Chapter 4
Saat memasuki bulan Juli,
universitasku memasuki masa ujian. Seperti biasa, ada beberapa ujian yang
terasa mudah dan ada juga yang sulit, tetapi aku menyelesaikannya dengan
perasaan bahwa aku pasti berhasil mendapatkan semua skor yang dibutuhkan.
Setelah masa ujian selesai,
mahasiswa memasuki masa liburan musim panas. Aku pergi ke universitas untuk
urusan di bagian administrasi setelah ujianku selesai, dan telah membuat janji
untuk bertemu dengan temanku di sana.
“Nisshi.”
Aku bertemu dengan Nisshi di
gerbang stasiun terdekat dengan universitas.
“Yo, lama enggak ketemu ya,”
balasnya.
Sudah sekitar empat bulan
berlalu sejak terakhir kali kami bertemu, sejak insiden kerusuhan Icchi dan
Chamotarou-san.
“Bagaimana hubunganmu dengan
Yamana-san?”
“Yah, lancar-lancar saja.”
Kami berjalan dari stasiun ke
universitas sambil berbicara satu sama lain.
Setelah putus dengan Sekiya-san
yang pergi ke Hokkaido untuk melanjutkan studinya, Yamana-san mulai berpacaran
dengan Nisshi. Ini pertama kalinya aku mendengarnya langsung dari orang tersebut,
karena sebelumnya aku hanya mendapatkan kabar melalui pesan LINE.
“Apa kalian sering bertemu?”
“Hmm, tidak terlalu sering sih,
mungkin tidak banyak yang berubah. Sebelumnya kami sudah sering makan bersama
sekitar satu atau dua kali dalam sebulan.”
“...Jadi begitu ya?”
Itu adalah reaksi yang agak
mengejutkan. Nisshi sudah menyukai Yamana-san sejak masa SMA, jadi kupikir dirinya
akan lebih antusias sekarang setelah perasaannya berhasil terbalas.
Yah, karena Nisshi memiliki
sifat yang berusaha sok keren, jadi mungkin ia hanya berusaha untuk tidak
menunjukkan kegembiraannya kepadaku.
“Apa kamu tidak pernah mendengar
sisinya dari Shirakawa-san?”
“Eh? Hmm….”
Aku teringat percakapanku
baru-baru ini dengan Luna.
“...Kalau dipikir-pikir lagi,
mungkin aku belum banyak mendengarnya.”
“Serius?”
Mata Nisshi membelalak seakan
tidak menyangka akan hal itu.
“...Aku penasaran, apa Nikoru
tidak pernah bercerita tentang hubungan kami berdua kepada Shirakawa-san juga?”
“Mana mungkinlah, dia pasti
menceritakannya.”
Aku hanya menertawakannya.
Meskipun frekuensinya tampaknya menurun dari waktu di mana mereka sering berbicara
setiap malam ketika masih di SMA, Luna dan Yamana-san masih berteman dekat.
“Sejak mulai kuliah, aku dan Luna
tidak terlalu sering bertemu, jadi ketika kami bertemu, kami selalu punya
banyak hal untuk dibicarakan. Mungkin Luna hanya lupa untuk membicarakannya.
Aku juga lupa untuk bertanya padanya.”
“Yah, mungkin ada benarnya
juga. Kalian tidak punya banyak waktu untuk membicarakan kehidupan orang lain. Seperti
biasa, hubungan kalian berdua masih dekat seperti dulu.”
Aku berkeringat dingin ketika ia
mengatakannya dengan nada yang sedikit iri.
“Tapi kalau begitu, kamu juga
sama, iya ‘kan? Kalian sudah berpacaran sejak bulan April dan sudah jalan 3
bulan, bukannya itu masa-masa yang paling menyenangkan?”
Aku tidak tahu banyak tentang
hubungan asmara karena aku hanya pernah berpacaran dengan Luna, tapi aku merasa
seperti pernah mendengar teori semacam itu sebelumnya, jadi aku meledeknya
dengan enteng.
“... Yah, dibilang menyenangkan
sih memang rasanya menyenangkan, terutama untukku sendiri. Karena aku selalu
menyukainya.”
Nisshi menjawab dengan wajah
yang tidak terlihat senang.
“ ...?”
Wajah itu, jelas bukan wajah yang
mencoba untuk terlihat keren.
Tapi, aku merasa tidak bisa
menanyakan lebih lanjut, jadi aku memutuskan untuk mengubah topik pembicaraan.
“Ngomong-ngomong, bagaimana
dengan pekerjaan paruh waktumu? Apa kamu masih melakukannya?”
“Ah, ya.”
Nisshi bekerja paruh waktu di bagian
dapur restoran cepat saji sejak tahun pertama masa kuliahnya. Meskipun shift
kerjanya tidak banyak, hanya sekitar tiga kali dalam seminggu, tapi aku
terkesan ia tetap bertahan lama.
“Karena aku selalu berada di bagian
dapur, aku tidak bertemu dengan pelanggan dan pekerjaannya juga santai. Aku
hanya perlu mengambil piring salad dari dalam kulkas, melepas plastik
pembungkusnya, enambahkan satu setengah putaran saus, dan selesai. Hanya begitu
saja kerjaannya.”
“Saat aku mendengarnya, rasanya
seperti makanan distopia ya.”
“Itu sebabnya pelayanannya bisa
begitu cepat.”
“Hmm, rahasia perusahaan.”
“Kamu sendiri bagaimana, Kasshi?
Masih bekerja di tempat bimbel?”
“Tidak, sekarang aku hanya
mengajar pada hari Sabtu. Saat ini aku lebih fokus pada pekerjaan di departemen
editorial di penerbit Iidabashi.”
“Oh ya, kamu pernah bilang
begitu. Kalau tidak salah kamu bekerja di tempat yang sama dengan Kurose-san,
‘kan?”
Sambil terus berbincang-bincang
seperti itu, kami berdua akhirnya sampai di kampus Universitas Houou.
Sejak bulan Februari ketika
kami pergi jalan-jalan dengan Yamana-san dan Luna, aku dan Nisshi mulai sering
melakukan komunikasi lagi.
Aku ingin bertemu dengannya
karena ingin mendengar kabarnya dengan Yamana-san, jadi aku ingin bertemu secepatnya.
Namun, jadwal kerja paruh waktu dan kuliah kami tidak pernah sinkron, dan hari
ini kebetulan merupakan kesempatan yang bagus setelah ujian selesai, sehingga
kami bisa bertemu sebelum waktu kerja paruh waktuku di departemen editorial.
Ketika aku bilang, “Aku ada urusan di universitas, jadi aku
akan pergi ke sana dulu,” Nisshi lalu berkata, “Aku juga ingin lihat-lihat Universitas Houou,” jadi kami
memutuskan untuk makan siang di dalam kampusku.
“Wah, gedung-gedungnya lumayan
besar ya.”
Nisshi berseru kagum sambil
melihat gedung-gedung yang langsung terlihat setelah masuk melalui gerbang
utama.
“Bangunannya kelihatan cukup
baru ya?”
“Iya. Tapi di belakang masih
banyak gedung-gedung lama.”
“Hmm. Kalau dipikir-pikir, aku
belum pernah berkunjung ke universitas lain selain universitasku sendiri.”
“Aku juga begitu. Lain kali,
ajak aku berkeliling Universitas Seimei juga, ya.”
“Oh, bagus. Aku juga belum
terlalu mengenalnya.”
Kami berjalan masuk ke dalam
kampus sambil terus berbicara.
“Ada tiga kantin di sini, kamu
mau yang kantin mana?”
“Tiga!? Wah, hebat ya. Apa ada
rekomendasi darimu, Kasshi?”
“Hmm...”
Karena tempat makan yang sering
aku kunjungi bersama Kujibayashi-kun memiliki nuansa makanan atletik, mungkin
aku tidak ingin menunjukkan tempat itu kepada Nishii yang datang dari luar
untuk mencari citra “Houou”. Dan di
bawahnya, terdapat kantin besar seperti kantin serba ada yang dapat ditemukan
di mana saja. Jadi...
“Ayo pergi ke kafetaria saja.”
“Oke, aku percayakan padamu.”
Dengan begitu, aku dan Nisshi
menuju ke kafetaria yang hanya pernah kudatangi dua atau tiga kali.
Kafetaria yang kami kunjungi terletak
di lantai empat gedung depan gerbang utama. Tempat itu masih baru dan bersih
sehingga populer di kalangan mahasiswi, tetapi tempat itu terasa seperti
memiliki tembok transparan untuk orang-orang sepertiku yang cenderung introvert
dan suram.
Berbeda dengan Kujibayashi-kun
yang memiliki gaya fashion yang sangat terbatas, Nisshi yang terlihat cukup
modis akhir-akhir ini, jadi rasanya seperti aku membawa teman-teman yang
periang, dan membuatku merasa lebih percaya diri dari biasanya.
Setelah memasuki lantai dengan
pencahayaan yang bagus dari dinding kaca, kami duduk di meja di area yang sepi
sebisa mungkin.
“Anak kampus Houou memang
terlihat pintar ya.”
Setelah memesan paket makan
siang dan meletakkan nampan di atas meja, Nisshi melihat sekeliling dan berkata
demikian.
Karena sudah hampir akhir
ujian, meskipun sedang siang hari, jumlah orang yang hadir masih sedikit
dibandingkan hari biasa. Namun, ada beberapa siswa yang tampaknya sedang
belajar sendirian karena masih memiliki ujian. Secara keseluruhan, jumlah
perempuannya lebih banyak ketimbang laki-laki.
“... Tapi aku merasa tidak
nyaman di sini.
“Apa kamu ingin melihat video
Ken?”
Saat masih SMA, kami sering
menontonnya selama waktu istirahat siang, jadi ketika aku menyarankannya, raut
wajah Nisshi tiba-tiba berubah.
“Oi, jangan lakukan itu! Ketika
sudah menjadi mahasiswa, KEN adalah sesuatu yang harus disembah secara pribadi!
Terutama di kafetaria yang banyak gadis-gadisnya seperti ini! Dengar, jangan
pernah menyebut nama KEN hari ini!”
“Ehhh!?”
Memangnya sampai separah itu?
Aku penasaran bagaimana Nisshi
memperlakukan KEN sekarang, tetapi mungkin aku sudah terlalu jauh dari garis
depan para KEN’S Kids sehingga aku tidak mengetahuinya. Entah kenapa aku jadi
merasa kesepian.
Bagaimanapun, saran menonton video
itu ditolak, jadi kami memutuskan untuk makan sambil berbincang-bincang.
“Oh ya, bagaimana dengan kabar
Icchi? Aku bahkan jarang melihatnya di antara para Kid’s belakangan ini. Apa
kamu masih berhubungan dengannya sejak saat itu?”
“Tidak. ... Oh, hanya sekali
saja sih.”
“Hm?”
“Saat aku meneleponnya untuk
memberitahu kalau aku mulai berpacaran dengan Nikoru, sepertinya Tanikita-san
sedang berada di dekatnya dan sudah tahu tentang kami yang melalui jalur itu.
Mereka terus menertawakanku, jadi aku merasa kesal, dan langsung menutup
telepon.”
“Begitu ya...”
Aku juga merasa seperti jarang
berkomunikasi lagi dengan Icchi sejak insiden dengan Chamotaro-san.
“Ya ampun, tuh anak sedang
ngapain, sih...”
“Aku harap dia baik-baik saja.”
“Ya, dia pasti baik-baik saja. Kurasa
kami cukup dekat sehingga jika dia meninggal, aku akan mendapat telepon tentang
upacara pemakamannya.”
“Hahaha.”
Aku melanjutkan makan sambil
tertawa ringan mendengar candaan gelap Nisshi.
“Tanikita-san…”
Nisshi bergumam sambil
mengunyah nasi goreng dengan saus demiglace. Ngomong-ngomong, aku sedang makan
pasta gaya Jepang dengan daging babi dan daun sawi.
“Dia imut sih, tetapi dia
memiliki kepribadian yang sangat keras. Dia terlihat seperti tipe orang yang
sadis.”
“Yah, ada juga orang yang
senang dengan itu. Mungkin Icchi tipe orang seperti itu.”
“...Itu berarti, dalam artian
aktivitas di malam hari?”
“Eh!? T-Tidak, bukan itu...!”
Aku menjadi terkejut karena
Nisshi tiba-tiba membawa topik vulgar.
“Bagaimana denganmu, Kasshi?
Kamu termasuk yang mana?”
“Hah? Apa maksudmu? ...Mana
yang kamu maksud? Tentang kekuasaan?”
Aku bertanya balik dengan
kebingungan, dan Nisshi tersenyum dengan penuh makna.
“Kalau aku sih bebas yang mana
saja.”
Dia berkata sambil tersenyum
menyeringai ketika melihatku.
“Ini masih siang, loh...?”
Aku belum mengungkapkan kepada
Nisshi bahwa aku masih belum berhubungan badan dengan Luna, jadi percakapan
seperti ini terasa sedikit canggung.
“...Bagaimana denganmu dan
Yamana-san? Jika kamu ingin tahu, beri tahu aku juga.”
Ketika aku membalas dengan
serangan balik, ekspresi Nisshi tiba-tiba berubah.
“...Tidak ada yang bisa
kukatakan tentang itu.”
“Eh...?”
Nisshi memalingkan wajahnya ke
arah jendela setelah mengatakan itu. Ekspresi halus yang menggambarkan perasaan
yang rumit tentang hubungannya dengan Yamana-san sejak kami berbicara di depan
stasiun terlihat jelas di raut wajahnya.
Mungkin hubungannya dengan
Yamana-san tidak berjalan dengan lancar? Padahal mereka baru jadian tiga bulan?
Saat aku sedang berpikir
seperti itu.
“...Aku penasaran, apa Nikoru
tidak menganggapku sebagai seorang pria?”
Nisshi tiba-tiba mengucapkan
kata-kata tersebut sambil merenung.
“...Aku tidak menyangka bahwa
setelah tiga bulan berlalu, kami masih belum membuat kemajuan sama sekali.”
“............”
Apa itu berarti Nisshi dan Yamana-san
belum bisa melakukan hal-hal yang biasa dilakukan sepasang kekasih?
Aku juga masih perjaka setelah
empat tahun berpacaran, jadi jika mereka berdua baik-baik saja dengan itu, aku
pikir itu tidak masalah. Namun, ekspresi Nisshi mengungkapkan bahwa kondisi
saat ini tidak memuaskannya.
“...Benar-benar….belum ada
kemajuan sama sekali?”
Ketika aku bertanya dengan
hati-hati, Nisshi menatapku sejenak dan membuka mulutnya seperti merasa
frustasi.
“Kami sudah saling berpegangan
tangan... tapi hanya sebatas itu saja.”
“...Jadi begitu.”
“Bahkan kami berjalan-jalan di sekitar
Odaiba pada malam hari, aku tidak merasakan perbedaan apa pun dibandingkan
kencan di siang hari.”
“...Jadi begitu ya...”
Aku juga tidak terlalu mahir
dalam hal semacam ini, dan selalu mengandalkan Luna untuk memimpin, jadi sulit
bagiku untuk memberikan saran apa pun.
“Aku merasa sulit untuk
menciptakan suasana seperti itu. Aku sudah berusaha keras... tapi sepertinya
dia tidak memberikan izin untuk melakukannya...”
Mungkin sebenarnya ia tidak
ingin mengatakan hal-hal seperti ini padaku. Nisshi terus menerus menunjukkan
wajah kesal.
“Walaupun kita bergandengan
tangan, dia selalu menggodaku dengan mengatakan 'Bukannya tanganmu lebih kecil daripada milikku?'”
“Begitu ya...”
Yang bisa kulakukan hanyalah
mengatakan “Begitu ya” untuk kesekian
kalinya.
Memang benar, karena Sekiya-san
bertubuh tinggi, jadi tangannya juga besar. Aku mengingat saat ia memegang
gelas di restoran ramen. Meskipun jarinya terlihat ramping, tapi tangannya
terlihat kuat dan sedikit kasar, memberikan kesan maskulin.
Aku melihat tangan Nisshi yang
ada di hadapanku. Tangan kanannya yang memegang sendok, jelas lebih kecil dari
milik Sekiya-san, dengan sedikit kelembutan yang terasa sedikit seperti anak
kecil.
“...Aku selalu melihat Nikoru
saat dia masih bersama mantan pacarnya.”
Ekspresi Nisshi tampak semakin menyakitkan
saat mengatakan itu.
Aku ingat raut wajahnya ini.
Setelah melihat Yamana-san dan Sekiya-san saling berpelukan di Kyoto saat perjalanan
wisata sekolah, Nisshi menunjukkan raut wajah yang sama setelah perjalanan
panjang.
“Itu benar-benar berbeda...
Wajah yang dia tunjukkan pada mantan pacarnya... dan wajah yang dia tunjukkan
padaku sekarang”
“.........”
Aku tahu bagaimana Yamana-san ketika
sedang bersama Nisshi, dan aku mengenal bagaimana Yamana-san ketika dia bersama
Sekiya-san.
“...Tapi, sejak dulu, ketika
bersama Nisshi, Yamana-san terasa lebih seperti jati diri Yamana-san yang sebenarnya.”
Nisshi melihatku dengan
senyuman kecil yang tampak sedikit bahagia ketika mendengar kata-kataku.
Namun, ekspresi itu segera
kembali menjadi suram.
“...Aku tahu aku mengeluh
tentang masalah yang sepele. Aku harusnya bersyukur hanya karena dia mau
berpacaran dengan orang suram seperti diriku...”
Nisshi terus melanjutkan dengan
senyum yang mencela dirinya sendiri.
“Selain itu, karena kami sudah
berteman sejak lama... hanya karena kami tiba-tiba menjadi sepasang kekasih
bukan berarti kami bisa mengubah keadaan begitu tiba-tiba. Ditambah lagi,
Nikoru baru putus dengan mantan pacarnya. Aku memang memahami hal itu, tapi...”
Sambil menopang pipi dengan tangan
yang memegang sendok, Nisshi menatap ke arah jendela.
Hijaunya pepohonan ginkgo
tampak bergoyang penuh warna di luar jendela.
Setelah memandangnya dengan
mata menyipit, Nisshi lalu bergumam pelan.
“Karena kami berdua sudah
menjadi 'sepasang kekasih'... bukannya
itu wajar kalau aku menginginkan hubungan yang berbeda dibandingkan saat kami
masih 'berteman'?”
◇◇◇◇
“Oh, selamat datang!”
Ketika aku menaiki lift menuju
lantai lima sebuah gedung multi-penyewa di pusat kota dekat Stasiun A dan
menekan interkom di sebuah ruangan yang tampak seperti apartemen, Yamana-san
membuka pintu dari dalam dan menyapaku dengan penuh semangat. Meskipun
suasananya sedikit berbeda, tapi semangatnya masih sama seperti saat dia
bekerja paruh waktu di izakaya.
“Ayo masuk, masuk. Silakan
duduk di sana.”
Yamana-san menunjukkan ke arah
belakang ruangan. Di sana ada dua meja panjang yang saling berdampingan, di
depan masing-masingnya terdapat kursi kecil seperti sofa.
Aku dengan sungkan duduk di
kursi yang ditunjukkan Yamana-san di bagian belakang ruangan.
Ruangan ini terlihat kecil, kelihatannya
seukuran apartemen satu kamar tidur. Meskipun sedikit barang dan terkesan sepi,
dinding dan perabotannya didominasi oleh warna putih, memberikan kesan
kebersihan.
“...Ini terasa seperti privasi
sekali.”
“Nah, ‘kan~.”
Yamana-san tersenyum dan duduk
di seberang meja. Kursi yang dia duduki berbeda dengan kursi untuk pelanggan,
ini adalah kursi bulat sederhana tanpa sandaran.
“Ini adalah salon yang
didirikan oleh seorang senior di sekolahku. Oleh karena itu, demi alasan
keamanan, salon ini hanya menerima pelanggan perempuan. Tapi sejak aku
bergabung pada bulan April, salon ini mulai menerima pelanggan pria saat kami
berdua berada di sini. Kami juga berencana untuk menyewa ahli manikur baru di
musim gugur.”
Sambil membicarakan hal itu,
Yamana-san dengan cekatan melanjutkan persiapan. Di tengah-tengah meja terdapat
kotak yang dilengkapi dengan lampu neon tipis, dia menggesernya ke samping dan
membawa sesuatu yang mirip dengan tempat pena yang penuh dengan kuas ke depan.
“Coba ulurkan tanganmu. Aku
akan membersihkannya dulu.”
“Ah, ya...”
Aku menjawab agak gugup karena
meskipun aku mengenal baik Yamana-san, selain Luna, ini adalah pertama kalinya
tanganku menyentuh tangan perempuan selain teman dansa.
Yamana-san meletakkan tanganku
di atas tangannya satu per satu dan membersihkan telapak tangan dan ujung
jariku dengan kapas pembersih. Kemudian, dia mengambil foto dengan ponselnya
untuk model contoh.
“...Apa senior itu tidak ada di
sini sekarang?”
Karena ruangannya yang kecil, jadi
aku tidak perlu melihat sekeliling untuk tahu bahwa tidak ada orang lain di
sini.
“Ah, ya. Aku memberinya waktu istirahat
siang karena sudah memberitahunya kalau yang datang adalah temanku yang membantu
sebagai contoh model.”
“Jadi begitu ya.”
Ketika mendengar kata “teman” dari mulut Yamana-san, aku
merasa sedikit malu dan geli. Aku senang bisa diterima sebagai pacar sahabatnya
dan juga sebagai teman laki-lakinya.
“Tempo hari yang lalu, aku
makan siang dengan Nisshi di kampusku.”
Saat itu, ketika Nisshi
bercerita tentang hubungannya dengan Yamana-san, aku teringat pembicaraan tentang
“Model kuku pria” yang pernah
dikatakan oleh Luna, jadi aku menghubungi Luna dan memintanya untuk memesan
janji pada hari kerja minggu depan pukul 1 siang. Karena itu waktu yang pas
untuk mulai bekerja di departemen editorial setelah selesai.
“Oh, begitu ya. Di Universitas
Houou, ‘kan? Katanya dia sakit perut karena banyak cowok dan cewek yang
rupawan.”
“Bukan, itu sih karena Nisshi-nya
saja yang makan terlalu banyak.”
Setelah Nisshi selesai makan omurice, ia memesan parfait dan kue keju
juga karena berpikir mumpung lagi berkunjung di kampus lain, tapi ia justru mengeluh
bahwa ia sudah tidak sanggup memakannya lagi.
“Aku senang kalian berdua masih
terlihat sangat akrab.”
Yamana-san berkata demikian
sambil mengikir kukuku. Tangan Yamana-san yang dengan cepat membentuk siluet
yang indah dan bulat saat mengikir bagian putih kuku, terlihat seperti seorang
profesional.
“Ren sering mengeluh 'Aku tidak bisa menghubungi Icchi. Aku
bahkan tidak ingin menghubunginya.'”
Yamana-san menatapku sambil menyeringai
ketika dia meniru ucapan Nisshi saat mengucapkan kalimat itu.
“Yah lagipula, mereka berdua
lagi lengket-lengketnya seolah-olah sedang hidup di dunia mereka sendiri.”
“Icchi dan Tanikita-san?”
“Ya, Akari, tuh anak, dia sangat
tergila-gila padanya. Dia benar-benar ketagihan. Baik di Instagram dan
TikTok-nya, mereka berdua pamer kemesraan terus sampai-sampai melihatnya saja
sudah bikin jengkel. Mau lihat?”
Seolah-olah dia sangat ingin
menunjukkannya padaku, Yamana-san berhenti melakukan perawatan sebelum aku
mengangguk. Dia memasukkan tangan ke saku apron yang dia kenakan di
pinggangnya, mengeluarkan ponselnya, dan menunjukkannya kepadaku.
Postingan terbaru di akun
TikTok yang sepertinya milik Tanikita-san adalah video singkat di mana wajah
Tanikita-san dan Icchi diberi efek berkilauan saat mereka bernyanyi bersama.
Berdasarkan gambar thumbnail-nya, terlihat seperti video-video semacam itu
terus berlanjut tanpa henti.
“... Luar biasa ya. Hampir
setiap hari diperbarui dengan gambar dua orang.”
“Nah ‘kan? Apa-apaan sih
mereka? Memangnya mereka tinggal bersama? Mereka terlalu bersemangat
sampai-sampai rasanya terlalu menakutkan.”
Yamana-san tertawa dengan
terkejut sambil menerima ponsel dariku dan melanjutkan perawatan.
“... Yamana-san sendiri, apa kamu
tidak terlalu bersemangat juga?”
“Maksudmu setelah berpacaran
dengan Ren? ... Tentu saja aku tidak terlalu bersemangat.”
Yamana-sam menjawab dengan tersenyum
ringan sambil menggerakkan tangannya.
“Karena pada awalnya, kami
tidak pernah memiliki hubungan seperti itu.”
“... Tapi, jika kalian berdua
berpacaran, pastinya ada sedikit perubahan... ‘kan?”
Karena aku sendiri belum pernah
mengalami hubungan seperti itu, aku menjadi ragu-ragu.
Sambil terus melakukan
perawatan, Yamana-san tersenyum sambil sekilas melihatku.
“... Sepertinya Ren ingin
mengubah sesuatu.”
Yamana-san berkata demikian
sambil tetap melakukan perawatan pada tanganku.
“Tapi rasanya sungguh
menggelikan bukan? Karena itu mustahil bagiku.”
“... Benarkah?”
“Tentu sajalah.”
Yamana-san tersenyum sambil
mengangguk.
“... Aku suka bisa menjadi
diriku sendiri saat bersama Ren.”
Meskipun tatapan matanya
ditujukan pada tanganku, tapi pada saat yang sama, sepertinya diarahkan ke
suatu tempat yang jauh.
“Ketika aku berpacaran dengan
Senpai, aku ingin terlihat 'lucu dan
manis' atau 'dianggap sebagai gadis
yang baik', jadi aku menekan perasaanku sendiri. Tapi ketika aku berpacaran
dengan Ren, aku tidak perlu melakukan hal yang tidak wajar seperti itu. Karena
aku tidak pernah berperilaku seperti itu di depan Ren. Dan Ren menyukaiku apa
adanya.”
“Begitu ya...”
Aku memberikan respons yang
sama lagi. Meskipun aku merasa sedikit tidak enak karena melihat keadaan Nisshi,
mungkin hubungan antara Yamana-san dan Nisshi berjalan lancar.
Jika hubungan seperti itu tidak
memuaskan... Mungkin Nisshi harus melepaskan perasaan cintanya.
Setelah berpikir seperti itu,
aku tidak bisa mengatakan apa-apa lagi pada Yamana-san.
“Oh ya, ngomong-ngomong,
bagaimana Yamana-san dan Sekiya-san mulai berpacaran?”
Sebagai gantinya, aku bertanya
pada Yamana-san tentang hal tersebut.
Aku sudah mendengar cerita
tentang bagaimana mereka bertemu saat Yamana-san menjadi manajer di klub tenis
meja di SMP dan Sekiya-san menjadi anggota senior, tetapi aku belum pernah mendengar
detail tentang bagaimana mereka berpacaran.
Karena bagi Yamana-san,
perasaan cintanya pada Sekiya-san adalah sesuatu yang istimewa, jadi aku merasa
penasaran sekarang.
“Hah? Ada apa? Mengapa kamu tiba-tiba
bertanya tentang itu?”
“Oh enggak, jika kamu tidak mau
bicara...”
“Aku tidak keberatan, kok.”
Yamana-san membuka mulutnya sambil
terus melakukan perawatan dengan cekatan.
“Hmm... sulit untuk
menjelaskannya hanya dengan satu kata. Kami saling akrab selama satu tahun di
klub, dan mulai berpacaran menjelang kelulusan.”
“Siapa yang mengungkapkan
perasaannya dulu?”
“Mengungkapkan perasaan, ya...
hmm, mungkin Senpai duluan? Saat hari Valentine, ia mengatakan sesuatu yang
mengarah ke arah itu, dan dari situlah hubungan kami berkembang.”
“Oh begitu ya.”
Aku teringat foto Sekiya-san
saat masih di SMP yang pernah ditunjukkan padaku. Meskipun pada waktu itu
dirinya terlihat kurang menarik, tapi ia bisa membuat keputusan pada saat-saat
penting. Sekiya-san memang luar biasa.
Sambil berbicara tentang hal
itu, tampaknya “perawatan kuku” yang
aku jalani tadi sudah selesai tanpa aku sadari. Terakhir, aku ditanya, “Aroma apa yang kamu sukai?” dan aku
menjawab “Aku tidak tahu.” Kemudian,
kedua tanganku diberi krim tangan dengan aroma jeruk atau mandarin yang harum,
dan perawatan pun selesai.
“Wah, luar biasa!”
Aku mengangkat kedua tangan
yang kini bebas sejajar dengan mataku, dan memandangi kukuku dengan seksama.
“Kuku-kuku ini terlihat bersinar...”
Sepuluh kuku jari yang rapi dan
sama panjangnya, permukaannya terlihat halus dan mengkilap meski tidak ada cat
kuku. Mereka memantulkan cahaya lampu neon dengan gemerlapan yang memikat.
Kulit tipis yang mungkin rentan terhadap kulit kering atau kuku yang terkelupas
juga telah rapi dipotong di pangkal kuku, membuat kuku terlihat lebih panjang.
Meskipun itu kuku dari
jari-jariku sendiri, tapi rasanya seperti bukan milikku.
Aku merasa bisa memahami
perasaan Luna. Memang benar, ketika melihat kukuku sendiri yang begitu cantik,
aku tak bisa menahan diri untuk melihatnya dan merasa senang. Aku merasa
seperti menjadi narasistik.
“Zaman sekarang, perawatan kuku
juga menjadi keharusan bagi pria. Apalagi jika kamu memiliki pacar, bukan?
Tangan dan jari adalah tempat yang paling sering bersentuhan dengan pasangan,
jadi menjaganya tetap bersih dan rapi adalah bagian dari kepedulian.”
Sambil mengatakan hal itu,
Yamana-san mengambil beberapa foto jari-jariku yang diletakkan di atas meja
dengan ponselnya sendiri.
Kemudian, dia melihat wajahku
dan tersenyum penuh makna.
“Kalian berdua akhirnya…pergi ke Okinawa…untuk melakukannya, bukan?”
Meskipun tidak ada orang lain
di sekitar, dia berbisik dengan suara pelan, dan aku merasa kaget.
“Y-ya, benar...”
Dasar Luna, jadi dia bahkan menceritakan
hal itu pada Yamana-san.
“A-Aku memang bermaksud begitu...”
Yamana-san memperhatikanku
sambil menyeringai saat wajahku terasa memanas dan gugup.
“Sebelum pergi berlibur, kalau
kamu mau, datanglah lagi. Sebagai bonus, kali ini akan kuberikan diskon
setengah harga lagi, oke ♡”
Dia mengucapkan itu sambil mengedipkan
matanya dengan nakal.
◇◇◇◇
Ketika memasuki bulan Agustus, hari-hari
panas yang tak terkendali datang bertubi-tubi.
“Panas banget...”
Ketika berjalan di luar pada
siang hari, sinar matahari yang terik membakar seluruh tubuhku dari atas, dan tanpa
sadar aku mengucapkan kata-kata tersebut.
Di tengah situasi seperti itu,
aku keluar rumah meski bukan untuk bekerja paruh waktu atau berkencan, tapi
untuk bertemu dengan seseorang.
“Oh, Ryuuto!”
Sekiya-san datang melalui pintu
gerbang tiket Stasiun Shin-Misato dan mengangkat tangannya setelah melihatku.
“Wahh kulitmu jadi sangat
kecoklatan. Tumben sekali.”
“Aku pergi ke pantai bersama
teman-teman SMP-ku pada hari Minggu.”
Wajah Sekiya-san sedikit kecoklatan
karena terbakar matahari. Lengan yang terlihat dari kemeja pendeknya juga
berubah menjadi warna yang sama.
“Kedengarannya seru tuh, laut.”
“Aku cuma bermain-main dengan
para cowok brengsek itu.”
Namun, Sekiya-san terlihat bersenang-senang.
Kalau dipikir-pikir, sejak aku
mengenal Sekiya-san, ia selalu menjadi ronin yang sibuk dengan ujian masuk
universitas, jadi aku tidak pernah melihatnya bermain di musim panas. Ia selalu
berada di sekolah bimbel dari pagi hingga malam, sehingga tidak pernah memiliki
kulit terbakar matahari.
“Apa kamu tidak mencoba
menggoda gadis-gadis?”
“Ya enggaklagh. Karena kami
semua anggota klub tenis meja, dan semuanya adalah orang yang suram.”
“Bukannya itu perkataan kurang
sopan terhadap anggota klub tenis meja di seluruh negara?”
“Kalau begitu, pergilah dan
lihat sendiri saat pertandingan, mereka semua seperti sapi dungu.”
“......hahaha.”
Aku ingin memberikan dukungan
padanya tapi malah semakin berkata kasar, jadi aku hanya bisa tertawa.
“Berapa lama kamu akan tinggal
di sini, Sekiya-san?”
Sambil berjalan menuju tujuan
kami di atas jembatan pejalan kaki, aku bertanya padanya.
“Mungkin kurang lebihnya
sekitaran seminggu. Aku akan pulang minggu depan. Aku harus belajar karena ada
ujian setelah liburan.”
“Heee... sudah kuduga, sepertinya
menjadi mahasiswa kedokteran memang sulit ya?”
“Yah, aku sudah mengatahui itu
sejak awal. Tapi sekarang jauh lebih mudah secara emosional daripada saat
menjadi ronin tahun lalu, jadi aku hanya bisa berusaha lebih keras.”
Sekiya-san menjawab dengan
sikap acuh tak acuh dan menundukkan kepalanya ke bawah, seakan-akan memalingkan
wajahnya dari sinar matahari.
“.....sebenarnya, aku bisa
tinggal di sini lebih dari seminggu, tapi selama aku bisa bertemu denganmu dan
teman-teman setempat, aku tidak punya alasan untuk tetap di sini lebih lama
lagi. Karena aku merasa lebih nyaman tinggal sendiri daripada di rumah orang
tua.”
“........”
Aku tahu sesuatu tentang
keadaan keluarga Sekiya-san, tapi aku merasakan sesuatu yang berbeda dari gaya
bicaranya. Seandainya saja Sekiya-san masih berpacaran dengan Yamana-san. Mau
tak mau aku mulai membayangkan kalau liburan musim panas ini pasti menjadi dua
minggu yang paling bahagia bagi mereka. Dan hal itu membuatku teringat akan
masalah Nisshi dan membuat perasaanku jadi campur aduk.
“Oh iya, setelah aku diterima
di universitas, ayahku menjadi lebih baik padaku. Ia malah mengajakku untuk
pergi minum sesekali, dan malam ini kita akan pergi makan sushi bersama.”
“Wah, bagus sekali. Tempatnya
yang berputar itu, ‘kan?”
“Itu di Ginza. Kalau itu
restoran sushi berputar, rasanya akan lucu. Ayah terlalu mengerti lelucon,
hahaha.”
Sekiya-san terlihat senang
ketika mengatakan itu. Meskipun ia memiliki perasaan campur aduk terhadap
ayahnya, tidak diragukan lagi bahwa dia masih menghormati ayahnya sebagai
seorang dokter.
“Jadi, mengapa kita ada di sini
hari ini?”
Ketika kami semakin dekat
dengan tujuan kami, aku menunjuk ke arah papan bertuliskan biru dan kuning yang
terlihat jelas.
Tentu saja, kami menuju ke toko
furnitur terkenal di seluruh dunia, “IKEA”.
“IKEA tuh enggak ada di
Hokkaido, tau? Aku pindah ke sana segera setelah kuliah dimulai, jadi aku belum
sempat membeli furnitur sepenuhnya. Karena teman-teman kuliah tinggal dekat,
kadang-kadang mereka datang ke rumahku. Jadi aku ingin menyiapkan meja dan
sebagainya selama liburan musim panas. Aku selalu melihat-lihat di internet,
dan ternyata furnitur IKEA keren dan harganya juga bagus. Tapi aku ingin
melihat langsung sebelum membelinya, karena jika aku memesan lewat internet dan
ternyata tidak sesuai dengan bayangan, itu akan merepotkan.”
“Yah, aku paham tentang itu,
sih.”
Aku juga melakukan berbagai
riset sebelum melakukan pembelian besar dan aku juga tidak pandai dalam
bernegosiasi terkait pengembalian barang, jadi aku sama seperti orang yang
berhati-hati seperti Sekiya-san.
Saat kami sedang
membicarakannya, kami tiba di toko dan masuk ke dalamnya. Mengikuti rute yang
ditunjukkan, kami naik ke lantai dua melalui eskalator di depan kami.
Lantai dua ini merupakan area penjualan
dan ruang pamer secara keseluruhan. Di sana terdapat area penjualan yang
dikumpulkan berdasarkan tema seperti sofa dan meja, sementara ruangan-ruangan
kecil dengan perabotan yang ditempatkan dengan gaya yang modis muncul di
beberapa tempat. Dengan mengikuti jalur yang ditunjukkan, kami dapat melihat
semua perabotan rumah secara keseluruhan.
Aku sering melihat tempat
seperti ini di televisi, tapi hari ini baru pertama kalinya aku datang ke toko
fisiknya.
“Tapi, mengapa kamu
mengajakku?”
“Habisnya, kalau datang sendiri
ke tempat seperti ini, kamu pasti akan merasa kesepian dan mati dong?”
Setelah Sekiya-san menjawab
begitu, aku melihat sekelilingku lagi. Yang mencolok adalah keluarga yang
sedang berbelanja, kemudian pasangan. Karena mereka datang ke tempat seperti
ini untuk berbelanja, mungkin mereka sedang berada di puncak kebahagiaan karena
tinggal bersama atau ada pasangan yang sedang mesra sambil melihat-lihat
barang.
“...Tapi, bukannya lebih baik
kalau kamu mengajak teman perempuanmu saja?”
“Mustahil kali. Kalau dia
benar-benar “teman perempuan”, dia pasti akan menolak karena tempat ini terlalu
mencurigakan.”
“Memang benar juga...”
“Selain itu, teman-temanku di
sini semuanya sudah bekerja. Sekarang masih sebelum liburan Obon dan mereka
harus bekerja keras di hari kerja.”
“Ah...”
Jika memang begitu, maka aku sedikit
mengerti alasan mengapa aku diajak.
“...Sekiya-san, apa kamu punya
pacar baru? Apa kamu tidak menemukan seseorang di sana?”
Aku bertanya dengan rasa
penasaran, dan Sekiya-san tersenyum dengan sedikit arti di balik senyumnya.
“...Hmm yah, ada beberapa gadis
yang mungkin mau menjadi pacarku. Jadi jangan khawatir.”
Sikapnya yang santai entah
kenapa membuatku agak kesal.
“Bukannya aku khawatir atau
semacamnya. Karena ini tentang Sekiya-san.”
“Hanya saja...”
Kemudian, kami berhenti karena jalur
rute terjebak macet. Sekiya-san secara kebetulan mengambil tas pendingin di rak
depannya dengan tangan yang tidak sibuk.
“...Untuk saat ini, mungkin hubungan
yang bisa kudapatkan hanya sampai sebatas teman perempuan. Mungkin aku perlu
waktu yang lebih lama untuk memiliki hubungan yang serius.”
Sambil melihat-lihat contoh tas
pendingin yang berwarna-warni, aku mendengarkan cerita Sekiya-san.
“Aku sekarang adalah seorang 'mahasiswa kedokteran', dan di masa
depan akan menjadi 'dokter'. Itu
adalah jalur yang hampir pasti, kecuali aku melakukan kesalahan besar. Jadi, kupikir
itu juga berkontribusi pada kepopuleranku.”
Mungkin ini adalah kecemburuan
dari seorang mahasiswa sastra yang tidak populer, yang ingin mencoba mengatakan
“aku populer”. Aku hanya diam dan
mencoba memahami apa yang ingin disampaikan Sekiya-san.
“Mungkin…. aku tidak akan
pernah bisa mengalami hubungan percintaan seperti itu lagi ketika bersama
dengan Yamana…... selamanya.”
Wajah samping Sekiya-san
terlihat sedih, yang terlihat tidak sesuai dengan kepribadiannya.
“Yamana...”
Sekiya-san menggumamkan nama
itu sambil menarik napas dalam-dalam sambil meletakkan kembali tas pendingin ke
dalam rak.
“Sebagai gadis pertama yang
menyukai diriku yang belum menjadi siapa-siapa... Mungkin dia juga menjadi
gadis yang terakhir.”
Kemudian, suasana sekitar mulai
sepi, lalu aku dan Sekiya-san melanjutkan perjalanan kami dengan santai.
“Bukan berarti aku menyesal...
Pada saat itu, hanya itu satu-satunya hal yang bisa aku lakukan... Yamana sudah
bahagia dengan pacar barunya sekarang, kan...”
Kupikir
lebih baik seperti itu... ucap Sekiya-san dengan suara berbisik
sambil menundukkan pandangannya ke tanah.
“...Aku bertanya-tanya mengapa
aku tidak bisa lebih menghargai gadis yang begitu berarti bagiku.”
Ekspresi wajahnya tidak sesuai
dengan kata-katanya.
Aku hanya bisa melihat bahwa dirinya
sedang dilanda penyesalan yang sangat mendalam.
"...Bukannya itu yang biasa
disebut 'penyesalan'?”
Aku cenderung mengatakan hal-hal
yang menyakitkan bagi Sekiya-san. Karena apapun yang kukatakan, Sekiya-san akan
menganggapnya sebagai lelucon.
Itulah sebabnya.
“….Ah, begitu rupanya.”
Ketika aku melihat Sekiya-san
hanya tersenyum pahit dengan rasa bersalah, aku merasa sedikit tidak enak dan
canggung, seolah-olah aku telah melakukan sesuatu yang buruk.
“Oh, lihat ini, lucu sekali,
iya ‘kan?”
Aku buru-buru mengambil boneka
yang ada di dekatku. Karena kami baru saja tiba di area kamar anak-anak, di
sekitar kami terdapat berbagai mainan dan boneka yang menarik.
Benda yang aku pegang adalah
boneka hiu berukuran besar.
“Bagaimana kalau menjadikan ini
sebagai teman untuk tinggal sendiri?”
Aku merasa seperti pernah
melihat ini di suatu tempat sebelumnya, dan karena persediaannya lebih banyak
dibandingkan yang lain, barang ini mungkin menjadi barang yang direkomendasikan.
Aku ingin ia tertawa dan
memberitahuku untuk tidak mengolok-oloknya, tapi Sekiya-san justru menunjukkan
ketertarikannya sambil berkata “Benar juga”.
“Kebetulan aku juga butuh
bantal, jadi mungkin aku akan membeli ini sebagai gantinya.”
“Eh, bukannya itu terlalu buruk
jika digunakan sebagai bantal?”
“Jika aku membelinya, aku akan
memilih yang ini.”
Sekiya-san mengambil boneka di
rak sebelah hiu. Boneka itu mirip dengan hiu, tetapi sedikit lebih kecil dan
berbentuk seperti lumba-lumba.
“...Apa kamu menyukai
lumba-lumba?”
“Tidak terlalu. Tapi yang ini
terlihat bagus dalam warna monoton.”
Memang benar, lumba-lumba
memiliki warna yang tenang dengan warna abu-abu dan putih, berbeda dengan hiu
yang memiliki warna biru di punggungnya dan mulutnya berwarna pink. Bahkan jika
ditempatkan di ruang tamu pria yang tinggal sendiri, boneka itu tidak akan
terlihat aneh.
“Aku akan tidur sambil memeluk
boneka ini setiap malam. Sebagai pengganti pacar.”
“...Yah, kurasa itu pilihan
yang bagus.”
“Tidak, tadi itu cuma bercanda,
jadi ketawa napa.”
"Tidak, aku merasa
sedih."
Aku pura-pura menekan mataku
dengan jari-jariku sambil bercanda, kemudian aku menatap Sekiya-san.
“Lebih penting lagi, bagaimana
dengan meja dan perabotan lainnya.”
Tampaknya kami telah mencapai
lantai atas dan di ujung jalan terlihat ruang restoran.
“Oh iya, benar. Kita berbicara
sambil berjalan dan sampai di sini.”
Pada akhirnya kami berbalik
arah dan kembali ke area ruang tamu.
Setelah melihat-lihat berbagai
macam meja, Sekiya-san memilih meja putih yang rendah sebagai meja samping di
ruang makan.
Selain itu, kami juga
memutuskan untuk membeli rak buku dan meja televisi. Setelah itu, kami
mengumpulkan barang-barang kecil di lantai pertama dan memasukkannya ke dalam
tas belanja, lalu kami mendapatkan furnitur yang kami cari di area gudang
sebelum membayar di kasir.
Setelah menyelesaikan proses
pembelian dan pengiriman, kami berdua akhirnya sampai di ruang restoran di
lantai atas.
Waktu sudah menunjukkan pukul
15:00 sore.
“Gimana? Apa kamu mau makan?”
“Ah iya, aku mau, aku lapar
sekarang. Aku sarapan terlambat, jadi perutku mulai kosong sekarang.”
“Paham banget. Aku juga sarapan
jam 10-an.”
Terlambat bangun di pagi hari
adalah hal umum bagi siswa selama liburan musim panas.
“Sebagai ucapan terima kasih
karena sudah menemaniku, aku akan mentraktirmu. Kamu bisa memesan apa pun yang
kamu suka.”
“Oh, terima kasih banyak.”
Aku ingin makan dengan kenyang
karena setelah ini aku akan bekerja paruh waktu di bimbingan belajar pada sore
hari. Aku memesan sepaket bakso dan kentang goreng.
Jadwal kerjaku selama liburan
musim panas berbeda-beda tergantung pada jadwal murid yang aku tangani.
Di sisi lain, Sekiya-san hanya
memesan kue cokelat dan segelas minuman di nampannya.
“Apa segitu saja cukup untukmu,
Sekiya-san?”
“Yah, karena setelah ini aku
berencana memakan sushi. Jadi aku perlu menjaga supaya perutku tidak terlalu
kenyang.”
“Oh, begitu ya.”
Kami kemudian membayar di kasir
dan duduk di meja makan.
Karena waktunya belum terlalu
sore dan dalam hari kerja, jadi restorannya cukup sepi. Restoran ini mungkin
dilengkapi dengan produk IKEA seperti meja dan lampu, sehingga menciptakan
ruang yang simpel dan stylish dengan nuansa Scandinavia. Seperti ruang makan
besar di kampus universitas atau bahkan lebih luas lagi, kursi dan meja
berwarna putih tersusun rapi di seluruh ruangan.
Kami duduk berhadapan di meja
untuk empat orang di tepi jendela dan makan dengan diam-diam untuk sementara
waktu. Bakso yang kupesan rasanya sangat lezat. Ada tambahan kecil berupa selai
merah dengan biji-biji kecil ditambahkan dan pada awalnya aku sedikit
kebingungan, “Selai?” Namun setelah mencobanya, aku jadi ketagihan pada rasa
manis dan asinnya. Kentang tumbuk sebagai sampingannya juga sangat krimi dan
lezat, seperti yang diharapkan dari produsen furnitur dunia, menu makanan
mereka tidak dapat dianggap remeh.
Sambil memandang keluar
jendela, Sekiya-san diam-diam memasukkan sepotong kue coklat ke dalam mulutnya.
Saat aku melihatnya, aku jadi teringat percakapanku dengan Yamana-san beberapa
waktu lalu.
──
Pengakuan perasaan ya...hmm, mungkin Senpai? Ia bilang sesuatu yang terdengar seperti
itu saat Valentine, dan hubungan kami mulai berkembang dari sana.
“Ngomong-omong, di antara
Sekiya-san dan Yamana-san, siapa yang menyatakan perasaannya terlebih dahulu
saat kalian berpacaran selama dua minggu?”
Saat aku bertanya padanya
dengan maksud untuk mengecek jawabannya, Sekiya-san melirik ke arahku dan
membuka mulutnya.
“Mendadak ada apaan sih
bertanya begitu.”
“Tidak, aku hanya sedikit
penasaran saja.”
“Hmm~...mungkin Yamana?”
“Ehh?”
Aku terkejut dan menghentikan
tangan yang memegang garpu.
“….Yamana-san bilang kalau
Sekiya-san duluan yang menyatakannya, loh?”
“Eh, serius?”
Kali ini giliran Sekiya-san
yang terkejut.
“Hmm~~Entahlah. Aku lupa
bagaimana kami mulai berpacaran. Tapi kupikir semuanya itu berawal dari
Yamana?”
Dengan wajah yang tampak
seperti sedang berusaha mengingat masa lalu, Sekiya-san berkata kepadaku.
“Habisnya, pada saat hari Valentine,
dia memberiku lima cokelat loh?”
“Lima cokelat? Itu luar biasa.”
“Kamu juga setuju, ‘kan?”
“Apa itu cokelat yang dibuat
sendiri?”
“Tidak, sepertinya dibungkus dengan
kertas pembungkus cokelat.”
“Eh? Mungkinkah itu untuk
dibagikan ke semua orang?”
“Tapi, orang lain hanya
mendapatkan satu dan hanya aku yang mendapatkan lima cokelat. Jadi bisa
dibilang itu adalah bentuk pengakuan bagiku.”
“..........”
Aku merasa senang dengan
pernyataan murni dan tak terduga dari Sekiya-san sehingga aku bisa merasakan
aura cowok suram dalam dirinya yang dulu. Aku bisa merasakan kedekatan dengan
Sekiya-san karena mungkin ia dulu memiliki kepribadian yang hampir mirip
denganku yang perjaka dan suram.
“Apa kamu sangat menyukai
cokelat, Sekiya-san?”
“Eh?”
“Karena kamu masih makan itu
sekarang, jadi aku sedikit penasaran.”
“Ah… yah, bukannya aku tidak
menyukainya atau semacamnya….. Aku hanya merasa seperti itu hari ini.”
“Apa-apaan maksudnya itu?”
Ketika aku mengomentari hal
itu, Sekiya-san kembali berbicara dengan nada yang santai.
“Kurasa mungkin kami berdua
sama-sama belum menyatakan perasaan kami dengan benar.”
“Apa iya?”
Apa ada hubungan yang dimulai
seperti itu? Aku tidak bisa mempercayainya. Rasanya seolah-olah datang dari dunia
orang dewasa.
“Maksudku, jika kamu memiliki
rasa kepekaan yang normal sebagai manusia, kamu bisa merasakan apakah orang di
depanmu menyukai kita secara romantis atau tidak, bukan? Jadi, meskipun tidak
ada pengakuan langsung, jika saling menyukai, secara tidak langsung akan
terbentuk suasana hubungan pacaran, dan sudah tidak penting lagi siapa yang
mengatakannya atau tidak. Jika kamu dalam hubungan di mana kamu harus mengatakan
dengan jelas 'Aku menyukaimu, jadilah
pacarku' agar orang lain menyadarinya, maka tidak akan ada persetujuan
meskipun kita mengatakannya.”
“.......”
Aku teringat pada Icchi saat
festival budaya di kelas dua SMA dan menjadi merasa aneh. Yah, sekarang bagi
mereka berdua, semuanya sudah berakhir dengan baik.
Dan aku juga...
“Sebenarnya, aku pun melakukan
hal itu. Aku mengakui perasaanku pada Luna yang bahkan belum menjadi temanku…”
“Seriusan?”
Dengan ekspresi terkejut,
Sekiya-san melipat tangannya.
“Kalian benar-benar aneh.
Bahkan pacarmu yang menerimamu juga, dan kamu yang berpikir kalau pengakuanmu
akan berhasil."
“Bukan begitu, itu karena
sanksi hukuman game.”
“Muncul lagi, 'hukuman game'. Kedengarannya seperti
dari manga.”
Sekiya-san mengolok-olok sambil
menunjukkan garpu ke arahku.
“Jangan sekali-kali menceritakan
awal hubungan kalian yang aneh ini kepada anak-anakmu di masa depan, oke?
Jangan berpikir bahwa itu akan berhasil jika kamu menjadi orang dewasa. Kalian
berdua sangat spesial dalam banyak hal.”
“Aku tidak akan
menceritakannya, kok.”
Tiba-tiba aku merasa malu dan
aku menggembungkan pipiku.
“Jadi, jawaban Sekiya-san
adalah 'Yamana-san mendekatiku pada Hari
Valentine', begitu ya?”
Aku mengonfirmasinya sekali
lagi, lalu Sekiya-san memalingkan wajahnya sejenak sambil berpikir.
“...Hmm, benar.”
“Kalau gitu aku akan memastikan
dengan Yamana-san.”
Usai mendengar itu, Sekiya-san
melihatku dengan panik.
“Oi, hentikan!?, Jangan bilang
begitu sekarang. Rasanya terlalu menyedihkan, tahu!”
Ia berkata sambil tertawa
seperti mengolok-olok dirinya sendiri.
“Aku habis dicampakkan, tau?
Aku masih terluka, jadi jangan tambahkan garam ke lukaku.”
Sekiya-san selalu terlihat agak
santai dan memiliki aura yang agak acuh tak acuh, sulit untuk tahu mana yang
merupakan ucapan yang sebenarnya.
Tapi, saat ini.
Aku merasakannya dengan naluri.
Kata-kata ini, tanpa ragu,
adalah perasaan asli dari dirinya.
"...Maaf."
Aku membungkukkan sedikit
kepalaku, dan Sekiya-san melemparkan pandangan dingin dengan tatapan yang
seperti melirik. Bibirnya sedikit melengkung tipis.
“Sampaikan salamku untuk
Yamana, ya.”
Setelah mengatakan itu dengan
suara pelan, ia lalu menusukkan garpu ke sepotong kue cokelat yang tersisa di
piring dan memasukkannya ke dalam mulutnya.
◇◇◇◇
“Baiklah, kalau gitu, sampai
jumpa! Terima kasih hari ini.”
“Tidak, justru aku yang harus
berterima kasih sudah mentraktirku makan.”
“Oke. Aku nanti akan
menghubungimu lagi jika aku pulang pada akhir tahun.”
Setelah berpisah dengan
Sekiya-san di stasiun transfer, aku naik kereta sendirian.
Aku duduk di kursi kosong yang
tersedia, memandang pemandangan senja di luar jendela dengan pikiran yang
kosong.
Karena biasanya aku hanya
bertemu dengan Sekiya-san di Ikebukuro saat masih di sekolah bimbel, pergi
keluar seperti ini terasa baru.
Kecuali saat mengantar ke
Hokkaido, mungkin ini hanya kedua kalinya kami pergi melakukan kencan ganda di
akuarium atau Magical Sea.
Saat di akuarium, kami semua
menonton pertunjukan lumba-lumba bersama dan itu sangat menyenangkan.
Sambil memikirkan itu, aku
menyadari sesuatu.
──Apa
kamu menyukai lumba-lumba?
──Tidak
begitu. Tapi yang ini lebih terlihat monoton dan keren kan.
“Lumba-lumba...”
Apa jangan-jangan, itulah yang
jadi penyebabnya?
Karena ia pergi ke akuarium
pada kencan pertamanya dengan Yamana-san dan melihat pertunjukan lumba-lumba
yang meninggalkan kesan mendalam baginya.
“Dan juga cokelat...”
── Apa
kamu sangat menyukai cokelat, Sekiya-san?
── Ah…
yah, bukannya aku tidak menyukainya atau semacamnya….. Aku hanya merasa ingin
memakannya saja hari ini.
──
Habisnya, pada saat hari Valentine, dia memberiku lima cokelat loh?
Aku masih mengingat bagaimana mata
Sekiya-san yang bersinar seperti anak laki-laki saat ia mengatakan itu.
Sekiya-san benar-benar menyukai
Yamana-san.
Setelah tiga atau empat bulan
berlalu, dirinya bahkan masih belum bisa memikirkan hubungan dengan gadis lain.
Ia bahkan secara tidak sadar
mengumpulkan simbol-simbol kenangan dengan Yamana-san di sekitarnya.
“.........”
Tapi tidak ada gunanya
memikirkan hal semacam itu sekarang.
Semuanya sudah berakhir.
Yamana-san lebih memilih Nisshi
daripada Sekiya-san dan sudah puas dengan jalan yang dipilihnya sendiri.
Namun, sepertinya Nisshi
memiliki pemikiran tertentu...
“Ah...”
Mengapa cinta semua orang tidak
berjalan sesuai rencana yang sempurna?
Aku merasa sedih dan memutuskan
untuk berhenti memikirkannya.
Oh ya, berbicara tentang
Valentine...
Sebagai gantinya, aku jadi teringat
tentang hari Valentine-ku ketika aku duduk di kelas 3 SMA.
♣♣♣♣
Hari Valentine jatuh pada hari
sebelum ujian masuk Fakultas Sastra Universitas Houou.
Hasil ujian bersama tidak
begitu baik bagiku, jadi aku harus berjuang melalui ujian masuk umum untuk
masuk ke universitas bergengsi. Aku fokus pada persiapan soal-soal ujian masa
lalu yang terkait dengan universitas yang aku pilih. Aku meyakinkan diriku
sendiri bahwa semuanya akan berjalan sesuai rencana dan terus belajar dengan
tekun.
Di bulan Februari, ujian masuk
umum untuk universitas bergengsi di wilayah metropolitan dimulai.
Pada hari-hari lain selain hari
ujian, aku belajar di rumah daripada pergi ke ruang belajar di sekolah bimbel.
Hal tersebut demi mencegah terjangkit penyakit menular. Bahkan selama ujian,
aku tidak melepas masker di dalam ruangan.
Pada hari itu juga, aku belajar
seperti biasa di kamarku di rumah.
Tidak ada gunanya untuk merasa gelisah
sekarang. Melakukan hal baru hanya akan membuatku lebih khawatir, jadi aku
memeriksa kartu kata yang sudah aku lihat berkali-kali dan catatan hafalan yang
sudah aku buat dari soal-soal ujian masa lalu yang sudah pernah aku kerjakan
sebelumnya.
Ada ketukan di pintu kamarku,
dan ibuku memanggilku.
“Ryuuto, ada Luna-chan yang
datang kemari, loh?”
“....Eh?”
Aku memeriksa ponselku, tapi
tidak ada pesan apapun dari Luna.
Waktu di jam dinding menunjukkan
pukul 16.00.
Aku mengganti celana dalam
rumah yang buruk hanya dengan memakai celana jeans dan keluar tanpa alasan yang
jelas.
“Dia sedang menunggu di lobi
bawah.”
Setelah ibuku memberi tahu padaku di lorong, aku mengenakan masker seperti biasa dan keluar dari apartemen dengan menggunakan lift menuju lantai dasar.
“Ryuuto!”
Luna yang duduk di kursi tunggu
di dekat pintu masuk, mengangkat tubuhnya dengan girang saat melihatku.
Luna juga mengenakan masker.
Dia mengenakan mantel bulu tebal dan memakai sepatu bot panjang, serta membawa
kantong kertas di tangannya.
“... Ada apa?”
Aku benar-benar tidak tahu apa
yang terjadi, jadi aku bertanya padanya. Luna kemudian menyipitkan matanya saat
menjawab,
“Karena ini hari Valentine, jadi
aku datang untuk memberikanmu cokelat.”
“Ah...!”
Kalau diingat-ingat lagi, benar
juga. Tanggal ujiannya sehari setelah hari Valentine.
“Jadi begitu ya...”
“Ini untukmu.”
Seolah hendak menekannya ke
tanganku, Luna memberikanku kantong kertas sederhana yang dibawanya.
“Terima kasih...”
“Silakan buka setelah kamu di
rumah. Oh ya, jangan makan sekarang ya, tunggu sampai setelah ujian besok!”
“Eh, kenapa?”
“Karena ini buatanku sendiri.”
Luna menurunkan alisnya dengan
sedikit penyesalan.
“Aku membuatnya dengan rapi
kok, tapi aku bukan profesional. Aku khawatir jika ada virus atau bakteri jahat
yang menempel dan membuatmu demam atau sakit perut.”
“Luna...”
Dia bahkan memikirkan hal-hal
seperti itu untukku.
“Aku mengerti. Terima kasih,
Luna.”
“Tidak apa-apa. Aku harusnya
yang berterima kasih karena sudah mau menemuiku di saat-saat sulit ini.”
Dia mengatakan itu dan mundur
satu langkah. Apa dia akan pulang
sekarang... Aku merasa sedikit kecewa.
“Semoga berhasil. Aku akan
selalu mendukungmu.”
“Ya... terima kasih.”
Aku melambaikan tangan padanya
saat dia pergi.
“Baiklah, kalau gitu…..”
Saat dia hampir berbalik dan mengangkat
tumitnya, Luna yang awalnya mendekati pintu masuk, tiba-tiba berteriak “Ah!”
dan kembali ke arahku.
“....?”
Luna berdiri di depanku, meraih
tanganku dan meregangkan tubuhnya ke arahku dengan sangat tinggi.
Wajah Luna semakin dekat dan
aku merasakan sentuhan kasar masker non-woven di bibirku.
“........”
Itu adalah ciuman melalui
masker.
Sementara aku masih tertegun
dan terpana dengan kejadian yang tiba-tiba itu, Luna berjalan ke arah pintu
masuk dan memutar kepalanya untuk menatapku dengan mata yang menyipit.
"Semoga sukses!”
Dia berteriak dengan semangat
seperti tim pemandu sorak, sambil melambaikan tangannya ke arahku, lalu pergi.
Setelah membawa kantong kertas
itu pulang, aku membuka isinya di kamarku.
Di atas kue cokelat bulat
tertulis dengan pena putih.
Semangat!
Aku mencintaimu ♡
“.......”
Aku merasakan kalau wajahku
memanas.
Aku bersyukur karena aku tidak
langsung menuju ke dalam kulkas. Ini harus disimpan di tempat yang tidak
mencolok.
“Luna.....”
Aku merasa sangat mencintainya,
jadi aku melanggar permintaannya dan mencicipi kue cokelat itu dengan satu
gigitan.
Manis.
Entah kenapa, aku tiba-tiba
merasa lebih segar. Mungkin karena aku mengonsumsi gula.
Aku mengambil kesempatan ini
dan diam-diam menyelinap ke tempat kulkas tanpa sepengetahuan ibuku, lalu kembali
ke kamar untuk belajar ujian masukku yang terakhir.
Perasaan setelah selesai ujian
tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Setelah ujian selesai, aku sempat
berpikir “Mungkin aku lulus”, tapi semakin waktu berlalu, kegelisahanku menjadi
semakin membesar.
Sebelum hasil ujian universitas
Houou keluar, ada pengumuman diterima atau tidaknya di universitas lain tempat
aku mendaftar. Ada yang diterima dan ada juga yang ditolak. Setelah
berkonsultasi dengan orang tuaku, aku membayar biaya pendaftaran hanya di satu
universitas saja sebagai langkah jaga-jaga, sambil menunggu pengumuman
kelulusan di universitas Houou.
Pengumuman kelulusan di
Universitas Houou akan dilakukan sembilan hari setelah tanggal ujian. Sembilan
hari yang begitu panjang, belum pernah aku alami sebelumnya. Rasanya seperti
seminggu yang tidak hidup.
Pengumuman kelulusan diumumkan
secara online pada pukul sepuluh pagi.
Ketika hari berganti dan hari
pengumuman tiba, aku tidak bisa duduk diam lagi. Aku memutuskan untuk pergi ke
kedai kopi di depan stasiun bersama Luna untuk melihat pengumuman kelulusan.
Kami duduk di kursi konter di
depan dinding, dengan segelas kopi yang belum tersentuh di depan kami. Aku
memegang ponselku dengan tegang.
Ketika aku membuka halaman web
universitas dan masuk ke halaman pribadiku, informasi ujian masuk untuk jurusan
yang aku ambil muncul. Pada saat pengumuman kelulusan tiba, akan ada tombol “Konfirmasi” yang muncul di sana, dan
jika aku menekannya, aku akan tahu apakah aku lulus atau tidak.
“... Maaf, sudah kuduga, sepertinya
aku tidak bisa. Luna, bisakah kamu menekannya untukku...?”
Meskipun waktu sudah melewati
pukul sepuluh dan hasilnya bisa dilihat, aku masih ragu untuk menekan tombol
tersebut.
“Eh, aku?!”
Luna tampak terkejut saat aku
menyerahkan ponselku kepadanya.
“Ya... karena sepertinya kamu
lebih beruntung daripada aku, Luna.”
Hasilnya sudah ditentukan, jadi
aku merasa kalau tak ada hubungannya dengan keberuntungan dalam keberhasilan
atau kegagalan berdasarkan kemampuan sendiri. Namun, aku merasa ingin mengambil
bagian dari keberuntungan sebanyak mungkin.
“O-Oke... Kalau gitu... Aku
akan menekannya, ya?”
“Eh, kamu sudah menekannya?!”
“Eh, tidak boleh...?!”
“Tunggu, aku perlu
mempersiapkan batinku dulu...”
Setelah beberapa kali
mengulangi percakapan seperti itu.
“Duhhhh~~~ aku akan menekannya!
Ryuuto pasti lulus. Ei!”
Luna mengatakan dengan nada
yang jengkel dan mengetuk ponselku dengan gerakan besar.
Sepertinya proses pemuatan telah
selesai, dan ekspresi Luna berubah saat melihat layar.
“....!”
Matanya terbuka lebar dan air
mata menggenang di sudut matanya.
“Eh, tunggu, jadinya yang
mana?! Coba tunjukkan...!"
Melihat Luna yang mulai
menangis tanpa berkata apa-apa, aku mempersiapkan diri untuk gagal dan melihat
layar ponselku.
Jadi, ketika aku melihat kata [Lulus] yang tertulis dengan jelas di
sana, aku tidak bisa mempercayainya sejenak.
“Eh...”
“....Ryuuto... selamat...”
Luna berkata dengan suara yang
tercekat sambil terus menangis.
“Kamu sudah bekerja sangat
keras... sungguh menakjubkan... kamu hebat...”
Saat mendengar kata-kata Luna
yang terisak sambil menangis, hatiku juga ikutan terenyuh dan hampir menangis.
“...Itu semua berkat Luna...”
Aku bisa sampai sejauh ini
karena dukungan Luna.
Luna menatapku dengan mata yang
berkaca-kaca.
“...Benarkah? Apa ini berkat
aku yang menekan tombol?”
“Ya. Jika aku yang menekannya,
aku yakin kalau aku pasti tidak lulus.”
Luna bertanya dengan nada bercanda,
jadi aku pun menjawabnya dengan nada bercanda. Lalu, aku berkata dengan wajah
serius.
“….Terima kasih, Luna. Untuk
selalu berada di sisiku.”
Air mata kembali menggenang di
mata Luna.
Dia begitu menggemaskan bagiku.
Di kedai kopi di pagi yang
ramai dengan pekerja sebelum berangkat kerja, aku memeluk Luna dengan lembut.
“Aku sangat mencintaimu, Luna.”
Aku merasa sangat terharu
sampai-sampai aku membisikkan sesuatu di telinganya yang biasanya membuatku terlalu
malu untuk mengatakannya.
“Aku juga.”
Luna yang menjauhkan dirinya
dari pelukanku, kembali meneteskan air mata dari kedua matanya.
Dan sambil tersenyum padaku,
dia berkata dengan suara yang terisak,
“Sungguh... selamat atas
kelulusanmu, Ryuuto...!”
Musim semi akhirnya tiba.
Dan musim semi bersama Luna...
Aku yakin hal itu akan datang.
Di upacara kelulusan, aku dan
Luna bertukar pita dan dasi. Kami tidak akan pernah mengenakan seragam sekolah
lagi.
Beberapa hari setelah upacara
kelulusan, White Day pun tiba.
Tanggal 14 Maret tiba saat kami
menyusun rencana untuk menonton film dan makan malam, atau pergi ke kafe untuk
menikmati minuman edisi terbatas.
Sebelum siang, saat aku
menunggu waktu untuk pergi setelah selesai bersiap-siap, aku tiba-tiba menerima
telepon dari Luna.
“Nee, Ryuuto. Apa yang harus
aku lakukan? Misuzu-san mengatakan 'perutnya
sakit' sejak pagi... dan tadi dia bahkan mengalami pendarahan. Padahal usia
kehamilannya baru memasuki bulan ketujuh.”
“Eh?”
Meskipun dia mengatakan hal
seperti itu, aku tidak mengerti apa yang sedang terjadi.
Setelah mengetahui kehamilannya
pada tahun lalu, Misuzu-san mulai tinggal bersama Luna dan yang lainnya di rumah
keluarga Shirakawa. Luna yang menjadi sangat akrab dengan Misuzu-san, dengan
rinci menjelaskan perkembangan kehamilan padaku, tetapi sebagai seseorang yang
tidak paham tentang tubuh perempuan dan misteri reproduksi, jadi sejujurnya aku
tidak mengerti apa-apa.
“Setelah menelepon rumah sakit,
mereka marah dan mengatakan 'Cepat datang
kemari!' Ayah sedang bekerja dan nenek bilang dia akan segera pulang
setelah menyelesaikan urusannya. Sekarang di rumah, hanya ada aku sendiri. Apa
boleh aku mengajak Misuzu-san naik taksi dan pergi ke rumah sakit?”
“Ah, ya... boleh.”
“Maaf ya. Padahal kita sudah
ada rencana kencan.”
“Tidak apa-apa.”
Jika memang begitu masalahnya,
maka apa boleh buat. Apalagi jika ini berhubungan dengan nyawa bayi.
Kemudian, Luna membawa Misuzu-san
ke rumah sakit.
Luna memberikan laporan secara
berkala dari rumah sakit.
Menurut penjelasan Luna,
Misuzu-san mengalami ‘ancaman persalinan
prematu’ dan harus segera dirawat di
rumah sakit. Luna kembali ke rumah sebentar untuk mengambil barang-barang
keperluan Misuzu-san yang akan digunakan selama dirawat di rumah sakit. Dia
juga sibuk menjelaskan situasi kepada ayah dan neneknya...
Setelah menyelesaikan semua
tugas, Luna akhirnya pulang ke rumah sekitar pukul sembilan malam.
Karena sudah mengantisipasi
kepulangannya, aku mengunjungi rumah keluarga Shirakawa.
“Ini... hadiah White Day dariku.”
Aku memberikan kantong kertas
kepada Luna yang keluar di depan pintu masuk rumah. Itu adalah hadiah permen
cokelat yang ingin aku berikan saat kencan hari ini.
“Aku berharap kita bisa memilih
hadiah bersama hari ini yang bukan berupa barang, tapi hari ini aku hanya bisa
memberimu manisan saja.”
“Wah, terima kasih, aku senang!
Ngomong-ngomong, hari ini aku hanya sempat makan sarapan saja.”
Meskipun suaranya penuh
semangat, namun Luna jelas sekali terlihat lelah. Bahkan di bawah cahaya redup
lampu masuk, aku bisa melihat riasan di sekitar matanya luntur dan berubah
warna. Itu menunjukkan bahwa Luna yang selalu tampil modis telah menghabiskan
waktu tanpa kepedulian terhadap penampilannya sendiri.
“….Apa kamu ingin mampir ke
rumah dulu? Nenekku ada di dalam.”
“Tidak, tidak usah. Aku yakin
kamu pasti sangat kelelahan hari ini. Istirahatlah dengan tenang, Luna.”
“Ya... terima kasih...”
Luna menjawab sambil tersenyum
lega.
“Biarkan aku membalasnya lain
kali, ya?
“Terima kasih. Kapan saja boleh
kok.”
Setelah itu, aku meninggalkan
rumah Luna.
Sejak hari itu, kehidupan Luna
mendadak menjadi sangat sibuk.
Misuzu-san keluar dari rumah
sakit setelah beberapa hari dan diwajibkan untuk “istirahat total” kecuali
untuk makan dan ke toilet. Masa masih terus berlangsung hingga beberapa bulan
menjelang persalinan.
Luna rela memikul tanggung
jawab melakukan pekerjaan rumah tangga untuk Misuzu-san yang tidak bisa bangun,
dan juga merawatnya dengan menggunakan sampo kering dan lap pembersih karena
Misuzu-san tidak bisa mandi.
Bahkan ketika kami bertemu, Luna
terkadang harus pulang lebih awal dengan alasan “Aku harus memasak makanan
untuk Misuzu-san!”
Di tengah situasi seperti itu,
aku memasuki perguruan tinggi sebagai mahasiswa baru.
Sedangkan Luna memulai karirnya
sebagai seorang karyawan.
Kami berdua masing-masing telah
mencapai musim semi kami sendiri.
♣♣♣♣
Belakangan ini, aku sering
mengingat kembali kenanganku di masa kelas 3 SMA.
Saat aku mulai berpacaran
dengan Luna, masa-masa kelas dua SMA-ku terlihat begitu cerah dan sangat berbeda
dengan tahun ketiga yang sejujurnya tidak memiliki kenangan yang baik.
Aku mengincar tujuan yang
terlalu tinggi, mengalami kegagalan berkali-kali, dan harus belajar tanpa tahu
apakah usahaku akan membuahkan hasil. Pada hari-hari seperti itu, aku hampir
merasa menyerah.
Namun, saat hatiku yang seperti
itu jarang berkilau seperti permata, Luna selalu ada di sisiku.
Dengan mata yang menyala bak
matahari di musim panas, dia menginginkanku dengan penuh keinginan.
Di bawah langit musim gugur,
dia berpegangan tangan dengan Kurose-san sambil tersenyum ceria kepada ibunya.
Dialah yang menekan perasaannya
sendiri dan mendukungku dengan sabar melewati musim dingin dengan senyuman di
wajahnya.
Dia merayakan keberhasilanku
dengan tangis sukacita ketika bunga sakura bermekaran, dan melangkah maju dalam
hidup barunya.
Semua itu adalah kenangan dari
hari-hari yang telah berlalu, semua versi Luna ada di dalam diri Luna yang
sekarang.
Mereka semua ada dalam
ingatanku juga.
Dan lebih dari versi Luna di
masa lalu.
Sekarang, Luna yang tersenyum
di depanku begitu indah dan menawan.
“Ryuuto, ayo cepat kemari!”
Itulah yang kupikirkan saat
melihat Luna melambai di tepian air berwarna biru.
Ya, kami berdua sekarang berada
di tanah Okinawa yang telah lama kami nantikan dengan penuh gembira ──