Bab 1 — Janji Penting Dengan Tenshi-Sama
“... malam ini, apa boleh aku
menginap di sini ...?”
Sejenak, Amane tidak bisa
memahami apa yang dia katakan.
Seketika ia mendengar gumaman
yang tenang itu dari dalam pelukannya, pikiran Amane berhenti berfungsi. Beberapa
detik terus berlalu sebelum maksud dari kata-katanya benar-benar ditelaah.
(...
apa boleh dia menginap di sini, ya ...?)
Dengan kata lain, Mahiru dengan
takut -takut menyatakan bahwa dirinya ingin menghabiskan malam bersama dengan
Amane di rumahnya. Ia dan Mahiru memang sepasang kekasih dan sudah menghabiskan
malam bersama sebelumnya, tetapi kali ini berbeda. Mahiru telah mengakui kalau
dia ingin menginap, bukan karena merawatnya ketika sakit, dan bukan secara
tidak sengaja, tapi karena dia menginginkannya dengan niatnya sendiri.
Ketika jalan pemikiran Amane
yang telah melambat dari kecepatannya yang biasa, mulai benar -benar memproses
niatnya, pipi Amane mulai memanas seakan-akan kayu yang terbakar di perapian.
(Dia
benar-benar ingin menginap di malam hari. Itulah yang dia katakan.)
Seperti yang diharapkan, bahkan
Amane bisa memahami kalau Mahiru pasti benar-benar memaksakan dirinya untuk
mengatakan kalimat berani seperti itu, terutama dengan hal seperti sekarang.
Bahkan, ketika Mahiru bersandar lebih dekat dengannya, Amane bisa merasakan
bahwa dia agak tegang— tubuhnya sedikit gemetar. Dirinya tidak yakin apakah ini
karena rasa malu atau suasana yang telah mereka bangun di antara mereka.
Amane tidak pernah sekalipun
berpikir bahwa Mahiru akan menanyakan hal seperti itu, jadi ia menunduk ke
bawah, dan tubuh lembut Mahiru gemetar ketika dia merasakan tatapannya. Lalu
Mahiru menatapnya, wajahnya setengah terkubur di dalam pelukannya. Amane
memperhatikan bahwa matanya, yang lebih basah dari biasanya, tampak goyah
seolah-olah dibagi antara rasa malu dan harapan manis.
Amane menatap terus ke arahnya,
dan sebagai tanggapan, Mahiru mengubur wajahnya jauh ke dalam dadanya dan
mendengarkan suara detak jantungnya, seolah -olah melarikan diri dari
perhatiannya. Amane bisa merasakannya, ketika Mahiru menggerakkan bibirnya
seolah-olah dia ingin mengatakan sesuatu, mungkin ingin memarahinya karena
kurangnya responsnya, tetapi kemudian Amane perlahan-lahan membersihkan
tenggorokannya dan berhasil memeras suara yang gagal menyembunyikannya
keheranannya.
“... e-erm. Ma-Maksudnya
menginap itu... dengan niat apa ...?”
“Pe-Persis seperti apa yang aku
katakan. Aku tidak ... ingin dipisahkan darimu, Amane-kun. Aku ingin
merasakanmu berada dekat denganku, ” tegas Mahiru.
Tidak lagi tergagap, Amane
sekarang malah tertegun dengan apa yang dikatakan Mahiru, hampir menahan napas
dengan terkejut. Mahiru kemudian meliriknya dengan malu-malu.
“Begini saja ... masih tidak
cukup cukup. Aku sudah menahannya selama dua hari. Aku ingin ... menghabiskan
lebih banyak waktu denganmu, Amane-kun.”
“Hal yang sama juga berlaku untukku,
tapi kamu tahu ... yah, bukannya ini agak buruk?”
Seperti yang harus diperhatikan
oleh Mahiru sekarang, Amane adalah cowok yang menghargai pendapatnya. Meski
begitu, jika pacarnya mengatakan kepadanya bahwa dia ingin meginap dan mereka
berada dalam situasi di mana tidak ada orang lain dan tidak ada seorang pun yang
bisa menghalangi mereka, hanya ada satu hal yang mereka pikirkan, dan mereka mungkin
bisa berakhir dengan rute itu. (TN: Maksudnya itu ngewe :v)
Amane bangga dengan tekadnya
yang kuat, tetapi pada akhirnya, ia juga seorang cowok SMA dengan libido tinggi
seperti kebanyakan cowok lainnya. Begitu godaan Mahiru yang dicintainya jatuh
ke arahnya, ia dapat langsung beralih dari cowok polos dan rasional menjadi
binatang buas tak berpikiran yang mampu merusaknya.
Karena tidak ingin menempatkan
nafsunya di depan kewarasannya, Amane berpikir bahwa situasi seperti itu harus
dihindari dengan cara apa pun. Meskipun mungkin Mahiru mungkin tidak ingin
melakukan hal-hal yang dirinya bayangkan, ketimbang memiliki keinginan murni
dan tidak bersalah untuk menghabiskan waktu bersamanya, rasionalitas Amane
mendesaknya untuk mencegah sesuatunya menjadi berkembang terlalu jauh.
Mahiru terus menatap matanya
ketika dia menjawab, “Untuk sepasang kekasih, menginap semalaman dianggap
normal, kan?”
“Yah, mungkin pasangan yang
normal mungkin tidak akan menentang melakukan itu, tapi ....”
“Apa kamu ingin mengatakan
kalau kita bukan pasangan normal?”
“Aku tidak bermaksud seperti
itu. Maksudku, kami baru saja pacaran beberapa bulan.”
“Aku sudah pernah tinggal
bersamamu di rumah orang tuamu, Amane-kun. Rasanya sudah terlambat untuk itu
sekarang.”
“Ugh.”
Amane tidak bisa membantahnya,
dan Mahiru mulai terlihat khawatir.
“... apa kamu saking tidak
maunya…?”
“Aku bukannya tidak mau!”
Dengan cepat merenungkan
bagaimana dirinya mengangkat suaranya untuk menyangkal perkataan Mahiru yang
penuh kesepian, Amane dengan tegas menatap mata Mahiru, yang sekarang tertegun
dengan terkejut.
“Tak perlu dikatakan lagi,
tentu saja aku merasa senang,” lanjut Amane, “Aku senang saat kamu mengatakan
kalau kamu tidak ingin meninggalkanku, dan aku juga ingin lebih banyak
menghabiskan waktu bersamamu. Malahan, aku bahkan ingin tidur denganmu setiap
malam jika aku bisa. "
Lega, pipi Mahiru langsung
merah merona ketika mendengar kata-kata
'setiap malam,' dan sementara Amane menganggap bahwa mungkin masih terlalu
dini untuk mengatakan itu kepadanya bahwa, dirinya masih ingin membiarkannya
tahu bahwa dirinya juga ingin tetap di sisinya. Amane memastikan untuk tidak
memalingkan muka.
“Meski demikian, aku tidak tahu
apa yang akan terjadi, dan aku benci jika hanya aku satu-satunya yang
kebingungan saat ini. Aku tidak ingin melakukan apa pun yang kamu tidak ingin aku
lakukan, Mahiru. ... Memangnya kamu tidak memikirkan apa yang mungkin aku
lakukan padamu jika kamu tertidur?”
“Aku menaruh kepercayaan penuh
padamu, Amane-kun.”
Mahiru segera menanggapi tanpa
ragu-ragu, dan Amane mencoba meyakinkan dirinya sendiri bahwa pacarnya hanya
ingin tidur dengannya di sisinya. Hal tersebut muncul karena kepercayaan yang
Mahiru miliki dalam dirinya, percaya bahwa Amane tidak akan menyakitinya.
Amane ingin memenuhi
keinginannya itu, dan tepat ketika ia memutuskan bahwa sudah waktunya untuk
memperkuat tekadnya, Mahiru memberinya colekan kecil.
“Tolong jangan salah paham.
Bukannya aku memanfaatkan kepercayaanmu atau semacamnya, tetapi jika ada
sesuatu yang kamu ingin aku lakukan, maka ... Aku akan menerimanya dengan
tangan lebar.”
“Hah?”
“Amane-kun, kamu adalah tipe
orang yang bertanggung jawab penuh, ‘kan?”
“Ta-Tapi tetap saja. Sebagai
seorang cowok, dan sebagai pacarmu, aku bersumpah aku tidak akan melakukan
sesuatu yang tidak bertanggung jawab padamu, Mahiru.”
“Jika memang begitu, maka tidak
ada masalah, ‘kan.”
“Kurasa kamu benar.”
Bukankah
itu hal yang sama dengan menggunakan kepercayaanku untuk melawanku? Pikir
Amane, tetapi Mahiru memberinya senyum yang meyakinkan, menunjukkan kedalaman
sebenarnya dari kepercayaannya, jadi mana mungkin Amane bisa membiarkan dirinya
mengkhianati perasaan itu.
Amane penasaran apa dirinya
benar-benar bisa mempertahankan akal sehat dan menahan nafsnya. Meskipun dirinya
sangat cemas memikirkan malam yang akan datang, jika ia ingin menghabiskannya
bersama Mahiru, rasanya aneh jika ia menolaknya hanya karena berdasarkan kekhawatiran
itu.
Amane ingin tetap di sisinya.
Bahkan jika itu terbukti sedikit membuat stres bagi tubuhnya.
Ia berbicara dengan percaya
diri kepada Mahiru, yang dirangkul di antara lengannya, tetapi ketika tatapan
mata mereka sekali lagi bertemu, Mahiru semakin malu. Setelah menghindari
kontak mata untuk sementara waktu, Mahiru menambahkan, “E-erm, ak-aku ingin
memintamu untuk bersikap lembut ... dalam
banyak artian.”
Mungkin untuk menunjukkan
kesediaannya untuk pergi ke mana pun Amane memimpin, Mahiru menekan tubuhnya ke
arahnya lebih keras. Dirinya tidak tahu apakah akan malu atau senang dengan
kejenakaan pacar imutnya, jadi sebaliknya, ia mengerutkan bibirnya dan memeluk
Mahiru kembali.
(...
bagaimana aku harus menangani ini?)
Amane akhirnya menerima usulan
Mahiru untuk menginap. Tetapi begitu dirinya dengan tenang merenungkannya,
Amane mengingatkan dirinya sendiri bahwa ia akan menyeberangi jembatan yang
sangat berbahaya.
Untuk saat ini, Amane
membiarkannya menginap di bawah asumsi kalau dirinya tidak akan melakukan hal
aneh sama sekali. Amane tahu bahwa Mahiru pasti akan menerimanya tidak peduli
apa yang dirinya lakukan, tetapi ia merasa bahwa keseimbangan antara kewarasannya
dan nalurinya akan runtuh, dan baru-baru ini, dirinya lebih condong ke arah
naluri.
(Tidak,
tunggu. Aku akan ditanyai lebih keras jika aku tidak mengambil inisiatif di
sini. Mungkin.)
Amane bisa membayangkan Itsuki
berkata, “Sekarang waktunya untuk
melakukannya!” Namun sebenarnya, itu bertentangan dengan keinginan Amane
untuk terbawa suasana dan terburu-buru melakukan hal semacam itu. Jika ada sesuatu
yang terjadi, Mahiru akan menjadi orang yang paling terpengaruh, jadi wajar
baginya untuk ragu-ragu mengambil langkah berikutnya.
Dirinya menyadari kalau
kecemasannya mungkin terlalu berlebihan, tetapi justru karena keseriusan itulah
bahwa alasan ini tidak dapat diabaikan. Amane tidak bisa membiarkan dirinya
digampangkan oleh alasan bahwa hanya karena dia menyukainya dan karena mereka
adalah sepasang kekasih, itu alasan yang cukup untuk mengambil langkah
berikutnya.
“... yah, erm, bagaimana kalau
kamu pulang dan mandi dulu? Lagipula kamu tidak bisa menggunakan sampo biasa di
sini,” Amane bertanya kepada Mahiru, yang telah berbaring diam di rangkulannya,
dan Mahiru mendadak tersipu.
Bahkan jika dia ingin menginap,
Mahiru tidak akan dapat melakukan rutinitas perawatan kulitnya yang biasa di
rumah Amane. Ada juga masalah memberinya ganti pakaian. Amane mengatakan apa
yang seharunya ia lakukan, percaya bahwa akan lebih nyaman baginya untuk
mempersiapkan dirinya di rumahnya, tetapi untuk beberapa alasan, tubuh Mahiru
gemetar pada kata-katanya.
Amane tiba -tiba menyadari
bahwa kesalahpahaman yang mengerikan mungkin terjadi setelah mengatakan
kepadanya untuk mandi, mengingat suasana yang dimiliki di antara mereka
sekarang, dan tentu saja, Mahiru menggeliat dalam pelukannya seolah-olah dia
tidak tahan.
Amane buru-buru mencoba untuk
menjernihkan kesalahpahaman, “Ka-Kamu salah, oke? Aku tidak bermaksud seperti itu, tau?”
“U-Umm ... Amane-kun.”
“Ya?”
Amane khawatir bahwa dia
mungkin menganggapi kata-katanya terlalu serius, tetapi begitu Mahiru
mendongak, Amane menyadari bahwa Mahiru tampaknya tidak malu dengan
perkataannya dan justru sebaliknya.
“Shihoko-san dan Shuuto-san ...
mereka sering mandi bersama, bukan?”
“Yah, kurasa iya?”
“Ak-Aku tidak memiliki niat
apapun dengan mengatakan ini. Benar-benar tidak ada niat tersembunyi, tapi ...
erm, mumpung aku akan menginap, aku ingin ... mandi. Bersama-sama ... denganmu,”
saran Mahiru.
Menanggapi suara gemetar
kekasihnya, Amane menatap Mahiru sejenak, tidak dapat memproses apa yang baru
saja dia katakan.
(...
apakah dia baru saja berkata, Bersama-sama?)
Ketika berkaitan mandi, tentu
saja, mereka tidak akan mengenakan pakaian. Dengan kata lain, mereka akan
mengekspos tubuh satu sama lain tanpa sehelai benang sedikit pun.
Jika itu terjadi, Amane tidak
bisa percaya diri dengan kemampuannya untuk menahan diri. Dirinya yakin bahwa
begitu adegan itu menjadi kenyataan, ia akan melupakan segala sesuatu yang lain
dan hanya memanjakan diri dengan kulit lembut di hadapannya.
Mahiru berindak lebih agresif
dari biasanya, dan Amane berjuang untuk menyembunyikan rasa malunya. Tatapannya
melesat di sekitar ruangan saat ia menggaruk pipinya yang terbakar.
“Aku hanya, erm, bukankah itu
... sangat buruk? Lagipula, kita berdua nantinya sama-sama telanjang...”
“E-erm, itu .... Ji-Jika kita
mengenakan pakaian renang, apa itu boleh?”
“Yah, aku tidak bisa menyangkal
bahwa mengenakan pakaian renang adalah ide yang bagus, tapi ... apa kamu sudah
mempersiapkan mentalmu untuk saling menyentuh kulit masing-masing?”
Bahkan Amane tidak bisa
menjamin dirinya bisa menjaga tangannya untuk menyentuh kemana-mana jika
kekasihnya berada dalam jangkauan lengan dalam keadaan yang tak berdaya. Entah
dia menyadari pemiikiran Amane atau tidak, bulu mata panjang Mahiru bergoyang
saat dia menatapnya ke bawah.
“Jika kita akan saling mencuci,
menyentuh tidak dapat dihindari.”
“Y-Ya.”
“Ak-Aku tidak menentangnya,
hanya untuk menjelaskannya. Aku suka disentuh oleh kamu, Amane-kun. Jika aku
benar-benar menentangnya, aku tidak akan mengatakan sesuatu seperti ini.”
“...Benar juga.”
Ucapan Mahiru benar -benar
tidak memiliki makna yang mendasarinya; Dia hanya ingin mereka terikat seperti
orang tua Amane yang sering bertingkah mesra. Karena Amane mengerti itu, dirinyaa
mengangguk dan tidak mengatakan apa-apa lagi untuk sejenak.
Amane menatap ke arah lain
sesaat sebelum beralih ke Mahiru lagi. “Jadi dengan kata lain, erm, jika aku
mengenakan pakaian renangku sendiri, kita akan saling berkompromi, ‘kan?”
“Y-Ya.”
“Kamu yakin kamu baik-baik saja
dengan ini?”
“Seorang wanita tidak pernah
menarik kembali kata-katanya.”
Amane berpikir itu adalah
kalimat yang lebih tepat diucapkan oleh seorang pria, tetapi Mahiru tampaknya
telah mengusulkan gagasan itu dengan tekad, dan Amane tidak ingin menghina
keberaniannya. Singkatnya, itu hanya tinggal masalah seberapa banyak ia bisa
menahan nafsunya.
Sekarang Amane telah menemukan
satu-satunya pasangan sejatinya, ia terlalu merindukan hubungan dekat seperti
orang tuanya. Dimulai dengan berbagi bak mandi bukanlah ide yang buruk baginya.
Selama ia bisa menjaga nafsunya tetap terkendali, mereka akan dapat
mempertahankan hubungan mereka yang kuat.
Sejak liburan musim panas telah
berakhir, Amane ingat kalau ia menyimpan pakaian renangnya di belakang lemari,
tidak berharap untuk menggunakannya lagi tahun ini. Amane mengambilnya sambil
bergumam “Baiklah,” ketika ia mencoba menenangkan dadanya.
✧ ✦ ✧
Begitu Amane sudah berganti
dengan celana renangnya dan memasuki kamar mandi, Amane merasa sangat tidak
nyaman dan gugup. Mahiru menyuruhnya untuk masuk terlebih dahulu, dia beralasan
bahwa akan memakan waktu lama baginya untuk berganti baju renangnya, tetapi
semakin lama Amane menunggu, jantungnya jadi semakin berdebar kencang.
Amane pernah melihat penampilan
Mahiru dalam pakaian renang sekali sebelumnya, tetapi kali ini, mereka akan
berada di ruang tertutup dan terbatas bersama-sama——hanya ada mereka berdua.
Karena hal ini terjadi selama menginap, tentu saja, Amane lebih gugup daripada
senang.
Pertama-tama, Amane berasumsi
bahwa mandi bersama hanya dilakukan oleh pasangan yang sudah berpengalaman.
Pemikiran itu saja sudah membuatnya malu dan gugup.
Meski badannya belum berendam
dalam air panas, tapi Amane merasa kalau tubuhnya sudah memanas. Ia mengerutkan
bibirnya saat membayangkan hal itu, tidak yakin apakah ia ingin Mahiru segera
datang atau tidak. Ketika ia merenungkannya, Amane mendengar pintu kamar mandi berderit.
Setelah berbalik dengan gerakan
canggung, Amane disambut oleh pemandangan yang mempesona dari kulit pacarnya
yang sempurna. Mahiru dengan takut -takut menatapnya.
Fakta bahwa Amane membeku saat
ia menatapnya merupakan hal yang tak bisa dihindari.
(...
Jadi ini, ya. Baju renang yang pernah disebutkan Chitose...)
Chitose memberitahunya di masa
lalu bahwa Mahiru membeli dua pakaian renang yang berbeda, dan Amane tiba -tiba
diingatkan tentang fakta tersebut.
Kali ini, itu bukan pakaian
renang yang dikenakannya ketika mereka bermain-main di kolam renang. Baju
renang yang Mahiru kenakan sekarang adalah bikini hitam yang sangat kontras
dengan kulit porselen putihnya. Tidak ada satu pun dekorasi yang tidak perlu;
itu hanya sepotong kain sederhana yang menutupi area sensitifnya. Meskipun
demikian, area permukaan yang ditutupi oleh kain itu tidak kecil dan dapat
diklasifikasikan sebagai bikini normal.
Namun, Mahiru terlihat
menggairahkan. Hal itu kemungkinan karena sosoknya yang luar biasa.
Seperti yang diduga Amane,
tidak peduli berapa kali ia memkamungnya, penampilan Mahiru sangat memanjakan
matanya.
Semua bagian tubuhnya, dari
leher rampingnya yang mengalir hingga tulang selangkanya, lekukan besar dadanya
yang luas, lalu sampai pinggangnya yang lembut, segalanya terlihat sangat
menarik; Tubuhnya yang ketat namun tidak dapat disangkal terpapar, dan bisa
digambarkan sebagai sosok yang ideal.
Mahiru biasanya tidak akan
mengekspos dirinya secara umum, dan dia terutama adalah tipe orang yang jarang
mengekspos dadanya, jadi Amane sebelumnya hampir tidak memiliki kesempatan
untuk melihatnya sendiri. Tapi sekarang, Mahiru dengan jelas menyiratkan bahwa
hanya Amane yang diizinkan untuk menatap tubuhnya.
Itu adalah senjata terbaik yang
dia bawa sendiri, tapi bahkan caranya yang malu-malu mencoba menyembunyikan
bagian depan tubuhnya dengan tangan, mungkin karena dia merasakan tatapan mata
Amane, terlihat sangat s*ksi. Cara dia memposisikan lengannya menyebabkan dua
gunung kembarnya bertumpuk bersamaan, dan sebagai seorang pria, Amane hanya
bisa menyebutnya sebagai pemandangan yang indah, tetapi terbukti sulit untuk
mengawasi hadiahnya mengingat keadaannya saat ini.
Terlepas dari itu, tatapan
Amane mengembara ke berbagai tempat ketika ia berjuang untuk melihatnya secara
langsung, meskipun ini sepertinya mengganggu Mahiru, saat dia sedikit
mengerutkan kening.
“... apa itu terlihat aneh?”
“Bu-Bukannya begitu. Itu tidak
benar. Bikini itu terlihat sangat cocok denganmu, tapi ...”
“Tapi…?”
“... bagaimana aku harus
meletakkannya? Itu benar-benar merangsang.”
Pipi Mahiru seketika memerah
karena alasan yang jelas ketika Amane bergumam, mencoba memaksa kata-kata
keluar dari mulutnya.
Dia kemungkinan sangat
menyadari hal ini. Biasanya, itu akan menjadi keputusan yang tidak akan pernah
dibuat oleh Mahiru. Bikini yang dpakainya terbuat dari kain dan tali yang
polos, membuatnya sedikit tidak dapat diandalkan untuk menyembunyikan kulitnya.
“Itu sebabnya aku tidak memakainya
di kolam renang. Rasanya terlalu memalukan jika orang lain melihatku.”
“Kalau begitu, mengapa kamu
membelinya?”
“Y-Yah, itu karena ...
Chitose-san mengatakan bahwa kecuali aku melakukan ini, kamu tidak akan takluk
padaku, Amane-kun.”
“Memangnya untuk apa sampai membuatku
takluk segala ...”
Menggosok pelipisnya sebagai
tanggapan terhadap komentar Chitose, Amane melirik Mahiru lagi.
(...
Yah, jika aku ditunjukkan sesuatu seperti ini, aku mungkin benar-benar takluk
pada sesuatu ...)
Hal itu menunjukkan seberapa
besar dampak dari penampilan Mahiru yang menggoda. Amane memiliki keinginan
untuk berjongkok di tempat dan membuatnya tidak terlihat sampai dia bisa
menenangkan diri.
Namun, ia takkan mendapatkan
kesempatan, jadi Amane mengambil napas dalam-dalam untuk mendapatkan kembali
ketenangannya dan melirik lagi ke Mahiru. Amane merasa alau dirinya hampir
tidak tahan dengan situasi, atau lebih tepatnya, itu mengilhami situasi yang
tak ingin diungkit—— Sepasang pria dan wanita berada di ruang yang begitu
sempit, nyaris tidak berpakaian.
“Ah—yah,
untuk saat ini, mari kita basuh dulu rambut kita.”
“Ka-Kamu benar.”
Mahiru mengangguk dengan cara
yang tampaknya mengkhianati perasaannya yang sebenarnya. Dia memalingkan
kepalanya untuk menyembunyikan pipinya, yang memerah meskipun dia belum
berendam di air panas. Kemudian, dia mengeluarkan sebotol cairan dari tas tahan
air yang ditinggalkannya di lantai kamar mandi.
Sampo favorit Amane dibuat
khusus untuk pria, jadi tentu saja, dia tidak berharap Mahiru menggunakannya.
Mahiru membawa sampo sendiri bersamanya, tetapi untuk beberapa alasan, Amane
juga melihat sejumlah besar botol lainnya.
Merasa terkesan, Amane
bertanya-tanya apakah semua gadis selalu menggunakan begitu banyak produk yang
berbeda saat mandi. Mahiru kemudian meliriknya, berkata, “Jika kamu mau duduk
di kursi ...” dan menunjuk kursi dengan jarinya.
Dengan kata lain, Mahiru
bermaksud ingin membasuh badan Amane.
“N-Nah, ti-tidak usah, aku bisa
melakukannya ... diriku sendiri.”
“... Aku ingin melakukannya.”
Amane tahu apa yang akan dia
katakan, tetapi terkejut dengan pernyataan langsung Mahiru. Jadi, Amane
membiarkan dirinya didorong oleh momentumnya, dan dengan patuh duduk.
Mahiru berdiri di belakang
Amane. Berpikir bahwa ia akan dibasuh, Amane terkejut melihat bahwa Mahiru malah
memegang sikat rambut. Kelihatannya itu juga barang yang dia bawa.
“Rambutmu, Amane-kun. Aku
selalu ingin merawatnya setidaknya sekali.”
Mahiru mulai menyikat
rambutnya, ketegangan sebelumnya menghilang dari wajahnya saat dia melakukannya—atau
lebih tepatnya, dia tampak senang. Ah. Dia
benar-benar berubah mode di sini, pikir Amane, dan sementara itu lebih baik
daripada bertindak canggung, Mahiru memiliki kecenderungan untuk kehilangan
dirinya dalam jalan pemikirannya, ketika berkonsentrasi pada suatu tugas, dan
terbawa suasana. Waktu ini tidak terkecuali, atau begitulah yang dipikirkan
Amane.
Adapun Amane, ia bersyukur atas
perubahan suasana di antara mereka. Hal itu memungkinkannya untuk menyingkirkan
pikirannya tentang ketegangan yang menumpuk karena situasi sekarang. Bahkan
jika ia terus-menerus mencoba menahan respons biologis apa pun, tubuhnya
cenderung memiliki pikirannya sendiri.
Selain itu, Amane juga
menemukan sentuhan Mahiru sangat menghibur. Dirinyaa pernah tertidur hanya
dengan rambutnya dibelai selama bantal pangkuan, jadi Amane menyadari betapa
enak rasanya diurus.
Berpikir kembali ke waktu itu,
Amane memejamkan mata, berniat untuk menyerahkan segalanya kepada Mahiru. Ia
lalu mendengar tawa kecil dari belakangnya.
“Aku melihatmu tiba-tiba menjadi
santai.”
“Yah, maksudku, jika kamu
bilang kalau kamu akan mengurusnya, Mahiru, maka aku akan membiarkanmu
melakukan sesukamu. Lagipula aku tahu bahwa kamu akan membuatku merasa baik.”
“Aku akan melakukan yang
terbaik untuk memenuhi harapanmu.”
Mahiru, yang tampak senang
dengan tugas yang dipercayakan padanya, menjawab dengan senyuman saat dia
dengan hati-hati menyisir rambut Amane.
“Penting untuk terlebih dahulu
menyingkirkan debu dan kotoran dengan sisir sebelum dibilas di bawah air panas.
Tapi rambutmu pendek, Amane-kun, jadi kamu mungkin tidak perlu melalui proses
yang merepotkan seperti punyaku.”
“Jadi begitu ya. Sepertinya itu
terlalu menjengkelkan, jadi aku tidak repot -repot menyikat rambutku sebelum
mandi.”
“Rambutmu tidak hanya pendek,
Amane-kun, tetapi juga tidak mudah kusut. Secara alami rapi, jadi mungkin kamu
tidak perlu terlalu sering menyisirnya. Aku memiliki rambut panjang yang
cenderung mudah kusut, jadi aku perlu menyisirnya. ”
“Kamu pasti cukup rajin untuk
membuatnya terlihat begitu terawat, mengingat seberapa panjang rambutmu.”
Amane membuka matanya dan
menatap pantulan Mahiru di cermin; Rambutnya cukup panjang hingga mencapai
bawah pinggangnya dengan mudah. Meski demikian, tidak ada kerusakan yang bisa
dilihat, dan rambutnya dalam kondisi sempurna. Rambutnya yang halus dan lembut
memiliki keindahan yang akan dikagumi oleh gadis mana pun.
Amane mengagumi rambutnya,
memikirkan betapa sulitnya mempertahankan, dan mendengar tawa kecil dari
belakangnya.
“Yah, sejak awal aku sudah
mempunyai rambut yang bagus, jadi aku tidak terlalu cemas tentang hal itu ...
tapi aku memperhatikan kualitasnya. Rambut rapi akan terlihat bagus tidak
peduli jenis pakaian apa yang aku kenakan.”
“... kamu benar-benar sangat
memperhatiannya, ya.”
“Lagipula aku ingin bangga
dengan siapa diriku.”
Mahiru menyatakan ketika dia
selesai menyikat rambutnya dan mengambil shower. Amane melihatnya meraihnya dan
menutup matanya, mengetahui bahwa dia akan membilas rambutnya dengan air panas.
Mahiru lalu memberitahunya
dengan lembut, “Aku akan mulai membilas
sekarang,” ketika dia dengan lembut menyemprotkan air dari pancuran ke
rambut Amane.
“Mari kita lakukan
pra-pencucian menyeluruh di sini. Saat menggunakan produk perawatan, lebih baik
mencuci di sini sampai batas tertentu.”
“Sepertinya pengajarannya abru
dimulai.”
“Rambutmu berkualitas baik
secara alami, Amane-kun, jadi akan lebih baik jika kamu merawatnya dengan
baik.”
“Itulah yang kupikirkan.
Merawatnya setiap hari akan terasa merepotkan. ”
“Kamu tidak boleh malas dengan
hal itu,” Mahiru berbicara dengan suara jengkel, “Jujur, ya ampun.”
Sejak Mahiru mulai mencuci
rambutnya, ketegangan dan rasa malu yang dirasakannya benar-benar mulai memudar.
Percakapan mereka dilakukan seperti biasa seiring meredanya kecanggungan mereka.
“Yah, aku yakin mandi bersama
akan datang secara alami bagi kita di masa depan, jadi mari kita melangkah
sedikit demi sedikit,” komentar Amane setelah mempertimbangkan rutinitas
perawatan harian yang diusulkan Mahiru. Dirinya pikir akan sedikit merepotkan
untuk melakukan itu setiap hari, tetapi Mahiru, yang membilas rambutnya, tampak
tertegun. Mahiru berdiri di sana sekitar sepuluh detik, sebelum akhirnya
mematikan shower seolah-olah dia tiba -tiba dicairkan. Di cermin, Amane bisa
melihatnya diam -diam memeras sampo dan melanjutkan untuk menyabuni rambutnya.
“E-erm… Mahiru-san?”
“... Ini salah satu kelemahanmu
untuk bisa mengatakan hal -hal seperti itu dengan santai.”
“Ehh…?”
Pipi Mahiru memerah saat dia
meremas sampo berbusa di rambut Amane. Ia memperhatikan bahwa Mahiru mulai
menangani rambutnya dengan agak kasar. Atau itu hanya imajinasinya?
“... Aku sangat senang, tapi
kamu tidak bisa merasa jengkel oleh Shihoko-san sekarang, ‘kan, Amane-kun?”
Amane secara samar-samar
memahami makna di balik kata-kata Mahiru, dan meskipun terlambat, ia juga
menyadari apa yang telah dia katakan kepada Mahiru sebelumnya. Pipinya juga
memanas.
Ia biasa melihat dengan cemas
pada orang tuanya yang mandi bersama. Tetapi sekarang Amane telah menyiratkan
bahwa ia juga akan mandi dengan pasangannya setiap hari begitu mereka menikah.
Dirinya memang tidak berhak untuk mengomentari kebiasaan orang tuanya.
“Amane-kun. Aku akan marah jika
kamu tidak menutup mulutmu sekarang.”
“Aku akan lebih berhati-hati.”
Rasa malu yang akhirnya memudar
satu sama lain telah kembali, dan baik Amane dan Mahiru tersipu ketika mereka
kemudian dengan diam-diam fokus membasuh rambutnya. Saat melakukannya, Mahiru
menyelesaikan perawatan rambut rutin dengan rapi dan terampil.
Setelah benar-benar membilas
rambut Amane, Mahiru merasa ragu-ragu ketika dia mengambil botol lain. Botol
itu diberi label: sabun tubuh.
“... e-erm, um …… ba-badanmu
juga.”
Amane, yang telah mengerti apa
yang Mahiru coba katakan, tiba-tiba merasakan tubuhnya kaku.
Amane tahu bahwa secara alami,
setelah mencuci rambutnya, tubuhnya akan menjadi tahap berikutnya, tetapi Amane
tidak pernah menduga bahwa Mahiru akan mengusulkan gagasan itu sendiri. Mahiru
memang mengatakan bahwa dia akan membasuh punggungnya, tapi Amane tidak
berharap kalau dia benar-benar akan melakukannya.
“Yah, erm ... Ah——kamu tidak
perlu memaksakan diri, tau?”
“Ak-Aku tidak memaksakan diriku
sendiri! E-erm ... bahkan aku bisa melakukan ini. Hanya saja, erm ... Aku ingin
kamu mencuci bagian depanmu ... A-Aku hanya akan membasuh punggungmu.”
“It-Itu akan membantuku jika kamu
melakukan begitu.”
Seperti yang diharapkan, itu
akan menjadi masalah besar bagi Mahiru untuk mencuci bagian depannya juga.
Amane segera mengangguk sebagai tanggapan terhadap kata -kata Mahiru dan
menatap kakinya. Rasa malunya yang agak pudar dari sebelumnya tumbuh sekali
lagi. Selain itu, tubuhnya semakin memanas, mungkin karena situasi melampaui
harapannya.
Berdiri di belakangnya, Mahiru
dengan rajin menyabuni sabun tubuh dengan spons. Suara kain yang menggosok
kulit bisa didengar.
Amane menyadari situasi mereka
yang canggung. Mereka berada di kamar mandi, di mana hanya suara pernapasan
mereka dan sabun berbusa yang bisa didengar.
“... erm ... kalau begitu,
permisi...” Mahiru berbisik dengan nada pemalu, mungkin setelah selesai
menyabuni sabun. Kemudian, sensasi lembut dan halus tersebar di punggung Amane.
Tentu saja, Amane tahu bahwa
itu hanya sabun tubuh yang sangat halus. Tetapi di tempat seperti ini, dalam
situasi seperti itu, berada dalam jarak yang dekat dengan Mahiru, yang hanya
mengenakan pakaian renangnya, nalurinya sebagai pria sempat berpikir sesaat
kalau dua gunung kembar Mahirulah yang menyentuhnya.
Sensasi gelembung-gelembung
yang menyebar dengan lembut di punggungnya membuatnya merasa geli.
Mahiru menggerakkan tangannya
dengan sopan, tetapi karena dia jelas-jelas menerapkan busa dengan sangat pelan,
dia pasti merasa sedikit gugup. Amane tidak begitu penuh perhatian ketika
membasuh badannya sendiri, jadi ia tidak terbiasa dengan perhatian yang dimasukkan
ke dalam proses.
“... Amane-kun, kamu tak
disangka memiliki punggung yang sangat besar, ya?”
Amane mendengar bisikan kecil
begitu busa menyebar secara merata di punggungnya.
“Tak disangka, katamu.
Dibandingkan dengan punggungmu, Mahiru, tentu saja punggungku jauh lebih
besar.”
“Karena itu punggungmu sehingga
rasanya begitu besar, Amane-kun. Atau harus kubilang... Aku sudah terbiasa
dengan mengandalkan punggungmu selama ini.”
Dan kemudian, Amane merasakan
telapak tangan Mahiru menekan bahunya.
“Apa kamu ingat waktu itu
ketika kakiku terkilir? Kamu bahkan menggendongku pulang di punggungmu.”
“Ya. Aku ingat, aku ingat. Pada
saat itu kamu menyelamatkan kucing dan terluka, kan? ”
“... pada waktu itu, aku sangat
senang. Aku mencoba untuk tidak menunjukkannya di wajaku.”
“Lagipula, kamu benar-benar
tampak seperti anak tersesat.”
“... Aku pikir kamu selalu
memperhatikanku, Amane-kun. Kamu selalu ada untuk mendukungku.”
Tiba-tiba, telapak tangan
Mahiru yang tadinya ditempatkan di punggungnya, menyelinap melintasi tubuhnya,
dan beristirahat di dadanya yang datar, saat Mahiru memeluknya dari belakang.
Dengan jarak antara tubuh mereka sekarang menjadi nol, Mahiru meletakkan
bibirnya di bahu Amane, menempel padanya dengan begitu kuat.
Merasakan kehadiran sesuatu
yang jauh lebih lembut, dan jauh lebih berat daripada gelembung yang menekan
punggungnya, nafas Amane terengah-engah.
“Aku akan menggendongmu
sebanyak yang kamu inginkan, Mahiru, dan aku akan mendukungmu. Selain itu, aku
berjanji untuk tidak mengalihkan pandanganku darimu, jadi aku tidak akan
menghilang atau semacamnya.”
“....Ya.”
“Tapi, yah, posisi ini agak
sulit untuk ditanggung sekarang, jadi aku akan menghargainya jika kamu bisa
segera melapaskan diri dariku.”
Begitu Amane menyiratkan bahwa
gunung kembarnya itu menyentuhnya, tubuh Mahiru tersentak. Tapi tidak ada tanda-tanda
kalau dia akan menjauhkan diri.
“...... bahkan jika kamu tidak
membawaku, aku ingin kamu tetap dekat denganku. Padahal, aku tidak akan
menyerahkan semua beban kepadamu. Aku ingin berjalan berdampingan denganmu,
langkah demi langkah.”
“Itu benar.”
“Selain itu, aku mendengar
kalau kamu akan merasa senang jika aku melakukan ini ketika aku menginap,
Amane-kun.”
“Dasar Chitose—!”
Amane tidak sengaja berseru
keras begitu, merenung bahwa meskipun itu adalah skema yang menarik, Chitose
pasti secara halus menyarankan sesuatu yang lain. “Chi-Chitose-san hanya
memberiku beberapa nasihat, dan aku sendiri ingin melakukannya,” Mahiru dengan
cepat memberitahunya ketika dia memeluknya bahkan lebih erat seolah-olah
menenangkannya.
Amane merasakan sensasi yang bahkan
lebih kenyal memanjakan punggungnya dan dirinya tidak bisa mengeluh.
Bukannya sama sekali ia menentangnya;
justru sebaliknya Amane benar-benar merasa senang, tetapi ia merasa seolah-olah
belenggu yang membuatnya waras sedang dihdapkan dengan cobaan. Fakta bahwa
Mahiru bertingkah lengket padanya dengan sengaja daripada secara tidak sengaja
dengan cepat menguras ketahanannya.
“Ak-Aku mengerti sekarang, jadi
tolong cepatlah menjauh dariku. Ini sedikit masalah ... Aku tidak ingin terlalu
panas sebelum aku mandi.”
Sangat ideal jika ia bisa
menikmati dirinya secara jujur, tetapi Amane saat ini tidak memiliki ketenangan
untuk melakukan itu. Dirinya bersikeras bahwa ia ingin mendinginkan kepala dan
tubuhnya sedikit karena bagian dari selangkangannya sudah tegak dengan gagah,
tetapi yang mengejutkan, Mahiru dengan patuh melepaskannya.
Pantulan di cermin dengan jelas
menunjukkan reaksi Mahiru: dengan takut -takut berjongkok, dia menggeliat
malu-malu karena menyadari apa yang sudah dia lakukan.
Mahiru, yang tidak bisa
memutuskan apakah akan bertindak berani atau tidak, mengerang “uuuu,” membungkus dirinya dengan
lengannya, meraih bahunya. Amane berpikir sebentar bahwa jika dia akan merasa malu,
dia seharusnya tidak perlu melakukannya sejauh ini dengan akrobatnya.
Adapun Amane, dirinya sekarang
merasa lebih lega daripada malu, jadi ia tersenyum ringan dan berbalik untuk
menghadapi Mahiru. Ia dengan lembut menyambar penggosok berbusa dari tangannya.
"Aku akan melakukan
sisanya sendiri, jadi kamu hanya melakukan perawatan rutinmu sendiri,
Mahiru."
“...Ya.”
“Kamu sepertinya agak tidak
puas, atau itu hanya imajinasiku saja?”
“Bu-Bukan begitu, bukannya aku
tidak puas, atau lebih tepatnya ... e-erm, aku telah mempersiapkan diri untuk
ini, jadi rasanya sedikit antiklimaks.”
“Menurutmu apa yang akan aku
lakukan di tempat seperti ini ....?”
“Yah, itu sih, umm ....
Membasuh punggung satu sama lain. "
“Itu sesuatu yang kamu sarankan
sendiri sejak awal, Mahiru ... atau apak amu benar-benar ingin aku membasuh
punggungmu juga?”
“Bu-Bukan begitu! Hanya saja,
erm, kamu sepertinya tidak ingin menyentuhku, Amane-kun ...”
Hampir tersedak tanpa sadar,
Amane menatap Mahiru karena mengatakan sesuatu yang sangat berbahaya, setengah
dari rasa malu dan setengah dari celaan. Wajah Mahiru menjadi lebih merah.
“... Ta-Tapi Shihoko-san dan Shuuto-san
selalu saling membasuh dengan baik.”
“Mendengar hal itu tentang
orang tuaku membuat perasaanku jadi campur aduk... yah, pertama-tama, orang
tuaku sudah menikah, jadi mungkin hal semacam itu terlalu dini bagi kita ...
yang aku maksud adalah, yah, daripada menyentuh, mungkin lebih baik saja hanya
untuk bersantai bersama di bak mandi.”
Amane mengusulkan gagasan itu,
berpikir bahwa akan lebih aman menggunakan bak mandi secara normal. Kalau
tidak, tangannya bisa menyelinap ke segala macam tempat yang tidak terduga.
Menanggapi kata-kata Amane, Mahiru membalas, “... a-aku mengerti,” terdengar
seolah-olah dia telah meyakinkan dirinya sendiri.
Hah?
Bukannya aku baru saja menyarankan sesuatu yang benar -benar keterlaluan? Amane
menanyai dirinya sendiri untuk sesaat, tetapi sebelum kesadaran itu
membombardirnya dengan malu, “Aku akan membasuh diriku sendiri, jadi tolong
berbaliklah~” Mahiru berbicara dengan cara yang tenang. Amane tersapu oleh
momentumnya yang baru ditemukan dan dengan patuh memalingkan punggungnya.
Setelah melirik ke arah cermin,
Amane menyadari kalau telinga Mahiru berwarna merah cerah saat mereka mengintip
dari antara helai rambutnya. Namun, dirinya tidak berani menunjukkan hal itu,
karena Mahiru akan mengetahui kalau Amane telah menatapnya, jadi ia berpura
-pura tidak melihat apa pun. Ketika mereka duduk saling memunggungi satu sama
lain dengan perasaan mali, Amane terus membasuh sisa bagian tubuhnya.
Sadar kalau Mahiru akan
membutuhkan waktu lebih lama untuk membasuh badannya daripada dirinya sendiri,
Amane mengambil kesempatan untuk berendam di bak mandi terlebih dahulu. Namun,
Mahiru, ketika dia selesai merawat dirinya sendiri, melirik ke arahnya lagi dan
lagi, jadi Amane bingung dengan apa yang harus dilakukan.
Amane bukannya tidak peka
mengenai apa yang ingin dia katakan. Tak diragukan lagi, Mahiru sadar akan
pernyataan tentang menyentuh bak mandi dari sebelumnya, tetapi dari tatapan
Mahiru, yang tampak seolah-olah dia berharap untuk sesuatu, Amane bisa
mengatakan bahwa dia ingin meminta sesuatu darinya.
Tampaknya itu bukan masalah
kehati-hatian, tetapi mengingat bahwa Amane khawatir tidak bisa memahami
perasaannya, ia benar-benar memperhatikan bahwa mata berwarna karamel Mahiru
goyah ketika bertemu tatapannya.
“U-Urmm, di mana aku harus ...
berendam?”
Kata ‘di mana,’ Amane berkedip sekali. Apartemen ini dibuat khusus
untuk satu atau dua orang yang hidup sendirian, tapi bak mandi cukup besar. Jadi
masih memungkinkan bagi dua orang untuk mandi bersama asalkan mereka berhati
-hati, tetapi paling tidak, tempatnya akan sedikit sempit. Amane berhati-hati
untuk tidak meregangkan kakinya karena pertimbangan Mahiru; Dengan begitu, dia
akan memiliki banyak ruang di sisi lain bak mandi.
Namun, Mahiru kemungkinan telah
mengutarakan hal itu sebagai pertanyaan karena ucapan Amane sebelumnya.
“... Yah, masih ada cukup ruang...
Kamu bisa berendam di manapun yang kamu mau.”
Terlepas dari apa yang dia
katakan sebelumnya, Amane tidak bisa memberitahu Mahiru untuk mendekatinya,
jadi da melemparkan pilihan kembali kepadanya. Mahiru dengan ringan menutup
bibirnya dan berekspresi cemberut sebelum perlahan -lahan naik ke bak mandi.
Sama seperti Amane yang
diharapkan disambut dengan melihat kulit putih murni, tanpa kecoklatan, tudung
rambut berwarna rami menyelimuti penglihatannya. “Ah—”, Mahiru duduk di antara kaki Amane yang longgar
bersilang saat dirinya terkesiap.
Tentu saja, walaupun Amane
mengatakan dia bisa duduk 'di mana saja,'
Mahiru yang menetap di antara kedua kakinya adalah sesuatu yang tidak diharapkannya.
Amane terpana. Sadar akan hal ini atau tidak, Mahiru bersandar pada tubuhnya,
menempatkan seluruh berat badannya kepada pacarnya.
Rambutnya disanggul ke belakang,
jadi Amane langsung merasakan sentuhan kulit telanjangnya. Entah ia menyukainya
atau tidak, Amane jadi merasa terangsang.
“... kamu bilang aku bisa berendam
di mana saja, kan?”
Pipi Mahiru terlihat merah
padam ketika dia menatapnya dengan senyum sederhana tapi hampir dipenuhi
kemenangan. Amane tidak dapat mengomentarinya, karena wajah dan tubuhnya belum
tenang; Dirinya hanya menjawab, “Ya, memang.”
“Kalau begitu, tidak ada
masalah, ‘kan?”
Mahiru mengatakan itu dengan
jelas seolah-olah ingin menyemangati dirinya sendiri, lalu tiba-tiba menyundul
Amane dengan bagian belakang kepalanya. Ia tidak terluka, tapi sensasi merasa
gatal baik secara mental maupun fisik, jadi Amane dengan lembut meraih bahu
Mahiru untuk menghentikannya.
Seketika, tubuhnya gemetar hebat, dan suara gelombang berdesir
bergema melalui kamar mandi yang sempit.
“Mungkin aku harus pergi?”
Mahiru bertanya pada dirinya sendiri dengan tenang.
“Ja-Jangan, bukan berarti aku
menentangnya ... erm, ak-aku merasa bimbang bagaimana kita akan saling
menyentuh,” jawab Amane.
“...Bukannya kamu sendiri yang
mengusulkan ide itu?”
“Yah, memang sih, tapi ...”
Mahiru sekarang tampak bingung,
yang mana hal itu membuat Amane tertawa dengan lembut, jadi ia dengan penuh
kasih sayang memeluknya, merenung bahwa
bukan seolah-olah dia tidak mengerti bagaimana perasaannya.
Tubuh Mahiru menegang sejenak
sebelum dia mulai menggeliat karena terlalu malu, dan alasannya jelas. Amane
ingin memeluknya dengan ringan, jadi dia memintanya untuk tenang.
“... bisa enggak kamu berhenti
menggeliat?”
Amane tahu bahwa Mahiru pada
akhirnya akan menenangkan diri bahkan tanpa campur tangannya, tetapi untuk
berjaga -jaga, Amane berbisik dengan lembut di dekat telinganya. Badan Mahiru
bergidik lagi, tetapi dengan patuh berhenti menggeliat. Sebagai gantinya, dia
melangkah lebih jauh di antara kaki Amane.
Amane merasa lega karena dia
sudah tenang. Tetapi pada tingkat ini, jika ini berlanjut ke arah situ, mereka
berdua akan dengan cepat menjadi terlalu malu untuk berinteraksi satu sama lain
sama sekali.
(...
Seperti yang diharapkan, mana mungkin aku bisa menyentuhnya tanpa ragu -ragu.)
Amane merasa lebih ragu-ragu
untuk menyentuhnya dari waktu mereka berada di kolam renang, tetapi dalam situasi
ini, dirinya tidak bisa berbuat apa-apa. Di dalam ruang yang sempit, tetapi
sepenuhnya pribadi ini, mereka saling menyetujui untuk menempel begitu dekat
satu sama lain. Tapi, mana mungkin mereka tidak menyadarinya.
Untuk semenrtara, Amane fokus
pada proses memutuskan bagaimana bertindak sekarang untuk mengalihkan
perhatiannya dari sensasi lain, dan dengan lembut memeluk Mahiru seperti
biasanya.
Aroma samponya yang lebih kuat
dari biasanya, membuat Amane terkejut sesaat, tapi dia masih bisa mempertahankan
alasannya. Bagaimanapun, ia menggosok tubuh Mahiru yang tegang untuk
meringankan ketegangannya.
Amane tidak pernah menyentuh
tubuh atau perut Mahiru secara langsung, tetapi tampaknya cara Amane dengan
lembut memeluk Mahiru sudah cukup untuk mengurangi ketegangannya dan
menenangkannya.
Mahiru, yang menyandarkan
kepalanya ke lengan Amane, menghela nafas kepuasan setelah diam untuk sementara
waktu.
Di ruangan yang begitu tenang,
suara desahan mereka bisa didengar dengan jelas. Mereka berdua mendengarkan
dengan tenang suara tetesan air yang menetes dari keran dan riakan di permukaan
bak mandi karena sangat lambat menghangatkan tubuh mereka.
“... erm, Amane-kun, kamu takkan
mulai benci melakukan ini, ‘kan?” Mahiru bertanya dengan takut-takut.
Selama beberapa saat, tak satu
pun dari mereka yang mengatakan sepatah kata pun. Mereka diam-diam meringkuk
bersama sambil berendam di air, menikmati kehangatannya.
“... In-Ini sesuatu yang aku
sadari sendiri, tetapi aku merasa seperti aku telah mengacaukan dan tidak ada
satu pun yang berhasil.”
“Ah, jadi begitulah adanya.
Mana mungkin aku membencinya. Aku tahu seberapa besar kamu menyukaiku, Mahiru,
dan kamu melakukan yang terbaik untukku meskipun itu sangat memalukan bagimu.”
“Tolong jangan mengungkitnya,
ya ampun.”
“Maksudku, itu benar.”
“Ji-Jika kamu sudah menyadari
itu, lalu mengapa kamu tidak mengerti niatku ...?"
Mahiru bergumam dengan suara
yang penuh rasa malu, ketika suaranya terhuyung -huyung dengan setiap kata, dan
menyusut di antara lengan Amane lagi.
Amane bukannya tidak begitu
peka sehingga ia salah paham dengan apa yang diinginkan Mahiru maupun apa yang
diharapkannya. Namun, itu akan menyebabkan nafsunya muncul, dan jika dia benar-benar
membiarkan dirinya menyerah pada nafsunya, momentumnya kemungkinan akan jauh
lebih besar dari yang diinginkan Mahiru. Ia bermaksud untuk mengawasi
perilakunya sendiri untuk mencegah hal itu menjadi masalah.
“... Aku tidak terlalu yakin
aku bisa mengendalikan diriku sendiri, jadi aku akan bermasalah jika kamu terlalu
memprovokasiku, nona muda.”
“Meski kamu bilang begitu, tapi
kamu sudah terlihat sedikit kalem untuk sementara waktu sekarang.”
“Tidak, sama sekali tidak
begitu. Jangan ragu untuk memeriksa. “
Jika Mahiru mendekatkan
telinganya dan mendengarkan hatinya, dia akan mendengar degupan kencang dan tak
bisa disembunyikan.
Mahiru agak ragu-ragu setelah
mendengar saran Amane, tetapi kemudian menggeser dirinya untuk menghadapnya dan
meletakkan telinganya di dadanya, yang baru -baru ini mulai terlihat kencang
sebagai akibat dari latihan olahraga rutinnya.
Saat ini, Amane bisa
menyembunyikan wajahnya yang malu dengan merendam dirinya di bak mandi. Namun,
akan sulit untuk menyembunyikan detak jantungnya yang cepat. Detak jantungnya
lebih cepat dari biasanya, dan Mahiru berkedip saat dia mengangkat kepalanya.
Amane tersenyum ketika membalas
pandangannya. “Persis seperti yang kubilang, ‘kan? ... bahkan aku juga tidak
bisa menjaga ketenangaku.”
Dengan persetujuan Mahiru,
Amane mulai mandi dengan satu-satunya pacarnya. Amane ingin menyentuhnya.
Dirinya ingin menanggalkan pakaian renangnya. Dirinya ingin melangkah lebih
jauh.
Alasan mengapa Amane tidak
melakukan semua itu adalah karena dia tidak ingin menyakiti Mahiru. Dirinya
berpendapat kalau lebih baik untuk tidak bertindak begitu terburu -buru, karena
itu akan memengaruhi hubungan mereka selamanya.
“... Aku pikir ini adalah
sesuatu yang akan kamu biasa lakukan,” renung Mahiru.
“Mana mungkin lah. Tentu saja
aku ingin menyentuhmu, dan ada berbagai hal lain yang ingin kulakukan juga; Aku
hanya sedang menahan diri,” jawab Amane.
“Be-Berbagai hal...”
Mahiru tersipu malu, mungkin
tenggelam dalam imajinasinya. Amane melontarkan senyum masam saat membelai
kepalanya dan Mahiru membiarkannya melakukannya sesuka hati, menerimanya dengan
tangan lebar.
Dia
sama sekali tidak malu ketika aku menyentuhnya seperti ini, huh, pikir
Amane. Dirinya dengan lembut menepuk kepalanya sembari membelai pipinya ketika
jari-jarinya secara alami mengikuti bentuk wajahnya, menggelitiknya dengan
ujung jari.
Mahiru memejamkan matanya
perlahan dan memasang wajah santai, menyerahkan dirinya kepada Amane.
Sikapnya yang manis, namun
tidak dapat dipercaya pasti berasal dari kepercayaannya yang mendalam padanya.
Amane dengan lembut meletakkan jarinya di dagunya dan menciumnya sekali ...
tapi kemudian dengan cepat menarik ke belakang.
“Hah?”
“... Jika aku menciummu seperti
itu di sini, aku cenderung membuatmu terlalu panas, Mahiru.”
Amane ingin memberinya ciuman
yang mendalam, tetapi jika ia melakukan itu sementara tubuhnya sudah mengepul,
Mahiru pasti akan menjadi kepanasan dan mendidih.
Ciuman French kiss sendiri adalah sesuatu yang tidak pernah mereka
lakukan, dan tidak menyadari batas yang sesuai. Kalau tidak, mereka berdua akan
tenggelam satu sama lain tanpa henti.
Amane menilai bahwa itu akan
berbahaya—baik secara fisik maupun mental—m
dan memutuskan untuk menyelesaikan
mengingat bahwa situasinya meraup ketahanannya, tetapi Mahiru tampak kecewa.
“...Apa begitu?”balasnya, hampir seolah-olah dia telah mengharapkan sesuatu
yang lain.
Amane tidak bisa menahan tawa
ketika dihadapkan dengan reaksi Mahiru yang jelas-jelas yang menunjukkan
perasaannya yang sebenarnya, dan Mahiru mulai dengan ringan memukul dada Amane,
memaksanya untuk menekan senyum. Amane kemudian menelusuri bibir Mahiru dengan
ujung ibu jarinya.
Bibir Mahiru, yang lebih halus
dan lebih merekah daripada milik Amane, dibuka sedikit, tampak gemetar hanya
dengan sentuhan jari Amane.
“... apa kamu kecewa?”
“Kamu sangat kejam karena
menanyakan sesuatu seperti itu, Amane-kun.”
Sambil merajuk, Mahiru dengan
lembut memukul dadanya sekali lagi setelah diejek dan membalikkannya,
berjongkok di antara kedua kakinya lagi.
Amane tahu bahwa kalau dia
benar-benar merajuk, tapi tidak baik untuk terus mengolok-olok rasa malunya
juga. Dia segera meminta maaf dengan “maaf, maaf” dan dengan hati-hati memeluk
Mahiru, menariknya untuk mendekat lagi.
Meskipun awalnya ragu-ragu,
mengetahui bahwa ia menghadapi rasa malu yang tak terhindarkan, Amane dengan
cepat mengguncangnya dengan menggerakkan lengannya perlahan dan hati-hati saat
dia mengamankan cengkeramannya. Mahiru bergeserk lebih dekat kepadanya, dan
tangan Amane sekarang diletakkan di perutnya.
Punggung Mahiru hampir
sepenuhnya terungkap, jadi setiap kali kulit mereka saling bersentuhan, tubuh
Mahiru selalu bergetar.
Walaupun Amane bisa memahami
mengapa Mahiru gemetar, tidak ada yang bisa ia lakukan untuk mencegahnya.
Pertama-tama, Mahiru telah memasuki bak mandi seperti yang dia lakukan,
meskipun menyadari keraguan Amane, yang merupakan sesuatu yang juga diterima
Amane.
“Rasanya benar-benar hangat di
sini.”
“...Ya.”
“Apa kamu tak keberatan kalau
kita… tetap seperti ini untuk sementara waktu?” Amane mengisyaratkan bahwa dirinya
tidak akan melakukan sesuatu yang aneh padanya dan memeluk Mahiru dengan
lembut. Ketegangannya memudar dan dia dengan patuh mempercayakan tubuhnya ke
Amane.
Merasa agak lega karena Mahiru
telah mengabulkan permintaannya, Amane dengan lembut membelai perutnya yang ramping.
Mahiru menggeliat-geliat seolah-olah dia sedang merasa geli.
Bahkan ketika tidak tenggelam
dalam air seperti sekarang, kulit Mahiru tetap halus dan menyenangkan untuk
disentuh—seolah -olah semua detail yang tidak perlu sudah
disingkirkan. Terlepas dari kesempurnaannya, Amane mencatat betapa berbedanya
rasanya dibandingkan dengan kulitnya sendiri, sensasi aneh yang hanya bisa
digambarkan sebagai kelembutan seorang gadis.
Sementara dia merasa
samar-samar kebingungan, Mahiru tampaknya tidak membenci kalau perutnya
disentuh Amane. Dia dengan ringan mengetuk lengannya dengan jarinya sebagai
protes, tetapi sebagai bukti bahwa dia tidak menentangnya, Mahiru segera
beralih taktik dan mulai balas membelai Amane kembali.
Dengan percikan, Mahiru
memberlakukan balas dendam lembut terhadap lengan Amane. Tiba -tiba, namun
dengan lembut, dia berbalik, sambil terus menekan berat badannya ke arahnya.
“Amane-kun.”
“Hm? Ada apa?”
“Erm .... tentang apa yang kita
bicarakan sebelumnya.”
“Sebelumnya?”
“Itu tentang, erm ...
berciuman.”
Meskipun Amane tidak dalam
posisi untuk mengatakan ini tentang orang lain, tampaknya menggunakan bahasa
langsung bukanlah salah satu kekuatan Mahiru. Dia tergagap saat berbicara dan
suaranya terdengar begitu pelan.
“Bagaimana dengan itu?”
“... Ketika kita keluar dari
bak mandi, kamu akan melakukannya denganku, ‘kan ...?”
Setelah mendengar Mahiru
mengatakan sesuatu yang begitu menawan, Amane mengubur wajahnya ke bahunya, yang
mana tindakan itu sangat mengejutkan Mahiru. Dengan kebingungan, dia segera
mulai memukul lengan Amane dengan main -main.
“Mendadak apa yang sedang kamu
lakukan?” Mahiru bertanya.
“Jangan pedulikan aku,” lanjut
Amane, “Aku hanya berpikir kalau kamu tidak boleh mengatakan hal -hal yang
menggemaskan seperti itu. Ngomong -ngomong, kita berdua ingin melakukan hal
yang sama, jadi harap persiapkan dirimu setelah kamu meninggalkan kamar mandi.”
“Eh…? Uuu… to-tolong
berpura-pura bahwa aku tidak menanyakan itu ...”
Amane memeluk Mahiru dengan
lembut, mengetahui bahwa dia pasti akan kewalahan jika dia tidak lagi menahan
diri. Tapi, dia berpegangan erat, seolah dia tidak pernah ingin membiarkan
Mahiru pergi.
“Tidak mau.”
“Kamu sangat nakal.”
“Ya, aku persis seperti itu—
nakal.”
Amane merespons dengan bisikan
yang tenang dan lembut, dan Mahiru, tampaknya tidak dapat menanggung situasi
lagi, bergumam, “baka,” dan menepak
lutut Amane untuk mengungkapkan ketidakpuasannya.
✧ ✦ ✧
Amane merasa bahwa jika mereka
terus menempel seperti itu di kamar mandi lebih lama, dirinya akan kehilangan
akal sehatnya, jadi Amane memutuskan untuk menyebutnya cukup untuk saat ini,
dan keluar dari bak mandi.
Setelah menyelesaikan rutinitas
pencucian hariannya, Amane kemudian mengeringkan rambutnya di ruang tamu dan
menunggu kembalinya Mahiru.
Sejenak, Amane mempertimbangkan
untuk membiarkan rambutnya basah sambil menunggu, bertujuan untuk membuat
Mahiru memanjakannya lagi, tapi dirinya memiliki firasat kalau Mahiru akan
memarahinya, jadi Amane mengeringkan rambut dengan cepat sebagai gantinya.
Amane juga berpikir untuk
menunggu Mahiru di kamarnya, tetapi karena ada kemungkinan akan membuat
suasananya menjadi terlalu intens, jadi ia memutuskan untuk menunggu di ruangan
di mana mereka biasanya menghabiskan waktu bersama. Hal itu juga membantunya
untuk menyembunyikan seberapa cepat jantungnya berdetak.
Demi mencoba menyembunyikan
kegugupannya, Amane menyalakan televisi. Saat itulah ia mendengar suara yang
datang dari lorong. Amane menduga bahwa suara yang mendekatinya adalah Mahiru,
tetapi ia terlalu malu untuk berbalik untuk menghadapnya. Amane berpura-pura
terlalu asyik menonton televisi sebagai gantinya.
Setelah beberapa saat, Amane
akhirnya menatapnya ... dan merasa langsung lega pada pemandangan yang
dilihatnya. Jika Mahiru kembali mengenakan gaun tidur yang cabul, Amane akan
dengan tegas menduga bahwa dia sedang menguji ketahanannya, tetapi Mahiru
sebenarnya mengenakan baju tidur dengan cardigan yang serasi.
Baju tidurnya terbuat dari kain
halus namun mengkilap yang dipenuhi dengan bahan tipis yang memberinya pakaian
transparansi berlapis. Itu dirancang sedemikian rupa sehingga tidak
mengungkapkan lekukan yang sebenarnya dari tubuhnya, jadi itu tidak terlihat
tidak senonoh.
Baju tidurnya sendiri
ditangguhkan oleh tali dan tidak memiliki lengan baju, tetapi karena Mahiru
mengenakan kardigan yang dicampur di atasnya, hal itu tidak terlalu terbuka
seperti yang mungkin diharapkan. Sebaliknya, itu hanya membantu memperindah
sikap lugu dan polos Mahiru.
Merasa malu dengan tatapan
Amane, Mahiru sedikit bergidik, tetapi dia tidak mencoba untuk menyembunyikan
dirinya. Sebaliknya, dia dengan mantap membalas pandangannya, memandang ke
arahnya seolah -olah mengintipnya.
“Ap-Apa ini terlihat aneh
bagiku?”
“Sama sekali tidak. Pakaian itu
terlihat manis dan cocok untukmu. Aku hanya berpikir bahwa mereka berbeda dari
yang kamu kenakan saat berada di rumah orang tuaku.”
“Te-Tentu saja aku tidak bisa
memakai pakaian semacam ini di rumah orang tuamu. Erm, tapi saat ini kamu
satu-satunya yang melihatku, Amane-kun, jadi aku mencoba yang terbaik.”
Mahiru tampak gelisah ketika
dia berbicara dan duduk di sebelah Amane dengan sopan. Kemudian, dia bersandar
ke samping, dan menyandarkan tubuhnya pada Amane.
Sensasi kain tipis dipasangkan
dengan aroma segar, manis, namun tidak terlalu kuat—sedikit lebih kuat dari yang dialaminya di
kamar mandi—membuat Amane menggunakan
tegang, meskipun ia berusaha menenangkan dirinya beberapa saat sebelumnya.
Amane merasa kalau mereka
berdua hanya duduk bersebelahan. Jika dirinya memeluk Mahiru sekarang, Amane
pasti akan kehilangan dirinya karena aroma yang menawan.
“Terus terang, aku khawatir
tentang akan gimana jadinya jika kamu datang mengenakan pakaian tidur yang
tampak tidak senonoh.”
“Sebenarnya, aku sudah
memikirkan hal itu,” katanya.
“Jadi kamu sempat memikirkannya
ya ...”
“Tapi, erm ... ak-aku berpikir
bahwa jika aku terlalu... agresif dalam apa yang aku kenakan, aku mungkin
membuatmu keawalahan,” jelas Mahiru seakan membela diri, “sebenarnya, aku yakin
akan jadi begitu.” Penampuilannya yang bergumam dengan malu-malu, sejujurnya
terlalu menggemaskan. Jika bahkan ada seorang pria lajang yang mau mundur
setelah melihat tontonan seperti itu, mereka akan menjamin perjalanan ke dokter
mata terdekat.
“... Aku tidak akan terlena
dengan itu” Amane menegaskan. “Aku akan senang melihatmu memakainya demi
diriku, Mahiru.”
“Ak-Aku masih tidak akan
memakainya, oke?”
“Jadi kamu tidak memakainya,
ya?”
“Kamu ingin aku memakainya?”
“Yah begitulah. Suatu hari, yah
... kupikir aku ingin kamu memakainya. Jika Kamu pernah merasa waktunya tepat,
Mahiru, silakan tunjukkan kepadaku. ”
“... suatu hari nanti, oke?”
“Ya, suatu hari nanti. ... Jadi
untuk saat ini, kamu tidak perlu berlebihan.”
Bisa melihat Mahiru menggeliat
dengan rasa malu memang menjadi pemandangan yang lucu untuk dilihat, jadi tidak
perlu memaksanya untuk mengenakan pakaian itu ketika dia ragu-ragu untuk
melakukannya. Bagi Amane, menunggu sampai Mahiru memilih untuk memakainya karena
keinginannya sendiri menjadi faktor yang paling penting.
Amane kemudian mencoba
mengalihkan topik pembicaraan, tetapi memiringkan kepalanya ke Mahiru, karena
memperhatikan bahwa dia tampaknya ingin mengatakan sesuatu lagi. Tetapi sebagai
tanggapan atas tanggapan Amane yang anhe, Mahiru cemberut dan berkata dengan
tajam, “Bukan apa-apa.” Amane kemudian dengan lembut meraih tangannya tanpa
mengorel masalah ini lebih jauh.
Meskipun Amane hanya memegang
tangannya seperti biasa, dirinya bisa merasakan tubuh Mahiru menegang secara
singkat. Tapi begitu Amane bergerak dengan penuh kasih memeluk lengannya dengan
hati-hati dalam keheningan, ketegangannya memudar, dan dia meletakkan kepalanya
di lengannya. Mahiru meringkuk manja di dekat Amane, sama sekali tanpa terlalu
memaksa, tetapi seolah mengatakan dia tidak akan pernah melepaskannya. Amane
sebagai gantinya juga sedikit bersandar pada Mahiru.
Dengan waktu yang tepat, acara
televisi berakhir, dan suara monoton dari seorang penyiar mengalir dari TV ke
ruang tamu. Amane mendengarkan suara tersebut dengan keadaan sedikit linglung,
tidak dapat berkonsentrasi penuh pada kehangatan yang menghibur di sebelahnya.
Amane lalu mengubah caranya memegang tangan Mahiru.
Sampai sekarang, Amane hanya
menangkupkan telapak tangannya, tetapi sekarang, dirinya menjalin jari-jari
mereka bersama. Ia mencari posisi yang sempurna untuk mendekatkan jari-jarinya,
menyiratkan bahwa dia tidak akan pernah membiarkannya pergi. Jari-jemari
rampingnya, yang telah cukup hangat karena mandi, tidak menahan gerakan Amane.
Mahiru hanya mencengkeram kembali sebagai balasannya, seolah-olah merespons dengan
cara yang sama padanya.
“...Waktunya sudah cukup malam.
Ayo tidur.”
Mahiru dengan tenang dan lembut
meremas tangan Amane sekali lagi setelah mendengar kalimat yang dikatakan Amane
secara alami.
Mereka pindah ke kamar Amane
ketika mereka terus berpegangan tangan erat, dan Mahiru melihat sekeliling
sedikit saat masuk.
Mahiru sudah sering memasuki
kamar tidur Amane berkali-kali sebelumnya, jadi seharusnya tidak ada sesuatu
yang tidak terbiasa dengannya, tetapi mengingat sifat Mahiru, dia mungkin telah
menahan diri untuk tidak menyerang kamarnya pada saat-saat sebelumnya dia
berada di sana. Atau mungkin, Mahiru hanya membiarkan pikirannya mengembara,
dan melihat sekeliling ruangan untuk berhenti memikirkan apa yang akan mereka
lakukan selanjutnya.
Meskipun Mahiru menyembunyikan
niat aslinya, dia mengalihkan perhatiannya pada meja belajar Amane dan
mengeluarkan senyum kecil.
“... Sepertinya kamu sudah
merawat boneka hewanmu dengan baik, ya?”
Setelahm mengatakan itu, Mahiru
menunjuk pada boneka kucing yang pernah dia menangkan untuk Amane di arcade
selama kencan Golden Week mereka.
Meskipun mungkin terlihat tidak
pada tempatnya di kamar Amane, karena Mahiru telah bekerja sangat keras untuk
memenangkannya untuknya, rasanya akan sangat disayangkan dan sia-sia untuk
menyingkirkannya, jadi Amane memutuskan untuk membiarkannya dipajang.
Orang lain pada dasarnya tidak
pernah memasuki kamarnya, jadi Amane pikir itu tidak akan menjadi masalah
besar, tetapi sekarang Mahiru telah menunjukkannya kepadanya, jadiia merasa
sedikit malu.
“Yah, hanya sampai memastikan
bonekanya tidak berdebu. Aku tidak sama denganmu yang tidur sambil memeluk itu,
Mahiru. “
“Ap-Apa kamu meledekku?”
“Kenapa kamu bertanya? Itu sangat
lucu, jadi tidak ada alasan untuk meledekmu. Aku senangkKamu menghargai itu.”
Mahiru sangat menyukai boneka
binatang yang pernah Amane berikan padanya pada hari ulang tahunnya, dan dia
sepertinya tidur nyenyak sambil merangkulnya. Chitose, yang sesekali menginap
di rumah Mahiru, memberinya laporan terperinci tentang Mahiru yang
melakukannya, jadi itu pasti kejadian biasa.
Mahiru sepertinya merasa malu kalau
dirinya yang tertidur sambil memeluk seekor boneka binatang, karena matanya
mulai mengarah ke berbagai sudut ruangan, lalu tiba-tiba mendarat pada Amane
dengan tatapan tajam, seolah-olah sedang menyalahkannya. Namun, begitu Amane
memujinya dengan jujur, kemarahannya menghilang dan merasa tersipu.
“... Aku selalu menjaga apapun
yang kamu berikan padaku, Amane-kun.”
“Terima kasih untuk itu. ... Kamu
tidak membawanya hari ini, ‘kan? Kuma-san, maksudku. Boneka beruangmu.”
“Erm, itu karena ... aku
membawamu bersamaku malam ini, Amane-kun.”
“...Ya.”
Entah Mahiru ingin
menggunakannya sebagai bantal tubuh atau menjadi bantal tubuh, Amane tidak akan
bertanya kepadanya yang mana yang dia bayangkan. Selama Mahiru bisa memeluk sepuas
hatinya, hanya itulah yang terpenting. Demikian juga, Amane bermaksud memeluk
Mahiru sesuka hatinya.
Dirinyaa berpikir untuk segera
merangkulnya, tetapi mata Amane sekali lagi tertarik pada boneka kucing yang
dipajang di sisi Mahiru. Mata bundar mainan yang besar, namun tanpa emosi
terasa seperti menatapnya dengan seksama, ketika Amane sedang memikirkan
bagaimana ia bisa mendekatkan Mahiru.
Situasi ini mengingatkan pada seorang
anak yang mendadak muncul saat orang tua mereka sedang berhubungan intim, dan pemikiran
ini membuat Amane merasa malu. Aneh dan asing, itu adalah perasaan yang belum
pernah dirasakan Amane sebelumnya, mengingat bahwa hubungannya dengan Mahiru
belum berkembang sejauh itu. Namun, dirinya tidak bisa menahan diri untuk
merasakan hal seperti itu, terlepas dari keanehan sentiment tersebut. Tanpa
berpikir, Amane diam-diam meraih selimut yang tergeletak di kursinya dan
menggunakannya untuk menutupi boneka kucing.
“...Apa ada yang salah?” tanya Mahiru.
“Ya-Yah, aku merasa seperti aku
tidak bisa bersantai sekarang, sementara itu mengawasi aku ... itu saja,” jawab
Amane.
Meskipun tahu kalau boneka
binatang itu tidak bisa melihat mereka, karena alasan yang tidak dapat
dijelaskan, Amane tidak bisa menahan diri untuk berpikir bahwa itu akan buruk
bagi hal itu untuk dapat melihat apa yang akan terjadi selanjutnya—atau lebih
tepatnya, apa yang hendak Amane lakukan kepada Mahiru.
Tentu saja, Amane tidak bermaksud
untuk mengembangkannya pada titik di mana ia akan kehilangan kewarasannya
sendiri, tetapi meskipun demikian, ia ragu-ragu untuk memberi Mahiru jenis
perhatian yang biasa dilakukan sepasang kekasih di hadapan tatapan murni boneka
kucing itu.
“Fufu. Rupanya kamu juga
khawatir tentang hal itu, bukan, Amane-kun?”
“Diam.”
“Bagian dari dirimu itu agak
lucu, tau?”
“Memangnya itu yang bisa kamu
katakan saat amu tidur sambil memeluk Kuma-san?”
“Aku pikir kita sudah selesai
membicarakan hal itu, ‘kan? Ya ampun! ”
Amane terkekeh dan menerima
Mahiru, yang kesal dengan topik yang dibesarkan lagi. Jelas, ini sepertinya
tidak cocok dengannya, karena dia menekan tangannya yang bebas ke sisi Amane—
meskipun dalam pukulan yang paling lembut.
Alhasil, pukulannya tidak
memberi dampak sama sekali. Sebaliknya, sensasi menggelitik yang menyenangkan
yang ditimbulkannya hanya menambah pesona protes Mahiru.
Sementara upaya lucu Mahiru
pada serangan balik adalah upaya untuk menyembunyikan rasa malu, dia hanya akan
menggunakan pembalasan fisik ketika berkaitan dengan Amane. Dirinya mengerti
bahwa itu hanya karena dia akan membalas dendam dengan menyentuh seperti itu,
jadi Amane tidak punya niat untuk menolaknya atau membencinya.
Mahiru melanjutkan rentetan
meninju lembutnya di dada Amane untuk sementara waktu, tetapi kemudian
memberinya pandangan yang sedikit kesal, karena ia benar-benar tidak
terpengaruh. Amane tersenyum dan menangkap tangan Mahiru, yang secara longgar
mengepalkan tangan.
Hal yang dilakukan Amane selanjutnya
adalah menjalin jari-jemari mereka bersama-sama, yang memungkinkan telapak
tangan mereka saling menekan.
Mata Mahiru melebar pada momen
ini, lalu pipinya memerah dengan samar-samar saat dia menundukkan pandangannya
ke lantai. Amane tahu bahwa dia tidak menentangnya, jadi ia meremas telapak
tangannya dengan lembut dan mengantarnya lebih jauh ke kamar tidur dengan
tangan.
Mahiru duduk di tempat tidurnya
tanpa perlawanan apa pun, dan menuruti panduan Amane.
Amane memandang Mahiru, dan
agak tidak mengejutkan, terlepas dari kerjasamanya, melihat sedikit kejutan
yang berlama-lama di wajahnya. Setelah melepaskan tangannya, Amane duduk di
sebelah Mahiru—— dan memeluknya dengan lembut, sebelum melanjutkan.
“... erm, apa kamu tak
keberatan kalau kita melanjutkan mengenai tadi yang..., di kamar mandi?”
“Y-Ya.”
Amane telah memintanya untuk
konfirmasi, dan sebagai imbalannya, Mahiru memberinya lampu hijau dengan nada
kecanggungan dalam suaranya.
Aku
tidak berpikir dia tidak menyukainya, tetapi dia jadi sangat gugup sekarang, pikir
Amane, tetapi semuanya sudah terlambat untuk berhenti sekarang, jadi Amane
dengan lembut mengangkat dagu Mahiru dan dengan penuh kasih menggigit bibirnya.
Amane tidak yakin apa Mahiru
sudah terbiasa sedikit, tetapi paling tidak, pipi Mahiru tidak langsung
berkobar dengan hasrat atau nafsu.
Sisi menggembirakannya adalah
sukacita yang tenggelam sejauh mungkin, cinta yang mengancam akan
menenggelamkannya, dan euforia yang menyalakan kehangatan di hatinya. Dorongan
Amane untuk menyelimuti Mahiru dengan lembut dan menghargainya lebih kuat
daripada keinginannya untuk menerkamnya, dan pelan-pelan , secara perlahan, ia
menekan bibirnya ke Mahiru, sambil berhati-hati dalam upaya untuk menenangkan
ketegangannya.
Mereka merasa seolah-olah akan
meleleh menjadi satu makhluk, meskipun mereka hanya saling menempelkan bibir
mereka satu sama lain, dan ketika Amane mematuk bibirnya untuk menikmati
sensasi yang halus, dia bisa mendengar suara samar tawa geli Mahiru.
Itu adalah suara yang tidak
bisa didengar oleh orang lain— suara yang hanya bisa didengar mereka saja.
Amane ingin mendengar lebih
banyak suaranya, jadi ciuman mereka, yang hanya menjadi gigitan bibir yang
samar sampai sekarang, berubah menjadi semakin intens. Semakin lam mereka
berciuman, lidah mereka saling merangsek masuk lebih dalam, seolah-olah mencari
panas di dalam satu sama lain, dan hubungan mereka semakin kuat. Dengan berbagi
panas, saling mencium dengan sungguh-sungguh seperti ini adalah sesuatu yang
belum pernah mereka dapatkan, tetapi meski demikian, Mahiru tentu saja menerima
Amane.
Setiap kali suara manis dan
teredam yang terdengar seperti terjebak di tenggorokannya bocor dari sudut mulut
Mahiru, Amane merasakan gelombang gairah yang bahkan tidak bisa digambarkannya.
Dirinya sadar bahwa apa yang
dia lakukan itu sederhana, tapi sekarang setelah sampai sejauh ini, perasaan
seperti demam terus menumpuk, dan momentum Amane membangun seolah-olah ada
sesuatu yang mendorongnya dari belakang.
Kekakuan tubuh ramping Mahiru
telah lama menghilang. Bahkan, dia bersandar pada tubuh Amane dengan ringan,
seolah-olah kekuatannya telah tersedot. Pemikiran tentang anggota tubuhnya yang
lembut menyentuhnya melalui baju tidurnya yang tipis membuat Amane tak berdaya,
penuh kerinduan, dan penuh semangat, meraih tangan Mahiru.
Ketika Amane menyentuh
pinggulnya melalui baju tidurnya dengan tangan yang telah dia peluk dengannya,
Mahiru sedikit gemetar, reaksi yang hanya bisa diperhatikan oleh Amane, yang
menciumnya.
Amane dengan lembut membelai
pinggulnya dengan telapak tangannya, dan hanya dengan gerakan itu saja sudah
membuat tubuh Mahiru berkedut dan sedikit menggeliat. Tidak ada tanda-tanda dia
melarikan diri. Dia hanya melakukan invasi telapak tangan Amane.
Fakta tersebut memicu hasrat
batin dan keinginannya.
Telapak tangan Amane secara
alami melonjak ke tubuh Mahiru, dan hampir karena secara naluriah, badan Mahiru
bergetar jauh sebelum Amane mencapai sesuatu yang benar-benar sensitif.
Tiba -tiba, Amane menyadari apa
yang akan dia lakukan. Dirinya berhenti menggerakkan telapak tangannya dengan
tergesa -gesa dan berhenti menikmati bibirnya untuk menciptakan jarak antara dirinya
dan Mahiru. Dia mengubur wajahnya di dada Amane atas kemauannya sendiri.
Wajahnya benar-benar memerah, dan berlinang air mata.
Tangan Mahiru, yang menurut
Amane akan mendorongnya, ditempatkan di atas tangannya. Seolah-olah dia
mengatakan kepadanya untuk tidak melepaskan tekanan lembut telapak tangannya
yang halus.
“.. erm, aku tidak bermaksud
untuk menarik kembali apa yang aku katakan sebelumnya ... ketika aku meminta
untuk menginap.”
Suara yang sedikit teredam
muncul dari dalam dadanya setelah menenun kata-katanya dengan hati-hati, tetapi
kali ini giliran Amane yang menegang.
Tatapan matanya bertemu Mahiru
saat dia meliriknya.
Wajah Mahiru tanpak merah padam
karena ciuman mereka, dan dalam ekspresinya, Amane bisa melihat bahwa dia
memohon padanya untuk tidak berhenti. Pupil matanya yang berwarna karamel
sangat basah, karena dia dengan gugup mengamati langkah Amane berikutnya,
sehingga dia tampak seperti akan mulai berlinangan air mata manis setiap saat.
Amane menelan keras tanpa
berpikir.
Mahiru mungkin akan—tidak, pastinya—menerima
apa yang akan dilakukan Amane. Saking menerimanya, bahwa bahkan jika itu
berarti menyerahkan sesuatu yang berharga, sesuatu yang hanya bisa diserahkan
oleh Mahiru, Amane percaya bahwa dia akan menerima keinginannya dan dengan
senang hati menawarkannya kepadanya.
Itu menunjukkan seberapa besar
Mahiru memercayainya—seberapa besar dia mencintai
Amane.
Bahkan Amane memiliki harga
diri.
Apa itu benar-benar hal yang
tepat baginya untuk menanggapi kepercayaannya, dan cintanya, dengan melanjutkan
perkembangan ini?
Segala macam pikiran yang saling
bertentangan berputar-putar di dalam pikirannya. Keinginan yang dengan penuh
semangat mendesak tubuhnya dan keinginan untuk mencintainya dari lubuk hatinya.
Kedua perasaan ini berselisih dalam benaknya, menghancurkan kewarasannya.
Mahiru bergidik ketika Amane
menghembuskan napas.
Dia jelas-jelas menyerahkan
segalanya kepada Amane tentang apa yang akan terjadi selanjutnya, jadi dia
merasa antisipasi dan kecemasan memikirkan akan kemana kelanjutannya.
Wanita sering tidak punya
pilihan selain menerima dampak situasi seperti ini, karena tubuh mereka
cenderung kecil dan lemah. Dan, jika sesuatu terjadi, mereka akan menjadi orang
yang membawa beban.
Usai mempertimbangkan itu,
Amane sudah mendapat jawaban yang jelas.
“Yah, kamu tahu…:
“Y-ya?”
“Adapun perasaanku, aku ingin
menjadikanmu menjadi milikku, Mahiru.”
“...Ya.”
Sedangn berapa lama Amane telah
menunggu hari yang akan datang ketika dia dan Mahiru akan bersatu, dirinya
mungkin tidak tahu.
Tidak peduli seberapa banyak
Amane akan diejek atau ditertawakan oleh Itsuki dan yang lainnya karena
keputusannnya ini, ia berjuang untuk mempertahankan kendalinya, bahkan mengetahui
bahwa dirinya secara alami memiliki nafsu birahinya sendiri, dan bahkan
memimpikan hal itu sebelumnya. Sejak mereka mulai berpacaran, Amane mengalihkan
perhatiannya dengan delusi kasar untuk menghibur dirinya sendiri, meskipun rasa
bersalah yang sangat dia rasakan saat melakukannya.
Meski begitu, alasan Amane ragu-ragu
untuk melangkah melebihi batas adalah sepenuhnya karena ia memperbaiki
tujuannya di masa depan.
“...Tapi kamu tahu. Erm, aku masih
belum cukup umur untuk mengambil tanggung jawab, dan jika ada sesuatu yang terjadi,
kamulah yang akan menjadi orang yang bermasalah. Yah, tentu saja aku akan
bertanggung jawab jika sesuatu memang terjadi, tapi bukan berarti aku bisa
menjanjikan hubungan yang pasti secara hukum.”
Hanya ada satu cara baginya
untuk bertanggung jawab.
Satu -satunya masalah adalah
bahwa, sesuai aturan hukum, seseorang tidak bisa menikah sampai mereka berusia
delapan belas tahun.
Jika kecelakaan terjadi ketika mereka berhubungan intim, seorang bayi
akan dilahirkan selama masa mereka sebagai pelajar SMA. Tidak peduli berapa
banyak pengetahuan yang Amane peroleh dan berapa banyak penanggulangan yang
harus diambil, itu hanya akan mengurangi kemungkinannya saja, bukan
menghilangkannya.
Jika itulah yang terjadi, itu
akan mempengaruhi kehidupan Mahiru di masa depan, dan mungkin ada orang yang
akan menggunjing dirinya. Amane hanya akan menyakitinya. Pada gilirannya, ada
kemungkinan bahwa Mahiru akan menyerah pada harapan dan impian masa lalunya
sendiri untuk hidupnya sendiri.
Mana mungkin Amane tega
mengorbankan masa depan Mahiru hanya demi bisa memuaskan dorongan sesaat ini.
“Justru karena aku mencintaimu,
Mahiru, aku ingin mengutamakanmu. Di masa depan, begitu kamu menemukan hal-hal
yang ingin kamu lakukan atau pelajari, aku tidak ingin mengganggu tujuan
tersebut. Kita akan menghabiskan banyak waktu bersama mulai sekarang, dan
mengingat itu, aku pikir hidupmu tidak boleh ditentukan oleh perasaan dan
keinginan satu momen saja sekarang.”
“...Jadi begitu.”
“Aku sepenuhnya siap untuk
menghabiskan sisa hidupku bersamamu, Mahiru. Hanya saja, aku ...”
“Aku sama sekali tidak
keberatan jika kita melangkah lebih jauh dari ini, tau?”
Amane pikir Mahiru yang menyela
perkataannya akan memanggilnya pengecut, tetapi dia memberinya senyum yang
polos, seolah-olah dia bermasalah dan diberkati dengan kebahagiaan yang tidak
terduga.
“Aku memahami bahwa kamu sangat
mempertimbangkanku, Amane-kun, dan bahwa kamu sangat mencintaiku. Untuk
dihargai sebanyak ini ... Aku sangat, sangat bahagia. "
Mahiru, yang terkikik seolah-olah
dia merasa puas dari lubuk hatinya, dengan ringan mencium Amane dan tersenyum
sekali lagi ketika wajah mereka hampir tersentuh.
“... Aku menyukai sisimu yang
begini, Amane-kun ... dari lubuk hatiku!”
Kali ini, Amane yang mencium
dengan penuh kasih sayang padanya, seorang gadis cantik yang senyumnya dipenuhi
dengan lebih banyak kebahagiaan daripada orang lain, ketika dia sekali lagi
membungkus tubuh kecilnya di dalam pelukannya.
“Bisakah kamu menunggu sampai aku
bisa bertanggung jawab?”
Tampaknya sadar akan konflik
batin Amane, Mahiru menundukkan pandangan matanya sedikit sebelum mengangguk
dengan senyum malu-malu dan menyelam jauh ke dada Amane.
Mahiru tidak diragukan lagi
disambut oleh suara jantung Amane yang berdegup keras.
“Lalu, aku akan menjaga
baik-baik diriku sampai saatnya tiba,” Mahiru mengumumkan dengan suara yang
begitu lembut dan penuh kepuasan sehingga siapa pun dapat mengatakan bahwa dia
dengan sepenuh hati sangat gembira. Kemudian dia mendongak sedikit dari dada
Amane dan menunjukkan kepadanya senyum yang benar-benar penuh kebahagiaan.
Amane memeluk Mahiru lagi dan
berbisik, “Aku akan memastikan untuk menghargaimu,” dan dengan lembut merasakan
panas yang menghibur dan kelembutan tubuhnya.
Tentu saja, Amane tidak
menyesali pilihannya. Dirinya sama sekali tidak berbohong tentang keinginan untuk
merawatnya dengan baik. Ia sepenuhnya siap untuk membuatnya bahagia selama sisa
hidupnya.
Meski demikian, tubuhnya tidak
sanggup menahan reaksi biologis, jadi Amane ingin Mahiru memberinya sedikit
pengampunan—— hanya sekali ini saja.
“...Hei.”
“Ya?”
“Bisakah aku mengatakan sesuatu
yang memalukan?”
“Silakan saja. Sebagai orang
yang aku sukai, aku akan menerima sisi kerenmu, sisi memalukanmu, dan setiap
permintaanmu.”
Meskipun ia secara halus
bingung oleh sikap toleran Mahiru, Amane menciumnya di tengkuknya, menguatkan
dirinya, dan mulai berbicara.
“... yah, kamu tahu ... boleh aku
menyentuhmu? …Hanya sebentar saja.”
Amane tidak punya niat untuk
menyia-nyiakan tekadnya. Tidak mungkin ia akan melanggar sumpahnya.
Ia hanya ingin Mahiru
membiarkannya sedikit meringankan keinginan yang bergerumul di dalam kepalanya.
Mahiru tampaknya tidak
mengharapkan permintaan Amane, dan matanya berkedip dan mengerjap, sebelum wajahnya
menjadi merah padam kembali.
Namun, itu bukan warna
penolakan, tetapi persetujuan, dan setelah menatap Amane dengan malu, dia terus
menatapnya.
“...To-Tolong, lakukanlah
dengan lembut.”
Amane dengan bodohnya berpikir
bahwa bahkan ada sedikit antisipasi dalam suaranya yang berbisik. Namun
demikian, Amane menggigit kegembiraannya pada penerimaannya, dengan lembut
meraih tangan Mahiru dan menjatuhkan tubuhnya ke atas tempat tidur.