Bab 3 — 13
Juni (Minggu) Asamura Yuuta
Pagi hari di hari Minggu, pukul
7 pagi.
Aku melihat diriku sendiri
dengan perasaan aneh sambil bergerak di sekitar dapur pada waktu yang biasanya
aku masih di tempat tidur.
Aku menguap dan menahan rasa
kantuk yang masih bersemayam di mataku.
Alasan kenapa aku berada di
dapur meskipun sekarang hari libur adalah karena aku tidak hanya membuatkan
sarapan, tapi aku juga membuatkan bekal makan siang untuk Ayase-san.
Pertama-tama, mari kita mulai
dengan sup miso dulu.
Meskipun resepnya menunjukkan
bahwa proses pembuatannya hanya memakan waktu 10 menit, tapi aku tidak
mempercayainya begitu saja. Aku yakin jika dilakukan oleh orang yang terbiasa, hidangannya
memang bisa selesai dalam waktu secepat itu.
“Memasak tuh mirip seperti
pelajaran kimia, ya ...”
Menurut pribadi, aku merasa
kalau memasak sama seperti percobaan kimia.
Kalau dipikir-pikir, ini adalah
sesuatu yang mudah dipahami. Namun, bahkan jika kamu memahaminya, bukan berarti
kamu bisa melakukannya dengan baik.
Misalnya saja, ketika diminta
untuk menaruh miso di atas sendok dan merendamnya sedikit, kamu tidak tahu
berapa banyak numlah ‘sedikit’ yang
pas. Ada kalanya miso terendam seluruhnya dan larut ke dalam panci. Mengetahui
dan mampu melakukannya adalah dua hal yang berbeda.
Kali ini, aku berhasil melewati
langkah pertama. Sekarang saatnya untuk mencicipi rasanya.
“Yup. Seperti yang kuduga. ...
Mungkin aku perlu menambahkannya sedikit lagi.”
Aku tahu kalau Ayase-san
menyukai sup miso yang sedikit lebih kental dari resep yang aku gunakan. Namun,
aku masih kesulitan untuk menambahkan miso secara langsung. Oleh karena itu,
aku membuatnya sesuai dengan resep, kemudian mencicipinya dan menambahkan sedikit
miso setelahnya.
Bahan dasar dalam sup miso hari
ini adalah tahu. Aku mengambilnya dari dalam kulkas dan memotongnya menjadi
dadu sebelum menambahkannya ke dalam panci..
Aku mematikan kompor setelah
pemanasan yang cukup.
Sekarang, mari kita mulai
membuat bekal makan siang. Aku membuka kulkas dan mengeluarkan bahan makanan yang
aku beli setelah bekerja paruh waktu kemarin. Sosis dalam kemasan. Aku
menyalakan ponselku dan mencari resep yang pas.
Aku memeriksa resep yang muncul
di bagian atas hasil pencarian untuk ‘bento’
dan ‘microwave’. Aku tidak
terlalu ingin menggunakan microwave, tetapi jika aku memasukkan kata kunci ‘mudah’ dalam pencarian, aku seringkali mendapat
resep yang ‘mudah bagi koki ahli’.
Resep yang aku telusuri kemarin
adalah resep “Nikujaga”.
“Pertama-tama, mulai dari
kentang dulu, ya.”
Aku mengambil beberapa kentang
dari tempat dingin setelah membungkusnya dengan koran.
Aku mencuci dan mengupas
kulitnya, lalu bilas lagi dengan air dan potong dadu sekitar 1 sentimeter. Jika
dilihat dari gambar resep, bentuk dadunya tampak rapi, tetapi jika aku memotong
kentang yang bulat, ujungnya akan terlihat bulat.
Namun, aku tidak perlu khawatir
tentang hal itu.
Hanya karena sebuah resep
meminta dadu berukuran 1 sentimeter, bukan berarti kentang yang panjang dan
lebarnya kurang dari satu sentimeter bisa diterima. Meski itu mungkin terasa
jelas, tapi para pemula sering merasa kesulitan dalam hal ini. Namun, lebih
baik memastikan ukuran atau volume seimbang. Karena waktu yang dibutuhkan untuk
memasak di dalam akan berbeda jika ukurannya tidak sama.
Masukkan ke dalam wadah tahan panas
dan panaskan di microwave. Karena aku menggunakan microwave di sini, itulah mengapa
resep ini ditulis sebagai resep “microwave”.
Selagi menghangatkan, kali ini
aku memotong sosis. Ukurannya harus sama dengan kentang. Jika tidak, tidak
masalah.
Jika kedua bahan ini dicampur,
maka hidangan ini akan menjadi ‘daging
sapi kentang dadu’. Sungguh sangat mudah sekali.
Secara pribadi, aku merasa bisa
memakannya sekarang, tetapi resepnya mengatakan untuk mencampurkan kentang ini
dengan sosis dulu sebelum dibumbui. Oh, begitu rupanya.
Bumbunya dibuat dengan consommé atau garam dan merica. Apa lada
hitam juga bisa digunakan? Karena aku lebih suka lada hitam. Ah, tapi
ini dibuat untuk Ayase-san, jadi untuk saat ini aku akan mengikuti resep. Aku
akan mencoba bereksperimen ketika aku sendiri yang memakannya.
Dan, saat aku sibuk memasak,
aku tiba-tiba menyadari bahwa aku sedang memikirkan “ketika aku memakannya sendiri”.
──Aku selalu menganggap kalau
memasak itu merepotkan.
Aku tidak bisa membantah kalau
aku bisa menggunakan waktu ini untuk membaca buku. Jika tidak ada Ayase-san,
aku mungkin masih mengandalkan bento minimarket atau layanan pesan antar
restoran.
Meski demikian, aku tidak
merasa malas seperti dulu untuk memasak. Bunyi timer microwave berdering. Aku mencicipi makanannya dan tidak ada
masalah, jadi aku memasukkannya ke dalam kotak bekal Ayase-san.
Resep memang hebat.
Ngomong-ngomong, kotak bekal
khusus Ayase-san lebih kecil dari milikku, dan aku khawatir apakah tiu akan cukup.
Aku menempatkan nasi di setengah alas, dan hidangan kentang di bagian lain.
Salad di dalam mangkuk kecil. Sama seperti kemarin, aku menambahkan saus ke
dalam bentuk ikan. Kemudian aku memasukkan semuanya ke dalam tas bekal.
Tas bekal dan kotak bekal juga
sudah disiapkan Ayase-san semalam. Alangkah baiknya jika aku bisa menyiapkan
semuanya sendiri, tetapi karena ini pertama kalinya aku melakukan ini, aku
tidak tahu di mana letaknya semua benda tersebut. Sejujurnya, itu sangat
membantu.
Tas bekalnya memiliki bentuk
yang sama dengan tas bekal yang diberikan padaku kemarin, hanya berbeda warna
saja. Tas bekalku berwarna merah, sedangkan yang ini berwarna pink. ... Pink?
“Selamat pagi, Yuuta-niisan.”
Ayase-san masuk ke ruang makan
bersama dengan suara pintu terbuka.
“Selamat pagi, Saki.”
“Ah, apa kamu sudah selesai
membuat bekal? Kamu sangat cepat, ya.”
“Sebagai gantinya, aku baru
ingin menyiapkan sarapan sekarang. Pakai telor ceplok saja cukup?”
“Iya, sudah cukup.”
Aku membuat salad untuk
menemani isi bekal, jadi sudah ada di meja makan, nasinya juga sudah matang dan
hanya perlu dituangkan ke dalam mangkuk. Aku akan memanaskan sup miso lagi.
Aku lalu mengambil dua telur
dari dalam kulkas.
Setelah selesai memasak telur
ceplok, aku menaruhnya di atas piring dan meletakkannya di atas meja.
Sementara itu, Ayase-san sudah
menuangkan nasi dan sup miso ke dalam mangkuk dan membersihkan meja.
“Aku merasa seperti
membebanimu. Maaf ya.”
“Karena kamu juga selalu
membantuku, Yuta-niisan. Tapi sekarang, ayo makan dulu?”
Dia mengajakku untuk duduk. Aku
mengucapkan ‘Itadakimasu’ dan mulai
makan.
“Aku sangat menantikan bekal
makan siang nanti.”
“Tolong jangan terlalu
berharap. Yah setidaknya aku tidak membuat sesuatu yang tidak bisa dimakan,
sih.”
Ayase-san kemuidan mencoba sup
miso.
Momen ini selalu membuatku tegang.
Sup miso yang dibuat oleh Ayase-san selalu terasa enak. Aku selalu berpikir
bahwa memberikan makanan yang dibuat oleh seorang pemula seperti diriku kepada
Ayase-san yang membuat sup miso yang enak, rasanya seperti sebuah hukuman.
“Mmm, rasanya enak sekali.”
Dia berkata dengan mata sedikit
terpejam.
Aku merasa lega.
Yah, mungkin dia hanya
mengatakan itu sebagai pujian semata.
“Pagi ini lebih baik jika
makanan lebih banyak bergaya Jepang, tapi, oh, apa kita harus menambahkan
rumput laut juga?”
“Tolong. Tapi, telur ceplok dan
sup miso sudah cukup sebagai sarapan gaya Jepang. Selain itu...”
Ayase-san mengambil botol kecap
sambil berbicara. Aku berpikir biasanya dia menggunakan garam dan merica untuk
telur ceploknya, tapi dia menuangkan kecap di atas telurnya.
“Lihatlah, jika kita
menambahkan kecap, maka ini menjadi makanan gaya Jepang yang layak."
Tanpa sadar aku tertawa masam.
“Berdasarkan logika itu, maka
apakah setiap hidangan bisa menjadi hidangan gaya Jepang jika kita menambahkan
kecap?”
“Bisa dibilang begitu.”
"Apa kamu yakin dengan
itu?”
“Aku berpikir bahwa keunikan
masakan suatu negara berasal dari makanan yang difermentasi.”
“Ahh~”
Makanan fermentasi di Jepang di
antaranya ada miso, kecap, dan natto. Orang yang tidak terbiasa dengan makanan
ini cenderung menghindarinya, tetapi karena rasanya yang kuat dan sulit
diakomodasi, makanan ini bisa menjadi cita rasa yang paling merindukan bagi
orang-orang di negara tersebut.
Yah, bahkan orang Jepang
sekalipun mungkin tidak bisa makan natto.
Beberapa orang bahkan
mengatakan bahwa aroma yang tercium ketika mendarat di bandara Jepang adalah
aroma kecap.
“Selain itu, aku juga suka
masakan Barat. Jadi tidak perlu selalu memasak masakan Jepang.”
Jadi,
kamu tidak perlu mempermasalahkannya, imbuhnya.
“Tapi yah tetap saja, bentuk
bekal hari ini sulit untuk disebut sebagai masakan Jepang ... Oh ya, aku baru
ingat. Tentang tas bekal.”
“Memangnya ada masalah dengan
tas yang sudah disiapkan?”
“Tidak ada masalah. Hanya saja,
warna pink agak tidak biasa untukmu, Ayase-san.”
Ayase-san mengangguk dan
menjawab “Ah”, lalu dia bercerita.
Sambil berbicara, Ayase-san
membuka bungkus dan mengeluarkan setumpuk rumput laut. Dia mengambilnya dengan
sumpit dan menaruhnya di atas nasi. Dia menggulung rumput laut dengan sumpit
seperti sushi dan memasukkannya ke mulutnya. Dia mengunyah dengan senang.
“Jadi, kamu tidak menambahkan
apapun untuk rasanya, ya.”
Setelah menelan, aku bertanya
dengan rasa ingin tahu.
“Eh? Rumput laut memiliki rasa
sendiri, ‘kan?”
Tentu sajalah. Meski dibilang
ada rasa, tapi itu hanya rasa rumput laut.
“Eh, kalau aku sih akan
menambahkan kecap.”
“Bukannya rasanya menjadi
terlalu kuat?”
“Apa itu tidak membuat mulut
menjadi kering?”
Setelah berbicara hampir
bersamaan, aku teringat percakapan yang serupa sebelumnya. Saat sarapan telur
ceplok, Ayase-san hanya menggunakan garam dan merica sedangkan aku menggunakan
kecap. Aku mengatakan bahwa aku tidak suka hanya dengan garam dan merica karena
membuat mulutku terasa kering.
Rupanya Ayase-san juga teringat
percakapan saat itu. Hari ini kebetulan kami juga sarapan telur ceplok.
“Beitu ya, jadi Yuuta-niisan
lebih suka nasi yang agak basah ya?”
“Aku juga mulai merasakan itu.
Oh ya, Saki, apa jangan-jangan kamu selalu memakan rumput laut mentah tanpa
bumbu?”
“Iya. Rasanya rumput lautnya
akan hilang kalau diberi bumbu. Sayang banget kan?”
“Aku tidak menyadarinya.”
Sekarang aku menyadari bahwa
tindakan sehari-hari yang dilakukan secara tidak sengaja ternyata tidak mudah
diingat. Aku harus lebih memperhatikan kebiasaan Ayase-san agar tidak
melewatkan kesukaannya.
Ayase-san menyukai telur ceplok
dengan bumbu garam dan merica. Dia memakan rumput laut mentah tanpa bumbu
──aku
harus mengingat itu.
“Jadi, mengenai tas makan siang
tadi. Tas itu dibeli ibu dulu dalam satu paket. Katanya itu dijual murah dengan
dua tas sekaligus.”
“Oh begitu.”
Jadi itulah alasan mengapa
tasnya sama. Pasti dibeli sebelum dia menikah lagi. Itu sebabnya warna merah
dan pink saja sudah cukup.
“Tas yang biasa aku pakai
adalah tas yang merah kemarin. Sedangkan yang tas pink adalah cadangan ...”
Setelah dia mengatakannya, aku
menyadari bahwa warna yag itu sangat cocok dengannya.
“Jadi yang tas pink itu untukku?”
“Apa kamu lebih suka yang itu?
Tidak peduli apakah cocok atau tidak, orang-orang mungkin berpikir bahwa
Asamura-kun menyukai warna pink jika kamu memakainya. Asamura-kun, kamu jarang
menaruh barang berwarna pink di sekitarmu, kan?”
“Kalau ditanya apakah aku
menyukainya atau tidak, aku tidak terlalu suka warna itu. Jika dibilang aku
tidak memedulikannya, aku memang tidak memedulikannya sih.”
Aku tidak pernah menyangka
kalau seseorang akan dinilai berdasarkan warna barang yang mereka miliki. Menurutku,
orang bisa memilih warna yang mereka sukai.
“Aku terlalu merepotkanmu, ya?
Yah, aku tidak tahu apakah akan ada kesempatan lain, tapi apa mau aku belikan
tas makan siangmu sendiri?”
“Beritahu aku di mana
tempatnya, aku akan membelinya sendiri. Atau mungkin kita bisa pergi bersama
saat kita memiliki waktu luang.”
Setalah mendengar itu, Ayase-san
tersenyum cerah.
Tapi kemudian dia mengerutkan
bibirnya dan berkata, “Waktu luang ya. Kira-kira kapan itu?”
“Jadi peserta ujian masuk
memang sulit, ya.”
“Aku ingin segera selesai, tapi
aku juga tidak ingin ujian datang terlalu cepat.”
Aku juga merasakan hal yang
sama.
Aku sudah meningkatkan waktu
les di sekolah les, dan meskipun aku mulai pulih dari penurunan nilai di awal
musim semi, aku masih merasa kurang memiliki kemampuan belajar yang cukup.
Waktu terasa tidak cukup.
Mungkin aku memang harus mengurangi jam kerjaku.
“Hm?”
Aku melihat pemberitahuan pada
layar ponsel yang masih diletakkan di atas meja. Ketika aku mengaktifkan layar
dari mode siaga, aku melihat prakiraan cuaca hujan di sore hari.
“Hujan dan petir mulai di sore
hari ...” Kataku saat memberitahu Ayase-san tentang ramalan cuaca. Dia
mengalihkan pandangannya ke jendela. Aku juga melihat keluar.
Angin sepoi-sepoi di awal musim
panas berhembus melalui jendela yang setengah terbuka. Langit berwarna biru
yang membentang terlihat tidak berawan.
“Kelihatannya tidak akan turun
hujan, kok?”
“Tapi perkiraannya sudah
keluar. Mungkin hujan deras atau hujan badai petir. Sepertinya ada 90%
kemungkinan hujan setelah sore hari. Mungkin lebih baik membawa payung saat
berangkat bekerja.”
“Kemungkinannya cukup tinggi
ya. Baiklah. Aku akan membawa payung.”
“Ingatlah untuk berhati-hati di
jalan pulang. Ramalan cuacanya tertulis 'berpotensi
petir'.”
“Hmm? Ah, ya ... Aku mengerti.”
Untuk sesaat, Ayase-san
mengerutkan kening dan mengangguk. Namun, ekspresi masam itu dengan cepat menghilang.
Aku hanya memiringkan kepalaku
di dalam batinku.
◇◇◇◇
“Tunggu sebentar, Ayase-san.”
Aku menghentikan Ayase-san yang
hendak meninggalkan pintu depan.
“Apa?”
“Aku juga akan pergi keluar.”
“Yuu—”
Ayase berbalik, membiarkan
pintu terbuka, dan terdiam.
Aku membuka pintu lebar-lebar
dan melangkah keluar menuju lorong apartemen.
“….Ada apa, Asamura-kun?”
“'Tidak, kamu tidak perlu
terlalu patuh dalam menggunakan panggilan itu...”
Segera setelah aku menunjukkan
hal ini, alis Ayase-san turun.
“Ah, tidak, aku tidak menyalahkanmu.”
Jika di dalam rumah, dia
memanggil Yuuta-niisan. Tapi kalau di luar, Asamura-kun. Aku memahami kalau dia
mencoba menggunakannya secara berbeda, tetapi kupikir itu cukup membingungkan
untuk menggunakannya secara berbeda tergantung pada apa dia melewati ambang
pintu rumah atau tidak.
Mengikuti Ayase-san, aku
berjalan keluar dari pintu depan dan menguncinya sebelum berjalan di sampingnya.
“Lihat, karena hari ini ada
prakiraan hujan, jadi aku tidak bisa naik sepeda. Jadi kupikir mungkin lebih
baik jika kita pergi bersama-sama.”
Aku akan pergi ke sekolah
bimbel dan Aya-sen akan pergi ke toko buku tempat dia bekerja.
Sambil menunggu lift naik,
Ayase-san berkata dengan suara berbisik.
“Mungkin aku agak terlalu kaku.”
“Jangan khawatir, menurutku itu
hal yang biasa terjadi.”
Setelah itu, dia menatapku
dengan pandangan yang ragu-ragu dan bertanya, “Benarkah?”, aku lalu memberikan contoh untuk membantunya memahami.
“Menggunakan panggilan yang
berbeda di dalam dan di luar rumah adalah hal yang biasa. Apa kamu pernah
berlatih wawancara masuk sekolah SMA ketika masih kelas 3 SMP?”
“Ya, pernah. Aku juga mendaftar
ke sekolah SMA yang mewajibkan wawancara.”
“Pada saat itu, apa kamu
diajarkan untuk memanggil orang tuamu dengan 'ayah' atau 'ibu', atau 'bapak’ dan ‘ibu'?”
Lift datang dan pintu terbuka
dengan suara 'ding'. Kami berdua lalu masuk ke dalam. Aku menunggu pintu lift
tertutup sebelum melanjutkan pembicaraan.
“Tapi, kupikir butuh waktu untuk
bisa menggunakannya secara lancar.”
Ayase-san membalas dengan
bergumam, “Mungkin itu benar.”
“Tapi, dalam kasusku, ibuku
sudah mengajarkannya padaku sejak akhir sekolah SD... Kadang-kadang, toko
tempat ibuku bekerja akan menelepon ke rumah. Ketika itu terjadi, aku harus menjawab
telepon dengan 'Aku akan menghubungkanmu
dengan ibuku', bukan 'Aku akan
menghubungkanmu dengan ibu',” jelas Ayase-san.
“Begitu ya. Tapi, pada awalnya,
kamu sering menggunakan kata-kata yang biasa.”
“Mungkin.”
“Sekarang kamu sudah bisa
menggunakan keduanya dengan alami, ‘kan? Jadi, mungkin itu hanya masalah
kebiasaan saja.”
Kami berdua lalu turun dari
lift dan keluar dari lobi apartemen. Aku melihat ke atas langit- pagi. Langit
yang cerah telah berubah menjadi kelam dan terasa berat. Aku bahkan bisa
mencium bau hujan yang tertiup angin.
“Tidak salah lagi…. pasti akan
turun hujan," kataku setelah memeriksa langit, lalu melihat Ayase-san yang
berdiri di sebelahku tanpa membawa payung.
“Apa kamu sudah membawa
payung?”
“Iya, aku membawa payung
lipat.”
“Ahh, begitu.”
“Bagaimana denganmu,
Asamura-kun?”
“Aku juga membawa payung lipat
di dalam tas. Tapi, jika hujan deras turun, bahkan payung yang besar pun tidak
akan berguna,.”
“Kupikir aku akan mencari
tempat berteduh jika itu terjadi.”
Kami berdua mulai berjalan
berdampingan.
“Tapi... entah kenapa rasanya
agak baru.”
Ayase-san membalas pelan, “Eh?”
lalu memandang ke arahku.
“Kita sering pulang bersama
setelah bekerja, tapi jarang berjalan berdampingan menuju stasiun dari rumah,
bukan?”
Ayase-san mengangguk.
“Terakhir kali mungkin saat
kita berangkat untuk jalan-jalan sekolah.”
“Ahh~…memang.”
Waktu itu hampir fajar dan
tidak ada orang di jalan. Kami hanya bisa pergi karena waktu itu tidak ada yang
memperhatikan kami. Secara umum, kami menghindari untuk pergi bersama-sama di
luar.
Namun, untuk mewujudkan “Lebih dekat di luar”, aku memutuskan
untuk menyamakan waktu pergi kami yang sebelumnya berbeda.
Aku hanya ingin sedikit lebih
dekat dengan Ayase-san.
Kami tidak bergandengan tangan
atau berbicara dengan riang. Namun, aku merasa bahwa kami bisa saling memahami.
Aku mencoba untuk melangkah sedikit lebih lambat agar bisa menyesuaikan langkah
dengan Ayase-san yang mungkin sedikit lebih cepat. Kami saling memikirkan satu
sama lain dalam hal yang kecil seperti itu, dan saat ini merupakan waktu yang
menyenangkan bagi kami berdua.
Langit yang kami lihat di atas
berwarna kelabu dan suram. Jika itu di dalam cerita, langit mendung sering kali
menjadi pertanda kekhawatiran terhadap masa depan, tetapi dalam kehidupan nyata,
semua peristiwa terjadi tanpa terkait dengan cuaca.
Aku menggumamkan sesuatu pada
Ayase-san.
“Bukannya itu hal yang wajar…
Langit tidak akan cerah atau berawan hanya demi kita, kan?”
“Tapi di dalam dunia cerita tidak
demikian. Langit yang semakin gelap adalah petunjuk bahwa nasib tokoh utama
sedang bergulir, dan langit cerah setelah hujan adalah simbol berakhirnya
hal-hal buruk. Atau misalnya, ranting-ranting yang bergoyang di belakang seorang
wanita yang sedang menunggu seseorang dapat mengekspresikan kegelisahan wanita
tersebut karena orang yang dia tunggu tidak kunjung datang.”
Dengan kata lain, itulah yang
disebut [Pertanda tidak langsung].
“Benar. Kupikir pasti ada
adegan seperti itu saat aku menonton drama, tapi aku hanya berpikir kalau
anginnya sedang kencang saja.”
“Yah, adegan semacam itu
sengaja ditampilkan untuk membuat penonton merasa agak gelisah atau ceria saat
menontonnya. Tetapi, terkadang memang menyenangkan untuk menguraikan hal
semacam itu.”
“Benarkah?”
“Ya. Yah pada kenyataannya,
banyak hal menyenangkan terjadi bahkan di bawah langit mendung.”
Ayase-san berkata, “Begitu” dan
kemudian memikirkannya sejenak.
Tapi, dia membuka mulutnya..
“Mungkin cuaca memang bisa
mengubah suasana hati seseorang.”
Setelah menyatakan bahwa
sekarang berbeda, dia mengatakan bahwa dia sebenarnya mengalami depresi ketika
cuaca buruk.
“Aku merasa kalau suasana
hatiku ikutan muram saat cuaca di luar gelap. Di kamarku. Aku meringkuk di
tempat tidur. Dengan dagu bertumpu pada tempurung lutut, aku tampak seperti
ikan mati dan menatap kosong sepanjang hari.”
“Itu sih, kondisi yang cukup
tertekan...”
“Ah, itu cerita lama. Jadi
jangan beritahu ibu, ya. Dia pasti akan khawatir.”
“Aku tahu.”
Mungkin itu sekitar waktu ayah
kandungnya meninggalkan rumah.
Sambil sedikit khawatir, aku
menatap Ayase-san dengan pandangan menyamping dan bertanya, “Apa kamu sudah
baik-baik saja sekarang?”
“Sangat baik-baik saja. Bahkan
ketika aku merasa sedih, ada seseorang yang selalu menghiburku. Seperti yang
kamu bilang tadi, di bawah langit yang mendung pun, kita masih bisa menemukan
hal-hal menyenangkan.”
“Yah aku memang bilang begitu,
sih.”
“Aku merasa kalau kita memiliki
banyak kesamaan. Namun, ada hal-hal yang bisa diucapkan Asamura-kun dan tidak
terpikirkan olehku.”
“Aku juga merasakan hal yang
sama.”
Sikap Ayase-san yang teguh dan
berani menghadapi dunia membuatku yang terbiasa dengan sikap cuek akhirnya
merasa kagum.
“Itulah sebabnya, berjalan di
samping Asamura-kun seperti ini membuatku merasa seperti sedang berjalan di
bawah langit yang cerah.”
Dia mengatakan itu sembari tersenyum
padaku dan aku merasa senyumnya seperti sinar matahari di antara awan hujan.
Lalu dia memalingkan wajahnya dengan cepat.
“Ah, bercanda. Entah kenapa aku
tiba-tiba menjadi terlalu puitis. Rasanya itu bukan sikapku yang biasanya.”
Dia menggaruk dahinya dengan
jari telunjuk sambil tersipu malu. Aku berpikir kalau sikapnya yang begitu
sangat menggemaskan. Ketika aku mengatakan itu padanya, wajahnya justru semakin
malu.
Kami keluar dari gang menuju
jalan besar. Kota Shibuya pada hari Minggu selalu dipenuhi dengan orang-orang
dan suara bising yang memenuhi jalan.
Semakin kami mendekati stasiun,
semakin banyak orang yang memadati jalan hingga sulit untuk berjalan tanpa
menabrak orang lain.
Di tengah keramaian, ada
sepasang remaja sekitar usia SMP yang berjalan sambil mengaitkan lengan mereka.
Mereka berjalan dengan lancar, seolah-olah menjadi satu makhluk yang sama— atau
mungkin lebih tepatnya, apa mereka tidak merasa panas? Meskipun langit mendung,
suhu bulan Juni bisa mencapai hampir 30 derajat. Sambil memikirkan hal aneh
itu, seorang pria yang tampak seperti pegawai kantoran melewati pasangan
tersebut tanpa sengaja bertabrakan, tetapi ia dengan sengaja mendecakkan
lidahnya dan melanjutkan perjalanannya. Pasangan remaja itu terkejut dan
ketakutan, lalu berlari ke tepi jalan.
“Kupikir ada bagusnya mereka
terlihat akrab.”
“Aku bisa meminjamkan tanganku
padamu kapan saja, kok.”
Begitu mendengar tawaranku,
Ayase-san membuat ekspresi serius dan kemudian menggelengkan kepalanya.
“Tapi hari ini, rasanya sudah
cukup kita bisa berangkat bersama-sama.”
Ayase-san melihatku berperilaku
seperti orang asing di sekolah dan merasa bahwa aku mulai menjauh. Hal itu
menyebabkan permintaan berlebihan akan keintiman di rumah dan kurang tidur. Itu
menunjukkan kalau jarak antara kami di luar rumah terlalu jauh. Itulah bagian
hal yang sulit.
Kedekatan yang tepat antara dua
orang yang bukan hanya sepasang kekasih, tetapi juga saudara tiri... Sampai
sejauh mana jarak yang tepat dianggap
“dekat” di luar rumah? Seberapa dekat kami harus berada agar tidak
menumbuhkan kecemasan Ayase-san?
Sekarang, ini saja sudah cukup.
Aku berharap kata-kata Ayase-san adalah dari hatinya sendiri.
Aku mengamati wajah Ayase-san
dengan pandangan mata samping.Ekspresinya terlihat tenang.
“Ada apa?”
“Bukan apa-apa, uhmm,
Ayase-san.”
Ayase-san berkata “Dasar aneh” dan segera memalingkan
wajahnya ke depan.
Aku jadi penasaran, apa yang
akan terjadi jika aku memanggilnya “Bukan
apa-apa, Saki” di telinganya. Aku hanya ingin melihat sedikit bagaimana
perubahan ekspresinya.
Ketika orang tua kami tidak ada
di rumah kemarin, aku membayangkan bahwa kami akan memiliki sedikit lebih
banyak waktu untuk berduaan. Namun, ternyata tidak demikian. Setelah makan
malam, aku menunggu sebentar, mengira kalau dia akan meminta pelukan lagi.
Namun, tidak ada yang terjadi dan kami berdua pergi ke kamar masing-masing dan
tidur.
Jika aku melihat sekelilingku,
aku menyadari bahwa ada banyak pasangan yang berbeda-beda jaraknya saat
berjalan di jalan. Ada yang mengaitkan lengan mereka dan saling berdekatan, dan
ada yang hanya saling mengaitkan ujung jari kecil mereka.
Setiap pasangan memiliki jarak
yang berbeda-beda.
Sementara itu, aku dan Ayase-san
berjalan dengan jarak yang hanya cukup untuk bahu kami saling bersentuhan. Ini
adalah pertama kalinya kami berjalan bersama di tengah keramaian dengan jarak
seperti ini, tapi aku merasa cukup nyaman dengan itu.
“Ketika kita kembali dari
bekerja paruh waktu, ibu dan ayah pasti sudah kembali.”
“Ya, mungkin.”
Meskipun itu sangat
disayangkan, tapi kehidupan kami tanpa orang tua akan segera berakhir. Meski
begitu, kurasa kami menghabiskan dua hari terakhir ini dengan tenang.
Lampu lalu lintas di persimpangan
jalan pun berubah. Ayase-san pergi ke toko buku, sedangkan aku aku menuju ke
sekolah bimbel.
◇◇◇◇
Aku meregangkan badanku dan
bangkit dari tempat duduk. Aku tidak terlalu pandai dalam pelajaran sejarah,
jadi aku harus berkonsentrasi penuh selama pelajaran. Mungkin karena aku
berusaha untuk tidak melewatkan apa yang diajarkan, tubuhku menjadi tegang dan
kaku.
Waktu menunjukkan pukul 14.40
siang. Setelah istirahat selama 10 menit, aku masih memiliki jadwal satu
pelajaran lagi.
Aku berjalan menyusuri lorong dan
menuju ruang istirahat.
Ayo minum kopi kaleng dulu
untuk mengubah suasana.
Aku membuka pintu ruang
istirahat kedua yang berada di lantai yang sama sambil menggoyangkan kaleng
yang aku beli dari mesin penjual otomatis. Ruangan itu sempit dengan meja bulat
dan beberapa kursi di sekelilingnya.
Tumben-tumbennya tidak ada seorang
pun di sana.
Aku meletakkan kaleng di meja
terdekat dan melakukan beberapa kali peregangan.
“Mungkin aku harus
sering-sering berolahraga...”
Aku bergumam begitu sambil mengendurkan
tubuh yang tegang. Pada dasarnya aku memang orang yang lebih suka di dalam
ruangan dan tidak begitu tertarik dengan olahraga. Aku adalah tipe orang yang
menonton saat ada acara seperti Olimpiade.
Itulah sebabnya aku menjaga
jarak dari kompetisi olahraga yang membutuhkan keahlian yang dilatih selama
bertahun-tahun oleh atlet.
Tapi entah bagaimana aku malah
terlibat dalam permainan bola basket.
Namun, tembakanku tidak pernah
bisa masuk.
Yah, jika hanya dengan beberapa
hari latihan untuk acara kompetisi olahraga, aku sudah bisa seperti mereka yang
berlatih bertahun-tahun, tentu saja aku akan direkrut ke tim bola basket.
“Apa begini caranya...?”
Memanfaatkan ruang istirahat yang
sedang kosong, aku melemparkan bola imajiner ke arah ring. Ada sebuah kalimat
dalam manga bola basket yang mengatakan bahwa aku hanya perlu mengangkat tangan
kiriku saja. Katanya, jika menggunakan kedua tangan untuk mendorong bola, sulit
untuk menjaga keseimbangan kekuatan antara tangan kanan dan kiri.
Mungkin benar bahwa sulit untuk
menjaga keseimbangan ketika mencoba melakukan dua hal sekaligus. Mungkin lebih
baik fokus pada satu hal saja agar lebih mudah dikendalikan.
Aku mencoba melemparkan bola
udara beberapa kali.
Di dalam pikiranku, bola itu
masuk ke dalam jaring, tapi dalam kenyataannya tidak semudah itu, iya ‘kan?
“Oh, apa kamu sedang bermain
basket?”
Aku dibuat terkejut ketika mendengar
suara yang tiba-tiba bertanya ebgitu.
Ketika aku berbalik, pintu
ruang istirahat terbuka dan seorang gadis yang tinggi berdiri di sana.
“Oh, Fujinami-san.”
Dia mengenakan kaus dan celana
jeans yang ringan sehingga garis tubuhnya tidak terlihat. Jika dia memakai topi
dan menutupi sebagian wajahnya, dia bisa terlihat seperti seorang pria karena
tingginya.
“Aku bahkan bisa melihatmu dari
jendela.”
“Dapat dilihat dari lorong?”
Aku merasa malu ketika dia
melihatku, tapi aku tahu dia bukan orang yang suka menggoda orang lain.
“Aku tidak pernah menyangka
kalau Asamura-san suka bermain bola basket.”
“Yah aku bermain bola basket untuk
acara kompetisi olahraga.”
Ah,
begitu rupanya. Fujinami-san mengangguk seakan puas dengan
jawabanku.
“Yah, rasanya memang agak
canggung, iya ‘kan.”
“Ah, kamu memahaminya?”
“Karena tinggi badanku,
orang-orang selalu mengatakan bahwa aku harus bermain bola basket untuk acara
kompetisi olahraga. Sebenarnya aku cukup mahir dalam dribble dan menembak. Tapi
hanya sebatas level amatir.”
Kali ini giliranku yang
mengangguk setuju. Memang, berkat tinggi badannya, dia pasti akan menjadi orang
pertama yang dipilih dalam bermain bola basket. Bahkan mungkin dia akan
direkrut oleh tim bola basket. Tapi ketika kami pertama kali bertemu di
lapangan golf, aku tidak menyangka dia akan suka bermain bola basket.
“Jadi kamu lumayan mahir dalam
bermain bola basket, ya.”
“Apa itu cukup mengejutkan?”
“Iya, aku terkejut. Aku pikir
kamu lebih suka olahraga yang bisa dilakukan sendirian.”
“Yah, aku tahu kalau kamu akan
mengatakan itu. Sebenarnya, setiap kali aku bermain, orang-orang selalu
memberiku bola dan memintaku untuk dribble dan melakukan tembakan.”
Begitu ya, dengan kata lain,
meskipun bola basket seharusnya menjadi olahraga tim, pada akhirnya semuanya
tentang permainan solo. Aku hanya bisa tersenyum kecut ketika mendengarnya.
“Tapi, bukannya berarti itu
akan berjalan baik entah bagaimana, ‘kan?”
“Karena yang begitu bisa
membuat semua orang senang.”
Aku juga memang diberitahu
kalau aku tidak perlu terlalu khawatir.
“Jika semua orang di
sekelelingku adalah anggota tim basket, maka tidak akan menjadi masalah, tetapi
peraturan turnamen olahraga di sekolah kami menyatakan bahwa peserta klub tidak
dapat berpartisipasi dalam olahraga yang sama. Jadi, ketika datang ke turnamen
olahraga SMP kami, sebagian besar orang yang berpartisipasi adalah pemula dalam
olahraga itu. Bahkan jika kamu melihat ada teman kosong di dekat ring, dan kamu
melempar bola kepadanya, dia mungkin tidak akan menerimanya.”
“Tidak mau menerimanya?”
“ ‘Karena bola Fujinami-san cepat dan menakutkan, jadi jangan lemparkan
ke arahku!’ begitulah katanya.”
“Ahh...”
Jika bola dengan kekuatan seperti
klub basket dilemparkan pada seseorang yang bukan anggota klub basket, itu
pasti akan menakutkan.
“Jadi, aku hanya menerima bola
tanpa bisa mengopernya ke orang lain.”
“Jadi kamu tidak punya
piliha lain selain memasukkannya
sendirian, ya”
Bayangan dirinya yang menerima
bola dari sana-sini dan kemudian menyerang terus-menerus muncul di benakku.
“Yah, aku akan lebih bersyukur
jika memang begitu.”
“Bukannya itu hal yang bagus jika
itu saling menguntungkan bagi semua orang?”
“Kurasa begitu. Tapi ketika sudah
menyimpang seperti itu, aku penasaran apa itu hal yang tepat untuk dilakukan.”
“Kurasa mungin itu tergantung
pada apa kamu ingin menikmati permainan tim atau memilih bermain sebagai tim
untuk menang.”
“Karena itu turnamen olahraga
sekolah, jadi kupikir itu menjadi masalah jika dilihat sebagai bagian dari
pendidikan untuk membangun kerja sama tim."
“Jika memang begitu, maka itu
berarti bahwa acara individu tidak diikutsertakan dalam kompetisi.”
“Begitu rupanya. Aku sama
sekali tidak memikirkannya. Yah, bukan berarti aku hanya ingin menang, karena
itu adalah turnamen olahraga sekolah.”
“Namun, ini bukan basket yang
dimainkan sebagai rekreasi rehabilitasi. Tujuan utamanya adalah untuk menang
dalam bentuk turnamen. Tentu saja, jika berarti harus melakukan apa saja untuk
menang, itu akan melanggar prinsip pendidikan sekolah.”
“Itu perumpamaan yang cukup
ekstrim juga.”
“Tapi pada saat yang sama, jika
kita mempertimbangkan strategi yang dipilih oleh kelas untuk membiarkan
Fujinami-san menyerang, menurutku itu masih masuk akal.”
Begitu
ya,
Fujinami-san membalas dengan mengangguk puas.
“Kurasa itu pemikiran yang
bagus. Hal itu membuatku merasa lebih lega.”
Saat kami berdua terus
mengobrol, waktu bimbel pun tiba dan percakapan dengan Fujinami-san harus
diakhiri. Namun, aku mulai memikirkan perubahan dalam pola pikirku lagi yang
ingin bermain dalam olahraga tim meskipun tidak diminta seperti Fujinami-san.
Dengan kata lain, aku ingin
mengembangkan kemampuanku untuk bekerja sama sampai batas tertentu dan dalam
rentang yang wajar── mungkin aku ingin berlatih melakukan sesuatu bersama orang
lain.
◇◇◇◇
Ketika aku meninggalkan gedung
sekolah setelah selesai bimbel, hujan mulai turun seperti yang telah
diprediksi.
Aku membuka payung lipatku dan
memegangnya di atas kepalaku.
“Prediksi yang tidak ingin
terjadi cenderung menjadi kenyataan, ya ...”
Aku menggerutu sambil mengamati
awan hitam yang menutupi langit dan hujan perak yang turun.
Dunia ini dipenuhi dengan Hukum
Murphy. Ketika roti jatuh dari meja makan, pasti akan jatuh dengan sisi mentega
ke bawah, dan ketika kita tidak ingin hujan turun, hujan justru akan turun
dengan semakin deras.
Jalanan menuju rumahku banyak
yang menanjak. Guyuran hujan membuatku kesulitan untuk berjalan.
Selain itu, payungnya membuat
pandanganku menjadi terbatas, dan awan hitam yang tebal membuat suasana menjadi
gelap meskipun waktunya masih di jam 6 sore.
Gedung apartemen yang
seharusnya tidak asing lagi di seberang gang yang berbelok, basah karena hujan
dan warnanya berubah, membuatnya terlihat seperti bangunan yang berbeda. Di
bawah lampu jalan yang terang, batu bata hijau pucat menjadi hijau zamrud yang
dalam karena sering diinjak.
“Aku
pulang,” sambil membuka pintu depan dan berjalan menuju ke dalam
rumah sambil berkata demikian.
Aku lalu melepas pakaian dan
kaus kaki yang basah sebelum menyentuh lantai. Kemudian pergi langsung ke kamar
mandi, melempar pakaian-pakaian tersebut ke dalam keranjang cucian dan
mengganti dengan pakaian rumah. Meskipun
aku ingin mandi jika badanku lebih basah, tapi tidak begitu parah.
Baik Ayase-san maupun orang
tuaku masih belum pulang.
Aku bisa merasakan hujan
semakin deras dari sebelumnya melalui suara air yang menerpa jendela.
“Kurasa mendingan menyiapkan
air untuk mandi dulu.”
Kemudian, aku mulai menyiapkan
makan malam.
Karena aku belum berbelanja,
jadi aku hanya bisa menggunakan bahan-bahan yang sudah tersedia di rumah dan
harus memasak sesuai dengan resep yang bisa akubuat. Mungkin makanan yang
hangat akan lebih baik pada hari hujan seperti ini.
“...mungkin kari?”
Itu mungkin ide yang bagus.
Kari pedas sangat cocok untuk
musim ketika nafsu makan bekurang dan jika kari hangat dituangkan di atas nasi
hangat, itu akan menjadi menu yang dapat menghangatkan tubuh. Hanya dengan
membayangkan aroma pedas itu saja sudah membuat perutku jadi keroncongan.
Tetapi, Ayase-san tidak terlalu
suka rasa pedas seperti diriku. Karena rasa pedas bisa ditambahkan nanti,
mungkin lebih baik untuk membuatnya sedikit manis agar sesuai dengan selera
Ayase-san.
Aku kemudian mencari resep di
ponsel. Kata kunci pencarian kali ini adalah “Kari cepat saji”.
Rupanya, kari bisa dibuat tanpa
menggunakan kompor. Hanya dengan memotong sayuran dan daging, kemudian memanaskannya
di dalam microwave. Mungkin aku bisa mencobanya?
Cara pembuatannya hanya dengan
mencampurkan bawang bombay dan minyak salad, kemudian panaskan terlebih dahulu
sebelum menambahkan bahan lainnya, lalu tambahkan air dan panaskan perlahan.
Hanya begitu saja.
Meski kelihatannya mudah, tapi
jangan lengah. Waktu memasak yang dibutuhkan akan lebih lama daripada yang
tertera dalam resep, karena itulah sebabnya mengapa pemula masih tetap pemula.
Lebih jauh lagi, tulisan resep
itu mirip seperti buku sihir yang ditulis dalam bahasa kuno bagi seorang
penyihir pemula.
Misalnya saja cara memotong
sayuran. Meskipun disuruh memotong wortel menjadi potongan setengah bulan. Apa itu setengah bulan? Pasti akan
kebingungan begitu. Menyandang status sebagai pemula yang tersandung pada
hal-hal dasar seperti ini, rasanya akan diejek oleh Ayase-san jika diketahui. Setelah
memotong semua sayuran dan daging, aku menambahkan air dan bubuk kari, lalu memanaskannya
dengan microwave.
Di rumah kami, bubuk kari
tersedia dalam versi manis dan pedas. Kali ini aku hanya menggunakan versi
manis saja. Aku mengikuti semua jumlah bahan sesuai resep, jadi seharusnya bisa
menghasilkan kari manis biasa.
Setelah pemanasan selesai, aku
mencoba rasanya.
Hasilnya adalah kari manis
biasa yang enak.
Resep itu luar biasa. Rasa ini
seharusnya sesuai dengan selera Ayase-san.
Aku merasakan pipiku mengendur
saat membayangkan senyumnya dan merasa wajahku juga ikutan tersenyum. Pada saat
yang sama, aku merasa aneh. Setelah mencicipi hidangan tersebut, aku menyadari
bahwa meskipun hidangan yang aku buat tidak sesuai dengan seleraku sendiri, aku
tetap senang meskipun membuat kari yang tidak memuaskan untuk diri sendiri.
Mungkin itu aneh. Tetapi pada
saat yang sama, itu juga wajar.
Karena ini adalah apa yang
diinginkan orang lain, maka seharusnya disesuaikan dengan selera orang lain.
Namun, pada kenyataannya, itu tidak selalu harus selalu disetujui secara
terus-menerus. Melakukan sesuatu yang tidak terampil akan menimbulkan stres.
Meskipun demi orang yang
dicintai, apabila kita terus-menerus mengorbankan diri sendiri, maka kita akan
semakin kurus dari hari ke hari.
Akhirnya, membuat pihak lain
khawatir justru berbalik menimbulkan masalah.
“Mungkin fakta bahwa kami mampu
saling menyesuaikan adalah sebuah berkah tersendiri…”
Mungkin terlalu sentimental
untuk merasa terharu bahwa Ayase-san suka rasa manis yang dapat diambil dengan
sendok saat mencicipi.
Langit di luar benar-baenar
sudah gelap. Satu-satunya yang terdengar hanyalah suara hujan yang memenuhi
seisi dapur.
Apakah hujan ini membuat hatiku
gelisah karena hal-hal kecil?
Aku melirik jam. Suara sintesis
memberi tahu bahwa air mandi sudah siap. Aku juga mendengar suara pintu masuk
terbuka dan terdengar suara Ayase-san yang berkata “Aku pulang.”
"Selamat datang. Bagaimana
hujannya di luar?”
Aku bisa menebak bahwa dia
mungkin basah kuyup karena dia tidak segera masuk melalui pintu depan.
Sebuah suara kecil menjawab
dari balik pintu, 'basah kuyup ......'.
“...air mandinya sudah siap.”
Aku meninggikan suaraku supaya
bisa didengar sisi lain pintu
Dia sepertinya membalas dengan
mengatakan sesuatu, tapi aku tidak mendengarnya
Aku menunggu lebih lama lagi,
tetapi tidak ada tanda-tanda dia datang ke arah dapur, jadi aku menduga kalau
dia mungkin pergi ke kamarnya untuk berganti pakaian atau ke kamar mandi.
Kalau begitu, ayo siapkan makan
malam segera setelah dia keluar dari kamar mandi.
Aku sekali lagi berdiri di
dapur untuk menyiapkan salad dan hidangan lainnya.
◇◇◇◇
Kata-kata pertama yang keluar
dari mulut Ayase-san setelah selesai berendam di bak mandi dan membuka pintu
adalah “Aromanya lezat sekali!”.
“Jadi kamu membuat kari, ya?”
“Kupikir itu akan membuatmu
merasa hangat.”
“Iya, aku merasa sangat
berterima kasih untuk itu.”
Ketika ditanya tentang hujan,
Ayase-san menatap ke arah jendela sambil menggigit bibirnya. Dengan penuh
penyesalan, dia mengatakan bahwa dia pulang ketika hujan turun dengan sangat
deras.
“Tapi, mulai sekarang hujannya
mungkin akan semakin deras.”
“Iya sih, tapi... kira-kira,
apa ibu dan ayah tiri baik-baik saja?”
Orang tua kami menggunakan
mobil untuk berpergian, jadi tidak cocok untuk mengemudi di malam yang hujan.
Meskipun mereka terlihat hati-hati dan berkendara dengan aman, tapi aku masih
sedikit khawatir.
“Kurasa mereka akan pulang sebentar
lagi, tapi...”
Pada saat yang bersamaan ketika
aku mengatakan itu, ponsel Ayase-san bergetar.
“Kelihatannya dari ibu.”
Dia menegaskannya dengan
melirik ke arahku sambil mengatakannya. Aku memberinya isyarat untuk
membukanya, lalu Ayase-san melihat pesan di ponselnya. Dia kemudian mengeluarkan
suara “Eh?” .
“Apa yang terjadi?”
Aku bisa menebak bahwa itu
bukanlah kabar yang serius. Jika begitu, pasti ada pemberitahuan yang masuk
kepadaku juga.
“Nampaknya mereka terjebak
macet. Katanya mobil mereka sampai tidak bisa bergerak sama sekali. Kemungkinan
besar akan sangat terlambat, dan dalam beberapa kasus, mereka mungkin
memutuskan untuk menginap satu malam lagi.”
Setelah mendengar hal itu, aku
segera mencari informasi kemacetan. Karena aku tahu tujuan orang tua kami, aku
mencari informasi seputar jalan yang mungkin mereka gunakan.
“Oh... sepertinya ada kemacetan
akibat kecelakaan.”
“Besok hari Senin, tapi apa itu
akan baik-baik saja?”
“Ayah bilang kalau dirinya sudah
mengambil kuota cutinya. Meskipun aku tidak tahu tentang Akiko-san, sih.”
“Karena sejak awal Ibu bekerja
di malam hari. Jadi, mungkin tidak masalah jika mereka pulang terlambat.”
“Kurasa alasan mengapa ia
mengambil cutinya karena sudah mengantisipasi hal-hal seperti ini terjadi.”
Saat aku mengatakan itu, aku
menyadari kalau orang tua kami juga tidak ada di rumah malam ini.
Tapi, menyadari hal itu tidak
akan mengubah apapun. Karena kami juga mengalami situasi yang sama semalam.
Setelah selesai makan malam,
kami bergantian mandi dan kembali ke kamar masing-masing untuk belajar. Kami
tidak bertingkah terlalu dekat atau menjaga jarak terlalu jauh satu sama lain.
“Mengenai mandi...”
“Hm?”
“Eh, kenapa kamu terlihat
bingung begitu?”
“Oh, maaf. Aku sedikit melamun
tadi.”
“Jadi, karena aku sudah mandi
duluan, Yuuta-niisan bisa mandi kapan saja.”
“Oh, mengerti.”
Karena Ayase-san sudah mandi
duluan, jadi aku bisa mandi kapan saja yang aku inginkan. Kami tidak melakukan
hal seperti ini dalam beberapa waktu, jadi aku merasa sedikit canggung ketika
disuruh memilih waktu mandi sendiri.
“Ngomong-ngomong, aku bertemu
dengan gadis yang bernama Kozono hari ini.”
“Hm? Ah, sudah kuduga jadi kamu
yang bertanggung jawab padanya, ya.”
Aku sedikit bingung ketika
topiknya tiba-tiba berubah, tapi aku segera menyadari bahwa dia sedang
berbicara tentang Kozono Erina, staf paruh waktu kami yang baru.
Sepertinya dia bekerja di shift
yang sama dengan Ayase-san.
“Memang, aku juga bertanggung
jawab padanya. Aku diminta untuk membantunya memahami beberapa hal.”
“Bisa dibilang dia adalah
junior pertamamu, ‘kan? Karena dia tipe gadis yang cepat belajar, kupikir dia
tidak akan terlalu banyak merepotkanmu.”
“Ya, mungkin...”
Dia menjawab dengan nada yang
agak janggal dan terdengar seperti ada sesuatu yang mengganggunya.
Ayase-san cenderung bereaksi
seperti ini ketika ditanyai kesannya terhadap orang yang pertama kali
ditemuinya. Sebagai individu bernama
Ayase Saki yang tidak suka mengklasifikasikan orang lain dengan nilai-nilai
klise, maka dia tidak bisa mengungkapkan kesan tentang seseorang dengan satu
kata.
Aku memang memahaminya, tapi
rasanya ada sesuatu yang lebih dari itu.
“Apa ada sesuatu yang terjadi?”
“Tidak terjadi apa-apa, sih.
Aku pikir dia adalah gadis yang baik dan jujur. Tapi... maaf, aku tidak bisa
menjelaskannya dengan baik.”
“Menurut kesan yang aku
dapatkan, dia justru terlihat mirip dengan Narasaka-san.”
Narasaka Maaya adalah teman
yang paling dekat dengan Ayase-san.
Ekspresi terkejut Ayase-san
sangat mengejutkanku.
“Maaya? Tidak, aku rasa berbeda.
Mungkin itu sangat berbeda.”
“Jadi begitu ya.”
“Mungkin sebaliknya, dia sangat
bertolak belakang dengan Maaya.”
Jawabannya membuatku semakin
terkejut.
Bertolak belakang? Menurut
kesan pertama yang aku dapatkan, baik Narasaka-san maupun Kozono-san, keduanya
memberikan kesan gadis yang ceria dan ramah.
“Karena Maaya tidak datang.”
“Tidak datang?”
“Ya. Mungkin dia mirip seperti
bunga matahari. Sedangkan Kozono-san, dia mungkin seperti... matahari?”
Aku tidak bisa memahami
perkataannya sama sekali.
Namun, sepertinya Ayase-san
memiliki perbedaan yang signifikan dalam pandangannya terhadap keduanya.
Rasanya jarang untuk memiliki
kesan yang begitu berbeda terhadap satu individu. Tapi pada dasarnya, Ayase-san
dan aku adalah individu yang berbeda, jadi wajar jika kita tidak bisa saling
memahami...
Suara hujan yang menghantam
jendela terdengar semakin keras.
“Padahal bukan karena ada badai,
tapi hujannya deras sekali, ya.”
Kaca jendela meneteskan air ke
bawah, seakan-akan diseret di atas seember air.
“... Aku akan membersihkannya.
Rasanya enak, kok. Terima kasih banyak.”
“Kalau kamu menaruhnya di
wastafel, aku akan membersihkannya.”
“Mm. Tolong ya.”
Setelah meletakkan piring yang
sudah selesai dimakan di wastafel, Ayase-san masuk ke kamarnya sendiri.
Ya, setelah selesai makan, kami
akan kembali ke kamar masing-masing dan menjaga jarak yang tepat satu sama
lain. Aku dan Ayase-san masih melakukannya hari ini.
Orang tua kami masih belum
pulang.
“Mungkin aku harus belajar
juga...”
Setelah selesai mencuci piring,
aku pergi ke kamarku sendiri.
◇◇◇◇
Setelah fokus selama sekitar
satu jam, aku merasa lelah dan mendongak ke atas untuk melihat bahwa sekarang
sudah pukul 11 malam.
Aku memutuskan untuk mandi
sekarang. Ketika aku membuka pintu kamarku dengan membawa ganti baju, aku
melihat lampou di ruang tamu menyala. Aku mendengar suara televisi dan melihat
Ayase-san duduk di sofa dengan punggungnya menghadap ke arahku.
“Kamu sdang menonton berita?”
“Ya. Berita cuaca. Sepertinya
ada hujan lebat.”
Ketika aku mendekati televisi,
bagian utara Kanto di dalam layar berubah menjadi merah cerah.
“Apa Ayah dan Akiko-san terkena
dampaknya juga? Apa ada kabar dari mereka setelah itu?”
“Ya, katanya mereka sedang
beristirahat di rest area.”
Tampaknya situasinya tidak terlalu
serius dari yang kuduga.
Mungkin karena mereka ingin
beristirahat sampai besok dan tidak ingin memaksakan diri.
Angin masih terus bertiup
kencang dan bahkan lebih buruk lagi, kadang-kadang ada kilatan cahaya di luar
jendela. Sepertinya bahkan ada petir yang bergemuruh.
“Waduh, sepertinya badai besar
akan datang.”
“Ya...”
Ayase-san duduk di sofa sambil
memegangi lututnya dan menatap layar televisi dengan konsentrasi penuh.
“Kupikir mereka akan baik-baik
saja, jadi kamu tidak perlu khawatir segala.”
“Maksudmu Ibu dan Ayah tiri?
Ya, aku tidak mengkhawatirkan tentang itu."
Tapi dia terus menonton layar
televisi dengan antusiasme yang aneh.
“Jika kamu ingin minum sesuatu,
aku bisa membuatkanmu minuman.”
“Aku tidak ingin minum kopi
karena nanti aku tidak bisa tidur. Selain itu, kamu mau mandi sekarang, ‘kan?
Kamu tidak perlu mengkhawatirkan aku. Aku bisa membuatnya sendiri.”
Saat Ayase bangkit dari sofa
dan berbicara, itu terjadi.
Cahaya menyilaukan memenuhi
jendela seperti kilatan petir.
Tidak lama setelah itu, suara
gemuruh yang menggelegar seperti pukulan menghantam gendang telingaku.
Ayase-san menjerit keras ketika
semua di sekeliling kami menjadi gelap gulita. Itu pertama kalinya aku
mendengar suara jeritannnya.
“Ayase-san!”
Aku menopang bahu Ayase-san
yang berjongkok, dan menanyakan apakah dia baik-baik saja.
Kilatan cahaya kedua
menyilaukan ruangan yang gelap dan suara dentuman kembali menggema. Pemandangan
ruangan yang hanya muncul sesaat tiba-tiba menghilang dalam sekejap. Tanpa
sadar, aku juga meringkukkan kepalaku. Ayase-san merangkulku karena terus mendengar
guruh yang datang beruntun.
“Listriknya...”
“Tenanglah. Semuanya baik-baik
saja. Ini hanya pemadaman listrik.”
Kami saling mengandalkan tubuh
satu sama lain di dalam kegelapan. Meski suara gemuruh masih terdengar, tapi seharusnya
tidak perlu khawatir tentang bahaya tersambar petir karena kami berada di dalam
bangunan. Ketika melihat keluar dari jendela, semua bangunan kehilangan
cahayanya. Kemungkinan ada gangguan pada jaringan listrik di daerah ini yang
menyebabkan pemadaman.
Wajah Ayase-san yang menempel
dan terkubur di dadaku tidak terlihat karena tersembunyi. Namun, aku bisa
merasakan tubuhnya yang gemetaran.
“Mungkin lampunya tidak akan langsung
menyala lagi, dan lebih baik kita duduk saja dulu agar aman.”
“Y-ya.”
Ayase-san mengangkat wajahnya
saat dia menjawab begitu. Meskipun sulit untuk melihat dengan hanya cahaya
kilat, aku tahu dia sangat ketakutan dari suaranya yang gemetaran.
Aku menggenggam tangannya dan
perlahan-lahan membiarkannya duduk di sofa. Aku kemudian duduk di sampingnya.
“Lihat, semuanya kelihatan
gelap di luar jendela.”
“Pemadaman listrik...”
“Mungkin ada masalah di
pembangkit listrik atau gardu listrik, atau mungkin di jaringan transmisinya.
Aku tidak tahu penyebabnya, tapi dengan skala seperti ini, mungkin listriknya tidak
akan pulih dengan cepat.”
“Ka-Karena suara petir tadi
sangat keras, sih.”
Layar TV-nya juga menjadi gelap.
Ayase-san terdiam sejenak sambil terus menyandarkan tubuhnya kepadaku. Mungkin
karena dia baru saja selesai mandi, aroma tubuhnya yang lembut menggelitik
hidungku. Meski aku bisa merasakan berat tubuhnya yang dipercayakan kepadaku, tapi
ternyata dia lebih ringan daripada yang kuduga dan aku khawatir akan merusaknya
jika aku terlalu mengerahkan banyak tenaga pada lengan yang menopangnya.
Ini pertama kalinya aku melihat
Ayase-san begitu ketakutan, dan aku tidak tahu harus bagaimana membuatnya
merasa tenang. Namun, aku juga tahu bahwa jika aku panik, itu akan menjadi
kontraproduktif.
Aku berbicara dengan suara
lembut dan setenang mungkin, berusaha membuat pembicaraan berjalan lancar.
“Apa kamu takut pada petir atau
pemadaman listrik?”
“...Dua-duanya.”
Apa itu berarti dia sama-sama
takut pada kegelapan dan petir, ya. Aku tidak menyadarinya.
“Maafkan aku. Aku menempel
padamu seperti anak kecil begini.”
“Setiap orang pasti mempunyai
hal yang membuat mereka takut.”
Aku berpikir bahwa berbicara
akan bisa meredam kecemasannya, jadi aku terus mengobrol sambil memeluknya.
Aku memberikan sedikit tenaga
pada lengan yang melingkar di sekitar punggungnya.
“Aku tidak akan pergi ke
mana-mana. Aku akan selalu berada di sisimu.”
Aku memberitahunya bahwa dia
tidak perlu takut.
Gemetaran di punggungnya mulai
mereda ketika kehangatan tubuhku menyebar kepadanya.
“Apa kamu juga takut pada
sesuatu, Asamura-kun?”
“Tentu saja. Mana mungkin tidak
ada.”
‘Ahh,
cara memanggilnya kembali seperti dulu lagi’ pikirku, tapi aku
memilih untuk tidak mengatakannya.
“Benarkah?”
“Ya, misalnya saja, tempat
pemakaman di malam hari. Itu cukup menakutkan, bagi kebanyakan orang.”
“Jadi kamu mempercayai adanya
hantu?”
“Tidak... tapi ketika semua
orang berpikir bahwa sesuatu akan muncul, bukannya kamu merasa seperti ada sesuatu yang akan muncul
karena semua orang berpikir demikian?”
“Apa-apaan itu?”
Aku akhirnya merasa lega ketika
mendengar suara tawanya.
Di luar jendela, suara guntur
perlahan-lahan menjauh. Cahaya dan suaranya berangsur-angsur semakin pelan,
suaranya menjadi semakin kecil, dan angin mulai mereda.
“Apa aku mengatakan sesuatu
yang aneh?”
Ketika aku membalas dengan nada
pura-pura bodoh, Ayase-san tertawa lagi dan menggeleng-gelengkan tubuhnya. Dia
melepaskan tangannya yang memegang erat lalu menempatkannya di dadaku sambil sedikit
menengadahkan wajahnya. Tatapan mata kami bertemu.
“Jadi itu artinya jika hantu
atau arwah muncul, itu karena kesalahan orang yang masih hidup?”
“Ya, bisa dibilang begitu.”
Apa
maksudmu? Karena pandangan matanya menunjukkan tanda tanya, aku lalu
memberikan jawaban.
“Apa kamu tidak pernah
kepikiran kalau makam bukanlah satu-satunya tempat yang menjadi kuburan, bukan?”
“Apa maksudmu?”
“Misalnya saja, di atas tanah
Jepang ini, manusia telah berjalan selama ribuan tahun, bukan?”
“Yah, sejak periode zaman
Jomon, manusia sudah berjalan di sini selama lebih dari 10.000 tahun.”
“Kalau begitu, jika ada orang
yang meninggal di tempat yang bukan kuburan, maka kemungkinan ada orang yang
mati dan tetap terbaring di situ. Jika hantu atau arwah muncul di tanah tidur
orang mati, maka tidak mengherankan jika mereka bisa muncul di mana saja di
Jepang.”
Wajah ketakutan Ayase-san tadi
sudah hilang dan dia sedang memikirkan sesuatu dengan alisnya yang sedikit
berkerut.
“Yah itu… benar juga, sih.”
“Jika kamu berpikir seperti
itu, maka mungkin saja ada tulang seseorang yang terkubur tepat di bawah gedung
ini.”
“Tu-Tunggu, apa sih yang kamu
katakan ...”
“Tapi biasanya kita tidak
terlalu memikirkannya, kan? Tetapi mengapa kita hanya takut pada makam?”
“Ya, itu benar juga. Sebenarnya
jika kamu berpikir seperti itu, maka ketakutan Asamura-kun juga aneh.”
“Tetapi banyak orang yang takut
dan aku juga takut ketika masih kecil. Karena kupikir jika itu adalah tempat
yang membuat banyak orang takut, maka hal-hal yang menakutkan mungkin akan
terjadi.”
Ketika kita tidak
menginginkannya, hujan akan turun. Mungkin aku percaya pada hantu yang bernama hukum
Murphy.
“…Aku merasa ada sesuatu yang
aneh dengan logika itu.”
Seperti yang diharapkan,
Ayase-san menyadari kalau aku memutar-mutar pembicaraan di tengah jalan. Yah,
bagaimanapun juga, ini hanya percakapan untuk mengalihkan perhatiannya, jadi
aku tidak terlalu memedulikan tentang logika.
“Yang ingin kusampaikan ialah jika
itu menakutkan, maka itu menakutkan, jadi kamu tidak perlu memaksakan diriku.
Setidaknya, ... ketika berada di depanku.”
“Ya ... terima kasih ...”
◇◇◇◇
Suhu udara perlahan-lahan
menjadi panas dan lembab karena pendingin ruangan telah berhenti. Ketika TV
mati dan AC mati, aku semakin menyadari betapa sunyinya suasana di dalam rumah..
Terkadang angin dan hujan bisa menjadi keras, dan saat itu saja kaca jendela
bergetar dan berdecit.
Cahaya lampu masih belum
menyala. Meskipun begitu, aku tahu bahwa jika ada kesulitan, aku bisa
menyalakan lampu ponselku dan mendapatkan cahaya setidaknya secerah lilin. Tapi
kami memilih untuk tetap berdiam diri di atas sofa ruang tamu yang gelap
gulita, saling bersandar satu sama lain.
Hal ini membuatku teringat pada
malam dua bulan yang lalu ketika kami tertidur di atas tempat tidur sambil
saling berpelukan. Kedekatan kami membuatku tak bisa melawan kantuk yang
menyergap dengan hangat. Ayase-san sudah tidak gemetaran lagi.
“Mungkin penyebab ketakutanku
pada kegelapan adalah karena itu ...”
Dia berhenti berbicara setelah
mengatakan itu. Aku menunggu kata-katanya tanpa terburu-buru, dan kemudian
Ayase-san mulai menceritakan kenangan masa lalunya.
“Ini terjadi pada musim dingin
saat aku masih di sekolah SD... mungkin sekitar kelas tiga atau empat.”
Pada saat itu, keluarga mereka
masih tidur bersama di sebuah apartemen kecil. Namun, hubungan di antara orang
tuanya berangsur-angsur memburuk.
“Pada tengah malam, aku
tiba-tiba terbangun. Selimut tidurku terasa
dingin dan ibu yang selalu berada di
sebelahku sudah tidak ada. Ibu dan Ayah sama-sama tidak ada, hanya aku yang
ditinggalkan sendirian dalam kegelapan.”
Ditinggalkan
sendirian—ucap Ayase-san dengan napas tersengal. Saat itu, Ayase-san
yang masih kecil tidak dapat memahami mengapa hanya dia yang ditinggalkan
sendirian. Dia merasa seolah-olah dia telah dilemparkan ke dalam kegelapan
sendirian.
Dia mengalami ketakutan yang
tidak realistis, seperti orangtuanya meninggal, atau ditinggalkan sendirian di
dunia, dan sebagainya.
“Mungkin itu juga dipengaruhi
oleh dongeng yang aku baca saat itu. Cerita tersebut berasal dari negara bagian
utara, berkisah mengenai di mana seorang gadis yang ditinggalkan sendirian
dalam malam yang panjang karena matahari terbenam di bawah cakrawala dan
hatinya membeku dalam dingin yang terus berlanjut. Dia kemudian kehilangan hati
manusianya dan menjadi monster musim dingin.”
Ayase-san merasa seperti dia
juga akan menjadi monster di dalam kegelapan. Dia merasa seperti dilemparkan ke
dalam kegelapan dan tidak bisa bertemu dengan orang tuanya lagi….
“Pada saat itu, hubungan orang tuaku
semakin buruk dan aku menyadari bahwa hal itu tidak bisa diperbaiki lagi. Aku
bahkan sempat berpikir kalau itu mungkin salahku.”
“Salahmu ...?”
“Karena aku merasakan sorot mata
yang sama di mata ayahku ketika ia menatapku, seperti yang kurasakan ketika ia
menyalahkan ibu...”
Apa
kamu akan menjadi seperti ibumu dan meremehkanku?
“Baik aku maupun ibu belum
pernah melihat ayah seperti itu.”
Kalau
dipikir-pikir lagi, kupikir orang tuaku sedang keluar saat itu, kata
Ayase-san.
Ketika mereka bertengkar di
malam hari, mereka berusaha untuk melakukannya di dalam mobil ayahnya agar
mereka tidak membangunkan putri mereka dan memanaskan suasana di rumah yang
sempit. Tidak jelas apa itu dari ibu atau ayahnya yang mengajaa keluar. Kupikir
itu mungkin itu ibu dari segi kepribadian, tetapi karena ayah juga setuju
dengan itu, jadi mungkin dia juga tidak ingin menunjukkan kepada putrinya bahwa
mereka sedang bertengkar—atau itulah yang
ingin kupercayai, kata Ayase-san
Namun, sebagai seorang anak
yang baru berusia 10 tahun pada saat itu, mana mungkin dia mengerti hal seperti
itu. Dan dia menangis dengan keras.
Ibunya yang mendengar tangisan
itu segera datang dan menghiburnya, tetapi Ayase-san hampir tidak bisa tidur
malam itu dan terus menangis sambil berpegangan erat pada ibunya. Sejak malam
itu, dia tidak bisa tidur dalam kegelapan total dan selalu menyalakan lampu.
Itulah cerita yang Ayase-san
akhirnya ceritakan dengan detail.
“Pasti kelihatannya memalukan
sekali takut pada kegelapan meski aku sudah menjadi anak SMA…bukan?”
“Itu sama sekali tidak benar
... Jadi, apa kamu takut petir karena ada pemadaman listrik?”
“Yah, memang ada alasan itu
juga. Kamu tahu kalau terjadi pemadaman listrik, seringkali ada petir. Itulah
sebabnya aku merasa takut. Tentu saja, suara besar itu juga menakutkan.
Fenomena alam seperti itu tidak bisa dikendalikan oleh individu ...”
“Setiap orang pasti memiliki
sesuatu yang ditakuti. Mungkin hanya saja tidak semua orang mau mengakuinya.”
Aku juga tidak suka tempat yang
tinggi, jadi aku merasa tidak nyaman dengan pesawat ketika dalam perjalanan
sekolah.
“Sebenarnya, kupikir berani
mengakui ketakutan itu adalah sesuatu yang menakjubkan.”
“Meskipun aku merasa panik dan
menempel erat padamu?”
“Jika itu aku, aku mungkin akan
tetap keras kepala dan mengatakan bahwa aku tidak takut. Meski pada
kenyataannya, aku benar-benar takut.”
“Tapi menurutku itu kelihatan
imut.”
Meskipun dia mengatakan itu
lucu, itu tidak membuatnya merasa lebih baik.
“Yah, untungnya, aku baik-baik
saja dengan kegelapan dan petir. Jadi, kamu bisa mengandalkanku dalam situasi
tersebut.”
“Ya, terima kasih.”
“Sama-sama” jawabku dengan
sedikit bercanda, dan Ayase-san tersenyum lembut sebelum menyembunyikan
wajahnya di dadaku lagi. Dia kemudian berbisik pelan.
“... Tadi, aku merasa senang
sekali.”
“Eh?”
“Kamu tadi mengatakannya, ‘kan?
Kamu tidak akan pergi ke mana pun dan akan tetap berada di sisiku.”
“Oh, itu ...”
Meskipun aku sendiri yang
mengatakannya, aku merasa malu ketika dia mengulanginya.
“Perkataanmu itu membuatku
merasa tenang.”
“Baguslah kalau begitu. Yah,
sepertinya hujannya sudah mulai mereda, jadi mungkin pemulihan listrik juga
akan segera terjadi.”
Sambil mengatakan itu, aku
menghidupkan kembali layar ponselku dan membuka menu. Aku memulai pemutaran
musik hip-hop rofi yang sudah sangat aku kenal sehingga aku bisa melakukannya
bahkan dengan mata tertutup.
Musik ini terdengar seperti
piringan hitam lama yang familiar dan jelas, yang berbeda dengan kejernihan
musik modern. Suara yang kabur seperti suara rekaman lama terdengar di sekitar
kami.
“Ayo kita lupakan tentang
pemadaman listrik. Bukankah lebih baik memikirkan waktu yang elegan dan penuh
gaya untuk dihabiskan dengan mendengarkan suara hujan dan musik?”
Di dalam kegelapan, Ayase-san
tertawa pelan.
“Kamu sedikit sombong ya.”
“Kata-kata bijak mengatakan
bahwa bahkan anjing bisa menjadi penyair pada hari hujan.”
“Siapa yang mengatakan itu?”
Sekarang, siapa yang mengatakan
itu? Aku merasa seperti aku pernah membaca itu di suatu tempat, tetapi aku memutuskan
untuk menghindari masalah dan menjawab dengan santai untuk menutupinya.
“Asamura Yuuta.”
Saat aku mengatakannya dengan
suara serius, dia membenamkan wajahnya di dadaku dan tertawa tanpa suara.
Bahunya bergetar. Jika dia tertawa sekeras itu, aku merasa gagal sebagai penyair
improvisasi. Dan saat aku sedang ditertawakan, aku mulai teringat cerita
aslinya. Ada pepatah yang mengatakan bahwa 'bahkan
anjing pun bisa menjadi penyair saat jatuh cinta'. Ungkapan tadi sangat
berbeda. Aku merasa lebih malu, jadi aku memutuskan untuk diam dan memendamnya
dalam-dalam di hatiku.
Kami bisa merasakan kehangatan
satu sama lain dari tubuh kami yang saling berdekatan.
Kami berdua tetap diam sambil
mendengarkan musik dan suara hujan yang semakin tenang.
Waktu terus berlalu, dan kami
merasa seolah-olah suhu tubuh kami telah berbaur dan menjadi satu.
Tiba-tiba, Ayase-san
mendongakkan wajahnya. Bibirnya bergerak dan berkata “Hei...”
Tiba-tiba lampu langit-langit
menyala.
AC mengeluarkan hembusan napas
untuk menurunkan suhu ruangan yang naik.
Di luar jendela, lampu-lampu di
dalam gedung kembali menyala. Listrik sudah pulih kembali.
Ada suara notifikasi LINE. Itu
bukan dari ponselku, tapi dari ponsel Ayase-san.
“Katanya, 'Karena hujan berhenti, kami akan pulang. Kami akan berusaha pulang secepatnya
sebelum pagi', itulah pesan yang aku dapat tadi.”
“Syukurlah kalau begitu
“Sayang sekali. Waktu yang
elegan dan modis telah berakhir, ya?”
“Kapan-kapan kita bisa
melakukannya lagi suatu hari nanti."
"Ya. Kalau gitu, selamat
malam. Yuuta... Nii-san.”
“Selamat malam, Saki.”
Beginilah akhir dua hari antara diriku dan
Ayase Saki tanpa kehadiran orang tua kami.