Otonari no Tenshi-sama Jilid 8 Bab 4 Bahasa Indonesia

 

Bab 4 — Interaksi Baru

 

 

Sekembalinya ke sekolah setelah liburan, seusai festival budaya, suasana di sekolah masih sedikit gelisah, mungkin karena kegembiraan festival itu belum sepenuhnya memudar.

Bahkan di dalam kelas Amane, yang biasanya lebih tenang, setidaknya dua puluh persen lebih hidup daripada biasanya. Ada teman sekelas yang berbisik-bisik dari waktu ke waktu, sebagian besar tentang siapa yang mulai berpacaran dengan siapa, dan Amane sangat menyadari bahwa festival budaya memiliki efek pada hubungan siswa, yaitu munculnya pasangan-pasangan baru.

Sesekali ada siswa yang melirik ke arahnya, tetapi itu terutama ditujukan pada Mahiru, jadi kemungkinan besar topiknya adalah penampilannya di festival budaya dan yang lainnya.

“Selamat pagi.”

Itsuki memasuki ruang kelas, terlihat sedikit mengantuk, dan langsung menghampiri Amane. Ia melambaikan tangannya dengan longgar sebagai jawaban dan menjawab “Pagi juga,” sambil mengamati wajah Itsuki sekilas. Amane tidak menindaklanjuti untuk menanyakan kabar Itsuki di rumah, setelah ia menceritakan kekhawatirannya selama sesi karaoke mereka.

Itsuki pasti akan merasa sedih jika Daiki mengatakan sesuatu padanya setelah itu, tetapi sejauh yang Amane tahu, Itsuki masih terlihat sama seperti biasanya. Amane merasa lega, tapi tidak menunjukkannya.

“Selamat pagi, Shiina-san”" Itsuki menoleh pada Mahiru, “Hari ini, kamu masih... Hmm?”

“Selamat pagi juga, Akazawa-san. Apa ada yang salah?”

Mahiru berdiri di sisi Amane seolah-olah itu adalah hal yang paling alami di dunia, dan Itsuki tersenyum saat ia menyapanya. Tetapi ketika ia melihat wajahnya, Itsuki tiba-tiba menjadi curiga sembari matanya menyipit. Itsuki terus memeriksanya dengan seksama seolah-olah untuk memastikan sesuatu, lalu menggaruk pipinya.

(... Apa-apaan dengan ekspresi itu?)

Amane menyipitkan matanya dengan cara yang sama, bertanya apakah ada masalah yang muncul, tetapi meskipun Itsuki terlihat seperti ada sesuatu yang ingin ia katakan, tatapan yang ia berikan pada Mahiru jelas bukan untuk mengkritik. Hal ini membuat Amane bingung.

“... Ayo, Amane-kun. Ke sini sebentar.”

“Hah?”

“Tinggal ke sini saja.” Itsuki bersikeras, memanggilnya untuk suatu alasan, jadi Amane terang-terangan menunjukkan tatapan skeptis saat ia membiarkan Itsuki menuntunnya ke sudut kelas. Setelah itu, Itsuki mencoba untuk meringkuk mendekat, dan diam-diam memulai interogasinya.

“Hei, apa kamu sudah melewati batas dengan Shiina-san?”

“HAH!?”

Teriakan Amane yang begitu mendadak mulai menarik perhatian Mahiru, membuatnya menengok dari kejauhan untuk melihat apa yang terjadi. Mencoba untuk mencegah dirinya tersipu malu karena memikirkan sesuatu yang tidak pantas, Amane melambaikan tangannya dan hanya menjawab, “Tidak apa-apa.” Tapi begitu tatapan Mahiru berpindah sejenak, Amane berbalik menatap Itsuki, meskipun tatapan heran yang menyambut Amane membuatnya tak bisa berkata-kata.

“Oi, oi. Memangnya buat kita pindah kesini, bung? Jangan mengacaukannya.”

“Jangan mengacaukannya? Itu hanya karena kamu mengatakan sesuatu yang aneh secara tiba-tiba.”

“Aneh apanya. Kamunya saja yang belum menyadari bahwa getaran-getaran semacam itu baru saja mengalir di antara kalian berdua...” Itsuki memulai. “Shiina-san terlihat sedikit berbeda dari biasanya, dan selain itu, kamu sepertinya baru saja menutup jarak dengannya. Kalian selalu dekat sejak kalian mengungkapkan hubungan kalian, tetapi jelas sekali kalau suasana hati yang kalian miliki sekarang lebih parah...”

Diberitahu bahwa ada perubahan dalam suasana mereka, Amane melirik sekilas ke arah Mahiru. Dia menunggu dengan tenang di dekat tempat duduk Amane, menatapnya dengan rasa ingin tahu. Tetapi ketika mereka bertatapan, Mahiru menjadi malu-malu.

“Bukannya tidak ada yang berubah?”

"Kamu hanya tidak bisa melihat sesuatu secara objektif. Kalian berdua selalu bermesraan, ya, tapi suasana yang kalian berdua alami saat ini sangat berbeda dengan apa yang kalian alami saat festival budaya. Kalian memiliki suasana saling memiliki satu sama lain sekarang, seakan-akan kalian berdua sudah saling mengenal dengan sangat baik.”

“Apa pun yang kamu bayangkan, hal itu sama sekali tidak terjadi.”

“Oh, benarkah?”

“Paling tidak, kami tidak melakukannya sampai melewati batas.”

Jika Amane tetap menjawab dengan kalimat ambigu, Itsuki akan mulai menyeringai seolah-olah dia bisa melihat semuanya, jadi Amane menyodok tubuh Itsuki dengan tinjunya, mencoba untuk mengganggu wajahnya yang menjengkelkan itu. Ada sedikit kekuatan di balik dorongan itu, tapi Itsuki tampaknya sama sekali tidak terpengaruh. “Berhenti berusaha menyembunyikan rasa malumu.” Kata Itsuki sambil tertawa.

Merasa frustasi, Amane menginjak kaki Itsuki, meskipun dia juga mengeluarkan desahan pelan tanda menyerah.

Amane merasa ngeri dengan kepekaan Itsuki, setelah menyadari perubahan ini dengan segera, tapi Amane berniat untuk memberitahu Itsuki dan Chitose tentang apa yang akan terjadi padanya dan Mahiru. Ia tidak berencana untuk menceritakan seberapa jauh mereka telah berkembang secara fisik, tapi ia percaya bahwa setidaknya ia harus memberi tahu mereka tentang rencana masa depannya.

“... Pertama-tama, aku belum berniat untuk melangkah sejauh itu. Aku sudah berjanji dengan Mahiru.”

“Janji?”

“Iya, aku tidak akan melakukannya sampai aku bisa bertanggung jawab. Aku mengatakan bahwa aku akan bertanggung jawab selama sisa hidupku, dan memintanya untuk menunggu sampai saat itu tiba.”

Saat Amane memberitahu Itsuki tentang janji tersebut, sekali lagi menyadari itu adalah sesuatu yang terlalu memalukan untuk diungkapkan secara terbuka, mata Itsuki membelalak karena terkejut, dan kemudian ia menatapnya dengan tatapan jengkel yang halus, tapi terkesan mengandung emosi yang bertentangan.

"Aku pikir ketekunan dan ketulusanmu itu sangat luar biasa, aku benar-benar menghormatinya, kawan. Tapi apa kamu akan baik-baik saja melakukan hal itu? Dalam segala hal.”

“... Aku mungkin takkan baik-baik saja, tapi tidak apa-apa. Aku ingin menjaganya dengan baik, dan, ehm, aku serius dengannya.”

Setelah menemukan seseorang yang akan mendampinginya selamanya mulai sekarang, Amane ingin menghormati dan menghargainya.

Sejujurnya, Amane sedikit khawatir tentang apa dirinya akan mampu bertahan selama menunggu, tetapi Amane tidak bisa mengingkari janjinya. Lagipula, ia akan terlalu malu untuk melakukannya sekarang, jadi dirinya berencana untuk terus maju dengan segala godaan dan tantangan yang ada.

“Itu sangat menggambarkan dirimu, Amane. Kamu sudah dibuat klepek-klepek padanya.”

“Diam.”

“Yah, aku yakin Shiina-san pasti sangat senang jika kamu seserius itu padanya. Ngomong-ngomong, jika ada saat dimana kamu benar-benar tidak tahan lagi, tinggal beritahu aku saja. Aku akan membantumu dengan barang pendukung yang mantap.”

“Aku tahu apa yang kamu rencanakan untuk diberikan padaku, tapi itu bukan urusanmu, bung.”

“Aku yakin kamu akan menyesal setelah mencoba untuk bersikap sok keren...”

Merasa sedikit tidak nyaman dengan kekhawatiran kasar temannya, Amane menolak tawaran itu. Namun, Itsuki hanya menanggapinya dengan mengangkat bahunya.

Amane mungkin harus bergantung pada tindakan seperti itu di masa depan, tapi setidaknya pada titik ini, hal itu tidak diperlukan. Lebih jauh lagi, pertanyaan tentang bagaimana Itsuki mendapatkan barang semacam itu muncul ke permukaan, dan Amane tergoda untuk mencecarnya tentang bagaimana kawannya tersebut bisa mendapatkan barang seperti itu.

Dengan desahan dramatis, Amane dengan tegas membalas tatapan kesal Itsuki. “Pokoknya, aku berencana untuk bersama dengan Mahiru setelah lulus nanti, dan untuk itu, aku punya persiapan yang harus aku lakukan.”

“Persiapan, seperti apa misalnya?”

“Ah, selamat pagi, Fujimiya-kun. Kenapa kamu berbisik-bisik di pojokan kelas begini?”

Seolah mendapat isyarat, Ayaka memasuki ruang kelas pada waktu yang tepat, dan Amane melambaikan tangannya padanya. Ayaka menatap mereka berdua dengan tatapan penasaran saat berjalan menghampiri mereka.

“Hmm, ada apaan nih? Rasanya agak mencurigakan melihat dua anak cowok saling berbisik satu sama lain secara diam-diam seperti itu,” katanya. “Aku yakin ini pasti mengenai Akazawa-kun yang membicarakan sesuatu yang aneh dengan Fujimiya-kun.”

“Tidak ada sedikitpun kepercayaan padaku, hah!?” Itsuki membalas.

“Hahaha.” Ayaka tertawa santai sambil menepisnya, lalu dia menatap Amane dengan ragu-ragu, sepertinya sedang merenungkan apa dia harus mengatakan sesuatu atau tidak. Dia melirik Itsuki, tak yakin apakah dia harus menyampaikan berita itu dengan kehadirannya, seakan menyiratkan pada Amane, Akazawa-kun ada di sini, tapi apa aku harus mengatakannya? Atau apa aku peril memberitahumu nanti?

Sejauh yang Amane pertimbangkan, ia tidak berniat menyembunyikan pekerjaan paruh waktunya dari Itsuki, dan ia juga berencana untuk memberitahu Itsuki alasannya mendapatkan pekerjaan itu. Jadi, ketika Amane bertanya, “Apa kamu sudah membuat kemajuan tentang apa yang aku tanyakan?” Ayaka kemudian tersenyum, terlihat sedikit lega.

“Tentang pekerjaan paruh waktu, bibiku bilang tidak apa-apa, jadi dia ingin tahu apa kamu bisa memberitahunya jika kamu punya waktu luang untuk mampir.”

“Oke, aku mengerti. Aku akan menghubungimu nanti.”

“Oke. Dimengerti!”

“Maaf untuk ini, aku tahu aku sudah merepotkanmu.”

“Tidak masalah. Aku ingin membantu saat temanku dalam kesulitan, dan selain itu, bibiku bilang dia sangat senang kalau aku mengandalkannya.”

Melihat senyum yang sedikit terganggu dari Ayaka, Amane tidak bisa menahan diri untuk tidak tersenyum kecut sebagai balasannya. Dia tampak sangat disayangi oleh bibinya, karena dia menunjukkan ekspresi yang bermasalah. Tetapi bagi Amane, sebagai orang yang telah ditolong olehnya, ia hanya bisa berterima kasih atas perkenalan pekerjaan itu. Ia mempertimbangkan untuk memberinya tanda terima kasih yang pantas di kemudian hari.

Sembari melambaikan tangannya, Ayaka berkata, “Sampai jumpa lagi,” dan kembali ke tempat duduknya. Saat dia pergi, Amane menoleh untuk melihat Itsuki, yang mengangguk mengerti.

“Aku sudah mendapatkan gambaran besarnya. Sepertinya kamu punya banyak hal yang harus kamu kerjakan.”

“Orang tuaku bilang mereka ingin menanggung biaya upacara pernikahan, tapi paling tidak, aku ingin membeli cincinnya sendiri,” Amane menjelaskan. “Aku memilih untuk melakukan ini, jadi setidaknya aku harus melakukan beberapa pekerjaan untuk mencapai keinginanku.”

Amane tidak bisa menyerahkan segala sesuatu yang berhubungan dengan pernikahannya kepada orang tuanya, terutama mengingat fakta bahwa itu adalah sumpah yang harus ditepati. Demi harga dirinya, Amane harus mempersiapkan, setidaknya sebagian dengan kekuatannya sendiri.

Meski itu semua tidak terasa seperti usahanya sendiri, karena ia mendapatkan pekerjaan ini melalui perkenalan Ayaka, ia percaya bahwa mencari bantuan dari orang lain untuk mencapai tujuannya dengan lancar adalah hal yang wajar.

“Kamu benar-benar berkomitmen dalam hal membuat keputusan, bukan?” Itsuki mengamati. “Menurutku, hal itu sangat mengagumkan. Tapi...”

“Tapi?” tanya Amane.

“... Kenapa kamu tidak bertanya padaku dulu, jika kamu membutuhkan bantuan untuk hal seperti itu?”

Terkejut dengan pernyataan merajuk Itsuki, Amane menatapnya sejenak sebelum mengacak-acak rambut Itsuki.

“Aku akan mengandalkanmu dengan benar lain kali.”

Namun, ini semua tampak mempermalukan Itsuki, saat ia mengguncang Amane dan mendorong bahunya. Amane tahu kalau Itsuki hanya berusaha menyembunyikan rasa malunya, jadi ia tertawa seperti Itsuki tadi, membiarkan semuanya berlalu begitu saja.

 

   

 

“Ahaha, ya, bahkan Ikkun pun pasti bakal merajuk tentang hal itu.”

Setelah makan siang, Chitose penasaran kenapa Itsuki bertingkah agak cemberut di pagi hari dan memanggil Amane ke lorong untuk menanyakan apa yang terjadi. Amane tahu bahwa jika dirinya jujur menceritakan situasinya, Chitose akan menampar punggungnya dengan senyuman acuh tak acuh, tapi dia masih tidak menunjukkan tanda-tanda menghentikan serangannya. Sebaliknya, serangannya justru akan semakin meningkat dan dia berkata, “Amane, inilah sebabnya kamu begitu...” dengan ekspresi muak.

Chitose terlihat lebih berniat untuk menyampaikan maksudnya daripada memberikan rasa sakit dengan tamparannya, dan tampaknya ada alasan lain juga. Amane juga tahu bahwa dirinyalah yang salah, jadi ia tetap diam, tertekan oleh senyum lebarnya.

“Ikkun punya banyak teman dan koneksi, tapi kamu malah berpaling pada orang lain dan tidak mengandalkannya. Tentu saja ia merasa sedikit kesal dengan hal itu. Lagipula, selain Mahirun, Ikkun adalah teman terdekatmu, kan?”

“Ugh, ak-aku merasa tidak enak tentang hal itu...”

Amane teringat akan undangan kerja yang diberikan Ayaka beberapa waktu lalu, karena itulah ia meminta bantuannya. Namun, Itsuki pasti takkan menghargai keputusan itu.

Amane menganggap Itsuki sebagai teman cowok terdekatnya, dan ia sangat mengandalkannya sampai sekarang, jadi ia merasa menyesal telah membuat Itsuki merasa ditinggalkan kali ini. Sebagian karena Amane percaya bahwa ia terlalu mengandalkan Itsuki, ia mencoba untuk tidak memberinya beban tambahan. Namun, dalam kasus ini, tampaknya hal tersebut justru menjadi bumerang.

“Aku yakin ia ingin kamu mengandalkannya,” Chitose melanjutkan penjelasannya. “Ikkun bangga menjadi sahabatmu, dan ia merasa berhutang budi padamu karena kamu sudah menyelamatkannya di masa lalu.”

“Aku menyelamatkannya...? Justru sebaliknya, akulah yang selalu diselamatkan. Orang yang seharusnya membalas budi adalah aku,” jawab Amane. “Aku tidak ingin merepotkannya lebih dari yang sekarang.”

“Itu salah satu kekuranganmu, Amane. Kamu cenderung merasa bahwa apa yang kamu pikirkan tentang dirimu sendiri sama dengan apa yang orang lain pikirkan tentang kamu. Kamu tidak boleh menyangkal bahwa dari sudut pandangnya, Ikkun telah diselamatkan olehmu. Menyangkal fakta itu sama saja dengan menyangkal perasaannya, bukan?”

“... Aku benar-benar merasa tidak enak tentang hal itu.”

"Yah, selama kamu mengerti bagaimana perasaannya. Jika kamu memang merasa menyesal, bagaimana kalau kamu berkonsultasi tentang hal lain? Tentu saja, itu termasuk aku juga.”

Dengan senyum yang bersinar lebih terang dari sebelumnya, Chitose menatap Amane dengan ekspresi berseri-seri. Pipi Amane berkedut-kedut sebagai tanggapan.

“... Apa kamu juga marah, Chitose?”

“Ufufu,” Chitose hanya membalas dengan tertawa.

Dia tersenyum aneh, dan walau wajahnya yang berseri-seri tampaknya mencerminkan pikirannya yang sebenarnya, matanya tidak tersenyum. Chitose biasanya menampilkan senyum riang, tapi sekarang sulit untuk menyebutnya sebagai senyum yang tulus.

“Ya iyalah, tentu saja! Kita sudah berteman dekat selama satu setengah tahun, tapi kamu belum pernah menceritakan apa pun kepadaku. Bukannya itu cukup menyedihkan?”

“Ugh. Ak-aku benar-benar minta maaf tentang itu. Aku akan lebih berhati-hati mulai sekarang.”

“Jujur saja. Kamu bisa menjadi sangat dingin di saat-saat tertentu. Dan selain itu, jika kamu tidak memberitahu kami tentang apa yang sedang kamu lakukan, kami takkan pernah tahu apa yang harus dirahasiakan dari Mahirun, tau? Kamu ingin memberinya kejutan, bukan?”

“... Iya sih.”

“Kalau begitu, kamu tidak punya pilihan selain membocorkan semuanya. Atau kamu hanya akan memperparah keadaanmu.”

Chitose menyodok bagian sampingnya, tetapi Amane hanya bisa menerima pukulan itu karena itu karma yang didapatnya. Setelah bermain-main dengan mendorong sisi tubuhnya selama beberapa saat, Chitose menarik napas dalam-dalam seolah-olah ingin memulai kembali percakapan.

"Meskipun begitu, Amane, tidak mengherankan jika kamu memikirkan masa depanmu dengan Mahirun, dan aku mengerti bahwa kamu benar-benar mencintainya. Hanya saja, melihatmu yang begitu mesra-mesraan sekarang, rasanya cukup berbeda dengan dirimu yang dulu, bukan?”

“Oh, diamlah.”

Amane tahu kalau dirinya menjadi jauh lebih manis dengan Mahiru daripada sebelumnya. Ditambah lagi, ia merasa bahwa ia menjadi lebih dekat dengan banyak orang daripada sebelumnya. Perubahan ini tidak hanya disebabkan oleh Mahiru, tapi juga karena Itsuki dan Chitose.

Meski Amane sedikit kesal karena dia menyebutnya “mesra-mesraan”, ia tidak dapat menyangkal bahwa ia sangat mencintai Mahiru, jadi itu bukanlah sesuatu yang dapat dibantahnya. Karena itu, tetap saja tidak lucu untuk mengatakannya dengan cara seperti itu, jadi Amane secara tak sengaja membuat wajah masam.

“Pokoknya, aku sudah mengambil keputusan. Jadi, eh, aku akan menghargai bantuanmu, jika memungkinkan.”

Menginginkan bantuan dari sudut pandang seorang wanita dan hanya sebagai seorang teman, Amane menundukkan kepalanya di hadapan Chitose, meminta kerjasamanya. Desahan kekesalan terdengar di telinganya.

“Aku akan membantumu meskipun kamu tidak memintanya. Bagaimanapun juga, ini demi kebahagiaan sahabatku.”

“Chitose...”

“Aku jelas-jelas berbicara tentang membantu Mahirun, oke? Kamu plin-plan tentang hal itu sekarang, jadi peringkat pertemananmu menukik turun dengan tajam.”

“Geh... Tidak ada yang bisa kulakukan tentang itu sekarang.”

“Fufu, aku hanya bercanda. Kalian berdua adalah teman baikku. Aku ingin semuanya berjalan baik untuk kalian berdua, dan aku akan membantumu sebisaku.”

Ketika Amane mengangkat kepalanya, Chitose berdiri di hadapannya, dengan senyumnya yang cerah dan ceria. Melihatnya berdiri tegak dengan bangga, ia merasakan perasaan lega menyelimutinya. Amane membalas senyumannya, menepuk pundak Chitose dengan lembut.

 

   

 

“Begitu rupanya. Jadi kamu akan pergi ke suatu tempat dengan Chitose hari ini.”

Sepulang sekolah di hari yang sama, ketika Amane mencoba untuk pulang bersama Mahiru seperti yang biasa mereka lakukan, dia menolaknya dengan suara meminta maaf. Sambil mengangkat bahu dan tersenyum, Amane menerima tanggapannya.

Amane tidak berniat untuk membatasi atau memaksanya untuk selalu bersama dengannya. Sama sekali tidak ada alasan mengapa mereka harus selalu bersama. Bahkan, Amane sendiri tidak mengerti mengapa Mahiru begitu mengkhawatirkan hal itu.

Saat ia merenungkan sikapnya yang biasa, bertanya-tanya apa dirinya memberikan kesan sebagai orang yang posesif, Mahiru masih terlihat meminta maaf.

“Erm, aku mungkin akan terlambat pulang hari ini. Karena Shihoko-san akan menemaniku, kurasa kita tidak akan mengalami masalah.”

“Ibu? Kenapa dia sampai ikutan segala?”

Sebuah nama yang tak diduga mendadak muncul, dan Amane menatap tajam ke mata Mahiru. Orang tuanya belum kembali ke kampung halaman mereka. Rupanya, mereka telah mengambil cuti panjang menggunakan cuti berbayar mereka dan pergi jalan-jalan dalam perjalanan pulang, atas permintaan Shihoko.

Amane sadar bahwa orang tuanya akan berkeliling di sekitar daerah terdekat hari ini karena mereka berencana untuk pulang besok, tapi Amane benar-benar tidak menyangka bahwa tidak hanya Mahiru, tapi juga Chitose akan ikut serta.

“Shihoko-san ingin mengobrol dengan Chitose-san...,” Mahiru menjelaskan, suaranya menjadi terputus-putus.

“Aku tahu pasti kalau Ibu akan menanamkan ide yang tidak perlu di kepalanya,” balas Amane.

“Ahaha, mana mungkin dia akan melakukan hal seperti itu...”

“Dengan ibuku, itu sangat mungkin terjadi. Jika itu terjadi, aku mengandalkanmu untuk menghentikannya, Mahiru."

Namun, Amane mengerti bahwa ada kemungkinan yang lebih besar bahwa meskipun Mahiru ingin menghentikannya, momentum Shihoko akan terlalu kuat untuk dihentikan. Jadi, Amane tidak menaruh banyak harapan padanya. Dengan permohonan putus asa untuk setidaknya mencegah Ibunya berbagi rincian sejarah hitamnya, Amane menatap Mahiru, tidak berniat untuk menatap terlalu bergairah, tapi dia tersipu dan dengan cepat membuang muka.

Setelah menyelesaikan persiapannya untuk pulang, Chitose menghampiri mereka berdua sambil tertawa kecil. “Hei, hei! Apa yang sedang pasutri baru lakukan di sini?”

“Aku hanya khawatir kalau-kalau kamu akan mendapatkan pernak-pernik pengetahuan yang aneh dari ibuku,” jawab Amane.

“Begitu ya, akhirnya kamu berhenti menyangkal bahwa kalian adalah pasangan yang sudah menikah... Bagaimanapun, aku bertanya-tanya apa yang sedang kalian lakukan, saling menatap satu sama lain seperti itu. Tapi kamu tidak perlu khawatir tentang hal itu.”

“Ibuku adalah tipe orang yang mengungkapkan segala macam hal tanpa menyadarinya. Dengan senyum lebar di wajahnya juga.”

“Oh-ho. Dengan kata lain, ada sesuatu yang ingin kamu sembunyikan dari kami.”

“Tidak ada, aku hanya tidak ingin kisah masa kecilku digali dan dibagikan dengan orang lain. Kamu juga tidak akan menyukainya, bukan?”

“Ugh, baiklah, itu...”

Amane berteman dengan Chitose di SMA, tapi menurut kabar yang ia dengar dari Itsuki dan Kadowaki, Chitose dulu bertingkah sangat berbeda—terlihat seperti orang yang memiliki kepribadian yang bertolak belakang dengan dirinya yang sekarang.

Topik itu hampir bisa digolongkan sebagai masa lalunya yang kelam, jadi tentu saja, Chitose tidak suka membicarakannya. Kamu tahu apa yang harus dilakukan jika dia mencoba menanyakan hal yang tidak perlu, Amane menyiratkan demikian sambil menatapnya, dan Chitose mengangguk. “Aku mengerti, aku mengerti,” dan dia mengalah sembari mengangkat bahunya.

“Yah, mengesampingkan itu, ada juga sesuatu yang ingin kubicarakan dengan Shihoko-san sendiri, jadi bukan berarti kami hanya akan membicarakanmu, Amane.”

“Apa yang akan kamu bicarakan?”

“Yah, itu rahasia di antara kami para gadis. Jadi, aku akan meminjam istrimu juga. Kamu tidak keberatan, ‘kan?”

Chitose tersenyum dan merangkul lengan Mahiru, yang membuat Mahiru menunduk malu, tapi kemudian dengan senang hati menghampirinya. Amane tidak mempermasalahkan hal itu jika Mahiru tidak mempermasalahkannya, namun ia masih sedikit khawatir dengan apa yang akan mereka bicarakan.

Jangan mengatakan sesuatu yang aneh kalau bisa. Tolonglah, pikir Amane, mengingatkan ibunya dalam benaknya saat ia melihat kedua gadis itu saling berpelukan dengan nyaman. Namun, seorang gadis tiba-tiba muncul dan memanggilnya, mengintipkan kepalanya dari suatu tempat.

“Hah? Kalian berdua tidak pulang bersama hari ini?”

Ayaka, dengan kuncir kuda yang ditata rapi dan senyum ramah, terkejut melihat Chitose menarik tangan Mahiru.

“Ah, Kido.” Amane menjawab, “Katanya mereka ada urusan bersama hari ini.”

“Oh, begitu, begitu. Kalau gitu ... Shiina-san, boleh aku meminjam suamimu sebentar?”

“Hah?”

Mahiru membeku di tempat mendengar permintaan mendadak Ayaka, tidak yakin apa dia lebih terkejut karena Ayaka menyebut Amane sebagai suaminya atau karena Ayaka meminjamnya, padahal mereka hanya berteman. Masih belum jelas yang mana, tapi yang jelas Mahiru masih menatap Ayaka, ekspresinya menunjukkan kalau dirinya merasa tercengang.

Ayaka berbalik ke arah Amane. “Kalau kamu tidak punya rencana kemana-mana, Fujimiya-kun, aku ingin kamu pergi bersamaku setelah ini. Ah, dan jangan khawatir, Shiina-san! Aku tidak bermaksud dalam artian kencan!”

“A-Aku sama sekali tidak khawatir tentang itu...,” Mahiru bersikeras, suaranya semakin pelan di akhir kalimat.

Karena Ayaka yang mengajaknya, kemungkinan besar ini adalah sesuatu yang berhubungan dengan pekerjaan paruh waktunya.

Meski itu acara yang mendadak, itu adalah kesempatan yang bagus. Karena hal ini berkaitan dengan pekerjaan paruh waktu barunya, orang tuanya yang datang berkunjung mumpung masih belum pulang, mengingat dokumen yang diperlukan. Kontrak kerja memerlukan tanda tangan persetujuan orang tua.

“Dan bagaimana denganmu, Fujimiya-kun? Kamu bebas?”

“Yah, sepertinya aku tidak punya rencana apa-apa.”

Amane tidak punya rencana apapun selain sesi latihan olahraganya dan tugas-tugasnya. Dengan kata lain, Amane bisa memenuhi undangannya yang mendadak.

“Syukurlah! Kami berdua kebetulan tidak memiliki rencana hari ini, dan karena kalian berdua selalu bersama, aku merasa kesulitan untuk memaksakan diri. Aku cukup ragu untuk mengajakmu sejak awal, loh?” ujar Ayaka.

“Bukannya berarti kami selalu bersama. Kami tidak menghabiskan setiap detik bersama bahkan ketika kita di rumah.”

“Dari apa yang kulihat, kalian berdua selalu bersama satu sama lain, itulah yang kumaksud. Bahkan caramu mengatakan bahwa kalian selalu bersama di rumah terdengar seperti kamu sedang bermesraan dengannya, mengatakan hal semacam itu seolah-olah itu hal yang wajar,” kata Ayaka sambil menarik akhir kalimatnya. Setelah dia menyiratkan bahwa sepasang kekasih tidak biasanya bersama sampai sejauh itu, Ayaka terkikik pada Amane yang tetap diam, dan tidak bisa membantah sama sekali. “Yah, kurasa itu karena kalian berdua dekat dan penting satu sama lain. Iya ‘kan, Fujimiya-kun?”

“... Ya, benar. Memangnya itu buruk?”

“Enggak juga, kupikir itu bagus karena itu menghangatkan hatiku hanya dengan melihat kalian berdua. Meski harus kubilang, Shiina-san benar-benar sangat kamu hargai ya?”

Mahiru tersipu dan memancarkan aura kebahagiaan saat mendengar kata berharga, tapi semua orang di sekitarnya telah terjebak dalam baku tembak, menjadi korban sebagai kerusakan tambahan. Namun, sepertinya Mahiru sendiri tidak menyadari apa yang sudah dia perbuat. Amane merasa bahwa Ayaka melakukannya dengan sengaja, tapi Amane tidak bisa mengeluh karena ia berutang banyak padanya.

Bagaimanapun juga, setelah Amane memberinya tatapan yang menyiratkan, Jangan membocorkan kepadanya alasanku bekerja paruh waktu, Ayaka menanggapinya dengan senyuman dan acungan jempol, dimana Amane menghela nafas dan membiarkannya begitu saja.

 

   

 

Setelah berpisah dengan Chitose dan Mahiru, Amane berjalan dengan Ayaka, membiarkannya memimpin jalan. Tempat tujuan mereka tampaknya cukup jauh sehingga harus ditempuh dengan kereta api, tapi tidak terlalu jauh dari tempat tinggalnya, jadi itu tidak akan menjadi masalah besar dalam perjalanannya.

Pertanyaan sebenarnya adalah apakah mereka akan mempekerjakannya atau tidak... Namun, ketika Amane bertanya pada Ayaka tentang hal itu, dia menjawab, “Jangan khawatir, jangan khawatir.” dan tersenyum padanya.

“Kafe Bibiku dijalankan oleh staf yang sedikit, dan mereka mendapatkan lebih banyak pelanggan akhir-akhir ini, jadi mereka mencari seseorang yang sopan untuk membantu. Gajinya besar, tetapi tampaknya mereka kesulitan menemukan seseorang yang cocok dengan suasana kedai kopi dan disukai oleh para pelanggan. Lalu datanglah tawaran mu, Fujimiya-kun! Aku merasa, betapa beruntungnya aku! Rasanya seperti sebuah anugerah yang luar biasa. Aku yakin kamu akan bisa mengatasinya dengan baik, Fujimiya-kun.”

“Aku tidak yakin apa aku cukup sopan.”

Meskipun Amane berusaha untuk tidak bersikap kasar, jika disebut sopan, Amane harus memiringkan kepalanya dengan bingung. Amane merasa kalau dirinya memang memiliki sopan santun, tetapi itu jauh dari contoh kesopanan yang ideal.

Ia mengangkat bahunya, mengatakan bahwa Ayaka terlalu melebih-lebihkan dirinya, tetapi Ayaka segera menjawab dengan ceria, “Kamu tidak perlu merendah!” menepis kekhawatiran Amane. “Kamu bisa membawa diri dengan baik di sekitar orang lain dan kamu menyesuaikan sikapmu. Dan juga, Fujimiya-kun, kamu bersikap sangat sopan di depan para guru, seperti seorang murid teladan.”

“Mereka adalah orang yang lebih tua dariku, dan juga sosok yang berwibawa... Aku lebih suka mereka menganggap aku secara positif daripada negatif. Ditambah lagi, ada keuntungan memiliki hubungan yang baik dengan para guru.”

Tentu saja, Amane memperlakukan mereka yang lebih tua darinya atau yang memiliki posisi otoritas dengan hormat, tetapi ada juga motif tersembunyi untuk meningkatkan nilainya dan melanjutkan ke perguruan tinggi. Hal tersebut ada keuntungannya tersendiri dengan menjalin hubungan baik dengan para guru. Meski tidak semuanya, masih ada tingkat perhitungan tertentu yang terlibat dalam keputusannya untuk memperlakukan mereka seperti yang dia lakukan, jadi Amane tidak benar-benar melabeli dirinya sebagai murid teladan sejati. Murid-murid teladan sejati adalah orang-orang seperti Mahiru dan Yuuta. Amane hanya mahir dalam memberikan kesan bahwa dirinya seperti mereka.

Merenung kalau dirinya tidak memiliki pesona untuk berpikir seperti itu, Amane mengangkat bahunya, dan Ayaka merespon dengan senyum tipis.

“Bukannya itu tidak masalah?” Ayaka meredakan kegelisahannya. “Yang paling penting di sini adalah apa kamu memiliki sopan santun dan bisa beradaptasi dengan situasi yang berbeda sambil menunjukkan rasa hormat pada orang lain. Dengan kata lain, bertindak sesuai dengan keadaan. Mengesampingkan niat pribadimu, satu-satunya hal yang penting pada akhirnya adalah hasilnya. Dan jika hasilnya bagus, maka apa yang kamu pikirkan tidak terlalu penting.”

“... Apa kamu juga orang seperti itu, Kido?”

“Terkejut? Aku sebenarnya tipe orang yang cukup pragmatis. Aku tidak selalu mencari keuntungan dalam segala sesuatu yang aku lakukan, tetapi pada saat yang sama, aku rasa tidak aneh untuk menemukan semacam keuntungan sebelum melakukan sesuatu. Sampai batas tertentu, pastinya. Aku tidak selalu bertindak berdasarkan kebaikan hatiku saja.”

Ujar Ayaka dengan santai. Amane berkedip kaget dengan cara berpikirnya yang keras dan jelas, tapi reaksinya bukan karena terkejut atau menghindar, melainkan rasa persahabatan.

“Kali ini juga sama,” lanjut Ayaka, “Aku mengajukan ide itu karena ada manfaatnya bagiku. Ini bukan seratus persen karena niat baik atau semacamnya.”

Dengan Ayaka yang mengakuinya sejujurnya, mudah bagi Amane untuk memahami sifat baiknya. “Jadi, apa untungnya bagimu kali ini?” Amane bertanya, senyum sedikit menyesal muncul di wajahnya.

Ayaka telah menanggapi permintaannya yang tiba-tiba dan tidak masuk akal, dan Amane percaya bahwa dia menerimanya sebagian besar karena kebaikan hatinya, tapi sepertinya dia tidak ingin mengakuinya sendiri.

“Yah ... tentu saja, itu sebagian karena bibiku sedang dalam masalah, tapi ... alasan utamanya adalah aku ingin membantu Sou-chan untuk mendapatkan lebih banyak teman.”

“Kayano?”

“Ya. Sou-chan adalah tipe pendiam dan cenderung menyendiri, jadi ia tidak menunjukkan ketertarikan pada orang lain. Tapi ia sepertinya memiliki kesan yang baik terhadapmu, Fujimiya-kun, dan kamu juga cenderung menutup diri. Aku pikir kalian berdua akan cocok, karena itu aku memperkenalkanmu ke kedai kopi tempat Sou-chan bekerja. Dengan begitu, aku bisa menyelesaikan masalah kekurangan staf sekaligus membantu Sou-chan mendapatkan teman baru.” Ayaka mengungkapkan niatnya dan kemudian meminta maaf, dengan mengatakan. “Maafkan aku. Sebenarnya ada banyak manfaat dalam hal ini untukku.” Dia terlihat agak sedih saat mengatakannya, dan Amane tertawa, menggelengkan kepalanya.

“Jangan meminta maaf begitu. Itu pertama kalinya aku mendengar tentang Kayano yang bekerja di sana, dan aku sedikit terkejut, tapi kami sudah saling mengenal. Aku bisa tenang karena seseorang yang kukenal juga bekerja di sana, jadi aku merasa sedikit senang.”

“Benarkah? Aku senang mendengarnya.” Seolah-olah ketegangannya telah terangkat sekaligus, dia terlihat santai dan lega. Amane yakin bahwa Ayaka memang orang yang baik.

“Pokoknya, itu semua baik dan bagus,” kata Amane, mengubah topik pembicaraan. “Tapi kamu tidak bekerja di rumah bibimu meskipun pacarmu bekerja di sana?”

“Eh... Soal itu, ada alasannya juga...” jawab Ayaka. “Seperti yang sudah kukatakan sebelumnya, bibiku memang mencintaiku, tapi dia lebih suka bersama Sou-chan.”

"Benarkah begitu?"

"Saat kami bersama, kami hanya saling melirik dan tersenyum, tanpa menyelesaikan pekerjaan. Kami sudah saling menyayangi sejak kami masih kecil. Dan jika aku ada di sana, aku akan terganggu oleh Sou-chan setiap kali aku melihatnya. Sou-chan bahkan berkata, 'Sepertinya kamu akan meneteskan air liur, jadi hentikan,' atau sesuatu seperti itu.”

“... Heh.”

“Ka-Kamu baru saja tertawa, bukan? Bahkan aku bisa membedakan mana yang benar dan mana yang salah, tau! Aku tidak akan ngiler di depan orang lain!”

Ayaka tersipu malu dan merajuk, tetapi kata-katanya kurang meyakinkan dan hanya menambah kelucuannya, mendorong Amane untuk sengaja tidak menyembunyikan rasa geli dan tertawa terbahak-bahak.

 

   

 

Setelah menenangkan Ayaka yang merajuk, Amane akhirnya tiba di kedai kopi yang memiliki suasana tenang.

Kedai kopi itu memiliki suasana berkelas yang membuat kedai tersebut hampir tampak tampat antik, dan jelas terlihat melayani pelanggan yang lebih tua, dilihat dari penampilannya yang canggih yang memancarkan semburat kemewahan kelas atas.

“... Apa tempatnya benar-benar di sini?” Amane bertanya dengan bingung.

“Kenapa kamu meragukanku?” jawab Ayaka. “Kafe ini adalah tempat yang bagus dan tenang, kan?”

“Menurutku ini tempat yang bagus, tapi apa kamu yakin pelajar SMA sepertiku cocok bekerja di sini?”

Ketika membahas topik kafe yang mempekerjakan pelajar sebagai karyawan paruh waktu, orang mungkin membayangkan sebuah toko ritel besar, tetapi tempat yang dibawa Amane berada di ujung spektrum yang berlawanan—— sebuah tempat yang memiliki kesan bermartabat.

“Dan itulah sebabnya aku mengundang seseorang seperti kamu, Fujimiya-kun. Orang yang masih muda tapi bisa diandalkan. Pokoknya, ayo kita salami bibiku dulu,” Ayaka menjelaskan, sebelum menambahkan, “Meskipun, aku tidak terlalu suka...” dengan berbisik, dengan jelas mengekspresikan keengganannya. Menunjukkan senyum canggung pada Ayaka yang ragu-ragu tetapi pada akhirnya berpikiran positif, Amane mengikuti di belakang Ayaka karena penasaran dengan bibinya.

Saat dia mendorong pintu yang berat, dengan tanda [TUTUP] yang menonjol, derit engsel yang samar-samar ditambah dengan dentang bel pintu yang ceria, entah bagaimana membawanya ke dalam gelombang nostalgia.

Kafe di mana Ayaka mengantarnya memenuhi ekspektasi yang muncul saat melihat eksteriornya, dengan suasana yang sangat tenang di bagian dalam. Dekorasi interiornya sederhana namun elegan dengan skema warna dominan kayu ek gelap dan putih, dan toko itu sendiri sangat bersih dan terawat dengan baik, menambah kesan kecanggihannya. Di salah satu dinding, terdapat rak buku yang penuh dengan literatur yang memenuhi setiap jengkal dinding.

Sekilas, Amane melihat bahwa kafe ini tampaknya tidak memiliki banyak kursi. Jumlah tempat duduk yang terbatas merupakan indikasi yang jelas bahwa kafe ini dimiliki secara pribadi, tidak seperti kedai kopi besar lainnya. Namun demikian, berkat hal itu, kafe ini berhasil merepresentasikan suasana yang sangat tenang dan santai, dan hal ini membuatnya menjadi tempat yang sempurna untuk beristirahat sejenak dari hiruk-pikuk kedai-kedai kopi yang berisik.

Hari ini tampaknya merupakan hari libur, dan tidak ada satu pun pelanggan yang terlihat, sehingga Amane tidak bisa menahan diri untuk tidak mengagumi dekorasinya. Tiba-tiba, seorang wanita yang mengenakan celemek biru tua keluar dari ruang belakang.

Penampilan pertama menggambarkannya sebagai wanita yang tenang, kira-kira satu dekade lebih tua daripada Amane.

Dia merupakan wanita cantik dengan rambut hitam panjang yang tampaknya sesuai dengan suasana kedai kopi atau toko buku tua, tapi dia tampak sangat pendiam dan kalem, yang membuatnya sulit untuk percaya bahwa dia adalah bibi dari Ayaka yang ceria dan ramah.

“Oh... Ayaka-san. Selamat datang,” ucap wanita tersebut.

“Sudah lama tidak bertemu, Bibi Fumika.” Ayaka menjawab sambil membungkuk dengan sopan. Wanita yang dia panggil sebagai Fumika menatapnya saat dia melakukan hal itu, memberinya tatapan lembut dan senyuman.

“Aku senang kamu datang. Kamu jarang mampir bahkan ketika Souji-kun bekerja di isini, jadi aku cukup kesepian.”

“Uu, aku minta maaf soal itu...” Ayaka menjawab. “Aku pikir aku mungkin telah mengganggumu, Bibi Fumika.”

“Mengganggu? Jangan konyol... Dengan adanya kalian berdua di sini saja sudah membuatku senang. Kalian berdua bekerja sangat keras.”

“Tapi justru itulah yang jadi masalahnya,” gumam Ayaka pelan, tapi sepertinya kata-katanya tidak sampai ke telinga Fumika. Saat ia melihat mereka berdua berinteraksi dari satu langkah di belakang, Amane memiringkan kepalanya dengan bingung.

Dilihat dari penampilan wanita itu sampai tingkah lakunya, tidak ada hal aneh darinya yang akan membuat Ayaka merasa tidak nyaman, jadi Amane sangat bingung. Setelah mengamati percakapan singkat mereka, Amane menilai wanita itu sebagai wanita yang biasa-biasa saja. Malahan, kesan yang dipancarkannya adalah salah satu feminitas yang tenang dan halus, dan dia tidak bisa menemukan tanda-tanda ketidaknyamanan yang seharusnya dialami oleh Ayaka.

Kalaupun ada, ada banyak sekali kasih sayang untuk Ayaka di mata wanita itu, dan mengingat hal ini, sulit bagi Amane untuk memahami mengapa Ayaka merasa tidak nyaman berada di dekat bibinya.

Meskipun benar bahwa setiap orang memiliki ambang batas ketidaknyamanan mereka sendiri, dan karena itu, Amane tahu bahwa ia belum bisa memahami keseluruhan situasi, sulit untuk memahami alasan di balik perasaan Ayaka.

Saat Amane melihat Ayaka sedikit goyah, tatapan wanita itu tiba-tiba beralih kepadanya. Matanya yang hitam pekat berkedip-kedip sejenak seakan menilainya, namun sesaat kemudian, mata itu melembut menjadi tatapan yang lembut.

“Apa ini cowok yang kamu sebutkan, Ayaka-san? Orang yang tertarik untuk bekerja paruh waktu?”

“Ah, itu benar. Dia bilang padaku kalau dia ingin bekerja paruh waktu,” jelas Ayaka. “Fujimiya-kun, wanita ini adalah pemilik kedai kopi, Itomaki Fumika. Dia adalah bibiku.”

“Nama saya Fujimiya Amane," jawabnya dengan sopan. “Terima kasih telah meluangkan waktu untuk bertemu dengan saya.”

“Baiklah... tidak masalah. Lagipula, ini adalah permintaan dari Ayaka-san. Aku mempercayai penilaiannya dalam hal menilai kemampuan seseorang, jadi aku tak melihat ada masalah dengan itu,” kata Itomaki, tersenyum lembut. Ekspresinya mereda saat ia menatapnya sekilas ke atas dan ke bawah, lalu tersenyum padanya sekali lagi.

Senyumnya yang elegan namun tak terduga memancarkan tekanan yang luar biasa, membuat bulu kuduk Amane berdiri. “Ngomong-ngomong, hubungan seperti apa yang kamu miliki dengan Ayaka-san?”

“Dia adalah teman sekelas dan teman. Baik bagi saya maupun pacar saya.”

Merasakan getaran aneh menjalari tulang punggungnya, Amane segera menyangkal kecurigaan yang mungkin dia miliki, dan senyumnya semakin lembut. Dengan rasa dingin yang tidak nyaman yang menggerogotinya mulai menghilang, Amane menyadari bahwa kemungkinan besar ia telah memberikan jawaban yang tepat.

“Benarkah? Aku senang mendengarnya,” kata Fumika, tampak lega. “Karena Ayaka-san dan Souji-kun saling jatuh cinta, akan merepotkan jika kamu mulai menaksirnya.”

“Saya sudah mempunyai pacar yang sudah saya cintai, jadi hal seperti itu tidak mungkin terjadi.”

"Oh wow! Itu luar biasa...!”

Saat mata hitamnya berbinar dan bersinar dengan kilatan cahaya, Amane secara naluriah mundur selangkah. Namun, Fumika, tidak memperhatikan reaksinya, malah tersipu malu dengan apa yang dia katakan.

Ekspresinya menyerupai gadis yang sedang dimabuk asmara, dan meskipun sedikit terlambat, Amane perlahan-lahan mulai mengerti mengapa Ayaka mengalami kesulitan untuk menanganinya.

“Sungguh luar biasa memiliki tekad yang kuat di usiamu. Apa kamu melamar pekerjaan ini dengan pemikiran seperti itu?”

“Itu benar. Erm, saya ingin memberikan cincin pada pacar saya...”

“Menakjubkan! Memang, sungguh indah sekali! Jika kamu bersedia bekerja di sini bersama kami, maka aku dengan senang hati menerimamu...!”

“Bibi!? Bukannya keputusanmu begitu cepat? Sebenarnya, aku sudah menduga hal ini akan terjadi... tapi tetap saja!”

Amane terdiam di tempat, telah dipekerjakan bahkan tanpa wawancara yang layak. Ayaka menghela nafas dengan ekspresi bingung dan hampir muak di wajahnya. Sementara itu, Fumika berseri-seri dengan senyum bahagia, jelas senang dengan dirinya sendiri.

“Bibi, itu tidak baik untuk mengorek terlalu banyak, tau,” Ayaka mengingatkan.

“Oh, aku tidak akan mengorek hal-hal yang tidak ingin ia ceritakan, oke? Tapi aku penasaran bagaimana mereka berdua bisa bertemu...”

“Tolong tahan rasa ingin tahumu, Bi. Atau aku akan merasa kasihan pada Fujimiya-kun, yang akhirnya akan terseret ke dalam hobi dan pekerjaanmu.”

“Aku akan meminta izin dulu padanya, oke?” Fumika bersikeras. “Dan aku hanya akan menggunakan situasi ini sebagai bahan referensi.”

“Hobi dan pekerjaan...?” Amane bertanya, tidak memahami percakapan mereka.

“Bibi Fumika mengelola kafe ini, tapi ini bukan pekerjaan utamanya,” Ayaka mulai menjelaskan. “Dia sebenarnya seorang penulis dan memiliki usaha lain selain itu, jadi aku tidak terlalu yakin mengapa dia malah menjalankan kafe...” Namun, Ayaka tetap skeptis. Dia melanjutkan, “Yang membuatnya lebih aneh lagi adalah bahwa semuanya tetap menghasilkan keuntungan...” karena kafe bukanlah bisnis utamanya. Fumika, di sisi lain, tersenyum menyembunyikan pikirannya saat ia menatap Ayaka.

“Tidak perlu diragukan lagi, kafe ini berjalan dengan baik dari sisi keuangan,” Fumika menegaskan, “Jadi kamu tidak perlu khawatir kami akan gulung tikar. Karyawan kami juga digaji dengan jumlah yang besar.”

“Bibi, tolong pastikan Kamu menghitung upah mereka per jam dengan benar. Jangan hanya memberi mereka uang saku saja, oke?”

“Kamu tidak perlu terlalu khawatir...”

Saat Ayaka dengan sungguh-sungguh menguliahi Fumika yang cemberut, Amane merenungkan kekhawatiran yang baru saja ditemukannya. Bisakah aku benar-benar mulai bekerja di sini? pikirnya, merasa sedikit gelisah dengan apa yang akan terjadi.

 

   

 

Entah bisa dibilang berita yang baik atau buruk, Amane dipekerjakan saat itu juga, dan dirinya kemudian pulang ke rumah, dengan kontrak kerja di tangan. Meskipun itu bukanlah wawancara kerja yang sebenarnya dan lebih merupakan pertemuan sederhana, Amane merasa lega karena dirinya tampaknya cocok dengan kualifikasi majikannya.

Amane tidak yakin apakah keputusan itu cocok untuk diambil secepat itu, tetapi merupakan hal yang baik bahwa ia sudah menemukan pekerjaan. Faktanya, semuanya telah berjalan begitu lancar baginya sehingga Amane khawatir akan ada masalah di kemudian hari. Yang tersisa sekarang adalah meminta dirinya dan orang tuanya menandatangani dan mencap kontrak sebelum mengembalikannya.

Ayaka meminta maaf kepadanya dalam perjalanan pulang, tetapi Amane sudah mendengar bahwa Fumika memiliki kepribadian yang keras kepala, jadi tidak mengherankan jika Ayaka merasa terintimidasi olehnya. Bibinya adalah tipe yang berbeda dari Shihoko, dengan pendekatan ibunya yang lebih pada sisi memaksa dan agak keras.

(Itomaki-san adalah tipe orang yang tidak boleh aku biarkan bertemu dengan Ibu.)

Hari ini, ibunya telah bertemu dengan Chitose, tetapi secara pribadi, Amane berpikir bahwa mereka berdua juga akan menjadi kombinasi yang berbahaya. Sejujurnya, Amane khawatir tentang apa yang akan terjadi selama tamasya kecil mereka. Baik Chitose maupun Shihoko sadar akan batas yang tidak boleh mereka lewati, jadi dirinya yakin semuanya akan baik-baik saja, tapi tak diragukan lagi dalam benaknya bahwa Mahiru akan menjadi korban dari momentum mereka.

Kurasa aku akan menghiburnya saat dia pulang nanti, pikir Amane sambil membuka pintu depan apartemennya.

Merasa yakin dengan dirinya sendiri, Amane diam-diam mengumumkan kepulangannya, “Aku pulang... Tunggu, Ayah?”

“Selamat datang kembali.”

Amane mengira kalau tidak ada orang di rumah, jadi ia membisikkan salam begitu kembali ke rumah. Namun, tak disangka kalau dirinya disambut oleh Shuuto, yang dikiranya sedang jalan-jalan di suatu tempat. Amane jadi terkejut sejenak.

Orang tuanya adalah orang yang menyewakan apartemennya, dan masing-masing memiliki kunci cadangan, jadi tidak terlalu aneh jika mereka ada di sana, dan Amane tidak berniat untuk membuat keributan. Namun, ia mengira bahwa Shuuto sedang menemani ibunya pergi bersama Mahiru dan Chitose, jadi sangat mengejutkan ketika melihat Shuuto berada di apartemennya.

Shuuto tampak bingung dengan keterkejutan Amane.

“Oh, aku sudah menghubungimu, tapi mungkin kamu tidak menyadarinya. Shihoko-san dan para gadis sedang makan malam di tempat lain, jadi aku pikir aku akan menyelesaikan kontrak kerjamu dan menyiapkan sesuatu untuk kita makan sambil melakukannya.”

Dalam perjalanan pulang setelah menyelesaikan wawancara kerja, Amane mengirimkan pesan kepada ayahnya bahwa dirinya telah diterima, dan salah satu dari kedua orang tuanya harus menandatangani kontrak kerja. Namun, Amane langsung menyimpan ponselnya setelah itu dan mungkin tidak menyadari bahwa dirinya telah menerima pesan balasan.

Setelah mendengarnya, Amane mengeluarkan ponselnya dan melihat notifikasi yang mengindikasikan bahwa Shuuto telah mengiriminya pesan.

“Ah, maaf. Aku tidak menyadarinya. Dan juga, bukannya lebih baik jika kamu pergi bersama mereka, Ayah?”

Amane mendengar bahwa mereka semua pergi keluar, tapi ia tidak menyangka mereka akan tetap bersama sampai makan malam. Ia mengerti bahwa mereka bergaul dengan baik, kemungkinan besar mereka cocok, tetapi ia tidak tahu apa yang harus dilakukan dengan fakta bahwa ayahnya tidak ikut serta.

“Haha, waktu yang begini dimaksudkan untuk mereka bertiga untuk menjalin ikatan bersama. Kurasa kalau aku ada di sana, Shirakawa-san pasti enggan bertindak seperti biasanya, bukan? Jadi, kupikir akan lebih baik untuk mengalah sejak awal dan melakukan kegiatanku sendiri... tetapi setelah membaca pesanmu, Amane, kupikir ini adalah waktu yang tepat.”

Singkatnya, akan sangat tidak nyaman bagi kedua belah pihak jika ayahnya menemani para gadis di hari libur mereka. Amane pun yakin. Sekarang, setelah memahami bahwa ibunya tidak mengajak Shuuto karena mempertimbangkan Chitose, ia mengangkat bahunya. “Apa itu baik-baik saja? Tinggal di sini meskipun ini adalah hari libur Ayah yang berharga?”

“Kami datang kesini dengan maksud untuk melihatmu dan teman-temanmu, Amane. Tamasya ini hanyalah bonus tambahan, oke. Aku pernah tinggal di sini, jadi ini bukan pengalaman baru bagiku seperti halnya Shihoko-san.”

“Yah, ada benarnya juga sih, tapi...”

“Dan selain itu, bukannya akan kesepian jika kamu makan sendirian? Aku juga khawatir dengan kemampuan memasakmu."

“...Asal ayah tau saja, aku bisa memasak makanan sekarang.” Amane membalas, cemberut. “Makanan yang normal.” Dia menjawab dengan suara jutek sebagai balasan atas nada menggoda ayahnya. Meskipun hanya sampai batas tertentu, Amane benar dengan mengatakan bahwa dirinya mampu memasak. Tentu saja, kemampuannya tidak bisa menyamai kehebatan kuliner Mahiru, tapi ia masih jauh lebih baik dibandingkan saat pertama kali pindah ke apartemennya.

Selama ia mengikuti resep dengan benar, menyiapkan makanan sesuai dengan instruksinya, Amane telah berkembang ke titik di mana bahkan Mahiru akan memberinya nilai kelulusan.

Amane berbicara dengan nada yang sedikit tajam, tidak ingin terlihat seperti dia tidak berusaha untuk memperbaiki kekurangannya, tapi untuk beberapa alasan, senyum Shuuto semakin dalam saat mendengarkannya.

“Begitu ya. Jadi, kamu pasti bisa melakukannya jika kamu mencobanya, Amane. Itu luar biasa,” puji Shuuto.

“... Apa ayah sedang mengejekku?” Amane membentak balik.

“Mana ad, aku tidak mengolok-olokmu sedikitpun. Hanya saja, memasak bersama anakku selalu menjadi salah satu impianku, jadi aku senang karena kesempatan itu tiba-tiba muncul dengan sendirinya.”

Dihadapkan dengan senyum ramah dan penuh kasih sayang dari Shuuto—tanpa ada niat jahat—Amane mereda. Dirinya menatap ayahnya, yang kemudian bertanya kepadanya, “Kalau begitu, kamu mau membantu aku, kan?” tampaknya yakin akan kemampuannya.

Tentu saja, Amane tidak berniat menyerahkan semuanya kepada ayahnya, tetapi ia tidak bisa menahan senyum pahitnya saat mendengar cara ayahnya berbicara, kemungkinan besar ia menyadari apa yang memotivasi Amane untuk berlatih memasak. Amane berpikir bahwa ia masih belum bisa menyamai ayahnya.

“... Ya, tentu saja.”

Shuuto menganggukkan kepalanya dan memberikan senyuman lembut. Mengikutinya, Amane mengubah sifat senyumnya sambil mengangguk, membiarkan ekspresi pahitnya memudar.

 

   

 

Setelah mereka selesai melahap pasta bakso yang mereka buat, Shuuto dan Amane beristirahat sejenak. Namun, saat mereka sedang bersantai, mereka mendengar suara pintu depan dibuka, yang menandakan kembalinya Mahiru dan Shihoko.

Saat Amane menuju ke pintu masuk, berpikir bahwa akan aneh jika ia tidak menyambut Mahiru, ia menemukan Mahiru dan Shihoko berdiri di sana, keduanya memegang sekumpulan tas belanja.

Tak peduli bagaimana orang melihatnya, mereka telah mengumpulkan banyak sekali tas belanja yang terlalu berlebihan untuk ukuran belanja sehari. Bagi seseorang seperti Amane, yang tidak memiliki keinginan kuat untuk memiliki harta benda, ia tidak bisa memahami apa yang akan mereka lakukan dengan semua itu atau apa yang mungkin terkandung di dalamnya.

“... Apa-apaan dengan semua barang yang berlebihan ini?” Amane bertanya, tercengang.

“Oh, jangan khawatir Amane. Ada cukup untuk bagianmu juga, loh?” Jawab ibunya.

“Aku tidak terlalu khawatir dengan bagianku, tapi kenapa kamu pergi berbelanja dan apa yang kamu beli, bu?”

Mengetahui bahwa orang tuanya berpenghasilan tinggi, dan mereka pada umumnya bukan tipe orang yang suka menghambur-hamburkan uang, Amane berasumsi bahwa ibunya pasti sangat menginginkan apa pun yang dibelinya. Bahkan, mengingat hal itu, barang yang dibelinya pun cukup banyak.

“Itu semua pakaian dan aksesori lucu yang aku beli untuk Mahiru-chan. Ditambah lagi, kami juga membelikan pakaian untukmu, oke? Semuanya dipilih sendiri oleh Mahiru-chan, jadi ingatlah baik-baik.”

“Aku bisa melihat kalau ibu sengaja membeli barang-barang yang biasanya tidak akan aku pakai sama sekali.”

Amane memiliki perasaan yang campur aduk karena ibunya membelikan pakaian untuknya, tapi karena Mahiru telah membantunya memilihkan pakaian, itu tidak terlalu buruk. Ia harus bertanya pada Mahiru nanti untuk mendapatkan cerita lengkapnya, tapi untuk saat ini, Amane tidak bisa menghilangkan perasaan bahwa mereka telah membawa pulang terlalu banyak tas belanja.

Saat Amane menatap Shihoko dengan wajah keheranan sekaligus ketidakpercayaan, dia melewatinya dengan senyuman ringan, meninggalkannya untuk bertukar pandang dengan Mahiru, yang telah tertinggal.

Mahiru tampak sedikit bingung, atau lebih tepatnya, wajahnya menunjukkan sedikit keraguan bahwa mereka mungkin telah membeli terlalu banyak barang selama jalan-jalan. Namun, tampaknya Shihoko telah membeli segala sesuatu dengan memikirkan Mahiru, dan antusiasmenya saat melakukan hal itu pasti akan menular, jadi Mahiru mungkin tidak bisa menahan diri untuk menghentikan ibunya.

“... Jangan bilang kamu membeli sesuatu yang aneh.”

“Ka-Kami tidak membeli sesuatu seperti itu, tau...?”

“Oh, begitu. Senang mendengarnya, kalau begitu.”

Amane menghela nafas lega pada Mahiru, yang malah menatapnya dengan tatapan penasaran, dan ia segera mengambil tas belanjaan itu darinya. Ia tidak yakin apakah tas itu benar-benar miliknya, tapi tidak enak baginya untuk membebani Mahiru dengan membawanya.

Saat Amane melihat Mahiru melepas sepatunya, telinga Amane terangkat ke arah ruang tamu. Shihoko sedang mendiskusikan sesuatu dengan Shuuto, dan sepertinya berhubungan dengan pekerjaan paruh waktunya karena ia melihat Shihoko sesekali menimpali dengan kata “Ara!” seperti sebuah slogan.

Meskipun Shuuto lah yang menandatangani kontrak kerjanya sebagai wali Amane, mungkin sudah sepantasnya dia memberi tahu ibunya tentang hal itu sebelumnya, meskipun tanda tangannya secara teknis tidak diperlukan untuk prosedur hukum.

(Sejujurnya, sebagian karena Ayah lebih mudah dihubungi, dan sebagian lagi karena aku tidak bisa menghubungi Ibu, kurasa)

Meskipun orang tuanya akhirnya datang ke rumahnya, rencana awal mereka adalah untuk bertamasya. Jadi, setelah mereka beristirahat sejenak, Shuuto dan Shihoko mungkin akan kembali ke hotel.

Saat Mahiru bersandar pada tubuh Amane sambil berganti pakaian dengan sandalnya, ia merasakan sensasi geli. Saat Amane menunggunya, Mahiru tiba-tiba menatapnya seolah-olah dia baru saja mengingat sesuatu.

“Ngomong-ngomong, bagaimana hasil wawancara untuk pekerjaan paruh waktumu?”

“Baik... Sepertinya mereka menyukaiku, jadi bisa dibilang aku berhasil mendapatkan pekerjaan itu.”

Amane tidak menyangka bisa diterima kerja dengan mudah, dan sedikit bingung dengan itu semua. Namun, Mahiru dengan santai menjawab, “Aku tahu kamu akan diterima, Amane-kun,” tampaknya tidak terkejut.

Hal ini membuatnya merasa bahwa Mahiru terlalu melebih-lebihkan kemampuannya, atau lebih tepatnya, Mahiru terlalu menaruh kepercayaan padanya. Namun, Amane juga tahu bahwa jika dia menyuarakan pikiran itu, Mahiru akan memarahinya sambil berkata, “Lagi-lagi begitu, kamu selalu meremehkan dirimu sendiri lagi,” jadi Amane menutup mulutnya rapat-rapat.

“Ini Cuma sekedar penasaran, orang seperti apa pemilik kafe itu?” Mahiru bertanya.

“Baiklah, bagaimana aku harus mengatakannya?” Amane mulai menjelaskan. “Dia orang yang unik... seorang Onee-san, kurasa.”

“Onee-san.”

“Aku diberitahu bahwa dia adalah bibi Kido, tetapi dia tampaknya masih cukup muda dibandingkan dengan ibunya, jadi dia lebih terasa seperti seorang kakak perempuan, menurutku.”

Amane menahan diri untuk tidak menanyakan usianya, karena merupakan hal yang tabu untuk menanyakan hal yang begitu detail kepada seorang wanita, tetapi dari penampilannya, ia mengira bahwa wanita itu mungkin berusia pertengahan atau akhir dua puluhan.

Kebetulan, Amane sempat menanyakan detailnya pada Ayaka dalam perjalanan pulang dari kafe, dan tampaknya ibunya sangat menyayangi adik perempuannya, Fumika, yang jauh lebih muda darinya. Fumika pun mulai mengagumi sang kakak, dan dengan cepat juga mulai menyayangi keponakannya dengan cara yang sama. Akibatnya, Fumika cenderung menyayangi Ayaka seperti seekor kucing.

Amane dengan lembut mencolek pipi Mahiru yang sekarang kaku, merasakan bahwa kata-kata “Onee-san” telah membuatnya sedikit tegang.

“Jangan khawatir, Mahiru. Dia sepertinya tipe orang yang suka melihat pasangan, dan dia bahkan meminta untuk mendengar cerita tentang hubungan kita yang akur.”

Mengantisipasi bahwa sedikit rasa cemburu akan muncul, Amane dengan cepat menambahkan komentar itu untuk mencegahnya. Mahiru tersipu malu dan menciut dengan tidak nyaman, seakan merasa tidak nyaman dengan apa yang dikatakannya.

“... Aku tidak meragukanmu atau semacamnya, oke? Aku hanya kebingungan apa yang akan kulakukan jika dia jatuh cinta padamu, itu saja...”

“Tidak mungkin.”

“Tidak ada yang tidak mungkin,” Mahiru bersikeras. Amane tersenyum kecut menatapnya, yang entah kenapa menekankan hal itu, bersikeras dengan argumennya. Ia menepuk kepalanya dengan lembut dan merasa kasihan padanya, berpikir bahwa ia salah telah membuatnya merasa tidak nyaman.

Pada awalnya, Mahiru terlihat sedikit kesal, tetapi dia berangsur-angsur rileks ketika Amane terus mengusap lembut jari-jarinya di rambutnya yang lembut, menikmati tekstur yang menyenangkan.

“Bahkan jika itu memang yang terjadi, aku tidak akan melakukannya. Dan jika, kebetulan, hal itu menyebabkan masalah dengan pekerjaanku, aku akan berhenti saat itu juga,” Amane menjelaskan.

“Ak-Aku tidak menyangka kalau kamu bertindak sejauh itu... Aku hanya merasa sedikit, ehm, gelisah."

“Tepat sekali. Itu sebabnya jika itu membuatmu merasa tidak nyaman, lebih baik aku tidak bekerja di sana. Tujuanku bekerja bukanlah untuk bekerja itu sendiri, tetapi untuk mendapatkan uang yang aku butuhkan untuk mencapai tujuanku.”

Melihat bagaimana perilaku bibi Ayaka, mustahil baginya untuk jatuh cinta pada Amane. Namun, jika hal itu terjadi, dirinya akan mulai mencari pekerjaan lain, meskipun sambil merasa menyesal terhadap bantuan Ayaka.

Amane bekerja untuk membuat Mahiru bahagia, dan jika hal itu membuatnya sedih, ia tidak perlu bertahan dengan pendekatannya saat ini. Amane akan mencoba mencari cara lain untuk mengejar tujuannya.

Ia tidak berniat mengacaukan prioritasnya, dan tahu lebih baik daripada mengacaukan tujuannya dengan cara yang ia tempuh untuk mencapainya. Amane percaya bahwa ia tidak cukup bodoh atau idiot untuk jatuh ke dalam perangkap semacam itu.

“Dan karena itulah, kamu tidak perlu khawatir,” imbuh Amane, dan mendengar hal ini, Mahiru membenamkan wajahnya ke dadanya. “Ada yang salah?” tanyanya kemudian.

“... Itulah yang kusukai darimu,” jawab Mahiru.

Hanya itu saja?” Amane membalas sambil mengolok-oloknya.

“... Itu salah satu hal yang kusukai darimu. Baka.” Mahiru bergumam dengan pelan. Setelah Amane menggodanya sedikit, Mahiru memukul dadanya dengan main-main, membuat Amane tersenyum. Ia kemudian dengan lembut membelai kepala Mahiru saat ia menerima gerakan main-mainnya.

 

 

Sebelumnya  |  Daftar isi  |  Selanjutnya

close

Posting Komentar

Budayakan berkomentar supaya yang ngerjain project-nya tambah semangat

Lebih baru Lebih lama