Bab 8 — Kekhawatiran Rahasia Seorang Senpai
Setelah sedikit demi sedikit
mulai terbiasa dengan lingkungan yang tidak dikenalnya, Amane mampu mengelola
bagian-bagian tertentu dari pekerjaannya dalam waktu seminggu. Pada dasarnya,
peran utamanya adalah menerima dan mengantarkan pesanan ke pelanggan. Ia tidak
diharuskan untuk menyiapkan pesanan yang dipesan oleh para pelanggan, dan hal
ini melegakan bagi Amane, yang menyadari betul, bahwa ia tidak memiliki
pengalaman.
Meski ia belum diberi
kesempatan untuk menyeduh kopi bagi para pelanggan, namun staf lain telah
mengajarinya cara menyiapkannya di belakang ketika bisnis sedang sepi. Kafe ini
cukup teliti dalam hal kopi yang mereka sajikan, tidak mengizinkan adanya
kompromi dalam hal rasa.
Amane telah diberitahu bahwa
suhu ideal air panas dan waktu yang dihabiskan untuk mengekstraksi rasa
bervariasi, tergantung pada jenis biji kopi yang digunakan, dan seberapa halus
biji kopi tersebut digiling. Rasa yang diberikan kepada pelanggan harus
konsisten, jadi dirinya berlatih sampai ia bisa menciptakannya kembali.
Setelah Amane mendapatkan waktu
ekstraksi, mempelajari cara menggunakan peralatan, dan memahami waktu yang
ideal untuk mengaduk, ia dapat menghasilkan kopi dengan rasa yang konsisten
setiap saat. Setelah menerima instruksi yang menyeluruh, Amane berlatih sampai
dirinya bisa melakukannya dengan benar. Hal ini membuktikan bahwa bahkan Amane,
yang telah diberi bimbingan yang ketat, dapat melakukannya dengan latihan yang
cukup.
“Ya, rasanya cukup enak,”
Daichi mengajari Amane cara membuat kopi, sementara Souji dan Rino melayani
para pelanggan, karena hanya sedikit pelanggan yang datang dan jumlah pesanan
sudah mulai berkurang.
Kopi yang diseduh dengan
menggunakan siphon, tampak sama dengan kopi-kopi yang disajikan di kafe.
Tampaknya tidak ada masalah apa pun dengan itu.
“Namun, dari caramu menyeduh, kurasa
kamu harus mengaduk biji kopi lebih banyak, dan kamu bisa lebih cepat dalam
mengekstraksi kopi.”
“Padahal aku sudah menggunakan
pengatur waktu...”
“Menurutku, kamu terlalu
bergantung pada pengaturan waktunya karena kamu belum terbiasa dengan peralatan
ini, dan harus ekstra hati-hati. Perbedaan dalam pengaturan waktu itulah yang
mungkin memberikan rasa yang sedikit lebih pahit.”
“Maaf atas hal itu, aku akan
melakukan yang terbaik untuk memperbaikinya.”
Nasihat Daichi tidak kasar,
tetapi lebih lembut dan sopan, meskipun pada kenyataannya, kurangnya rasa
percaya diri Amane dalam melayani orang lain, mungkin merupakan alasan terbesar
mengapa proses latihannya begitu lama.
Karena termos yang digunakan
dengan alat pembuat kopi siphon terbuat dari kaca, selalu ada risiko kalau
alatnya terbentur, menyebabkan termos itu jatuh dan pecah... Kekhawatiran
seperti itu sangat mengganggu Amane.
Daichi tampaknya mengerti,
karena ia menunjukkan senyum penuh pengertian kepada Amane.
“Pada awalnya aku juga
sama-sama takut memegangnya. Rasanya seperti mereka akan hancur jika aku salah
melihatnya,” katanya, meyakinkannya. “Kenyataannya, kamu akan baik-baik saja
selama kamu tidak menjatuhkan atau menanganinya dengan kasar. Dari apa yang kulihat,
kamu adalah orang yang selalu berhati-hati saat menangani hal-hal seperti itu,
Fujimiya-kun.”
“Aku harap begitu, tapi...”
“Si keledai itu... maksudku,
Rino, dia menghancurkan satu alat di hari pertamanya, jadi menurutku kamu
benar-benar berhati-hati, Fujimiya-kun.”
Amane menyadari ucapan
keceplosan yang mengerikan itu, tapi ia berpura-pura tidak menyadarinya.
“Meski begitu, semua orang
pasti pernah melakukan kesalahan. Kamu tidak akan dimarahi walaupun kamu
melakukannya, jadi jangan khawatir,” Daichi mencoba menenangkan pikirannya. “Yah,
mungkin si Owner akan memarahimu dengan tatapan kesal jika kamu akhirnya
merusak beberapa di antaranya.”
“Sepertinya kamu bicara
berdasarkan pengalaman,” kata Amane.
“Itu sih karena ulah Rino,” ia
menjelaskan sebelum menambahkan, “Wajah si Owner terlihat membeku saat itu.”
Perasaan nostalgia yang aneh dari Daichi tercermin dalam nada suaranya pada
saat itu, dan Amane tersenyum lemah menghadapi cerita yang tidak nyaman itu.
(...
Pasti suasana sangat kacau pada waktu itu)
Amane tahu, sejak hari pertamanya
bekerja, bahwa sifon kopi di sini tidak murah, jadi jumlahnya tidak banyak.
Memiliki beberapa siphon yang rusak sekaligus pasti akan menghambat penjualan
kafe secara signifikan.
Sifon kopi di kafe ini
diproduksi oleh merek favorit Fumika, dan semuanya dipilih dengan cermat.
Bahkan membayangkan harus mengganti satu sifon yang rusak saja sudah terasa
terlalu mahal untuk ditanggung, apalagi beberapa sifon sekaligus.
Aku
harus lebih berhati-hati dengan hal ini, Amane bersumpah pada dirinya
sendiri, sambil menyesap kopi yang diseduhnya dengan pengawasan Daichi.
Rasa pahit yang berbeda
menyebar di lidahnya.
Turun dengan lancar, kopi ini
mudah diminum, dan rasa pahitnya tidak bertahan lama di lidahnya. Sebaliknya,
rasa keseluruhannya terasa lembut, mempertahankan rasa yang kaya dan penuh
kedalaman.
Amane bukanlah penggemar berat kopi,
tetapi kopi yang satu ini memiliki perpaduan yang seimbang antara rasa pahit,
keasaman, dan sedikit rasa manis dari biji kopi itu sendiri, membuatnya sangat
mudah untuk diminum. Namun, ia menyadari bahwa masih ada ruang untuk perbaikan,
karena rasa pahit dan keasamannya masih lebih kuat daripada yang diseduh Daichi
sebelumnya sebagai demonstrasi.
“Ooh! Enak sekali! Inilah yang aku
sebut menarik!”
Dengan kurangnya pesanan yang ditempatkan
di depan, Rino mengambil kesempatan untuk beristirahat dan masuk ke belakang.
Dia memegang nampan dengan piring bekas di tangannya, kemungkinan besar dari
pelanggan yang baru saja pergi.
“Fujimiya-chan, boleh aku minta
sedikit?” tanya Rino sambil meletakkan piring-piring itu di wastafel dan
menghampiri Amane. Saat ia bertanya-tanya apa yang harus dilakukan, Daichi
mencengkeram tengkuk Rino dan menariknya menjauh darinya.
Itu terjadi begitu cepat
sehingga Amane tidak bisa langsung mengerti apa yang baru saja terjadi.
“Hei, jangan lakukan itu.
Fujimiya sudah punya pacar sendiri, tau.
Jangan menimbulkan kesalahpahaman,” tegur Daichi.
“Oh, maaf! Sekarang kamu
menyebutkannya, aku jadi ingat hal seperti itu,” kata Rino, mundur dengan
patuh. “Aku punya banyak kakak laki-laki, jadi aku sudah terbiasa dengan hal
semacam ini.”
Daichi pasti sudah menghentikan
kejahilannya karena Amane sudah menjelaskan situasinya secara singkat kepadanya
saat mereka bekerja.
Daichi tidak bisa menyembunyikan
rasa tercengangnya, tapi Rino hanya menyeringai. Amane bertanya-tanya apa ia
bisa bertanya pada keduanya tentang hubungan mereka yang terlihat dekat, yang
semakin terlihat jelas selama seminggu terakhir.
“Kalian berdua terlihat rukun,”
komentar Amane.
“Ya, kami memang sudah saling
mengenal sejak kecil. Sudah berada di sisi satu sama lain selama lebih dari dua
puluh tahun,” Rino menjelaskan.
“Bisa dibilang kalimat terjebak
satu sama lain akan lebih tepat sasaran,” tambah Daichi.
“Bukannya itu terlalu kejam!?” Rino
dengan main-main menyolek Daichi di bagian samping, dan ia mencubitnya sebagai
balasan, membuatnya terpekik. Mereka dengan cepat bertukar pukulan main-main,
memanfaatkan fakta bahwa pelanggan tidak bisa melihat mereka.
Keakraban mereka yang santai
jelas tidak berkembang dalam semalam, dan Amane mendapati dirinya lebih
memahami mengapa mereka tampak begitu dekat. Namun, ia merasa bahwa hubungan mereka
mungkin terlalu dekat untuk tingkatan teman masa kecil yang berlainan jenis. Ia
memiringkan kepalanya, tidak yakin, apa ini merupakan hal yang lazim bagi teman
masa kecil pria dan wanita. Ia bisa memahami kedekatan antara Ayaka dan Souji
sejak mereka berpacaran, tapi Daichi dan Rino kurang lebih memiliki getaran
yang sama.
Amane merasa kalau
hubungannya belum cukup dekat dengan mereka untuk menunjukkan hal ini, dan
tidak sopan jika ia mengorek informasi hanya karena ingin memenuhi rasa
penasarannya. Jadi, dengan menunda pemikiran itu, ia hanya mengamati olok-olok
ringan pasangan itu tanpa bertanya lebih lanjut.
“Oh iya, aku penasaran, pacarmu
itu seperti apa, Fujimiya-chan?” tanya Rino dengan polosnya, akhirnya
melepaskan diri dari genggaman Daichi.
Amane mendongak, merenung. “Seperti
apa...? Yah, dia gadis yang cantik dan berhati lembut.”
Sulit untuk menggambarkan
Mahiru ketika ditanya gadis seperti apa dirinya. Siapapun dari sekolah mereka
akan tahu tanpa diberitahu, tapi Rino adalah seorang gadis kuliah yang tidak
memiliki hubungan dengan sekolah Amane, jadi dia takkan tahu tanpa penjelasan.
Namun, memberi tahu seseorang dari luar sekolah mereka tentang gadis yang dijuluki
Bidadari itu mungkin akan menghasilkan tawa atau ketidaknyamanan, jadi Amane
juga tidak bisa menjelaskannya seperti itu.
Merasa bahwa prasangkanya
sebagai pacarnya akan mengarah pada ketidaksengajaan membual tentangnya jika ia
menceritakan gambarannya tentang Mahiru kepada rekan kerjanya, Amane memilih
ekspresi yang lebih umum. Namun, Rino terlihat tidak puas dengan penjelasannya,
dan wajah cemberutnya diiringi dengan “Hmpf.”
“Hmm. yah, sekilas melihatmu,
aku tahu kalau pacarmu itu pasti seorang gadis yang sangat terhormat, tapi
hanya dengan mengatakan dia cantik saja tidak membuatku yakin, Fujimiya-chan.
Paham?” katanya.
“Aku setuju, tapi memang benar
bahwa dia adalah seorang pekerja keras dan baik hati. Apa kamu benar-benar
ingin tahu sebanyak itu tentang pacar orang lain?”
“Ya iyalah! Mendengar kisah
cinta orang lain tidak ada bedanya dengan melahap madu, dan para gadis, berapa
pun usianya, senang sekali membicarakan cinta. Dan kami sangat senang mendengarmu
membual tentang pacarmu! Anggap saja sebagai lapisan gula pada kue kami yang
sangat manis.”
“Gadis, ya...,” sela Daichi.
“Daichi. Memangnya kamu ada
masalah, hah?”
“Oh enggak, tidak sedikitpun.”
“Ba-Baiklah, baiklah...,"
Amane mencoba menenangkan suasana tegang di antara mereka berdua sambil
menyeruput kopinya yang sudah dingin, dan Rino, mungkin karena komentar Daichi,
menghampirinya dengan raut wajah yang sedikit tegang.
“Terus terang saja... Kamu tipe
orang yang tidak suka basa-basi, ‘kan? Jadi aku ingin tahu tentang pacar yang
kamu kencani, Fujimiya-chan.”
“Aku mengerti kalau kamu merasa
penasaran, tapi tetap saja...”
“Hei, apa kamu tidak membawanya
kemari?”
“Soal itu, aku sudah memintanya
untuk jangan berkunjung dulu. Setidaknya sampai aku terbiasa dengan pekerjaan
ini. Maaf mengecewakan.”
“Awww...”
Rino mengeluarkan cibiran paling
lucu yang bisa ditunjukkan, tapi Amane tidak berniat untuk mengalah.
Pertama-tama, ia tak mengerti kenapa Rino begitu bersemangat untuk membawa
pacarnya ke tempat kerjanya atau mengunjunginya. Diberitahu tentang hal ini
oleh Itsuki dan rekan kerjanya, sungguh di luar dugaannya.
“Baiklah, anggap saja aku akan
bertemu kekasihmu suatu hari nanti. Apa dia cantik?” tanyanya.
“Secara obyektif, atau dari
sudut pandangku?”
“Dua-duanya?”
“Secara obyektif, menurutku dia
sangat imut,” Amane mulai menjawab. “Tapi bagi aku, dia adalah gadis paling
imut di dunia.”
Amane memutuskan untuk menjawab
pertanyaan ini sejujur dan sejelas mungkin tanpa terdengar seperti sedang
membual. Kecantikan Mahiru sedemikian rupa, sehingga apa pun preferensi
pribadinya, siapa pun akan menganggapnya cantik. Ia tidak bisa menyerah pada
hal itu.
Sebagai pacarnya, ia juga ingin
mengatakan bahwa kelucuan Mahiru lebih terletak pada perilakunya dan sisi kasih
menggemaskannya yang hanya bisa dilihat Amane, daripada penampilan luarnya.
(Dia
selalu begitu menggemaskan, bahkan tanpa berusaha untuk menjadi seperti itu...)
Wajah cemberutnya saat cemburu
pada gadis-gadis lain meskipun dia tahu kalau Amane tidak memiliki niat buruk,
atau ketika dia menarik-narik ujung bajunya saat merasa kesepian, dan menyundul
lengannya untuk menyembunyikan rasa malunya saat rasa malunya mencapai
puncaknya—Amane menemukan semua gerakan kecil ini sangat
menggemaskan. Jika dia sengaja bersikap seperti ini, dia akan dianggap sebagai
gadis imut yang penuh kelicikan, tapi Mahiru secara natural bersikap seperti
ini, yang terkadang membuat hati Amane sulit untuk mengikutinya. Sebenarnya,
akan lebih mudah baginya untuk menghadapinya jika dia melakukannya dengan
sengaja, tetapi karena dia bertindak seperti ini secara alami dan tulus, Amane
selalu terpukul sampai ke intinya.
Walaupun Amane bisa terus
membual dan memamerkan tentang keimutan Mahiru jika dirinya mau, dia memutuskan
untuk menyimpannya untuk dirinya sendiri dan bersikap ringkas dalam
perkataannya, agar dia tidak mendapat hinaan atau ketidakpercayaan dari kedua
seniornya. Namun, Rino menutup mulutnya dengan seringai, dan berkata, “Astaga!
Jadi kamu sedang membual sekarang, ya?” seraya mencoba menggodanya.
“Kamu sendiri yang bilang kamu
lebih senang mendengarkan...,” balas Amane.
“Ayolah, kamu bekerja paruh
waktu demi dia, ‘kan? Dia pasti gadis yang sangat baik, sampai-sampai membuatmu
ingin melakukan segalanya demi dia, ‘kan?”
“Ini bukan demi dia, aku
melakukannya karena aku menginginkannya. Ini merupakan keputusan yang aku buat
sendiri.”
Amane merasa perlu untuk
mengklarifikasi hal ini.
Dirinya mulai bekerja paruh
waktu karena dirinya sendiri yang menginginkannya, bukan karena dia mencoba
melakukan sesuatu untuk Mahiru. Ia tidak berniat membebani Mahiru dengan
tanggung jawab apa pun.
Meskipun ia tahu bahwa apa yang
ia lakukan akan berkontribusi pada kebahagiaan Mahiru, ia tidak ingin
membuatnya ikut bertanggung jawab dengan mengatakan bahwa hal itu dilakukan 'demi dirinya'. Ia melakukan ini untuk
dirinya sendiri, dan jika hal ini bermanfaat bagi Mahiru, maka itu akan menjadi
hal yang bagus, tetapi ia tidak bisa berkompromi dalam hal ini.
“Aku tidak bisa mengatakan ini
demi dia. Aku melakukan ini karena aku ingin melakukannya, dan sebagai
hasilnya, aku membuatnya merasa kesepian. Itu membuatku menjadi orang yang
egois, tau,” Amane menjelaskan.
Amane tahu betul kalau Mahiru
menerima dan menghormati keputusannya meskipun hal itu membuat mereka menghabiskan
waktu terpisah, tapi dirinya juga tahu bahwa ia membuat Mahiru kesepian dan
menambah bebannya. Karena itulah ia selalu bersyukur dan berniat untuk bekerja
keras untuk mencapai tujuannya secepat mungkin.
Jadi, Amane dengan tegas dan
terus terang menyatakan bahwa ia tidak ingin menganggap Mahiru sebagai alasan
atau dalih atas perjuangannya, yang membuat Rino dan Daichi mengedipkan mata
kagum.
“Kamu benar-benar orang yang
serius...,” katanya.
“Jauh berbeda denganmu, Rino,
itu sudah pasti,” balas Daichi.
“Apa yang kau keluhkan
sekarang?”
“Kau terlalu sering
bergonta-ganti pasangan. Berapa bulan kamu bertahan dengan pacar
terakhirmu?"
“Ugh, sudahlah, Daichi. Siapa
yang kupacari bukan urusanmu. Aku tidak merebut pacar orang lain dan aku juga
tidak mengencanimu, jadi jangan mengomel pada semua yang kulakukan hanya karena
kita teman masa kecil.”
“...... Ya, terserah apa
katamu. Terimalah permintaan maafku yang terdalam.”
Daichi sedikit mengernyit
setelah ditolak dengan keras, terlihat agak terluka saat tatapannya mengembara.
Rino, yang tidak menyadari kejenakaannya, kembali ke depan dengan ekspresi yang
sedikit masam.
Setelah melihatnya pergi dengan
tatapan memelas, Daichi menghentikan aksinya dan kembali pada ekspresi
lembutnya yang biasa, ketika ia menyadari tatapan Amane, bertindak seolah-olah
tidak ada yang terjadi.
“... Uhmm, Miyamoto-san...,”
panggil Amane dengan ragu-ragu.
“Hmm?”
“Aku, eh, maafkan aku untuk
itu.”
Amane menunduk, merasa bahwa
situasi tadi terjadi karena kesalahannya, karena telah mengatakan sesuatu yang
seharusnya tidak ia katakan, tapi Daichi melambaikan tangannya sambil tertawa
riang.
“Oh... Jangan khawatir,
Fujimiya. Kamu tidak bisa disalahkan di sini. Ia selalu bersikap seperti itu,
dan kurasa sudah agak terlambat bagiku untuk mengatakan sesuatu tentang hal itu
sekarang.”
“T-Tidak, bukan itu yang
kumaksud—”
“Fujimiya.”
“Ya?”
“Hati orang sering kali tidak
bergerak seperti yang kamu inginkan. Aku tahu itu dengan sangat baik.”
“... Benar.”
“Kamu tidak perlu mengkhawatirkan
apa-apa. Tidak apa-apa, jangan biarkan hal itu mengganggumu.”
Amane tidak tahu apa dia
mengatakan itu untuk menghilangkan kekhawatirannya atau jika Daichi sudah
pasrah dengan situasi ini, menyerah dengan aktingnya yang seperti itu. Tapi
satu hal yang pasti: Daichi, untuk sesaat, memiliki ekspresi sedih di matanya
saat ia berbicara begitu mungkin terasa tulus dari hatinya.
Ia mengatakan kepada Amane
dengan nada santai dan tanpa emosi, “Aku akan pergi untuk memeriksa pelanggan,
jadi aku mengandalkanmu untuk membersihkannya,” dan meninggalkan dapur. Amane
tidak yakin apa Daichi menangkap pikirannya tentang masalah ini atau tidak.
Souji kembali, seolah bertukar
tempat dengan Daichi, kembali dengan nampan yang penuh dengan hidangan. Ia
tersenyum pahit saat melihat ekspresi Amane.
“... Tidak ada gunanya
membicarakannya dengan Miyamoto-san,” ucap Souji. “Dirinya sudah mengambil keputusan
tentang hal itu, dan ia juga akan mengikuti jalannya sendiri, Fujimiya.”
Souji berusaha untuk
menertawakannya sambil menggelengkan kepalanya. Ia pasti berada di dekat meja
kasir, karena sepertinya dia tahu situasinya. Sambil menyimpan piring-piring
bekas, Souji berbicara dengan cara yang menunjukkan kepeduliannya pada keadaan
mereka, dan sepertinya dia bisa menebak percakapan mereka.
“Meski rasanya tidak benar
untuk mengorek terlalu dalam tentang urusan pribadi seseorang, tapi apa aku
membayangkannya dengan benar?” tanya Amane.
“Aku bukan kamu, jadi aku tidak
bisa melihat ke dalam kepalamu, tapi mungkin saja persis seperti yang kamu
bayangkan.”
“... Ini rumit. Aku belum
pernah bertemu orang seperti ini sebelumnya, jadi aku tidak tahu harus
bagaimana.”
Jika tebakannya memang benar,
Amane dapat dengan mudah mengatakan bahwa Daichi pasti mengalami kesulitan. Ia
menyukai seseorang yang terus-menerus terlibat dengan pria lain, dan gadis itu
terus berganti-ganti pasangan. Gadis itu
tidak pernah berpaling ke arahnya, dan pasti sangat menyakitkan untuk terus
berada dekat dengannya sebagai teman masa kecil. Amane berpikir tidak sopan
untuk menduga-duga perasaan Daichi, tapi membayangkannya saja sudah membuat
hatinya terasa sakit.
“Biar kuperjelas: Oohashi-san
bukan orang yang jahat atau apapun. Dia hanya mudah jatuh cinta, tapi juga
mudah putus asa,” Souji menjelaskan.
“Berkali-kali?”
“Aku sudah bekerja di sini
sejak kelas 1, dan Oohashi-san sudah ada di sini bahkan sebelum itu. Setahuku,
dia sudah punya lima atau enam pacar sejauh ini. Meskipun dia tidak pernah
menjalin banyak hubungan sekaligus, namun pasangannya selalu berganti-ganti.”
“Wow... dia pasti sangat
populer,” komentar Amane.
“Dia terlihat seperti wanita
cantik yang lembut, tetapi beberapa orang melihatnya sebagai sasaran empuk.
Namun, di dalam, dia bisa sangat jujur dan keras."
Dia memiliki tubuh yang
ramping, tinggi, dan seperti model, tetapi fitur wajahnya agak manis dan ramah,
membuatnya tampak seperti wanita yang sopan dan baik sampai dia berbicara.
Ketika dia berbicara, dia tampak bersemangat dan cepat membuat lelucon jorok
tanpa ragu-ragu, menciptakan kontras yang besar antara penampilan dan
kepribadiannya.
Dia
adalah orang yang ceria dan bersemangat, tapi kurasa seseorang takkan pernah
bisa menebak kepribadiannya hanya dari penampilannya saja... mau
tak mau Amane merasa penasaran, apa hal itu merupakan faktor yang membuatnya
cepat berganti pasangan.
“... Jadi, Miyamoto-san telah
mengawasinya berganti-ganti pacar selama ini?” Amane bertanya. “Sementara tidak
memberikan satu kata keluhan pun?”
“Tentu saja.”
“Aku merasa kagum dengan hati
bajanya...”
“Yah, itu bukan sesuatu yang
bisa kita putuskan. Segalanya mungkin akan berjalan lancar kalau begini terus,
bukan begitu? Pada akhirnya, Miyamoto-san adalah satu-satunya orang yang bisa
memahami dan menjaga Oohashi-san. Aku yakin semuanya akan membaik pada
akhirnya. Oohashi-san bahkan mungkin akan menangis padanya saat dia
mengatahuinya nanti.”
Souji, yang tampaknya tidak
berniat untuk melangkahi posisi mereka sebagai senior dan junior di tempat
kerja, memberikan penilaian yang sangat santai. Mungkin karena telah
menyaksikan interaksi mereka berkali-kali sebelumnya, Amane mengevaluasi
kembali situasi, memilih untuk pergi dengan pemikiran bahwa itu bukan tempatnya
untuk ikut campur karena dirinya tidak begitu dekat dengan Daichi.
Akan lebih baik untuk mengawasi
mereka, tetapi jika tidak, tunggu dan lihat saja, daripada mengkhawatirkan dan
ikut campur yang tidak perlu. Meskipun memberikan dorongan yang dibutuhkan
seseorang bisa menjadi hal yang penting pada saat tertentu, namun hal ini juga
bisa menyebabkan hubungan mereka menjadi runtuh. Amane tidak memiliki
persahabatan yang cukup dalam dengan Daichi untuk mengambil tanggung jawab itu.
“Yah, kurasa Miyamoto-san dan
Oohashi-san seharusnya baik-baik saja. Ehmm, kalau tidak salah ada pepatah yang
tepat untuk situasi ini...? Panci pecah dengan penutup yang diperbaiki?”
“Kayano, cara peribahasamu cukup
kasar untuk dikatakan...”
“Oi, siapa yang kamu sebut
penutup yang diperbaiki?”
“Gah, Miyamoto-san.”
Daichi, mendengar sesuatu yang
mungkin tidak seharusnya ia dengar, menatap Souji dengan senyum yang tampak
tanpa beban namun intens. Bahkan, dia langsung memelototinya.
“Kayano, kamu cuci sifonnya.
Dan saringannya juga,” perintah Daichi.
“... Baiklah.”
“Fujimiya, kamu juga harus
membantunya.”
“Y-Ya.”
Lebih
baik jangan melawannya di sini... Amane menurut dengan cepat
sambil tersenyum tegang.
Suara ceria Rino kemudian
terdengar jelas saat ia kembali dari depan untuk memeriksa mereka, “Ah, Daichi
merundung anak baru! Aku akan mengadukanmu pada Itomaki-chan!”
“Aku tidak merundungnya!”
Daichi berseru. “Kamu tidak mengerti, jadi jangan mengorek-ngorek di tempat
yang tidak semestinya!”
“Enak saja kalau ngomong, dasar
tukang bully! Kamu yang terburuk!”
Meskipun itu sebenarnya bukan
bullying tapi lebih merupakan konsekuensi dari tindakan mereka, Rino, yang
tidak tahu situasinya, dengan main-main mencolek Daichi seolah menggodanya.
Akibatnya, wajah Daichi secara alami menegang.
“Harus kuakui, Miyamoto-san
jadi keras kepala justru karena Oohashi-san bertingkah seperti itu...”
“... Kamu benar sekali.”
Berbicara sedemikian rupa agar
tidak terdengar, Amane dan Souji menghela nafas serempak karena suara
pertengkaran di belakang mereka— semua itu dilakukan sambil membersihkan piring
dan peralatan yang diperintahkan.