Bab 4 — Interaksi
Baru
Sekembalinya ke sekolah setelah
liburan, seusai festival budaya, suasana di sekolah masih sedikit gelisah,
mungkin karena kegembiraan festival itu belum sepenuhnya memudar.
Bahkan di dalam kelas Amane,
yang biasanya lebih tenang, setidaknya dua puluh persen lebih hidup daripada
biasanya. Ada teman sekelas yang berbisik-bisik dari waktu ke waktu, sebagian
besar tentang siapa yang mulai berpacaran dengan siapa, dan Amane sangat
menyadari bahwa festival budaya memiliki efek pada hubungan siswa, yaitu munculnya
pasangan-pasangan baru.
Sesekali ada siswa yang melirik
ke arahnya, tetapi itu terutama ditujukan pada Mahiru, jadi kemungkinan besar
topiknya adalah penampilannya di festival budaya dan yang lainnya.
“Selamat pagi.”
Itsuki memasuki ruang kelas,
terlihat sedikit mengantuk, dan langsung menghampiri Amane. Ia melambaikan
tangannya dengan longgar sebagai jawaban dan menjawab “Pagi juga,” sambil mengamati wajah Itsuki sekilas. Amane tidak
menindaklanjuti untuk menanyakan kabar Itsuki di rumah, setelah ia menceritakan
kekhawatirannya selama sesi karaoke mereka.
Itsuki pasti akan merasa sedih
jika Daiki mengatakan sesuatu padanya setelah itu, tetapi sejauh yang Amane
tahu, Itsuki masih terlihat sama seperti biasanya. Amane merasa lega, tapi
tidak menunjukkannya.
“Selamat pagi,
Shiina-san”" Itsuki menoleh pada Mahiru, “Hari ini, kamu masih... Hmm?”
“Selamat pagi juga,
Akazawa-san. Apa ada yang salah?”
Mahiru berdiri di sisi Amane
seolah-olah itu adalah hal yang paling alami di dunia, dan Itsuki tersenyum
saat ia menyapanya. Tetapi ketika ia melihat wajahnya, Itsuki tiba-tiba menjadi
curiga sembari matanya menyipit. Itsuki terus memeriksanya dengan seksama
seolah-olah untuk memastikan sesuatu, lalu menggaruk pipinya.
(...
Apa-apaan dengan ekspresi itu?)
Amane menyipitkan matanya dengan
cara yang sama, bertanya apakah ada masalah yang muncul, tetapi meskipun Itsuki
terlihat seperti ada sesuatu yang ingin ia katakan, tatapan yang ia berikan
pada Mahiru jelas bukan untuk mengkritik. Hal ini membuat Amane bingung.
“... Ayo, Amane-kun. Ke sini sebentar.”
“Hah?”
“Tinggal ke sini saja.” Itsuki
bersikeras, memanggilnya untuk suatu alasan, jadi Amane terang-terangan
menunjukkan tatapan skeptis saat ia membiarkan Itsuki menuntunnya ke sudut
kelas. Setelah itu, Itsuki mencoba untuk meringkuk mendekat, dan diam-diam
memulai interogasinya.
“Hei, apa kamu sudah melewati
batas dengan Shiina-san?”
“HAH!?”
Teriakan Amane yang begitu
mendadak mulai menarik perhatian Mahiru, membuatnya menengok dari kejauhan
untuk melihat apa yang terjadi. Mencoba untuk mencegah dirinya tersipu malu
karena memikirkan sesuatu yang tidak pantas, Amane melambaikan tangannya dan
hanya menjawab, “Tidak apa-apa.” Tapi begitu tatapan Mahiru berpindah sejenak,
Amane berbalik menatap Itsuki, meskipun tatapan heran yang menyambut Amane
membuatnya tak bisa berkata-kata.
“Oi, oi. Memangnya buat kita
pindah kesini, bung? Jangan mengacaukannya.”
“Jangan mengacaukannya? Itu
hanya karena kamu mengatakan sesuatu yang aneh secara tiba-tiba.”
“Aneh apanya. Kamunya saja yang
belum menyadari bahwa getaran-getaran semacam itu baru saja mengalir di antara
kalian berdua...” Itsuki memulai. “Shiina-san terlihat sedikit berbeda dari
biasanya, dan selain itu, kamu sepertinya baru saja menutup jarak dengannya.
Kalian selalu dekat sejak kalian mengungkapkan hubungan kalian, tetapi jelas
sekali kalau suasana hati yang kalian miliki sekarang lebih parah...”
Diberitahu bahwa ada perubahan
dalam suasana mereka, Amane melirik sekilas ke arah Mahiru. Dia menunggu dengan
tenang di dekat tempat duduk Amane, menatapnya dengan rasa ingin tahu. Tetapi
ketika mereka bertatapan, Mahiru menjadi malu-malu.
“Bukannya tidak ada yang
berubah?”
"Kamu hanya tidak bisa
melihat sesuatu secara objektif. Kalian berdua selalu bermesraan, ya, tapi
suasana yang kalian berdua alami saat ini sangat berbeda dengan apa yang kalian
alami saat festival budaya. Kalian memiliki suasana saling memiliki satu sama lain sekarang, seakan-akan kalian berdua
sudah saling mengenal dengan sangat baik.”
“Apa pun yang kamu bayangkan,
hal itu sama sekali tidak terjadi.”
“Oh, benarkah?”
“Paling tidak, kami tidak
melakukannya sampai melewati batas.”
Jika Amane tetap menjawab
dengan kalimat ambigu, Itsuki akan mulai menyeringai seolah-olah dia bisa
melihat semuanya, jadi Amane menyodok tubuh Itsuki dengan tinjunya, mencoba
untuk mengganggu wajahnya yang menjengkelkan itu. Ada sedikit kekuatan di balik
dorongan itu, tapi Itsuki tampaknya sama sekali tidak terpengaruh. “Berhenti
berusaha menyembunyikan rasa malumu.” Kata Itsuki sambil tertawa.
Merasa frustasi, Amane
menginjak kaki Itsuki, meskipun dia juga mengeluarkan desahan pelan tanda
menyerah.
Amane merasa ngeri dengan
kepekaan Itsuki, setelah menyadari perubahan ini dengan segera, tapi Amane
berniat untuk memberitahu Itsuki dan Chitose tentang apa yang akan terjadi
padanya dan Mahiru. Ia tidak berencana untuk menceritakan seberapa jauh mereka
telah berkembang secara fisik, tapi ia percaya bahwa setidaknya ia harus
memberi tahu mereka tentang rencana masa depannya.
“... Pertama-tama, aku belum
berniat untuk melangkah sejauh itu. Aku sudah berjanji dengan Mahiru.”
“Janji?”
“Iya, aku tidak akan
melakukannya sampai aku bisa bertanggung jawab. Aku mengatakan bahwa aku akan
bertanggung jawab selama sisa hidupku, dan memintanya untuk menunggu sampai
saat itu tiba.”
Saat Amane memberitahu Itsuki
tentang janji tersebut, sekali lagi menyadari itu adalah sesuatu yang terlalu
memalukan untuk diungkapkan secara terbuka, mata Itsuki membelalak karena
terkejut, dan kemudian ia menatapnya dengan tatapan jengkel yang halus, tapi
terkesan mengandung emosi yang bertentangan.
"Aku pikir ketekunan dan
ketulusanmu itu sangat luar biasa, aku benar-benar menghormatinya, kawan. Tapi
apa kamu akan baik-baik saja melakukan hal itu? Dalam segala hal.”
“... Aku mungkin takkan
baik-baik saja, tapi tidak apa-apa. Aku ingin menjaganya dengan baik, dan, ehm,
aku serius dengannya.”
Setelah menemukan seseorang
yang akan mendampinginya selamanya mulai sekarang, Amane ingin menghormati dan
menghargainya.
Sejujurnya, Amane sedikit
khawatir tentang apa dirinya akan mampu bertahan selama menunggu, tetapi Amane
tidak bisa mengingkari janjinya. Lagipula, ia akan terlalu malu untuk
melakukannya sekarang, jadi dirinya berencana untuk terus maju dengan segala
godaan dan tantangan yang ada.
“Itu sangat menggambarkan
dirimu, Amane. Kamu sudah dibuat klepek-klepek
padanya.”
“Diam.”
“Yah, aku yakin Shiina-san pasti
sangat senang jika kamu seserius itu padanya. Ngomong-ngomong, jika ada saat
dimana kamu benar-benar tidak tahan lagi, tinggal beritahu aku saja. Aku akan
membantumu dengan barang pendukung yang mantap.”
“Aku tahu apa yang kamu
rencanakan untuk diberikan padaku, tapi itu bukan urusanmu, bung.”
“Aku yakin kamu akan menyesal
setelah mencoba untuk bersikap sok keren...”
Merasa sedikit tidak nyaman
dengan kekhawatiran kasar temannya, Amane menolak tawaran itu. Namun, Itsuki
hanya menanggapinya dengan mengangkat bahunya.
Amane mungkin harus bergantung
pada tindakan seperti itu di masa depan, tapi setidaknya pada titik ini, hal
itu tidak diperlukan. Lebih jauh lagi, pertanyaan tentang bagaimana Itsuki
mendapatkan barang semacam itu muncul ke permukaan, dan Amane tergoda untuk
mencecarnya tentang bagaimana kawannya tersebut bisa mendapatkan barang seperti
itu.
Dengan desahan dramatis, Amane
dengan tegas membalas tatapan kesal Itsuki. “Pokoknya, aku berencana untuk
bersama dengan Mahiru setelah lulus nanti, dan untuk itu, aku punya persiapan
yang harus aku lakukan.”
“Persiapan, seperti apa
misalnya?”
“Ah, selamat pagi,
Fujimiya-kun. Kenapa kamu berbisik-bisik di pojokan kelas begini?”
Seolah mendapat isyarat, Ayaka
memasuki ruang kelas pada waktu yang tepat, dan Amane melambaikan tangannya
padanya. Ayaka menatap mereka berdua dengan tatapan penasaran saat berjalan
menghampiri mereka.
“Hmm, ada apaan nih? Rasanya agak
mencurigakan melihat dua anak cowok saling berbisik satu sama lain secara
diam-diam seperti itu,” katanya. “Aku yakin ini pasti mengenai Akazawa-kun yang
membicarakan sesuatu yang aneh dengan Fujimiya-kun.”
“Tidak ada sedikitpun kepercayaan
padaku, hah!?” Itsuki membalas.
“Hahaha.” Ayaka tertawa santai
sambil menepisnya, lalu dia menatap Amane dengan ragu-ragu, sepertinya sedang
merenungkan apa dia harus mengatakan sesuatu atau tidak. Dia melirik Itsuki,
tak yakin apakah dia harus menyampaikan berita itu dengan kehadirannya, seakan
menyiratkan pada Amane, Akazawa-kun ada
di sini, tapi apa aku harus mengatakannya? Atau apa aku peril memberitahumu
nanti?
Sejauh yang Amane pertimbangkan,
ia tidak berniat menyembunyikan pekerjaan paruh waktunya dari Itsuki, dan ia
juga berencana untuk memberitahu Itsuki alasannya mendapatkan pekerjaan itu.
Jadi, ketika Amane bertanya, “Apa kamu sudah membuat kemajuan tentang apa yang
aku tanyakan?” Ayaka kemudian tersenyum, terlihat sedikit lega.
“Tentang pekerjaan paruh waktu,
bibiku bilang tidak apa-apa, jadi dia ingin tahu apa kamu bisa memberitahunya
jika kamu punya waktu luang untuk mampir.”
“Oke, aku mengerti. Aku akan
menghubungimu nanti.”
“Oke. Dimengerti!”
“Maaf untuk ini, aku tahu aku
sudah merepotkanmu.”
“Tidak masalah. Aku ingin
membantu saat temanku dalam kesulitan, dan selain itu, bibiku bilang dia sangat
senang kalau aku mengandalkannya.”
Melihat senyum yang sedikit
terganggu dari Ayaka, Amane tidak bisa menahan diri untuk tidak tersenyum kecut
sebagai balasannya. Dia tampak sangat disayangi oleh bibinya, karena dia
menunjukkan ekspresi yang bermasalah. Tetapi bagi Amane, sebagai orang yang
telah ditolong olehnya, ia hanya bisa berterima kasih atas perkenalan pekerjaan
itu. Ia mempertimbangkan untuk memberinya tanda terima kasih yang pantas di
kemudian hari.
Sembari melambaikan tangannya,
Ayaka berkata, “Sampai jumpa lagi,” dan kembali ke tempat duduknya. Saat dia
pergi, Amane menoleh untuk melihat Itsuki, yang mengangguk mengerti.
“Aku sudah mendapatkan gambaran
besarnya. Sepertinya kamu punya banyak hal yang harus kamu kerjakan.”
“Orang tuaku bilang mereka
ingin menanggung biaya upacara pernikahan, tapi paling tidak, aku ingin membeli
cincinnya sendiri,” Amane menjelaskan. “Aku memilih untuk melakukan ini, jadi
setidaknya aku harus melakukan beberapa pekerjaan untuk mencapai keinginanku.”
Amane tidak bisa menyerahkan
segala sesuatu yang berhubungan dengan pernikahannya kepada orang tuanya,
terutama mengingat fakta bahwa itu adalah sumpah yang harus ditepati. Demi
harga dirinya, Amane harus mempersiapkan, setidaknya sebagian dengan
kekuatannya sendiri.
Meski itu semua tidak terasa
seperti usahanya sendiri, karena ia mendapatkan pekerjaan ini melalui
perkenalan Ayaka, ia percaya bahwa mencari bantuan dari orang lain untuk
mencapai tujuannya dengan lancar adalah hal yang wajar.
“Kamu benar-benar berkomitmen
dalam hal membuat keputusan, bukan?” Itsuki mengamati. “Menurutku, hal itu
sangat mengagumkan. Tapi...”
“Tapi?” tanya Amane.
“... Kenapa kamu tidak bertanya
padaku dulu, jika kamu membutuhkan bantuan untuk hal seperti itu?”
Terkejut dengan pernyataan
merajuk Itsuki, Amane menatapnya sejenak sebelum mengacak-acak rambut Itsuki.
“Aku akan mengandalkanmu dengan
benar lain kali.”
Namun, ini semua tampak
mempermalukan Itsuki, saat ia mengguncang Amane dan mendorong bahunya. Amane
tahu kalau Itsuki hanya berusaha menyembunyikan rasa malunya, jadi ia tertawa
seperti Itsuki tadi, membiarkan semuanya berlalu begitu saja.
✧ ✦ ✧
“Ahaha, ya, bahkan Ikkun pun
pasti bakal merajuk tentang hal itu.”
Setelah makan siang, Chitose
penasaran kenapa Itsuki bertingkah agak cemberut di pagi hari dan memanggil
Amane ke lorong untuk menanyakan apa yang terjadi. Amane tahu bahwa jika dirinya
jujur menceritakan situasinya, Chitose akan menampar punggungnya dengan
senyuman acuh tak acuh, tapi dia masih tidak menunjukkan tanda-tanda menghentikan
serangannya. Sebaliknya, serangannya justru akan semakin meningkat dan dia
berkata, “Amane, inilah sebabnya kamu begitu...” dengan ekspresi muak.
Chitose terlihat lebih berniat
untuk menyampaikan maksudnya daripada memberikan rasa sakit dengan tamparannya,
dan tampaknya ada alasan lain juga. Amane juga tahu bahwa dirinyalah yang
salah, jadi ia tetap diam, tertekan oleh senyum lebarnya.
“Ikkun punya banyak teman dan
koneksi, tapi kamu malah berpaling pada orang lain dan tidak mengandalkannya.
Tentu saja ia merasa sedikit kesal dengan hal itu. Lagipula, selain Mahirun,
Ikkun adalah teman terdekatmu, kan?”
“Ugh, ak-aku merasa tidak enak
tentang hal itu...”
Amane teringat akan undangan
kerja yang diberikan Ayaka beberapa waktu lalu, karena itulah ia meminta
bantuannya. Namun, Itsuki pasti takkan menghargai keputusan itu.
Amane menganggap Itsuki sebagai
teman cowok terdekatnya, dan ia sangat mengandalkannya sampai sekarang, jadi ia
merasa menyesal telah membuat Itsuki merasa ditinggalkan kali ini. Sebagian
karena Amane percaya bahwa ia terlalu mengandalkan Itsuki, ia mencoba untuk tidak
memberinya beban tambahan. Namun, dalam kasus ini, tampaknya hal tersebut
justru menjadi bumerang.
“Aku yakin ia ingin kamu mengandalkannya,”
Chitose melanjutkan penjelasannya. “Ikkun bangga menjadi sahabatmu, dan ia
merasa berhutang budi padamu karena kamu sudah menyelamatkannya di masa lalu.”
“Aku menyelamatkannya...?
Justru sebaliknya, akulah yang selalu diselamatkan. Orang yang seharusnya
membalas budi adalah aku,” jawab Amane. “Aku tidak ingin merepotkannya lebih
dari yang sekarang.”
“Itu salah satu kekuranganmu,
Amane. Kamu cenderung merasa bahwa apa yang kamu pikirkan tentang dirimu
sendiri sama dengan apa yang orang lain pikirkan tentang kamu. Kamu tidak boleh
menyangkal bahwa dari sudut pandangnya, Ikkun telah diselamatkan olehmu.
Menyangkal fakta itu sama saja dengan menyangkal perasaannya, bukan?”
“... Aku benar-benar merasa
tidak enak tentang hal itu.”
"Yah, selama kamu mengerti
bagaimana perasaannya. Jika kamu memang merasa menyesal, bagaimana kalau kamu
berkonsultasi tentang hal lain? Tentu saja, itu termasuk aku juga.”
Dengan senyum yang bersinar
lebih terang dari sebelumnya, Chitose menatap Amane dengan ekspresi berseri-seri.
Pipi Amane berkedut-kedut sebagai tanggapan.
“... Apa kamu juga marah,
Chitose?”
“Ufufu,” Chitose hanya membalas
dengan tertawa.
Dia tersenyum aneh, dan walau
wajahnya yang berseri-seri tampaknya mencerminkan pikirannya yang sebenarnya,
matanya tidak tersenyum. Chitose biasanya menampilkan senyum riang, tapi
sekarang sulit untuk menyebutnya sebagai senyum yang tulus.
“Ya iyalah, tentu saja! Kita
sudah berteman dekat selama satu setengah tahun, tapi kamu belum pernah
menceritakan apa pun kepadaku. Bukannya itu cukup menyedihkan?”
“Ugh. Ak-aku benar-benar minta
maaf tentang itu. Aku akan lebih berhati-hati mulai sekarang.”
“Jujur saja. Kamu bisa menjadi
sangat dingin di saat-saat tertentu. Dan selain itu, jika kamu tidak
memberitahu kami tentang apa yang sedang kamu lakukan, kami takkan pernah tahu
apa yang harus dirahasiakan dari Mahirun, tau? Kamu ingin memberinya kejutan,
bukan?”
“... Iya sih.”
“Kalau begitu, kamu tidak punya
pilihan selain membocorkan semuanya. Atau kamu hanya akan memperparah
keadaanmu.”
Chitose menyodok bagian
sampingnya, tetapi Amane hanya bisa menerima pukulan itu karena itu karma yang
didapatnya. Setelah bermain-main dengan mendorong sisi tubuhnya selama beberapa
saat, Chitose menarik napas dalam-dalam seolah-olah ingin memulai kembali
percakapan.
"Meskipun begitu, Amane,
tidak mengherankan jika kamu memikirkan masa depanmu dengan Mahirun, dan aku
mengerti bahwa kamu benar-benar mencintainya. Hanya saja, melihatmu yang begitu
mesra-mesraan sekarang, rasanya cukup berbeda dengan dirimu yang dulu, bukan?”
“Oh, diamlah.”
Amane tahu kalau dirinya
menjadi jauh lebih manis dengan Mahiru daripada sebelumnya. Ditambah lagi, ia
merasa bahwa ia menjadi lebih dekat dengan banyak orang daripada sebelumnya.
Perubahan ini tidak hanya disebabkan oleh Mahiru, tapi juga karena Itsuki dan
Chitose.
Meski Amane sedikit kesal
karena dia menyebutnya “mesra-mesraan”,
ia tidak dapat menyangkal bahwa ia sangat mencintai Mahiru, jadi itu bukanlah
sesuatu yang dapat dibantahnya. Karena itu, tetap saja tidak lucu untuk
mengatakannya dengan cara seperti itu, jadi Amane secara tak sengaja membuat
wajah masam.
“Pokoknya, aku sudah mengambil
keputusan. Jadi, eh, aku akan menghargai bantuanmu, jika memungkinkan.”
Menginginkan bantuan dari sudut
pandang seorang wanita dan hanya sebagai seorang teman, Amane menundukkan
kepalanya di hadapan Chitose, meminta kerjasamanya. Desahan kekesalan terdengar
di telinganya.
“Aku akan membantumu meskipun
kamu tidak memintanya. Bagaimanapun juga, ini demi kebahagiaan sahabatku.”
“Chitose...”
“Aku jelas-jelas berbicara tentang
membantu Mahirun, oke? Kamu plin-plan tentang hal itu sekarang, jadi peringkat
pertemananmu menukik turun dengan tajam.”
“Geh... Tidak ada yang bisa
kulakukan tentang itu sekarang.”
“Fufu, aku hanya bercanda.
Kalian berdua adalah teman baikku. Aku ingin semuanya berjalan baik untuk
kalian berdua, dan aku akan membantumu sebisaku.”
Ketika Amane mengangkat
kepalanya, Chitose berdiri di hadapannya, dengan senyumnya yang cerah dan
ceria. Melihatnya berdiri tegak dengan bangga, ia merasakan perasaan lega
menyelimutinya. Amane membalas senyumannya, menepuk pundak Chitose dengan lembut.
✧ ✦ ✧
“Begitu rupanya. Jadi kamu akan
pergi ke suatu tempat dengan Chitose hari ini.”
Sepulang sekolah di hari yang
sama, ketika Amane mencoba untuk pulang bersama Mahiru seperti yang biasa
mereka lakukan, dia menolaknya dengan suara meminta maaf. Sambil mengangkat
bahu dan tersenyum, Amane menerima tanggapannya.
Amane tidak berniat untuk
membatasi atau memaksanya untuk selalu bersama dengannya. Sama sekali tidak ada
alasan mengapa mereka harus selalu bersama. Bahkan, Amane sendiri tidak
mengerti mengapa Mahiru begitu mengkhawatirkan hal itu.
Saat ia merenungkan sikapnya
yang biasa, bertanya-tanya apa dirinya memberikan kesan sebagai orang yang
posesif, Mahiru masih terlihat meminta maaf.
“Erm, aku mungkin akan
terlambat pulang hari ini. Karena Shihoko-san akan menemaniku, kurasa kita
tidak akan mengalami masalah.”
“Ibu? Kenapa dia sampai ikutan
segala?”
Sebuah nama yang tak diduga
mendadak muncul, dan Amane menatap tajam ke mata Mahiru. Orang tuanya belum
kembali ke kampung halaman mereka. Rupanya, mereka telah mengambil cuti panjang
menggunakan cuti berbayar mereka dan pergi jalan-jalan dalam perjalanan pulang,
atas permintaan Shihoko.
Amane sadar bahwa orang tuanya
akan berkeliling di sekitar daerah terdekat hari ini karena mereka berencana
untuk pulang besok, tapi Amane benar-benar tidak menyangka bahwa tidak hanya
Mahiru, tapi juga Chitose akan ikut serta.
“Shihoko-san ingin mengobrol
dengan Chitose-san...,” Mahiru menjelaskan, suaranya menjadi terputus-putus.
“Aku tahu pasti kalau Ibu akan
menanamkan ide yang tidak perlu di kepalanya,” balas Amane.
“Ahaha, mana mungkin dia akan
melakukan hal seperti itu...”
“Dengan ibuku, itu sangat
mungkin terjadi. Jika itu terjadi, aku mengandalkanmu untuk menghentikannya,
Mahiru."
Namun, Amane mengerti bahwa ada
kemungkinan yang lebih besar bahwa meskipun Mahiru ingin menghentikannya,
momentum Shihoko akan terlalu kuat untuk dihentikan. Jadi, Amane tidak menaruh
banyak harapan padanya. Dengan permohonan putus asa untuk setidaknya mencegah
Ibunya berbagi rincian sejarah hitamnya, Amane menatap Mahiru, tidak berniat
untuk menatap terlalu bergairah, tapi dia tersipu dan dengan cepat membuang
muka.
Setelah menyelesaikan
persiapannya untuk pulang, Chitose menghampiri mereka berdua sambil tertawa
kecil. “Hei, hei! Apa yang sedang pasutri baru lakukan di sini?”
“Aku hanya khawatir kalau-kalau
kamu akan mendapatkan pernak-pernik pengetahuan yang aneh dari ibuku,” jawab
Amane.
“Begitu ya, akhirnya kamu berhenti
menyangkal bahwa kalian adalah pasangan yang sudah menikah... Bagaimanapun, aku
bertanya-tanya apa yang sedang kalian lakukan, saling menatap satu sama lain
seperti itu. Tapi kamu tidak perlu khawatir tentang hal itu.”
“Ibuku adalah tipe orang yang
mengungkapkan segala macam hal tanpa menyadarinya. Dengan senyum lebar di
wajahnya juga.”
“Oh-ho. Dengan kata lain, ada
sesuatu yang ingin kamu sembunyikan dari kami.”
“Tidak ada, aku hanya tidak
ingin kisah masa kecilku digali dan dibagikan dengan orang lain. Kamu juga
tidak akan menyukainya, bukan?”
“Ugh, baiklah, itu...”
Amane berteman dengan Chitose
di SMA, tapi menurut kabar yang ia dengar dari Itsuki dan Kadowaki, Chitose
dulu bertingkah sangat berbeda—terlihat seperti orang yang memiliki kepribadian
yang bertolak belakang dengan dirinya yang sekarang.
Topik itu hampir bisa
digolongkan sebagai masa lalunya yang kelam, jadi tentu saja, Chitose tidak
suka membicarakannya. Kamu tahu apa yang
harus dilakukan jika dia mencoba menanyakan hal yang tidak perlu, Amane menyiratkan
demikian sambil menatapnya, dan Chitose mengangguk. “Aku mengerti, aku
mengerti,” dan dia mengalah sembari mengangkat bahunya.
“Yah, mengesampingkan itu, ada
juga sesuatu yang ingin kubicarakan dengan Shihoko-san sendiri, jadi bukan
berarti kami hanya akan membicarakanmu, Amane.”
“Apa yang akan kamu bicarakan?”
“Yah, itu rahasia di antara
kami para gadis. Jadi, aku akan meminjam istrimu juga. Kamu tidak keberatan,
‘kan?”
Chitose tersenyum dan merangkul
lengan Mahiru, yang membuat Mahiru menunduk malu, tapi kemudian dengan senang
hati menghampirinya. Amane tidak mempermasalahkan hal itu jika Mahiru tidak
mempermasalahkannya, namun ia masih sedikit khawatir dengan apa yang akan
mereka bicarakan.
Jangan
mengatakan sesuatu yang aneh kalau bisa. Tolonglah, pikir
Amane, mengingatkan ibunya dalam benaknya saat ia melihat kedua gadis itu
saling berpelukan dengan nyaman. Namun, seorang gadis tiba-tiba muncul dan
memanggilnya, mengintipkan kepalanya dari suatu tempat.
“Hah? Kalian berdua tidak
pulang bersama hari ini?”
Ayaka, dengan kuncir kuda yang
ditata rapi dan senyum ramah, terkejut melihat Chitose menarik tangan Mahiru.
“Ah, Kido.” Amane menjawab, “Katanya
mereka ada urusan bersama hari ini.”
“Oh, begitu, begitu. Kalau gitu
... Shiina-san, boleh aku meminjam suamimu sebentar?”
“Hah?”
Mahiru membeku di tempat
mendengar permintaan mendadak Ayaka, tidak yakin apa dia lebih terkejut karena
Ayaka menyebut Amane sebagai suaminya atau karena Ayaka meminjamnya, padahal
mereka hanya berteman. Masih belum jelas yang mana, tapi yang jelas Mahiru
masih menatap Ayaka, ekspresinya menunjukkan kalau dirinya merasa tercengang.
Ayaka berbalik ke arah Amane. “Kalau
kamu tidak punya rencana kemana-mana, Fujimiya-kun, aku ingin kamu pergi
bersamaku setelah ini. Ah, dan jangan khawatir, Shiina-san! Aku tidak bermaksud
dalam artian kencan!”
“A-Aku sama sekali tidak
khawatir tentang itu...,” Mahiru bersikeras, suaranya semakin pelan di akhir
kalimat.
Karena Ayaka yang mengajaknya,
kemungkinan besar ini adalah sesuatu yang berhubungan dengan pekerjaan paruh
waktunya.
Meski itu acara yang mendadak,
itu adalah kesempatan yang bagus. Karena hal ini berkaitan dengan pekerjaan
paruh waktu barunya, orang tuanya yang datang berkunjung mumpung masih belum
pulang, mengingat dokumen yang diperlukan. Kontrak kerja memerlukan tanda
tangan persetujuan orang tua.
“Dan bagaimana denganmu,
Fujimiya-kun? Kamu bebas?”
“Yah, sepertinya aku tidak
punya rencana apa-apa.”
Amane tidak punya rencana
apapun selain sesi latihan olahraganya dan tugas-tugasnya. Dengan kata lain,
Amane bisa memenuhi undangannya yang mendadak.
“Syukurlah! Kami berdua
kebetulan tidak memiliki rencana hari ini, dan karena kalian berdua selalu
bersama, aku merasa kesulitan untuk memaksakan diri. Aku cukup ragu untuk mengajakmu
sejak awal, loh?” ujar Ayaka.
“Bukannya berarti kami selalu
bersama. Kami tidak menghabiskan setiap detik bersama bahkan ketika kita di
rumah.”
“Dari apa yang kulihat, kalian
berdua selalu bersama satu sama lain, itulah yang kumaksud. Bahkan caramu
mengatakan bahwa kalian selalu bersama di rumah terdengar seperti kamu sedang
bermesraan dengannya, mengatakan hal semacam itu seolah-olah itu hal yang
wajar,” kata Ayaka sambil menarik akhir kalimatnya. Setelah dia menyiratkan
bahwa sepasang kekasih tidak biasanya bersama sampai sejauh itu, Ayaka terkikik
pada Amane yang tetap diam, dan tidak bisa membantah sama sekali. “Yah, kurasa
itu karena kalian berdua dekat dan penting satu sama lain. Iya ‘kan,
Fujimiya-kun?”
“... Ya, benar. Memangnya itu
buruk?”
“Enggak juga, kupikir itu bagus
karena itu menghangatkan hatiku hanya dengan melihat kalian berdua. Meski harus
kubilang, Shiina-san benar-benar sangat kamu hargai ya?”
Mahiru tersipu dan memancarkan
aura kebahagiaan saat mendengar kata berharga, tapi semua orang di sekitarnya
telah terjebak dalam baku tembak, menjadi korban sebagai kerusakan tambahan.
Namun, sepertinya Mahiru sendiri tidak menyadari apa yang sudah dia perbuat.
Amane merasa bahwa Ayaka melakukannya dengan sengaja, tapi Amane tidak bisa
mengeluh karena ia berutang banyak padanya.
Bagaimanapun juga, setelah
Amane memberinya tatapan yang menyiratkan, Jangan
membocorkan kepadanya alasanku bekerja paruh waktu, Ayaka menanggapinya
dengan senyuman dan acungan jempol, dimana Amane menghela nafas dan
membiarkannya begitu saja.
✧ ✦ ✧
Setelah berpisah dengan Chitose
dan Mahiru, Amane berjalan dengan Ayaka, membiarkannya memimpin jalan. Tempat
tujuan mereka tampaknya cukup jauh sehingga harus ditempuh dengan kereta api, tapi
tidak terlalu jauh dari tempat tinggalnya, jadi itu tidak akan menjadi masalah
besar dalam perjalanannya.
Pertanyaan sebenarnya adalah
apakah mereka akan mempekerjakannya atau tidak... Namun, ketika Amane bertanya
pada Ayaka tentang hal itu, dia menjawab, “Jangan khawatir, jangan khawatir.”
dan tersenyum padanya.
“Kafe Bibiku dijalankan oleh
staf yang sedikit, dan mereka mendapatkan lebih banyak pelanggan akhir-akhir
ini, jadi mereka mencari seseorang yang sopan untuk membantu. Gajinya besar,
tetapi tampaknya mereka kesulitan menemukan seseorang yang cocok dengan suasana
kedai kopi dan disukai oleh para pelanggan. Lalu datanglah tawaran mu,
Fujimiya-kun! Aku merasa, betapa
beruntungnya aku! Rasanya seperti sebuah anugerah yang luar biasa. Aku
yakin kamu akan bisa mengatasinya dengan baik, Fujimiya-kun.”
“Aku tidak yakin apa aku cukup
sopan.”
Meskipun Amane berusaha untuk tidak
bersikap kasar, jika disebut sopan, Amane harus memiringkan kepalanya dengan bingung.
Amane merasa kalau dirinya memang memiliki sopan santun, tetapi itu jauh dari
contoh kesopanan yang ideal.
Ia mengangkat bahunya,
mengatakan bahwa Ayaka terlalu melebih-lebihkan dirinya, tetapi Ayaka segera
menjawab dengan ceria, “Kamu tidak perlu merendah!” menepis kekhawatiran Amane.
“Kamu bisa membawa diri dengan baik di sekitar orang lain dan kamu menyesuaikan
sikapmu. Dan juga, Fujimiya-kun, kamu bersikap sangat sopan di depan para guru,
seperti seorang murid teladan.”
“Mereka adalah orang yang lebih
tua dariku, dan juga sosok yang berwibawa... Aku lebih suka mereka menganggap aku
secara positif daripada negatif. Ditambah lagi, ada keuntungan memiliki
hubungan yang baik dengan para guru.”
Tentu saja, Amane memperlakukan
mereka yang lebih tua darinya atau yang memiliki posisi otoritas dengan hormat,
tetapi ada juga motif tersembunyi untuk meningkatkan nilainya dan melanjutkan
ke perguruan tinggi. Hal tersebut ada keuntungannya tersendiri dengan menjalin
hubungan baik dengan para guru. Meski tidak semuanya, masih ada tingkat
perhitungan tertentu yang terlibat dalam keputusannya untuk memperlakukan
mereka seperti yang dia lakukan, jadi Amane tidak benar-benar melabeli dirinya
sebagai murid teladan sejati. Murid-murid teladan sejati adalah orang-orang
seperti Mahiru dan Yuuta. Amane hanya mahir dalam memberikan kesan bahwa dirinya
seperti mereka.
Merenung kalau dirinya tidak
memiliki pesona untuk berpikir seperti itu, Amane mengangkat bahunya, dan Ayaka
merespon dengan senyum tipis.
“Bukannya itu tidak masalah?” Ayaka
meredakan kegelisahannya. “Yang paling penting di sini adalah apa kamu memiliki
sopan santun dan bisa beradaptasi dengan situasi yang berbeda sambil
menunjukkan rasa hormat pada orang lain. Dengan kata lain, bertindak sesuai
dengan keadaan. Mengesampingkan niat pribadimu, satu-satunya hal yang penting
pada akhirnya adalah hasilnya. Dan jika hasilnya bagus, maka apa yang kamu
pikirkan tidak terlalu penting.”
“... Apa kamu juga orang
seperti itu, Kido?”
“Terkejut? Aku sebenarnya tipe
orang yang cukup pragmatis. Aku tidak selalu mencari keuntungan dalam segala
sesuatu yang aku lakukan, tetapi pada saat yang sama, aku rasa tidak aneh untuk
menemukan semacam keuntungan sebelum melakukan sesuatu. Sampai batas tertentu,
pastinya. Aku tidak selalu bertindak berdasarkan kebaikan hatiku saja.”
Ujar Ayaka dengan santai. Amane
berkedip kaget dengan cara berpikirnya yang keras dan jelas, tapi reaksinya
bukan karena terkejut atau menghindar, melainkan rasa persahabatan.
“Kali ini juga sama,” lanjut
Ayaka, “Aku mengajukan ide itu karena ada manfaatnya bagiku. Ini bukan seratus
persen karena niat baik atau semacamnya.”
Dengan Ayaka yang mengakuinya
sejujurnya, mudah bagi Amane untuk memahami sifat baiknya. “Jadi, apa untungnya
bagimu kali ini?” Amane bertanya, senyum sedikit menyesal muncul di wajahnya.
Ayaka telah menanggapi
permintaannya yang tiba-tiba dan tidak masuk akal, dan Amane percaya bahwa dia
menerimanya sebagian besar karena kebaikan hatinya, tapi sepertinya dia tidak
ingin mengakuinya sendiri.
“Yah ... tentu saja, itu
sebagian karena bibiku sedang dalam masalah, tapi ... alasan utamanya adalah
aku ingin membantu Sou-chan untuk mendapatkan lebih banyak teman.”
“Kayano?”
“Ya. Sou-chan adalah tipe
pendiam dan cenderung menyendiri, jadi ia tidak menunjukkan ketertarikan pada
orang lain. Tapi ia sepertinya memiliki kesan yang baik terhadapmu,
Fujimiya-kun, dan kamu juga cenderung menutup diri. Aku pikir kalian berdua
akan cocok, karena itu aku memperkenalkanmu ke kedai kopi tempat Sou-chan
bekerja. Dengan begitu, aku bisa menyelesaikan masalah kekurangan staf
sekaligus membantu Sou-chan mendapatkan teman baru.” Ayaka mengungkapkan
niatnya dan kemudian meminta maaf, dengan mengatakan. “Maafkan aku. Sebenarnya
ada banyak manfaat dalam hal ini untukku.” Dia terlihat agak sedih saat
mengatakannya, dan Amane tertawa, menggelengkan kepalanya.
“Jangan meminta maaf begitu.
Itu pertama kalinya aku mendengar tentang Kayano yang bekerja di sana, dan aku
sedikit terkejut, tapi kami sudah saling mengenal. Aku bisa tenang karena
seseorang yang kukenal juga bekerja di sana, jadi aku merasa sedikit senang.”
“Benarkah? Aku senang
mendengarnya.” Seolah-olah ketegangannya telah terangkat sekaligus, dia
terlihat santai dan lega. Amane yakin bahwa Ayaka memang orang yang baik.
“Pokoknya, itu semua baik dan
bagus,” kata Amane, mengubah topik pembicaraan. “Tapi kamu tidak bekerja di
rumah bibimu meskipun pacarmu bekerja di sana?”
“Eh... Soal itu, ada alasannya
juga...” jawab Ayaka. “Seperti yang sudah kukatakan sebelumnya, bibiku memang
mencintaiku, tapi dia lebih suka bersama Sou-chan.”
"Benarkah begitu?"
"Saat kami bersama, kami
hanya saling melirik dan tersenyum, tanpa menyelesaikan pekerjaan. Kami sudah
saling menyayangi sejak kami masih kecil. Dan jika aku ada di sana, aku akan
terganggu oleh Sou-chan setiap kali aku melihatnya. Sou-chan bahkan berkata, 'Sepertinya kamu akan meneteskan air liur,
jadi hentikan,' atau sesuatu seperti itu.”
“... Heh.”
“Ka-Kamu baru saja tertawa,
bukan? Bahkan aku bisa membedakan mana yang benar dan mana yang salah, tau! Aku
tidak akan ngiler di depan orang lain!”
Ayaka tersipu malu dan merajuk,
tetapi kata-katanya kurang meyakinkan dan hanya menambah kelucuannya, mendorong
Amane untuk sengaja tidak menyembunyikan rasa geli dan tertawa terbahak-bahak.
✧ ✦ ✧
Setelah menenangkan Ayaka yang
merajuk, Amane akhirnya tiba di kedai kopi yang memiliki suasana tenang.
Kedai kopi itu memiliki suasana
berkelas yang membuat kedai tersebut hampir tampak tampat antik, dan jelas
terlihat melayani pelanggan yang lebih tua, dilihat dari penampilannya yang
canggih yang memancarkan semburat kemewahan kelas atas.
“... Apa tempatnya benar-benar
di sini?” Amane bertanya dengan bingung.
“Kenapa kamu meragukanku?”
jawab Ayaka. “Kafe ini adalah tempat yang bagus dan tenang, kan?”
“Menurutku ini tempat yang bagus,
tapi apa kamu yakin pelajar SMA sepertiku cocok bekerja di sini?”
Ketika membahas topik kafe yang
mempekerjakan pelajar sebagai karyawan paruh waktu, orang mungkin membayangkan
sebuah toko ritel besar, tetapi tempat yang dibawa Amane berada di ujung spektrum
yang berlawanan—— sebuah tempat yang memiliki kesan bermartabat.
“Dan itulah sebabnya aku
mengundang seseorang seperti kamu, Fujimiya-kun. Orang yang masih muda tapi
bisa diandalkan. Pokoknya, ayo kita salami bibiku dulu,” Ayaka menjelaskan,
sebelum menambahkan, “Meskipun, aku tidak terlalu suka...” dengan berbisik,
dengan jelas mengekspresikan keengganannya. Menunjukkan senyum canggung pada
Ayaka yang ragu-ragu tetapi pada akhirnya berpikiran positif, Amane mengikuti
di belakang Ayaka karena penasaran dengan bibinya.
Saat dia mendorong pintu yang
berat, dengan tanda [TUTUP] yang menonjol, derit engsel yang samar-samar
ditambah dengan dentang bel pintu yang ceria, entah bagaimana membawanya ke
dalam gelombang nostalgia.
Kafe di mana Ayaka mengantarnya
memenuhi ekspektasi yang muncul saat melihat eksteriornya, dengan suasana yang
sangat tenang di bagian dalam. Dekorasi interiornya sederhana namun elegan
dengan skema warna dominan kayu ek gelap dan putih, dan toko itu sendiri sangat
bersih dan terawat dengan baik, menambah kesan kecanggihannya. Di salah satu
dinding, terdapat rak buku yang penuh dengan literatur yang memenuhi setiap
jengkal dinding.
Sekilas, Amane melihat bahwa
kafe ini tampaknya tidak memiliki banyak kursi. Jumlah tempat duduk yang
terbatas merupakan indikasi yang jelas bahwa kafe ini dimiliki secara pribadi,
tidak seperti kedai kopi besar lainnya. Namun demikian, berkat hal itu, kafe
ini berhasil merepresentasikan suasana yang sangat tenang dan santai, dan hal
ini membuatnya menjadi tempat yang sempurna untuk beristirahat sejenak dari
hiruk-pikuk kedai-kedai kopi yang berisik.
Hari ini tampaknya merupakan
hari libur, dan tidak ada satu pun pelanggan yang terlihat, sehingga Amane
tidak bisa menahan diri untuk tidak mengagumi dekorasinya. Tiba-tiba, seorang
wanita yang mengenakan celemek biru tua keluar dari ruang belakang.
Penampilan pertama
menggambarkannya sebagai wanita yang tenang, kira-kira satu dekade lebih tua
daripada Amane.
Dia merupakan wanita cantik
dengan rambut hitam panjang yang tampaknya sesuai dengan suasana kedai kopi
atau toko buku tua, tapi dia tampak sangat pendiam dan kalem, yang membuatnya
sulit untuk percaya bahwa dia adalah bibi dari Ayaka yang ceria dan ramah.
“Oh... Ayaka-san. Selamat
datang,” ucap wanita tersebut.
“Sudah lama tidak bertemu, Bibi
Fumika.” Ayaka menjawab sambil membungkuk dengan sopan. Wanita yang dia panggil
sebagai Fumika menatapnya saat dia melakukan hal itu, memberinya tatapan lembut
dan senyuman.
“Aku senang kamu datang. Kamu
jarang mampir bahkan ketika Souji-kun bekerja di isini, jadi aku cukup
kesepian.”
“Uu, aku minta maaf soal
itu...” Ayaka menjawab. “Aku pikir aku mungkin telah mengganggumu, Bibi
Fumika.”
“Mengganggu? Jangan konyol...
Dengan adanya kalian berdua di sini saja sudah membuatku senang. Kalian berdua
bekerja sangat keras.”
“Tapi justru itulah yang jadi
masalahnya,” gumam Ayaka pelan, tapi sepertinya kata-katanya tidak sampai ke
telinga Fumika. Saat ia melihat mereka berdua berinteraksi dari satu langkah di
belakang, Amane memiringkan kepalanya dengan bingung.
Dilihat dari penampilan wanita
itu sampai tingkah lakunya, tidak ada hal aneh darinya yang akan membuat Ayaka
merasa tidak nyaman, jadi Amane sangat bingung. Setelah mengamati percakapan
singkat mereka, Amane menilai wanita itu sebagai wanita yang biasa-biasa saja.
Malahan, kesan yang dipancarkannya adalah salah satu feminitas yang tenang dan
halus, dan dia tidak bisa menemukan tanda-tanda ketidaknyamanan yang seharusnya
dialami oleh Ayaka.
Kalaupun ada, ada banyak sekali
kasih sayang untuk Ayaka di mata wanita itu, dan mengingat hal ini, sulit bagi
Amane untuk memahami mengapa Ayaka merasa tidak nyaman berada di dekat bibinya.
Meskipun benar bahwa setiap
orang memiliki ambang batas ketidaknyamanan mereka sendiri, dan karena itu, Amane
tahu bahwa ia belum bisa memahami keseluruhan situasi, sulit untuk memahami
alasan di balik perasaan Ayaka.
Saat Amane melihat Ayaka
sedikit goyah, tatapan wanita itu tiba-tiba beralih kepadanya. Matanya yang
hitam pekat berkedip-kedip sejenak seakan menilainya, namun sesaat kemudian,
mata itu melembut menjadi tatapan yang lembut.
“Apa ini cowok yang kamu
sebutkan, Ayaka-san? Orang yang tertarik untuk bekerja paruh waktu?”
“Ah, itu benar. Dia bilang
padaku kalau dia ingin bekerja paruh waktu,” jelas Ayaka. “Fujimiya-kun, wanita
ini adalah pemilik kedai kopi, Itomaki Fumika. Dia adalah bibiku.”
“Nama saya Fujimiya Amane,"
jawabnya dengan sopan. “Terima kasih telah meluangkan waktu untuk bertemu
dengan saya.”
“Baiklah... tidak masalah.
Lagipula, ini adalah permintaan dari Ayaka-san. Aku mempercayai penilaiannya
dalam hal menilai kemampuan seseorang, jadi aku tak melihat ada masalah dengan
itu,” kata Itomaki, tersenyum lembut. Ekspresinya mereda saat ia menatapnya
sekilas ke atas dan ke bawah, lalu tersenyum padanya sekali lagi.
Senyumnya yang elegan namun tak
terduga memancarkan tekanan yang luar biasa, membuat bulu kuduk Amane berdiri.
“Ngomong-ngomong, hubungan seperti apa yang kamu miliki dengan Ayaka-san?”
“Dia adalah teman sekelas dan
teman. Baik bagi saya maupun pacar saya.”
Merasakan getaran aneh
menjalari tulang punggungnya, Amane segera menyangkal kecurigaan yang mungkin dia
miliki, dan senyumnya semakin lembut. Dengan rasa dingin yang tidak nyaman yang
menggerogotinya mulai menghilang, Amane menyadari bahwa kemungkinan besar ia
telah memberikan jawaban yang tepat.
“Benarkah? Aku senang
mendengarnya,” kata Fumika, tampak lega. “Karena Ayaka-san dan Souji-kun saling
jatuh cinta, akan merepotkan jika kamu mulai menaksirnya.”
“Saya sudah mempunyai pacar
yang sudah saya cintai, jadi hal seperti itu tidak mungkin terjadi.”
"Oh wow! Itu luar
biasa...!”
Saat mata hitamnya berbinar dan
bersinar dengan kilatan cahaya, Amane secara naluriah mundur selangkah. Namun,
Fumika, tidak memperhatikan reaksinya, malah tersipu malu dengan apa yang dia
katakan.
Ekspresinya menyerupai gadis
yang sedang dimabuk asmara, dan meskipun sedikit terlambat, Amane
perlahan-lahan mulai mengerti mengapa Ayaka mengalami kesulitan untuk
menanganinya.
“Sungguh luar biasa memiliki
tekad yang kuat di usiamu. Apa kamu melamar pekerjaan ini dengan pemikiran
seperti itu?”
“Itu benar. Erm, saya ingin memberikan
cincin pada pacar saya...”
“Menakjubkan! Memang, sungguh
indah sekali! Jika kamu bersedia bekerja di sini bersama kami, maka aku dengan
senang hati menerimamu...!”
“Bibi!? Bukannya keputusanmu
begitu cepat? Sebenarnya, aku sudah menduga hal ini akan terjadi... tapi tetap
saja!”
Amane terdiam di tempat, telah
dipekerjakan bahkan tanpa wawancara yang layak. Ayaka menghela nafas dengan
ekspresi bingung dan hampir muak di wajahnya. Sementara itu, Fumika
berseri-seri dengan senyum bahagia, jelas senang dengan dirinya sendiri.
“Bibi, itu tidak baik untuk mengorek
terlalu banyak, tau,” Ayaka mengingatkan.
“Oh, aku tidak akan mengorek
hal-hal yang tidak ingin ia ceritakan, oke? Tapi aku penasaran bagaimana mereka
berdua bisa bertemu...”
“Tolong tahan rasa ingin
tahumu, Bi. Atau aku akan merasa kasihan pada Fujimiya-kun, yang akhirnya akan
terseret ke dalam hobi dan pekerjaanmu.”
“Aku akan meminta izin dulu
padanya, oke?” Fumika bersikeras. “Dan aku hanya akan menggunakan situasi ini
sebagai bahan referensi.”
“Hobi dan pekerjaan...?” Amane
bertanya, tidak memahami percakapan mereka.
“Bibi Fumika mengelola kafe
ini, tapi ini bukan pekerjaan utamanya,” Ayaka mulai menjelaskan. “Dia
sebenarnya seorang penulis dan memiliki usaha lain selain itu, jadi aku tidak
terlalu yakin mengapa dia malah menjalankan kafe...” Namun, Ayaka tetap
skeptis. Dia melanjutkan, “Yang membuatnya lebih aneh lagi adalah bahwa
semuanya tetap menghasilkan keuntungan...” karena kafe bukanlah bisnis
utamanya. Fumika, di sisi lain, tersenyum menyembunyikan pikirannya saat ia
menatap Ayaka.
“Tidak perlu diragukan lagi,
kafe ini berjalan dengan baik dari sisi keuangan,” Fumika menegaskan, “Jadi
kamu tidak perlu khawatir kami akan gulung tikar. Karyawan kami juga digaji
dengan jumlah yang besar.”
“Bibi, tolong pastikan Kamu
menghitung upah mereka per jam dengan benar. Jangan hanya memberi mereka uang
saku saja, oke?”
“Kamu tidak perlu terlalu
khawatir...”
Saat Ayaka dengan
sungguh-sungguh menguliahi Fumika yang cemberut, Amane merenungkan kekhawatiran
yang baru saja ditemukannya. Bisakah aku
benar-benar mulai bekerja di sini? pikirnya, merasa sedikit gelisah dengan
apa yang akan terjadi.
✧ ✦ ✧
Entah bisa dibilang berita yang
baik atau buruk, Amane dipekerjakan saat itu juga, dan dirinya kemudian pulang
ke rumah, dengan kontrak kerja di tangan. Meskipun itu bukanlah wawancara kerja
yang sebenarnya dan lebih merupakan pertemuan sederhana, Amane merasa lega
karena dirinya tampaknya cocok dengan kualifikasi majikannya.
Amane tidak yakin apakah
keputusan itu cocok untuk diambil secepat itu, tetapi merupakan hal yang baik
bahwa ia sudah menemukan pekerjaan. Faktanya, semuanya telah berjalan begitu
lancar baginya sehingga Amane khawatir akan ada masalah di kemudian hari. Yang
tersisa sekarang adalah meminta dirinya dan orang tuanya menandatangani dan
mencap kontrak sebelum mengembalikannya.
Ayaka meminta maaf kepadanya
dalam perjalanan pulang, tetapi Amane sudah mendengar bahwa Fumika memiliki
kepribadian yang keras kepala, jadi tidak mengherankan jika Ayaka merasa
terintimidasi olehnya. Bibinya adalah tipe yang berbeda dari Shihoko, dengan
pendekatan ibunya yang lebih pada sisi memaksa dan agak keras.
(Itomaki-san
adalah tipe orang yang tidak boleh aku biarkan bertemu dengan Ibu.)
Hari ini, ibunya telah bertemu
dengan Chitose, tetapi secara pribadi, Amane berpikir bahwa mereka berdua juga
akan menjadi kombinasi yang berbahaya. Sejujurnya, Amane khawatir tentang apa
yang akan terjadi selama tamasya kecil mereka. Baik Chitose maupun Shihoko
sadar akan batas yang tidak boleh mereka lewati, jadi dirinya yakin semuanya
akan baik-baik saja, tapi tak diragukan lagi dalam benaknya bahwa Mahiru akan
menjadi korban dari momentum mereka.
Kurasa
aku akan menghiburnya saat dia pulang nanti, pikir Amane sambil
membuka pintu depan apartemennya.
Merasa yakin dengan dirinya
sendiri, Amane diam-diam mengumumkan kepulangannya, “Aku pulang... Tunggu,
Ayah?”
“Selamat datang kembali.”
Amane mengira kalau tidak ada
orang di rumah, jadi ia membisikkan salam begitu kembali ke rumah. Namun, tak
disangka kalau dirinya disambut oleh Shuuto, yang dikiranya sedang jalan-jalan
di suatu tempat. Amane jadi terkejut sejenak.
Orang tuanya adalah orang yang
menyewakan apartemennya, dan masing-masing memiliki kunci cadangan, jadi tidak
terlalu aneh jika mereka ada di sana, dan Amane tidak berniat untuk membuat
keributan. Namun, ia mengira bahwa Shuuto sedang menemani ibunya pergi bersama
Mahiru dan Chitose, jadi sangat mengejutkan ketika melihat Shuuto berada di
apartemennya.
Shuuto tampak bingung dengan
keterkejutan Amane.
“Oh, aku sudah menghubungimu,
tapi mungkin kamu tidak menyadarinya. Shihoko-san dan para gadis sedang makan
malam di tempat lain, jadi aku pikir aku akan menyelesaikan kontrak kerjamu dan
menyiapkan sesuatu untuk kita makan sambil melakukannya.”
Dalam perjalanan pulang setelah
menyelesaikan wawancara kerja, Amane mengirimkan pesan kepada ayahnya bahwa dirinya
telah diterima, dan salah satu dari kedua orang tuanya harus menandatangani
kontrak kerja. Namun, Amane langsung menyimpan ponselnya setelah itu dan
mungkin tidak menyadari bahwa dirinya telah menerima pesan balasan.
Setelah mendengarnya, Amane
mengeluarkan ponselnya dan melihat notifikasi yang mengindikasikan bahwa Shuuto
telah mengiriminya pesan.
“Ah, maaf. Aku tidak menyadarinya.
Dan juga, bukannya lebih baik jika kamu pergi bersama mereka, Ayah?”
Amane mendengar bahwa mereka
semua pergi keluar, tapi ia tidak menyangka mereka akan tetap bersama sampai
makan malam. Ia mengerti bahwa mereka bergaul dengan baik, kemungkinan besar
mereka cocok, tetapi ia tidak tahu apa yang harus dilakukan dengan fakta bahwa
ayahnya tidak ikut serta.
“Haha, waktu yang begini
dimaksudkan untuk mereka bertiga untuk menjalin ikatan bersama. Kurasa kalau aku
ada di sana, Shirakawa-san pasti enggan bertindak seperti biasanya, bukan?
Jadi, kupikir akan lebih baik untuk mengalah sejak awal dan melakukan
kegiatanku sendiri... tetapi setelah membaca pesanmu, Amane, kupikir ini adalah
waktu yang tepat.”
Singkatnya, akan sangat tidak
nyaman bagi kedua belah pihak jika ayahnya menemani para gadis di hari libur
mereka. Amane pun yakin. Sekarang, setelah memahami bahwa ibunya tidak mengajak
Shuuto karena mempertimbangkan Chitose, ia mengangkat bahunya. “Apa itu
baik-baik saja? Tinggal di sini meskipun ini adalah hari libur Ayah yang
berharga?”
“Kami datang kesini dengan
maksud untuk melihatmu dan teman-temanmu, Amane. Tamasya ini hanyalah bonus
tambahan, oke. Aku pernah tinggal di sini, jadi ini bukan pengalaman baru bagiku
seperti halnya Shihoko-san.”
“Yah, ada benarnya juga sih,
tapi...”
“Dan selain itu, bukannya akan
kesepian jika kamu makan sendirian? Aku juga khawatir dengan kemampuan
memasakmu."
“...Asal ayah tau saja, aku bisa memasak makanan sekarang.” Amane
membalas, cemberut. “Makanan yang normal.” Dia menjawab dengan suara jutek
sebagai balasan atas nada menggoda ayahnya. Meskipun hanya sampai batas
tertentu, Amane benar dengan mengatakan bahwa dirinya mampu memasak. Tentu
saja, kemampuannya tidak bisa menyamai kehebatan kuliner Mahiru, tapi ia masih
jauh lebih baik dibandingkan saat pertama kali pindah ke apartemennya.
Selama ia mengikuti resep
dengan benar, menyiapkan makanan sesuai dengan instruksinya, Amane telah
berkembang ke titik di mana bahkan Mahiru akan memberinya nilai kelulusan.
Amane berbicara dengan nada
yang sedikit tajam, tidak ingin terlihat seperti dia tidak berusaha untuk
memperbaiki kekurangannya, tapi untuk beberapa alasan, senyum Shuuto semakin
dalam saat mendengarkannya.
“Begitu ya. Jadi, kamu pasti
bisa melakukannya jika kamu mencobanya, Amane. Itu luar biasa,” puji Shuuto.
“... Apa ayah sedang
mengejekku?” Amane membentak balik.
“Mana ad, aku tidak
mengolok-olokmu sedikitpun. Hanya saja, memasak bersama anakku selalu menjadi
salah satu impianku, jadi aku senang karena kesempatan itu tiba-tiba muncul
dengan sendirinya.”
Dihadapkan dengan senyum ramah
dan penuh kasih sayang dari Shuuto—tanpa
ada niat jahat—Amane mereda. Dirinya menatap ayahnya, yang kemudian
bertanya kepadanya, “Kalau begitu, kamu mau membantu aku, kan?” tampaknya yakin
akan kemampuannya.
Tentu saja, Amane tidak berniat
menyerahkan semuanya kepada ayahnya, tetapi ia tidak bisa menahan senyum
pahitnya saat mendengar cara ayahnya berbicara, kemungkinan besar ia menyadari
apa yang memotivasi Amane untuk berlatih memasak. Amane berpikir bahwa ia masih
belum bisa menyamai ayahnya.
“... Ya, tentu saja.”
Shuuto menganggukkan kepalanya
dan memberikan senyuman lembut. Mengikutinya, Amane mengubah sifat senyumnya
sambil mengangguk, membiarkan ekspresi pahitnya memudar.
✧ ✦ ✧
Setelah mereka selesai melahap
pasta bakso yang mereka buat, Shuuto dan Amane beristirahat sejenak. Namun, saat
mereka sedang bersantai, mereka mendengar suara pintu depan dibuka, yang menandakan
kembalinya Mahiru dan Shihoko.
Saat Amane menuju ke pintu
masuk, berpikir bahwa akan aneh jika ia tidak menyambut Mahiru, ia menemukan
Mahiru dan Shihoko berdiri di sana, keduanya memegang sekumpulan tas belanja.
Tak peduli bagaimana orang
melihatnya, mereka telah mengumpulkan banyak sekali tas belanja yang terlalu
berlebihan untuk ukuran belanja sehari. Bagi seseorang seperti Amane, yang
tidak memiliki keinginan kuat untuk memiliki harta benda, ia tidak bisa
memahami apa yang akan mereka lakukan dengan semua itu atau apa yang mungkin
terkandung di dalamnya.
“... Apa-apaan dengan semua
barang yang berlebihan ini?” Amane bertanya, tercengang.
“Oh, jangan khawatir Amane. Ada
cukup untuk bagianmu juga, loh?” Jawab ibunya.
“Aku tidak terlalu khawatir
dengan bagianku, tapi kenapa kamu pergi berbelanja dan apa yang kamu beli, bu?”
Mengetahui bahwa orang tuanya
berpenghasilan tinggi, dan mereka pada umumnya bukan tipe orang yang suka
menghambur-hamburkan uang, Amane berasumsi bahwa ibunya pasti sangat
menginginkan apa pun yang dibelinya. Bahkan, mengingat hal itu, barang yang
dibelinya pun cukup banyak.
“Itu semua pakaian dan aksesori
lucu yang aku beli untuk Mahiru-chan. Ditambah lagi, kami juga membelikan
pakaian untukmu, oke? Semuanya dipilih sendiri oleh Mahiru-chan, jadi ingatlah
baik-baik.”
“Aku bisa melihat kalau ibu
sengaja membeli barang-barang yang biasanya tidak akan aku pakai sama sekali.”
Amane memiliki perasaan yang
campur aduk karena ibunya membelikan pakaian untuknya, tapi karena Mahiru telah
membantunya memilihkan pakaian, itu tidak terlalu buruk. Ia harus bertanya pada
Mahiru nanti untuk mendapatkan cerita lengkapnya, tapi untuk saat ini, Amane tidak
bisa menghilangkan perasaan bahwa mereka telah membawa pulang terlalu banyak
tas belanja.
Saat Amane menatap Shihoko
dengan wajah keheranan sekaligus ketidakpercayaan, dia melewatinya dengan
senyuman ringan, meninggalkannya untuk bertukar pandang dengan Mahiru, yang
telah tertinggal.
Mahiru tampak sedikit bingung,
atau lebih tepatnya, wajahnya menunjukkan sedikit keraguan bahwa mereka mungkin
telah membeli terlalu banyak barang selama jalan-jalan. Namun, tampaknya
Shihoko telah membeli segala sesuatu dengan memikirkan Mahiru, dan
antusiasmenya saat melakukan hal itu pasti akan menular, jadi Mahiru mungkin
tidak bisa menahan diri untuk menghentikan ibunya.
“... Jangan bilang kamu membeli
sesuatu yang aneh.”
“Ka-Kami tidak membeli sesuatu seperti
itu, tau...?”
“Oh, begitu. Senang
mendengarnya, kalau begitu.”
Amane menghela nafas lega pada
Mahiru, yang malah menatapnya dengan tatapan penasaran, dan ia segera mengambil
tas belanjaan itu darinya. Ia tidak yakin apakah tas itu benar-benar miliknya,
tapi tidak enak baginya untuk membebani Mahiru dengan membawanya.
Saat Amane melihat Mahiru
melepas sepatunya, telinga Amane terangkat ke arah ruang tamu. Shihoko sedang
mendiskusikan sesuatu dengan Shuuto, dan sepertinya berhubungan dengan
pekerjaan paruh waktunya karena ia melihat Shihoko sesekali menimpali dengan
kata “Ara!” seperti sebuah slogan.
Meskipun Shuuto lah yang menandatangani
kontrak kerjanya sebagai wali Amane, mungkin sudah sepantasnya dia memberi tahu
ibunya tentang hal itu sebelumnya, meskipun tanda tangannya secara teknis tidak
diperlukan untuk prosedur hukum.
(Sejujurnya,
sebagian karena Ayah lebih mudah dihubungi, dan sebagian lagi karena aku tidak
bisa menghubungi Ibu, kurasa)
Meskipun orang tuanya akhirnya
datang ke rumahnya, rencana awal mereka adalah untuk bertamasya. Jadi, setelah
mereka beristirahat sejenak, Shuuto dan Shihoko mungkin akan kembali ke hotel.
Saat Mahiru bersandar pada
tubuh Amane sambil berganti pakaian dengan sandalnya, ia merasakan sensasi
geli. Saat Amane menunggunya, Mahiru tiba-tiba menatapnya seolah-olah dia baru
saja mengingat sesuatu.
“Ngomong-ngomong, bagaimana
hasil wawancara untuk pekerjaan paruh waktumu?”
“Baik... Sepertinya mereka
menyukaiku, jadi bisa dibilang aku berhasil mendapatkan pekerjaan itu.”
Amane tidak menyangka bisa diterima
kerja dengan mudah, dan sedikit bingung dengan itu semua. Namun, Mahiru dengan
santai menjawab, “Aku tahu kamu akan
diterima, Amane-kun,” tampaknya tidak terkejut.
Hal ini membuatnya merasa bahwa
Mahiru terlalu melebih-lebihkan kemampuannya, atau lebih tepatnya, Mahiru
terlalu menaruh kepercayaan padanya. Namun, Amane juga tahu bahwa jika dia
menyuarakan pikiran itu, Mahiru akan memarahinya sambil berkata, “Lagi-lagi
begitu, kamu selalu meremehkan dirimu sendiri lagi,” jadi Amane menutup
mulutnya rapat-rapat.
“Ini Cuma sekedar penasaran,
orang seperti apa pemilik kafe itu?” Mahiru bertanya.
“Baiklah, bagaimana aku harus
mengatakannya?” Amane mulai menjelaskan. “Dia orang yang unik... seorang Onee-san,
kurasa.”
“Onee-san.”
“Aku diberitahu bahwa dia
adalah bibi Kido, tetapi dia tampaknya masih cukup muda dibandingkan dengan
ibunya, jadi dia lebih terasa seperti seorang kakak perempuan, menurutku.”
Amane menahan diri untuk tidak
menanyakan usianya, karena merupakan hal yang tabu untuk menanyakan hal yang
begitu detail kepada seorang wanita, tetapi dari penampilannya, ia mengira
bahwa wanita itu mungkin berusia pertengahan atau akhir dua puluhan.
Kebetulan, Amane sempat
menanyakan detailnya pada Ayaka dalam perjalanan pulang dari kafe, dan
tampaknya ibunya sangat menyayangi adik perempuannya, Fumika, yang jauh lebih
muda darinya. Fumika pun mulai mengagumi sang kakak, dan dengan cepat juga
mulai menyayangi keponakannya dengan cara yang sama. Akibatnya, Fumika
cenderung menyayangi Ayaka seperti seekor kucing.
Amane dengan lembut mencolek
pipi Mahiru yang sekarang kaku, merasakan bahwa kata-kata “Onee-san” telah membuatnya sedikit tegang.
“Jangan khawatir, Mahiru. Dia
sepertinya tipe orang yang suka melihat pasangan, dan dia bahkan meminta untuk
mendengar cerita tentang hubungan kita yang akur.”
Mengantisipasi bahwa sedikit
rasa cemburu akan muncul, Amane dengan cepat menambahkan komentar itu untuk
mencegahnya. Mahiru tersipu malu dan menciut dengan tidak nyaman, seakan merasa
tidak nyaman dengan apa yang dikatakannya.
“... Aku tidak meragukanmu atau
semacamnya, oke? Aku hanya kebingungan apa yang akan kulakukan jika dia jatuh
cinta padamu, itu saja...”
“Tidak mungkin.”
“Tidak ada yang tidak mungkin,”
Mahiru bersikeras. Amane tersenyum kecut menatapnya, yang entah kenapa
menekankan hal itu, bersikeras dengan argumennya. Ia menepuk kepalanya dengan
lembut dan merasa kasihan padanya, berpikir bahwa ia salah telah membuatnya
merasa tidak nyaman.
Pada awalnya, Mahiru terlihat
sedikit kesal, tetapi dia berangsur-angsur rileks ketika Amane terus mengusap
lembut jari-jarinya di rambutnya yang lembut, menikmati tekstur yang
menyenangkan.
“Bahkan jika itu memang yang terjadi,
aku tidak akan melakukannya. Dan jika, kebetulan, hal itu menyebabkan masalah
dengan pekerjaanku, aku akan berhenti saat itu juga,” Amane menjelaskan.
“Ak-Aku tidak menyangka kalau
kamu bertindak sejauh itu... Aku hanya merasa sedikit, ehm, gelisah."
“Tepat sekali. Itu sebabnya
jika itu membuatmu merasa tidak nyaman, lebih baik aku tidak bekerja di sana.
Tujuanku bekerja bukanlah untuk bekerja itu sendiri, tetapi untuk mendapatkan
uang yang aku butuhkan untuk mencapai tujuanku.”
Melihat bagaimana perilaku bibi
Ayaka, mustahil baginya untuk jatuh cinta pada Amane. Namun, jika hal itu
terjadi, dirinya akan mulai mencari pekerjaan lain, meskipun sambil merasa
menyesal terhadap bantuan Ayaka.
Amane bekerja untuk membuat
Mahiru bahagia, dan jika hal itu membuatnya sedih, ia tidak perlu bertahan dengan
pendekatannya saat ini. Amane akan mencoba mencari cara lain untuk mengejar
tujuannya.
Ia tidak berniat mengacaukan
prioritasnya, dan tahu lebih baik daripada mengacaukan tujuannya dengan cara
yang ia tempuh untuk mencapainya. Amane percaya bahwa ia tidak cukup bodoh atau
idiot untuk jatuh ke dalam perangkap semacam itu.
“Dan karena itulah, kamu tidak
perlu khawatir,” imbuh Amane, dan mendengar hal ini, Mahiru membenamkan
wajahnya ke dadanya. “Ada yang salah?” tanyanya kemudian.
“... Itulah yang kusukai
darimu,” jawab Mahiru.
“Hanya itu saja?” Amane membalas sambil mengolok-oloknya.
“... Itu salah satu hal yang
kusukai darimu. Baka.” Mahiru
bergumam dengan pelan. Setelah Amane menggodanya sedikit, Mahiru memukul
dadanya dengan main-main, membuat Amane tersenyum. Ia kemudian dengan lembut
membelai kepala Mahiru saat ia menerima gerakan main-mainnya.