Gimai Seikatsu Jilid 9 Bab 5 Bahasa Indonesia

Bab 5 — 14 Juni (Senin) Asamura Yuuta

 

 

Ruang tamu bermandikan oleh cahaya putih. Beriringan dengan hujan yang sudah reda, pagi hari berikutnya terasa cerah.

Cahaya mentari yang baru saja terbit, menyinari tirai renda ruangan. Atau mungkin suasana hatiku saja yang sudah membaik, dan karena itulah aku melihatnya seperti ini?

Jika suasana hatimu bisa terpengaruh oleh cuaca, maka hal yang sebaliknya juga berlaku. Dunia bisa terlihat sangat berbeda, tergantung dari suasana hatimu.

Tapi hal tersebut terlalu puitis dan agak memalukan untuk mengungkapkannya dalam kata-kata, bahkan hanya dalam benakku.

Meski demikian, aku merasa bahwa aku telah mengenal Ayase Saki sedikit lebih baik berkat waktu yang kami habiskan bersama tadi malam.

Ekspresinya yang melembut setiap kali tatapan mata kami bertemu saat sarapan pagi, menghangatkan sesuatu yang jauh di dalam diriku.

Saat kami selesai makan dan bersiap-siap, Ayahku dan Akiko-san muncul dari kamar tidur mereka.

Rupanya, mereka telah kembali pagi-pagi sekali saat kami masih tertidur.

“Selamat pagi. Dan, kami sudah kembali. Ada sesuatu yang terjadi, kalian berdua?”

“Selamat datang kembali. Tidak terjadi apa-apa, semuanya sama seperti biasanya.”

Yah, mengatakan tidak terjadi apa-apa merupakan kebohongan.

“Ada pemadaman listrik, kurasa.”

“Hah? Benarkah? Apa kamu baik-baik saja?”

“Ya, hanya padam sebentar. Tidak ada yang terjadi, dan listrik kembali menyala dengan cepat,” kata Ayase-san.

Akiko-san tersenyum sambil berdiri di samping Ayahku.

“Lihat, Taichi-san? Sudah kubilang,’kan?”

Ayahku membalasnya dengan senyuman kecut dan dengan cepat membetulkan pinggiran kacamatanya dengan jarinya.

“Dengar, Akiko-san. Tak peduli apa yang orang katakan, jika kamu merasa khawatir, kamu akan tetap khawatir. Hal ini bukanlah sesuatu yang bisa kamu hentikan dengan logika. Tentu saja aku berpikir kalau semuanya baik-baik saja.”

Melihat betapa bangganya Ayahku, aku harus menggunakan semua kekuatan di perutku untuk tidak tertawa terbahak-bahak.

“Ya, ya.”

Akiko-san melambaikan tangan dari tingkah dramatisasi ayahku.

Ayase-san terkikik, bahunya bergetar. Aku tidak bisa menahan diri lagi dan ikut tertawa.

“Ayo kalian berdua, cepatlah pergi, atau kalian akan terlambat.”

Atas desakan Akiko-san, kami mengucapkan selamat tinggal dan meninggalkan gedung apartemen.

Kami berdua mulai berjalan menuju sekolah. Hujan telah berhenti, dan langit menjadi biru, seolah-olah badai petir semalam hanyalah mimpi. Bahkan genangan air yang bersinar terang di permukaan jalan memantulkan langit yang cerah.

Ayase-san berjalan di sampingku, langkah kaki kami terlihat selaras.

Jika dipikir-pikir, ini sangat menarik. Langkahku lebih lambat dari biasanya. Artinya, jika kamu memperhitungkan efisiensi gerakan per unit waktu, performaku menurun. Jika aku memprioritaskan efisiensi, seharusnya aku mengambil sepedaku sekarang setelah hujan berhenti. Namun, aku menikmati kecepatanku saat ini.

Sekali lagi, ini semua hanyalah masalah perspektif.

Ini bukan hanya tentang pergi ke sekolah; aku ingin menghargai waktu yang aku habiskan bersamanya. [Ingin lebih dekat dengannya di luar], aku mulai melakukan hal itu kemarin.

Aku memutuskan untuk meninggalkan sepedaku untuk sementara waktu, terutama dengan musim hujan yang sedang melanda. Mulai sekarang, kami akan meninggalkan rumah bersama-sama.

Kami berhenti di sebuah lampu merah. Tempat ini menarik kembali kenangan setahun yang lalu. Ayase-san tidak menyadari ada kendaraan besar yang menerobos lampu merah, dan aku hampir tidak berhasil menariknya tepat waktu. Membayangkan apa yang bisa saja terjadi, masih membuatku merinding sampai sekarang.

Sepertinya dia memahami apa yang aku pikirkan, sambil mengangguk.

“Ya, aku akan berhati-hati.”

Lampu berubah menjadi hijau. Setelah memeriksa kedua arah berulang kali, kami menyeberangi persimpangan dengan aman.

Aku menarik napas dalam-dalam dan menatap langit.

(Langit begitu cerah, tanpa awan sedikit pun.)

“Dengan cuaca seperti ini, seharusnya tidak ada masalah untuk turnamen besok. Menurut ramalan cuaca juga besok akan cerah.”

Ayase-san mengangguk setuju.

Lapangan sekolahnya mungkin masih basah, sehingga menyulitkan para siswa yang melakukan olahraga di luar ruangan untuk berlatih. Kami yang berlatih di dalam gedung tentu saja akan merasakannya, tapi kami harus fokus pada persiapan akhir kami sendiri.

Aku melewati gerbang sekolah. Aku mengganti sepatu di loker sepatu, berjalan menyusuri koridor, dan menaiki tangga ke lantai tiga. Ayase-san dan aku selalu bersama sepanjang waktu. Bahkan setelah sampai di lantai paling atas gedung sekolah, kami berjalan berdampingan menuju ruang kelas kami. Aneh rasanya jika kami berpisah pada saat ini karena kami berada di kelas yang sama. Ayase-san dan aku tetap dekat tapi juga tidak terlalu dekat. Kami tidak berpegangan tangan atau semacamnya; kami hanya berjalan beriringan.

Kami membuka pintu dan masuk ke dalam kelas. Kami melakukan kontak mata sejenak, saling mengangguk, lalu menuju ke tempat duduk masing-masing.

Aku baru saja meletakkan tasku dan duduk ketika Yoshida menghampiriku. Ia duduk menyamping di kursi kosong di depanku dan mendekat.

“Astaga, kamu ini memang penuh dengan kejutan, ya Asamura-san?”

Aku merasa merinding saat dia memanggilku “Asamura-san” dan bukannya “Asamura.”

“Eh... Apa aku melewatkan sesuatu di sini?”

Tatapan mata Yoshida menyipit.

“Coy, jangan bilang kalau aku tidak melihatnya. Bukannya kamu baru saja datang bersama Ayase?”

Aku sudah menduga hal semacam ini bakalan terjadi. Itu sebabnya aku tidak pernah datang ke sekolah bersamanya sampai sekarang.

Tampaknya, ketika seorang laki-laki dan perempuan SMA datang ke sekolah bersama-sama, hal itu menimbulkan ekspektasi tertentu.

“Kami ‘kan teman sekelas, jadi wajar saja kalau kami mengobrol, bukan?”

“Sudah berapa lama hal ini berlangsung? Aku tidak ingat kamu dan Ayase pernah memiliki banyak kesamaan?”

Pertanyaan yang wajar. Sudah dua bulan sejak semester dimulai. Mendadak muncul bersama seseorang yang bahkan tidak pernah melakukan kontak mata denganmu pasti akan membuat seseorang penuh keheranan. Kamu membutuhkan suatu peristiwa untuk mengubah hubungan. Jika itu di dalam novel, hubungan antar karakter tidak akan berubah begitu saja tanpa adanya suatu episode atau peristiwa tertentu.

Namun pada kenyataannya, tidak ada yang begitu dramatis yang diperlukan. Seperti, misalnya saja—

“Kami cuna kebetulan mengobrol sambil berjalan ke sekolah hari ini, oke?”

Itu tidak sepenuhnya bohong. Aku hanya menghilangkan bagian tentang meninggalkan rumah yang sama, itu saja.

'Cuma kebetulan,' ya? Sejak kapan kamu menjadi tipe orang yang gampang ramah dengan orang yang baru kamu kenal?”

“Yah, karena dia juga bukan orang asing. Tahun lalu, aku pergi dengan Ayase-san dan beberapa orang dari kelasnya.”

Hal itu juga bukan kebohongan.

“Kalian pergi kemana? Tunggu, jangan bilang kalau kamu pergi ke karaoke campuran gender yang legendaris itu? Ibumu tidak akan mengizinkannya, nak!”

Aku tidak pernah ingat kalau Yoshida yang melahirkanku.

“Kolam renang umum selama musim panas.”

“Maksudmu tanah impian yang dijanjikan itu hah, dasar keparat?”

“Aku hanya berpikir kalau itu adalah tempat umum biasa...”

“Oke baiklah. Dan kalian berdua menjadi dekat setelah itu?”

“Seperti yang kamu lihat, kurang lebihnya begitu.”

Aku sengaja membuat jawabanku menjadi tidak jelas.

Yoshida mencondongkan tubuhnya lebih dekat.

“Aku mendukungmu, Asamura.”

“Mendukung untuk apa?”

“Jadi, kapan kamu akan menyatakan perasaanmu?”

“Menyatakan...”

Mengapa semua orang selalu mencoba untuk mengubah hubungan pria dan wanita menjadi hubungan yang romantis... Sebenarnya, kami sudah menjalin hubungan. Aku sudah menyatakan perasaanku padanya.

“Kamu dan Makihara-san juga lumayan dekat, kan, Yoshida? Jadi, wajar saja kalau punya teman dekat lawan jenis.”

“Astaga, karena itulah aku berpikir mungkin kamu menyukainya.”

“Apa...? Aku tahu kalian berdua dekat, tapi kamu menyukai Makihara-san dengan maksud seperti itu, Yoshida?”

“Hah! Y-yo, Asamura! Jangan keras-keras napa.”

Yoshida melihat sekeliling dengan gugup, tapi aku tidak berbicara dengan keras. Aku bertanya kepadanya dengan suara yang cukup pelan. Berbuatlah kepada orang lain seperti yang kamu ingin mereka lakukan kepadamu. Keadilan dalam hubungan sering kali berarti menjaga keseimbangan.

Pada saat yang bersamaan, bel tanda dimulainya pelajaran pub berbunyi.

Ketika Yoshida bangkit untuk pergi, ia membisikkan sesuatu di telingaku.

“Aku butuh saranmu tentang sesuatu nanti.”

Setelah itu, dirinya kembali ke tempat duduknya. Apa yang ingin ia bicarakan? Aku tidak pernah menganggap diriku sebagai seseorang yang bisa dimintai nasihat, terutama tentang percintaan— salah satu sisi yang sama sekali tidak aku kuasai.

Aku memiringkan kepala dengan bingung.

Aku tidak mengetahui apa yang Yoshida butuhkan sampai pelajaran olahraga sore itu.

 

◇◇◇◇

 

Bola basket yang dilempar oleh timku mengitari ring dan memantul lagi.

Kami sedang menjalani pelajaran olahraga, dibagi menjadi dua tim untuk latihan permainan sebagai persiapan untuk festival olahraga.

Aku berada di bawah ring dan menangkap bola saat jatuh. Ada lawan yang menempel di dekat punggungku, jadi sulit untuk berbalik ke arah ring. Sekarang, haruskah aku memaksa berbalik dan menembak, atau—

“Asamura!”

Seorang rekan setim memanggil namaku. Seorang teman sekelas yang telah mundur ke area tembak tiga angka memberi isyarat kepadaku. Yoshida.

Lantai berderit ketika aku melangkah dan mengoper bola tepat ke arah dada Yoshida. Ia menangkapnya dan melempar bola. Bola itu meluncur di udara dengan lengkungan yang lembut dan masuk dengan mulus ke dalam lubang ring.

Sorak-sorai meledak dari kawan dan lawan.

"Umpan yang bagus, Asamura!”

Aku pun menjawab, “Tembakan yang bagus.”

Rasanya sungguh menggelikan bagaimana aku merasa senang meskipun bukan tembakanku yang masuk. Ah, aku mengerti sekarang, jadi inilah yang dimaksud dengan olahraga tim.

Aku menyeka keringat di dahiku dengan punggung tangan dan mengambil napas sejenak.

Aku teringat tentang percakapan yang aku lakukan dengan Fujinami-san di sekolah bimbel baru-baru ini. Aku harus fokus untuk bermain sebagai sebuah tim. Namun, ketika semuanya berjalan dengan baik, rasanya sangat menyenangkan. Memang tidak mudah, tetapi aku senang bisa mencobanya.

Peluit wasit berbunyi, menandakan waktu istirahat.

Aku sedang bersandar di dinding gedung olahraga di pinggir lapangan ketika aku mendengar, “Asamura!”, aku secara refleks mendongak.

Yoshida menghampiriku dengan tatapan mata yang sangat serius.

“Boleh aku berbicara denganmu sebentar?”

“Tentu.”

“Aku ingin mengakui perasaanku.”

“Ya ampun, biarkan seorang pria mempersiapkan mentalnya lebih dulu napa.”

“Ya, cukup adil. Aku bicara seperti ini padamu... Tunggu, tidak! Maksudnya bukan kepadamu!”

Yoshida adalah tipe pria yang suka bercanda.

“Aku tahu. Maksudmu pada Makihara-san, ‘kan?”

Dia mengangguk.

“Jadi, apa hubungannya antara ingin menyatakan perasaanmu dan meminta bantuanku?”

“Festival olahraga dimulai besok, ‘kan?”

“Ya, benar.”

“Aku ingin membuatnya terkesan, jadi aku ingin kamu mengoper bola sebanyak mungkin padaku. Aku mohon, bung!”

Yoshida menepuk kedua tangannya di depan wajahnya.

“Aku tidak keberatan mengoper bola, tapi apa hubungannya antara pamer dan menyatakan cinta?"

“Ketika pihak lain merasa terkesan, peluangmu untuk mendapatkan pengakuan yang sukses akan meningkat.”

“Secara pribadi, menurutku, keberhasilan pengakuan tergantung pada hubungan yang telah terbangun hingga saat itu, dan tidak ada hubungannya dengan suasana hati pada saat itu.”

Jika kamu hanya menunjukkan sisi dirimu yang lebih baik dari biasanya untuk mendapatkan jawaban “ya”, bukannya mereka akan kurang menyukaimu setelah kamu kembali ke dirimu yang biasa, dan pada dasarnya Kamu berpacaran dengan seseorang yang tidak terlalu mengenalmu?

Saat aku memberitahu pemikiranku yang jujur, Yoshida memijat di antara kedua alisnya dengan jari.

“Asamura, bung, apa kamu serius memikirkan hal-hal seperti ini setiap hari? Maksudku, tentu saja, kamu ada benarnya. Njirrr, kamu bahkan mungkin punya seratus poin. Tapi kamu tidak memiliki hati yang polos seperti anak SMA!”

“Tindakan masa lalumu sudah cukup membuktikannya, Yoshida. Kalian berdua dekat, kan?”

“Eh ... ya, ya.”

Mereka saling mengundang satu sama lain untuk makan di kantin dan duduk bersebelahan. Mereka bahkan secara terbuka bersama di depan seluruh sekolah. Tentu saja, ada kemungkinan dia akan berkata, “Aku hanya menganggapmu sebagai teman baik,” tapi... tidak ada gunanya terlalu memikirkan bagian itu.

“Woke, baiklah. Aku akan memberi umpan padamu sebanyak mungkin.”

Aku tidak terlalu peduli apa aku menonjol atau tidak. Lagipula, aku tidak memiliki keahlian khusus. Namun, aku bisa menjadi pemain tim. Dan seperti yang ditunjukkan sebelumnya, Yoshida cukup bagus dalam mendaratkan serangan.

Wajah Yoshida langsung berbinar-binar.

“Terima kasih, Asamura. Baiklah, aku akan melakukan yang terbaik besok!”

Ketulusannya yang kuat begitu membutakanku sehingga aku harus memalingkan muka.

Di seberang lapangan, aku melihat Ayase-san sedang berbicara dengan teman sekelas kami.

 

◇◇◇◇

 

“Sepertinya kamu berusaha keras,” kata Ayase-san ketika aku sedang membelah ikan panggang dengan sumpit saat makan malam.

Komentar itu mendadak muncul begitu saja, tapi aku bisa menebak apa yang dia maksud.

“Waktu pelajaran olahraga tadi?”

“Ya, ini pertama kalinya kamu bermain basket di festival olahraga, bukan? Semuanya berjalan lancar?”

“Kurasa aku berhasil untuk tidak menghambat tim, setidaknya. Aku sudah mulai lebih baik dalam membaca situasi di sekitarku dibandingkan di awal.”

Rasanya sangat menarik untuk mengenal kepribadian rekan-rekan setimku saat kami bermain. Beberapa pemain yang lebih terbuka mungkin lebih suka bermain aman, sementara beberapa pemain yang pendiam mungkin pandai dalam permainan yang mencolok. Setelah aku mengenal rekan setimku dengan lebih baik, rasanya menjadi lebih mudah untuk mengetahui langkah terbaik yang bisa aku pilih selanjutnya. Dan hal itu membuat segalanya menjadi lebih menyenangkan.

“Aku tidak yakin bisa melakukan permainan yang mencolok.”

“Benarkah? Tapi semua orang bilang kamu hebat dalam bola basket, Yuuta-niisan.”

“Mana mungkin, aku tidak begitu hebat, kok.”

“Kamu bisa menggiring bola juga.”

“Hanya pelan-pelan.”

“Orang-orang mengatakan kamu banyak mengoper bola.”

“Yah, Yoshida lebih baik dalam menembak ketimbang diriku.”

“Benarkah?”

(Kenapa dia memiringkan kepalanya seperti itu?)

“Selain itu, kamu sendiri juga bekerja keras, bukan? Sepertinya kalian sedang berdiskusi secara serius.”

“Hah?”

“Aku kebetulan melihatnya saat aku sedang istirahat. Kamu sedang berbicara dengan anggota timmu, ‘kan? Menjelang akhir pelajaran. Aku hanya melihat sekilas.”

“Oh... ya. Yah, sedikit.”

Aku pikir jawabannya agak ambigu. Percakapan segera bergeser dari festival olahraga, dan makan malam pun berlalu.

Kebetulan, malam itu adalah malam setelah orang tua kami kembali dari perjalanan mereka, tapi hanya kami berdua yang makan malam bersama. Alasannya, Akiko-san harus bekerja seperti biasa dan Ayahku yang kelelahan sudah tertidur lelap.

Mereka kembali pada waktu fajar, terjebak dalam kemacetan lalu lintas yang parah pada malam yang penuh badai. Tidak heran kalau dirinya kelelahan.

(Selamat atas perjalanan perayaan satu tahun pernikahanmu, Ayah.)

 

◇◇◇◇

 

Setelah makan malam, aku teringat perkataan Yoshida ketika sedang berendam di dalam bak mandi.

Jadi ia ingin pamer pada gadis yang disukainya dan kemudian menyatakan cinta, ya? Aku pikir, itu cara yang berisiko, dan aku mengatakan kepadanya. Tetapi, ketika harus mengetahui momen terbaik untuk menyatakannya, aku tidak tahu.

“Ia jauh lebih baik dalam hal semacam ini.”

Wajah sahabatku yang berkacamata muncul di benakku. Aku ingin tahu bagaimana Maru akan menanggapi masalah Yoshida.

Pokoknya, karena aku sudah berjanji, aku akan mengoper bola kepadanya besok. Dengan melakukan hal itu, kemungkinan besar akan meningkatkan peluang kami untuk menang. Mungkin itulah jenis kerja sama tim yang diharapkan oleh rekan-rekan setimku.

Termenung, aku menatap langit-langit kamar mandi.

Tetesan air dingin jatuh dan mendarat di ujung hidungku.

Aku teringat Ayase-san yang memiringkan kepalanya saat makan malam. Kupikir aku sudah memilih cara bermain yang terbaik, tapi mungkin tidak terlihat seperti itu dari luar. Tapi aku mungkin harus bertanya pada seseorang dari klub basket jika aku ingin mengetahuinya dengan pasti.

“Meski begitu...”

Aku hanya melakukan apa yang bisa aku lakukan, aku berkata pada diriku sendiri ketika melamun sambil berendam di bak mandi.

 

 

Sebelumnya  |  Daftar isi  |  Selanjutnya

close

Posting Komentar

Budayakan berkomentar supaya yang ngerjain project-nya tambah semangat

Lebih baru Lebih lama