Kimizero Jilid 7 Bab 4 Bahasa Indonesia

Chapter 4

 

Saat memasuki bulan Juli, universitasku memasuki masa ujian. Seperti biasa, ada beberapa ujian yang terasa mudah dan ada juga yang sulit, tetapi aku menyelesaikannya dengan perasaan bahwa aku pasti berhasil mendapatkan semua skor yang dibutuhkan.

Setelah masa ujian selesai, mahasiswa memasuki masa liburan musim panas. Aku pergi ke universitas untuk urusan di bagian administrasi setelah ujianku selesai, dan telah membuat janji untuk bertemu dengan temanku di sana.

 

“Nisshi.”

Aku bertemu dengan Nisshi di gerbang stasiun terdekat dengan universitas.

“Yo, lama enggak ketemu ya,” balasnya.

Sudah sekitar empat bulan berlalu sejak terakhir kali kami bertemu, sejak insiden kerusuhan Icchi dan Chamotarou-san.

“Bagaimana hubunganmu dengan Yamana-san?”

“Yah, lancar-lancar saja.”

Kami berjalan dari stasiun ke universitas sambil berbicara satu sama lain.

Setelah putus dengan Sekiya-san yang pergi ke Hokkaido untuk melanjutkan studinya, Yamana-san mulai berpacaran dengan Nisshi. Ini pertama kalinya aku mendengarnya langsung dari orang tersebut, karena sebelumnya aku hanya mendapatkan kabar melalui pesan LINE.

“Apa kalian sering bertemu?”

“Hmm, tidak terlalu sering sih, mungkin tidak banyak yang berubah. Sebelumnya kami sudah sering makan bersama sekitar satu atau dua kali dalam sebulan.”

“...Jadi begitu ya?”

Itu adalah reaksi yang agak mengejutkan. Nisshi sudah menyukai Yamana-san sejak masa SMA, jadi kupikir dirinya akan lebih antusias sekarang setelah perasaannya berhasil terbalas.

Yah, karena Nisshi memiliki sifat yang berusaha sok keren, jadi mungkin ia hanya berusaha untuk tidak menunjukkan kegembiraannya kepadaku.

“Apa kamu tidak pernah mendengar sisinya dari Shirakawa-san?”

“Eh? Hmm….”

Aku teringat percakapanku baru-baru ini dengan Luna.

“...Kalau dipikir-pikir lagi, mungkin aku belum banyak mendengarnya.”

“Serius?”

Mata Nisshi membelalak seakan tidak menyangka akan hal itu.

“...Aku penasaran, apa Nikoru tidak pernah bercerita tentang hubungan kami berdua kepada Shirakawa-san juga?”

“Mana mungkinlah, dia pasti menceritakannya.”

Aku hanya menertawakannya. Meskipun frekuensinya tampaknya menurun dari waktu di mana mereka sering berbicara setiap malam ketika masih di SMA, Luna dan Yamana-san masih berteman dekat.

“Sejak mulai kuliah, aku dan Luna tidak terlalu sering bertemu, jadi ketika kami bertemu, kami selalu punya banyak hal untuk dibicarakan. Mungkin Luna hanya lupa untuk membicarakannya. Aku juga lupa untuk bertanya padanya.”

“Yah, mungkin ada benarnya juga. Kalian tidak punya banyak waktu untuk membicarakan kehidupan orang lain. Seperti biasa, hubungan kalian berdua masih dekat seperti dulu.”

Aku berkeringat dingin ketika ia mengatakannya dengan nada yang sedikit iri.

“Tapi kalau begitu, kamu juga sama, iya ‘kan? Kalian sudah berpacaran sejak bulan April dan sudah jalan 3 bulan, bukannya itu masa-masa yang paling menyenangkan?”

Aku tidak tahu banyak tentang hubungan asmara karena aku hanya pernah berpacaran dengan Luna, tapi aku merasa seperti pernah mendengar teori semacam itu sebelumnya, jadi aku meledeknya dengan enteng.

“... Yah, dibilang menyenangkan sih memang rasanya menyenangkan, terutama untukku sendiri. Karena aku selalu menyukainya.”

Nisshi menjawab dengan wajah yang tidak terlihat senang.

“ ...?”

Wajah itu, jelas bukan wajah yang mencoba untuk terlihat keren.

Tapi, aku merasa tidak bisa menanyakan lebih lanjut, jadi aku memutuskan untuk mengubah topik pembicaraan.

“Ngomong-ngomong, bagaimana dengan pekerjaan paruh waktumu? Apa kamu masih melakukannya?”

“Ah, ya.”

Nisshi bekerja paruh waktu di bagian dapur restoran cepat saji sejak tahun pertama masa kuliahnya. Meskipun shift kerjanya tidak banyak, hanya sekitar tiga kali dalam seminggu, tapi aku terkesan ia tetap bertahan lama.

“Karena aku selalu berada di bagian dapur, aku tidak bertemu dengan pelanggan dan pekerjaannya juga santai. Aku hanya perlu mengambil piring salad dari dalam kulkas, melepas plastik pembungkusnya, enambahkan satu setengah putaran saus, dan selesai. Hanya begitu saja kerjaannya.”

“Saat aku mendengarnya, rasanya seperti makanan distopia ya.”

“Itu sebabnya pelayanannya bisa begitu cepat.”

“Hmm, rahasia perusahaan.”

“Kamu sendiri bagaimana, Kasshi? Masih bekerja di tempat bimbel?”

“Tidak, sekarang aku hanya mengajar pada hari Sabtu. Saat ini aku lebih fokus pada pekerjaan di departemen editorial di penerbit Iidabashi.”

“Oh ya, kamu pernah bilang begitu. Kalau tidak salah kamu bekerja di tempat yang sama dengan Kurose-san, ‘kan?”

Sambil terus berbincang-bincang seperti itu, kami berdua akhirnya sampai di kampus Universitas Houou.

Sejak bulan Februari ketika kami pergi jalan-jalan dengan Yamana-san dan Luna, aku dan Nisshi mulai sering melakukan komunikasi lagi.

Aku ingin bertemu dengannya karena ingin mendengar kabarnya dengan Yamana-san, jadi aku ingin bertemu secepatnya. Namun, jadwal kerja paruh waktu dan kuliah kami tidak pernah sinkron, dan hari ini kebetulan merupakan kesempatan yang bagus setelah ujian selesai, sehingga kami bisa bertemu sebelum waktu kerja paruh waktuku di departemen editorial.

Ketika aku bilang, “Aku ada urusan di universitas, jadi aku akan pergi ke sana dulu,” Nisshi lalu berkata, “Aku juga ingin lihat-lihat Universitas Houou,” jadi kami memutuskan untuk makan siang di dalam kampusku.

“Wah, gedung-gedungnya lumayan besar ya.”

Nisshi berseru kagum sambil melihat gedung-gedung yang langsung terlihat setelah masuk melalui gerbang utama.

“Bangunannya kelihatan cukup baru ya?”

“Iya. Tapi di belakang masih banyak gedung-gedung lama.”

“Hmm. Kalau dipikir-pikir, aku belum pernah berkunjung ke universitas lain selain universitasku sendiri.”

“Aku juga begitu. Lain kali, ajak aku berkeliling Universitas Seimei juga, ya.”

“Oh, bagus. Aku juga belum terlalu mengenalnya.”

Kami berjalan masuk ke dalam kampus sambil terus berbicara.

“Ada tiga kantin di sini, kamu mau yang kantin mana?”

“Tiga!? Wah, hebat ya. Apa ada rekomendasi darimu, Kasshi?”

“Hmm...”

Karena tempat makan yang sering aku kunjungi bersama Kujibayashi-kun memiliki nuansa makanan atletik, mungkin aku tidak ingin menunjukkan tempat itu kepada Nishii yang datang dari luar untuk mencari citra “Houou”. Dan di bawahnya, terdapat kantin besar seperti kantin serba ada yang dapat ditemukan di mana saja. Jadi...

“Ayo pergi ke kafetaria saja.”

“Oke, aku percayakan padamu.”

Dengan begitu, aku dan Nisshi menuju ke kafetaria yang hanya pernah kudatangi dua atau tiga kali.

 

Kafetaria yang kami kunjungi terletak di lantai empat gedung depan gerbang utama. Tempat itu masih baru dan bersih sehingga populer di kalangan mahasiswi, tetapi tempat itu terasa seperti memiliki tembok transparan untuk orang-orang sepertiku yang cenderung introvert dan suram.

Berbeda dengan Kujibayashi-kun yang memiliki gaya fashion yang sangat terbatas, Nisshi yang terlihat cukup modis akhir-akhir ini, jadi rasanya seperti aku membawa teman-teman yang periang, dan membuatku merasa lebih percaya diri dari biasanya.

Setelah memasuki lantai dengan pencahayaan yang bagus dari dinding kaca, kami duduk di meja di area yang sepi sebisa mungkin.

“Anak kampus Houou memang terlihat pintar ya.”

Setelah memesan paket makan siang dan meletakkan nampan di atas meja, Nisshi melihat sekeliling dan berkata demikian.

Karena sudah hampir akhir ujian, meskipun sedang siang hari, jumlah orang yang hadir masih sedikit dibandingkan hari biasa. Namun, ada beberapa siswa yang tampaknya sedang belajar sendirian karena masih memiliki ujian. Secara keseluruhan, jumlah perempuannya lebih banyak ketimbang laki-laki.

“... Tapi aku merasa tidak nyaman di sini.

“Apa kamu ingin melihat video Ken?”

Saat masih SMA, kami sering menontonnya selama waktu istirahat siang, jadi ketika aku menyarankannya, raut wajah Nisshi tiba-tiba berubah.

“Oi, jangan lakukan itu! Ketika sudah menjadi mahasiswa, KEN adalah sesuatu yang harus disembah secara pribadi! Terutama di kafetaria yang banyak gadis-gadisnya seperti ini! Dengar, jangan pernah menyebut nama KEN hari ini!”

“Ehhh!?”

Memangnya sampai separah itu?

Aku penasaran bagaimana Nisshi memperlakukan KEN sekarang, tetapi mungkin aku sudah terlalu jauh dari garis depan para KEN’S Kids sehingga aku tidak mengetahuinya. Entah kenapa aku jadi merasa kesepian.

Bagaimanapun, saran menonton video itu ditolak, jadi kami memutuskan untuk makan sambil berbincang-bincang.

“Oh ya, bagaimana dengan kabar Icchi? Aku bahkan jarang melihatnya di antara para Kid’s belakangan ini. Apa kamu masih berhubungan dengannya sejak saat itu?”

“Tidak. ... Oh, hanya sekali saja sih.”

“Hm?”

“Saat aku meneleponnya untuk memberitahu kalau aku mulai berpacaran dengan Nikoru, sepertinya Tanikita-san sedang berada di dekatnya dan sudah tahu tentang kami yang melalui jalur itu. Mereka terus menertawakanku, jadi aku merasa kesal, dan langsung menutup telepon.”

“Begitu ya...”

Aku juga merasa seperti jarang berkomunikasi lagi dengan Icchi sejak insiden dengan Chamotaro-san.

“Ya ampun, tuh anak sedang ngapain, sih...”

“Aku harap dia baik-baik saja.”

“Ya, dia pasti baik-baik saja. Kurasa kami cukup dekat sehingga jika dia meninggal, aku akan mendapat telepon tentang upacara pemakamannya.”

“Hahaha.”

Aku melanjutkan makan sambil tertawa ringan mendengar candaan gelap Nisshi.

“Tanikita-san…”

Nisshi bergumam sambil mengunyah nasi goreng dengan saus demiglace. Ngomong-ngomong, aku sedang makan pasta gaya Jepang dengan daging babi dan daun sawi.

“Dia imut sih, tetapi dia memiliki kepribadian yang sangat keras. Dia terlihat seperti tipe orang yang sadis.”

“Yah, ada juga orang yang senang dengan itu. Mungkin Icchi tipe orang seperti itu.”

“...Itu berarti, dalam artian aktivitas di malam hari?”

“Eh!? T-Tidak, bukan itu...!”

Aku menjadi terkejut karena Nisshi tiba-tiba membawa topik vulgar.

“Bagaimana denganmu, Kasshi? Kamu termasuk yang mana?”

“Hah? Apa maksudmu? ...Mana yang kamu maksud? Tentang kekuasaan?”

Aku bertanya balik dengan kebingungan, dan Nisshi tersenyum dengan penuh makna.

“Kalau aku sih bebas yang mana saja.”

Dia berkata sambil tersenyum menyeringai ketika melihatku.

“Ini masih siang, loh...?”

Aku belum mengungkapkan kepada Nisshi bahwa aku masih belum berhubungan badan dengan Luna, jadi percakapan seperti ini terasa sedikit canggung.

“...Bagaimana denganmu dan Yamana-san? Jika kamu ingin tahu, beri tahu aku juga.”

Ketika aku membalas dengan serangan balik, ekspresi Nisshi tiba-tiba berubah.

“...Tidak ada yang bisa kukatakan tentang itu.”

“Eh...?”

Nisshi memalingkan wajahnya ke arah jendela setelah mengatakan itu. Ekspresi halus yang menggambarkan perasaan yang rumit tentang hubungannya dengan Yamana-san sejak kami berbicara di depan stasiun terlihat jelas di raut wajahnya.

Mungkin hubungannya dengan Yamana-san tidak berjalan dengan lancar? Padahal mereka baru jadian tiga bulan?

Saat aku sedang berpikir seperti itu.

“...Aku penasaran, apa Nikoru tidak menganggapku sebagai seorang pria?”

Nisshi tiba-tiba mengucapkan kata-kata tersebut sambil merenung.

“...Aku tidak menyangka bahwa setelah tiga bulan berlalu, kami masih belum membuat kemajuan sama sekali.”

“............”

Apa itu berarti Nisshi dan Yamana-san belum bisa melakukan hal-hal yang biasa dilakukan sepasang kekasih?

Aku juga masih perjaka setelah empat tahun berpacaran, jadi jika mereka berdua baik-baik saja dengan itu, aku pikir itu tidak masalah. Namun, ekspresi Nisshi mengungkapkan bahwa kondisi saat ini tidak memuaskannya.

“...Benar-benar….belum ada kemajuan sama sekali?”

Ketika aku bertanya dengan hati-hati, Nisshi menatapku sejenak dan membuka mulutnya seperti merasa frustasi.

“Kami sudah saling berpegangan tangan... tapi hanya sebatas itu saja.”

“...Jadi begitu.”

“Bahkan kami berjalan-jalan di sekitar Odaiba pada malam hari, aku tidak merasakan perbedaan apa pun dibandingkan kencan di siang hari.”

“...Jadi begitu ya...”

Aku juga tidak terlalu mahir dalam hal semacam ini, dan selalu mengandalkan Luna untuk memimpin, jadi sulit bagiku untuk memberikan saran apa pun.

“Aku merasa sulit untuk menciptakan suasana seperti itu. Aku sudah berusaha keras... tapi sepertinya dia tidak memberikan izin untuk melakukannya...”

Mungkin sebenarnya ia tidak ingin mengatakan hal-hal seperti ini padaku. Nisshi terus menerus menunjukkan wajah kesal.

“Walaupun kita bergandengan tangan, dia selalu menggodaku dengan mengatakan 'Bukannya tanganmu lebih kecil daripada milikku?'”

“Begitu ya...”

Yang bisa kulakukan hanyalah mengatakan “Begitu ya” untuk kesekian kalinya.

Memang benar, karena Sekiya-san bertubuh tinggi, jadi tangannya juga besar. Aku mengingat saat ia memegang gelas di restoran ramen. Meskipun jarinya terlihat ramping, tapi tangannya terlihat kuat dan sedikit kasar, memberikan kesan maskulin.

Aku melihat tangan Nisshi yang ada di hadapanku. Tangan kanannya yang memegang sendok, jelas lebih kecil dari milik Sekiya-san, dengan sedikit kelembutan yang terasa sedikit seperti anak kecil.

“...Aku selalu melihat Nikoru saat dia masih bersama mantan pacarnya.”

Ekspresi Nisshi tampak semakin menyakitkan saat mengatakan itu.

Aku ingat raut wajahnya ini. Setelah melihat Yamana-san dan Sekiya-san saling berpelukan di Kyoto saat perjalanan wisata sekolah, Nisshi menunjukkan raut wajah yang sama setelah perjalanan panjang.

“Itu benar-benar berbeda... Wajah yang dia tunjukkan pada mantan pacarnya... dan wajah yang dia tunjukkan padaku sekarang”

“.........”

Aku tahu bagaimana Yamana-san ketika sedang bersama Nisshi, dan aku mengenal bagaimana Yamana-san ketika dia bersama Sekiya-san.

“...Tapi, sejak dulu, ketika bersama Nisshi, Yamana-san terasa lebih seperti  jati diri Yamana-san yang sebenarnya.”

Nisshi melihatku dengan senyuman kecil yang tampak sedikit bahagia ketika mendengar kata-kataku.

Namun, ekspresi itu segera kembali menjadi suram.

“...Aku tahu aku mengeluh tentang masalah yang sepele. Aku harusnya bersyukur hanya karena dia mau berpacaran dengan orang suram seperti diriku...”

Nisshi terus melanjutkan dengan senyum yang mencela dirinya sendiri.

“Selain itu, karena kami sudah berteman sejak lama... hanya karena kami tiba-tiba menjadi sepasang kekasih bukan berarti kami bisa mengubah keadaan begitu tiba-tiba. Ditambah lagi, Nikoru baru putus dengan mantan pacarnya. Aku memang memahami hal itu, tapi...”

Sambil menopang pipi dengan tangan yang memegang sendok, Nisshi menatap ke arah jendela.

Hijaunya pepohonan ginkgo tampak bergoyang penuh warna di luar jendela.

Setelah memandangnya dengan mata menyipit, Nisshi lalu bergumam pelan.

“Karena kami berdua sudah menjadi 'sepasang kekasih'... bukannya itu wajar kalau aku menginginkan hubungan yang berbeda dibandingkan saat kami masih 'berteman'?”

 

◇◇◇◇

 

“Oh, selamat datang!”

Ketika aku menaiki lift menuju lantai lima sebuah gedung multi-penyewa di pusat kota dekat Stasiun A dan menekan interkom di sebuah ruangan yang tampak seperti apartemen, Yamana-san membuka pintu dari dalam dan menyapaku dengan penuh semangat. Meskipun suasananya sedikit berbeda, tapi semangatnya masih sama seperti saat dia bekerja paruh waktu di izakaya.

“Ayo masuk, masuk. Silakan duduk di sana.”

Yamana-san menunjukkan ke arah belakang ruangan. Di sana ada dua meja panjang yang saling berdampingan, di depan masing-masingnya terdapat kursi kecil seperti sofa.

Aku dengan sungkan duduk di kursi yang ditunjukkan Yamana-san di bagian belakang ruangan.

Ruangan ini terlihat kecil, kelihatannya seukuran apartemen satu kamar tidur. Meskipun sedikit barang dan terkesan sepi, dinding dan perabotannya didominasi oleh warna putih, memberikan kesan kebersihan.

“...Ini terasa seperti privasi sekali.”

“Nah, ‘kan~.”

Yamana-san tersenyum dan duduk di seberang meja. Kursi yang dia duduki berbeda dengan kursi untuk pelanggan, ini adalah kursi bulat sederhana tanpa sandaran.

“Ini adalah salon yang didirikan oleh seorang senior di sekolahku. Oleh karena itu, demi alasan keamanan, salon ini hanya menerima pelanggan perempuan. Tapi sejak aku bergabung pada bulan April, salon ini mulai menerima pelanggan pria saat kami berdua berada di sini. Kami juga berencana untuk menyewa ahli manikur baru di musim gugur.”

Sambil membicarakan hal itu, Yamana-san dengan cekatan melanjutkan persiapan. Di tengah-tengah meja terdapat kotak yang dilengkapi dengan lampu neon tipis, dia menggesernya ke samping dan membawa sesuatu yang mirip dengan tempat pena yang penuh dengan kuas ke depan.

“Coba ulurkan tanganmu. Aku akan membersihkannya dulu.”

“Ah, ya...”

Aku menjawab agak gugup karena meskipun aku mengenal baik Yamana-san, selain Luna, ini adalah pertama kalinya tanganku menyentuh tangan perempuan selain teman dansa.

Yamana-san meletakkan tanganku di atas tangannya satu per satu dan membersihkan telapak tangan dan ujung jariku dengan kapas pembersih. Kemudian, dia mengambil foto dengan ponselnya untuk model contoh.

“...Apa senior itu tidak ada di sini sekarang?”

Karena ruangannya yang kecil, jadi aku tidak perlu melihat sekeliling untuk tahu bahwa tidak ada orang lain di sini.

“Ah, ya. Aku memberinya waktu istirahat siang karena sudah memberitahunya kalau yang datang adalah temanku yang membantu sebagai contoh model.”

“Jadi begitu ya.”

Ketika mendengar kata “teman” dari mulut Yamana-san, aku merasa sedikit malu dan geli. Aku senang bisa diterima sebagai pacar sahabatnya dan juga sebagai teman laki-lakinya.

“Tempo hari yang lalu, aku makan siang dengan Nisshi di kampusku.”

Saat itu, ketika Nisshi bercerita tentang hubungannya dengan Yamana-san, aku teringat pembicaraan tentang “Model kuku pria” yang pernah dikatakan oleh Luna, jadi aku menghubungi Luna dan memintanya untuk memesan janji pada hari kerja minggu depan pukul 1 siang. Karena itu waktu yang pas untuk mulai bekerja di departemen editorial setelah selesai.

“Oh, begitu ya. Di Universitas Houou, ‘kan? Katanya dia sakit perut karena banyak cowok dan cewek yang rupawan.”

“Bukan, itu sih karena Nisshi-nya saja yang makan terlalu banyak.”

Setelah Nisshi selesai makan omurice, ia memesan parfait dan kue keju juga karena berpikir mumpung lagi berkunjung di kampus lain, tapi ia justru mengeluh bahwa ia sudah tidak sanggup memakannya lagi.

“Aku senang kalian berdua masih terlihat sangat akrab.”

Yamana-san berkata demikian sambil mengikir kukuku. Tangan Yamana-san yang dengan cepat membentuk siluet yang indah dan bulat saat mengikir bagian putih kuku, terlihat seperti seorang profesional.

“Ren sering mengeluh 'Aku tidak bisa menghubungi Icchi. Aku bahkan tidak ingin menghubunginya.'

Yamana-san menatapku sambil menyeringai ketika dia meniru ucapan Nisshi saat mengucapkan kalimat itu.

“Yah lagipula, mereka berdua lagi lengket-lengketnya seolah-olah sedang hidup di dunia mereka sendiri.”

“Icchi dan Tanikita-san?”

“Ya, Akari, tuh anak, dia sangat tergila-gila padanya. Dia benar-benar ketagihan. Baik di Instagram dan TikTok-nya, mereka berdua pamer kemesraan terus sampai-sampai melihatnya saja sudah bikin jengkel. Mau lihat?”

Seolah-olah dia sangat ingin menunjukkannya padaku, Yamana-san berhenti melakukan perawatan sebelum aku mengangguk. Dia memasukkan tangan ke saku apron yang dia kenakan di pinggangnya, mengeluarkan ponselnya, dan menunjukkannya kepadaku.

Postingan terbaru di akun TikTok yang sepertinya milik Tanikita-san adalah video singkat di mana wajah Tanikita-san dan Icchi diberi efek berkilauan saat mereka bernyanyi bersama. Berdasarkan gambar thumbnail-nya, terlihat seperti video-video semacam itu terus berlanjut tanpa henti.

“... Luar biasa ya. Hampir setiap hari diperbarui dengan gambar dua orang.”

“Nah ‘kan? Apa-apaan sih mereka? Memangnya mereka tinggal bersama? Mereka terlalu bersemangat sampai-sampai rasanya terlalu menakutkan.”

Yamana-san tertawa dengan terkejut sambil menerima ponsel dariku dan melanjutkan perawatan.

“... Yamana-san sendiri, apa kamu tidak terlalu bersemangat juga?”

“Maksudmu setelah berpacaran dengan Ren? ... Tentu saja aku tidak terlalu bersemangat.”

Yamana-sam menjawab dengan tersenyum ringan sambil menggerakkan tangannya.

“Karena pada awalnya, kami tidak pernah memiliki hubungan seperti itu.”

“... Tapi, jika kalian berdua berpacaran, pastinya ada sedikit perubahan... ‘kan?”

Karena aku sendiri belum pernah mengalami hubungan seperti itu, aku menjadi ragu-ragu.

Sambil terus melakukan perawatan, Yamana-san tersenyum sambil sekilas melihatku.

“... Sepertinya Ren ingin mengubah sesuatu.”

Yamana-san berkata demikian sambil tetap melakukan perawatan pada tanganku.

“Tapi rasanya sungguh menggelikan bukan? Karena itu mustahil bagiku.”

“... Benarkah?”

“Tentu sajalah.”

Yamana-san tersenyum sambil mengangguk.

“... Aku suka bisa menjadi diriku sendiri saat bersama Ren.”

Meskipun tatapan matanya ditujukan pada tanganku, tapi pada saat yang sama, sepertinya diarahkan ke suatu tempat yang jauh.

“Ketika aku berpacaran dengan Senpai, aku ingin terlihat 'lucu dan manis' atau 'dianggap sebagai gadis yang baik', jadi aku menekan perasaanku sendiri. Tapi ketika aku berpacaran dengan Ren, aku tidak perlu melakukan hal yang tidak wajar seperti itu. Karena aku tidak pernah berperilaku seperti itu di depan Ren. Dan Ren menyukaiku apa adanya.”

“Begitu ya...”

Aku memberikan respons yang sama lagi. Meskipun aku merasa sedikit tidak enak karena melihat keadaan Nisshi, mungkin hubungan antara Yamana-san dan Nisshi berjalan lancar.

Jika hubungan seperti itu tidak memuaskan... Mungkin Nisshi harus melepaskan perasaan cintanya.

Setelah berpikir seperti itu, aku tidak bisa mengatakan apa-apa lagi pada Yamana-san.

“Oh ya, ngomong-ngomong, bagaimana Yamana-san dan Sekiya-san mulai berpacaran?”

Sebagai gantinya, aku bertanya pada Yamana-san tentang hal tersebut.

Aku sudah mendengar cerita tentang bagaimana mereka bertemu saat Yamana-san menjadi manajer di klub tenis meja di SMP dan Sekiya-san menjadi anggota senior, tetapi aku belum pernah mendengar detail tentang bagaimana mereka berpacaran.

Karena bagi Yamana-san, perasaan cintanya pada Sekiya-san adalah sesuatu yang istimewa, jadi aku merasa penasaran sekarang.

“Hah? Ada apa? Mengapa kamu tiba-tiba bertanya tentang itu?”

“Oh enggak, jika kamu tidak mau bicara...”

“Aku tidak keberatan, kok.”

Yamana-san membuka mulutnya sambil terus melakukan perawatan dengan cekatan.

“Hmm... sulit untuk menjelaskannya hanya dengan satu kata. Kami saling akrab selama satu tahun di klub, dan mulai berpacaran menjelang kelulusan.”

“Siapa yang mengungkapkan perasaannya dulu?”

“Mengungkapkan perasaan, ya... hmm, mungkin Senpai duluan? Saat hari Valentine, ia mengatakan sesuatu yang mengarah ke arah itu, dan dari situlah hubungan kami berkembang.”

“Oh begitu ya.”

Aku teringat foto Sekiya-san saat masih di SMP yang pernah ditunjukkan padaku. Meskipun pada waktu itu dirinya terlihat kurang menarik, tapi ia bisa membuat keputusan pada saat-saat penting. Sekiya-san memang luar biasa.

Sambil berbicara tentang hal itu, tampaknya “perawatan kuku” yang aku jalani tadi sudah selesai tanpa aku sadari. Terakhir, aku ditanya, “Aroma apa yang kamu sukai?” dan aku menjawab “Aku tidak tahu.” Kemudian, kedua tanganku diberi krim tangan dengan aroma jeruk atau mandarin yang harum, dan perawatan pun selesai.

“Wah, luar biasa!”

Aku mengangkat kedua tangan yang kini bebas sejajar dengan mataku, dan memandangi kukuku dengan seksama.

“Kuku-kuku ini terlihat bersinar...”

Sepuluh kuku jari yang rapi dan sama panjangnya, permukaannya terlihat halus dan mengkilap meski tidak ada cat kuku. Mereka memantulkan cahaya lampu neon dengan gemerlapan yang memikat. Kulit tipis yang mungkin rentan terhadap kulit kering atau kuku yang terkelupas juga telah rapi dipotong di pangkal kuku, membuat kuku terlihat lebih panjang.

Meskipun itu kuku dari jari-jariku sendiri, tapi rasanya seperti bukan milikku.

Aku merasa bisa memahami perasaan Luna. Memang benar, ketika melihat kukuku sendiri yang begitu cantik, aku tak bisa menahan diri untuk melihatnya dan merasa senang. Aku merasa seperti menjadi narasistik.

“Zaman sekarang, perawatan kuku juga menjadi keharusan bagi pria. Apalagi jika kamu memiliki pacar, bukan? Tangan dan jari adalah tempat yang paling sering bersentuhan dengan pasangan, jadi menjaganya tetap bersih dan rapi adalah bagian dari kepedulian.”

Sambil mengatakan hal itu, Yamana-san mengambil beberapa foto jari-jariku yang diletakkan di atas meja dengan ponselnya sendiri.

Kemudian, dia melihat wajahku dan tersenyum penuh makna.

“Kalian berdua akhirnya…pergi  ke Okinawa…untuk melakukannya, bukan?”

Meskipun tidak ada orang lain di sekitar, dia berbisik dengan suara pelan, dan aku merasa kaget.

“Y-ya, benar...”

Dasar Luna, jadi dia bahkan menceritakan hal itu pada Yamana-san.

“A-Aku memang bermaksud begitu...”

Yamana-san memperhatikanku sambil menyeringai saat wajahku terasa memanas dan gugup.

“Sebelum pergi berlibur, kalau kamu mau, datanglah lagi. Sebagai bonus, kali ini akan kuberikan diskon setengah harga lagi, oke

Dia mengucapkan itu sambil mengedipkan matanya dengan nakal.

 

◇◇◇◇

 

Ketika memasuki bulan Agustus, hari-hari panas yang tak terkendali datang bertubi-tubi.

“Panas banget...”

Ketika berjalan di luar pada siang hari, sinar matahari yang terik membakar seluruh tubuhku dari atas, dan tanpa sadar aku mengucapkan kata-kata tersebut.

Di tengah situasi seperti itu, aku keluar rumah meski bukan untuk bekerja paruh waktu atau berkencan, tapi untuk bertemu dengan seseorang.

“Oh, Ryuuto!”

Sekiya-san datang melalui pintu gerbang tiket Stasiun Shin-Misato dan mengangkat tangannya setelah melihatku.

“Wahh kulitmu jadi sangat kecoklatan. Tumben sekali.”

“Aku pergi ke pantai bersama teman-teman SMP-ku pada hari Minggu.”

 

Wajah Sekiya-san sedikit kecoklatan karena terbakar matahari. Lengan yang terlihat dari kemeja pendeknya juga berubah menjadi warna yang sama.

“Kedengarannya seru tuh, laut.”

“Aku cuma bermain-main dengan para cowok brengsek itu.”

Namun, Sekiya-san terlihat bersenang-senang.

Kalau dipikir-pikir, sejak aku mengenal Sekiya-san, ia selalu menjadi ronin yang sibuk dengan ujian masuk universitas, jadi aku tidak pernah melihatnya bermain di musim panas. Ia selalu berada di sekolah bimbel dari pagi hingga malam, sehingga tidak pernah memiliki kulit terbakar matahari.

“Apa kamu tidak mencoba menggoda gadis-gadis?”

“Ya enggaklagh. Karena kami semua anggota klub tenis meja, dan semuanya adalah orang yang suram.”

“Bukannya itu perkataan kurang sopan terhadap anggota klub tenis meja di seluruh negara?”

“Kalau begitu, pergilah dan lihat sendiri saat pertandingan, mereka semua seperti sapi dungu.”

“......hahaha.”

Aku ingin memberikan dukungan padanya tapi malah semakin berkata kasar, jadi aku hanya bisa tertawa.

“Berapa lama kamu akan tinggal di sini, Sekiya-san?”

Sambil berjalan menuju tujuan kami di atas jembatan pejalan kaki, aku bertanya padanya.

“Mungkin kurang lebihnya sekitaran seminggu. Aku akan pulang minggu depan. Aku harus belajar karena ada ujian setelah liburan.”

“Heee... sudah kuduga, sepertinya menjadi mahasiswa kedokteran memang sulit ya?”

“Yah, aku sudah mengatahui itu sejak awal. Tapi sekarang jauh lebih mudah secara emosional daripada saat menjadi ronin tahun lalu, jadi aku hanya bisa berusaha lebih keras.”

Sekiya-san menjawab dengan sikap acuh tak acuh dan menundukkan kepalanya ke bawah, seakan-akan memalingkan wajahnya dari sinar matahari.

“.....sebenarnya, aku bisa tinggal di sini lebih dari seminggu, tapi selama aku bisa bertemu denganmu dan teman-teman setempat, aku tidak punya alasan untuk tetap di sini lebih lama lagi. Karena aku merasa lebih nyaman tinggal sendiri daripada di rumah orang tua.”

“........”

Aku tahu sesuatu tentang keadaan keluarga Sekiya-san, tapi aku merasakan sesuatu yang berbeda dari gaya bicaranya. Seandainya saja Sekiya-san masih berpacaran dengan Yamana-san. Mau tak mau aku mulai membayangkan kalau liburan musim panas ini pasti menjadi dua minggu yang paling bahagia bagi mereka. Dan hal itu membuatku teringat akan masalah Nisshi dan membuat perasaanku jadi campur aduk.

“Oh iya, setelah aku diterima di universitas, ayahku menjadi lebih baik padaku. Ia malah mengajakku untuk pergi minum sesekali, dan malam ini kita akan pergi makan sushi bersama.”

“Wah, bagus sekali. Tempatnya yang berputar itu, ‘kan?”

“Itu di Ginza. Kalau itu restoran sushi berputar, rasanya akan lucu. Ayah terlalu mengerti lelucon, hahaha.”

Sekiya-san terlihat senang ketika mengatakan itu. Meskipun ia memiliki perasaan campur aduk terhadap ayahnya, tidak diragukan lagi bahwa dia masih menghormati ayahnya sebagai seorang dokter.

“Jadi, mengapa kita ada di sini hari ini?”

Ketika kami semakin dekat dengan tujuan kami, aku menunjuk ke arah papan bertuliskan biru dan kuning yang terlihat jelas.

Tentu saja, kami menuju ke toko furnitur terkenal di seluruh dunia, “IKEA”.

“IKEA tuh enggak ada di Hokkaido, tau? Aku pindah ke sana segera setelah kuliah dimulai, jadi aku belum sempat membeli furnitur sepenuhnya. Karena teman-teman kuliah tinggal dekat, kadang-kadang mereka datang ke rumahku. Jadi aku ingin menyiapkan meja dan sebagainya selama liburan musim panas. Aku selalu melihat-lihat di internet, dan ternyata furnitur IKEA keren dan harganya juga bagus. Tapi aku ingin melihat langsung sebelum membelinya, karena jika aku memesan lewat internet dan ternyata tidak sesuai dengan bayangan, itu akan merepotkan.”

“Yah, aku paham tentang itu, sih.”

Aku juga melakukan berbagai riset sebelum melakukan pembelian besar dan aku juga tidak pandai dalam bernegosiasi terkait pengembalian barang, jadi aku sama seperti orang yang berhati-hati seperti Sekiya-san.

Saat kami sedang membicarakannya, kami tiba di toko dan masuk ke dalamnya. Mengikuti rute yang ditunjukkan, kami naik ke lantai dua melalui eskalator di depan kami.

Lantai dua ini merupakan area penjualan dan ruang pamer secara keseluruhan. Di sana terdapat area penjualan yang dikumpulkan berdasarkan tema seperti sofa dan meja, sementara ruangan-ruangan kecil dengan perabotan yang ditempatkan dengan gaya yang modis muncul di beberapa tempat. Dengan mengikuti jalur yang ditunjukkan, kami dapat melihat semua perabotan rumah secara keseluruhan.

Aku sering melihat tempat seperti ini di televisi, tapi hari ini baru pertama kalinya aku datang ke toko fisiknya.

“Tapi, mengapa kamu mengajakku?”

“Habisnya, kalau datang sendiri ke tempat seperti ini, kamu pasti akan merasa kesepian dan mati dong?”

Setelah Sekiya-san menjawab begitu, aku melihat sekelilingku lagi. Yang mencolok adalah keluarga yang sedang berbelanja, kemudian pasangan. Karena mereka datang ke tempat seperti ini untuk berbelanja, mungkin mereka sedang berada di puncak kebahagiaan karena tinggal bersama atau ada pasangan yang sedang mesra sambil melihat-lihat barang.

“...Tapi, bukannya lebih baik kalau kamu mengajak teman perempuanmu saja?”

“Mustahil kali. Kalau dia benar-benar “teman perempuan”, dia pasti akan menolak karena tempat ini terlalu mencurigakan.”

“Memang benar juga...”

“Selain itu, teman-temanku di sini semuanya sudah bekerja. Sekarang masih sebelum liburan Obon dan mereka harus bekerja keras di hari kerja.”

“Ah...”

Jika memang begitu, maka aku sedikit mengerti alasan mengapa aku diajak.

“...Sekiya-san, apa kamu punya pacar baru? Apa kamu tidak menemukan seseorang di sana?”

Aku bertanya dengan rasa penasaran, dan Sekiya-san tersenyum dengan sedikit arti di balik senyumnya.

“...Hmm yah, ada beberapa gadis yang mungkin mau menjadi pacarku. Jadi jangan khawatir.”

Sikapnya yang santai entah kenapa membuatku agak kesal.

“Bukannya aku khawatir atau semacamnya. Karena ini tentang Sekiya-san.”

“Hanya saja...”

Kemudian, kami berhenti karena jalur rute terjebak macet. Sekiya-san secara kebetulan mengambil tas pendingin di rak depannya dengan tangan yang tidak sibuk.

“...Untuk saat ini, mungkin hubungan yang bisa kudapatkan hanya sampai sebatas teman perempuan. Mungkin aku perlu waktu yang lebih lama untuk memiliki hubungan yang serius.”

Sambil melihat-lihat contoh tas pendingin yang berwarna-warni, aku mendengarkan cerita Sekiya-san.

“Aku sekarang adalah seorang 'mahasiswa kedokteran', dan di masa depan akan menjadi 'dokter'. Itu adalah jalur yang hampir pasti, kecuali aku melakukan kesalahan besar. Jadi, kupikir itu juga berkontribusi pada kepopuleranku.”

Mungkin ini adalah kecemburuan dari seorang mahasiswa sastra yang tidak populer, yang ingin mencoba mengatakan “aku populer”. Aku hanya diam dan mencoba memahami apa yang ingin disampaikan Sekiya-san.

“Mungkin…. aku tidak akan pernah bisa mengalami hubungan percintaan seperti itu lagi ketika bersama dengan Yamana…... selamanya.”

Wajah samping Sekiya-san terlihat sedih, yang terlihat tidak sesuai dengan kepribadiannya.

“Yamana...”

Sekiya-san menggumamkan nama itu sambil menarik napas dalam-dalam sambil meletakkan kembali tas pendingin ke dalam rak.

“Sebagai gadis pertama yang menyukai diriku yang belum menjadi siapa-siapa... Mungkin dia juga menjadi gadis yang terakhir.”

Kemudian, suasana sekitar mulai sepi, lalu aku dan Sekiya-san melanjutkan perjalanan kami dengan santai.

“Bukan berarti aku menyesal... Pada saat itu, hanya itu satu-satunya hal yang bisa aku lakukan... Yamana sudah bahagia dengan pacar barunya sekarang, kan...”

Kupikir lebih baik seperti itu... ucap Sekiya-san dengan suara berbisik sambil menundukkan pandangannya ke tanah.

“...Aku bertanya-tanya mengapa aku tidak bisa lebih menghargai gadis yang begitu berarti bagiku.”

Ekspresi wajahnya tidak sesuai dengan kata-katanya.

Aku hanya bisa melihat bahwa dirinya sedang dilanda penyesalan yang sangat mendalam.

"...Bukannya itu yang biasa disebut 'penyesalan'?”

Aku cenderung mengatakan hal-hal yang menyakitkan bagi Sekiya-san. Karena apapun yang kukatakan, Sekiya-san akan menganggapnya sebagai lelucon.

Itulah sebabnya.

“….Ah, begitu rupanya.”

Ketika aku melihat Sekiya-san hanya tersenyum pahit dengan rasa bersalah, aku merasa sedikit tidak enak dan canggung, seolah-olah aku telah melakukan sesuatu yang buruk.

“Oh, lihat ini, lucu sekali, iya ‘kan?”

Aku buru-buru mengambil boneka yang ada di dekatku. Karena kami baru saja tiba di area kamar anak-anak, di sekitar kami terdapat berbagai mainan dan boneka yang menarik.

Benda yang aku pegang adalah boneka hiu berukuran besar.

“Bagaimana kalau menjadikan ini sebagai teman untuk tinggal sendiri?”

Aku merasa seperti pernah melihat ini di suatu tempat sebelumnya, dan karena persediaannya lebih banyak dibandingkan yang lain, barang ini mungkin menjadi barang yang direkomendasikan.

Aku ingin ia tertawa dan memberitahuku untuk tidak mengolok-oloknya, tapi Sekiya-san justru menunjukkan ketertarikannya sambil berkata “Benar juga”.

“Kebetulan aku juga butuh bantal, jadi mungkin aku akan membeli ini sebagai gantinya.”

“Eh, bukannya itu terlalu buruk jika digunakan sebagai bantal?”

“Jika aku membelinya, aku akan memilih yang ini.”

Sekiya-san mengambil boneka di rak sebelah hiu. Boneka itu mirip dengan hiu, tetapi sedikit lebih kecil dan berbentuk seperti lumba-lumba.

“...Apa kamu menyukai lumba-lumba?”

“Tidak terlalu. Tapi yang ini terlihat bagus dalam warna monoton.”

Memang benar, lumba-lumba memiliki warna yang tenang dengan warna abu-abu dan putih, berbeda dengan hiu yang memiliki warna biru di punggungnya dan mulutnya berwarna pink. Bahkan jika ditempatkan di ruang tamu pria yang tinggal sendiri, boneka itu tidak akan terlihat aneh.

“Aku akan tidur sambil memeluk boneka ini setiap malam. Sebagai pengganti pacar.”

“...Yah, kurasa itu pilihan yang bagus.”

“Tidak, tadi itu cuma bercanda, jadi ketawa napa.”

"Tidak, aku merasa sedih."

Aku pura-pura menekan mataku dengan jari-jariku sambil bercanda, kemudian aku menatap Sekiya-san.

“Lebih penting lagi, bagaimana dengan meja dan perabotan lainnya.”

Tampaknya kami telah mencapai lantai atas dan di ujung jalan terlihat ruang restoran.

“Oh iya, benar. Kita berbicara sambil berjalan dan sampai di sini.”

Pada akhirnya kami berbalik arah dan kembali ke area ruang tamu.

Setelah melihat-lihat berbagai macam meja, Sekiya-san memilih meja putih yang rendah sebagai meja samping di ruang makan.

Selain itu, kami juga memutuskan untuk membeli rak buku dan meja televisi. Setelah itu, kami mengumpulkan barang-barang kecil di lantai pertama dan memasukkannya ke dalam tas belanja, lalu kami mendapatkan furnitur yang kami cari di area gudang sebelum membayar di kasir.

 

Setelah menyelesaikan proses pembelian dan pengiriman, kami berdua akhirnya sampai di ruang restoran di lantai atas.

Waktu sudah menunjukkan pukul 15:00 sore.

“Gimana? Apa kamu mau makan?”

“Ah iya, aku mau, aku lapar sekarang. Aku sarapan terlambat, jadi perutku mulai kosong sekarang.”

“Paham banget. Aku juga sarapan jam 10-an.”

Terlambat bangun di pagi hari adalah hal umum bagi siswa selama liburan musim panas.

“Sebagai ucapan terima kasih karena sudah menemaniku, aku akan mentraktirmu. Kamu bisa memesan apa pun yang kamu suka.”

“Oh, terima kasih banyak.”

Aku ingin makan dengan kenyang karena setelah ini aku akan bekerja paruh waktu di bimbingan belajar pada sore hari. Aku memesan sepaket bakso dan kentang goreng.

Jadwal kerjaku selama liburan musim panas berbeda-beda tergantung pada jadwal murid yang aku tangani.

Di sisi lain, Sekiya-san hanya memesan kue cokelat dan segelas minuman di nampannya.

“Apa segitu saja cukup untukmu, Sekiya-san?”

“Yah, karena setelah ini aku berencana memakan sushi. Jadi aku perlu menjaga supaya perutku tidak terlalu kenyang.”

“Oh, begitu ya.”

Kami kemudian membayar di kasir dan duduk di meja makan.

Karena waktunya belum terlalu sore dan dalam hari kerja, jadi restorannya cukup sepi. Restoran ini mungkin dilengkapi dengan produk IKEA seperti meja dan lampu, sehingga menciptakan ruang yang simpel dan stylish dengan nuansa Scandinavia. Seperti ruang makan besar di kampus universitas atau bahkan lebih luas lagi, kursi dan meja berwarna putih tersusun rapi di seluruh ruangan.

Kami duduk berhadapan di meja untuk empat orang di tepi jendela dan makan dengan diam-diam untuk sementara waktu. Bakso yang kupesan rasanya sangat lezat. Ada tambahan kecil berupa selai merah dengan biji-biji kecil ditambahkan dan pada awalnya aku sedikit kebingungan, “Selai?” Namun setelah mencobanya, aku jadi ketagihan pada rasa manis dan asinnya. Kentang tumbuk sebagai sampingannya juga sangat krimi dan lezat, seperti yang diharapkan dari produsen furnitur dunia, menu makanan mereka tidak dapat dianggap remeh.

Sambil memandang keluar jendela, Sekiya-san diam-diam memasukkan sepotong kue coklat ke dalam mulutnya. Saat aku melihatnya, aku jadi teringat percakapanku dengan Yamana-san beberapa waktu lalu.

── Pengakuan perasaan ya...hmm, mungkin Senpai? Ia bilang sesuatu yang terdengar seperti itu saat Valentine, dan hubungan kami mulai berkembang dari sana.

“Ngomong-omong, di antara Sekiya-san dan Yamana-san, siapa yang menyatakan perasaannya terlebih dahulu saat kalian berpacaran selama dua minggu?”

Saat aku bertanya padanya dengan maksud untuk mengecek jawabannya, Sekiya-san melirik ke arahku dan membuka mulutnya.

“Mendadak ada apaan sih bertanya begitu.”

“Tidak, aku hanya sedikit penasaran saja.”

“Hmm~...mungkin Yamana?”

“Ehh?”

Aku terkejut dan menghentikan tangan yang memegang garpu.

“….Yamana-san bilang kalau Sekiya-san duluan yang menyatakannya, loh?”

“Eh, serius?”

Kali ini giliran Sekiya-san yang terkejut.

“Hmm~~Entahlah. Aku lupa bagaimana kami mulai berpacaran. Tapi kupikir semuanya itu berawal dari Yamana?”

Dengan wajah yang tampak seperti sedang berusaha mengingat masa lalu, Sekiya-san berkata kepadaku.

“Habisnya, pada saat hari Valentine, dia memberiku lima cokelat loh?”

“Lima cokelat? Itu luar biasa.”

“Kamu juga setuju, ‘kan?”

“Apa itu cokelat yang dibuat sendiri?”

“Tidak, sepertinya dibungkus dengan kertas pembungkus cokelat.”

“Eh? Mungkinkah itu untuk dibagikan ke semua orang?”

“Tapi, orang lain hanya mendapatkan satu dan hanya aku yang mendapatkan lima cokelat. Jadi bisa dibilang itu adalah bentuk pengakuan bagiku.”

“..........”

Aku merasa senang dengan pernyataan murni dan tak terduga dari Sekiya-san sehingga aku bisa merasakan aura cowok suram dalam dirinya yang dulu. Aku bisa merasakan kedekatan dengan Sekiya-san karena mungkin ia dulu memiliki kepribadian yang hampir mirip denganku yang perjaka dan suram.

“Apa kamu sangat menyukai cokelat, Sekiya-san?”

“Eh?”

“Karena kamu masih makan itu sekarang, jadi aku sedikit penasaran.”

“Ah… yah, bukannya aku tidak menyukainya atau semacamnya….. Aku hanya merasa seperti itu hari ini.”

“Apa-apaan maksudnya itu?”

Ketika aku mengomentari hal itu, Sekiya-san kembali berbicara dengan nada yang santai.

“Kurasa mungkin kami berdua sama-sama belum menyatakan perasaan kami dengan benar.”

“Apa iya?”

Apa ada hubungan yang dimulai seperti itu? Aku tidak bisa mempercayainya. Rasanya seolah-olah datang dari dunia orang dewasa.

“Maksudku, jika kamu memiliki rasa kepekaan yang normal sebagai manusia, kamu bisa merasakan apakah orang di depanmu menyukai kita secara romantis atau tidak, bukan? Jadi, meskipun tidak ada pengakuan langsung, jika saling menyukai, secara tidak langsung akan terbentuk suasana hubungan pacaran, dan sudah tidak penting lagi siapa yang mengatakannya atau tidak. Jika kamu dalam hubungan di mana kamu harus mengatakan dengan jelas 'Aku menyukaimu, jadilah pacarku' agar orang lain menyadarinya, maka tidak akan ada persetujuan meskipun kita mengatakannya.”

“.......”                               

Aku teringat pada Icchi saat festival budaya di kelas dua SMA dan menjadi merasa aneh. Yah, sekarang bagi mereka berdua, semuanya sudah berakhir dengan baik.

Dan aku juga...

“Sebenarnya, aku pun melakukan hal itu. Aku mengakui perasaanku pada Luna yang bahkan belum menjadi temanku…”

“Seriusan?”

Dengan ekspresi terkejut, Sekiya-san melipat tangannya.

“Kalian benar-benar aneh. Bahkan pacarmu yang menerimamu juga, dan kamu yang berpikir kalau pengakuanmu akan berhasil."

“Bukan begitu, itu karena sanksi hukuman game.”

“Muncul lagi, 'hukuman game'. Kedengarannya seperti dari manga.”

Sekiya-san mengolok-olok sambil menunjukkan garpu ke arahku.

“Jangan sekali-kali menceritakan awal hubungan kalian yang aneh ini kepada anak-anakmu di masa depan, oke? Jangan berpikir bahwa itu akan berhasil jika kamu menjadi orang dewasa. Kalian berdua sangat spesial dalam banyak hal.”

“Aku tidak akan menceritakannya, kok.”

Tiba-tiba aku merasa malu dan aku menggembungkan pipiku.

“Jadi, jawaban Sekiya-san adalah 'Yamana-san mendekatiku pada Hari Valentine', begitu ya?”

Aku mengonfirmasinya sekali lagi, lalu Sekiya-san memalingkan wajahnya sejenak sambil berpikir.

“...Hmm, benar.”

“Kalau gitu aku akan memastikan dengan Yamana-san.”

Usai mendengar itu, Sekiya-san melihatku dengan panik.

“Oi, hentikan!?, Jangan bilang begitu sekarang. Rasanya terlalu menyedihkan, tahu!”

Ia berkata sambil tertawa seperti mengolok-olok dirinya sendiri.

“Aku habis dicampakkan, tau? Aku masih terluka, jadi jangan tambahkan garam ke lukaku.”

Sekiya-san selalu terlihat agak santai dan memiliki aura yang agak acuh tak acuh, sulit untuk tahu mana yang merupakan ucapan yang sebenarnya.

Tapi, saat ini.

Aku merasakannya dengan naluri.

Kata-kata ini, tanpa ragu, adalah perasaan asli dari dirinya.

"...Maaf."

Aku membungkukkan sedikit kepalaku, dan Sekiya-san melemparkan pandangan dingin dengan tatapan yang seperti melirik. Bibirnya sedikit melengkung tipis.

“Sampaikan salamku untuk Yamana, ya.”

Setelah mengatakan itu dengan suara pelan, ia lalu menusukkan garpu ke sepotong kue cokelat yang tersisa di piring dan memasukkannya ke dalam mulutnya.

 

◇◇◇◇

 

“Baiklah, kalau gitu, sampai jumpa! Terima kasih hari ini.”

“Tidak, justru aku yang harus berterima kasih sudah mentraktirku makan.”

“Oke. Aku nanti akan menghubungimu lagi jika aku pulang pada akhir tahun.”

Setelah berpisah dengan Sekiya-san di stasiun transfer, aku naik kereta sendirian.

Aku duduk di kursi kosong yang tersedia, memandang pemandangan senja di luar jendela dengan pikiran yang kosong.

Karena biasanya aku hanya bertemu dengan Sekiya-san di Ikebukuro saat masih di sekolah bimbel, pergi keluar seperti ini terasa baru.

Kecuali saat mengantar ke Hokkaido, mungkin ini hanya kedua kalinya kami pergi melakukan kencan ganda di akuarium atau Magical Sea.

Saat di akuarium, kami semua menonton pertunjukan lumba-lumba bersama dan itu sangat menyenangkan.

Sambil memikirkan itu, aku menyadari sesuatu.

──Apa kamu menyukai lumba-lumba?

──Tidak begitu. Tapi yang ini lebih terlihat monoton dan keren kan.

“Lumba-lumba...”

Apa jangan-jangan, itulah yang jadi penyebabnya?

Karena ia pergi ke akuarium pada kencan pertamanya dengan Yamana-san dan melihat pertunjukan lumba-lumba yang meninggalkan kesan mendalam baginya.

“Dan juga cokelat...”

── Apa kamu sangat menyukai cokelat, Sekiya-san?

── Ah… yah, bukannya aku tidak menyukainya atau semacamnya….. Aku hanya merasa ingin memakannya saja hari ini.

── Habisnya, pada saat hari Valentine, dia memberiku lima cokelat loh?

Aku masih mengingat bagaimana mata Sekiya-san yang bersinar seperti anak laki-laki saat ia mengatakan itu.

Sekiya-san benar-benar menyukai Yamana-san.

Setelah tiga atau empat bulan berlalu, dirinya bahkan masih belum bisa memikirkan hubungan dengan gadis lain.

Ia bahkan secara tidak sadar mengumpulkan simbol-simbol kenangan dengan Yamana-san di sekitarnya.

“.........”

Tapi tidak ada gunanya memikirkan hal semacam itu sekarang.

Semuanya sudah berakhir.

Yamana-san lebih memilih Nisshi daripada Sekiya-san dan sudah puas dengan jalan yang dipilihnya sendiri.

Namun, sepertinya Nisshi memiliki pemikiran tertentu...

“Ah...”

Mengapa cinta semua orang tidak berjalan sesuai rencana yang sempurna?

Aku merasa sedih dan memutuskan untuk berhenti memikirkannya.

Oh ya, berbicara tentang Valentine...

Sebagai gantinya, aku jadi teringat tentang hari Valentine-ku ketika aku duduk di kelas 3 SMA.

 

♣♣♣♣

 

Hari Valentine jatuh pada hari sebelum ujian masuk Fakultas Sastra Universitas Houou.

Hasil ujian bersama tidak begitu baik bagiku, jadi aku harus berjuang melalui ujian masuk umum untuk masuk ke universitas bergengsi. Aku fokus pada persiapan soal-soal ujian masa lalu yang terkait dengan universitas yang aku pilih. Aku meyakinkan diriku sendiri bahwa semuanya akan berjalan sesuai rencana dan terus belajar dengan tekun.

Di bulan Februari, ujian masuk umum untuk universitas bergengsi di wilayah metropolitan dimulai.

Pada hari-hari lain selain hari ujian, aku belajar di rumah daripada pergi ke ruang belajar di sekolah bimbel. Hal tersebut demi mencegah terjangkit penyakit menular. Bahkan selama ujian, aku tidak melepas masker di dalam ruangan.

Pada hari itu juga, aku belajar seperti biasa di kamarku di rumah.

Tidak ada gunanya untuk merasa gelisah sekarang. Melakukan hal baru hanya akan membuatku lebih khawatir, jadi aku memeriksa kartu kata yang sudah aku lihat berkali-kali dan catatan hafalan yang sudah aku buat dari soal-soal ujian masa lalu yang sudah pernah aku kerjakan sebelumnya.

Ada ketukan di pintu kamarku, dan ibuku memanggilku.

“Ryuuto, ada Luna-chan yang datang kemari, loh?”

“....Eh?”

Aku memeriksa ponselku, tapi tidak ada pesan apapun dari Luna.

Waktu di jam dinding menunjukkan pukul 16.00.

Aku mengganti celana dalam rumah yang buruk hanya dengan memakai celana jeans dan keluar tanpa alasan yang jelas.

“Dia sedang menunggu di lobi bawah.”

Setelah ibuku memberi tahu padaku di lorong, aku mengenakan masker seperti biasa dan keluar dari apartemen dengan menggunakan lift menuju lantai dasar.

“Ryuuto!”

Luna yang duduk di kursi tunggu di dekat pintu masuk, mengangkat tubuhnya dengan girang saat melihatku.

Luna juga mengenakan masker. Dia mengenakan mantel bulu tebal dan memakai sepatu bot panjang, serta membawa kantong kertas di tangannya.

“... Ada apa?”

Aku benar-benar tidak tahu apa yang terjadi, jadi aku bertanya padanya. Luna kemudian menyipitkan matanya saat menjawab,

“Karena ini hari Valentine, jadi aku datang untuk memberikanmu cokelat.”

“Ah...!”

Kalau diingat-ingat lagi, benar juga. Tanggal ujiannya sehari setelah hari Valentine.

“Jadi begitu ya...”

“Ini untukmu.”

Seolah hendak menekannya ke tanganku, Luna memberikanku kantong kertas sederhana yang dibawanya.

“Terima kasih...”

“Silakan buka setelah kamu di rumah. Oh ya, jangan makan sekarang ya, tunggu sampai setelah ujian besok!”

“Eh, kenapa?”

“Karena ini buatanku sendiri.”

Luna menurunkan alisnya dengan sedikit penyesalan.

“Aku membuatnya dengan rapi kok, tapi aku bukan profesional. Aku khawatir jika ada virus atau bakteri jahat yang menempel dan membuatmu demam atau sakit perut.”

“Luna...”

Dia bahkan memikirkan hal-hal seperti itu untukku.

“Aku mengerti. Terima kasih, Luna.”

“Tidak apa-apa. Aku harusnya yang berterima kasih karena sudah mau menemuiku di saat-saat sulit ini.”

Dia mengatakan itu dan mundur satu langkah. Apa dia akan pulang sekarang... Aku merasa sedikit kecewa.

“Semoga berhasil. Aku akan selalu mendukungmu.”

“Ya... terima kasih.”

Aku melambaikan tangan padanya saat dia pergi.

“Baiklah, kalau gitu…..”

Saat dia hampir berbalik dan mengangkat tumitnya, Luna yang awalnya mendekati pintu masuk, tiba-tiba berteriak “Ah!” dan kembali ke arahku.

“....?”

Luna berdiri di depanku, meraih tanganku dan meregangkan tubuhnya ke arahku dengan sangat tinggi.

Wajah Luna semakin dekat dan aku merasakan sentuhan kasar masker non-woven di bibirku.

“........”

Itu adalah ciuman melalui masker.

Sementara aku masih tertegun dan terpana dengan kejadian yang tiba-tiba itu, Luna berjalan ke arah pintu masuk dan memutar kepalanya untuk menatapku dengan mata yang menyipit.

"Semoga sukses!”

Dia berteriak dengan semangat seperti tim pemandu sorak, sambil melambaikan tangannya ke arahku, lalu pergi.

Setelah membawa kantong kertas itu pulang, aku membuka isinya di kamarku.

Di atas kue cokelat bulat tertulis dengan pena putih.

 

Semangat!

Aku mencintaimu

 

“.......”

Aku merasakan kalau wajahku memanas.

Aku bersyukur karena aku tidak langsung menuju ke dalam kulkas. Ini harus disimpan di tempat yang tidak mencolok.

“Luna.....”

Aku merasa sangat mencintainya, jadi aku melanggar permintaannya dan mencicipi kue cokelat itu dengan satu gigitan.

Manis.

Entah kenapa, aku tiba-tiba merasa lebih segar. Mungkin karena aku mengonsumsi gula.

Aku mengambil kesempatan ini dan diam-diam menyelinap ke tempat kulkas tanpa sepengetahuan ibuku, lalu kembali ke kamar untuk belajar ujian masukku yang terakhir.

 

Perasaan setelah selesai ujian tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Setelah ujian selesai, aku sempat berpikir “Mungkin aku lulus”, tapi semakin waktu berlalu, kegelisahanku menjadi semakin membesar.

Sebelum hasil ujian universitas Houou keluar, ada pengumuman diterima atau tidaknya di universitas lain tempat aku mendaftar. Ada yang diterima dan ada juga yang ditolak. Setelah berkonsultasi dengan orang tuaku, aku membayar biaya pendaftaran hanya di satu universitas saja sebagai langkah jaga-jaga, sambil menunggu pengumuman kelulusan di universitas Houou.

Pengumuman kelulusan di Universitas Houou akan dilakukan sembilan hari setelah tanggal ujian. Sembilan hari yang begitu panjang, belum pernah aku alami sebelumnya. Rasanya seperti seminggu yang tidak hidup.

Pengumuman kelulusan diumumkan secara online pada pukul sepuluh pagi.

Ketika hari berganti dan hari pengumuman tiba, aku tidak bisa duduk diam lagi. Aku memutuskan untuk pergi ke kedai kopi di depan stasiun bersama Luna untuk melihat pengumuman kelulusan.

Kami duduk di kursi konter di depan dinding, dengan segelas kopi yang belum tersentuh di depan kami. Aku memegang ponselku dengan tegang.

Ketika aku membuka halaman web universitas dan masuk ke halaman pribadiku, informasi ujian masuk untuk jurusan yang aku ambil muncul. Pada saat pengumuman kelulusan tiba, akan ada tombol “Konfirmasi” yang muncul di sana, dan jika aku menekannya, aku akan tahu apakah aku lulus atau tidak.

“... Maaf, sudah kuduga, sepertinya aku tidak bisa. Luna, bisakah kamu menekannya untukku...?”

Meskipun waktu sudah melewati pukul sepuluh dan hasilnya bisa dilihat, aku masih ragu untuk menekan tombol tersebut.

“Eh, aku?!”

Luna tampak terkejut saat aku menyerahkan ponselku kepadanya.

“Ya... karena sepertinya kamu lebih beruntung daripada aku, Luna.”

Hasilnya sudah ditentukan, jadi aku merasa kalau tak ada hubungannya dengan keberuntungan dalam keberhasilan atau kegagalan berdasarkan kemampuan sendiri. Namun, aku merasa ingin mengambil bagian dari keberuntungan sebanyak mungkin.

“O-Oke... Kalau gitu... Aku akan menekannya, ya?”

“Eh, kamu sudah menekannya?!”

“Eh, tidak boleh...?!”

“Tunggu, aku perlu mempersiapkan batinku dulu...”

Setelah beberapa kali mengulangi percakapan seperti itu.

“Duhhhh~~~ aku akan menekannya! Ryuuto pasti lulus. Ei!”

Luna mengatakan dengan nada yang jengkel dan mengetuk ponselku dengan gerakan besar.

Sepertinya proses pemuatan telah selesai, dan ekspresi Luna berubah saat melihat layar.

“....!”

Matanya terbuka lebar dan air mata menggenang di sudut matanya.

“Eh, tunggu, jadinya yang mana?! Coba tunjukkan...!"

Melihat Luna yang mulai menangis tanpa berkata apa-apa, aku mempersiapkan diri untuk gagal dan melihat layar ponselku.

Jadi, ketika aku melihat kata [Lulus] yang tertulis dengan jelas di sana, aku tidak bisa mempercayainya sejenak.

“Eh...”

“....Ryuuto... selamat...”

Luna berkata dengan suara yang tercekat sambil terus menangis.

“Kamu sudah bekerja sangat keras... sungguh menakjubkan... kamu hebat...”

Saat mendengar kata-kata Luna yang terisak sambil menangis, hatiku juga ikutan terenyuh dan hampir menangis.

“...Itu semua berkat Luna...”

Aku bisa sampai sejauh ini karena dukungan Luna.

Luna menatapku dengan mata yang berkaca-kaca.

“...Benarkah? Apa ini berkat aku yang menekan tombol?”

“Ya. Jika aku yang menekannya, aku yakin kalau aku pasti tidak lulus.”

Luna bertanya dengan nada bercanda, jadi aku pun menjawabnya dengan nada bercanda. Lalu, aku berkata dengan wajah serius.

“….Terima kasih, Luna. Untuk selalu berada di sisiku.”

Air mata kembali menggenang di mata Luna.

Dia begitu menggemaskan bagiku.

Di kedai kopi di pagi yang ramai dengan pekerja sebelum berangkat kerja, aku memeluk Luna dengan lembut.

“Aku sangat mencintaimu, Luna.”

Aku merasa sangat terharu sampai-sampai aku membisikkan sesuatu di telinganya yang biasanya membuatku terlalu malu untuk mengatakannya.

“Aku juga.”

Luna yang menjauhkan dirinya dari pelukanku, kembali meneteskan air mata dari kedua matanya.

Dan sambil tersenyum padaku, dia berkata dengan suara yang terisak,

“Sungguh... selamat atas kelulusanmu, Ryuuto...!”

 

Musim semi akhirnya tiba.

Dan musim semi bersama Luna... Aku yakin hal itu akan datang.

Di upacara kelulusan, aku dan Luna bertukar pita dan dasi. Kami tidak akan pernah mengenakan seragam sekolah lagi.

Beberapa hari setelah upacara kelulusan, White Day pun tiba.

Tanggal 14 Maret tiba saat kami menyusun rencana untuk menonton film dan makan malam, atau pergi ke kafe untuk menikmati minuman edisi terbatas.

Sebelum siang, saat aku menunggu waktu untuk pergi setelah selesai bersiap-siap, aku tiba-tiba menerima telepon dari Luna.

“Nee, Ryuuto. Apa yang harus aku lakukan? Misuzu-san mengatakan 'perutnya sakit' sejak pagi... dan tadi dia bahkan mengalami pendarahan. Padahal usia kehamilannya baru memasuki bulan ketujuh.”

“Eh?”

Meskipun dia mengatakan hal seperti itu, aku tidak mengerti apa yang sedang terjadi.

Setelah mengetahui kehamilannya pada tahun lalu, Misuzu-san mulai tinggal bersama Luna dan yang lainnya di rumah keluarga Shirakawa. Luna yang menjadi sangat akrab dengan Misuzu-san, dengan rinci menjelaskan perkembangan kehamilan padaku, tetapi sebagai seseorang yang tidak paham tentang tubuh perempuan dan misteri reproduksi, jadi sejujurnya aku tidak mengerti apa-apa.

“Setelah menelepon rumah sakit, mereka marah dan mengatakan 'Cepat datang kemari!' Ayah sedang bekerja dan nenek bilang dia akan segera pulang setelah menyelesaikan urusannya. Sekarang di rumah, hanya ada aku sendiri. Apa boleh aku mengajak Misuzu-san naik taksi dan pergi ke rumah sakit?”

“Ah, ya... boleh.”

“Maaf ya. Padahal kita sudah ada rencana kencan.”

“Tidak apa-apa.”

Jika memang begitu masalahnya, maka apa boleh buat. Apalagi jika ini berhubungan dengan nyawa bayi.

Kemudian, Luna membawa Misuzu-san ke rumah sakit.

Luna memberikan laporan secara berkala dari rumah sakit.

Menurut penjelasan Luna, Misuzu-san mengalami ‘ancaman persalinan prematu’  dan harus segera dirawat di rumah sakit. Luna kembali ke rumah sebentar untuk mengambil barang-barang keperluan Misuzu-san yang akan digunakan selama dirawat di rumah sakit. Dia juga sibuk menjelaskan situasi kepada ayah dan neneknya...

Setelah menyelesaikan semua tugas, Luna akhirnya pulang ke rumah sekitar pukul sembilan malam.

Karena sudah mengantisipasi kepulangannya, aku mengunjungi rumah keluarga Shirakawa.

“Ini... hadiah White Day dariku.”

Aku memberikan kantong kertas kepada Luna yang keluar di depan pintu masuk rumah. Itu adalah hadiah permen cokelat yang ingin aku berikan saat kencan hari ini.

“Aku berharap kita bisa memilih hadiah bersama hari ini yang bukan berupa barang, tapi hari ini aku hanya bisa memberimu manisan saja.”

“Wah, terima kasih, aku senang! Ngomong-ngomong, hari ini aku hanya sempat makan sarapan saja.”

Meskipun suaranya penuh semangat, namun Luna jelas sekali terlihat lelah. Bahkan di bawah cahaya redup lampu masuk, aku bisa melihat riasan di sekitar matanya luntur dan berubah warna. Itu menunjukkan bahwa Luna yang selalu tampil modis telah menghabiskan waktu tanpa kepedulian terhadap penampilannya sendiri.

“….Apa kamu ingin mampir ke rumah dulu? Nenekku ada di dalam.”

“Tidak, tidak usah. Aku yakin kamu pasti sangat kelelahan hari ini. Istirahatlah dengan tenang, Luna.”

“Ya... terima kasih...”

Luna menjawab sambil tersenyum lega.

“Biarkan aku membalasnya lain kali, ya?

“Terima kasih. Kapan saja boleh kok.”

Setelah itu, aku meninggalkan rumah Luna.

 

Sejak hari itu, kehidupan Luna mendadak menjadi sangat sibuk.

Misuzu-san keluar dari rumah sakit setelah beberapa hari dan diwajibkan untuk “istirahat total” kecuali untuk makan dan ke toilet. Masa masih terus berlangsung hingga beberapa bulan menjelang persalinan.

Luna rela memikul tanggung jawab melakukan pekerjaan rumah tangga untuk Misuzu-san yang tidak bisa bangun, dan juga merawatnya dengan menggunakan sampo kering dan lap pembersih karena Misuzu-san tidak bisa mandi.

Bahkan ketika kami bertemu, Luna terkadang harus pulang lebih awal dengan alasan “Aku harus memasak makanan untuk Misuzu-san!”

Di tengah situasi seperti itu, aku memasuki perguruan tinggi sebagai mahasiswa baru.

Sedangkan Luna memulai karirnya sebagai seorang karyawan.

 

Kami berdua masing-masing telah mencapai musim semi kami sendiri.

 

♣♣♣♣

 

Belakangan ini, aku sering mengingat kembali kenanganku di masa kelas 3 SMA.

Saat aku mulai berpacaran dengan Luna, masa-masa kelas dua SMA-ku terlihat begitu cerah dan sangat berbeda dengan tahun ketiga yang sejujurnya tidak memiliki kenangan yang baik.

Aku mengincar tujuan yang terlalu tinggi, mengalami kegagalan berkali-kali, dan harus belajar tanpa tahu apakah usahaku akan membuahkan hasil. Pada hari-hari seperti itu, aku hampir merasa menyerah.

Namun, saat hatiku yang seperti itu jarang berkilau seperti permata, Luna selalu ada di sisiku.

Dengan mata yang menyala bak matahari di musim panas, dia menginginkanku dengan penuh keinginan.

Di bawah langit musim gugur, dia berpegangan tangan dengan Kurose-san sambil tersenyum ceria kepada ibunya.

Dialah yang menekan perasaannya sendiri dan mendukungku dengan sabar melewati musim dingin dengan senyuman di wajahnya.

Dia merayakan keberhasilanku dengan tangis sukacita ketika bunga sakura bermekaran, dan melangkah maju dalam hidup barunya.

Semua itu adalah kenangan dari hari-hari yang telah berlalu, semua versi Luna ada di dalam diri Luna yang sekarang.

Mereka semua ada dalam ingatanku juga.

Dan lebih dari versi Luna di masa lalu.

Sekarang, Luna yang tersenyum di depanku begitu indah dan menawan.

“Ryuuto, ayo cepat kemari!”

Itulah yang kupikirkan saat melihat Luna melambai di tepian air berwarna biru.

 

Ya, kami berdua sekarang berada di tanah Okinawa yang telah lama kami nantikan dengan penuh gembira ──


 

Sebelumnya  |  Daftar isi  |  Selanjutnya

close

Posting Komentar

Budayakan berkomentar supaya yang ngerjain project-nya tambah semangat

Lebih baru Lebih lama