika tidak, tidak masalah.

Jika kedua bahan ini dicampur, maka hidangan ini akan menjadi ‘daging sapi kentang dadu’. Sungguh sangat mudah sekali.

Secara pribadi, aku merasa bisa memakannya sekarang, tetapi resepnya mengatakan untuk mencampurkan kentang ini dengan sosis dulu sebelum dibumbui. Oh, begitu rupanya.

Bumbunya dibuat dengan consommé atau garam dan merica. Apa lada hitam juga bisa digunakan? Karena aku lebih suka lada hitam. Ah, tapi ini dibuat untuk Ayase-san, jadi untuk saat ini aku akan mengikuti resep. Aku akan mencoba bereksperimen ketika aku sendiri yang memakannya.

Dan, saat aku sibuk memasak, aku tiba-tiba menyadari bahwa aku sedang memikirkan “ketika aku memakannya sendiri”.

──Aku selalu menganggap kalau memasak itu merepotkan.

Aku tidak bisa membantah kalau aku bisa menggunakan waktu ini untuk membaca buku. Jika tidak ada Ayase-san, aku mungkin masih mengandalkan bento minimarket atau layanan pesan antar restoran.

Meski demikian, aku tidak merasa malas seperti dulu untuk memasak. Bunyi timer microwave berdering. Aku mencicipi makanannya dan tidak ada masalah, jadi aku memasukkannya ke dalam kotak bekal Ayase-san.

Resep memang hebat.

Ngomong-ngomong, kotak bekal khusus Ayase-san lebih kecil dari milikku, dan aku khawatir apakah tiu akan cukup. Aku menempatkan nasi di setengah alas, dan hidangan kentang di bagian lain. Salad di dalam mangkuk kecil. Sama seperti kemarin, aku menambahkan saus ke dalam bentuk ikan. Kemudian aku memasukkan semuanya ke dalam tas bekal.

Tas bekal dan kotak bekal juga sudah disiapkan Ayase-san semalam. Alangkah baiknya jika aku bisa menyiapkan semuanya sendiri, tetapi karena ini pertama kalinya aku melakukan ini, aku tidak tahu di mana letaknya semua benda tersebut. Sejujurnya, itu sangat membantu.

Tas bekalnya memiliki bentuk yang sama dengan tas bekal yang diberikan padaku kemarin, hanya berbeda warna saja. Tas bekalku berwarna merah, sedangkan yang ini berwarna pink. ... Pink?

“Selamat pagi, Yuuta-niisan.”

Ayase-san masuk ke ruang makan bersama dengan suara pintu terbuka.

“Selamat pagi, Saki.”

“Ah, apa kamu sudah selesai membuat bekal? Kamu sangat cepat, ya.”

“Sebagai gantinya, aku baru ingin menyiapkan sarapan sekarang. Pakai telor ceplok saja cukup?”

“Iya, sudah cukup.”

Aku membuat salad untuk menemani isi bekal, jadi sudah ada di meja makan, nasinya juga sudah matang dan hanya perlu dituangkan ke dalam mangkuk. Aku akan memanaskan sup miso lagi.

Aku lalu mengambil dua telur dari dalam kulkas.

Setelah selesai memasak telur ceplok, aku menaruhnya di atas piring dan meletakkannya di atas meja.

Sementara itu, Ayase-san sudah menuangkan nasi dan sup miso ke dalam mangkuk dan membersihkan meja.

“Aku merasa seperti membebanimu. Maaf ya.”

“Karena kamu juga selalu membantuku, Yuta-niisan. Tapi sekarang, ayo makan dulu?”

Dia mengajakku untuk duduk. Aku mengucapkan ‘Itadakimasu’ dan mulai makan.

“Aku sangat menantikan bekal makan siang nanti.”

“Tolong jangan terlalu berharap. Yah setidaknya aku tidak membuat sesuatu yang tidak bisa dimakan, sih.”

Ayase-san kemuidan mencoba sup miso.

Momen ini selalu membuatku tegang. Sup miso yang dibuat oleh Ayase-san selalu terasa enak. Aku selalu berpikir bahwa memberikan makanan yang dibuat oleh seorang pemula seperti diriku kepada Ayase-san yang membuat sup miso yang enak, rasanya seperti sebuah hukuman.

“Mmm, rasanya enak sekali.”

Dia berkata dengan mata sedikit terpejam.

Aku merasa lega.

Yah, mungkin dia hanya mengatakan itu sebagai pujian semata.

“Pagi ini lebih baik jika makanan lebih banyak bergaya Jepang, tapi, oh, apa kita harus menambahkan rumput laut juga?”

“Tolong. Tapi, telur ceplok dan sup miso sudah cukup sebagai sarapan gaya Jepang. Selain itu...”

Ayase-san mengambil botol kecap sambil berbicara. Aku berpikir biasanya dia menggunakan garam dan merica untuk telur ceploknya, tapi dia menuangkan kecap di atas telurnya.

“Lihatlah, jika kita menambahkan kecap, maka ini menjadi makanan gaya Jepang yang layak."

Tanpa sadar aku tertawa masam.

“Berdasarkan logika itu, maka apakah setiap hidangan bisa menjadi hidangan gaya Jepang jika kita menambahkan kecap?”

“Bisa dibilang begitu.”

"Apa kamu yakin dengan itu?”

“Aku berpikir bahwa keunikan masakan suatu negara berasal dari makanan yang difermentasi.”

“Ahh~”

Makanan fermentasi di Jepang di antaranya ada miso, kecap, dan natto. Orang yang tidak terbiasa dengan makanan ini cenderung menghindarinya, tetapi karena rasanya yang kuat dan sulit diakomodasi, makanan ini bisa menjadi cita rasa yang paling merindukan bagi orang-orang di negara tersebut.

Yah, bahkan orang Jepang sekalipun mungkin tidak bisa makan natto.

Beberapa orang bahkan mengatakan bahwa aroma yang tercium ketika mendarat di bandara Jepang adalah aroma kecap.

“Selain itu, aku juga suka masakan Barat. Jadi tidak perlu selalu memasak masakan Jepang.”

Jadi, kamu tidak perlu mempermasalahkannya, imbuhnya.

“Tapi yah tetap saja, bentuk bekal hari ini sulit untuk disebut sebagai masakan Jepang ... Oh ya, aku baru ingat. Tentang tas bekal.”

“Memangnya ada masalah dengan tas yang sudah disiapkan?”

“Tidak ada masalah. Hanya saja, warna pink agak tidak biasa untukmu, Ayase-san.”

Ayase-san mengangguk dan menjawab “Ah”, lalu dia bercerita.

 

Sambil berbicara, Ayase-san membuka bungkus dan mengeluarkan setumpuk rumput laut. Dia mengambilnya dengan sumpit dan menaruhnya di atas nasi. Dia menggulung rumput laut dengan sumpit seperti sushi dan memasukkannya ke mulutnya. Dia mengunyah dengan senang.

“Jadi, kamu tidak menambahkan apapun untuk rasanya, ya.”

Setelah menelan, aku bertanya dengan rasa ingin tahu.

“Eh? Rumput laut memiliki rasa sendiri, ‘kan?”

Tentu sajalah. Meski dibilang ada rasa, tapi itu hanya rasa rumput laut.

“Eh, kalau aku sih akan menambahkan kecap.”

“Bukannya rasanya menjadi terlalu kuat?”

“Apa itu tidak membuat mulut menjadi kering?”

Setelah berbicara hampir bersamaan, aku teringat percakapan yang serupa sebelumnya. Saat sarapan telur ceplok, Ayase-san hanya menggunakan garam dan merica sedangkan aku menggunakan kecap. Aku mengatakan bahwa aku tidak suka hanya dengan garam dan merica karena membuat mulutku terasa kering.

Rupanya Ayase-san juga teringat percakapan saat itu. Hari ini kebetulan kami juga sarapan telur ceplok.

“Beitu ya, jadi Yuuta-niisan lebih suka nasi yang agak basah ya?”

“Aku juga mulai merasakan itu. Oh ya, Saki, apa jangan-jangan kamu selalu memakan rumput laut mentah tanpa bumbu?”

“Iya. Rasanya rumput lautnya akan hilang kalau diberi bumbu. Sayang banget kan?”

“Aku tidak menyadarinya.”

Sekarang aku menyadari bahwa tindakan sehari-hari yang dilakukan secara tidak sengaja ternyata tidak mudah diingat. Aku harus lebih memperhatikan kebiasaan Ayase-san agar tidak melewatkan kesukaannya.

Ayase-san menyukai telur ceplok dengan bumbu garam dan merica. Dia memakan rumput laut mentah tanpa bumbu ──aku harus mengingat itu.

“Jadi, mengenai tas makan siang tadi. Tas itu dibeli ibu dulu dalam satu paket. Katanya itu dijual murah dengan dua tas sekaligus.”

“Oh begitu.”

Jadi itulah alasan mengapa tasnya sama. Pasti dibeli sebelum dia menikah lagi. Itu sebabnya warna merah dan pink saja sudah cukup.

“Tas yang biasa aku pakai adalah tas yang merah kemarin. Sedangkan yang tas pink adalah cadangan ...”

Setelah dia mengatakannya, aku menyadari bahwa warna yag itu sangat cocok dengannya.

“Jadi yang tas pink itu untukku?”

“Apa kamu lebih suka yang itu? Tidak peduli apakah cocok atau tidak, orang-orang mungkin berpikir bahwa Asamura-kun menyukai warna pink jika kamu memakainya. Asamura-kun, kamu jarang menaruh barang berwarna pink di sekitarmu, kan?”

“Kalau ditanya apakah aku menyukainya atau tidak, aku tidak terlalu suka warna itu. Jika dibilang aku tidak memedulikannya, aku memang tidak memedulikannya sih.”

Aku tidak pernah menyangka kalau seseorang akan dinilai berdasarkan warna barang yang mereka miliki. Menurutku, orang bisa memilih warna yang mereka sukai.

“Aku terlalu merepotkanmu, ya? Yah, aku tidak tahu apakah akan ada kesempatan lain, tapi apa mau aku belikan tas makan siangmu sendiri?”

“Beritahu aku di mana tempatnya, aku akan membelinya sendiri. Atau mungkin kita bisa pergi bersama saat kita memiliki waktu luang.”

Setalah mendengar itu, Ayase-san tersenyum cerah.

Tapi kemudian dia mengerutkan bibirnya dan berkata, “Waktu luang ya. Kira-kira kapan itu?”

“Jadi peserta ujian masuk memang sulit, ya.”

“Aku ingin segera selesai, tapi aku juga tidak ingin ujian datang terlalu cepat.”

Aku juga merasakan hal yang sama.

Aku sudah meningkatkan waktu les di sekolah les, dan meskipun aku mulai pulih dari penurunan nilai di awal musim semi, aku masih merasa kurang memiliki kemampuan belajar yang cukup.

Waktu terasa tidak cukup. Mungkin aku memang harus mengurangi jam kerjaku.

“Hm?”

Aku melihat pemberitahuan pada layar ponsel yang masih diletakkan di atas meja. Ketika aku mengaktifkan layar dari mode siaga, aku melihat prakiraan cuaca hujan di sore hari.

“Hujan dan petir mulai di sore hari ...” Kataku saat memberitahu Ayase-san tentang ramalan cuaca. Dia mengalihkan pandangannya ke jendela. Aku juga melihat keluar.

Angin sepoi-sepoi di awal musim panas berhembus melalui jendela yang setengah terbuka. Langit berwarna biru yang membentang terlihat tidak berawan.

“Kelihatannya tidak akan turun hujan, kok?”

“Tapi perkiraannya sudah keluar. Mungkin hujan deras atau hujan badai petir. Sepertinya ada 90% kemungkinan hujan setelah sore hari. Mungkin lebih baik membawa payung saat berangkat bekerja.”

“Kemungkinannya cukup tinggi ya. Baiklah. Aku akan membawa payung.”

“Ingatlah untuk berhati-hati di jalan pulang. Ramalan cuacanya tertulis 'berpotensi petir'.”

“Hmm? Ah, ya ... Aku mengerti.”

Untuk sesaat, Ayase-san mengerutkan kening dan mengangguk. Namun, ekspresi masam itu dengan cepat menghilang.

Aku hanya memiringkan kepalaku di dalam batinku.

 

◇◇◇◇

 

“Tunggu sebentar, Ayase-san.”

Aku menghentikan Ayase-san yang hendak meninggalkan pintu depan.

“Apa?”

“Aku juga akan pergi keluar.”

“Yuu—”

Ayase berbalik, membiarkan pintu terbuka, dan terdiam.

Aku membuka pintu lebar-lebar dan melangkah keluar menuju lorong apartemen.

“….Ada apa, Asamura-kun?”

“'Tidak, kamu tidak perlu terlalu patuh dalam menggunakan panggilan itu...”

Segera setelah aku menunjukkan hal ini, alis Ayase-san turun.

“Ah, tidak, aku tidak menyalahkanmu.”

Jika di dalam rumah, dia memanggil Yuuta-niisan. Tapi kalau di luar, Asamura-kun. Aku memahami kalau dia mencoba menggunakannya secara berbeda, tetapi kupikir itu cukup membingungkan untuk menggunakannya secara berbeda tergantung pada apa dia melewati ambang pintu rumah atau tidak.

Mengikuti Ayase-san, aku berjalan keluar dari pintu depan dan menguncinya sebelum berjalan di sampingnya.

“Lihat, karena hari ini ada prakiraan hujan, jadi aku tidak bisa naik sepeda. Jadi kupikir mungkin lebih baik jika kita pergi bersama-sama.”

Aku akan pergi ke sekolah bimbel dan Aya-sen akan pergi ke toko buku tempat dia bekerja.

Sambil menunggu lift naik, Ayase-san berkata dengan suara berbisik.

“Mungkin aku agak terlalu kaku.”

“Jangan khawatir, menurutku itu hal yang biasa terjadi.”

Setelah itu, dia menatapku dengan pandangan yang ragu-ragu dan bertanya, “Benarkah?”, aku lalu memberikan contoh untuk membantunya memahami.

“Menggunakan panggilan yang berbeda di dalam dan di luar rumah adalah hal yang biasa. Apa kamu pernah berlatih wawancara masuk sekolah SMA ketika masih kelas 3 SMP?”

“Ya, pernah. Aku juga mendaftar ke sekolah SMA yang mewajibkan wawancara.”

“Pada saat itu, apa kamu diajarkan untuk memanggil orang tuamu dengan 'ayah' atau 'ibu', atau 'bapak’ dan ‘ibu'?”

Lift datang dan pintu terbuka dengan suara 'ding'. Kami berdua lalu masuk ke dalam. Aku menunggu pintu lift tertutup sebelum melanjutkan pembicaraan.

“Tapi, kupikir butuh waktu untuk bisa menggunakannya secara lancar.”

Ayase-san membalas dengan bergumam, “Mungkin itu benar.”

“Tapi, dalam kasusku, ibuku sudah mengajarkannya padaku sejak akhir sekolah SD... Kadang-kadang, toko tempat ibuku bekerja akan menelepon ke rumah. Ketika itu terjadi, aku harus menjawab telepon dengan 'Aku akan menghubungkanmu dengan ibuku', bukan 'Aku akan menghubungkanmu dengan ibu',” jelas Ayase-san.

 

“Begitu ya. Tapi, pada awalnya, kamu sering menggunakan kata-kata yang biasa.”

“Mungkin.”

“Sekarang kamu sudah bisa menggunakan keduanya dengan alami, ‘kan? Jadi, mungkin itu hanya masalah kebiasaan saja.”

Kami berdua lalu turun dari lift dan keluar dari lobi apartemen. Aku melihat ke atas langit- pagi. Langit yang cerah telah berubah menjadi kelam dan terasa berat. Aku bahkan bisa mencium bau hujan yang tertiup angin.

“Tidak salah lagi…. pasti akan turun hujan," kataku setelah memeriksa langit, lalu melihat Ayase-san yang berdiri di sebelahku tanpa membawa payung.

“Apa kamu sudah membawa payung?”

“Iya, aku membawa payung lipat.”

“Ahh, begitu.”

“Bagaimana denganmu, Asamura-kun?”

“Aku juga membawa payung lipat di dalam tas. Tapi, jika hujan deras turun, bahkan payung yang besar pun tidak akan berguna,.”

“Kupikir aku akan mencari tempat berteduh jika itu terjadi.”

Kami berdua mulai berjalan berdampingan.

“Tapi... entah kenapa rasanya agak baru.”

Ayase-san membalas pelan, “Eh?” lalu memandang ke arahku.

“Kita sering pulang bersama setelah bekerja, tapi jarang berjalan berdampingan menuju stasiun dari rumah, bukan?”

Ayase-san mengangguk.

“Terakhir kali mungkin saat kita berangkat untuk jalan-jalan sekolah.”

“Ahh~…memang.”

Waktu itu hampir fajar dan tidak ada orang di jalan. Kami hanya bisa pergi karena waktu itu tidak ada yang memperhatikan kami. Secara umum, kami menghindari untuk pergi bersama-sama di luar.

Namun, untuk mewujudkan “Lebih dekat di luar”, aku memutuskan untuk menyamakan waktu pergi kami yang sebelumnya berbeda.

Aku hanya ingin sedikit lebih dekat dengan Ayase-san.

Kami tidak bergandengan tangan atau berbicara dengan riang. Namun, aku merasa bahwa kami bisa saling memahami. Aku mencoba untuk melangkah sedikit lebih lambat agar bisa menyesuaikan langkah dengan Ayase-san yang mungkin sedikit lebih cepat. Kami saling memikirkan satu sama lain dalam hal yang kecil seperti itu, dan saat ini merupakan waktu yang menyenangkan bagi kami berdua.

Langit yang kami lihat di atas berwarna kelabu dan suram. Jika itu di dalam cerita, langit mendung sering kali menjadi pertanda kekhawatiran terhadap masa depan, tetapi dalam kehidupan nyata, semua peristiwa terjadi tanpa terkait dengan cuaca.

Aku menggumamkan sesuatu pada Ayase-san.

“Bukannya itu hal yang wajar… Langit tidak akan cerah atau berawan hanya demi kita, kan?”

“Tapi di dalam dunia cerita tidak demikian. Langit yang semakin gelap adalah petunjuk bahwa nasib tokoh utama sedang bergulir, dan langit cerah setelah hujan adalah simbol berakhirnya hal-hal buruk. Atau misalnya, ranting-ranting yang bergoyang di belakang seorang wanita yang sedang menunggu seseorang dapat mengekspresikan kegelisahan wanita tersebut karena orang yang dia tunggu tidak kunjung datang.”

Dengan kata lain, itulah yang disebut [Pertanda tidak langsung].

“Benar. Kupikir pasti ada adegan seperti itu saat aku menonton drama, tapi aku hanya berpikir kalau anginnya sedang kencang saja.”

“Yah, adegan semacam itu sengaja ditampilkan untuk membuat penonton merasa agak gelisah atau ceria saat menontonnya. Tetapi, terkadang memang menyenangkan untuk menguraikan hal semacam itu.”

“Benarkah?”

“Ya. Yah pada kenyataannya, banyak hal menyenangkan terjadi bahkan di bawah langit mendung.”

Ayase-san berkata, “Begitu” dan kemudian memikirkannya sejenak.

Tapi, dia membuka mulutnya..

“Mungkin cuaca memang bisa mengubah suasana hati seseorang.”

Setelah menyatakan bahwa sekarang berbeda, dia mengatakan bahwa dia sebenarnya mengalami depresi ketika cuaca buruk.

“Aku merasa kalau suasana hatiku ikutan muram saat cuaca di luar gelap. Di kamarku. Aku meringkuk di tempat tidur. Dengan dagu bertumpu pada tempurung lutut, aku tampak seperti ikan mati dan menatap kosong sepanjang hari.”

“Itu sih, kondisi yang cukup tertekan...”

“Ah, itu cerita lama. Jadi jangan beritahu ibu, ya. Dia pasti akan khawatir.”

“Aku tahu.”

Mungkin itu sekitar waktu ayah kandungnya meninggalkan rumah.

Sambil sedikit khawatir, aku menatap Ayase-san dengan pandangan menyamping dan bertanya, “Apa kamu sudah baik-baik saja sekarang?”

“Sangat baik-baik saja. Bahkan ketika aku merasa sedih, ada seseorang yang selalu menghiburku. Seperti yang kamu bilang tadi, di bawah langit yang mendung pun, kita masih bisa menemukan hal-hal menyenangkan.”

“Yah aku memang bilang begitu, sih.”

“Aku merasa kalau kita memiliki banyak kesamaan. Namun, ada hal-hal yang bisa diucapkan Asamura-kun dan tidak terpikirkan olehku.”

“Aku juga merasakan hal yang sama.”

Sikap Ayase-san yang teguh dan berani menghadapi dunia membuatku yang terbiasa dengan sikap cuek akhirnya merasa kagum.

“Itulah sebabnya, berjalan di samping Asamura-kun seperti ini membuatku merasa seperti sedang berjalan di bawah langit yang cerah.”

Dia mengatakan itu sembari tersenyum padaku dan aku merasa senyumnya seperti sinar matahari di antara awan hujan. Lalu dia memalingkan wajahnya dengan cepat.

“Ah, bercanda. Entah kenapa aku tiba-tiba menjadi terlalu puitis. Rasanya itu bukan sikapku yang biasanya.”

Dia menggaruk dahinya dengan jari telunjuk sambil tersipu malu. Aku berpikir kalau sikapnya yang begitu sangat menggemaskan. Ketika aku mengatakan itu padanya, wajahnya justru semakin malu.

Kami keluar dari gang menuju jalan besar. Kota Shibuya pada hari Minggu selalu dipenuhi dengan orang-orang dan suara bising yang memenuhi jalan.

Semakin kami mendekati stasiun, semakin banyak orang yang memadati jalan hingga sulit untuk berjalan tanpa menabrak orang lain.

Di tengah keramaian, ada sepasang remaja sekitar usia SMP yang berjalan sambil mengaitkan lengan mereka. Mereka berjalan dengan lancar, seolah-olah menjadi satu makhluk yang sama— atau mungkin lebih tepatnya, apa mereka tidak merasa panas? Meskipun langit mendung, suhu bulan Juni bisa mencapai hampir 30 derajat. Sambil memikirkan hal aneh itu, seorang pria yang tampak seperti pegawai kantoran melewati pasangan tersebut tanpa sengaja bertabrakan, tetapi ia dengan sengaja mendecakkan lidahnya dan melanjutkan perjalanannya. Pasangan remaja itu terkejut dan ketakutan, lalu berlari ke tepi jalan.

“Kupikir ada bagusnya mereka terlihat akrab.”

“Aku bisa meminjamkan tanganku padamu kapan saja, kok.”

Begitu mendengar tawaranku, Ayase-san membuat ekspresi serius dan kemudian menggelengkan kepalanya.

“Tapi hari ini, rasanya sudah cukup kita bisa berangkat bersama-sama.”

Ayase-san melihatku berperilaku seperti orang asing di sekolah dan merasa bahwa aku mulai menjauh. Hal itu menyebabkan permintaan berlebihan akan keintiman di rumah dan kurang tidur. Itu menunjukkan kalau jarak antara kami di luar rumah terlalu jauh. Itulah bagian hal yang sulit.

Kedekatan yang tepat antara dua orang yang bukan hanya sepasang kekasih, tetapi juga saudara tiri... Sampai sejauh mana jarak yang tepat dianggap “dekat” di luar rumah? Seberapa dekat kami harus berada agar tidak menumbuhkan kecemasan Ayase-san?

Sekarang, ini saja sudah cukup. Aku berharap kata-kata Ayase-san adalah dari hatinya sendiri.

Aku mengamati wajah Ayase-san dengan pandangan mata samping.Ekspresinya terlihat tenang.

“Ada apa?”

“Bukan apa-apa, uhmm, Ayase-san.”

Ayase-san berkata “Dasar aneh” dan segera memalingkan wajahnya ke depan.

Aku jadi penasaran, apa yang akan terjadi jika aku memanggilnya “Bukan apa-apa, Saki” di telinganya. Aku hanya ingin melihat sedikit bagaimana perubahan ekspresinya.

Ketika orang tua kami tidak ada di rumah kemarin, aku membayangkan bahwa kami akan memiliki sedikit lebih banyak waktu untuk berduaan. Namun, ternyata tidak demikian. Setelah makan malam, aku menunggu sebentar, mengira kalau dia akan meminta pelukan lagi. Namun, tidak ada yang terjadi dan kami berdua pergi ke kamar masing-masing dan tidur.

Jika aku melihat sekelilingku, aku menyadari bahwa ada banyak pasangan yang berbeda-beda jaraknya saat berjalan di jalan. Ada yang mengaitkan lengan mereka dan saling berdekatan, dan ada yang hanya saling mengaitkan ujung jari kecil mereka.

Setiap pasangan memiliki jarak yang berbeda-beda.

Sementara itu, aku dan Ayase-san berjalan dengan jarak yang hanya cukup untuk bahu kami saling bersentuhan. Ini adalah pertama kalinya kami berjalan bersama di tengah keramaian dengan jarak seperti ini, tapi aku merasa cukup nyaman dengan itu.

“Ketika kita kembali dari bekerja paruh waktu, ibu dan ayah pasti sudah kembali.”

“Ya, mungkin.”

Meskipun itu sangat disayangkan, tapi kehidupan kami tanpa orang tua akan segera berakhir. Meski begitu, kurasa kami menghabiskan dua hari terakhir ini dengan tenang.

Lampu lalu lintas di persimpangan jalan pun berubah. Ayase-san pergi ke toko buku, sedangkan aku aku menuju ke sekolah bimbel.

 

◇◇◇◇

 

Aku meregangkan badanku dan bangkit dari tempat duduk. Aku tidak terlalu pandai dalam pelajaran sejarah, jadi aku harus berkonsentrasi penuh selama pelajaran. Mungkin karena aku berusaha untuk tidak melewatkan apa yang diajarkan, tubuhku menjadi tegang dan kaku.

Waktu menunjukkan pukul 14.40 siang. Setelah istirahat selama 10 menit, aku masih memiliki jadwal satu pelajaran lagi.

Aku berjalan menyusuri lorong dan menuju ruang istirahat.

Ayo minum kopi kaleng dulu untuk mengubah suasana.

Aku membuka pintu ruang istirahat kedua yang berada di lantai yang sama sambil menggoyangkan kaleng yang aku beli dari mesin penjual otomatis. Ruangan itu sempit dengan meja bulat dan beberapa kursi di sekelilingnya.

Tumben-tumbennya tidak ada seorang pun di sana.

Aku meletakkan kaleng di meja terdekat dan melakukan beberapa kali peregangan.

“Mungkin aku harus sering-sering berolahraga...”

Aku bergumam begitu sambil mengendurkan tubuh yang tegang. Pada dasarnya aku memang orang yang lebih suka di dalam ruangan dan tidak begitu tertarik dengan olahraga. Aku adalah tipe orang yang menonton saat ada acara seperti Olimpiade.

Itulah sebabnya aku menjaga jarak dari kompetisi olahraga yang membutuhkan keahlian yang dilatih selama bertahun-tahun oleh atlet.

Tapi entah bagaimana aku malah terlibat dalam permainan bola basket.

Namun, tembakanku tidak pernah bisa masuk.

Yah, jika hanya dengan beberapa hari latihan untuk acara kompetisi olahraga, aku sudah bisa seperti mereka yang berlatih bertahun-tahun, tentu saja aku akan direkrut ke tim bola basket.

“Apa begini caranya...?”

Memanfaatkan ruang istirahat yang sedang kosong, aku melemparkan bola imajiner ke arah ring. Ada sebuah kalimat dalam manga bola basket yang mengatakan bahwa aku hanya perlu mengangkat tangan kiriku saja. Katanya, jika menggunakan kedua tangan untuk mendorong bola, sulit untuk menjaga keseimbangan kekuatan antara tangan kanan dan kiri.

Mungkin benar bahwa sulit untuk menjaga keseimbangan ketika mencoba melakukan dua hal sekaligus. Mungkin lebih baik fokus pada satu hal saja agar lebih mudah dikendalikan.

Aku mencoba melemparkan bola udara beberapa kali.

Di dalam pikiranku, bola itu masuk ke dalam jaring, tapi dalam kenyataannya tidak semudah itu, iya ‘kan?

“Oh, apa kamu sedang bermain basket?”

Aku dibuat terkejut ketika mendengar suara yang tiba-tiba bertanya ebgitu.

Ketika aku berbalik, pintu ruang istirahat terbuka dan seorang gadis yang tinggi berdiri di sana.

“Oh, Fujinami-san.”

Dia mengenakan kaus dan celana jeans yang ringan sehingga garis tubuhnya tidak terlihat. Jika dia memakai topi dan menutupi sebagian wajahnya, dia bisa terlihat seperti seorang pria karena tingginya.

“Aku bahkan bisa melihatmu dari jendela.”

“Dapat dilihat dari lorong?”

Aku merasa malu ketika dia melihatku, tapi aku tahu dia bukan orang yang suka menggoda orang lain.

“Aku tidak pernah menyangka kalau Asamura-san suka bermain bola basket.”

“Yah aku bermain bola basket untuk acara kompetisi olahraga.”

Ah, begitu rupanya. Fujinami-san mengangguk seakan puas dengan jawabanku.

“Yah, rasanya memang agak canggung, iya ‘kan.”

“Ah, kamu memahaminya?”

“Karena tinggi badanku, orang-orang selalu mengatakan bahwa aku harus bermain bola basket untuk acara kompetisi olahraga. Sebenarnya aku cukup mahir dalam dribble dan menembak. Tapi hanya sebatas level amatir.”

Kali ini giliranku yang mengangguk setuju. Memang, berkat tinggi badannya, dia pasti akan menjadi orang pertama yang dipilih dalam bermain bola basket. Bahkan mungkin dia akan direkrut oleh tim bola basket. Tapi ketika kami pertama kali bertemu di lapangan golf, aku tidak menyangka dia akan suka bermain bola basket.

“Jadi kamu lumayan mahir dalam bermain bola basket, ya.”

“Apa itu cukup mengejutkan?”

“Iya, aku terkejut. Aku pikir kamu lebih suka olahraga yang bisa dilakukan sendirian.”

“Yah, aku tahu kalau kamu akan mengatakan itu. Sebenarnya, setiap kali aku bermain, orang-orang selalu memberiku bola dan memintaku untuk dribble dan melakukan tembakan.”

Begitu ya, dengan kata lain, meskipun bola basket seharusnya menjadi olahraga tim, pada akhirnya semuanya tentang permainan solo. Aku hanya bisa tersenyum kecut ketika mendengarnya.

“Tapi, bukannya berarti itu akan berjalan baik entah bagaimana, ‘kan?”

“Karena yang begitu bisa membuat semua orang senang.”

Aku juga memang diberitahu kalau aku tidak perlu terlalu khawatir.

“Jika semua orang di sekelelingku adalah anggota tim basket, maka tidak akan menjadi masalah, tetapi peraturan turnamen olahraga di sekolah kami menyatakan bahwa peserta klub tidak dapat berpartisipasi dalam olahraga yang sama. Jadi, ketika datang ke turnamen olahraga SMP kami, sebagian besar orang yang berpartisipasi adalah pemula dalam olahraga itu. Bahkan jika kamu melihat ada teman kosong di dekat ring, dan kamu melempar bola kepadanya, dia mungkin tidak akan menerimanya.”

“Tidak mau menerimanya?”

‘Karena bola Fujinami-san cepat dan menakutkan, jadi jangan lemparkan ke arahku!’ begitulah katanya.”

“Ahh...”

Jika bola dengan kekuatan seperti klub basket dilemparkan pada seseorang yang bukan anggota klub basket, itu pasti akan menakutkan.

“Jadi, aku hanya menerima bola tanpa bisa mengopernya ke orang lain.”

“Jadi kamu tidak punya piliha  lain selain memasukkannya sendirian, ya”

Bayangan dirinya yang menerima bola dari sana-sini dan kemudian menyerang terus-menerus muncul di benakku.

“Yah, aku akan lebih bersyukur jika memang begitu.”

“Bukannya itu hal yang bagus jika itu saling menguntungkan bagi semua orang?”

“Kurasa begitu. Tapi ketika sudah menyimpang seperti itu, aku penasaran apa itu hal yang tepat untuk dilakukan.”

“Kurasa mungin itu tergantung pada apa kamu ingin menikmati permainan tim atau memilih bermain sebagai tim untuk menang.”

“Karena itu turnamen olahraga sekolah, jadi kupikir itu menjadi masalah jika dilihat sebagai bagian dari pendidikan untuk membangun kerja sama tim."

“Jika memang begitu, maka itu berarti bahwa acara individu tidak diikutsertakan dalam kompetisi.”

“Begitu rupanya. Aku sama sekali tidak memikirkannya. Yah, bukan berarti aku hanya ingin menang, karena itu adalah turnamen olahraga sekolah.”

“Namun, ini bukan basket yang dimainkan sebagai rekreasi rehabilitasi. Tujuan utamanya adalah untuk menang dalam bentuk turnamen. Tentu saja, jika berarti harus melakukan apa saja untuk menang, itu akan melanggar prinsip pendidikan sekolah.”  

“Itu perumpamaan yang cukup ekstrim juga.”

“Tapi pada saat yang sama, jika kita mempertimbangkan strategi yang dipilih oleh kelas untuk membiarkan Fujinami-san menyerang, menurutku itu masih masuk akal.”

Begitu ya, Fujinami-san membalas dengan mengangguk puas.

“Kurasa itu pemikiran yang bagus. Hal itu membuatku merasa lebih lega.”

Saat kami berdua terus mengobrol, waktu bimbel pun tiba dan percakapan dengan Fujinami-san harus diakhiri. Namun, aku mulai memikirkan perubahan dalam pola pikirku lagi yang ingin bermain dalam olahraga tim meskipun tidak diminta seperti Fujinami-san.

Dengan kata lain, aku ingin mengembangkan kemampuanku untuk bekerja sama sampai batas tertentu dan dalam rentang yang wajar── mungkin aku ingin berlatih melakukan sesuatu bersama orang lain.

 

◇◇◇◇

 

Ketika aku meninggalkan gedung sekolah setelah selesai bimbel, hujan mulai turun seperti yang telah diprediksi.

Aku membuka payung lipatku dan memegangnya di atas kepalaku.

“Prediksi yang tidak ingin terjadi cenderung menjadi kenyataan, ya ...”

Aku menggerutu sambil mengamati awan hitam yang menutupi langit dan hujan perak yang turun.

Dunia ini dipenuhi dengan Hukum Murphy. Ketika roti jatuh dari meja makan, pasti akan jatuh dengan sisi mentega ke bawah, dan ketika kita tidak ingin hujan turun, hujan justru akan turun dengan semakin deras.

Jalanan menuju rumahku banyak yang menanjak. Guyuran hujan membuatku kesulitan untuk berjalan.

Selain itu, payungnya membuat pandanganku menjadi terbatas, dan awan hitam yang tebal membuat suasana menjadi gelap meskipun waktunya masih di jam 6 sore.

Gedung apartemen yang seharusnya tidak asing lagi di seberang gang yang berbelok, basah karena hujan dan warnanya berubah, membuatnya terlihat seperti bangunan yang berbeda. Di bawah lampu jalan yang terang, batu bata hijau pucat menjadi hijau zamrud yang dalam karena sering diinjak.

“Aku pulang,” sambil membuka pintu depan dan berjalan menuju ke dalam rumah sambil berkata demikian.

Aku lalu melepas pakaian dan kaus kaki yang basah sebelum menyentuh lantai. Kemudian pergi langsung ke kamar mandi, melempar pakaian-pakaian tersebut ke dalam keranjang cucian dan mengganti dengan pakaian rumah. Meskipun  aku ingin mandi jika badanku lebih basah, tapi tidak begitu parah.

Baik Ayase-san maupun orang tuaku masih belum pulang.

Aku bisa merasakan hujan semakin deras dari sebelumnya melalui suara air yang menerpa jendela.

“Kurasa mendingan menyiapkan air untuk mandi dulu.”

Kemudian, aku mulai menyiapkan makan malam.

Karena aku belum berbelanja, jadi aku hanya bisa menggunakan bahan-bahan yang sudah tersedia di rumah dan harus memasak sesuai dengan resep yang bisa akubuat. Mungkin makanan yang hangat akan lebih baik pada hari hujan seperti ini.

“...mungkin kari?”

Itu mungkin ide yang bagus.

Kari pedas sangat cocok untuk musim ketika nafsu makan bekurang dan jika kari hangat dituangkan di atas nasi hangat, itu akan menjadi menu yang dapat menghangatkan tubuh. Hanya dengan membayangkan aroma pedas itu saja sudah membuat perutku jadi keroncongan.

Tetapi, Ayase-san tidak terlalu suka rasa pedas seperti diriku. Karena rasa pedas bisa ditambahkan nanti, mungkin lebih baik untuk membuatnya sedikit manis agar sesuai dengan selera Ayase-san.

Aku kemudian mencari resep di ponsel. Kata kunci pencarian kali ini adalah “Kari cepat saji”.

Rupanya, kari bisa dibuat tanpa menggunakan kompor. Hanya dengan memotong sayuran dan daging, kemudian memanaskannya di dalam microwave. Mungkin aku bisa mencobanya?

Cara pembuatannya hanya dengan mencampurkan bawang bombay dan minyak salad, kemudian panaskan terlebih dahulu sebelum menambahkan bahan lainnya, lalu tambahkan air dan panaskan perlahan. Hanya begitu saja.

Meski kelihatannya mudah, tapi jangan lengah. Waktu memasak yang dibutuhkan akan lebih lama daripada yang tertera dalam resep, karena itulah sebabnya mengapa pemula masih tetap pemula.

Lebih jauh lagi, tulisan resep itu mirip seperti buku sihir yang ditulis dalam bahasa kuno bagi seorang penyihir pemula.

Misalnya saja cara memotong sayuran. Meskipun disuruh memotong wortel menjadi potongan setengah bulan. Apa itu setengah bulan? Pasti akan kebingungan begitu. Menyandang status sebagai pemula yang tersandung pada hal-hal dasar seperti ini, rasanya akan diejek oleh Ayase-san jika diketahui. Setelah memotong semua sayuran dan daging, aku menambahkan air dan bubuk kari, lalu memanaskannya dengan microwave.

Di rumah kami, bubuk kari tersedia dalam versi manis dan pedas. Kali ini aku hanya menggunakan versi manis saja. Aku mengikuti semua jumlah bahan sesuai resep, jadi seharusnya bisa menghasilkan kari manis biasa.

Setelah pemanasan selesai, aku mencoba rasanya.

Hasilnya adalah kari manis biasa yang enak.

Resep itu luar biasa. Rasa ini seharusnya sesuai dengan selera Ayase-san.

Aku merasakan pipiku mengendur saat membayangkan senyumnya dan merasa wajahku juga ikutan tersenyum. Pada saat yang sama, aku merasa aneh. Setelah mencicipi hidangan tersebut, aku menyadari bahwa meskipun hidangan yang aku buat tidak sesuai dengan seleraku sendiri, aku tetap senang meskipun membuat kari yang tidak memuaskan untuk diri sendiri.

Mungkin itu aneh. Tetapi pada saat yang sama, itu juga wajar.

Karena ini adalah apa yang diinginkan orang lain, maka seharusnya disesuaikan dengan selera orang lain. Namun, pada kenyataannya, itu tidak selalu harus selalu disetujui secara terus-menerus. Melakukan sesuatu yang tidak terampil akan menimbulkan stres.

Meskipun demi orang yang dicintai, apabila kita terus-menerus mengorbankan diri sendiri, maka kita akan semakin kurus dari hari ke hari.

Akhirnya, membuat pihak lain khawatir justru berbalik menimbulkan masalah.

“Mungkin fakta bahwa kami mampu saling menyesuaikan adalah sebuah berkah tersendiri…”

Mungkin terlalu sentimental untuk merasa terharu bahwa Ayase-san suka rasa manis yang dapat diambil dengan sendok saat mencicipi.

Langit di luar benar-baenar sudah gelap. Satu-satunya yang terdengar hanyalah suara hujan yang memenuhi seisi dapur.

Apakah hujan ini membuat hatiku gelisah karena hal-hal kecil?

Aku melirik jam. Suara sintesis memberi tahu bahwa air mandi sudah siap. Aku juga mendengar suara pintu masuk terbuka dan terdengar suara Ayase-san yang berkata “Aku pulang.”

"Selamat datang. Bagaimana hujannya di luar?”

Aku bisa menebak bahwa dia mungkin basah kuyup karena dia tidak segera masuk melalui pintu depan.

Sebuah suara kecil menjawab dari balik pintu, 'basah kuyup ......'.

“...air mandinya sudah siap.”

Aku meninggikan suaraku supaya bisa didengar sisi lain pintu

Dia sepertinya membalas dengan mengatakan sesuatu, tapi aku tidak mendengarnya

Aku menunggu lebih lama lagi, tetapi tidak ada tanda-tanda dia datang ke arah dapur, jadi aku menduga kalau dia mungkin pergi ke kamarnya untuk berganti pakaian atau ke kamar mandi.

Kalau begitu, ayo siapkan makan malam segera setelah dia keluar dari kamar mandi.

Aku sekali lagi berdiri di dapur untuk menyiapkan salad dan hidangan lainnya.

 

◇◇◇◇

 

Kata-kata pertama yang keluar dari mulut Ayase-san setelah selesai berendam di bak mandi dan membuka pintu adalah “Aromanya lezat sekali!”.

“Jadi kamu membuat kari, ya?”

“Kupikir itu akan membuatmu merasa hangat.”

“Iya, aku merasa sangat berterima kasih untuk itu.”

Ketika ditanya tentang hujan, Ayase-san menatap ke arah jendela sambil menggigit bibirnya. Dengan penuh penyesalan, dia mengatakan bahwa dia pulang ketika hujan turun dengan sangat deras.

“Tapi, mulai sekarang hujannya mungkin akan semakin deras.”

“Iya sih, tapi... kira-kira, apa ibu dan ayah tiri baik-baik saja?”

Orang tua kami menggunakan mobil untuk berpergian, jadi tidak cocok untuk mengemudi di malam yang hujan. Meskipun mereka terlihat hati-hati dan berkendara dengan aman, tapi aku masih sedikit khawatir.

“Kurasa mereka akan pulang sebentar lagi, tapi...”

Pada saat yang bersamaan ketika aku mengatakan itu, ponsel Ayase-san bergetar.

“Kelihatannya dari ibu.”

Dia menegaskannya dengan melirik ke arahku sambil mengatakannya. Aku memberinya isyarat untuk membukanya, lalu Ayase-san melihat pesan di ponselnya. Dia kemudian mengeluarkan suara “Eh?” .

“Apa yang terjadi?”

Aku bisa menebak bahwa itu bukanlah kabar yang serius. Jika begitu, pasti ada pemberitahuan yang masuk kepadaku juga.

“Nampaknya mereka terjebak macet. Katanya mobil mereka sampai tidak bisa bergerak sama sekali. Kemungkinan besar akan sangat terlambat, dan dalam beberapa kasus, mereka mungkin memutuskan untuk menginap satu malam lagi.”

Setelah mendengar hal itu, aku segera mencari informasi kemacetan. Karena aku tahu tujuan orang tua kami, aku mencari informasi seputar jalan yang mungkin mereka gunakan.

“Oh... sepertinya ada kemacetan akibat kecelakaan.”

“Besok hari Senin, tapi apa itu akan baik-baik saja?”

“Ayah bilang kalau dirinya sudah mengambil kuota cutinya. Meskipun aku tidak tahu tentang Akiko-san, sih.”

“Karena sejak awal Ibu bekerja di malam hari. Jadi, mungkin tidak masalah jika mereka pulang terlambat.”

“Kurasa alasan mengapa ia mengambil cutinya karena sudah mengantisipasi hal-hal seperti ini terjadi.”

Saat aku mengatakan itu, aku menyadari kalau orang tua kami juga tidak ada di rumah malam ini.

Tapi, menyadari hal itu tidak akan mengubah apapun. Karena kami juga mengalami situasi yang sama semalam.

Setelah selesai makan malam, kami bergantian mandi dan kembali ke kamar masing-masing untuk belajar. Kami tidak bertingkah terlalu dekat atau menjaga jarak terlalu jauh satu sama lain.

“Mengenai mandi...”

“Hm?”

“Eh, kenapa kamu terlihat bingung begitu?”

“Oh, maaf. Aku sedikit melamun tadi.”

“Jadi, karena aku sudah mandi duluan, Yuuta-niisan bisa mandi kapan saja.”

“Oh, mengerti.”

Karena Ayase-san sudah mandi duluan, jadi aku bisa mandi kapan saja yang aku inginkan. Kami tidak melakukan hal seperti ini dalam beberapa waktu, jadi aku merasa sedikit canggung ketika disuruh memilih waktu mandi sendiri.

“Ngomong-ngomong, aku bertemu dengan gadis yang bernama Kozono hari ini.”

“Hm? Ah, sudah kuduga jadi kamu yang bertanggung jawab padanya, ya.”

Aku sedikit bingung ketika topiknya tiba-tiba berubah, tapi aku segera menyadari bahwa dia sedang berbicara tentang Kozono Erina, staf paruh waktu kami yang baru.

Sepertinya dia bekerja di shift yang sama dengan Ayase-san.

“Memang, aku juga bertanggung jawab padanya. Aku diminta untuk membantunya memahami beberapa hal.”

“Bisa dibilang dia adalah junior pertamamu, ‘kan? Karena dia tipe gadis yang cepat belajar, kupikir dia tidak akan terlalu banyak merepotkanmu.”

“Ya, mungkin...”

Dia menjawab dengan nada yang agak janggal dan terdengar seperti ada sesuatu yang mengganggunya.

Ayase-san cenderung bereaksi seperti ini ketika ditanyai kesannya terhadap orang yang pertama kali ditemuinya.  Sebagai individu bernama Ayase Saki yang tidak suka mengklasifikasikan orang lain dengan nilai-nilai klise, maka dia tidak bisa mengungkapkan kesan tentang seseorang dengan satu kata.

Aku memang memahaminya, tapi rasanya ada sesuatu yang lebih dari itu.

“Apa ada sesuatu yang terjadi?”

“Tidak terjadi apa-apa, sih. Aku pikir dia adalah gadis yang baik dan jujur. Tapi... maaf, aku tidak bisa menjelaskannya dengan baik.”

“Menurut kesan yang aku dapatkan, dia justru terlihat mirip dengan Narasaka-san.”

Narasaka Maaya adalah teman yang paling dekat dengan Ayase-san.

Ekspresi terkejut Ayase-san sangat mengejutkanku.

“Maaya? Tidak, aku rasa berbeda. Mungkin itu sangat berbeda.”

“Jadi begitu ya.”

“Mungkin sebaliknya, dia sangat bertolak belakang dengan Maaya.”

Jawabannya membuatku semakin terkejut.

Bertolak belakang? Menurut kesan pertama yang aku dapatkan, baik Narasaka-san maupun Kozono-san, keduanya memberikan kesan gadis yang ceria dan ramah.

“Karena Maaya tidak datang.”

“Tidak datang?”

“Ya. Mungkin dia mirip seperti bunga matahari. Sedangkan Kozono-san, dia mungkin seperti... matahari?”

Aku tidak bisa memahami perkataannya sama sekali.

Namun, sepertinya Ayase-san memiliki perbedaan yang signifikan dalam pandangannya terhadap keduanya.

Rasanya jarang untuk memiliki kesan yang begitu berbeda terhadap satu individu. Tapi pada dasarnya, Ayase-san dan aku adalah individu yang berbeda, jadi wajar jika kita tidak bisa saling memahami...

Suara hujan yang menghantam jendela terdengar semakin keras.

“Padahal bukan karena ada badai, tapi hujannya deras sekali, ya.”

Kaca jendela meneteskan air ke bawah, seakan-akan diseret di atas seember air.

“... Aku akan membersihkannya. Rasanya enak, kok. Terima kasih banyak.”

“Kalau kamu menaruhnya di wastafel, aku akan membersihkannya.”

“Mm. Tolong ya.”

Setelah meletakkan piring yang sudah selesai dimakan di wastafel, Ayase-san masuk ke kamarnya sendiri.

Ya, setelah selesai makan, kami akan kembali ke kamar masing-masing dan menjaga jarak yang tepat satu sama lain. Aku dan Ayase-san masih melakukannya hari ini.

Orang tua kami masih belum pulang.

“Mungkin aku harus belajar juga...”

Setelah selesai mencuci piring, aku pergi ke kamarku sendiri.

 

◇◇◇◇

 

Setelah fokus selama sekitar satu jam, aku merasa lelah dan mendongak ke atas untuk melihat bahwa sekarang sudah pukul 11 malam.

Aku memutuskan untuk mandi sekarang. Ketika aku membuka pintu kamarku dengan membawa ganti baju, aku melihat lampou di ruang tamu menyala. Aku mendengar suara televisi dan melihat Ayase-san duduk di sofa dengan punggungnya menghadap ke arahku.

“Kamu sdang menonton berita?”

“Ya. Berita cuaca. Sepertinya ada hujan lebat.”

Ketika aku mendekati televisi, bagian utara Kanto di dalam layar berubah menjadi merah cerah.

“Apa Ayah dan Akiko-san terkena dampaknya juga? Apa ada kabar dari mereka setelah itu?”

“Ya, katanya mereka sedang beristirahat di rest area.”

Tampaknya situasinya tidak terlalu serius dari yang kuduga.

Mungkin karena mereka ingin beristirahat sampai besok dan tidak ingin memaksakan diri.

Angin masih terus bertiup kencang dan bahkan lebih buruk lagi, kadang-kadang ada kilatan cahaya di luar jendela. Sepertinya bahkan ada petir yang bergemuruh.

“Waduh, sepertinya badai besar akan datang.”

“Ya...”

Ayase-san duduk di sofa sambil memegangi lututnya dan menatap layar televisi dengan konsentrasi penuh.

“Kupikir mereka akan baik-baik saja, jadi kamu tidak perlu khawatir segala.”

“Maksudmu Ibu dan Ayah tiri? Ya, aku tidak mengkhawatirkan tentang itu."

Tapi dia terus menonton layar televisi dengan antusiasme yang aneh.

“Jika kamu ingin minum sesuatu, aku bisa membuatkanmu minuman.”

“Aku tidak ingin minum kopi karena nanti aku tidak bisa tidur. Selain itu, kamu mau mandi sekarang, ‘kan? Kamu tidak perlu mengkhawatirkan aku. Aku bisa membuatnya sendiri.”

Saat Ayase bangkit dari sofa dan berbicara, itu terjadi.

Cahaya menyilaukan memenuhi jendela seperti kilatan petir.

Tidak lama setelah itu, suara gemuruh yang menggelegar seperti pukulan menghantam gendang telingaku.

Ayase-san menjerit keras ketika semua di sekeliling kami menjadi gelap gulita. Itu pertama kalinya aku mendengar suara jeritannnya.

“Ayase-san!”

Aku menopang bahu Ayase-san yang berjongkok, dan menanyakan apakah dia baik-baik saja.

Kilatan cahaya kedua menyilaukan ruangan yang gelap dan suara dentuman kembali menggema. Pemandangan ruangan yang hanya muncul sesaat tiba-tiba menghilang dalam sekejap. Tanpa sadar, aku juga meringkukkan kepalaku. Ayase-san merangkulku karena terus mendengar guruh yang datang beruntun.

“Listriknya...”

“Tenanglah. Semuanya baik-baik saja. Ini hanya pemadaman listrik.”

Kami saling mengandalkan tubuh satu sama lain di dalam kegelapan. Meski suara gemuruh masih terdengar, tapi seharusnya tidak perlu khawatir tentang bahaya tersambar petir karena kami berada di dalam bangunan. Ketika melihat keluar dari jendela, semua bangunan kehilangan cahayanya. Kemungkinan ada gangguan pada jaringan listrik di daerah ini yang menyebabkan pemadaman.

Wajah Ayase-san yang menempel dan terkubur di dadaku tidak terlihat karena tersembunyi. Namun, aku bisa merasakan tubuhnya yang gemetaran.

“Mungkin lampunya tidak akan langsung menyala lagi, dan lebih baik kita duduk saja dulu agar aman.”

“Y-ya.”

Ayase-san mengangkat wajahnya saat dia menjawab begitu. Meskipun sulit untuk melihat dengan hanya cahaya kilat, aku tahu dia sangat ketakutan dari suaranya yang gemetaran.

Aku menggenggam tangannya dan perlahan-lahan membiarkannya duduk di sofa. Aku kemudian duduk di sampingnya.

“Lihat, semuanya kelihatan gelap di luar jendela.”

“Pemadaman listrik...”

“Mungkin ada masalah di pembangkit listrik atau gardu listrik, atau mungkin di jaringan transmisinya. Aku tidak tahu penyebabnya, tapi dengan skala seperti ini, mungkin listriknya tidak akan pulih dengan cepat.”

“Ka-Karena suara petir tadi sangat keras, sih.”

Layar TV-nya juga menjadi gelap. Ayase-san terdiam sejenak sambil terus menyandarkan tubuhnya kepadaku. Mungkin karena dia baru saja selesai mandi, aroma tubuhnya yang lembut menggelitik hidungku. Meski aku bisa merasakan berat tubuhnya yang dipercayakan kepadaku, tapi ternyata dia lebih ringan daripada yang kuduga dan aku khawatir akan merusaknya jika aku terlalu mengerahkan banyak tenaga pada lengan yang menopangnya.

Ini pertama kalinya aku melihat Ayase-san begitu ketakutan, dan aku tidak tahu harus bagaimana membuatnya merasa tenang. Namun, aku juga tahu bahwa jika aku panik, itu akan menjadi kontraproduktif.

Aku berbicara dengan suara lembut dan setenang mungkin, berusaha membuat pembicaraan berjalan lancar.

“Apa kamu takut pada petir atau pemadaman listrik?”

“...Dua-duanya.”

Apa itu berarti dia sama-sama takut pada kegelapan dan petir, ya. Aku tidak menyadarinya.

“Maafkan aku. Aku menempel padamu seperti anak kecil begini.”

“Setiap orang pasti mempunyai hal yang membuat mereka takut.”

Aku berpikir bahwa berbicara akan bisa meredam kecemasannya, jadi aku terus mengobrol sambil memeluknya.

Aku memberikan sedikit tenaga pada lengan yang melingkar di sekitar punggungnya.

“Aku tidak akan pergi ke mana-mana. Aku akan selalu berada di sisimu.”

Aku memberitahunya bahwa dia tidak perlu takut.

Gemetaran di punggungnya mulai mereda ketika kehangatan tubuhku menyebar kepadanya.

“Apa kamu juga takut pada sesuatu, Asamura-kun?”

“Tentu saja. Mana mungkin tidak ada.”

‘Ahh, cara memanggilnya kembali seperti dulu lagi’ pikirku, tapi aku memilih untuk tidak mengatakannya.

“Benarkah?”

“Ya, misalnya saja, tempat pemakaman di malam hari. Itu cukup menakutkan, bagi kebanyakan orang.”

“Jadi kamu mempercayai adanya hantu?”

“Tidak... tapi ketika semua orang berpikir bahwa sesuatu akan muncul, bukannya kamu  merasa seperti ada sesuatu yang akan muncul karena semua orang berpikir demikian?”

“Apa-apaan itu?”

Aku akhirnya merasa lega ketika mendengar suara tawanya.

Di luar jendela, suara guntur perlahan-lahan menjauh. Cahaya dan suaranya berangsur-angsur semakin pelan, suaranya menjadi semakin kecil, dan angin mulai mereda.

“Apa aku mengatakan sesuatu yang aneh?”

Ketika aku membalas dengan nada pura-pura bodoh, Ayase-san tertawa lagi dan menggeleng-gelengkan tubuhnya. Dia melepaskan tangannya yang memegang erat lalu menempatkannya di dadaku sambil sedikit menengadahkan wajahnya. Tatapan mata kami bertemu.

“Jadi itu artinya jika hantu atau arwah muncul, itu karena kesalahan orang yang masih hidup?”

“Ya, bisa dibilang begitu.”

Apa maksudmu? Karena pandangan matanya menunjukkan tanda tanya, aku lalu memberikan jawaban.

“Apa kamu tidak pernah kepikiran kalau makam bukanlah satu-satunya tempat yang menjadi kuburan, bukan?”

“Apa maksudmu?”

“Misalnya saja, di atas tanah Jepang ini, manusia telah berjalan selama ribuan tahun, bukan?”

“Yah, sejak periode zaman Jomon, manusia sudah berjalan di sini selama lebih dari 10.000 tahun.”

“Kalau begitu, jika ada orang yang meninggal di tempat yang bukan kuburan, maka kemungkinan ada orang yang mati dan tetap terbaring di situ. Jika hantu atau arwah muncul di tanah tidur orang mati, maka tidak mengherankan jika mereka bisa muncul di mana saja di Jepang.”

Wajah ketakutan Ayase-san tadi sudah hilang dan dia sedang memikirkan sesuatu dengan alisnya yang sedikit berkerut.

“Yah itu… benar juga, sih.”

“Jika kamu berpikir seperti itu, maka mungkin saja ada tulang seseorang yang terkubur tepat di bawah gedung ini.”

“Tu-Tunggu, apa sih yang kamu katakan ...”

“Tapi biasanya kita tidak terlalu memikirkannya, kan? Tetapi mengapa kita hanya takut pada makam?”

“Ya, itu benar juga. Sebenarnya jika kamu berpikir seperti itu, maka ketakutan Asamura-kun juga aneh.”

“Tetapi banyak orang yang takut dan aku juga takut ketika masih kecil. Karena kupikir jika itu adalah tempat yang membuat banyak orang takut, maka hal-hal yang menakutkan mungkin akan terjadi.”

Ketika kita tidak menginginkannya, hujan akan turun. Mungkin aku percaya pada hantu yang bernama hukum Murphy.

“…Aku merasa ada sesuatu yang aneh dengan logika itu.”

Seperti yang diharapkan, Ayase-san menyadari kalau aku memutar-mutar pembicaraan di tengah jalan. Yah, bagaimanapun juga, ini hanya percakapan untuk mengalihkan perhatiannya, jadi aku tidak terlalu memedulikan tentang logika.

“Yang ingin kusampaikan ialah jika itu menakutkan, maka itu menakutkan, jadi kamu tidak perlu memaksakan diriku. Setidaknya, ... ketika berada di depanku.”

 

“Ya ... terima kasih ...”

 

◇◇◇◇

 

Suhu udara perlahan-lahan menjadi panas dan lembab karena pendingin ruangan telah berhenti. Ketika TV mati dan AC mati, aku semakin menyadari betapa sunyinya suasana di dalam rumah.. Terkadang angin dan hujan bisa menjadi keras, dan saat itu saja kaca jendela bergetar dan berdecit.

Cahaya lampu masih belum menyala. Meskipun begitu, aku tahu bahwa jika ada kesulitan, aku bisa menyalakan lampu ponselku dan mendapatkan cahaya setidaknya secerah lilin. Tapi kami memilih untuk tetap berdiam diri di atas sofa ruang tamu yang gelap gulita, saling bersandar satu sama lain.

Hal ini membuatku teringat pada malam dua bulan yang lalu ketika kami tertidur di atas tempat tidur sambil saling berpelukan. Kedekatan kami membuatku tak bisa melawan kantuk yang menyergap dengan hangat. Ayase-san sudah tidak gemetaran lagi.

“Mungkin penyebab ketakutanku pada kegelapan adalah karena itu ...”

Dia berhenti berbicara setelah mengatakan itu. Aku menunggu kata-katanya tanpa terburu-buru, dan kemudian Ayase-san mulai menceritakan kenangan masa lalunya.

“Ini terjadi pada musim dingin saat aku masih di sekolah SD... mungkin sekitar kelas tiga atau empat.”

Pada saat itu, keluarga mereka masih tidur bersama di sebuah apartemen kecil. Namun, hubungan di antara orang tuanya berangsur-angsur memburuk.

“Pada tengah malam, aku tiba-tiba terbangun.  Selimut tidurku terasa  dingin dan ibu yang selalu berada di sebelahku sudah tidak ada. Ibu dan Ayah sama-sama tidak ada, hanya aku yang ditinggalkan sendirian dalam kegelapan.”  

Ditinggalkan sendirian—ucap Ayase-san dengan napas tersengal. Saat itu, Ayase-san yang masih kecil tidak dapat memahami mengapa hanya dia yang ditinggalkan sendirian. Dia merasa seolah-olah dia telah dilemparkan ke dalam kegelapan sendirian.

Dia mengalami ketakutan yang tidak realistis, seperti orangtuanya meninggal, atau ditinggalkan sendirian di dunia, dan sebagainya.

“Mungkin itu juga dipengaruhi oleh dongeng yang aku baca saat itu. Cerita tersebut berasal dari negara bagian utara, berkisah mengenai di mana seorang gadis yang ditinggalkan sendirian dalam malam yang panjang karena matahari terbenam di bawah cakrawala dan hatinya membeku dalam dingin yang terus berlanjut. Dia kemudian kehilangan hati manusianya dan menjadi monster musim dingin.”

Ayase-san merasa seperti dia juga akan menjadi monster di dalam kegelapan. Dia merasa seperti dilemparkan ke dalam kegelapan dan tidak bisa bertemu dengan orang tuanya lagi….

“Pada saat itu, hubungan orang tuaku semakin buruk dan aku menyadari bahwa hal itu tidak bisa diperbaiki lagi. Aku bahkan sempat berpikir kalau itu mungkin salahku.”

“Salahmu ...?”

“Karena aku merasakan sorot mata yang sama di mata ayahku ketika ia menatapku, seperti yang kurasakan ketika ia menyalahkan ibu...”

Apa kamu akan menjadi seperti ibumu dan meremehkanku?

“Baik aku maupun ibu belum pernah melihat ayah seperti itu.”

Kalau dipikir-pikir lagi, kupikir orang tuaku sedang keluar saat itu, kata Ayase-san.

Ketika mereka bertengkar di malam hari, mereka berusaha untuk melakukannya di dalam mobil ayahnya agar mereka tidak membangunkan putri mereka dan memanaskan suasana di rumah yang sempit. Tidak jelas apa itu dari ibu atau ayahnya yang mengajaa keluar. Kupikir itu mungkin itu ibu dari segi kepribadian, tetapi karena ayah juga setuju dengan itu, jadi mungkin dia juga tidak ingin menunjukkan kepada putrinya bahwa mereka sedang bertengkar—atau itulah yang ingin kupercayai, kata Ayase-san

Namun, sebagai seorang anak yang baru berusia 10 tahun pada saat itu, mana mungkin dia mengerti hal seperti itu. Dan dia menangis dengan keras.

Ibunya yang mendengar tangisan itu segera datang dan menghiburnya, tetapi Ayase-san hampir tidak bisa tidur malam itu dan terus menangis sambil berpegangan erat pada ibunya. Sejak malam itu, dia tidak bisa tidur dalam kegelapan total dan selalu menyalakan lampu.

Itulah cerita yang Ayase-san akhirnya ceritakan dengan detail.

“Pasti kelihatannya memalukan sekali takut pada kegelapan meski aku sudah menjadi anak SMA…bukan?”

“Itu sama sekali tidak benar ... Jadi, apa kamu takut petir karena ada pemadaman listrik?”

“Yah, memang ada alasan itu juga. Kamu tahu kalau terjadi pemadaman listrik, seringkali ada petir. Itulah sebabnya aku merasa takut. Tentu saja, suara besar itu juga menakutkan. Fenomena alam seperti itu tidak bisa dikendalikan oleh individu ...”

“Setiap orang pasti memiliki sesuatu yang ditakuti. Mungkin hanya saja tidak semua orang mau mengakuinya.”

Aku juga tidak suka tempat yang tinggi, jadi aku merasa tidak nyaman dengan pesawat ketika dalam perjalanan sekolah.

“Sebenarnya, kupikir berani mengakui ketakutan itu adalah sesuatu yang menakjubkan.”

“Meskipun aku merasa panik dan menempel erat padamu?”

“Jika itu aku, aku mungkin akan tetap keras kepala dan mengatakan bahwa aku tidak takut. Meski pada kenyataannya, aku benar-benar takut.”

“Tapi menurutku itu kelihatan imut.”

Meskipun dia mengatakan itu lucu, itu tidak membuatnya merasa lebih baik.

“Yah, untungnya, aku baik-baik saja dengan kegelapan dan petir. Jadi, kamu bisa mengandalkanku dalam situasi tersebut.”

“Ya, terima kasih.”

“Sama-sama” jawabku dengan sedikit bercanda, dan Ayase-san tersenyum lembut sebelum menyembunyikan wajahnya di dadaku lagi. Dia kemudian berbisik pelan.

“... Tadi, aku merasa senang sekali.”

“Eh?”

“Kamu tadi mengatakannya, ‘kan? Kamu tidak akan pergi ke mana pun dan akan tetap berada di sisiku.”

“Oh, itu ...”

Meskipun aku sendiri yang mengatakannya, aku merasa malu ketika dia mengulanginya.

“Perkataanmu itu membuatku merasa tenang.”

“Baguslah kalau begitu. Yah, sepertinya hujannya sudah mulai mereda, jadi mungkin pemulihan listrik juga akan segera terjadi.”

Sambil mengatakan itu, aku menghidupkan kembali layar ponselku dan membuka menu. Aku memulai pemutaran musik hip-hop rofi yang sudah sangat aku kenal sehingga aku bisa melakukannya bahkan dengan mata tertutup.

Musik ini terdengar seperti piringan hitam lama yang familiar dan jelas, yang berbeda dengan kejernihan musik modern. Suara yang kabur seperti suara rekaman lama terdengar di sekitar kami.

“Ayo kita lupakan tentang pemadaman listrik. Bukankah lebih baik memikirkan waktu yang elegan dan penuh gaya untuk dihabiskan dengan mendengarkan suara hujan dan musik?”

Di dalam kegelapan, Ayase-san tertawa pelan.

“Kamu sedikit sombong ya.”

“Kata-kata bijak mengatakan bahwa bahkan anjing bisa menjadi penyair pada hari hujan.”

“Siapa yang mengatakan itu?”

Sekarang, siapa yang mengatakan itu? Aku merasa seperti aku pernah membaca itu di suatu tempat, tetapi aku memutuskan untuk menghindari masalah dan menjawab dengan santai untuk menutupinya.

“Asamura Yuuta.”

Saat aku mengatakannya dengan suara serius, dia membenamkan wajahnya di dadaku dan tertawa tanpa suara. Bahunya bergetar. Jika dia tertawa sekeras itu, aku merasa gagal sebagai penyair improvisasi. Dan saat aku sedang ditertawakan, aku mulai teringat cerita aslinya. Ada pepatah yang mengatakan bahwa 'bahkan anjing pun bisa menjadi penyair saat jatuh cinta'. Ungkapan tadi sangat berbeda. Aku merasa lebih malu, jadi aku memutuskan untuk diam dan memendamnya dalam-dalam di hatiku.

Kami bisa merasakan kehangatan satu sama lain dari tubuh kami yang saling berdekatan.

Kami berdua tetap diam sambil mendengarkan musik dan suara hujan yang semakin tenang.

Waktu terus berlalu, dan kami merasa seolah-olah suhu tubuh kami telah berbaur dan menjadi satu.

Tiba-tiba, Ayase-san mendongakkan wajahnya. Bibirnya bergerak dan berkata “Hei...”

Tiba-tiba lampu langit-langit menyala.

AC mengeluarkan hembusan napas untuk menurunkan suhu ruangan yang naik.

Di luar jendela, lampu-lampu di dalam gedung kembali menyala. Listrik sudah pulih kembali.

Ada suara notifikasi LINE. Itu bukan dari ponselku, tapi dari ponsel Ayase-san.

“Katanya, 'Karena hujan berhenti, kami akan pulang. Kami akan berusaha pulang secepatnya sebelum pagi', itulah pesan yang aku dapat tadi.”

“Syukurlah kalau begitu

“Sayang sekali. Waktu yang elegan dan modis telah berakhir, ya?”

“Kapan-kapan kita bisa melakukannya lagi suatu hari nanti."

"Ya. Kalau gitu, selamat malam. Yuuta... Nii-san.”

“Selamat malam, Saki.”

Beginilah akhir dua hari antara diriku dan Ayase Saki tanpa kehadiran orang tua kami.

 

 

Sebelumnya  |  Daftar isi  |  Selanjutnya

close

Posting Komentar

Budayakan berkomentar supaya yang ngerjain project-nya tambah semangat

Lebih baru Lebih lama