Bab 4 — 13 Juni (Minggu) Ayase Saki
Yuuta-niisan,
Yuuta-niisan, Yuuta-niisan.
Aku mengucapkan hal itu
sebanyak tiga kali di dalam hati sebelum membuka pintu. Ini adalah rutinitas
terbaruku akhir-akhir ini.
“Selamat pagi, Yuuta-niisan.”
Lihat, aku bisa mengatakannya
dengan lancar.
Tubuh bagian atas Asamura-kun
terlihat di dapur di seberang ruang makan.
“Selamat pagi, Saki.”
──Selamat
pagi, Saki.
Detak jantungku masih sedikit berdebar
setiap kali aku dipanggil dengan namaku, bukan nama belakangku.
Meski begitu, aku sudah
terbiasa sedikit demi sedikit, dan akhir-akhir ini aku merasa sudah bisa
merespons tanpa merasa tersipu maupun gelisah.
Hari kedua tanpa orang tua.
Aku khawatir ketika menyadari
bahwa cuma ada kami berdua saja di rumah ini, kami akan lupa bahwa kami berdua
adalah kakak beradik.
Hal itu dikarenakan meski aku
dan Asamura-kun adalah sepasang kekasih, tetapi kami tidak bisa berperilaku
layaknya sepasang kekasih, dan karena perasaan seperti itu lebih mudah terlihat
ketika kami menyadari bahwa hanya ada kami berdua saja. Namun, karena kami juga
adalah kakak beradik, kami tidak bisa berperilaku seperti pasangan kekasih
biasa. ...Tapi, bagaimana sebenarnya perilaku pasangan kekasih yang biasa?
Hmm, apa mungkin berpegangan
tangan? Pelukan? Ciuman? Dan lebih dari itu...
──Demi menahan munculnya delusi
semacam itu, aku mengucapkan “Yuuta-niisan” sebagai mantra setiap kali itu
terjadi.
Kemarin aku berhasil
melewatinya dengan baik. Hari ini juga dimulai dengan baik. Teruslah begitu.
Apa
kamu sudah selesai membuat bekal? Cepat sekali ya,
kataku setelah melihat tas makan siang yang ia letakkan di atas meja.
Sekarang, kra-kira apa saja iss di dalam bekal ini?
Beberapa bahan makanan yang
tidak ada dalam daftar belanja yang aku sampaikan ketika dirinya pergi belanja
tersembunyi di dalamnya. Ada satu paket sosis. Yang dicincang kasar dan dibumbui.
Asamura-kun tampaknya suka makanan pedas, tetapi tidak ada yang mencantumkan
bahwa itu pedas, dan aku juga tidak berpikir kalau itu untuk Ayah tiri. Mungkin
untuk bekalku.
Aku ingin memakan sosis gurita
lucu buatan Asamura-kun.
Tidak, jangan bertanya terlalu
banyak. Mungkin itu hanya sosis biasa yang tergulung. Ini adalah pertama
kalinya ia membuat bekal, jadi mungkin itu saja. Meskipun begitu, aku senang ia
mau membuatkan bekal untukku, aku tidak pernah berpikir ia benar-benar akan
melakukannya.
Kami duduk di meja yang sama
dan menikmati sarapan yang sama. Nasi dengan sup miso, dan telur mata sapi.
Repertoar masakan yang dibuat Asamura-kun masih sedikit, tetapi semuanya lezat.
Sup miso ini juga memiliki kepekatan yang pas untukku.
“Hmm, rasanya lezat.”
Ketika aku memberitahunya
begitu, ia terlihat sangat lega. Padahal Ia tidak perlu terlalu khawatir karena
Asamura-kun selalu memasak dengan cermat.
Kami berbicara tentang hal-hal
yang tidak penting sambil terus menikmati makan sarapan.
Asamura-kun lalu mendadak melirik
layar ponselnya.
“Sepertinya sore nanti akan
turun hujan dan petir...”
Aku hampir tersedak dengan nasi
ketika mendengar ucapannya. Aku secara refleks melihat keluar jendela.
Hari ini langit biru terlihat
cerah, cuacanya tampak sangat bagus.
“Tapi sepertinya tidak akan
turun hujan, kok….?”
Namun menurut Asamura-kun,
kemungkinan hujan turun setelah sore hari mencapai 90%.
Dengan kata lain ...
kemungkinan petir dan hujan akan datang cukup tinggi.
“Hati-hati dalam perjalanan
pulang nanti. Di prakiraan cuaca tertulis ‘Ancaman
badai petir’.”
“Eh? Ah, iya ... mengerti.”
Apakah kecemasanku terlihat dari
wajahku? Aku tidak ingin Asamura-kun tahu bahwa aku khawatir.
Kalau hanya hujan saja sih
masih baik-baik saja. Paling banter, aku hanya akan basah saja. Tapi aku tidak
suka petir. Ketika suara besar itu bergemuruh di dekatku, aku merasa seperti
sedang dimarahi. Selain itu ... petir membawa pemadaman listrik dan membawa
kegelapan.
Sarapan yang lezat itu akan
terasa tidak enak jika tetap seperti ini, jadi aku dengan paksa mengubah topik
pembicaraan.
Setelah selesai sarapan, aku
pergi ke tempat kerja paruh waktu, sementara Asamura-kun pergi ke sekolah
bimbelnya.
Jadwal bimbelnya dimulai lebih
lambat, dan Asamura-kun menggunakan sepeda, jadi seharusnya ia berangkat satu
jam lebih lambat dariku.
Namun, ketika aku membuka pintu
apartemen, Asamura-kun memanggilku.
“Aku akan pergi berangkat
bersamamu.”
“Yuu...”
Yuuta-niisan
juga ikutan berangkat? Aku hampir mengucapkan kata-kata itu, tapi
aku menyadari bahwa aku sudah setengah keluar dari rumah.
Biasanya, aku akan mengucapkan “Setelah ini adalah wilayah memanggilnya
Asamura-kun” dalam hatiku tiga kali sebelum menutup pintu rumah, tapi
karena aku sudah memegang gagang pintu, aku bingung harus memanggilnya apa.
Untuk sementara, aku keluar dan
berbalik.
“...Ada apa? Asamura-kun.”
Setelah aku memanggilnya
begitu, ia berkata, “Kamu tidak perlu terlalu sopan sampai segitunya...”
Aku tahu perkataannya benar.
Aku memang terlalu kaku.
“Lihatlah. Katanya hari ini
akan hujan, jadi aku tidak bisa naik sepeda. Jadi, bagaimana kalau kita pergi
bersama?”
Ah, begitu rupanya. Aku
mengerti alasannya sekarang.
Tentu saja, alasannya bukan
hanya karena hujan di sore hari.
Aku tidak suka ketika kita
diperhatikan oleh orang lain seperti sepasang kekasih, tetapi sebaliknya, aku juga
tidak suka diperlakukan seperti orang asing oleh Asamura-kun.
Asamura-kun yang menyadari hal
itu, tampaknya memperhatikan bagaimana kita berperilaku di luar bukan sebagai
kakak beradik.
Hari ini kami kebetulan pergi
ke arah yang sama, selama tidak dilihat keluar dari pintu apartemen yang sama,
aku bisa mengatakan bahwa aku bertemu dengan seseorang secara kebetulan jika
aku bertemu dengan teman.
Kita bahkan pernah pergi
berbelanja ke supermarket di lingkungan sekitar bersama-sama.
Aku merasa betapa merepotkan
karakterku.
Bagaimana sepasang kekasih
biasa menjaga jarak yang pantas di antara mereka? Aku ingin bertanya kepada
seseorang. Tapi aku tidak pernah mendengar cerita tentang mereka yang
berpacaran dengan pria dari teman-temanku. Yah, pada dasarnya aku tidak
memiliki banyak teman.
Satu-satunya teman yang sebaya
denganku hanyalah Maaya. Tapi enggak, mana mungkin dia punya pacar. Meskipun
dia bisa berteman dengan siapa saja, tapi sepertinya dia tidak memiliki
pasangan.
Baru-baru ini, aku berbicara
dengan Satou Ryouko-san dan ketua kelas, tapi tidak ada pembicaraan tentang hal
itu.
Ketika aku keluar dari
apartemen dan melihat ke langit, gumpalan awan hitam sudah menutupinya.
Pasti akan turun hujan. Tidak
diragukan lagi.
“Ketika aku pulang dari kerja
paruh waktu, ibu pasti sudah kembali."
Mereka bilang kalau mereka akan
kembali sebelum malam.
Waktu berduaanku dengan
Asamura-kun telah berakhir. Setidaknya untuk saat ini, kami bisa menikmati
berjalan berdampingan di jalan menuju stasiun.
◇◇◇◇
Aku berpisah di tengah jalan
dengan Asamura-kun yang berjalan menuju ke sekolah bimbelnya.
Kami saling melambaikan tangan
dan menuju ke tempat tujuan masing-masing. Beberapa waktu yang lalu, aku pasti ingin
memutar kepala ketika kami berpisah. Tapi hari ini, aku tidak merasakan
dorongan seperti itu dan berhasil mencapai toko buku.
Mungkin ada efek dalam mengubah
cara panggilan.
Aku mengepalkan tanganku sekali
saja agar tidak melewatkan kepuasan kecil itu. Aku segera mengganti seragamku
dan membuka pintu kantor.
Di sana ada seorang gadis
Aku bisa melihat gaya rambutnya
yang lucu. Dia terlihat mungil. Seorang gadis yang belum pernah kulihat
sebelumnya..
Kira-kira dia siapa? Mungkin
seseorang dari toko.
Alasan kenapa aku berpikir
demikian adalah karena dia mengenakan seragam yang sama denganku—bukan seragam
sekolah, tapi kemeja berkerah dan celemek yang dipinjam dari toko buku.
Apa jangan-jangan dia itu──.
Dia mungkin gadis pekerja paruh
waktu. Tidak salah lagi, dia pasti pekerja batu yang dimaksud.Gadis itu
menyimpan sesuatu di saku apronnya dan mengangkat kepalanya. Aku belum pernah
melihatnya sebelumnya. Tapi tunggu, kemarin Asamura-kun bilang bahwa ada
seseorang bernama Seseorang-san yang baru masuk. Tatapan matanya bertemu dengan
mataku. Dia tersenyum padaku.
“Saki-senpai! Ayase Saki-senpai,
kan? Senang bertemu denganmu hari ini!”
“Eh, ah, ya.”
“Wah~ kamu beneran cantik
sekali!”
Dia berbicara sambil
mendekatiku. Aku terkesima saat melihat matanya yang bersinar.
“Rambutmu sangat cerah dan
warnanya terlihat bagus. Kamu mewarnainya berapa kali? Di salon kecantikan
mana? Penampilanmu sangat modis dan cantik... atau seharusnya aku bilang kamu
seperti model dan sangat menawan.”
Dia terus berbicara padaku
tanpa henti dan aku menjadi kebingungan.
Eh, apa? Apa yang sebenarnya
terjadi?
──Hmm?
Tunggu, memangnya aku sudah
menyebutkan namaku, ya?
Mengapa dia bisa tahu namaku?
Aku bahkan belum menyebutkannya. Selain itu, dia mendadak memanggilku dengan
sebutan “Saki-senpai”.
“Waaah~! Kamu benar-benar
sangat cantik!”
Meskipun aku merasa agak tidak
nyaman, dia masih mendekatiku.
“Eh, uhm...”
Ketika aku masih kebingungan,
dan gadis itu tiba-tiba terkejut dan kemudian buru-buru menundukkan kepalanya
dengan panik.
“Ah, maafkan aku! Aku mendengar
dari manajer toko bahwa 'Senpai yang akan menjagamu hari ini adalah kakak
cantik' jadi, umm, aku berpikir aku ingin berteman denganmu karena kamu
benar-benar sangat cantik.”
Kakak cantik... maksudnya itu
tentang diriku?
Aku senang mendengarnya, tapi menurutku,
kalau di toko ini, orang yang lebih tepat digambarkan cantik adalah Yomiuri
Shiori-san.
Selain itu, gadis yang berada di
depanku ini juga terlihat sangat manis.
Badannya cukup pendek. Mungkin
lebih pendek dari Maaya. Dia memiliki rambut dua sisi dengan warna bagian dalam
yang sesuai dengan wajah mudanya. Selain itu, warnanya merah. Warnanya sangat
pas sebagai aksen pada rambut hitamnya. Dikombinasikan dengan matanya yang bulat,
wajahnya secantik boneka.
Meskipun dia masih memiliki
wajah kekanak-kanakan yang terlihat seperti siswa SMP, tapi dia mengenakan gaya
rambut dan pakaian trendi, dia sepertinya mengetahui fashion mana yang cocok
untuknya.
Tampaknya dia lebih menyukai
gaya busana yang berbeda denganku. Kalau dipikir-pikir, aku belum pernah
mendengar dari Asamura-kun tentang penampilannya.
“Ummm...kamu pekerja paruh
waktu yang baru?”
“Ya. Senang bertemu denganmu.
Namaku Kozono, Kozono Erina.”
“Kozono-san.”
──Kozono
Erina.
Pekerja paruh waktu baru yang
disebutkan Asamura-kun. Kalau tidak salah dia masih kelas 1 SMA.
Begitu rupanya, dia mungkin
mendengar namaku dari manajer toko dan mungkin Asamura-kun.
Aku melirik ke arah Kozono-san.
Uhmm, kurasa aku harus bertingkah seperti senior di sini.
“Senang bertemu denganmu,
namaku Ayase Saki. Senang bisa bekerja sama denganmu.”
Saat aku membungkuk, Kozono-san
menundukkan kepalanya dengan panik.
“Senang bekerja sama denganmu
juga!”
Menurutku dia bukan anak nakal.
Atau begitulah pikirku. Namun di saat yang sama, aku merasa bimbang apa aku
bisa melakukannya dengan benar. Rasa jaraknya terlalu dekat. Aku merasa sedikit
resah karena ada yang namanya kecocokan meski tidak ada yang salah dengan satu
sama lain.
Karena mungkin ini pertama
kalinya aku bertemu dengan tipe gadis semacam dirinya.
◇◇◇◇
Aku membawa Kozono-san ke area
penjualan lebih awal dari jadwal kerjaku. Karena aku sudah ditugaskan untuk
melakukan pelatihan oleh manajer toko. Aku merasa seperti kalau aku bukanlah senior
yang mampu mengajari pekerjaan seorang pemula, tetapi aku tidak punya pilihan
karena diminta oleh manajer. Jika manajer merasa bahwa aku mampu melakukannya,
maka aku akan mempercayainya.
Untuk sementara waktu, aku
hanya mengulang kembali apa yang telah kupelajari dari Asamura-kun dan
Yomiuri-senpai. Ini bukanlah hal yang buruk, karena ini adalah cara untuk
mewariskan pengetahuan dan pengalaman. Menurutku, contoh yang baik adalah
meniru dengan tepat. Di toko ini, menurutku, contoh yang paling baik adalah
Yomiuri Shiori-san, yang juga sangat dipercayai oleh manajer toko. Asamura-san
adalah orang kedua yang terbaik untuk dijadikan contoh.
Jadi, kami sampai di rak buku
yang diletakkan rata di dekat pintu masuk toko. Kozono-san lalu mengeluarkan
catatan kecil dan pena dari saku celemeknya.
Oh, ternyata dia sudah siap.
Kalau tidak salah, Asamura-san juga menggunakan smartphone sebagai catatan.
Kemudian aku menyadari bahwa catatan kecil yang dia simpan di saku celemek tadi
adalah catatan untuk mempelajari apa yang diajarkan kemarin. Ketika aku menanyakan hal itu, Kozono-san
malu-malu menjawab bahwa dia sedang mencoba untuk mengulang kembali
pelajarannya kemarin.
“Sudah kuduga, tadi Senpai
melihatnya ya. Rasanya sungguh memalukan.”
Mungkin dia tidak ingin orang
lain tahu bahwa dia sedang berusaha keras belajar. Aku bisa merasakan perasaan
ini, di mana ada sisi dari diri kita yang ingin ditunjukkan dan ada sisi dari
diri kita yang ingin disembunyikan.
“Ummm, apa kamu sudah bertanya
tentang pengaturan rak? Sampai sejauh mana orang yang mengajarimu kemarin
memberitahumu tentang itu?”
“Maksudnya dari Asamura-senpai!
Dia sepertinya sangat pintar dan terlihat keren!”
“Eh? Oh iya, benar. Dari
Asamura-san.”
Memangnya kata “pintar” menjadi
sifat pertama yang menggambarkan Asamura-kun? Bukannya ada yang namanya “Baik
hati”?
Yah, karena perkataanya tidak
salah, jadi tidak apa-apa.
“Umm, aku mendengar di mana letak
benda-benda itu berada dan logika di balik penempatannya. Dan juga, jalur
pergerakannya.”
“Oh, jalur pergerakan. Jadi
secara umum kamu sudah mempelajari semuanya. Mungkin ini akan terdengar
berulang, tapi jika anggap saja ini sebagai konfirmasi ata apa yang sudah kamu
ketahui.”
Semuanya diajarkan secara umum
di awal dan rinciannya akan diajarkan menyusul. Ini adalah cara Asamura-kun
dalam melakukan sesuatu, dan pada awalnya, ini adalah cara Yomiuri-senpai.
Jadi, kira-kira apa boleh untuk membicarakan beberapa detail lebih lanjut??
“Jadi, platform yang mudah
terlihat di sebelah kanan ketika kamu masuk adalah bagian pojok buku baru. Pasti ada banyak buku
yang kamu kenal ditempatkan di sana, iya ‘kan.”
“Ya. Mereka mengatakan bahwa
ini adalah tempat pertama yang dilihat oleh pelanggan yang datang ke toko buku,
jadi buku-buku yang laris dijual ditempatkan di sana.”
“Benar. Singkatnya, ini adalah
rak buku untuk buku-buku yang laris dijual. Ada dua jenis buku di sini, buku
baru yang menarik perhatian di sebelah kanan dan buku populer di sebelah kiri.”
Aku menunjukkan kedua jari dan
membuat tanda perdamaian.
“Buku baru secara harfiah
berarti buku yang baru saja diterbitkan dan menjadi pusat perhatian. Di sini,
buku-buku dari penulis terkenal yang sedang naik daun akan dipilih. Tidak
mungkin untuk menempatkan semua buku baru di sini.”
Dia lalu mencatatnya di buku
catatannya sambil mengangguk-angguk dan aku melanjutkan penjelasanku.
“Sementara itu, buku populer
adalah buku yang mendapat reputasi baik di antara industri atau pembaca. Saat
ini, popularitas buku-buku tertentu mungkin berasal dari media sosial.
Buku-buku seperti buku bisnis atau buku pengembangan diri sering dipromosikan
secara berkala. Dengan kata lain, tidak semua buku baru ditempatkan di sini.
Buku baru merujuk pada buku yang baru saja diterbitkan. Sedangkan, buku populer
merujuk pada buku yang saat ini sedang populer.”
“Ohh, begitu.”
Kozono-san bergumam sambil
terus menulis di catatannya. Dia gadis yang serius. Aku menunggu sampai pulpennya
berhenti sejenak, lalu dia menunjuk ke sebuah buku dengan sampul putih di sudut
platform. Sepertinya dia juga pernah melihatnya.
“Oh, yang ini, aku melihatnya
setiap pagi di iklan gantung di kereta!”
Buku yang berbicara tentang
hubungan antar manusia itu memiliki iklan yang mengumumkan “Seri ini sudah terjual lebih dari 1 juta eksemplar!” Aku juga
pernah membayar di kasir beberapa kali.
“Buku seperti ini adalah buku
yang sedang populer. Tapi, bukannya berarti itu adalah buku baru.”
“Jadi begitu ya. Padahal itu
masih terlihat baru sih.”
Ya, memang begitu. Karena baru
saja dicetak.
“Untuk mengetahui tanggal rilis
buku, kamu bisa melihat di bagian 'kolofon'.”
Aku mengambil buku itu dan
membukanya ke halaman terakhir.
“Ini adalah kolofon. Lihatlah
di sini. Tanggal di bagian 'cetakan
pertama'. Itu adalah tanggal ketika buku ini pertama kali diterbitkan.”
“Wah, 10 tahun yang lalu! Eh,
apa toko ini adalah toko buku bekas!?"
"Tidak, bukannya begitu.”
Aku hanya bisa tersenyum masam
ketika mendengarnya.
Di bawah tanggal cetakan
pertama, ada juga tanggal cetakan ulang yang mencantumkan tanggal ketika buku
yang aku pegang diterbitkan kembali. Buku-buku yang bagus dan laris biasanya
dicetak ulang ketika stok habis, jadi tanggal cetakan ulang itu menunjukkan
tanggal buku yang baru dicetak.
“Wuahh. Jadi, buku ini selalu
populer ya?”
“Iya, begitulah. Tentu saja,
ada juga buku yang tidak laku kemudian mendadak populer dan menjadi buku yang
banyak dibicarakan.”
“Eh, kenapa bisa begitu?”
“Misalnya saja, apa kamu tahu
bahwa otobiografi seseorang dalam sejarah sedang mendapatkan penilaian ulang?”
Aku menyebutkan nama orang
tersebut.
“Aku merasa pernah mendengarnya
di suatu tempat...”
Dia dipilih sebagai gambar
wajah pada uang kertas baru.
“Dalam kasus seperti itu, buku
itu akan terjual meskipun itu bukan buku baru. Karena sedang menjadi
perbincangan hangat di kalangan orang.”
“Sekarang setelah dikatakan
begitu, memang benar. Barang lama juga bisa laku karena itu!”
Aku merasa sedikit bingung
dengan tanggapannya yang begitu polos.
Memang benar di zaman modern
ini segala sesuatunya terus berkembang, barang lama terbawa arus waktu yang
cepat. Namun, bukannya berarti barang lama tidak memiliki nilai.
Mungkin sebagian karena aku
menyukai sejarah, aku berpikir bahwa barang lama yang bagus tetaplah bagus.
Setidaknya begitu yang kupikirkan. Apa ini yang disebut sebagai kepekaan anak
muda zaman sekarang?
... Tidak, tidak. Aku juga hanya
berbeda dua tahun dengan Kozono-san, jadi aku tidak tahu apakah siswa kelas 1
selain Kozono-san juga berpikir seperti itu.
Pikiranku mulai melenceng.
“Jadi di sini pihak toko buku
menempatkan buku-buku yang mungkin menarik bagi pelanggan yang datang. Ini
adalah cara memberikan dorongan agar orang masuk ke toko buku.”
“Dorongan... Oh, jadi ini
adalah pintu masuk 'alur pergerakan'?”
“Ya, benar.”
“Seperti yang kudengar dari
Asamura-senpai! Dia bilang jika kita mengerti konsep 'alur pergerakan', kita akan mengerti tentang rak buku nantinya.
Tapi rasanya agak sulit sih...”
Kozono-san dengan bangga mengangkat
buku catatannya. Aku kagum dengan kemampuan mengingatnya. Dan tentu saja, cara
Asamura-kun mengajar pasti sangat baik. Aku merasa terlalu terperinci dalam
segala hal.
Tetapi, mengetahui bagaimana cara
toko ritel bernama toko buku mencoba menarik pelanggan akan bermanfaat dalam
jangka panjang. Ya, itu seharusnya tidak sia-sia. Seharusnya.
Namun, aku tidak ingin
mengulangi apa yang sudah diajarkan oleh Asamura-kun. Mengetahui konten yang
sama dari orang yang berbeda akan membuat waktu pelatihan yang berharga
terbuang percuma. Kami harus menghindarinya untuk kepentingan toko dan satu
sama lain.
“Kozono-san.”
“Kamu bisa memanggilku Erina.
Atau Ellie juga boleh, kok. Atau EriEri pun oke!”
“Err, Eri... Kozono-san──”
Aku merasa enggan untuk langsung
memanggil seseorang yang belum terlalu akrab dengan nama depannya, sehingga
saya memanggilnya dengan sebutan formal.
“── Boleh aku bertanya tentang
apa saja yang sudah kamu pelajari kemarin?”
“Err, ya.”
Ketika kami sedang melakukan
percakapan seperti itu, seorang pria berjalan mengelilingi kami dan berjalan
keluar dari toko. Dia adalah seorang pelanggan yang membawa tas belanja. Aku
terlalu terpaku di depan pintu masuk dan membuatnya kesulitan. Aku segera
bergeser dan membungkuk.
“Terima kasih banyak sudah
berbelanja.”
Pelanggan itu mengangguk dan
pergi, sementara Kozono-san membungkuk menyusul.
“Terima kasih banyak~!”
Dia memiliki suara yang mudah
didekati dan mudah didengar, dan dia cukup ramah dalam bersikap. Mungkin dia
lebih cocok untuk melayani pelanggan daripada aku yang tidak menunjukkan emosi
dalam sapaanku. Dan dia melakukannya dengan sangat alami.
Aku melirik ke arah Kozono-san.
Dia tersenyum dengan sopan. Sementara di sisi lain, meskipun aku berusaha menunjukkan
wajah yang ramah, aku tidak bisa tersenyum. Bukan karena aku memiliki keyakinan
tertentu, tetapi karena aku tidak pandai tersenyum dengan ramah. Aku sudah
berlatih beberapa kali untuk mengangkat sudut bibirku, tetapi aku tidak bisa
membuat senyum yang terlihat alami.
Aku penasaran apakah dia
memiliki sifat yang ramah dan mudah akrab secara alami, atau dia hanya ingin
diterima oleh orang lain?
Ahh, aku
hampir teriak. Jadi sikap akrab Kozono-san mungkin juga merupakan indikasi dari
sikapnya yang ingin berinteraksi secara akrab dengan orang-orang di
sekelilingnya. Aku merasa kagum, tetapi mungkin itu adalah sifat alaminya yang
cocok untuk melayani pelanggan.
“Errm, Saki-senpai? Apa ada
yang salah?”
Oh tidak, aku terlalu
memikirkan hal-hal ini.
“Tidak, bukan apa-apa. Jadi,
bisakah kamu memberitahuku tentang hal-hal yang kamu pelajari dari Asamura-san?
Karena itu akan tidak efisien jika kita membicarakannya dua kali.”
“Baiklah! Hmm...”
Kozono-san menjawab sambil
membolak-balik buku catatannya. Setelah itu, kegiatan pelatihan berjalan lancar
tanpa hambatan.
◇◇◇◇
Ketika jumlah pelanggan mulai
sedikit berkurang, Kozono-san dan aku memasuki waktu istirahat siang
bersama-sama. Para karyawan lain dengan baik hati memberi tahu kami untuk makan
bersama karena kami sebaya. Karena tidak ada alasan untuk menolak, jadi kami
makan bersama di kantor.
Aku menyatukan kedua tangan
sebelum membuka kotak makan siangku. Aku juga ingin berterima kasih kepada
Asamura-kun yang telah membuatkan makan siang untukku hari ini.
Saat aku membuka penutupnya,
aku melihat nasi putih, sosis, dan lauk yang dipotong dadu….kemungkinan itu
kentang. Kemudian, aku membuka kotak lainnya dan menemukan salad. Warna-warni
salad ini terdiri dari hijau, putih, oranye, dan merah. Terdapat potongan
selada yang disuwir, bawang bombay yang diiris tipis, wortel yang diiris tipis,
dan tomat cherry. Komposisi salad ini sama seperti yang aku buat kemarin. Hal
itu wajar saja karena kami berbagi resep. Hal semacam ini membuatku merasa kalau
kami seperti keluarga.
Aku menuangkan saus salad dari
botol berbentuk ikan yang sama dengan milik Asamura-kun. Meskipun kami
menggunakan barang-barang yang sama, tetapi ini adalah produk sekali pakai.
Setelah memakan beberapa tomat
cherry, aku selesai dengan pemanasan makanan segar. Sekarang saatnya untuk
menikmati hidangan utama.
Ketika membuka kotak makan
siang, aku melihat sosis gulung dan kentang yang dipotong dadu yang diletakkan
berdampingan. Aku mengambil sepotong kentang kecil dari pinggir kotak dan
menggigitnya. Rasanya sangat enak dengan rasa kaldu. Mungkin Asamura-kun mengingat
perkataanku tentang bumbu kaldu yang praktis dan mudah digunakan.
Meskipun aku tidak terlalu
berharap, tetapi makanan ini sangat lezat. Aku mengambil gigitan besar dari
sosis dan menemukannya lezat bahkan ketika dingin. Seringkali hidangan berbahan
dasar daging akan menjadi keras ketika dingin, tetapi anehnya itu tidak terjadi
pada sosis.
Aku menyadari bahwa baik
kentang maupun sosis tidak memiliki warna panggang. Jadi kemungkinan besar
Asamura-kun memasaknya dengan microwave. Ia pasti mencari tahu bagaimana
memasak makanan dengan microwave agar tetap enak. Ia pasti sudah berusaha
keras.
“U-Umm.”
Aku kembali tersadar ketika aku
dipanggil. Kozono-san, yang duduk di hadapanku, sedang mencondongkannya tubuh
ke depan.
“Apa kotak makan siang itu
buatan Senpai sendiri?”
Tatapannya yang berbinar-binar
tertuju pada tanganku.
“Umm...”
Aku tidak bisa mengatakan dengan
jujur di sini kalau Asamura-kun, yang dia kenal dan temui kemarin, yang
membuatkannya untukku. Rasanya terlalu merepotkan kalau nanti ditanyai begitu
mendalam.
Jadi, apa aku perlu
memberitahunya kalau pacarku yang membuatkannya untukku? Tidak, tunggu. Dengan
dialog tersebut, dia pasti akan mengetahui bahwa kami tinggal serumah. Dengan
kata lain, aku tinggal bersama kekasihku. Tidak, kami memang tinggal bersama,
tapi aku tidak akan menyebut kalau hidup serumah dengan kakakku sendiri sebagai
kumpul kebo. Dia tidak mengatakan itu, bukan?
“Keluargaku yang membuatkannya
untukku.”
Aku sama sekali tidak bohong,
tapi perkataanku juga tidak benar sepenuhnya. Ya, kurang lebih begitulah.
Kupikir itu akan menjadi alasan
yang bagus, tapi begitu aku mengatakan itu, ekspresi Kozono-san berubah
seolah-olah dia telah disihir oleh seekor rubah ── tidak, sungguh, yah,
analogi ini kadang-kadang memang cocok.
“Arerere?”
“Apa?”
"Mmmmmm. Sepertinya
indraku memang aneh.”
Dia memiringkan kepalanya dan
mulai menggeram. Apa maksudnya?
“Apa aku mengatakan sesuatu
yang aneh?”
“Yah begini. Kemarin juga, aku
makan siang dengan Senpai. Saat itu, bekal makan siang Asamura-senpai juga terlihat
seperti buatan sendiri, jadi aku menanyakan hal yang sama padanya. Lalu ia
menjawab, ‘Keluargaku yang membuatkannya
untukku’.”
Sejujurnya, aku sudah
berkeringat dingin. Kemarin akulah yang membuatkannya bekal. Mungkin
Asamura-kun juga merasa kesulitan menjawab. Dan, Asamura-kun yang merasa
kesulitan akhirnya menjawab sama sepertiku.
“He-Hee, begitu ya.”
“Kalau aku, aku pasti akan
bilang Mamah….tidak! Aku pasti akan mengatakan secara spesifik orang yang
membuatkanku makan siang, seperti ibu atau ayah.”
Pastinya, aku juga merasa
seperti itu.
“Oh ya, ngomong-ngomong, ini
dibuat oleh ibuku.”
Kozono-san memiringkan kotak
bekal dan menunjukkannya padaku. Isi kotak bekal yang kecil itu terlihat begitu
berwarna-warni. Penggunaan tusuk gigi bergambar karakter juga tampak sangat
imut.
“Itulah sebabnya, aku merasa
aneh ketika Asamura-senpai dan Saki-senpai mengatakan 'keluargaku' ... Mungkin kurasa aku saja yang aneh kali ya.”
“Ah, haha.”
Saat itulah aku menyadari
sesuatu. Aku melirik kotak bekalku sebentar.
Salad dalam wadah plastik.
Komposisi sayurannya sama dengan punyaku. Tidak hanya itu. Meskipun itu hal
yang umum, wadah plastiknya pun sama persis. Tas makan siangnya juga sama tapi
dengan warna yang berbeda.
Dengan diam-diam, aku
meletakkan tas makan siangku di kursi dari meja.
“Ya, kupikir itu adalah cara
yang umum untuk mengatakannya.”
“Apa iya? Ah tapi, kupikir cara
mengatakannya terdengar sedikit lebih dewasa.”
“Mungkin aku tidak begitu
memahaminya.”
“Ehh~ kok gitu sih.”
Dia tertawa, seolah-olah dia
telah melepaskan sesuatu. Senyumnya terlihat alami, sama seperti ketika dia
melayani tamu sebelumnya.
“Ngomong-ngomong soal keluarga,
apa Saki-san punya saudara kandung?”
“Uhmm ….”
Aku merasa kesulitan untuk
menjelaskan lagi. Selain itu, aku tidak tahu bagaimana reaksi Kozono-san
terhadap jawabanku, jadi aku ingin menghindarinya.
Saat aku sedang kebingungan
mencari cara untuk menjawab, Kozono-san berbicara sambil memandang ke arah
diagonal atas.
“Tunggu sebentar, aku akan
menebak. Aku tak bisa membayangkan kalau Saki-senpai punya kakak perempuan,
karena kamu terlihat sangat tangguh dan keren. Tapi, mungkin saja ada adik
perempuan…? Mungkin saja kamu punya kakak laki-laki atau kakak perempuan! Dan
setiap hari kamu memanggil mereka dengan panggilan manja seperti 'Onii-chan'!
Hal semacam itu disebut 'gap moe',
bukan? Jadi mungkin itulah yang dimaksud dengan 'sengaja'!”
Apa maksudnya dengan 'sengaja'?
“Meski dibilang begitu, aku tidak
tahu bagaimana harus menjawabnya….”
“Eh? Apa Saki-senpai anak
tunggal?”
“Apa kamu ingin tahu hal itu?”
“Tidak terlalu, kok.”
Apa maksudnya?
“Yang ingin aku ketahui
bukanlah informasinya, melainkan Saki-senpai.”
Hmm.
“Aku menyukai prang yang keren,
tinggi, dan bermartabat tanpa syarat. Karena diriku yang seperti ini.”
Sambil berkata demikian, dia
menekan kepalanya dengan telapak tangannya.
Mungkin dia ingin mengatakan
kalau dia masih anak-anak?
“Tapi menurutku kamu gadis yang
imut, kok.”
“Waahh! Terima kasih! Tapi aku
tetap mengagumi orang yang keren dan bermartabat.”
Dengan senyum yang manis,
Kozono-san kembali memakan bekal makan siangnya setelah mengatakan itu. Dia
sepertinya merasa puas.
Aku merasa bingung dan
berkeringat dingin karena tidak tahu apa yang terjadi.
Dia….siapa sebenarnya gadis
ini?
Pada awalnya, aku merasa dia
sedikit mirip seperti Maaya. Tipe gadis yang gampang dekat dan akrab. Tapi,
rupanya berbeda.
Maaya memiliki kemampuan untuk
menilai jarak dengan sangat baik, meskipun dia terlihat tidak seperti itu. Dia
ramah, tapi bisa dengan mudah menentukan jarak dengan orang lain hanya dengan
berbicara sedikit. Misalnya saja pada saat latihan turnamen olahraga tahun
lalu.
Maaya tidak mengatakan apa-apa
ketika aku membolos latihan turnamen olahraga. Dia suka memperhatikan orang
lain. Dia pandai membedakan apakah seseorang ingin diajak bicara atau tidak.
Sedangkan di sisi lain,
Kozono-san cenderung mendekat dengan cepat. Dia ingin berteman dengan siapa
saja. Sepertinya dia tidak memperhatikan orang lain dengan seksama.
Mungkin dia tidak bermaksud
jahat.
Aku memahami itu. Aku masih
ingat bagaimana kebencian diarahkan pada diriku dan ibu setelah perceraian.
Tapi ini berbeda.
Mungkin dia hanya mencoba
memperluas topik pembicaraan dan aku menanggapinya dengan cara yang salah. Aku
merasa bersalah padanya...
“Umm... Apa aku mengganggu?”
Dia tiba-tiba mengangkat
kepalanya, dengan wajah yang terlihat sedikit menyesal sambil memegang tusuk
gigi karakter di mulutnya.
“Mengenai masalah keluarga. Apa
seharusnya aku tidak boleh menanyakannya?”
Gadis ini memiliki naluri yang
peka.
“Bukannya begitu... Tapi, aku
tidak terlalu pandai dalam hal seperti itu. Aku rasa, tidak ada yang menarik
dengan mendengar tentang diriku, kan?”
“Hmm... Oke, aku mengerti.
Baiklah, aku akan berhenti bertanya!” jawab Kozono-san.
“Uh, maaf ya.”
“Tidak apa-apa kok.”
Setelah itu, kami berdua hampir
tidak berbicara dan hanya makan siang sambil memainkan ponsel masing-masing.
Meskipun percakapan kami tidak berjalan lancar, aku merasa lega karena jarak
antara kami tidak semakin dekat.
Aku menutup video belajar
bahasa Inggris dan bersiap-siap untuk kembali bekerja. Kemudian, aku memanggil
Kozono-san.
“Mungkin sudah waktunya untuk
kembali bekerja.”
“Baiklah aku mengerti,
Ayase-san.”
Tiba-tiba, aku merasa aneh
dengan cara dia memanggilku. Namun, sebelum aku bisa memikirkannya lebih
lanjut, pekerjaan sibuk di sore hari sudah dimulai.
◇◇◇◇
Aku menekan kartu absen untuk
menyelesaikan pekerjaan paruh waktuku hari ini. Aku tahu bahwa hujan akan turun
karena semua pelanggan yang datang ke toko membawa payung. Akulah yang
menempatkan tempat payung di depan pintu masuk.
Ketika aku keluar dari gedung,
hujan dan angin kencang langsung menyapu tubuhku.
Aku bergegas membuka payung...
tapi kemudian aku hampir kehilangan payung karena angin yang kencang. Ini gawat.
Aku harus mencari tempat berlindung di dalam gedung lagi.
Sambil memandangi langit yang
kelabu, aku berpikir tentang apa yang harus kulakukan.
Satu-satunya payung yang kubawa
hanya payung lipat kecil dan aku tidak yakin bisa bertahan dalam hujan dan
angin sebesar ini.
Perkiraan cuaca mengatakan
kalau ada 90% kemungkinan hujan. Aku tidak memperhatikan bahaya petir. Maaf.
Orang-orang yang lewat di jalan juga berjalan dengan memegang kuat-kuat payung
mereka dari pangkal agar tidak terbang terbawa angin.
Namun, terkadang angin kencang
menerpa dan payung mereka terbalik dari tengah, membuat beberapa orang basah
kuyup.
“Ini sih… pasti akan membuatku
basah juga...”
Aku yakin bahkan jika aku membawa
payung besar, hasilnya akan tetap sama. Bahkan, dengan berat badan yang tidak
seberapa, aku mungkin akan terseret oleh payung ──ups, mari kita
berpikir positif.
Guyuran hujan sepertinya tidak
menunjukkan tanda-tanda akan berhenti.
Aku merapatkan tas olahraga
yang tergantung di bahu dan menggenggam kuat payung dari pangkal. Aku
bersiap-siap untuk berjalan di tengah hujan. Meskipun payung dan bahkan tubuhku
hampir terbawa angin, aku berhasil melangkah maju.
Suara hujan yang menerpa payungku
terdengar sangat keras, dan meskipun aku berada di jalan utama Shibuya yang
biasanya ramai dengan suara musik dan keramaian, kali ini suara hujan begitu
menguasai sehingga tidak ada suara lain yang terdengar.
Hujan telah menutupi kebisingan
kota.
Sedikit suara petir terdengar
dari atas awan. Meskipun itu bukan suara guntur yang besar, itu cukup membuatku
merasa sedikit khawatir dan aku mulai berjalan lebih cepat.
Aku akhirnya melihat gedung apartemen
yang akrab di depanku.
Ahh, aku hampir sampai di
rumah. Aku masuk ke bawah atap yang menjorok di pintu masuk dan melipat
payungku. Akhirnya, aku bisa bernafas lega.
“Haah...”
Satu-satunya hal yang bisa aku
lindungi dengan payung adalah bagian kepala dan tubuh bagian atasku. Tapi tetap
saja, air hujan merembes ke dalam sepatuku dan membuat suara yang tidak nyaman
setiap kali aku berjalan.
Aku memasukkan payung yang
sudah dilipat ke dalam lift dan naik ke atas.
Akhirnya, aku membuka pintu
depan dengan susah payah dan berkata dengan suara kecil, “Aku pulang.”
Aku meletakkan tasku di lorong,
melepas sepatu dan kaus kaki, dan berjalan dengan telanjang kaki. Aku ingin
segera berganti pakaian secepat mungkin.
Aku merasa khawatir ketika
merasakan kehadiran orang di balik pintu. Aku basah kuyup dari atas sampai
bawah, pakaianku juga menempel pada tubuhku. Aku tidak ingin Asamura-kun
melihatku dalam keadaan seperti ini. Aku berpikir tentang apa yang harus
kulakukan, tetapi Asamura-kun hanya bertanya tentang hujan dan mengatakan bahwa
bak mandi sudah siap.
Setelah memberitahuku, ia pergi
ke sisi lain pintu.
“Terima kasih.”
Suara yang aku keluarkan begitu
kecil sehingga aku tidak tahu apakah ia bisa mendengarkannya dari sisi lain
pintu atau tidak.
Aku berusaha untuk tidak
meneteskan air dari rambutku di lorong, tetapi aku tahu aku harus membersihkan
bekas kakiku yang basah nanti. Aku juga harus memasukkan koran atau kain kering
ke dalam sepatuku untuk membuatnya cepat kering.
Aku merasa malas untuk
membersihkan bekas hujan.
Tapi, bak mandinya sudah siap!
Ketika aku tinggal bersama ibuku, dia biasanya sudah pergi bekerja pada saat
aku pulang sekolah, jadi ini adalah hal yang tidak biasa.
Aku merasa senang karena ia
telah mendahului dengan memberikan apa yang aku butuhkan. Sambil merasakan
kalau suasana hatiku yang mulai membaik, aku menuju ke kamar mandi.
◇◇◇◇
“Haa...”
Aku menghela nafas lega. Tubuhku
yang sudah kedinginan terasa lemas di dalam air panas. Panas yang meresap dari
kulit menghangatkan tubuhku. Sambil memejamkan mata, aku bisa mendengar suara
hujan yang sayup-sayup terdengar di kamar mandi.
Sepertinya hujannya akan
semakin deras. Suara petir juga sesekali terdengar. Tolong jangan sampai mati
lampu saat aku sedang mandi.
Meskipun aku merasa lega, aku
masih khawatir dengan suara petir, jadi aku mandi dengan terburu-buru dan
menghangatkan diri lebih cepat dari biasanya.
Setelah selesai mandi, makan
malam sudah siap. Ketika membuka pintu ke ruang makan, aroma yang enak langsung
tercium.
Aku senang dengan pertimbangan
Asamura-kun yang memilih membuat kari karena ia berpikir itu akan membuat
badanku merasa hangat.
Aku tiba-tiba melihat keluar
jendela. Ehh? Hujannya sepertinya sedikit reda dari sebelumnya. Mungkin aku
pulang saat hujan paling deras. Itu sedikit membuatku jengkel.
Suasana di luar jendela terlihat
gelap, aku tidak tahu cuaca sebenarnya. Semoga ibu dan yang lainnya baik-baik
saja.
Seketika aku berpikiran begitu,
ponselku berdering. Aku melihat pop-up LINE dan mengetahui kalau itu dari ibu
yang mengatakan bahwa mobil mereka terjebak dalam kemacetan.
Asamura-kun juga mencari tahu
dengan ponselnya, tapi sepertinya ada kemacetan akibat kecelakaan di tengah
badai.
Tapi, jika mereka harus pulang
besok, itu berarti──
Besok adalah hari Senin, tapi
apakah itu tidak masalah? Yah, pekerjaan ibu dimulai dari malam hari, jadi
tidak ada masalah. Ketika aku merasa khawatir, Asamura-kun memberitahuku kalau
Ayah tiri sangat berhati-hati dan telah mengajukan cuti pada hari Senin. Kalau
begitu mereka bisa pulang tanpa perlu khawatir.
Tunggu sebentar, apa itu
berarti aku dan Asamura-kun akan berduaan lagi malam ini?
Yah, bukannya berarti ada
sesuatu yang akan berubah, ‘kan?
Benar, kita hanya akan mandi,
belajar, dan tidur seperti biasa. Oh ya, aku sudah mandi sebelumnya.
Jadi ritual untuk saling
memberikan giliran mandi dengan Asamura-kun tidak diperlukan malam ini. Ketika
aku memberitahunya, Asamura-kun tampak sedikit bingung.
“Oleh karena itu, karena aku
sudah mandi duluan…”
Jadi Asamura-kun…
Eh, bukan.
“Yuuta…niisan bisa mandi kapan
saja yang kamu inginkan.”
Fiuhh, aku hampir saja
mengatakannya dengan nama Asamura-kun lagi. Oh ya, ketika aku kembali basah
kuyup, aku sepenuhnya lupa tentang rutinitasku saat memasuki pintu depan. Umm,
jadi orang di depanku sekarang adalah Yuuta-niisan, Yuuta-niisan, Yuuta-niisan.
──
dan setiap hari kamu memanggilnya “Onii-chan!” dengan suara manja!
Mengapa aku mengingat hal aneh
seperti itu sekarang!? Aku tidak akan memanggilnya begitu, oke. Aku tidak tahu
mengapa aku harus bersikap manja.
“Ngomong-ngomong, aku bertemu
dengan gadis yang bernama Kozono-san hari ini.”
“Hmm? Jadi kamu akhirnya
menjadi pelatihnya, ya.”
Ia mungkin mengira aku
tiba-tiba mengubah topik pembicaraan (meskipun aku tidak menghubungkan keduanya dalam pikiranku), tetapi Asamura-kun
tampaknya mengerti bahwa aku berbicara tentang anak pekerja paruh waktu yang
baru setelah ekspresi bingung muncul di wajahnya.
Aku mengatakan kepadanya kalau
aku juga ditugaskan untuk bertanggung jawab atas pelatihan Kozono-san.
Setelah itu, Asamura-kun
memberikan komentar positif dengan mengatakan bahwa dia adalah pembelajar yang
cepat.
“Itu…benar sih.”
Aku terbata-bata dan tidak
dapat menjawab dengan jelas. Karena itu, Asamura-kun bertanya-tanya apa ada
sesuatu yang terjadi.
“Bukannya ada sesuatu yang
terjadi kok. Menurutku dia anak yang baik, ceria dan jujur. Tapi... maafkan
aku, aku tidak bisa menemukan kata-kata yang tepat untuk menggambarkannya.”
Ketika aku menjawab seperti itu,
Asamura-kun berkata, “Menurutku, kesan yang aku dapatkan adalah dia mirip
dengan Narasaka-san.” Jadi, mungkin kamu
bisa menjadi teman yang baik dengannya, imbuhya.
Awalnya, aku juga merasakan hal
yang sama. Namun...
Maaya adalah bunga matahari.
Dia menggelengkan kepalanya ketika melihat gerakan matahari. Bukan berarti aku
menyebut diriku matahari atau hal-hal memalukan seperti itu, tetapi ini berarti
dia dapat menyesuaikan diri dengan orang lain dan merespon sesuai dengan orang
yang dia ajak bicara. Itulah mengapa dia memiliki banyak teman yang beragam.
Ada tipe orang yang seperti
diriku, yang canggung dalam bergaul, dan ada teman yang ceria dan sosial. Ada
orang yang serius dan ada orang yang tidak serius. Maaya adalah anak yang dapat
merespon orang lain sesuai dengan kebutuhan mereka.
Sementara itu, mengenai
Kozono-san...
Seperti yang dikatakan Asamura-kun,
Kozono-san adalah seorang karyawan paruh waktu baru yang sangat berbakat. Dia memiliki
kepribadian sopan dan mudah mengingat. Itu bagus. Tanpa diragukan lagi kalau
dia adalah seseorang yang dapat memberikan kontribusi langsung dalam
pekerjaannya. Tapi, mungkin dia tidak memusatkan perhatiannya pada orang lain.
Aku teringat saat kami makan
siang di kantor. Saat itu, aku mengatakan “Mungkin
sudah waktunya untuk kembali bekerja.” Dan Kozono-san menjawab “Baiklah aku mengerti, Ayase-san.” Sebelum
itu, dia memanggilku dengan panggilan “Saki-senpai”.
Tidak salah lagi. Mengapa dia mengubah cara panggilannya? Aku sama sekali tidak
mengerti dan merasa bingung.
◇◇◇◇
Tanpa disadari, badai hujan
mendadak jadi semakin hebat.
Setelah selesai makan, aku
belajar untuk ujian di kamarku. Aku memakai headphone untuk memblokir suara dan
memfokuskan diri pada belajar.
Namun, aku terganggu oleh
cahaya yang muncul di layar ponsel. Itu adalah notifikasi LINE. Ada pesan dari
grup LINE yang terdiri dari Aku, Maaya, dan Satou-san. Kami membentuk grup itu
ketika kami tinggal di kamar yang sama selama perjalanan wisata sekolah. Itu adalah
satu-satunya grup LINE-ku selain keluarga Asamura. Biasanya kami hanya saling
menghubungi satu sama lain jika diperlukan, jadi aku tidak tahu mengapa kami
harus membentuk grup.
Karena alasan itulah aku jarang
menerima notifikasi dari grup tersebut.
【Ada
kilat! Ada kilat! Gawat, kilatnya sangat dekat!】
Itu dari Maaya.
【Jangan
tidur】
Hanya itu yang aku balas. Astaga, mengapa dia harus bertanya tentang
hal seperti itu melalui LINE? Segera setelah aku berpikir begitu, aku
melihat bahwa ada yang membacanya dan aku segera mendapat balasan.
【Kilatnya
sangat menakutkan. Ayase-san sama sekali tidak takut ya. Hebat banget】
Itu pesan dari Ryochin alias Satou Ryouko-san.
“Ah”
Pada saat itulah aku akhirnya mengerti niat
Maaya. Tentu saja, target sebenarnya adalah aku.
Mungkin Maaya tahu kalau Satou-san mudah
ketakutan. Itu adalah perhatian khas dari Maaya. Mungkin dia berpikir bahwa
Satou-san merasa takut sendirian. Karena Satou-san merasa tidak nyaman dengan
pesan percakapan pribadi, jadi Maaya memposting pesan di grup. Meskipun merasa
takut sendirian, jika mengetahui bahwa ada teman yang berada dalam situasi yang
sama, perasaan cemasnya mungkin akan berkurang.
Yah, biasanya begitu.
【Apa di
tempat kalian semuanya baik-baik saja?】
【Aku
sedang di dalam kamar dan mendengarkan musik keras-keras! Menutupi cahaya dan
suara!】
【Benar ya
... Kurasa aku juga mungkin akan mendengarkan musik】
【Ya,
mendingan begitu. Jangan khawatir, itu tidak menakutkan kok~】
【Baiklah】
Kemudian pesan terputus.
【Benar-benar.
Terima kasih】
Aku tersenyum melihat pesan yang lembut disertai
dengan stiker kucing dari Sato-san. Maaya memang seorang yang pandai
memperhatikan orang lain.
“Mana mungkin….aku tidak takut.”
Ya, aku juga takut petir. Dan pemadaman listrik
yang cenderung menyertainya. Sepertinya bahkan Maaya tidak menyadari bahwa aku
juga takut dengan petir.
Aku meninggalkan kamarku dan pergi ke ruang
tamu. Aku menyalakan televisi dan menonton siaran cuaca.
Pada layar yang menampilkan
berita cuaca dan teks bergambar, terdapat satu orang wanita penyiar yang muncul
dengan latar belakang peta yang dipenuhi tanda petir.
“Sedang menonton berita ya?”
Jantungku berdegup kencang ketika
mendengar suaranya. Rupanya itu Asamura-kun.
Aku begitu fokus menatap layar sehingga
tidak menyadari kalau ia sudah masuk ke ruang tamu. Pada saat ini, layar televisi
menampilkan pergerakan curah hujan.
“Aku pikir semuanya akan
baik-baik saja, jadi kamu tidak perlu secemas itu
Setelah berbincang-bincang
sebentar, Asamura-kun berkata demikian.
“Maksudmu Ibu dan Ayah tiri?
Ya, aku tidak khawatir tentang itu.”
Dia adalah orang yang tidak
terlalu peduli dengan hal seperti petir dan sekarang dia ada di sebelah ayah
tiri, jadi dia mungkin merasa lebih aman daripada bersamaku.
Aku memandangi sekilas ke arah
Asamura-kun di belakangku. Ternyata ia hendak masuk ke kamar mandi. Melihat
cahaya di ruang tamu, mungkin ia datang untuk memeriksa keadaanku.
Aku tidak ingin mengganggu
mandi Asamura-kun dan melihat lebih banyak berita tidak akan membuat awan hujan
hilang.
“Kalau mau minum apa-apa, aku
bisa membuatkannya untukmu.”
“Aku tidak ingin minum kopi
karena nantinya akan sulit tidur. Selain itu, kamu hendak mandi, ‘kan? Jangan
khawatir tentangku. Aku bisa menyeduh sendiri."
Ketika aku bangkit dari sofa, sebuah
kilat disertai suara ledakan bergemuruh terdengar. Tubuhku bergetar oleh suara
gemuruh, dan aku tak bisa menahan diri untuk berteriak.
Lampu tiba-tiba padam.
Seketika itu juga aku merasa panic
karena terlempar ke dalam kegelapan. Aku menutupi kedua telingaku dengan kedua
tangan dan berjongkok. Lebih baik menutup mata sendiri daripada membuka mata
tapi tidak bisa melihat sama sekali. Setidaknya, jika tidak bisa melihat, itu
karena kesalahanku sendiri.
“Ayase-san!”
Aku hampir tidak mendengar
suaranya saat dia mendekatkan mulutnya ke telingaku.
Seseorang dengan lembut
menopang bahuku dan aku mengangkat kepala sambil membuka mata. Pada saat itu
juga, kilatan cahaya kedua membakar mataku. Tanpa sadar, aku langsung berpegangan
pada Asamura-kun di depanku.
Duhhh! Aku sudah tidak sanggup
lagi!
Aku memegang erat pakaian
Asamura-kun dan menutup mataku rapat-rapat. Suara guntur yang bergemuruh membuat
jantungku berdegup kencang. Aku juga merasa ketakutan dengan kegelapan yang
tiba-tiba datang. Meskipun Asamura-kun mengatakan itu hanya mati lampu biasa,
rasa takut masih itu tidak menghilang begitu saja.
Ia menyarankan kalau aku harus
duduk demi keselamatanku, dan ia menuntunku untuk duduk di sofa dengan tenang. Asamura-kun
juga duduk di sebelahku.
“Lihatlah, di luar jendela. Semuanya
tampak gelap gulita.”
Ketika ia mengatakan itu, aku
membuka mata perlahan-lahan.
Kilatan petir menyambar
melintasi jendela berbentuk persegi, dan saya nyaris tidak bisa melihat bentuk
bingkai jendela karena cahayanya.. Lampu di bangunan sekitar terlihat mati
semua, sepertinya memang ada pemadaman listrik besar-besaran.
Aku masih berpegangan erat pada
Asamura-kun. Tanganku yang merangkak naik ke dadanya, mencengkeram erat dan membuat
kerutan pada bajunya. Aku tidak bisa melepaskan tangannya. Aku merasa jika aku
tidak berpegangan pada sesuatu, rasanya seperti aku akan ditinggal dalam
kegelapan.
Asamura-kun merangkul
punggungku dan dengan lembut membelai punggungku dengan telapak tangannya.
Meskipun aku merasa malu karena
diperlakukan seperti anak kecil, kehangatan telapak tangan Asamura-kun yang
menyentuh punggungku membuat perasaan cemas dan tidak nyaman perlahan-lahan
mereda. Aku tidak bisa mengatakan bahwa aku sudah merasa baikan.
“Apa kamu takut petir atau mati
lampu?”
“…dua-duanya.”
Aku berbisik sambil
menyandarkan beban tubuhku di dada Asamura-kun.
Maaf, aku merangkulmu seperti
anak kecil.
Asamura-kun menghiburku dengan
suara yang hangat dan mengatakan bahwa semua orang pasti memiliki sesuatu yang
mereka takuti. Ia memperkuat pelukannya sedikit di sekitar tubuhku, aku merasa
lega dan nyaman dengan perhatiannya.
“Aku tidak akan pergi
kemana-mana. Aku akan selalu bersamamu.”
Ketika ia mengatakan itu dengan
suara pelan dan jelas di telingaku, perasaan keras kepala dan menahan tangis
seperti anak kecil di dalam diriku mulai mereda.
“Apa ada sesuatu yang kamu
takuti juga, Asamura-kun?”
Bagaimana Asamura-kun bisa
begitu tenang ketika dirinya tiba-tiba terlempar ke dalam kegelapan? Apa ada
sesuatu yang ia takuti?
Aku menanyakan hal itu kepadanya,
dan secara mengejutkan ia menjawab bahwa ia juga takut akan sesuatu sama
seperti orang lain.
Meskipun begitu, karena
Asamura-kun mengatakan bahwa dirinya tidak takut pada kegelapan atau sesuatu yang
seperti hantu, mungkin saja ia memiliki sensitivitas yang berbeda dari orang
biasanya. Mungkin demi menenangkanku, Asamura-kun mengeluarkan alasan yang aneh
dan menjadi teman bicara yang baik.
Setelah aku merasa sedikit
tenang, aku baru menyadari sesuatu. Ketika aku panic tadi, Asamura-kun
memanggilku dengan nama “Ayase-san”, yang sebenarnya melanggar kesepakatan di
dalam rumah. Tapi mungkin itu hal yang terbaik. Mungkin karena itulah cara yang
biasa untuk memanggilku sehingga aku bisa mendengarnya.
Sekarang AC juga mati,
satu-satunya suara yang terdengar hanyalah suara hujan dan angin. Meskipun
suara guntur pelahan-lahan semakin jauh, pemadaman listrik masih terus
berlanjut.
Demi mengalihkan perhatianku
dari badai, aku mulai menceritakan kenangan kecil dari masa kecilku tentang
mengapa aku menjadi takut pada kegelapan. Aku merasa malu karena merasa takut
pada kegelapan seperti anak kecil.
Sebenarnya, aku tidak pernah
menceritakan ketakutan atau hal-hal yang tidak aku sukai kepada orang lain
sebelumnya. Namun, aku ingin Asamura-kun tahu tentang ketakutanku karena ia
adalah Asamura-kun.
Setelah aku selesai bercerita
dengan canggung, Asamura-kun mengatakan bahwa itu luar biasa bahwa aku berani
mengakui ketakutan dengan jujur.
Apa iya?
“Padahal aku panik dan menempel
padamu?”
Mendengar kata-kata yang penuh
dengan humor diri sendiri dariku, Asamura-kun berkata bahwa ia mungkin akan tetap
bersikeras kalau dirinya tidak takut pada sesuatu yang ditakutinya.
Bayangan Asamura-kun sebagai
seorang anak, yang dengan keras kepala bersikeras bahwa ia “tidak takut”, terlintas di benakku, dan secara tidak sengaja aku
mengatakan, “Tapi itu juga bisa terlihat
lucu”.
Meskipun Asamura-kun tampak
sedikit kesulitan ketika aku menyebutnya lucu.
“Yah, untungnya aku tidak takut
pada kegelapan atau petir. Jadi, jika kamu bisa mengandalkanku pada saat seperti
ini,” kata Asamura-kun.
Ya, terima kasih. Aku tadi
merasa senang sekali.
“Kamu tadi bilang sendiri, ‘kan?
‘Aku tidak akan pergi kemana-mana. Aku
akan selalu bersamamu’.”
Ketika aku mengatakannya, ia
berkata dengan nada main-main, 'syukurlah
kalau begitu'. Ia merasa malu.
Asamura-kun lalu mengeluarkan
ponselnya dari saku dan meletakkannya di atas meja kecil di depan sofa. Ia
mengoperasikannya dengan gerakan yang terbiasa dan musik lofi hip-hop mulai
mengalir keluar dari ponselnya.
Suara sayup-sayup dan teredam
menggema di telingaku. Suara itu mengusir suara hujan dan angin dari dalam
pikiranku.
【Kurasa
aku juga mungkin akan mendengarkan musik】
【Ya,
mendingan begitu. Jangan khawatir, itu tidak menakutkan kok~】
Aku teringat percakapan antara
Satou-san dan Maaya sebelumnya.
Ya, benar juga. Satou-san dan
Maaya juga mengatakan hal yang sama. Aku jadi merasa tidak takut lagi.
“Ayo kita lupakan tentang
pemadaman listrik. Bukankah lebih baik memikirkan kalau ini waktu berharga yang
elegan dan penuh gaya untuk dihabiskan dengan mendengarkan suara hujan dan
musik?”
Cara bicara Asamura-kun yang sedikit aneh
berhasil membuatku tersenyum dengan sendirinya.
Aku hampir tertawa
terbahak-bahak ketika mendengar kutipan terkenal dari penyair Asamura Yuuta,
dan aku mati-matian menahan tawaku dengan membenamkan wajahku di dadanya. Ini
terlalu lucu.
Aku menjadi linglung oleh
kehangatan dadanya dan lengan yang memelukku.
Hanya musik yang redup yang
terdengar.
Saat aku memejamkan mata
seperti ini, aku hampir lupa kalau aku sedang berada di dalam gedung apartemen
dan berada di tengah-tengah pemadaman listrik akibat badai.
Di balik kelopak mataku yang
tertutup, aku merasa seakan-akan bisa melihat taman bunga hydrangea yang
bermekaran di tengah hujan.
Detak jantungku sendiri
perlahan-lahan tumpang tindih dengan irama detak jantung Asamura-kun.
Aku melepaskan tanganku dari
kaos yang kugenggam dan meletakkannya di tangan Asamura-kun di sofa. Ketika jari-jemari
kami saling terjalin, aku mendongak dan bergumam dengan suara lirih.
“Hey.”
Lampu langit-langit tiba-tiba
menyala.
Aku juga mendengar suara AC dan
melihat lampu di luar jendela mulai menyala satu per satu.
Listrik sudah menyala kembali.
Rasanya seolah-olah aku terbangun dari mimpi.
Aku menerima panggilan dari ibu
di LINE.
Dia mengatakan karena hujan
sudah berhenti, jadi dia akan pulang ke rumah secepat mungkin.
Aku tidak tahu seberapa cepat yang
dia maksud, tetapi jika dia sudah dekat, mungkin mereka bisa pulang tanpa terlalu
banyak penundaan.
“Sayang sekali. Waktu yang indah
dan bergaya sudah berakhir.”
Rasa takut terhadap kegelapan
masih belum hilang. Oleh karena itu, jika saya sendirian, itu takkan menjadi
pengalaman yang elegan atau bergaya. Namun, aku tidak bisa menahan diri untuk
mengatakannya karena aku merasa sangat senang Asamura-kun menemaniku sepanjang
waktu.
“Kapan-kapan kita akan
melakukannya lagi, oke?” Ucap Asamura-kun.
Suatu saat nanti. Sama seperti
ini, hanya ada kita berdua.
Ya, benar. Aku tidak suka
berada di tengah kegelapan atau suara guntur. Setidaknya aku ingin ada cahaya
seperti saat Halloween.
Tapi... suatu saat nanti. Suatu
hari nanti aku bisa melanjutkan kata “hey” tadi.
“Ya. Kalau begitu, selamat
malam.”
Karena saat ini aku tidak bisa
mengatakannya.
“Yuuta... nii-san.”
Asamura-kun juga dengan patuh
menanggapi kata-kata itu seolah-olah memastikannya.
“Selamat malam, Saki.”
Ya, ketika aku terbiasa
dipanggil “Saki”. Dan ketika aku merasa
aneh dipanggil “Ayase-san”, kita akan
bertemu lagi.
Beginilah aku dan Asamura Yuuta
menghabiskan dua hari tanpa kehadiran orang tua kami.