Bab 2 — Tekad
yang Kuat untuk Menjaganya
Amane tertidur sambil memeluk
Mahiru tadi malam, tapi ketika ia terbangun keesokan paginya, Mahiru sudah
tidak ada lagi di dalam rangkulannya.
Ia melihat sekelilingnya
perlahan-lahan, mengangkat kelopak matanya yang berat, dan satu-satunya jejak
kehadiran Mahiru adalah ruang kosong di sebelahnya... Atau begitulah yang
dipikirkan Amane sejenak, sampai ia menyadari sesuatu yang aneh. Entah kenapa,
ada sebuah boneka kucing yang diletakkan di tepi tempat tidur, sedang menatap
ke arahnya.
Boneka binatang itu, yang Amane
tutupi dengan selimutnya pada malam sebelumnya, kini berada di sampingnya,
mungkin karena ulah seseorang. Matanya yang bulat dan lebar tampak mengesankan
seperti biasanya.
Amane melihat pantulan dirinya
dalam mata boneka itu dan menyadari bahwa ia terlihat cukup segar. Tetapi,
tiba-tiba, ia teringat akan apa yang terjadi pada malam sebelumnya, dan
gelombang rasa canggung serta malu menghantamnya. Amane kemudian memalingkan
wajah mainan itu ke arah dinding.
(...
Dia sangat menggemaskan.)
Seiringan dengan janjinya dan
keinginan Mahiru, Amane hanya mengizinkan dirinya untuk menyentuhnya dengan
lembut. Namun, meski begitu, hal itu tetap saja cukup merangsang bagi Mahiru,
karena Amane menunjukkan sisi lain dari dirinya yang tidak dia ketahui.
Suara lemah dan bernada tinggi
yang menggema di seluruh rumah, keringat yang menetes di kulit Mahiru yang
memerah, sensasi lembut saat menyentuh kulit itu, sangat berbeda dari milik
Amane, matanya yang meleleh dengan rasa percaya dan antisipasi yang manis— semuanya
telah terukir dengan jelas di benak Amane, dengan manis menguji kewarasannya.
Bahkan sampai sekarang.
Kalau dipikir-pikir, dmau tak
mau Amane merasa kalau dirinya seperti tidak waras semalam, tapi setidaknya,
Amane bisa menjamin bahwa dia tidak mengingkari janjinya dengan apa pun yang
dia lakukan setelahnya. Namun, ada benarnya juga kalau Amane hampir membuatnya
gelisah tak karuan.
Kepala Amane mulai terasa sakit
hanya karena mengingat kembali apa yang telah terjadi, rasa malu karena
kenangan itu segera merayapinya. Ia mencoba untuk menyingkirkan semua itu,
tetapi ketika ia berdiri, Amane mendengar suara pintu berderit.
“... Apa kamu sudah bangun?”
Mahiru menjulurkan kepalanya
dari celah pintu, dan dilihat dari celemek yang dipakainya, spetinya dia juga
sudah menyiapkan sarapan mereka. Mahiru telah berganti pakaian terlebih dahulu
dan mengenakan pakaian kasual di balik celemek itu.
Wajar saja jika Mahiru sudah berganti
pakaian, mengingat baju tidurnya sudah kusut, tapi Amane tidak bisa menyangkal
bahwa ia ingin melihatnya mengenakannya lebih lama lagi. Meskipun karena dia
sudah sering menatapnya di malam sebelumnya, ia tidak bisa mengeluh. Dengan
suara yang agak serak, ia menjawab, “Selamat pagi.”
Mahiru tersipu sejenak saat
bertatapan dengannya, tapi dia tidak kabur dari tatapannya. “Sarapan sudah
siap, jadi silakan ganti baju dan cuci mukamu terlebih dulu.”
“... Aku akan melakukannya.”
Perkataan Mahiru membuat
jantung Amane berdebar, membuatnya terdengar seolah-olah mereka sudah hidup
bersama dalam arti yang sebenarnya. Namun, karena Mahiru benar-benar datang ke
rumahnya setiap hari, hingga tepat sebelum dia tidur, mereka jelas sudah
setengah jalan.
“Hari ini sarapannya apa?”
“Aku sudah menyajikan makan
nasi dengan dashimaki telur dan sup
miso, kinpira gobou yang sudah jadi,
dan tahu dingin dengan salmon beku.”
“Sungguh sarapan yang mewah di
pagi hari. ... Rasanya seperti sedang bermimpi.”
“Bukannya itu sedikit
berlebihan? Jika kamu masih mengantuk, aku bisa membantu membangunkanmu.”
Mahiru memasuki kamarnya dari
lorong dan mencubit pipinya, saat dia berjalan menghampirinya. Walaupun mungkin
lebih tepat dikatakan kalau Mahiru datang untuk bersentuhan daripada
membangunkannya, karena cubitannya tidak sakit sama sekali.
Mahiru tampak puas dengan
meremas pipinya, dan Amane merasakan kehangatan dan kebahagiaan yang muncul
dari dalam dirinya, seakan-akan ada seberkas sinar matahari yang menyinari
dadanya. Amane mengulurkan tangan dan dengan lembut mengusap tengkuknya,
mencubit kerah bajunya dengan lembut dan mengangkatnya.
Di sekitar pangkal leher
Mahiru, tempat Amane menyentuhnya, terdapat tanda merah kecil, mengingatkan
pada bunga kamelia yang jatuh di atas salju yang berkilauan, yang tersembunyi
dengan rapi oleh pakaiannya beberapa saat yang lalu.
Itu adalah pemandangan yang
samar-samar dan tidak mencolok, yang akan disembunyikan oleh seragam
sekolahnya, tetapi bagi orang yang bertanggung jawab atas hal itu, itu adalah
hal yang cukup menarik untuk dilihat.
Hanya mereka berdua yang
mengetahui rahasia tersembunyi di balik satu lapis pakaian ini.
“... Kita harus menyembunyikannya
untuk sementara waktu.”
“Se-Sejak awal ini semua karena
salahmu, Amane-kun.”
“Aku benar-benar minta maaf
tentang hal itu.” Dia segera meminta maaf. “... Aku tidak bisa mengendalikan
diriku sendiri…”
Secara rasional, Amane tahu bahwa
Mahiru akan merasa bermasalah jika ia membuat tanda cupang di suatu tempat yang
bisa dilihat orang, tapi iblis yang berseliweran di bahu Amane waktu ingin
menodai salju segar yang merupakan kulit mulus dari Tenshi-sama, dan akibatnya,
tanpa sadar ia mendekatkan bibirnya pada permukaan leher Mahiru yang mulus.
Mahiru dengan cepat membetulkan
pakaiannya, terdiam saat wajahnya memerah bahkan melebihi tanda cupang itu
sendiri. Jika Amane terlalu sering mengingatkannya tentang kejadian semalam, Mahiru
pasti akan mengabaikannya untuk sementara waktu. Tidak dapat disangkal bahwa
dia adalah orang yang mengungkapkan lebih banyak tentang dirinya yang pribadi,
tetapi Amane tidak akan menekan masalah ini, jangan sampai ia dipaksa untuk
melewatkan sarapan. Selain itu, Amane tetaplah Amane, bahkan mandi air dingin
yang membeku takkan cukup untuk mendinginkan dirinya sendiri setelah mengingat
kejadian semalam.
“Po-Pokoknya, cepatlah berganti
pakaian. Kamu bisa mendinginkan kepalamu dengan mencuci muka,” saran Mahiru
meski dia sendiri merasa malu.
“... Kurasa kamulah yang perlu
menenangkan diri.”
“Apa kamu mengatakan sesuatu?”
“Tidak, aku tidak mengatakan
apa-apa ....”
Amane cemberut pelan saat
Mahiru melotot sedikit padanya, pipinya jelas lebih panas dari pipinya sendiri,
dan kemudian ia meraih ujung kemeja yang ia kenakan, memberi tanda bahwa ia
akan berganti baju.
Mahiru segera menjerit imut ‘Hyah!’ dan bergegas keluar dari
kamarnya dengan kecepatan tinggi. Amane hanya bisa tertawa kecil melihat hal
ini, memikirkan perbedaan tingkah laku Mahiru.
(Padahal
tadi malam dia sampai sangat penasaran)
Dengan wajah memerah dari ujung
kepala sampai ujung kaki, Mahiru dengan kikuk berjalan mundur dengan
tergesa-gesa. Reaksinya yang terlalu malu itu sampai sulit dipercaya bahwa dia
adalah kekasih yang sama yang telah berbagi begitu banyak pengalaman dengannya
secara tertutup. Amane kemudian berganti pakaian kasualnya, bahunya bergetar
dengan tawa terkekeh-kekeh.
✧ ✦ ✧
Amane menghabiskan sarapan yang
dibuatkan Mahiru untuknya dan beristirahat di sofa, tapi ada yang aneh dengan
cara Mahiru yang duduk di sampingnya.
Biasanya, mereka akan duduk
dengan jarak yang cukup dekat untuk saling bersentuhan tanpa harus meringkuk,
tapi hari ini ada sedikit jarak di antara mereka, dan Mahiru bertingkah
canggung. Setiap kali ia mencoba memegang tangannya, tubuhnya akan bergetar
dengan gerakan seperti hewan kecil yang ketakutan, sampai-sampai Amane mulai
merasa sedikit bersalah.
“... Ehmm, aku merasa ada jarak
yang sangat jauh di antara kita.”
“T-Tidak, ehm, mau bagaimana
lagi. Ini semua salahmu, Amane-kun. Lagipula, kamu terlalu banyak menyentuhku
semalam... yah, tentu saja aku tidak akan bisa mengalihkan pikiranku dari hal
itu hari ini.”
Saat mereka makan, mereka
berinteraksi satu sama lain secara normal, meski dengan sedikit canggung.
Tetapi sekarang, setelah mereka duduk bersebelahan lagi, Mahiru menjadi sadar
diri, seakan-akan teringat dengan segala sesuatu yang telah mereka lakukan pada
malam sebelumnya. Untungnya bagi Amane, tidak ada tanda-tanda kalau Mahiru
tidak senang dengannya sama sekali, meskipun pipinya memerah dan pandangan matanya
tertunduk.
“Yah, erm, aku harus mengakui
kalau itu salahku,” jawab Amane dengan ragu-ragu. “Apa kamu... tidak
menyukainya?”
“A-Aku tidak bilang kalau aku
tidak menyukainya, dan aku menerimanya, jadi ... A-aku senang. Tapi bukan itu
yang kumaksud. Rasanya tetap memalukan, dan ketika kita duduk bersama seperti
ini, aku teringat akan semua itu dan aku merasa malu.”
“Begitu... ya. ... Bukannya itu
tidak membuatku malu juga, tapi... lebih dari itu, aku hanya ingin bersamamu.”
Tentu saja, Amane berbohong
jika ia mengatakan bahwa ia tidak merasa malu sama sekali.
Semakin Amane memikirkannya,
dirinya semakin merasa malu dengan rahasia yang mereka berdua miliki, dan
semakin ia ingin menggeliatkan badan karena fakta bahwa ia telah melakukan
hal-hal yang biasanya tidak terbayangkan. Meski demikian, ketika ia
memikirkannya, kehangatan, sensasi, semuanya kembali teringat di kepalanya, dan
itu membuatnya menginginkan Mahiru lagi.
Mengingat hal itu, alasan
mengapa Amane bisa relatif tenang mungkin karena janji yang dia buat tadi malam
sepenuhnya terkubur jauh di dalam hatinya, dan fakta itu sendiri berfungsi
sebagai bendungan yang menahan perasaannya yang meluap-luap.
“Ke-Kedengarannya seperti hanya
aku yang merasa malu jika kamu mengatakan itu. Ya ampun.”
“... Jadi, kita tidak bisa
berpelukan?”
“Aku tidak pernah bilang tidak
boleh,” jawab Mahiru. Kemudian sambil bergumam pelan, “Itu sangat tidak adil,” dia
menutup jarak yang telah diciptakannya sampai sekarang dan duduk cukup dekat
agar mereka bisa bersentuhan sekali lagi.
Aroma Mahiru tercium di udara
saat dia mendekat, dan bercampur dengan aroma yang biasa dia gunakan adalah
pelembut yang cenderung digunakan Amane, yang membuatnya merasa sedikit malu.
(...
Senang rasanya mencium aroma pacarmu sendiri.)
Mungkin Amane hanya tidak terlalu
menyadarinya, tetapi aroma badan Mahiru hampir sama dengan aroma Amane untuk
sementara waktu sekarang. Bermalam seperti ini, dia diingatkan sekali lagi
bahwa itu menjadi hal yang wajar bagi Mahiru untuk perlahan tapi pasti
menghangatkan dirinya dan ingin tetap berada di sisinya, dan pikiran itu
menghangatkan hatinya.
Fakta bahwa satu-satunya
harapan Amane adalah agar ia bisa lebih dekat dengannya membuatnya sangat sadar
bahwa ia benar-benar terpesona oleh Mahiru.
“... Ehm, kalau dipikir-pikir,
Shihoko-san dan Shuuto-san ada di hotel sekarang, ‘kan?”
Mahiru yang pemalu bertanya
dengan lembut saat Amane menggenggam tangannya. Ia tersenyum pada kehangatan
dan kenyamanan yang diberikannya.
“Hm? Ya, itu benar. Mereka bilang
mereka akan datang lagi siang ini. Namun waktunya terasa aneh. Itu membuatku
takut.”
Shihoko dan Shuuto telah berusaha
keras untuk memesan hotel selama mereka tinggal meskipun apartemen Amane adalah
pilihan yang layak dan nyaman bagi mereka berdua.
Jika mereka berdua menginap di
apartemennya, kejadian semalam dengan Mahiru tidak akan terjadi, jadi itu
bukanlah hal yang buruk bagi Amane pada akhirnya, tapi ia memiliki perasaan
campur aduk tentang bagaimana semuanya berjalan.
“Ngomong-ngomong... Ah—” Amane
tiba-tiba teringat sesuatu. “... Rasanya akan memalukan jika kamu mengatakan
pada mereka apa yang kita lakukan, jadi tolong rahasiakan itu, oke.”
“Y-Ya.”
“Aku takut mereka akan
mengetahui apa yang kita lakukan, dan itu hanya akan memperburuk
kesalahpahaman... Aku lebih suka jika Ibu tidak berlebihan, jadi tolong jangan
sembarangan mengatakan sesuatu.”
“Te-Tentu saja, oke?”
“Aku masih meragukan hal itu,
Mahiru. Akhir-akhir ini, kamu jadi sulit menahan pikiran batinmu di depan umum.
Bahkan jika kamu mencoba menyembunyikannya, dia mungkin bisa mengetahuinya dan
menjadi bersemangat dengan sendirinya, loh?”
Setelah mereka mulai
berpacaran, Mahiru, yang secara bertahap menunjukkan jati dirinya di sekolah,
mulai tersenyum dan mengekspresikan emosinya secara lebih alami daripada
sebelumnya. Dia tidak lagi menyembunyikan emosinya, tetapi dia menjadi sangat
mudah dibaca oleh orang-orang yang dekat dengannya.
Terlebih lagi jika orang yang
dimaksud adalah Shihoko. Mahiru telah benar-benar terbuka padanya dan mereka
cukup dekat , tetapi hubungan mereka yang erat bisa menjadi bumerang baginya
kali ini.
Shihoko sangat senang dengan kehadiran
Mahiru ke dalam kehidupan Amane, sampai-sampai dia mengawasi perkembangan
hubungan mereka seperti elang. Tidak menutup kemungkinan bahwa dia akan
menyadari bahwa ada sesuatu yang terjadi dan dengan berani menunjukkannya,
menyebabkan Mahiru mengungkapkan semuanya. Amane lebih suka agar dia tetap
waspada.
“Ya ampun, Amane-kun. Aku rasa
kamu tidak seharusnya membicarakan ibumu seperti itu...”
“Tapi faktanya dia memang
cenderung berlebihan.”
“...Meskipun aku tidak bisa
menyangkal hal itu, dia tetaplah orang yang baik dan penuh perhatian.”
“Itu cerita yang berbeda. Aku
tidak suka bagaimana Ibu menyeringai padaku.”
Bahkan calon anak perempuan
Shihoko pun tidak dapat menyangkal kecenderungannya untuk bersikap berlebihan,
tetapi Amane memahami sudut pandang Mahiru. Amane menyayangi Shihoko baik
sebagai pribadi maupun sebagai ibunya, tapi ia tidak bisa menyangkal
kemungkinan besar Shihoko akan terbawa suasana, mengorek atau ikut campur, dan
ia tidak pandai menghadapi semua itu.
“Aku tahu. ... E-Eerm, sekarang,
aku tidak ingin... mengatakannya pada siapapun dulu.”
“... Ya.”
Jelas sekali kalau Mahiru tak
berniat untuk memberitahu Chitose, dan matanya berkaca-kaca karena malu. Pipinya
sedikit memerah, perkataannya itu kembali membuatnya mengingat pada kejadian semalam.
Matanya melirik ke sekeliling seolah-olah dia tidak tahan untuk menatap Amane.
Meski begitu, fakta bahwa dia
menolak untuk melepaskannya membuat Amane merasakan kekuatan cinta Mahiru.
“... Shihoko-san dan Shuuto-san
akan datang siang ini, kan?”
“Ya, itulah yang aku dengar...
Memangnya ada apa?”
Amane memiringkan kepalanya
sedikit, secara halus menanyakan apakah ada masalah dengan hal tersebut, tetapi
dadanya sedikit berdenyut saat Mahiru menoleh ke arahnya dengan mata lembab.
"T-Tidak, erm, ak-aku hanya
berharap kalau hanya kita berdua saja untuk sementara waktu.”
Wajah Amane tampak santai saat dia
terus mengatakan hal-hal yang lucu. Dirinya lalu sedikit menggoda Mahiru, dan
menjawab, “Bukannya setiap hari kita selalu berduaan saja?”
“I-Itu benar, tapi... Eerm,
hari ini... spesial.”
Hari ini adalah hari dimana
Mahiru menerima Amane dari lubuk hatinya yang paling dalam. Mereka telah
berbagi kehangatan bersama, dan berkomitmen lebih banyak lagi satu sama lain. Hari istimewa yang Mahiru sebutkan, juga
istimewa bagi Amane dengan cara yang sama.
“... Kamu benar. Mari kita
bersantai dulu sampai mereka tiba.”
“Ya.”
Meskipun begitu, rasanya masih
memalukan untuk memikirkan momen spesial itu sekali lagi. Amane tersenyum
tipis, kemudian dengan lembut meraih tangan Mahiru, dan menenggelamkan dirinya
dalam kehangatannya sekali lagi.
✧ ✦ ✧
“Mahiru-chaaan! Aku sudah lama tidak
melihatmu sejak festival budaya!”
Amane dan Mahiru telah selesai
makan siang dan beristirahat sejenak, ketika Shihoko dan Shuuto muncul, dengan
gaya yang sama meriahnya seperti biasa.
Meskipun mereka baru saja
bertemu kemarin, Shihoko menempel erat pada Mahiru seolah-olah sudah
bertahun-tahun yang alalu sejak terakhir kali mereka berkumpul. Ketika melihat
hal ini, Amane hanya bisa menyipitkan matanya, bertanya-tanya apa yang sedang
ibunya lakukan.
“Padahal baru saja sehari,
kenapa Ibu bertingkah seolah-olah sudah puluhan tahun tidak bertemu.”
“Ara, aku jauh dari putriku
yang manis selama seharian. Tentu saja aku merasa kesepian.”
“Sudah lebih dari sebulan sejak
terakhir kali kita berkumpul, bukan?”
Lebih dari sebulan sudah
berlalu sejak terakhir kali mereka berkumpul, atau lebih tepatnya, waktu
sebelumnya. Amane mengacu pada hari terakhir mereka menginap di rumah orang
tuanya. Ia bisa memahami Shihoko yang sangat bahagia saat mereka bertemu
kembali di festival budaya, namun ia bingung mengapa Shihoko memiliki
antusiasme yang sama sehari setelahnya.
Shuuto dengan tenang mengawasi
Shihoko, bahkan ketika dia bertingkah sangat bersemangat, sepertinya tidak
berniat menghentikan istrinya untuk menempel pada Mahiru.
“Jangan meributkan hal-hal yang
sepele. Aku merindukan apa yang aku rindukan.”
“Mahiru, jangan sungkan-sungkan
untuk mendorongnya pergi jika dia mulai menjengkelkan.”
“Ya ampun, Amane-kun. Ak-Aku
senang dengan hal itu...”
Faktanya, Mahiru sepertinya
suka diributkan oleh Shihoko, jadi dia tidak berbohong sama sekali. Namun, dia
sering kali kewalahan dengan momentum ibunya, dan Amane bisa melihat Mahiru
tersentak setiap kali Shihoko melontarkan seruan cinta yang meledak-ledak
untuknya.
Tentu saja, Amane mengerti
bahwa Mahiru menerima Shihoko karena dia menyukainya, dan dia senang akan hal
itu, tapi... Sebagai pacarnya, fakta bahwa ibunya lebih dekat dengan Mahiru
daripada Amane, kekasihnya, adalah sesuatu yang membuatnya merasa khawatir.
Ibunya tampak tidak puas dengan
komentar jengkel Amane, dan meski Amane adalah putranya, wajahnya yang awet
muda dikombinasikan dengan menggembungkan pipinya membuatnya terlihat jauh lebih
muda dari usianya.
Amane sadar kalau Ibunya
sengaja bersikap seperti itu, tetapi sebagai putranya, ia ingin kalau Ayahnya
menenangkan Ibunya yang bertingkah kekanak-kanakan. Amane mungkin akan
menggeliat kesakitan jika Ibunya bersikap seperti itu di depan umum, belum lagi
rasa maluyang melandanya. Akan tetapi, Shihoko terus mendesak. “Serius, Amane,
kamu harus belajar dari kelucuan Mahiru-chan.”
“Kamu akan merasa malu jika aku
melakukan itu, kan?”
“Yah, mungkin, tapi di masa
lalu, kamu menggemaskan seperti malaikat ... Sekarang kamu bertingkah cuek
bebek dan tidak imut sama sekali.”
“Dengan rendah hati aku minta
maaf karena tidak imut.”
“Astaga, apa kamu merajuk? Kamu
sangat imut saat kamu seperti itu.”
“Jangan menafsirkannya secara
aneh begitu!”
“Ya ampun... Aku sudah memberimu
pujian dan itulah yang aku dapatkan!”
“Sudah, sudah,” Shuuto akhirnya
ikut campur. “Amane sedang berada di masa dimana dia akan merasa campur aduk
jika dipuji terlalu banyak oleh ibunya karena dia imut. Lagipula dia punya
harga dirinya sebagai laki-laki.”
“Ara~ Kamu juga sangat imut
saat melakukan itu, Amane. Lihatlah kamu menjadi malu seperti itu.”
“Boleh aku marah sekarang?”
Karena dukungan Shuuto tidak benar-benar mendukung, Amane memelototi pasangan
yang terlalu ramah itu sambil berusaha menjaga matanya agar tidak berkedut,
tapi saat itulah Mahiru memutuskan untuk menengahi.
Sepertinya dia tidak ingin
mereka bertengkar, tapi Amane jelas tidak terlalu kesal, ia juga tidak ingin
terlibat dalam pertengkaran yang sebenarnya. Selain itu, ia jelas sedikit kesal
dengan nada menggoda Shihoko. “A-Amane-kun, tenanglah sedikit,” kata Mahiru, berusaha
mencoba melerai mereka.
“Aku sudah tenang. Hanya saja,
ada seseorang yang tidak mau membiarkan hal itu.”
“Ara, aku tidak tahu tentang
itu, Amane. Pertama-tama, kamu tidak boleh menyalahkan orang lain.”
“Lihat siapa yang bicara.”
“Sudah, sudah. Shihoko-san,
jika kamu tidak segera diam, Amane akan memberimu perlakuan diam. Dan Amane,
kamu tahu kalau Shihoko-san hanya bercanda denganmu, kan? Jangan memberinya
celah dengan merespon secara emosional.”
“... Oke.”
Ayahnya hampir selalu masuk
sebagai penengah netral pada saat-saat seperti ini, dan hanya dia satu-satunya
orang yang bisa menenangkan Shihoko.
Shuuto mengerti bahwa Amane dan
ibunya tidak serius, tapi setelah mengetahui bahwa mereka akan berada dalam
permainan yang panjang jika pertengkaran mereka berlanjut lebih lama lagi,
Shuuto datang untuk menghentikan mereka. Jika dibiarkan begitu saja, mereka
bisa menghabiskan waktu seharian dengan berdebat lebih lanjut.
Jadi, Amane dan Shihoko dengan
patuh duduk tenang setelah Shuuto menyela, dan ia mulai memperluas apa yang
dikatakannya.
“Kami secara khusus mengambil
cuti untuk datang ke sini, jadi kami ingin bersantai dan menghabiskan waktu
sebanyak mungkin dengan satu sama lain, bukan?”
Kelembutan senyum Shuuto saat
dia menepuk punggung Shihoko dan menyeringai pada Amane sudah cukup untuk
membuat siapa pun kehilangan amarah mereka, jadi Amane menurunkan lengannya dan
meminta maaf, berkata, “Maaf aku marah karena sesuatu yang begitu sepele,” dan
Shihoko menanggapi dengan "Maaf karena terlalu sering menggodamu,” dengan
suara lembut.
Mereka berdua tahu, bahwa tidak
ada gunanya untuk terus berdebat, dan mereka saling meminta maaf satu sama
lain, dan mengubur dalam-dalam, seperti yang mereka lakukan di rumah orang
tuanya.
Bagaimanapun juga, meskipun
tahu itu bukanlah sikap yang dewasa baginya, Amane mengambil kembali Mahiru
dari tangan ibunya. Dia menariknya ke arahnya sebagai tindakan pembalasan, dan
sementara Shihoko terlihat tidak puas, Mahiru tidak terlihat terlalu kesal,
karena dia segera tersenyum.
Yang ada judtru dia terlihat senang
dengan hal itu. Dan jika itu membuat Mahiru senang, maka apa yang dilakukannya
mungkin tidak apa-apa.
“... Sebenarnya, aku terkejut
kalian berdua bisa mendapatkan beberapa hari libur bersama,” kata Amane.
Bagi Amane, hal tersebut
lumayan mengejutkan bahwa kedua orang tuanya bisa mencocokkan jadwal mereka
untuk berkunjung, meskipun mereka biasanya sangat sibuk.
Bahkan dengan tempat kerja
mereka yang relatif longgar dalam hal cuti, bahkan mendukung pengasuhan anak
dan karyawan yang berpartisipasi dalam acara sekolah anak mereka, Amane
bukanlah seorang anak kecil lagi. Mengambil cuti untuk menghadiri festival
budaya terasa tidak biasa baginya.
“Dalam kasusku, aku
menyelesaikan pekerjaanku jauh lebih awal dari tenggat waktu yang mereka
berikan. Untungnya, Shuuto-san juga bisa mengambil cuti.”
“Kamu tidak perlu repot-repot
datang jauh-jauh kemari, Bu. Kalian bisa saja bersantai bersama di rumah.”
“Ara, maksudmu kamu tidak ingin
aku melihat festival budayamu?”
“Bukan itu maksudku. Aku hanya
mengatakan bahwa jaraknya cukup jauh. Bukannya lebih baik bagi pasangan suami
istri untuk menghabiskan waktu bersama?”
Sejujurnya, ketika Mahiru
datang bersama Amane ke rumah orang tuanya, mereka berdua cukup sibuk. Mereka
bekerja keras untuk mendapatkan penghasilan, meskipun orang tuanya tidak
membiarkan hal itu terlihat selama mereka tinggal.
Amane merasa tidak enak karena
membiarkan mereka menghabiskan waktu libur mereka yang berharga untuk
menghadiri festival budaya putra mereka, karena untuk sampai ke sana dengan mobil
membutuhkan waktu dan tenaga. Tetapi bahkan dengan itu, orang tuanya hanya akan
dapat melihat festival budaya kurang dari setengah hari, bahkan lebih.
Oleh karena itu, Amane ingin
mereka menggunakan waktu itu untuk beristirahat dan mengurangi rasa lelah yang
tak terelakkan, tetapi Shihoko menertawakan kata-kata Amane yang setengah
prihatin dan setengah perhatian itu dengan senyuman nakal.
“Kamu ini memang konyol ya,
Amane,” katanya. “Shuuto-san dan aku selalu bersama di rumah. Kamu
berpartisipasi dalam festival budaya, yang hanya terjadi sekali, jadi tentu
saja kami akan memprioritaskan itu di atas hal lain. Tidak masalah jika kami
mengambil kesempatan untuk bertemu dengan putra dan putri kami, kan?”
“... Kalau ibu bilang begitu.”
Alih-alih mengomentari
bagaimana Mahiru diperlakukan sepenuhnya seperti putrinya, Amane harus
berkonsentrasi menyembunyikan rasa malunya karena sangat disayangi. Akibatnya,
ia tidak sengaja berbicara dengan nada yang tajam dan merajuk. Namun demikian,
Shihoko tertawa kecil mendengar reaksinya sebelum melanjutkan.
“Namun, kurasa memang tidak
baik mengganggu pasangan yang baru saja menikah di sini, jadi kami memilih
untuk menginap di hotel pada akhirnya.”
“Diam. Itu bukan urusan Ibu.”
Meskipun itu berkat
pertimbangan mereka untuk menginap di hotel sehingga peristiwa semalam bisa
terjadi, mana mungkin Amane bisa mengatakan itu.
"... Ya ampun. Astaga.”
“Apa?”
“Oh, bukan apa-apa. Namun,
rasanya menyenangkan untuk menginap di hotel sesekali! Aku jadi sedikit
berbelanja secara royal."
“Benar,” tambah Shuuto setuju.
“Daerah ini lebih makmur daripada tempat tinggal kita, dan pemandangan malamnya
pun sangat indah.”
Shihoko sepertinya ingin mengatakan
sesuatu yang lain, tetapi Amane menatapnya tajam. Sekarang, tampaknya ibunya
tidak ingin menekan masalah ini lebih lama lagi, dan dia membiarkan topik
pembicaraan dialihkan, sambil tersenyum pada Shuuto.
Shuuto sendiri pasti sudah
mengetahui hal itu, karena ia tidak perlu menegurnya. Ia hanya mengangguk
sambil bercerita tentang resepsi hotel, pemandangan yang terlihat dari jendela,
dan keadaan pembangunan di sekitarnya.
Karena mereka berdua sedang
bersenang-senang, tidak ada hal lain yang bisa dia tambahkan, jadi Amane pun
menghentikan topik pembicaraan. Namun, seakan-akan ia tiba-tiba teringat
sesuatu, Shihoko menoleh ke arahnya.
“Sepertinya kalian berdua
menghabiskan malam bersama kemarin. Kalian berdua benar-benar semakin dekat~”
Hampir tidak bisa menahan batuknya,
Amane melirik Mahiru, yang kemudian menggelengkan kepalanya dengan kuat.
Tentu saja, Amane tidak
menyangka kalau Mahiru membocorkan keadaan mereka secara tidak sengaja. Mereka
berempat mulai berbicara setelah orang tuanya datang, jadi dia tahu tidak ada waktu
untuk menyebutkan kalau Mahiru akan menginap.
Tetapi karena alasan itulah,
Amane tidak bisa memahami bagaimana Shihoko bisa mengetahui semuanya. Ia hanya
bisa meringis kesal. Ia telah mengatakan pada Mahiru bahwa dia mudah dibaca,
namun semuanya sia-sia jika ia sendiri tidak bisa melihat ekspresi konfirmasi
yang tertulis di wajahnya ketika dipanggil. Namun, Shihoko tampaknya tidak
memperhatikan reaksi mereka sama sekali.
“Aku melihat sekilas isi tas
Mahiru-chan di sana, jadi kupikir aku harus menanyakannya, tapi sepertinya aku
benar~"
Usai mendengar itu, Amane
mengikuti tatapan Shihoko dan melihat berbagai set perawatan kulit yang dibawa
Mahiru ke kamar mandi kemarin di sisi sofa.
Haruskah ia marah padanya
karena telah menjebaknya? Atau merasa takut bahwa ibunya tahu kalau Mahiru
datang untuk menginap hanya karena melihat tasnya?
Meskipun cemberutnya semakin
dalam, jika Amane tidak berhati-hati dengan sikapnya, keadaan bisa menjadi jauh
lebih buruk, dan mau tidak mau ia harus mengakui bahwa tidak ada cara lain
baginya untuk keluar dari masalah ini. Dengan menjaga agar nadanya tidak
terlalu merajuk saat berbicara, Amane menanggapi perkataan Shihoko.
“Memangnya ada yang salah
dengan itu?”
Shihoko tersenyum dengan elegan
dan menyenangkan sebagai jawaban. "Tidak? Kamu sudah cukup dewasa dan kamu
akan merasa jengkel jika aku terlalu banyak membicarakannya. Lagipula, kamu
mungkin sama setia dan tulusnya dengan Shuuto-san, jadi aku tidak perlu
khawatir.”
“Mengingat hal itu, kamu
sepertinya sering meledeknya, Shihoko-san,” sela Shuuto.
“Hehe, maafkan aku untuk itu.
Bagaimanapun juga, dia adalah putra kita yang menggemaskan.”
Shihoko tersenyum penuh percaya
diri. Meskipun Amane ingin melawannya, ia menyerah dan menghela nafas, sadar
bahwa tidak mungkin ia bisa menang sekarang. Ibunya tersenyum seperti biasanya,
tapi setelah menyeringai pada Amane beberapa saat, dia kemudian berbalik
menatap Mahiru.
“Oh, ngomong-ngomong, Amane.
Boleh aku pergi jalan-jalan dengan Mahiru-chan?”
Meskipun Shihoko sedang menatap
Mahiru, dia justru bertanya padanya. Sambil mengernyitkan dahi melihat
perbedaan ini, Amane menyipitkan matanya, bertanya-tanya apa yang Ibunya
inginkan.
“Jangan bertanya padaku.
Tanyakan saja pada Mahiru.”
“Tentu saja aku akan bertanya
padanya, tapi aku merasa kamu akan menolaknya karena rasa posesifmu yang begitu
kuat.”
“Dengar. Aku akui kalau aku
memang posesif, tapi aku tidak berniat membatasi tindakan Mahiru. Iya, dia
memang pacarku, tapi pada akhirnya dia adalah dirinya sendiri. Aku tidak
berniat memaksakan pendapat atau tindakan pribadiku padanya.”
Hanya karena mereka berpacaran,
bukan berarti Amane berhak membatasi apa pun yang ingin dilakukan Mahiru. Ia
mungkin menawarkan pendapatnya tentang setiap masalah, tetapi ia tidak akan
pernah memaksakan kehendaknya pada Mahiru, dan dia juga tidak benar-benar
menginginkannya.
Tidak peduli seberapa dekat
mereka, atau seberapa besar ia menganggapnya sebagai pacar tersayangnya, dia
adalah orang yang berbeda dengan kepribadian yang berbeda. Rasanya akan aneh
jika Amane mencoba mengendalikannya seperti yang Shihoko sarankan.
Oleh karena itu, jika Mahiru
memilih untuk pergi bersama Shihoko, maka pilihan itu adalah pilihan yang harus
dihormati. Satu-satunya hal yang bisa Amane lakukan adalah meminta Mahiru untuk
tidak mengatakan sesuatu yang aneh atau membocorkan rahasia mereka.
Amane melirik pelan pada
Shihoko, seakan mengatakan bahwa jalan pikirannya itu wajar, tapi Shihoko
dengan senang hati menerima tatapan jengkelnya. “Hehe, bukannya itu bagus,
Mahiru-chan? Saat-saat seperti inilah kamu benar-benar bisa melihat kejujuran
dan ketulusannya."
“Y-Ya.”
“Aku tidak merasa dipuji saat
kamu yang mengatakannya, Bu.” Amane menyela.
“Ya ampun, aku berharap kamu
mau menerimanya dengan jujur. Benarkan, Shuuto-san?”
“Benar sekali.”
“Sampai Ayah juga….” Amane
menghindari menerima pujian Shihoko secara langsung, karena kedengarannya
seperti dia menggodanya, tapi ketika Shuuto melakukannya, Amane malah merasakan
kegelisahan yang aneh.
Pada dasarnya, Shuuto bukanlah
tipe orang yang suka menyanjung orang lain, dan cenderung menunjukkan
kekurangan orang lain apa adanya. Hal ini membuat Amane semakin tidak nyaman,
karena ia tahu, bahwa pujian Shuuto merupakan pujian yang tulus.
Oleh karena itu, apabila dipuji
secara langsung dan sungguh-sungguh, hal itu merupakan hal yang cukup memalukan
bagi Amane. Bukannya Shuuto tidak memahami perasaan Amane. Sebaliknya, ia
mengenalnya semua dengan sangat baik, dan berani memujinya dengan sengaja.
“Pada kenyataannya, kamu baik
dan tulus pada orang-orang yang kamu biarkan masuk ke dalam hatimu. Kamu
mungkin bukan orang yang paling jujur dengan kata-kata atau sikapmu, tapi dalam
masalah hati, kamu adalah anak yang penuh perhatian, dan mereka yang tahu
dirimu yang sebenarnya juga tahu bahwa itu adalah caramu menyembunyikan rasa
malumu.”
“A-Apa-apaan dengan semua
pujian yang mendadak ini...? Hentikan itu.”
“Aku sedang menikmati waktu
yang berharga dengan anakku, yang jarang aku temui. Tidak ada salahnya untuk memujimu
sedikit, ‘kan?”
“Itu sudah cukup!”
Ibunya mengatakan semuanya
dengan senyum cerah di wajahnya, tanpa sedikit pun kebencian atau niat buruk,
jadi Amane tidak bisa menahan diri untuk maerajujk. Yang ia inginkan hanyalah
menyembunyikan rona merah di pipinya yang membuatnya kesal.
Amane langsung berpaling, tidak
ingin wajahnya yang tiba-tiba memanas terlihat, tetapi sebuah tawa berkelas
yang mirip dengan denting lonceng menggelitik telinganya, datang dari Shihoko.
“Amane kita lemah melawan Shuuto-san, bukan? Tidak ada orang lain yang bisa
melunakkan sifat blak-blakan Amane.”
“Aku juga berpikir begitu,”
Mahiru menimpali.
“Dia biasanya bersikap tenang,
tetapi ketika menyangkut hal-hal semacam ini, aku sadar dia masih anak-anak,”
Shihoko menjelaskan.
“Bukannya itu bagian dari apa
yang membuatnya imut?” balas Shuuto.
“Fufu, kau benar.”
“Hei, kalian.” Amane tiba-tiba
saja tersentak, dan memelototi orang tua dan pacarnya, yang—karena tidak ada
satupun dari mereka yang dibicarakan—memiliki kelonggaran untuk menonton secara
pasif tanpa konsekuensi. Sekarang memilih untuk berpura-pura tidak tahu,
Shihoko dengan santai tersenyum pada Mahiru.
“Ah. Agak terlambat untuk menanyakan
hal ini, tapi boleh aku mengajakmu keluar, Mahiru-chan? Maaf kalau mengganggu
hari liburmu, tapi tanpa kesempatan seperti ini, aku takkan bisa berjalan-jalan
di sekitar area lokal bersamamu.”
“Ya, aku akan dengan senang
hati menemanimu, Shihoko-san.”
“Kalau begitu sudah
diputuskan!”
Amane memelototi mereka dengan
penuh celaan karena merasa tidak puas. Ia tidak menyukai kenyataan bahwa mereka
menjadi bersemangat tentang dirinya sendiri, tetapi setelah mengabaikan
ketidakpuasannya, Mahiru dan Shihoko segera memutuskan untuk pergi ke luar
bersama. Dengan ini, Amane merasa bahwa ia harus memiliki kesempatan untuk
mengeluh, meskipun hanya sedikit.
Itu adalah keputusan mereka,
entah mereka ingin keluar atau tidak, tetapi di samping itu, ia memiliki banyak
hal yang harus dipikirkan mengenai penilaian mereka terhadap dirinya. “Bisa
enggak jangan mengabaikanku dan membiarkanku bergabung dalam percakapan?”
“Ara. Kamu ingin bergabung
dengan kami di hari libur khusus wanita?”
“Itu tidak terlalu penting,
tapi... terserahlah.”
Tak peduli apa yang dikatakannya
sekarang, itu tak akan berpengaruh apapun, jadi Amane hanya menghela nafas
panjang sebagai tanda ketidakpuasannya, sebelum menatap ayahnya.
“Jika mereka berdua akan pergi
keluar, apa yang akan kamu lakukan, Ayah?”
“Tentang itu...” Ibunya
menyela. “Shuuto-san ingin berbicara denganmu, Amane.”
“... Bicara?”
Amane menyimpulkan dari komentar
ibunya bahwa hal itu akan berkaitan dengan Mahiru, tetapi ia gagal membayangkan
apa yang sebenarnya akan dikatakan ayahnya padanya. Amane dengan gugup menoleh
ke arahnya, tapi ia hanya disambut dengan senyuman lembut Ayahnya.
Shuuto biasanya menunjukkan
ekspresi lembut di wajahnya, dan Amane biasanya kesulitan untuk mengetahui apa
yang Ayahnya pikirkan, membuatnya waspada. Mengingat kepribadiannya, mana
mungkin ayahnya memaksakan tuntutan yang tidak masuk akal kepadanya, jadi
meskipun Amane tidak mengkhawatirkan hal itu sedikit pun, hal itu membuatnya
semakin menjadi misteri tentang apa yang ingin dibicarakan ayahnya.
“Aku berpikir kalau pembicaraan
di antara kita berdua akan bagus sekali-sekali. Kamu tahu, kamu selalu
tersentak ketika ada Shihoko-san. Itu sama sekali tidak sopan,” Shuuto
menjelaskan.
“Aku ingin tahu itu salah
siapa.”
“Itu salah Amane yang terlalu
mengkhawatirkan hal-hal sepele. Benar, ‘kan?” Shihoko memiringkan kepalanya
sedikit, mencari persetujuan dari Mahiru, tapi Mahiru hanya menunjukkan senyum
tipis dan gelisah di wajahnya sebagai tanggapan.
(Kurasa
Mahiru mengerti bahwa Ibu mengatakan hal-hal aneh hanya untuk mendapatkan
reaksi dariku)
Mahiru memasang senyum ambigu
yang terlihat lebih jinak daripada tegang, dan Amane berkata dalam hati, Kamu bisa jujur dengan apa yang ingin kamu
katakan.
“Paling tidak, Mahiru
sepertinya tidak setuju dengan ibu.”
“Oh, diamlah. Tidak apa-apa,
aku punya banyak hal yang ingin kubicarakan dengan Mahiru-chan.”
“Asal jangan mengajarkan dia
sesuatu yang tidak perlu.”
“Kamu ini memang tidak percaya
pada ibumu sendiri, ya? Jangan khawatir, aku bisa membedakan mana yang benar
dan mana yang salah. Aku tidak akan melakukan sesuatu yang tidak kamu sukai.
Kita hanya akan mengobrol seperti perempuan pada umumnya.”
Amane tidak berdaya melawan
tekanan yang tersembunyi di balik senyuman ibunya, dan ia menoleh ke arah
Mahiru untuk mendapatkan jaminan, tapi yang diberikannya hanyalah senyuman
penuh percaya diri, memberi isyarat, semua
akan baik-baik saja, tapi Amane tidak tahu apa ia bisa mempercayainya atau
tidak dalam hal kejahilan ibunya.
“Oke, Mahiru-chan. Ayo kita
pergi.”
“Ah, t-tunggu! Tolong biarkan
aku pulang dan bersiap-siap dulu.”
Yah, Amane percaya bahwa bahkan
Shihoko pun akan menghindari mengorek informasi yang tidak ingin dibicarakan
oleh Mahiru. Mungkin. Jadi, ia melihat mereka berdua meninggalkan rumah,
bergandengan tangan sambil melangkah dengan riang.
Dan, Amane dan Shuuto pun
dibiarkan menjaga rumah. Amane langsung merasa lega karena ruangan itu sudah
sangat tenang. Sebagai orang tua, Amane menyayangi Ibunya, tetapi intinya, ia
berjuang keras untuk mengimbangi perbedaan dalam tingkat energi mereka, yang
dalam kasus ibunya, kadang-kadang juga bisa menjengkelkan. Itulah sebabnya ia
biasanya merasa lega setelah terbebas dari ibunya.
“... Dia seperti badai atau
semacamnya. Baik atau buruk, selalu menjadi gaduh ketika Ibu datang. Biasanya
tidak seramai ini.”
Shihoko, yang selalu ceria dan
menebarkan senyuman kepada semua orang di sekelilingnya, adalah pencipta suasana
hati keluarga Fujimiya dan orang yang populer di lingkungan mereka secara umum.
Selalu terlihat tersenyum dan banyak bicara dengan orang lain, dia dianggap
sebagai orang yang sangat sosial. Dia baik hati, tetapi pada saat yang sama,
dia tahu kapan harus memutuskan hubungan dengan seseorang.
Bahkan sebagai putranya, Amane
menyadari bahwa ibunya merupakan orang yang mudah diterima oleh orang lain. Di
luar maupun di dalam, wataknya selalu sama, jadi bahkan di rumah pun ia selalu
bersikap seperti dirinya yang lincah.
“Apa kalian berdua biasanya
tidak banyak bicara? Kamu dan Shiina-san.”
“Bukannya kami tidak berbicara.
Kami hanya tidak seenergik Ibu.”
Amane dan Mahiru adalah tipe orang
yang lebih suka melakukan percakapan yang tenang, mereka berdua bukanlah tipe
orang yang banyak bicara. Ada banyak waktu di mana mereka hanya berdiam diri di
sisi masing-masing tanpa mengucapkan sepatah kata pun, jadi mereka tidak
melakukan banyak percakapan yang hidup seperti Shihoko.
“Haha, lahipula kamu dan
Shiina-san biasanya sangat santai” Shuuto tertawa kecil.
“Yang ada justru Ibu saja yang
tidak bisa tenang.”
“Hei, jangan berkata seperti
itu. Shihoko-san terkadang sangat pendiam di rumah, tau? Hanya saja kamu jarang
melihatnya seperti itu.”
“Apaaa? Aku tidak bisa membayangkan
Ibu yang mendadak jadi pendiam.”
Shihoko adalah orang yang
periang selama yang diingat Amane. Dia selalu tersenyum riang sambil bercanda;
dia dengan cerah menghangatkan suasana ke mana pun dia pergi, bersinar layaknya
matahari. Kata-kata dan tindakannya tidak pernah kekurangan kebaikan.
Setidaknya, Amane telah berkali-kali diselamatkan oleh keceriaannya.
Sampai sekarang, ia telah
melihat ibunya sebagai orang yang tangguh yang tidak akan menjadi dirinya
sendiri jika dia tidak berbicara, dan Amane tidak bisa membayangkan ibunya akan
menjadi diam.
“Fufu. Aku yakin Shihoko-san
terlihat seperti orang yang periang bagimu, Amane.”
“Kalau menurut Ayah sendiri
gimana?”
"Coba kita lihat. Bagiku,
dia terlihat seperti orang yang kesepian dan ingin dimanjakan. Sejak kamu
kembali, dia selalu berkata 'Aku
kesepian, aku sangat kesepian!' sepanjang waktu.”
“Benarkah? Meskipun dia tidak
menunjukkannya?”
Ada saat-saat dimana ibunya
tertawa dan bercanda bahwa dia kesepian, tetapi Amane tidak pernah berpikir
bahwa dia benar-benar merasa seperti itu.
Ketika Amane memutuskan untuk
masuk ke sekolah SMA-nya yang sekarang, Shihoko dengan tegas menghormati
keinginannya, mengantarnya pergi dengan senyuman. Dia tidak menunjukkan tanda-tanda
untuk menghentikannya, atau menginginkannya. Jadi, Shuuto menggambarkan ibunya
sebagai orang yang kesepian, sangat jauh berbeda dengan pandangan Amane
terhadap ibunya.
Sedikit terganggu, Shuuto
menurunkan alisnya dan tersenyum, sepertinya menyadari ekspresi terkejut di
wajah Amane.
“Shihoko-san adalah orang
dewasa yang bijaksana, jadi dia tahu bahwa dia harus melepaskan anaknya. Kalau
dia menunjukkan kepadamu, bahwa dia tidak ingin berpisah denganmu, bukannya
kamu akan mulai merasa khawatir? Kamu sudah memutuskan jalanmu sendiri, dan
sadar bahwa menghentikanmu hanya karena perasaan dan keadaannya sendiri
tidaklah baik. Dia berusaha menyimpannya untuk dirinya sendiri.”
“... Itu adalah sesuatu yang
seharusnya tidak Ayah ceritakan pada anakmu sendiri, kan?”
“Tepat sekali. Rahasiakan itu,
oke?”
Shuuto tersenyum padanya dengan
sedikit keceriaan, dan Amane mengerutkan keningnya sedikit setelah dikejutkan
dengan perasaan yang tak terlukiskan yang disebabkan oleh situasi tersebut.
Melihat hal tersebut, Shuuto menatapnya dengan lembut.
“Kamu tidak perlu
mengkhawatirkannya, Amane. Bagi Shihoko-san dan aku, hal terbaik yang bisa
terjadi adalah kamu bisa hidup sehat dan bahagia. Sebagai orang tuamu,
mengetahui bahwa kamu hidup seperti yang kamu inginkan adalah kebahagiaan
terbesar bagi kami.”
“... Ya. Aku adalah orang yang sangat
beruntung, sungguh.”
“Senang mendengarnya. Aku senang
memiliki anak sepertimu.”
Shuuto tersenyum pada putranya
dengan matanya yang lembut, dan Amane menerimanya dengan patuh.
Meskipun rasa malu Amane
meningkat, dirinya juga masih merasa nyaman, bisa menganggapnya sebagai hal
yang menyenangkan. Ia menyadari, bahwa ia dapat mengalami perasaan yang
kompleks ini berkat kepribadiannya yang melembut seiring dengan berlalunya
waktu, dan tidak diragukan lagi, hal ini dipengaruhi oleh orang-orang di sekelilingnya.
Amane merasa kalau dirinya di masa lalu, yang penuh dengan keburukan, akan
mampu menerima kata-kata ayahnya dengan tulus.
“Jadi,” Shuuto kemudian mengalihkan
topik pembicaraan. “Ada hal lain yang ingin kubicarakan denganmu.”
“... Sesuatu yang lain?”
Amane memiringkan kepalanya,
ingatannya tersentak oleh kata-kata Shuuto. Ia ingat bahwa ayahnya tetap
tinggal dengan maksud untuk mendiskusikan sesuatu dengannya, saat ekspresi
Shuuto berubah menjadi senyum lembut, namun sulit dibaca.
“Ya, aku bisa dengan mudah
mengatakannya hanya dengan melihat kalian berdua, tapi kamu benar-benar sangat
dekat dengan Shiina-san.”
“Itu... ya, ya. Memang benar
kami berpacaran, tapi kurasa kami cukup dekat.”
Daripada menggoda, itu adalah
suara yang terdengar terkesan dan lega, jadi Amane menanggapi dengan
melembutkan nadanya. Ia sadar bahwa ayahnya bukanlah tipe orang yang suka
mengorek terlalu dalam mengenai hubungan mereka, tetapi ia tetap tidak bisa
menahan diri saat ditanya tentang hal itu.
Namun, berlawanan dengan apa
yang diharapkan Amane, Shuuto tidak mengungkitnya. Malahan, ia tersenyum
gembira, dan berkata, “Senang sekali kalian berdua bisa rukun.” Dan mendengar
ini, kekhawatiran Amane pun sirna.
“... Ayah, kamu benar-benar tidak
akan menanyakan apa pun, ya.”
“Kamu sendiri yang akan merasa
malu jika kamu ditanya tentang hal itu, Amane. Kamu mungkin akan mulai merajuk
atau semacamnya.”
“Hmmph.”
Merasa malu karena sifatnya
benar-benar bisa ditebak, Amane memalingkan muka, tawa ayahnya bergema di
telinganya.
“Lagipula, dari kelihatannya, sepertinya kamu
belum melakukan apa-apa kepadanya,” lanjut Shuuto.
Amane terbatuk-batuk keras
menanggapi nada yakin ayahnya.
Dalam
artian lain, dia bisa lebih buruk dari ibu, pikir Amane sambil
hampir tersedak, dan ketika menatap Shuuto sambil mengatur nafas, Amane
disambut dengan senyuman ayahnya yang biasa.
“Yah, aku tidak berhak untuk
mengatakan apapun, kan? Mengingat kepribadianmu, aku yakin kamu telah
memutuskan bagaimana untuk melanjutkannya setelah berpikir dengan hati-hati.
Itu adalah salah satu hal yang baik tentangmu, tetapi juga merupakan sisi
negatifnya.”
“... Jika mempertimbangkan masa
depan, ini merupakan hal yang tepat untuk dilakukan."
“Nak, kamu benar-benar tumbuh
menjadi orang yang rasional meskipun hanya seorang siswa SMA. Meskipun begitu, aku
memahami betul bahwa kamu jatuh cinta padanya.”
“... Mau bagaimana lagi.”
“Ya, kamu benar tentang hal itu.”
Shuuto tertawa sejenak, “Lagipula, aku dulu juga sama,” sebelum tiba-tiba
menyingkirkan senyumnya dan menatap Amane dengan tegas. “... Pokoknya, kembali
ke topik utama.”
“Hm?”
“Jangan khawatir tentang masalah
biayanya, oke?”
Amane dibuat tertegun ketika
mendengar kata-kata yang begitu tegas.
Baik Amane maupun Mahiru tahu
bahwa mereka akan menikah di masa depan. Itulah sebabnya Amane membuat pilihan
untuk merawat dan menjaga baik-baik tubuh Mahiru demi masa depan, menahan diri
untuk tidak menyeberangi perbedaan yang tidak dapat diubah dengan tubuh mereka
di masa sekarang. Tadi malam adalah contoh terkuat, bukti komitmen mereka
terhadap perjanjian itu.
Sejak saat itu, masalah praktis
muncul: aspek biaya, dan persetujuan dari orang tua Mahiru, merupakan masalah
yang dipikirkan oleh Amane, tapi hal tersebut tidak didiskusikan dengannya.
Ketika menikah, sudah jelas
bahwa masalah finansial akan muncul. Mempertimbangkan apa yang harus dilakukan
mengenai upacara, tempat tinggal, penghasilan, dan sebagainya. Begitu Amane
memikirkan apa yang akan terjadi setelah menikah, ia berpikir bahwa ia takkan
bisa menyediakan makanan di atas meja jika yang dilakukannya hanyalah bermimpi.
Amane tertegun di tempat, tidak
menyangka Shuuto akan mengatakan hal seperti itu, ayahnya tersenyum kecut
seolah-olah ingin mengatakan, sudah
kuduga.
“Sejak awal, aku sudah
menyadari kalau kalian berdua mungkin sudah mengambil keputusan. Mengenal kepribadianmu,
setelah kamu benar-benar memutuskan sesuatu, kamu tidak akan mengubah
keputusanmu, dan tekadmu juga tidak akan berubah. Langsung saja, dengan sepenuh
hati, kamu akan terus mencintai dan menghargainya. Kamu benar-benar seperti
kami.”
“... Apa Ibu juga cinta
pertamamu, Yah?”
“Jika kamu menghitung dimana kamu
mengatakan 'Ibu, aku mencintaimu, ayo
kita menikah!' sebagai seorang anak, maka itu juga berlaku untukmu. Benar,
Amane?”
“Mana mungkin itu dihitung.”
Tak pelak lagi, Amane
mengalihkan pandangannya dari Shuuto, yang tersenyum lucu sambil tertawa kecil.
Jujur saja, pernyataan Amane tentang pernikahannya dengan sang Ibu saat ia
masih muda hanyalah bagian dari sejarah kelamnya.
Begitulah omong kosong seorang
anak kecil yang tidak memiliki akal sehat atau etika yang dibina. Selain itu,
jumlah orang yang dicintainya terbatas, jadi meskipun hal itu diungkit
sekarang, mereka semua akan tahu bahwa itu hanya lelucon bocah kecil , tetapi
hal yang memalukan tetaplah memalukan.
Shihoko akan mengungkitnya dari
waktu ke waktu dengan mengatakan, “Kamu dulu bilang kamu akan menikah denganku,
kan?” yang membuat matanya bergerak-gerak, tetapi ketika disebutkan dengan
santai oleh Shuuto, yang Amane rasakan hanyalah rasa malu.
“Yah, kesampingkan candaan
tadi,” lanjut Shuuto, “Karena ini mengenai dirimu, jadi aku tahu kamu akan
memikirkan masa depanmu. Kamu adalah anak yang pintar, jadi kamu pasti berpikir
kalau kamu takkan bisa menyelesaikan semua masalah yang menantimu hanya dengan
perasaan cinta saja, ‘kan?”
Perkataan Ayahnya tepat sasaran.
Senyum Shuuto yang tenang dan lembut, seolah-olah bisa melihat segalanya,
membuat Amane merinding. Justru karena Amane memahami hal itu sendiri, ia
khawatir tentang apa yang harus dia lakukan. Ia mempertimbangkan untuk
berkonsultasi dengan seseorang, tetapi tidak pernah terpikir olehnya bahwa
Shuuto akan menjadi orang yang mengutarakannya.
“Aku tiba-tiba takut pada
ayahku sendiri.”
“Bagaimanapun juga, aku adalah
ayahmu. Memahami anakku adalah hal yang mudah.”
Amane biasanya mencurigai
seseorang sebagai orang yang sombong karena mengucapkan kalimat seperti itu,
tetapi ketika dikatakan oleh ayahnya, Amane merasa bahwa ia benar-benar bisa
melihat apa pun dan segala sesuatu, jadi ia tidak bisa menertawakannya.
Faktanya, selain mencari tahu tentang konflik batin Amane, Shuuto menanyakan
hal itu kepadanya meskipun sudah memahami segalanya sejak awal, yang mana itu membuatnya
semakin menakutkan.
“Ya ampun... Kamu benar-benar
mencoba memikul semuanya sendirian.”
“... Ini adalah sesuatu yang
aku putuskan sendiri, dan aku akan memberitahu Mahiru setelah sudah melakukan
beberapa tingkat perencanaan."
“Meskipun melangkah lebih jauh
untuk merencanakan segala sesuatunya ketika kamu masih sangat muda adalah hal
yang patut dipuji, ada batasan seberapa banyak yang bisa dilakukan oleh satu
orang... tidak, dua orang. Kapan pun kamu menemukan dirimu dalam masalah,
gunakanlah sumber daya apa pun yang kamu miliki, oke?”
“Tapi bukannya berarti aku
harus bergantung pada orang tuaku setiap saat.”
Shuuto mungkin menawarkan hal
itu sebagai sikap kebaikan orang tua. Namun, Amane merasa bahwa dirinya terlalu
bergantung pada mereka. Ia diizinkan meninggalkan kampung halamannya sendirian,
dan tidak memiliki masalah keuangan apa pun yang akan membatasi gaya hidupnya.
Oleh karena itu, Amane mencoba memutuskan masa depannya tanpa berkonsultasi
dengan mereka, sebisa mungkin.
Ia telah melakukan sesuatu yang
benar-benar egois, tetapi Shuuto menertawakannya, tampaknya tidak peduli dengan
keraguan Amane, dan berkata, “Kamu menunjukkan kesungkanan pada hal-hal yang
aneh.”
“Kamu benar-benar harus mengandalkan
kami untuk hal-hal semacam ini. Secara pribadi, sebagai orang tuamu, dan juga
orang tua Shiina-san, aku ingin memberikan restu kepada kalian berdua. Bahkan, aku
ingin seorang gadis seperti Shiina-san bahagia tanpa ada kekhawatiran di dunia
ini, dan hal yang sama berlaku untuk anakku juga. Aku ingin melakukan hal ini,
setidaknya.”
“... Bukannya itu sesuatu yang
harus kita lakukan dengan usaha dan kerja keras kita sendiri?”
“Dan menurutmu, kapan hal itu
bisa benar-benar tercapai?”
“Ugh.”
Ketika dikatakan seperti itu,
Amane hanya bisa menunjukkan ekspresi getir.
Jika mereka ingin melakukan
semuanya sendiri, mereka mungkin bisa menabung cukup banyak setelah bekerja
selama beberapa tahun dan mencurahkan segalanya untuk menabung. Namun, Amane
tidak ingin melewatkan kesempatan untuk memberikan upacara pernikahan yang
layak bagi Mahiru, yang diimpikan oleh banyak wanita, dan dirinya juga ingin
melihat Mahiru mengenakan gaun pengantin atau kimono putih.
Namun, Amane tahu bahwa mencoba
melakukan semuanya sendiri akan membuat Mahiru menunggu dengan penuh kecemasan,
jadi Amane dipenuhi kebimbangan karena keputusan itu.
“Apa kamu benar-benar ingin
membuat Shiina-san menunggu selama itu? Waktu sangat berharga bagi seorang
gadis, tau?”
“Ugh... Meskipun begitu...”
“Menurutku, upacara pernikahan
adalah awal dari kehidupan baru, hal tersebut juga merupakan saat terakhir kali
orang tuamu bisa memberikan hadiah yang besar. Putra dan putriku yang lucu akan
meninggalkan orang tua mereka dan hidup sebagai pasangan suami istri serta
membentuk keluarga mereka sendiri, jadi aku berharap kamu akan membiarkan kami
membantu setidaknya sebanyak itu.”
Shuuto tersenyum dan menyesap
kopi untuk melegakan tenggorokannya yang kering, lalu melanjutkan.
“Tentu saja, jika kamu
memutuskan untuk melakukan semuanya sendiri, kami akan mendukung keputusanmu.
Jika tidak, maka kami juga ingin menyumbang bagian orang tua Shiina-san.”
Shuuto dan Shihoko mengetahui
tentang situasi keluarga Mahiru dan berniat untuk bertindak sebagai orang tua kandungnya.
Hanya dengan melihat sekilas wajah ayahnya, Amane diingatkan bahwa mereka
peduli pada Mahiru seperti putri mereka sendiri, dan seperti menantu mereka.
Seperti yang dikatakan Shuuto,
mereka pasti menghujani Mahiru dengan kasih sayang sebagai orang tua yang
benar-benar peduli padanya, untuk menebus semua kasih sayang yang tidak diberikan
oleh orang tua kandungnya. Karena alasan itulah, meskipun Shuuto terlihat
menawarkan kompromi, namun tidak ada niat untuk mengalah.
Shuuto tersenyum seolah-olah ia
bisa melihat dengan jelas Amane, yang bertanya-tanya apakah tidak apa-apa
baginya untuk dimanja seperti ini, dan dengan santai mengacak-acak rambut
Amane.
“Kamu selalu buruk dalam
memanjakan dan mengandalkan orang lain, bukan? Tidak apa-apa, biarkan aku
melakukan sesuatu sebagai orang tuamu.”
“... Ayah dan Ibu sudah cukup
memanjakanku.”
“Aku tidak akan mengatakan itu.
Kamu tumbuh dengan rasa kemandirian yang kuat sebagai imbalan karena tidak
memiliki fase pemberontakan yang tepat. Itu bahkan membuatku kesepian, tau?”
Shuuto tidak berniat untuk menghentikan
tangannya, dan Amane juga tidak menepis tangan Ayahnya. Dia merasa geli dan malu,
tapi rasanya tetap nyaman. Kepercayaan yang ia miliki pada ayahnya, dan rasa
aman yang diilhami olehnya, membuat Amane dengan patuh menerima isyarat kasih
sayang ayahnya.
“Semua itu akan terbayar saat
kamu menjadi orang tua, Amane, dan menunjukkan wajah cucu kami nanti. Kamu
boleh khawatir untuk menunjukkan dukungan kepada kami, orang tuamu, setelah
hidupmu sudah stabil. Untungnya, Shihoko-san dan aku sehat-sehat saja. Kami menjaga
kesehatan kami, dan keluarga kami cenderung berumur panjang. Pastikan kamu
membalas budi kami dengan baik saat waktunya tiba.”
Shuuto menyeringai saat ia
memanjakannya, memperlakukannya seperti anak kecil, dan Amane merasa rileks,
perasaan hangat perlahan-lahan merembes masuk ke dalam hatinya. Amane benar-benar
senang menjadi putra mereka, dan pasrah untuk dimanja seperti anak kecil.
✧ ✦ ✧
Pada saat Mahiru dan Shihoko
pulang dari berbelanja, Shuuto sudah kembali menjadi dirinya yang biasa, tidak
lagi memperlakukan Amane dengan penampilan dan gerak-gerik yang memanjakan.
Menjadi manja seperti itu di depan Mahiru akan menjadi hal yang tak tertahankan
baginya, jadi Amane senang hal itu sudah berakhir, tapi di saat yang sama, dirinya
juga merasa sedikit enggan untuk melepaskannya.
Namun, Amane ingin bersikap
seperti pria yang baik di depan Mahiru, jadi dia menyapa mereka dengan ekspresi
tenang, tidak menunjukkan sedikitpun tanda-tanda mengenai apa yang telah
terjadi sebelumnya.
“Selamat datang kembali. Apa kalian
udah selesai berbelanja dan mengobrol?”
“Tentu saja. Iya ‘kan,
Mahiru-chan?”
“... Y-Ya.”
Berbeda dengan Shihoko yang
ceria dan percaya diri, Mahiru tampak gelisah dan murung, jadi kemungkinan
besar, ibunya telah menularkan berbagai macam pikiran yang tidak perlu di
kepalanya. Tapi sekarang bukan waktu yang tepat untuk menanyakan hal itu, jadi ia
sengaja mengabaikan anggapan itu dan mengambil tas mereka.
Karena Mahiru tersipu malu saat
menghadapi tatapan penuh kasihnya, kecurigaan Amane terhadap indoktrinasi
ibunya berubah menjadi keyakinan, dan ia akhirnya menatap ibunya dengan
jengkel. Shihoko, di sisi lain, tidak terpengaruh, dan tersenyum tenang.
Senyumnya dipenuhi dengan rasa
pencapaian yang misterius, jadi Amane ingin menanyainya sendiri tentang apa
yang telah ia indoktrinasi pada Mahiru.
“... Aku mohon Bu, jangan ajari
dia hal yang aneh-aneh.”
“Ara, kau salah. Aku tidak
mengajarinya sesuatu yang aneh. Aku hanya memberinya nasihat tentang sesuatu
yang penting saat kalian menghabiskan waktu bersama.”
“Bukannya itu sesuatu yang akan
kita pelajari perlahan-lahan, secara otodidak, mulai sekarang?”
“Itu bukan sesuatu yang bisa
kamu diskusikan dengan anak laki-laki, jadi tidak apa-apa. Kamu harus belajar
dari kebijaksanaan nenek moyangmu, tau?”
“... Apa tidak masalahjika aku
bertanya pada Mahiru tentang hal yang
dimaksud?”
“Kamu akan memahaminya cepat
atau lambat, jadi tidak masalah. Aku pikir itu tidak pantas bagi seorang pria
untuk terburu-buru.”
Usai mendengar itu, Amane tidak
punya pilihan lain selain diam.
Sepertinya Mahiru juga tidak
ingin membicarakannya, dan ia mengerti bahwa ada percakapan rumit yang hanya
bisa dilakukan di antara para wanita, jadi Amane tahu lebih baik daripada
memaksakan jawaban dari mereka.
Namun, berdasarkan tindakan
ibunya sampai sekarang, itu pasti sesuatu yang tidak boleh Amane percayai
sepenuhnya. Jadi, meskipun ia tidak akan memintanya secara paksa, ia merasa
perlu membicarakannya lebih lanjut untuk nanti. Setelah menatap Shihoko dengan
tatapan dingin, yang hanya membalas dengan senyuman dan cengiran, Amane membawa
tas belanjaannya ke dapur dan memasukkan makanan segar ke dalam kulkas.
Orang tuanya berencana untuk
makan malam di rumah Amane sebelum kembali ke hotel, jadi mereka harus
menyiapkan makanan yang cukup untuk empat kali lebih banyak dari biasanya.
Entah bagaimana, hal ini terasa sedikit memalukan.
“... Apa kamu penasaran dengan
hal itu, Amane-kun?”
Amane mengangkat bahu sedikit
saat Mahiru, yang telah selesai mencuci tangannya, tiba-tiba melihat
ekspresinya dan bertanya demikian.
“Bohong rasanya kalau aku
bilang aku tidak penasaran, tapi aku sudah membicarakan banyak hal dengan
ayahku, dan aku juga belum ingin menceritakannya padamu. Jadi anggap saja kita
impas, Mahiru.”
“Hah? A-Apa yang kamu
bicarakan?”
“Rahasia.”
Saat Amane melemparkan sayuran
ke dalam laci sayuran dengan senyum nakal, mirip dengan yang sering Mahiru
tunjukkan padanya, dia menjadi agak gelisah, dengan lembut memukul punggungnya
dan Amane tidak bisa menahan tawa kecil.
“——Meski begitu, Amane. Aku tidak
akan mengganggu apa yang ingin kamu berikan pada Mahiru-chan, oke?”
Itulah yang Shuuto katakan
padanya setelah ia benar-benar mengacak-acak rambutnya.
Tentu saja, Amane tidak berniat
untuk bergantung pada orang tuanya sejauh itu, jadi ia berencana untuk bekerja
paruh waktu untuk menambah tabungannya. Dirinya juga tidak berniat mengambil
jalan pintas dalam ujian masuknya, jadi ia harus bekerja lebih keras lagi untuk
menyeimbangkan antara pekerjaan dan studinya.
(...
Sepertinya aku harus berbicara dengan Kido)
Ayaka mungkin setengah bercanda,
tapi dia memang menawarkan Amane sebuah undangan untuk bekerja paruh waktu,
jadi sepertinya itu ide yang bagus untuk menerimanya. Aman takkan menyebut
dirinya hebat dalam layanan pelanggan, tetapi kesempatan itu tepat untuk
mendapatkan pengalaman sosial yang ia butuhkan.
Sepertinya
akan ada lebih banyak hal yang harus aku kerjakan mulai sekarang. Amane
mengangguk dengan sungguh-sungguh, dan Mahiru menatapnya dengan raut wajah
khawatir.
Amane tersenyum melihat
ekspresi Mahiru, mengatakan “Ini rahasia”
untuk terakhir kalinya sambil menutup laci sayuran dengan semangat.